Kalau Kamu Pernah Berbohong Sekali Saja…Wajib Tonton Video Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan Dan kebaikan akan menuntun menuju surga. Seseorang akan senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (ṣiddīq). Sebaliknya, jauhilah dusta, karena dusta menuntun kepada kefasikan, dan sungguh kefasikan menuntun menuju neraka. Seseorang akan terus berdusta dan berupaya untuk berdusta. hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari & Muslim). Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!” (QS. At-Taubah: 119). Kejujuran yang sempurna itu, wahai Syaikh Nashir, terwujud dengan tiga perkara, apa saja itu? Jujur dalam ucapan, perbuatan, dan niatnya. Jika tiga jenis kejujuran ini terkumpul pada seseorang, semoga Allah mencatatnya sebagai orang-orang yang jujur. Ketika Allah menyebutkan para laki-laki dan perempuan yang jujur, Allah lalu berfirman: “Allah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Kejujuran ini termasuk dalam deretan sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang beriman. Ketika Allah menyebut penghuni surga dan sifat-sifat mereka, Dia berfirman: “Yaitu orang-orang yang sabar dan benar (jujur)…” (QS. Ali Imran: 17). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Allah berfirman: Ini adalah hari ketika kebenaran (kejujuran) bermanfaat bagi orang-orang yang benar…” (QS. Al-Maidah: 119). Maka, seorang muslim sangat dianjurkan, bahkan wajib untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam seluruh keadaan dan urusannya. Serta menjauhi dusta, bahkan dalam perkara yang tampak sepele. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada anak kecil, “Kemarilah, aku beri sesuatu!” Nabi bertanya, “Apa yang akan kamu berikan?” Ia menjawab, “Kurma.” Nabi bersabda, “Kalau kamu tidak memberinya, niscaya dicatat atasmu satu kedustaan.” Hari ini, banyak orang yang meremehkan kedustaan, mereka menganggapnya sepele, bahkan sampai bersumpah atasnya. Sedangkan wanita dalam kisah tadi tidak bersumpah, tapi hanya berjanji kepada anak kecil itu. Namun, jika ia tidak menepati janji, maka ia dianggap sebagai pendusta. Jika dalam kondisi biasa saja seseorang wajib berkata jujur, meskipun tidak diiringi dengan sumpah, maka bagaimana jika kejujuran itu diiringi dengan sumpah, saudara-saudara? Tentu lebih wajib baginya untuk jujur. Karena jika ia tidak jujur, maka ia telah—na’udzubillah—menggabungkan dua dosa: berdusta kepada manusia, dan juga berdusta dalam sumpahnya, wahai saudara-saudara sekalian. ==== قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ وَتَمَامُ الصِّدْقِ يَا شَيْخُ نَاصِرُ فِي ثَلَاثَةِ أُمُورٍ مَا هِيَ؟ فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَفِي إِرَادَتِهِ وَمَقْصَدِهِ تَجْتَمِعُ هَذِهِ الْأَنْوَاعُ الثَّلَاثَةُ فَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكْتُبَ الْعَبْدَ فِي الصَّادِقِين وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ قَالَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا فِي جُمْلَةِ أَوْصَافٍ اتَّصَفَ بِهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وَلَمَّا ذَكَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافَهُمْ قَالَ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِيْنَ صِدْقُهُمْ فَيَتَأَكَّدُ عَلَى الْمُسْلِمِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَأُمُورِهِ وَأَنْ يَتَجَنَّبَ الْكَذِبَ حَتَّى فِي الْأُمُورِ الْيَسِيرَةِ كَمَا قَالَتْ امْرَأَةٌ لِصَبِيٍّ تَعَالَ أُعْطِيكَ قَالَ مَاذَا تُعْطِيْهِ؟ قَالَتْ أُعْطِيْهِ تَمْرَةً قَالَ أَمَّا لَمْ تُعْطِيهِ كُتِبَتْ عَلَيْكِ مَاذَا؟ كَذْبَةٌ الْيَوْمَ يَتَسَارَعُ وَيَتَهَاوَنُ النَّاسُ بِهَا وَيَتَسَاهَلُونَ وَقَدْ يَحْلِفُونَ عَلَيْهَا مَعَ أَنَّهَا مَا حَلَفَتْ هِيَ لَكِنْ وَعَدَتْهُ فَلَوْ لَمْ تَفِ لَاعْتُبِرَتْ كَاذِبَةً فَإِذَا كَانَ الصِّدْقُ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ يَمِيْنٌ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِذَا كَانَ مَعَهُ يَمِينٌ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَصْدُقَ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصْدُقْ جَمَعَ عِيَاذًا بِاللَّهِ بَيْنَ الْكَذِبِ عَلَى النَّاسِ وَالْكَذِبِ أَيْضًا فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ الْكَذِبِ فِي يَمِينِهِ

Kalau Kamu Pernah Berbohong Sekali Saja…Wajib Tonton Video Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan Dan kebaikan akan menuntun menuju surga. Seseorang akan senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (ṣiddīq). Sebaliknya, jauhilah dusta, karena dusta menuntun kepada kefasikan, dan sungguh kefasikan menuntun menuju neraka. Seseorang akan terus berdusta dan berupaya untuk berdusta. hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari & Muslim). Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!” (QS. At-Taubah: 119). Kejujuran yang sempurna itu, wahai Syaikh Nashir, terwujud dengan tiga perkara, apa saja itu? Jujur dalam ucapan, perbuatan, dan niatnya. Jika tiga jenis kejujuran ini terkumpul pada seseorang, semoga Allah mencatatnya sebagai orang-orang yang jujur. Ketika Allah menyebutkan para laki-laki dan perempuan yang jujur, Allah lalu berfirman: “Allah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Kejujuran ini termasuk dalam deretan sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang beriman. Ketika Allah menyebut penghuni surga dan sifat-sifat mereka, Dia berfirman: “Yaitu orang-orang yang sabar dan benar (jujur)…” (QS. Ali Imran: 17). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Allah berfirman: Ini adalah hari ketika kebenaran (kejujuran) bermanfaat bagi orang-orang yang benar…” (QS. Al-Maidah: 119). Maka, seorang muslim sangat dianjurkan, bahkan wajib untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam seluruh keadaan dan urusannya. Serta menjauhi dusta, bahkan dalam perkara yang tampak sepele. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada anak kecil, “Kemarilah, aku beri sesuatu!” Nabi bertanya, “Apa yang akan kamu berikan?” Ia menjawab, “Kurma.” Nabi bersabda, “Kalau kamu tidak memberinya, niscaya dicatat atasmu satu kedustaan.” Hari ini, banyak orang yang meremehkan kedustaan, mereka menganggapnya sepele, bahkan sampai bersumpah atasnya. Sedangkan wanita dalam kisah tadi tidak bersumpah, tapi hanya berjanji kepada anak kecil itu. Namun, jika ia tidak menepati janji, maka ia dianggap sebagai pendusta. Jika dalam kondisi biasa saja seseorang wajib berkata jujur, meskipun tidak diiringi dengan sumpah, maka bagaimana jika kejujuran itu diiringi dengan sumpah, saudara-saudara? Tentu lebih wajib baginya untuk jujur. Karena jika ia tidak jujur, maka ia telah—na’udzubillah—menggabungkan dua dosa: berdusta kepada manusia, dan juga berdusta dalam sumpahnya, wahai saudara-saudara sekalian. ==== قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ وَتَمَامُ الصِّدْقِ يَا شَيْخُ نَاصِرُ فِي ثَلَاثَةِ أُمُورٍ مَا هِيَ؟ فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَفِي إِرَادَتِهِ وَمَقْصَدِهِ تَجْتَمِعُ هَذِهِ الْأَنْوَاعُ الثَّلَاثَةُ فَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكْتُبَ الْعَبْدَ فِي الصَّادِقِين وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ قَالَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا فِي جُمْلَةِ أَوْصَافٍ اتَّصَفَ بِهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وَلَمَّا ذَكَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافَهُمْ قَالَ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِيْنَ صِدْقُهُمْ فَيَتَأَكَّدُ عَلَى الْمُسْلِمِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَأُمُورِهِ وَأَنْ يَتَجَنَّبَ الْكَذِبَ حَتَّى فِي الْأُمُورِ الْيَسِيرَةِ كَمَا قَالَتْ امْرَأَةٌ لِصَبِيٍّ تَعَالَ أُعْطِيكَ قَالَ مَاذَا تُعْطِيْهِ؟ قَالَتْ أُعْطِيْهِ تَمْرَةً قَالَ أَمَّا لَمْ تُعْطِيهِ كُتِبَتْ عَلَيْكِ مَاذَا؟ كَذْبَةٌ الْيَوْمَ يَتَسَارَعُ وَيَتَهَاوَنُ النَّاسُ بِهَا وَيَتَسَاهَلُونَ وَقَدْ يَحْلِفُونَ عَلَيْهَا مَعَ أَنَّهَا مَا حَلَفَتْ هِيَ لَكِنْ وَعَدَتْهُ فَلَوْ لَمْ تَفِ لَاعْتُبِرَتْ كَاذِبَةً فَإِذَا كَانَ الصِّدْقُ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ يَمِيْنٌ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِذَا كَانَ مَعَهُ يَمِينٌ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَصْدُقَ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصْدُقْ جَمَعَ عِيَاذًا بِاللَّهِ بَيْنَ الْكَذِبِ عَلَى النَّاسِ وَالْكَذِبِ أَيْضًا فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ الْكَذِبِ فِي يَمِينِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan Dan kebaikan akan menuntun menuju surga. Seseorang akan senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (ṣiddīq). Sebaliknya, jauhilah dusta, karena dusta menuntun kepada kefasikan, dan sungguh kefasikan menuntun menuju neraka. Seseorang akan terus berdusta dan berupaya untuk berdusta. hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari & Muslim). Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!” (QS. At-Taubah: 119). Kejujuran yang sempurna itu, wahai Syaikh Nashir, terwujud dengan tiga perkara, apa saja itu? Jujur dalam ucapan, perbuatan, dan niatnya. Jika tiga jenis kejujuran ini terkumpul pada seseorang, semoga Allah mencatatnya sebagai orang-orang yang jujur. Ketika Allah menyebutkan para laki-laki dan perempuan yang jujur, Allah lalu berfirman: “Allah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Kejujuran ini termasuk dalam deretan sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang beriman. Ketika Allah menyebut penghuni surga dan sifat-sifat mereka, Dia berfirman: “Yaitu orang-orang yang sabar dan benar (jujur)…” (QS. Ali Imran: 17). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Allah berfirman: Ini adalah hari ketika kebenaran (kejujuran) bermanfaat bagi orang-orang yang benar…” (QS. Al-Maidah: 119). Maka, seorang muslim sangat dianjurkan, bahkan wajib untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam seluruh keadaan dan urusannya. Serta menjauhi dusta, bahkan dalam perkara yang tampak sepele. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada anak kecil, “Kemarilah, aku beri sesuatu!” Nabi bertanya, “Apa yang akan kamu berikan?” Ia menjawab, “Kurma.” Nabi bersabda, “Kalau kamu tidak memberinya, niscaya dicatat atasmu satu kedustaan.” Hari ini, banyak orang yang meremehkan kedustaan, mereka menganggapnya sepele, bahkan sampai bersumpah atasnya. Sedangkan wanita dalam kisah tadi tidak bersumpah, tapi hanya berjanji kepada anak kecil itu. Namun, jika ia tidak menepati janji, maka ia dianggap sebagai pendusta. Jika dalam kondisi biasa saja seseorang wajib berkata jujur, meskipun tidak diiringi dengan sumpah, maka bagaimana jika kejujuran itu diiringi dengan sumpah, saudara-saudara? Tentu lebih wajib baginya untuk jujur. Karena jika ia tidak jujur, maka ia telah—na’udzubillah—menggabungkan dua dosa: berdusta kepada manusia, dan juga berdusta dalam sumpahnya, wahai saudara-saudara sekalian. ==== قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ وَتَمَامُ الصِّدْقِ يَا شَيْخُ نَاصِرُ فِي ثَلَاثَةِ أُمُورٍ مَا هِيَ؟ فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَفِي إِرَادَتِهِ وَمَقْصَدِهِ تَجْتَمِعُ هَذِهِ الْأَنْوَاعُ الثَّلَاثَةُ فَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكْتُبَ الْعَبْدَ فِي الصَّادِقِين وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ قَالَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا فِي جُمْلَةِ أَوْصَافٍ اتَّصَفَ بِهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وَلَمَّا ذَكَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافَهُمْ قَالَ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِيْنَ صِدْقُهُمْ فَيَتَأَكَّدُ عَلَى الْمُسْلِمِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَأُمُورِهِ وَأَنْ يَتَجَنَّبَ الْكَذِبَ حَتَّى فِي الْأُمُورِ الْيَسِيرَةِ كَمَا قَالَتْ امْرَأَةٌ لِصَبِيٍّ تَعَالَ أُعْطِيكَ قَالَ مَاذَا تُعْطِيْهِ؟ قَالَتْ أُعْطِيْهِ تَمْرَةً قَالَ أَمَّا لَمْ تُعْطِيهِ كُتِبَتْ عَلَيْكِ مَاذَا؟ كَذْبَةٌ الْيَوْمَ يَتَسَارَعُ وَيَتَهَاوَنُ النَّاسُ بِهَا وَيَتَسَاهَلُونَ وَقَدْ يَحْلِفُونَ عَلَيْهَا مَعَ أَنَّهَا مَا حَلَفَتْ هِيَ لَكِنْ وَعَدَتْهُ فَلَوْ لَمْ تَفِ لَاعْتُبِرَتْ كَاذِبَةً فَإِذَا كَانَ الصِّدْقُ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ يَمِيْنٌ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِذَا كَانَ مَعَهُ يَمِينٌ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَصْدُقَ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصْدُقْ جَمَعَ عِيَاذًا بِاللَّهِ بَيْنَ الْكَذِبِ عَلَى النَّاسِ وَالْكَذِبِ أَيْضًا فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ الْكَذِبِ فِي يَمِينِهِ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan Dan kebaikan akan menuntun menuju surga. Seseorang akan senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur, hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (ṣiddīq). Sebaliknya, jauhilah dusta, karena dusta menuntun kepada kefasikan, dan sungguh kefasikan menuntun menuju neraka. Seseorang akan terus berdusta dan berupaya untuk berdusta. hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari & Muslim). Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!” (QS. At-Taubah: 119). Kejujuran yang sempurna itu, wahai Syaikh Nashir, terwujud dengan tiga perkara, apa saja itu? Jujur dalam ucapan, perbuatan, dan niatnya. Jika tiga jenis kejujuran ini terkumpul pada seseorang, semoga Allah mencatatnya sebagai orang-orang yang jujur. Ketika Allah menyebutkan para laki-laki dan perempuan yang jujur, Allah lalu berfirman: “Allah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Kejujuran ini termasuk dalam deretan sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang beriman. Ketika Allah menyebut penghuni surga dan sifat-sifat mereka, Dia berfirman: “Yaitu orang-orang yang sabar dan benar (jujur)…” (QS. Ali Imran: 17). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “Allah berfirman: Ini adalah hari ketika kebenaran (kejujuran) bermanfaat bagi orang-orang yang benar…” (QS. Al-Maidah: 119). Maka, seorang muslim sangat dianjurkan, bahkan wajib untuk senantiasa menjaga kejujuran dalam seluruh keadaan dan urusannya. Serta menjauhi dusta, bahkan dalam perkara yang tampak sepele. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada anak kecil, “Kemarilah, aku beri sesuatu!” Nabi bertanya, “Apa yang akan kamu berikan?” Ia menjawab, “Kurma.” Nabi bersabda, “Kalau kamu tidak memberinya, niscaya dicatat atasmu satu kedustaan.” Hari ini, banyak orang yang meremehkan kedustaan, mereka menganggapnya sepele, bahkan sampai bersumpah atasnya. Sedangkan wanita dalam kisah tadi tidak bersumpah, tapi hanya berjanji kepada anak kecil itu. Namun, jika ia tidak menepati janji, maka ia dianggap sebagai pendusta. Jika dalam kondisi biasa saja seseorang wajib berkata jujur, meskipun tidak diiringi dengan sumpah, maka bagaimana jika kejujuran itu diiringi dengan sumpah, saudara-saudara? Tentu lebih wajib baginya untuk jujur. Karena jika ia tidak jujur, maka ia telah—na’udzubillah—menggabungkan dua dosa: berdusta kepada manusia, dan juga berdusta dalam sumpahnya, wahai saudara-saudara sekalian. ==== قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا قَالَ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ وَتَمَامُ الصِّدْقِ يَا شَيْخُ نَاصِرُ فِي ثَلَاثَةِ أُمُورٍ مَا هِيَ؟ فِي قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَفِي إِرَادَتِهِ وَمَقْصَدِهِ تَجْتَمِعُ هَذِهِ الْأَنْوَاعُ الثَّلَاثَةُ فَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكْتُبَ الْعَبْدَ فِي الصَّادِقِين وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ قَالَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا فِي جُمْلَةِ أَوْصَافٍ اتَّصَفَ بِهَا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ وَلَمَّا ذَكَرَ أَهْلَ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافَهُمْ قَالَ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِيْنَ صِدْقُهُمْ فَيَتَأَكَّدُ عَلَى الْمُسْلِمِ بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَأُمُورِهِ وَأَنْ يَتَجَنَّبَ الْكَذِبَ حَتَّى فِي الْأُمُورِ الْيَسِيرَةِ كَمَا قَالَتْ امْرَأَةٌ لِصَبِيٍّ تَعَالَ أُعْطِيكَ قَالَ مَاذَا تُعْطِيْهِ؟ قَالَتْ أُعْطِيْهِ تَمْرَةً قَالَ أَمَّا لَمْ تُعْطِيهِ كُتِبَتْ عَلَيْكِ مَاذَا؟ كَذْبَةٌ الْيَوْمَ يَتَسَارَعُ وَيَتَهَاوَنُ النَّاسُ بِهَا وَيَتَسَاهَلُونَ وَقَدْ يَحْلِفُونَ عَلَيْهَا مَعَ أَنَّهَا مَا حَلَفَتْ هِيَ لَكِنْ وَعَدَتْهُ فَلَوْ لَمْ تَفِ لَاعْتُبِرَتْ كَاذِبَةً فَإِذَا كَانَ الصِّدْقُ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ يَمِيْنٌ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِذَا كَانَ مَعَهُ يَمِينٌ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَصْدُقَ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصْدُقْ جَمَعَ عِيَاذًا بِاللَّهِ بَيْنَ الْكَذِبِ عَلَى النَّاسِ وَالْكَذِبِ أَيْضًا فِي مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ الْكَذِبِ فِي يَمِينِهِ

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 3)

Daftar Isi ToggleTatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Menghargai kejujurannyaMengingat jasa dan kedudukannyaMengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataDalam potongan kisah hidup Nabi ﷺ, beliau berinteraksi dengan beragam orang. Termasuk para pendosa dari kalangan kafir maupun para sahabat terdekatnya. Interaksi tersebut melahirkan faedah besar yang tiada habisnya untuk dikaji oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Tentu ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada Nabi-Nya ﷺ serta menunjukkan kesempurnaan sifat insaniyah yang dimilikinya.Salah satu teladan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa adalah menghargai kejujurannya. Terdapat sebuah riwayat tentang Hathib bin Abi Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukan sebuah dosa besar dan kesalahan fatal yang dapat membahayakan kaum muslimin juga Nabi ﷺ. Hathib radhiyallahu anhu pernah membocorkan rahasia kekuatan militer dan strategi negara Islam kepada musyrikin Makkah. Dinukil dari Shahih Muslim (no. 4550) yang diriwayatkan Ali radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah diutus Nabi ﷺ bersama dua sahabat lainnya untuk mengejar seorang wanita yang sedang membawa surat keluar Madinah. Wanita itu mulanya tidak mengaku, lalu dengan sedikit paksaan, wanita itu pun mengeluarkan sebuah surat yang isinya,“Dari Hathib bin Abu Balta’ah untuk kaum kafir Quraisy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah ﷺ. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Hathib, apa ini?’ Hathib menjawab, ‘Wahai Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dahulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Dan tidaklah saya melakukannya karena kafir ataupun murtad dari agama saya, dan tidak juga karena rela menjadi kafir setelah masuk Islam.’Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kamu jujur!’ Lalu Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini!’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya dia (Hathib) telah mengikuti peperangan Badar. Tidakkah engkau mengetahui bisa jadi Allah melihat kepada orang-orang yang mengikuti perang Badar dan berfirman (yang artinya), ‘Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!'”Dari kisah Hathib di atas, dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:Tatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Rasulullah ﷺ saat mendapatkan kenyataan isi surat tersebut tidak langsung menghukumi Hathib radhiyallahu anhu. Namun, Rasulullah ﷺ memastikan isinya lalu mengklarifikasinya kepada Hathib. Inilah adab Nabi ﷺ dalam menerima kabar dan menyikapi para pendosa. Sebagaimana yang telah kami nukilkan dalam kisah sahabat yang berhubungan badan saat siang hari bulan Ramadhan (tulisan bag. 1), Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi secara jelas kepada orangnya tersebut. Nabi ﷺ memastikan apa yang dilakukan benar-benar dosa dan mengklarifikasi alasan di baliknya.Dalam konteks kisah Hathib radhiyallahu anhu, Nabi ﷺ telah mendapatkan kepastian dari rencana membocorkan rahasia negara dari arah perjalanan si wanita kurir surat, serta isinya yang menyebut nama Hathib dan berkaitan dengan strategi negara. Maka, Nabi ﷺ pun melakukan tahap kedua yakni tabayyun dengan Hathib radhiyallahu anhu.Inilah akhlak Islam yang indah dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sebuah permasalahan hendaknya diletakkan pada tempatnya, baik dari segi kegentingan maupun volume permasalahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan permasalahan itu benar-benar terjadi, serta mencari keterangan atau alasan di balik hal itu terjadi. Kedua pondasi akhlak tersebut adalah at-tatsabbut dan at-tabayyun. Ini adalah akhlak yang agung, semoga Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi kami untuk membahasnya dan mengambil faedah dari bagian ilmu Allah ﷻ ini.Menghargai kejujurannyaSetelah Nabi ﷺ meminta klarifikasi, Hathib radhiyallahu anhu pun memberikan klarifikasinya dan menerangkan alasannya. Ternyata Hathib radhiyallahu anhu melakukannya karena khawatir dengan keluarganya, yakni anak, istri, dan kerabatnya yang masih berada di Makkah. Beliau tidak memiliki pelindung keluarga di sana, sedangkan para sahabat Nabi ﷺ lainnya memilikinya. Maka, Hathib radhiyallahu anhu pun melakukan hal tersebut agar keluarganya mendapatkan perlindungan atau setidaknya meredakan rasa khawatir Hathib atas bahaya yang menghantui keluarganya.Sungguh Hathib radhiyallahu anhu telah jujur dengan alasannya, inilah yang terlihat dari zahirnya pernyataan Hathib radhiyallahu anhu dan inilah yang dinilai Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menerima klarifikasi tersebut dan menghargai kejujurannya Hathib radhiyallahu anhu. Harga kejujuran di sisi Nabi ﷺ sangatlah besar. Bagi para pendosa yang jujur, Rasulullah ﷺ memberikan rahmatnya begitu luas. Lihatlah kesamaan kisah di antara para sahabat Nabi ﷺ yang pernah berzina dan mengakui kesalahannya, serta kisah Kaab bin Malik yang mengakui dirinya tak ikut berperang? Semua kisah itu memiliki asas kejujuran dari pelakunya dan hasil akhir yang baik atas mereka. Pada kisah sahabat yang berzina, Nabi ﷺ bela mereka dan jelaskan bahwa tobat mereka begitu besar harganya di sisi Allah ﷻ. Dalam kisah Kaab, beliau justru mendapatkan hasil akhir yang baik dan menjadi kisah taubat yang epik.Hendaknya seseorang menghargai kejujuran dari para pelaku dosa. Sebab hal tersebut adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Kalau tidak datang dari hati yang beriman kepada Allah As-Sami’ Al-Bashir Al-‘Alim, tentu para pendosa akan berkilah dan menutupi dosanya atau bahkan berbohong. Namun, keimanannya kepada Rabbnya menuntun mereka untuk menjejaki hukum hadd dari syariat yang berat. Kejujuran itu juga menjadi penanda bahwa si pelaku lebih menakuti hukuman akhirat daripada di dunia. Sehingga terlihat di sisinya, kampung akhirat lebih berharga dari dunia. Ini adalah keimanan yang besar, tentu nilainya tidaklah ringan. Maka, pantaslah menghargai kejujuran tersebut.Mengingat jasa dan kedudukannyaRasulullah ﷺ setelah membenarkan klarifikasi Hathib, beliau juga mengaitkan hal tersebut dengan jasa dan kedudukannya Hathib radhiyallahu anhu. Tatkala Umar radhiyallahu anhu sudah hendak memenggal kepalanya, Rasulullah ﷺ ingatkan tentang jasa dan kedudukan Hathib radhiyallahu anhu di perang Badar. Sampai Umar radhiyallahu anhu menangis mengingat posisi dirinya yang terasa seperti melampaui pengetahuan Nabi ﷺ.Ini juga seni menyikapi pendosa yang indah dan sangat layak untuk diteladani. Sebuah dosa tidak membuat jasa dan kedudukan seseorang serta-merta hilang. Hathib radhiyallahu anhu, bagaimanapun besarnya dosanya, tetaplah seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar. Tidak hanya Nabi ﷺ yang menghargai jasanya, tetapi Allah ﷻ menghargai jasanya sebagaimana yang tersebutkan,اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”Maka, selayaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan menghilangkan jasa orang lain hanya karena orang tersebut berdosa. Mungkin saja dosa itu teramat besar, mungkin saja dosa itu fatal sebagaimana yang dilakukan Hathib radhiyallahu anhu, tetapi dosa tersebut tidak semestinya membuat kebaikan seseorang sirna. Inilah bentuk sifat keadilan itu. Dan sebaik-baik teladan dalam mempraktikkan keadilan di sisi manusia adalah Imamul Anbiya, Rasulullah ﷺ.Mengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataAsas terakhir yang dapat kita pelajari dari pendeknya uraian ini adalah kacamata kasih sayang yang digunakan Nabi ﷺ untuk melihat kasus ini. Terkadang apa yang menjadi alasan ini tak bisa diterima semua orang, termasuk Umar radhiyallahu anhu yang memiliki kecerdasan dan kewara’an. Namun, Rasulullah ﷺ melihatnya dengan sikap rahmat, berusaha berempati dan memahami kegelisahan Hathib radhiyallahu anhu, seorang ayah yang tengah gelisah melindungi keluarganya nan jauh di sana.Sekarang, bayangkan anda memiliki anak dan istri yang rentan sedang tinggal di Gaza. Bagaimana perasaan Anda? Apalagi jika datang tawaran perlindungan keluarga apabila Anda memberitahukan rahasia negara Anda, sedangkan jika tidak, maka keluarga Anda terancam? Tentu ini adalah godaan yang tak mudah. Sekiranya inilah yang dialami Hathib radhiyallahu anhu.Maka, seorang muslim bukan membenarkan kesalahannya, tetapi mengedepankan empati untuk berusaha memahami keadaan diri si pelaku. Dengan begitu, maka akan terbuka pintu komunikasi, untuk berdialog dan mengajaknya bertobat. Tentu ini bukanlah hal yang mudah juga, karena rasionalitas kita terkadang terhalangi emosi yang menyala saat itu. Namun, sungguh sempurna teladan Rasulullah ﷺ. Meski alasan Nabi ﷺ valid karena vitalnya permasalahan ini, serta Umar radhiyallahu anhu yang juga tersulut emosi, Nabi ﷺ tetap bisa rasional dan memaafkan Hathib radhiyallahu anhu tanpa mencelanya sama sekali. Malah Nabi ﷺ mengangkat derajatnya dengan mengingatkan jasanya kepada Umar radhiyallahu anhu.Kami nukilkan faedah dari Prof. Dr. Raghib As Sirjani hafizhahullah, “Keadilan bisa saja menjatuhkan suatu hukuman kepada Hathib bin Balta’ah radhiyallahu anhu. Akan tetapi, kasih sayang bisa melihat sebuah urusan dengan cakupan yang lebih luas. Maka kita melihat siapa yang melakukan sebuah perbuatan, bagaimana sejarah hidupnya, apa presedennya, apa perbuatan masa lalunya, apakah ia orang baik atau tidak, dan apa latar belakang ia melakukan hal tersebut.Kasih sayang bukan berarti mengarah kepada rasa kasihan untuk menghukum. Tetapi, mencari dengan cepat sebuah solusi untuk mengeluarkan seorang dari kesusahan atau masalah yang menjeratnya.العدل درجة عظيمة.. ولكن الرحمة أعظمKeadilan adalah derajat yang besar, tetapi kasih sayang lebih besar.” (Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116)[Bersambung]Kembali ke bagian 2***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 3)

Daftar Isi ToggleTatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Menghargai kejujurannyaMengingat jasa dan kedudukannyaMengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataDalam potongan kisah hidup Nabi ﷺ, beliau berinteraksi dengan beragam orang. Termasuk para pendosa dari kalangan kafir maupun para sahabat terdekatnya. Interaksi tersebut melahirkan faedah besar yang tiada habisnya untuk dikaji oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Tentu ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada Nabi-Nya ﷺ serta menunjukkan kesempurnaan sifat insaniyah yang dimilikinya.Salah satu teladan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa adalah menghargai kejujurannya. Terdapat sebuah riwayat tentang Hathib bin Abi Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukan sebuah dosa besar dan kesalahan fatal yang dapat membahayakan kaum muslimin juga Nabi ﷺ. Hathib radhiyallahu anhu pernah membocorkan rahasia kekuatan militer dan strategi negara Islam kepada musyrikin Makkah. Dinukil dari Shahih Muslim (no. 4550) yang diriwayatkan Ali radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah diutus Nabi ﷺ bersama dua sahabat lainnya untuk mengejar seorang wanita yang sedang membawa surat keluar Madinah. Wanita itu mulanya tidak mengaku, lalu dengan sedikit paksaan, wanita itu pun mengeluarkan sebuah surat yang isinya,“Dari Hathib bin Abu Balta’ah untuk kaum kafir Quraisy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah ﷺ. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Hathib, apa ini?’ Hathib menjawab, ‘Wahai Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dahulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Dan tidaklah saya melakukannya karena kafir ataupun murtad dari agama saya, dan tidak juga karena rela menjadi kafir setelah masuk Islam.’Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kamu jujur!’ Lalu Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini!’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya dia (Hathib) telah mengikuti peperangan Badar. Tidakkah engkau mengetahui bisa jadi Allah melihat kepada orang-orang yang mengikuti perang Badar dan berfirman (yang artinya), ‘Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!'”Dari kisah Hathib di atas, dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:Tatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Rasulullah ﷺ saat mendapatkan kenyataan isi surat tersebut tidak langsung menghukumi Hathib radhiyallahu anhu. Namun, Rasulullah ﷺ memastikan isinya lalu mengklarifikasinya kepada Hathib. Inilah adab Nabi ﷺ dalam menerima kabar dan menyikapi para pendosa. Sebagaimana yang telah kami nukilkan dalam kisah sahabat yang berhubungan badan saat siang hari bulan Ramadhan (tulisan bag. 1), Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi secara jelas kepada orangnya tersebut. Nabi ﷺ memastikan apa yang dilakukan benar-benar dosa dan mengklarifikasi alasan di baliknya.Dalam konteks kisah Hathib radhiyallahu anhu, Nabi ﷺ telah mendapatkan kepastian dari rencana membocorkan rahasia negara dari arah perjalanan si wanita kurir surat, serta isinya yang menyebut nama Hathib dan berkaitan dengan strategi negara. Maka, Nabi ﷺ pun melakukan tahap kedua yakni tabayyun dengan Hathib radhiyallahu anhu.Inilah akhlak Islam yang indah dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sebuah permasalahan hendaknya diletakkan pada tempatnya, baik dari segi kegentingan maupun volume permasalahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan permasalahan itu benar-benar terjadi, serta mencari keterangan atau alasan di balik hal itu terjadi. Kedua pondasi akhlak tersebut adalah at-tatsabbut dan at-tabayyun. Ini adalah akhlak yang agung, semoga Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi kami untuk membahasnya dan mengambil faedah dari bagian ilmu Allah ﷻ ini.Menghargai kejujurannyaSetelah Nabi ﷺ meminta klarifikasi, Hathib radhiyallahu anhu pun memberikan klarifikasinya dan menerangkan alasannya. Ternyata Hathib radhiyallahu anhu melakukannya karena khawatir dengan keluarganya, yakni anak, istri, dan kerabatnya yang masih berada di Makkah. Beliau tidak memiliki pelindung keluarga di sana, sedangkan para sahabat Nabi ﷺ lainnya memilikinya. Maka, Hathib radhiyallahu anhu pun melakukan hal tersebut agar keluarganya mendapatkan perlindungan atau setidaknya meredakan rasa khawatir Hathib atas bahaya yang menghantui keluarganya.Sungguh Hathib radhiyallahu anhu telah jujur dengan alasannya, inilah yang terlihat dari zahirnya pernyataan Hathib radhiyallahu anhu dan inilah yang dinilai Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menerima klarifikasi tersebut dan menghargai kejujurannya Hathib radhiyallahu anhu. Harga kejujuran di sisi Nabi ﷺ sangatlah besar. Bagi para pendosa yang jujur, Rasulullah ﷺ memberikan rahmatnya begitu luas. Lihatlah kesamaan kisah di antara para sahabat Nabi ﷺ yang pernah berzina dan mengakui kesalahannya, serta kisah Kaab bin Malik yang mengakui dirinya tak ikut berperang? Semua kisah itu memiliki asas kejujuran dari pelakunya dan hasil akhir yang baik atas mereka. Pada kisah sahabat yang berzina, Nabi ﷺ bela mereka dan jelaskan bahwa tobat mereka begitu besar harganya di sisi Allah ﷻ. Dalam kisah Kaab, beliau justru mendapatkan hasil akhir yang baik dan menjadi kisah taubat yang epik.Hendaknya seseorang menghargai kejujuran dari para pelaku dosa. Sebab hal tersebut adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Kalau tidak datang dari hati yang beriman kepada Allah As-Sami’ Al-Bashir Al-‘Alim, tentu para pendosa akan berkilah dan menutupi dosanya atau bahkan berbohong. Namun, keimanannya kepada Rabbnya menuntun mereka untuk menjejaki hukum hadd dari syariat yang berat. Kejujuran itu juga menjadi penanda bahwa si pelaku lebih menakuti hukuman akhirat daripada di dunia. Sehingga terlihat di sisinya, kampung akhirat lebih berharga dari dunia. Ini adalah keimanan yang besar, tentu nilainya tidaklah ringan. Maka, pantaslah menghargai kejujuran tersebut.Mengingat jasa dan kedudukannyaRasulullah ﷺ setelah membenarkan klarifikasi Hathib, beliau juga mengaitkan hal tersebut dengan jasa dan kedudukannya Hathib radhiyallahu anhu. Tatkala Umar radhiyallahu anhu sudah hendak memenggal kepalanya, Rasulullah ﷺ ingatkan tentang jasa dan kedudukan Hathib radhiyallahu anhu di perang Badar. Sampai Umar radhiyallahu anhu menangis mengingat posisi dirinya yang terasa seperti melampaui pengetahuan Nabi ﷺ.Ini juga seni menyikapi pendosa yang indah dan sangat layak untuk diteladani. Sebuah dosa tidak membuat jasa dan kedudukan seseorang serta-merta hilang. Hathib radhiyallahu anhu, bagaimanapun besarnya dosanya, tetaplah seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar. Tidak hanya Nabi ﷺ yang menghargai jasanya, tetapi Allah ﷻ menghargai jasanya sebagaimana yang tersebutkan,اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”Maka, selayaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan menghilangkan jasa orang lain hanya karena orang tersebut berdosa. Mungkin saja dosa itu teramat besar, mungkin saja dosa itu fatal sebagaimana yang dilakukan Hathib radhiyallahu anhu, tetapi dosa tersebut tidak semestinya membuat kebaikan seseorang sirna. Inilah bentuk sifat keadilan itu. Dan sebaik-baik teladan dalam mempraktikkan keadilan di sisi manusia adalah Imamul Anbiya, Rasulullah ﷺ.Mengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataAsas terakhir yang dapat kita pelajari dari pendeknya uraian ini adalah kacamata kasih sayang yang digunakan Nabi ﷺ untuk melihat kasus ini. Terkadang apa yang menjadi alasan ini tak bisa diterima semua orang, termasuk Umar radhiyallahu anhu yang memiliki kecerdasan dan kewara’an. Namun, Rasulullah ﷺ melihatnya dengan sikap rahmat, berusaha berempati dan memahami kegelisahan Hathib radhiyallahu anhu, seorang ayah yang tengah gelisah melindungi keluarganya nan jauh di sana.Sekarang, bayangkan anda memiliki anak dan istri yang rentan sedang tinggal di Gaza. Bagaimana perasaan Anda? Apalagi jika datang tawaran perlindungan keluarga apabila Anda memberitahukan rahasia negara Anda, sedangkan jika tidak, maka keluarga Anda terancam? Tentu ini adalah godaan yang tak mudah. Sekiranya inilah yang dialami Hathib radhiyallahu anhu.Maka, seorang muslim bukan membenarkan kesalahannya, tetapi mengedepankan empati untuk berusaha memahami keadaan diri si pelaku. Dengan begitu, maka akan terbuka pintu komunikasi, untuk berdialog dan mengajaknya bertobat. Tentu ini bukanlah hal yang mudah juga, karena rasionalitas kita terkadang terhalangi emosi yang menyala saat itu. Namun, sungguh sempurna teladan Rasulullah ﷺ. Meski alasan Nabi ﷺ valid karena vitalnya permasalahan ini, serta Umar radhiyallahu anhu yang juga tersulut emosi, Nabi ﷺ tetap bisa rasional dan memaafkan Hathib radhiyallahu anhu tanpa mencelanya sama sekali. Malah Nabi ﷺ mengangkat derajatnya dengan mengingatkan jasanya kepada Umar radhiyallahu anhu.Kami nukilkan faedah dari Prof. Dr. Raghib As Sirjani hafizhahullah, “Keadilan bisa saja menjatuhkan suatu hukuman kepada Hathib bin Balta’ah radhiyallahu anhu. Akan tetapi, kasih sayang bisa melihat sebuah urusan dengan cakupan yang lebih luas. Maka kita melihat siapa yang melakukan sebuah perbuatan, bagaimana sejarah hidupnya, apa presedennya, apa perbuatan masa lalunya, apakah ia orang baik atau tidak, dan apa latar belakang ia melakukan hal tersebut.Kasih sayang bukan berarti mengarah kepada rasa kasihan untuk menghukum. Tetapi, mencari dengan cepat sebuah solusi untuk mengeluarkan seorang dari kesusahan atau masalah yang menjeratnya.العدل درجة عظيمة.. ولكن الرحمة أعظمKeadilan adalah derajat yang besar, tetapi kasih sayang lebih besar.” (Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116)[Bersambung]Kembali ke bagian 2***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleTatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Menghargai kejujurannyaMengingat jasa dan kedudukannyaMengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataDalam potongan kisah hidup Nabi ﷺ, beliau berinteraksi dengan beragam orang. Termasuk para pendosa dari kalangan kafir maupun para sahabat terdekatnya. Interaksi tersebut melahirkan faedah besar yang tiada habisnya untuk dikaji oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Tentu ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada Nabi-Nya ﷺ serta menunjukkan kesempurnaan sifat insaniyah yang dimilikinya.Salah satu teladan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa adalah menghargai kejujurannya. Terdapat sebuah riwayat tentang Hathib bin Abi Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukan sebuah dosa besar dan kesalahan fatal yang dapat membahayakan kaum muslimin juga Nabi ﷺ. Hathib radhiyallahu anhu pernah membocorkan rahasia kekuatan militer dan strategi negara Islam kepada musyrikin Makkah. Dinukil dari Shahih Muslim (no. 4550) yang diriwayatkan Ali radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah diutus Nabi ﷺ bersama dua sahabat lainnya untuk mengejar seorang wanita yang sedang membawa surat keluar Madinah. Wanita itu mulanya tidak mengaku, lalu dengan sedikit paksaan, wanita itu pun mengeluarkan sebuah surat yang isinya,“Dari Hathib bin Abu Balta’ah untuk kaum kafir Quraisy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah ﷺ. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Hathib, apa ini?’ Hathib menjawab, ‘Wahai Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dahulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Dan tidaklah saya melakukannya karena kafir ataupun murtad dari agama saya, dan tidak juga karena rela menjadi kafir setelah masuk Islam.’Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kamu jujur!’ Lalu Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini!’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya dia (Hathib) telah mengikuti peperangan Badar. Tidakkah engkau mengetahui bisa jadi Allah melihat kepada orang-orang yang mengikuti perang Badar dan berfirman (yang artinya), ‘Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!'”Dari kisah Hathib di atas, dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:Tatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Rasulullah ﷺ saat mendapatkan kenyataan isi surat tersebut tidak langsung menghukumi Hathib radhiyallahu anhu. Namun, Rasulullah ﷺ memastikan isinya lalu mengklarifikasinya kepada Hathib. Inilah adab Nabi ﷺ dalam menerima kabar dan menyikapi para pendosa. Sebagaimana yang telah kami nukilkan dalam kisah sahabat yang berhubungan badan saat siang hari bulan Ramadhan (tulisan bag. 1), Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi secara jelas kepada orangnya tersebut. Nabi ﷺ memastikan apa yang dilakukan benar-benar dosa dan mengklarifikasi alasan di baliknya.Dalam konteks kisah Hathib radhiyallahu anhu, Nabi ﷺ telah mendapatkan kepastian dari rencana membocorkan rahasia negara dari arah perjalanan si wanita kurir surat, serta isinya yang menyebut nama Hathib dan berkaitan dengan strategi negara. Maka, Nabi ﷺ pun melakukan tahap kedua yakni tabayyun dengan Hathib radhiyallahu anhu.Inilah akhlak Islam yang indah dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sebuah permasalahan hendaknya diletakkan pada tempatnya, baik dari segi kegentingan maupun volume permasalahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan permasalahan itu benar-benar terjadi, serta mencari keterangan atau alasan di balik hal itu terjadi. Kedua pondasi akhlak tersebut adalah at-tatsabbut dan at-tabayyun. Ini adalah akhlak yang agung, semoga Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi kami untuk membahasnya dan mengambil faedah dari bagian ilmu Allah ﷻ ini.Menghargai kejujurannyaSetelah Nabi ﷺ meminta klarifikasi, Hathib radhiyallahu anhu pun memberikan klarifikasinya dan menerangkan alasannya. Ternyata Hathib radhiyallahu anhu melakukannya karena khawatir dengan keluarganya, yakni anak, istri, dan kerabatnya yang masih berada di Makkah. Beliau tidak memiliki pelindung keluarga di sana, sedangkan para sahabat Nabi ﷺ lainnya memilikinya. Maka, Hathib radhiyallahu anhu pun melakukan hal tersebut agar keluarganya mendapatkan perlindungan atau setidaknya meredakan rasa khawatir Hathib atas bahaya yang menghantui keluarganya.Sungguh Hathib radhiyallahu anhu telah jujur dengan alasannya, inilah yang terlihat dari zahirnya pernyataan Hathib radhiyallahu anhu dan inilah yang dinilai Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menerima klarifikasi tersebut dan menghargai kejujurannya Hathib radhiyallahu anhu. Harga kejujuran di sisi Nabi ﷺ sangatlah besar. Bagi para pendosa yang jujur, Rasulullah ﷺ memberikan rahmatnya begitu luas. Lihatlah kesamaan kisah di antara para sahabat Nabi ﷺ yang pernah berzina dan mengakui kesalahannya, serta kisah Kaab bin Malik yang mengakui dirinya tak ikut berperang? Semua kisah itu memiliki asas kejujuran dari pelakunya dan hasil akhir yang baik atas mereka. Pada kisah sahabat yang berzina, Nabi ﷺ bela mereka dan jelaskan bahwa tobat mereka begitu besar harganya di sisi Allah ﷻ. Dalam kisah Kaab, beliau justru mendapatkan hasil akhir yang baik dan menjadi kisah taubat yang epik.Hendaknya seseorang menghargai kejujuran dari para pelaku dosa. Sebab hal tersebut adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Kalau tidak datang dari hati yang beriman kepada Allah As-Sami’ Al-Bashir Al-‘Alim, tentu para pendosa akan berkilah dan menutupi dosanya atau bahkan berbohong. Namun, keimanannya kepada Rabbnya menuntun mereka untuk menjejaki hukum hadd dari syariat yang berat. Kejujuran itu juga menjadi penanda bahwa si pelaku lebih menakuti hukuman akhirat daripada di dunia. Sehingga terlihat di sisinya, kampung akhirat lebih berharga dari dunia. Ini adalah keimanan yang besar, tentu nilainya tidaklah ringan. Maka, pantaslah menghargai kejujuran tersebut.Mengingat jasa dan kedudukannyaRasulullah ﷺ setelah membenarkan klarifikasi Hathib, beliau juga mengaitkan hal tersebut dengan jasa dan kedudukannya Hathib radhiyallahu anhu. Tatkala Umar radhiyallahu anhu sudah hendak memenggal kepalanya, Rasulullah ﷺ ingatkan tentang jasa dan kedudukan Hathib radhiyallahu anhu di perang Badar. Sampai Umar radhiyallahu anhu menangis mengingat posisi dirinya yang terasa seperti melampaui pengetahuan Nabi ﷺ.Ini juga seni menyikapi pendosa yang indah dan sangat layak untuk diteladani. Sebuah dosa tidak membuat jasa dan kedudukan seseorang serta-merta hilang. Hathib radhiyallahu anhu, bagaimanapun besarnya dosanya, tetaplah seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar. Tidak hanya Nabi ﷺ yang menghargai jasanya, tetapi Allah ﷻ menghargai jasanya sebagaimana yang tersebutkan,اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”Maka, selayaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan menghilangkan jasa orang lain hanya karena orang tersebut berdosa. Mungkin saja dosa itu teramat besar, mungkin saja dosa itu fatal sebagaimana yang dilakukan Hathib radhiyallahu anhu, tetapi dosa tersebut tidak semestinya membuat kebaikan seseorang sirna. Inilah bentuk sifat keadilan itu. Dan sebaik-baik teladan dalam mempraktikkan keadilan di sisi manusia adalah Imamul Anbiya, Rasulullah ﷺ.Mengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataAsas terakhir yang dapat kita pelajari dari pendeknya uraian ini adalah kacamata kasih sayang yang digunakan Nabi ﷺ untuk melihat kasus ini. Terkadang apa yang menjadi alasan ini tak bisa diterima semua orang, termasuk Umar radhiyallahu anhu yang memiliki kecerdasan dan kewara’an. Namun, Rasulullah ﷺ melihatnya dengan sikap rahmat, berusaha berempati dan memahami kegelisahan Hathib radhiyallahu anhu, seorang ayah yang tengah gelisah melindungi keluarganya nan jauh di sana.Sekarang, bayangkan anda memiliki anak dan istri yang rentan sedang tinggal di Gaza. Bagaimana perasaan Anda? Apalagi jika datang tawaran perlindungan keluarga apabila Anda memberitahukan rahasia negara Anda, sedangkan jika tidak, maka keluarga Anda terancam? Tentu ini adalah godaan yang tak mudah. Sekiranya inilah yang dialami Hathib radhiyallahu anhu.Maka, seorang muslim bukan membenarkan kesalahannya, tetapi mengedepankan empati untuk berusaha memahami keadaan diri si pelaku. Dengan begitu, maka akan terbuka pintu komunikasi, untuk berdialog dan mengajaknya bertobat. Tentu ini bukanlah hal yang mudah juga, karena rasionalitas kita terkadang terhalangi emosi yang menyala saat itu. Namun, sungguh sempurna teladan Rasulullah ﷺ. Meski alasan Nabi ﷺ valid karena vitalnya permasalahan ini, serta Umar radhiyallahu anhu yang juga tersulut emosi, Nabi ﷺ tetap bisa rasional dan memaafkan Hathib radhiyallahu anhu tanpa mencelanya sama sekali. Malah Nabi ﷺ mengangkat derajatnya dengan mengingatkan jasanya kepada Umar radhiyallahu anhu.Kami nukilkan faedah dari Prof. Dr. Raghib As Sirjani hafizhahullah, “Keadilan bisa saja menjatuhkan suatu hukuman kepada Hathib bin Balta’ah radhiyallahu anhu. Akan tetapi, kasih sayang bisa melihat sebuah urusan dengan cakupan yang lebih luas. Maka kita melihat siapa yang melakukan sebuah perbuatan, bagaimana sejarah hidupnya, apa presedennya, apa perbuatan masa lalunya, apakah ia orang baik atau tidak, dan apa latar belakang ia melakukan hal tersebut.Kasih sayang bukan berarti mengarah kepada rasa kasihan untuk menghukum. Tetapi, mencari dengan cepat sebuah solusi untuk mengeluarkan seorang dari kesusahan atau masalah yang menjeratnya.العدل درجة عظيمة.. ولكن الرحمة أعظمKeadilan adalah derajat yang besar, tetapi kasih sayang lebih besar.” (Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116)[Bersambung]Kembali ke bagian 2***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleTatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Menghargai kejujurannyaMengingat jasa dan kedudukannyaMengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataDalam potongan kisah hidup Nabi ﷺ, beliau berinteraksi dengan beragam orang. Termasuk para pendosa dari kalangan kafir maupun para sahabat terdekatnya. Interaksi tersebut melahirkan faedah besar yang tiada habisnya untuk dikaji oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Tentu ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada Nabi-Nya ﷺ serta menunjukkan kesempurnaan sifat insaniyah yang dimilikinya.Salah satu teladan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa adalah menghargai kejujurannya. Terdapat sebuah riwayat tentang Hathib bin Abi Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukan sebuah dosa besar dan kesalahan fatal yang dapat membahayakan kaum muslimin juga Nabi ﷺ. Hathib radhiyallahu anhu pernah membocorkan rahasia kekuatan militer dan strategi negara Islam kepada musyrikin Makkah. Dinukil dari Shahih Muslim (no. 4550) yang diriwayatkan Ali radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah diutus Nabi ﷺ bersama dua sahabat lainnya untuk mengejar seorang wanita yang sedang membawa surat keluar Madinah. Wanita itu mulanya tidak mengaku, lalu dengan sedikit paksaan, wanita itu pun mengeluarkan sebuah surat yang isinya,“Dari Hathib bin Abu Balta’ah untuk kaum kafir Quraisy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah ﷺ. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Hathib, apa ini?’ Hathib menjawab, ‘Wahai Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dahulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Dan tidaklah saya melakukannya karena kafir ataupun murtad dari agama saya, dan tidak juga karena rela menjadi kafir setelah masuk Islam.’Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kamu jujur!’ Lalu Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini!’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya dia (Hathib) telah mengikuti peperangan Badar. Tidakkah engkau mengetahui bisa jadi Allah melihat kepada orang-orang yang mengikuti perang Badar dan berfirman (yang artinya), ‘Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!'”Dari kisah Hathib di atas, dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:Tatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)Rasulullah ﷺ saat mendapatkan kenyataan isi surat tersebut tidak langsung menghukumi Hathib radhiyallahu anhu. Namun, Rasulullah ﷺ memastikan isinya lalu mengklarifikasinya kepada Hathib. Inilah adab Nabi ﷺ dalam menerima kabar dan menyikapi para pendosa. Sebagaimana yang telah kami nukilkan dalam kisah sahabat yang berhubungan badan saat siang hari bulan Ramadhan (tulisan bag. 1), Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi secara jelas kepada orangnya tersebut. Nabi ﷺ memastikan apa yang dilakukan benar-benar dosa dan mengklarifikasi alasan di baliknya.Dalam konteks kisah Hathib radhiyallahu anhu, Nabi ﷺ telah mendapatkan kepastian dari rencana membocorkan rahasia negara dari arah perjalanan si wanita kurir surat, serta isinya yang menyebut nama Hathib dan berkaitan dengan strategi negara. Maka, Nabi ﷺ pun melakukan tahap kedua yakni tabayyun dengan Hathib radhiyallahu anhu.Inilah akhlak Islam yang indah dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sebuah permasalahan hendaknya diletakkan pada tempatnya, baik dari segi kegentingan maupun volume permasalahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan permasalahan itu benar-benar terjadi, serta mencari keterangan atau alasan di balik hal itu terjadi. Kedua pondasi akhlak tersebut adalah at-tatsabbut dan at-tabayyun. Ini adalah akhlak yang agung, semoga Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi kami untuk membahasnya dan mengambil faedah dari bagian ilmu Allah ﷻ ini.Menghargai kejujurannyaSetelah Nabi ﷺ meminta klarifikasi, Hathib radhiyallahu anhu pun memberikan klarifikasinya dan menerangkan alasannya. Ternyata Hathib radhiyallahu anhu melakukannya karena khawatir dengan keluarganya, yakni anak, istri, dan kerabatnya yang masih berada di Makkah. Beliau tidak memiliki pelindung keluarga di sana, sedangkan para sahabat Nabi ﷺ lainnya memilikinya. Maka, Hathib radhiyallahu anhu pun melakukan hal tersebut agar keluarganya mendapatkan perlindungan atau setidaknya meredakan rasa khawatir Hathib atas bahaya yang menghantui keluarganya.Sungguh Hathib radhiyallahu anhu telah jujur dengan alasannya, inilah yang terlihat dari zahirnya pernyataan Hathib radhiyallahu anhu dan inilah yang dinilai Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menerima klarifikasi tersebut dan menghargai kejujurannya Hathib radhiyallahu anhu. Harga kejujuran di sisi Nabi ﷺ sangatlah besar. Bagi para pendosa yang jujur, Rasulullah ﷺ memberikan rahmatnya begitu luas. Lihatlah kesamaan kisah di antara para sahabat Nabi ﷺ yang pernah berzina dan mengakui kesalahannya, serta kisah Kaab bin Malik yang mengakui dirinya tak ikut berperang? Semua kisah itu memiliki asas kejujuran dari pelakunya dan hasil akhir yang baik atas mereka. Pada kisah sahabat yang berzina, Nabi ﷺ bela mereka dan jelaskan bahwa tobat mereka begitu besar harganya di sisi Allah ﷻ. Dalam kisah Kaab, beliau justru mendapatkan hasil akhir yang baik dan menjadi kisah taubat yang epik.Hendaknya seseorang menghargai kejujuran dari para pelaku dosa. Sebab hal tersebut adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Kalau tidak datang dari hati yang beriman kepada Allah As-Sami’ Al-Bashir Al-‘Alim, tentu para pendosa akan berkilah dan menutupi dosanya atau bahkan berbohong. Namun, keimanannya kepada Rabbnya menuntun mereka untuk menjejaki hukum hadd dari syariat yang berat. Kejujuran itu juga menjadi penanda bahwa si pelaku lebih menakuti hukuman akhirat daripada di dunia. Sehingga terlihat di sisinya, kampung akhirat lebih berharga dari dunia. Ini adalah keimanan yang besar, tentu nilainya tidaklah ringan. Maka, pantaslah menghargai kejujuran tersebut.Mengingat jasa dan kedudukannyaRasulullah ﷺ setelah membenarkan klarifikasi Hathib, beliau juga mengaitkan hal tersebut dengan jasa dan kedudukannya Hathib radhiyallahu anhu. Tatkala Umar radhiyallahu anhu sudah hendak memenggal kepalanya, Rasulullah ﷺ ingatkan tentang jasa dan kedudukan Hathib radhiyallahu anhu di perang Badar. Sampai Umar radhiyallahu anhu menangis mengingat posisi dirinya yang terasa seperti melampaui pengetahuan Nabi ﷺ.Ini juga seni menyikapi pendosa yang indah dan sangat layak untuk diteladani. Sebuah dosa tidak membuat jasa dan kedudukan seseorang serta-merta hilang. Hathib radhiyallahu anhu, bagaimanapun besarnya dosanya, tetaplah seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar. Tidak hanya Nabi ﷺ yang menghargai jasanya, tetapi Allah ﷻ menghargai jasanya sebagaimana yang tersebutkan,اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”Maka, selayaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan menghilangkan jasa orang lain hanya karena orang tersebut berdosa. Mungkin saja dosa itu teramat besar, mungkin saja dosa itu fatal sebagaimana yang dilakukan Hathib radhiyallahu anhu, tetapi dosa tersebut tidak semestinya membuat kebaikan seseorang sirna. Inilah bentuk sifat keadilan itu. Dan sebaik-baik teladan dalam mempraktikkan keadilan di sisi manusia adalah Imamul Anbiya, Rasulullah ﷺ.Mengedepankan kasih sayang daripada keadilan semataAsas terakhir yang dapat kita pelajari dari pendeknya uraian ini adalah kacamata kasih sayang yang digunakan Nabi ﷺ untuk melihat kasus ini. Terkadang apa yang menjadi alasan ini tak bisa diterima semua orang, termasuk Umar radhiyallahu anhu yang memiliki kecerdasan dan kewara’an. Namun, Rasulullah ﷺ melihatnya dengan sikap rahmat, berusaha berempati dan memahami kegelisahan Hathib radhiyallahu anhu, seorang ayah yang tengah gelisah melindungi keluarganya nan jauh di sana.Sekarang, bayangkan anda memiliki anak dan istri yang rentan sedang tinggal di Gaza. Bagaimana perasaan Anda? Apalagi jika datang tawaran perlindungan keluarga apabila Anda memberitahukan rahasia negara Anda, sedangkan jika tidak, maka keluarga Anda terancam? Tentu ini adalah godaan yang tak mudah. Sekiranya inilah yang dialami Hathib radhiyallahu anhu.Maka, seorang muslim bukan membenarkan kesalahannya, tetapi mengedepankan empati untuk berusaha memahami keadaan diri si pelaku. Dengan begitu, maka akan terbuka pintu komunikasi, untuk berdialog dan mengajaknya bertobat. Tentu ini bukanlah hal yang mudah juga, karena rasionalitas kita terkadang terhalangi emosi yang menyala saat itu. Namun, sungguh sempurna teladan Rasulullah ﷺ. Meski alasan Nabi ﷺ valid karena vitalnya permasalahan ini, serta Umar radhiyallahu anhu yang juga tersulut emosi, Nabi ﷺ tetap bisa rasional dan memaafkan Hathib radhiyallahu anhu tanpa mencelanya sama sekali. Malah Nabi ﷺ mengangkat derajatnya dengan mengingatkan jasanya kepada Umar radhiyallahu anhu.Kami nukilkan faedah dari Prof. Dr. Raghib As Sirjani hafizhahullah, “Keadilan bisa saja menjatuhkan suatu hukuman kepada Hathib bin Balta’ah radhiyallahu anhu. Akan tetapi, kasih sayang bisa melihat sebuah urusan dengan cakupan yang lebih luas. Maka kita melihat siapa yang melakukan sebuah perbuatan, bagaimana sejarah hidupnya, apa presedennya, apa perbuatan masa lalunya, apakah ia orang baik atau tidak, dan apa latar belakang ia melakukan hal tersebut.Kasih sayang bukan berarti mengarah kepada rasa kasihan untuk menghukum. Tetapi, mencari dengan cepat sebuah solusi untuk mengeluarkan seorang dari kesusahan atau masalah yang menjeratnya.العدل درجة عظيمة.. ولكن الرحمة أعظمKeadilan adalah derajat yang besar, tetapi kasih sayang lebih besar.” (Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116)[Bersambung]Kembali ke bagian 2***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id

10 Wasiat untuk 10 Hari Pertama Dzulhijjah

الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة Oleh:  Dr. Abdus Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس العَشر من ذي الحجَّة موسم من أعظم مواسم الخير، وعُرس من أعراسها المباركة قال ابن حجر: “والذي يَظهر أنَّ السَّبب بامتياز عشر ذي الحجة؛ لمكان اجتماع أمَّهات العِبادة فيه، وهي: الصَّلاة، والصِّيام، والصَّدقة، والحجُّ، ولا يتأتَّى ذلك في غيره” وقد أرشدَنا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلم إلى عددٍ من الوظائف التي يَنبغي على المسلم أن يقوم بها، وهي Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan salah satu musim kebaikan yang paling agung dan pestanya yang penuh berkah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tampaknya sebab keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena menjadi waktu berkumpulnya inti-inti ibadah, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji, dan ini tidak terjadi pada waktu selainnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita beberapa tugas yang hendaknya dilaksanakan oleh seorang Muslim pada hari-hari ini, yaitu: 1- الإكثار من الأعمال الصالحة فعن ابن عبَّاس قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيها أحبُّ إلى الله من هذه الأيام العشر))، قالوا: يا رسُولَ الله، ولا الجِهادُ في سبيل الله؟! قال: ((ولا الجِهادُ في سبيل الله، إلاَّ رجُلٌ خرج بنفسه ومالِه ثُمَّ لم يَرجع من ذلك بشيء))؛ رواه البخاري 1. Memperbanyak amal shalehDiriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشَرَةِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Bahkan jihad di jalan Allah (tidak dapat menandinginya)?” Beliau menjawab, “Bahkan jihad di jalan Allah! Kecuali seseorang yang pergi berjihad dengan diri dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apapun darinya (dia terbunuh dan hartanya habis).” (HR. al-Bukhari). 2- المحافظة على صلاة الفجر في جماعة، والذِّكر بعدها حتى تطلع الشمس وصلاة الضحىفعن أنس بن مالكٍ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلَّى الغداةَ في جماعةٍ ثُمَّ قعد يذكرُ اللهَ حتى تطلُع الشَّمسُ ثُمَّ صلَّى ركعتين، كانت له كأجر حجَّةٍ وعُمرة)).قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((تامَّةٍ تامَّةٍ تامَّةٍ))؛ أخرجه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ غريبٌ 2. Konsisten mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu berzikir setelahnya hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat dhuhaDiriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ “Barang siapa yang mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu ia tetap duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia mendirikan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah.” Anas menambahkan, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Pahala haji dan umrah) yang sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan gharib). 3- المحافظة على صيام الأيام العَشر وهي: مستحبَّة استحبابًا شديدًا؛ كما قال الإمام النَّووي، لأنَّها من الأعمال الصالحات؛ ففي مسند أحمد: ((لم يكُن يدَع النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: صيامَ عاشُوراء، والعشر، وثلاثة أيَّامٍ من كُلِّ شهرٍ)). 3. Konsisten berpuasa pada hari-hari ini (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah – pen)Puasa ini merupakan sunnah yang sangat ditekankan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, karena ia salah satu amal shaleh. Dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa Asyura (10 Muharram), puasa sepuluh hari Dzulhijjah (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah), dan puasa tiga hari setiap bulan. 4- صيام يوم عرفة لغير الحاجِّ عن أبي قتادة عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: ((صيامُ يوم عرَفة، إنِّي أَحتسبُ على الله أن يُكفِّر السَّنةَ التي قبلَه والسَّنة التي بعده))؛ رواه مسلم 4. Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak menunaikan hajiDiriwayatkan dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR. Muslim). 5- المحافظة على قيام ليالي العشر وقد أقسم الله بهنَّ إذ قال: ﴿ وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ ﴾ [الفجر: 1، 2]، قال ابن كثير: المراد بها عَشر ذي الحجَّة 5. Konsisten mendirikan shalat malam pada sepuluh hari iniAllah Ta’ala telah bersumpah dengan sepuluh hari ini dalam firman-Nya: وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi waktu fajar, dan demi malam yang sepuluh!” (QS. Al-Fajr: 1-2).  Ibnu Katsir mengatakan, “Yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” 6- الإكثار من الذِّكر والاستغفار والتكبير امتثالاً لقول الله تعالى: ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]، قال ابن عباس: أيَّام العشر؛ يعني: عَشر ذي الحجَّة، مع يوم عرَفَة والعيد.وعن ابن عبَّاسٍ قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العملُ فيهنَّ من أيام العشر؛ فأكثروا فيهنَّ التَّسبيح والتَّكبير)). 6. Memperbanyak zikir, istighfar, dan takbir Hal ini sebagai pengamalan atas firman Allah Ta’ala: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ  “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28). Ibnu Abbas berkata, “Sepuluh hari, yakni pada bulan Dzulhijah, termasuk hari Arafah dan hari raya Idul Adha.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ  “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan pada hari-hari tersebut.” 7- الإكثار من التكبير عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما أهلَّ مُهلٌّ قطُّ، ولا كبَّر مُكبِّرٌ قطُّ، إلاَّ بُشِّر))، قيل: يا رسولَ الله بالجنَّة؟ قال: ((نعم)) وقال المنذري: إسناده رجال الصَّحيح وعن ابن عمر رضي الله عنهما مرفوعًا: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العمل فيهنَّ من هذه الأيَّام العشر؛ فأكثرُوا فيهنَّ من التَّهليل والتَّكبير والتَّحميد))؛ قال ابن حجر في “الأمالي المطلقة (ص14)”: “هذا حديث حسن • “وقد كان ابن عمر وأبو هريرة يَخرجان إلى السُّوق في أيَّام العشر يكبِّران ويكبِّر الناس بتكبيرهما”؛ أخرجه البخاريُّ تعليقًا بصيغة الجزم، وأخرجه موصولاً الفاكهيُّ في أخبار مكَّة • وقال ابنُ رجب في فتح الباري (9/ 8 – 9): “وروى جعفر الفريابي، من رواية يزيد بن أبي زياد، قال: رأيتُ سعيد بن جبير وعبدالرحمن بن أبي ليلى ومجاهدًا – أو اثنين من هؤلاء الثلاثة – ومَن رَأينا من فقهاء النَّاس يقولون في أيَّام العشر: “الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد • وروى المروزيُّ، عن ميمون بن مهران، قال: “أدركتُ الناس وإنَّهم ليكبِّرون في العشر ويبدأ التكبير من صبح يوم عَرفة إلى العصر من آخر أيَّام التشريق عند جمهور الفقهاء ويُسنُّ بعد كلِّ صلاة، ولا سيما عند الخروج إلى العيد، وفي جميع الأوقات ولا يُخصُّ بمكان؛ فيكبر في السُّوق، وفي الطريق، ونحو ذلك 7. Memperbanyak takbir Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَهَلَّ مُهِلٌّ قَطُّ ولا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ قَطُّ إلَّا بُشِّرَ، قيل: يا رسولَ اللهِ، بالجَنَّةِ؟ قال: نَعَمْ  “Tidaklah ada orang yang mengeraskan suara zikirnya dan tidaklah ada orang yang mengucapkan takbir, melainkan akan diberi kabar gembira.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kabar gembira berupa surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Al-Mundziri mengatakan, “Sanad hadits ini adalah para perawi hadits shahih.” Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfu: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ والتَّحميدِ “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Amali al-Muthlaqah halaman 14, “Ini adalah hadits yang hasan.” Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sambil menggaungkan takbir, lalu orang-orang juga bertakbir mengikuti takbir mereka berdua. (Diriwayatkan al-Bukhari secara Mu’allaq (tanpa menyebutkan para perawi), tapi dengan ungkapan yang tegas. Diriwayatkan juga oleh al-Fakihi dalam Akhbar Makkah secara Maushul (rantai sanad para perawinya tidak terputus). Ibnu Rajab dalam kitab Fath al-Bari jilid 9 hlm. 8-9 mengatakan, “Ja’far al-Firyabi meriwayatkan dari Yazid bin Abi Ziyad bahwa ia menceritakan, ‘Aku melihat Said bin Jabir, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Mujahid —atau dua di antara tiga dari mereka— serta para ulama fikih yang kami temui bahwa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah mereka mengucapkan: ALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR! LAA ILAAHA ILLALLAAH! WALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR WA LILLAAHIL HAMDU.’” Al-Marwazi meriwayatkan dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Aku berjumpa dengan orang-orang (para sahabat), dan mereka bertakbir pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah…” Menurut mayoritas ulama, takbir dimulai sejak subuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga Asar pada hari terakhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Disunnahkan untuk bertakbir setiap selesai shalat fardhu, terlebih lagi ketika pergi menuju shalat Id, juga setiap waktu dan tidak terikat dengan tempat tertentu, sehingga disunnahkan untuk bertakbir di pasar, jalan, dan lain sebagainya. 8- الأضحية وهي سنَّة مؤكَّدة، قال ابن قُدامة في المغني: “أجمع المسلمون على مشروعيَّة الأضحية؛ اقتداء بأبينا إبراهيم عليه السلام، واتِّباعًا لسنَّة نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض، فطيبوا بها نفسا أخرجه الترمذي في جامعه برقم: (1493) وقال: حديث حسن.وقال: وفي الباب عن عمران بن حصين وزيد بن أرقم عن زيد بن أرقم قال: قال أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا رسُولَ الله، ما هذه الأضاحي؟ قال: ((سُنَّةُ أبيكُم إبراهيم)) قالوا: فما لنا فيها يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ حسنة)) قالوا: فالصُّوفُ يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ من الصُّوف حسنة))؛ أخرجه ابن ماجه ووقتها من بَعد صلاة العيد يوم النَّحر إلى غروب الشَّمس من آخر يومٍ من أيام التَّشريق، ويجوز الذَّبح ليلاً ونهارًا  8. Menyembelih kurban Ini merupakan amalan sunnah muakkad (ditekankan). Ibnu Qudamah dalam kitab “al-Mughni” berkata, “Kaum Muslimin sepakat disyariatkannya menyembelih kurban, sebagai peneladanan ayah kita, Ibrahim ‘alaihis salam, dan penerapan sunnah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ وَإِنَّهُ لَيُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ الله بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا “Tidaklah manusia beramal suatu amalan pada hari an-Nahr (hari raya kurban 10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih kurban. Hewan kurban itu akan didatangkan pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya, dan darah yang menetes itu akan sampai kepada Allah sebelum darah itu sampai di tanah, maka bergembiralah dengan itu.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami no. 1493. Ia berkata, “Hadits ini hasan.” Juga berkata, “Dalam bab ini juga diriwayatkan hadits lain dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam”). Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kurban-kurban ini itu apa?” Beliau menjawab, “Ia sunnah ayah kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang kami dapatkan darinya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai rambutnya bernilai satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Begitu juga bulu dombanya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai bulunya bernilai kebaikan.” (HR. Ibnu Majah). Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir hari tasyriq. Penyembelihan boleh dilakukan pada siang ataupun malam hari. 9- إذا أردتَ أن تضحِّي فامتنِع عن أخذ شيء من شَعرك وأظفارك. فعن أمِّ سلَمة ترفعُه قالَت: قال صلى الله عليه وسلم: ((إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا))؛ أخرجه مسلم 9. Apabila kamu hendak berkurban, maka jangan memotong rambut dan kukumu Diriwayatkan dari Ummu Salamah secara marfu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا “Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan ia punya hewan kurban yang hendak ia sembelih, maka janganlah sekali-kali ia mencukur rambut dan memotong kukunya.” (HR. Muslim). 10- حال السلَف في العشر من ذي الحجة • كان سعيد بن جُبير إذا دخلَت أيَّام العشر اجتهد اجتهادًا شديدًا حتى ما يَكاد يَقدر عليه؛ سنن الدارمي (2/ 41). • وعنه قال: “لا تُطفئوا سُرجكم ليالي العشر • ويقول: “يقِّظوا خدمَكم يتسحَّرون لصوم يوم عرَفة”؛ سير أعلام النبلاء (4/ 326) • وعن الحسَن البصري أنَّه قال: “صيام يَومٍ من العشر يعدِل شهرين”؛ الدر المنثور (ج 8/ 501) • وكان السَّلَف ينوِّعون من العبادات في عشر ذي الحج • فقد قال عمر بن الخطاب: “لا بأس بِقضاء رمضان في العشر • وكان الحسَن البصري يَكره أن يتطوَّع بصيامٍ وعليه قضاء من رمضان إلاَّ العشر • وعن أبي معن قال: رأيتُ جابر بن زيد وأبا العالية اعتمرا في العشر • وكان الحافظ ابن عساكر يَعتكف في شهر رمضان، وعشر ذي الحجَّة 10. Keadaan para Salaf pada sepuluh hari pertama DZulhijjah Dulu Said bin Jubair apabila memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah akan bersungguh-sungguh dalam ibadah hingga hampir tidak kuat lagi. (Kitab Sunan ad-Darimi, jilid 1 hlm. 41). Diriwayatkan juga darinya bahwa ia berkata, “Janganlah kalian mematikan lampu penerang kalian pada sepuluh malam ini.” Ia juga berkata, “Bangunkanlah para pembantu kalian agar mereka makan sahur untuk puasa hari Arafah.” (Kitab Siyar A’lam an-Nubala, jilid 4 hlm. 326). Diriwayatkan dari Hasan al-Basri, ia berkata, “Puasa satu hari dari hari-hari pertama bulan Dzulhijjah setara dengan puasa dua bulan.” (Kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 8 hlm. 501). Dulu para salaf melakukan beraneka ragam ibadah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Umar bin Khattab berkata, “Boleh berpuasa qadha Ramadhan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Dulu Hasan al-Basri memakruhkan untuk berpuasa sunnah sedangkan seseorang masih punya tanggungan qadha Ramadhan, kecuali pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dulu al-Hafizh Ibnu ‘Asakir beriktikaf pada bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sumber: https://www.alukah.net/الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة! Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 235 times, 1 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid

10 Wasiat untuk 10 Hari Pertama Dzulhijjah

الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة Oleh:  Dr. Abdus Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس العَشر من ذي الحجَّة موسم من أعظم مواسم الخير، وعُرس من أعراسها المباركة قال ابن حجر: “والذي يَظهر أنَّ السَّبب بامتياز عشر ذي الحجة؛ لمكان اجتماع أمَّهات العِبادة فيه، وهي: الصَّلاة، والصِّيام، والصَّدقة، والحجُّ، ولا يتأتَّى ذلك في غيره” وقد أرشدَنا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلم إلى عددٍ من الوظائف التي يَنبغي على المسلم أن يقوم بها، وهي Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan salah satu musim kebaikan yang paling agung dan pestanya yang penuh berkah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tampaknya sebab keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena menjadi waktu berkumpulnya inti-inti ibadah, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji, dan ini tidak terjadi pada waktu selainnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita beberapa tugas yang hendaknya dilaksanakan oleh seorang Muslim pada hari-hari ini, yaitu: 1- الإكثار من الأعمال الصالحة فعن ابن عبَّاس قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيها أحبُّ إلى الله من هذه الأيام العشر))، قالوا: يا رسُولَ الله، ولا الجِهادُ في سبيل الله؟! قال: ((ولا الجِهادُ في سبيل الله، إلاَّ رجُلٌ خرج بنفسه ومالِه ثُمَّ لم يَرجع من ذلك بشيء))؛ رواه البخاري 1. Memperbanyak amal shalehDiriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشَرَةِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Bahkan jihad di jalan Allah (tidak dapat menandinginya)?” Beliau menjawab, “Bahkan jihad di jalan Allah! Kecuali seseorang yang pergi berjihad dengan diri dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apapun darinya (dia terbunuh dan hartanya habis).” (HR. al-Bukhari). 2- المحافظة على صلاة الفجر في جماعة، والذِّكر بعدها حتى تطلع الشمس وصلاة الضحىفعن أنس بن مالكٍ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلَّى الغداةَ في جماعةٍ ثُمَّ قعد يذكرُ اللهَ حتى تطلُع الشَّمسُ ثُمَّ صلَّى ركعتين، كانت له كأجر حجَّةٍ وعُمرة)).قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((تامَّةٍ تامَّةٍ تامَّةٍ))؛ أخرجه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ غريبٌ 2. Konsisten mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu berzikir setelahnya hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat dhuhaDiriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ “Barang siapa yang mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu ia tetap duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia mendirikan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah.” Anas menambahkan, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Pahala haji dan umrah) yang sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan gharib). 3- المحافظة على صيام الأيام العَشر وهي: مستحبَّة استحبابًا شديدًا؛ كما قال الإمام النَّووي، لأنَّها من الأعمال الصالحات؛ ففي مسند أحمد: ((لم يكُن يدَع النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: صيامَ عاشُوراء، والعشر، وثلاثة أيَّامٍ من كُلِّ شهرٍ)). 3. Konsisten berpuasa pada hari-hari ini (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah – pen)Puasa ini merupakan sunnah yang sangat ditekankan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, karena ia salah satu amal shaleh. Dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa Asyura (10 Muharram), puasa sepuluh hari Dzulhijjah (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah), dan puasa tiga hari setiap bulan. 4- صيام يوم عرفة لغير الحاجِّ عن أبي قتادة عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: ((صيامُ يوم عرَفة، إنِّي أَحتسبُ على الله أن يُكفِّر السَّنةَ التي قبلَه والسَّنة التي بعده))؛ رواه مسلم 4. Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak menunaikan hajiDiriwayatkan dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR. Muslim). 5- المحافظة على قيام ليالي العشر وقد أقسم الله بهنَّ إذ قال: ﴿ وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ ﴾ [الفجر: 1، 2]، قال ابن كثير: المراد بها عَشر ذي الحجَّة 5. Konsisten mendirikan shalat malam pada sepuluh hari iniAllah Ta’ala telah bersumpah dengan sepuluh hari ini dalam firman-Nya: وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi waktu fajar, dan demi malam yang sepuluh!” (QS. Al-Fajr: 1-2).  Ibnu Katsir mengatakan, “Yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” 6- الإكثار من الذِّكر والاستغفار والتكبير امتثالاً لقول الله تعالى: ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]، قال ابن عباس: أيَّام العشر؛ يعني: عَشر ذي الحجَّة، مع يوم عرَفَة والعيد.وعن ابن عبَّاسٍ قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العملُ فيهنَّ من أيام العشر؛ فأكثروا فيهنَّ التَّسبيح والتَّكبير)). 6. Memperbanyak zikir, istighfar, dan takbir Hal ini sebagai pengamalan atas firman Allah Ta’ala: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ  “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28). Ibnu Abbas berkata, “Sepuluh hari, yakni pada bulan Dzulhijah, termasuk hari Arafah dan hari raya Idul Adha.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ  “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan pada hari-hari tersebut.” 7- الإكثار من التكبير عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما أهلَّ مُهلٌّ قطُّ، ولا كبَّر مُكبِّرٌ قطُّ، إلاَّ بُشِّر))، قيل: يا رسولَ الله بالجنَّة؟ قال: ((نعم)) وقال المنذري: إسناده رجال الصَّحيح وعن ابن عمر رضي الله عنهما مرفوعًا: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العمل فيهنَّ من هذه الأيَّام العشر؛ فأكثرُوا فيهنَّ من التَّهليل والتَّكبير والتَّحميد))؛ قال ابن حجر في “الأمالي المطلقة (ص14)”: “هذا حديث حسن • “وقد كان ابن عمر وأبو هريرة يَخرجان إلى السُّوق في أيَّام العشر يكبِّران ويكبِّر الناس بتكبيرهما”؛ أخرجه البخاريُّ تعليقًا بصيغة الجزم، وأخرجه موصولاً الفاكهيُّ في أخبار مكَّة • وقال ابنُ رجب في فتح الباري (9/ 8 – 9): “وروى جعفر الفريابي، من رواية يزيد بن أبي زياد، قال: رأيتُ سعيد بن جبير وعبدالرحمن بن أبي ليلى ومجاهدًا – أو اثنين من هؤلاء الثلاثة – ومَن رَأينا من فقهاء النَّاس يقولون في أيَّام العشر: “الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد • وروى المروزيُّ، عن ميمون بن مهران، قال: “أدركتُ الناس وإنَّهم ليكبِّرون في العشر ويبدأ التكبير من صبح يوم عَرفة إلى العصر من آخر أيَّام التشريق عند جمهور الفقهاء ويُسنُّ بعد كلِّ صلاة، ولا سيما عند الخروج إلى العيد، وفي جميع الأوقات ولا يُخصُّ بمكان؛ فيكبر في السُّوق، وفي الطريق، ونحو ذلك 7. Memperbanyak takbir Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَهَلَّ مُهِلٌّ قَطُّ ولا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ قَطُّ إلَّا بُشِّرَ، قيل: يا رسولَ اللهِ، بالجَنَّةِ؟ قال: نَعَمْ  “Tidaklah ada orang yang mengeraskan suara zikirnya dan tidaklah ada orang yang mengucapkan takbir, melainkan akan diberi kabar gembira.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kabar gembira berupa surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Al-Mundziri mengatakan, “Sanad hadits ini adalah para perawi hadits shahih.” Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfu: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ والتَّحميدِ “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Amali al-Muthlaqah halaman 14, “Ini adalah hadits yang hasan.” Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sambil menggaungkan takbir, lalu orang-orang juga bertakbir mengikuti takbir mereka berdua. (Diriwayatkan al-Bukhari secara Mu’allaq (tanpa menyebutkan para perawi), tapi dengan ungkapan yang tegas. Diriwayatkan juga oleh al-Fakihi dalam Akhbar Makkah secara Maushul (rantai sanad para perawinya tidak terputus). Ibnu Rajab dalam kitab Fath al-Bari jilid 9 hlm. 8-9 mengatakan, “Ja’far al-Firyabi meriwayatkan dari Yazid bin Abi Ziyad bahwa ia menceritakan, ‘Aku melihat Said bin Jabir, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Mujahid —atau dua di antara tiga dari mereka— serta para ulama fikih yang kami temui bahwa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah mereka mengucapkan: ALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR! LAA ILAAHA ILLALLAAH! WALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR WA LILLAAHIL HAMDU.’” Al-Marwazi meriwayatkan dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Aku berjumpa dengan orang-orang (para sahabat), dan mereka bertakbir pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah…” Menurut mayoritas ulama, takbir dimulai sejak subuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga Asar pada hari terakhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Disunnahkan untuk bertakbir setiap selesai shalat fardhu, terlebih lagi ketika pergi menuju shalat Id, juga setiap waktu dan tidak terikat dengan tempat tertentu, sehingga disunnahkan untuk bertakbir di pasar, jalan, dan lain sebagainya. 8- الأضحية وهي سنَّة مؤكَّدة، قال ابن قُدامة في المغني: “أجمع المسلمون على مشروعيَّة الأضحية؛ اقتداء بأبينا إبراهيم عليه السلام، واتِّباعًا لسنَّة نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض، فطيبوا بها نفسا أخرجه الترمذي في جامعه برقم: (1493) وقال: حديث حسن.وقال: وفي الباب عن عمران بن حصين وزيد بن أرقم عن زيد بن أرقم قال: قال أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا رسُولَ الله، ما هذه الأضاحي؟ قال: ((سُنَّةُ أبيكُم إبراهيم)) قالوا: فما لنا فيها يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ حسنة)) قالوا: فالصُّوفُ يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ من الصُّوف حسنة))؛ أخرجه ابن ماجه ووقتها من بَعد صلاة العيد يوم النَّحر إلى غروب الشَّمس من آخر يومٍ من أيام التَّشريق، ويجوز الذَّبح ليلاً ونهارًا  8. Menyembelih kurban Ini merupakan amalan sunnah muakkad (ditekankan). Ibnu Qudamah dalam kitab “al-Mughni” berkata, “Kaum Muslimin sepakat disyariatkannya menyembelih kurban, sebagai peneladanan ayah kita, Ibrahim ‘alaihis salam, dan penerapan sunnah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ وَإِنَّهُ لَيُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ الله بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا “Tidaklah manusia beramal suatu amalan pada hari an-Nahr (hari raya kurban 10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih kurban. Hewan kurban itu akan didatangkan pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya, dan darah yang menetes itu akan sampai kepada Allah sebelum darah itu sampai di tanah, maka bergembiralah dengan itu.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami no. 1493. Ia berkata, “Hadits ini hasan.” Juga berkata, “Dalam bab ini juga diriwayatkan hadits lain dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam”). Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kurban-kurban ini itu apa?” Beliau menjawab, “Ia sunnah ayah kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang kami dapatkan darinya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai rambutnya bernilai satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Begitu juga bulu dombanya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai bulunya bernilai kebaikan.” (HR. Ibnu Majah). Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir hari tasyriq. Penyembelihan boleh dilakukan pada siang ataupun malam hari. 9- إذا أردتَ أن تضحِّي فامتنِع عن أخذ شيء من شَعرك وأظفارك. فعن أمِّ سلَمة ترفعُه قالَت: قال صلى الله عليه وسلم: ((إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا))؛ أخرجه مسلم 9. Apabila kamu hendak berkurban, maka jangan memotong rambut dan kukumu Diriwayatkan dari Ummu Salamah secara marfu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا “Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan ia punya hewan kurban yang hendak ia sembelih, maka janganlah sekali-kali ia mencukur rambut dan memotong kukunya.” (HR. Muslim). 10- حال السلَف في العشر من ذي الحجة • كان سعيد بن جُبير إذا دخلَت أيَّام العشر اجتهد اجتهادًا شديدًا حتى ما يَكاد يَقدر عليه؛ سنن الدارمي (2/ 41). • وعنه قال: “لا تُطفئوا سُرجكم ليالي العشر • ويقول: “يقِّظوا خدمَكم يتسحَّرون لصوم يوم عرَفة”؛ سير أعلام النبلاء (4/ 326) • وعن الحسَن البصري أنَّه قال: “صيام يَومٍ من العشر يعدِل شهرين”؛ الدر المنثور (ج 8/ 501) • وكان السَّلَف ينوِّعون من العبادات في عشر ذي الحج • فقد قال عمر بن الخطاب: “لا بأس بِقضاء رمضان في العشر • وكان الحسَن البصري يَكره أن يتطوَّع بصيامٍ وعليه قضاء من رمضان إلاَّ العشر • وعن أبي معن قال: رأيتُ جابر بن زيد وأبا العالية اعتمرا في العشر • وكان الحافظ ابن عساكر يَعتكف في شهر رمضان، وعشر ذي الحجَّة 10. Keadaan para Salaf pada sepuluh hari pertama DZulhijjah Dulu Said bin Jubair apabila memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah akan bersungguh-sungguh dalam ibadah hingga hampir tidak kuat lagi. (Kitab Sunan ad-Darimi, jilid 1 hlm. 41). Diriwayatkan juga darinya bahwa ia berkata, “Janganlah kalian mematikan lampu penerang kalian pada sepuluh malam ini.” Ia juga berkata, “Bangunkanlah para pembantu kalian agar mereka makan sahur untuk puasa hari Arafah.” (Kitab Siyar A’lam an-Nubala, jilid 4 hlm. 326). Diriwayatkan dari Hasan al-Basri, ia berkata, “Puasa satu hari dari hari-hari pertama bulan Dzulhijjah setara dengan puasa dua bulan.” (Kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 8 hlm. 501). Dulu para salaf melakukan beraneka ragam ibadah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Umar bin Khattab berkata, “Boleh berpuasa qadha Ramadhan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Dulu Hasan al-Basri memakruhkan untuk berpuasa sunnah sedangkan seseorang masih punya tanggungan qadha Ramadhan, kecuali pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dulu al-Hafizh Ibnu ‘Asakir beriktikaf pada bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sumber: https://www.alukah.net/الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة! Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 235 times, 1 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid
الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة Oleh:  Dr. Abdus Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس العَشر من ذي الحجَّة موسم من أعظم مواسم الخير، وعُرس من أعراسها المباركة قال ابن حجر: “والذي يَظهر أنَّ السَّبب بامتياز عشر ذي الحجة؛ لمكان اجتماع أمَّهات العِبادة فيه، وهي: الصَّلاة، والصِّيام، والصَّدقة، والحجُّ، ولا يتأتَّى ذلك في غيره” وقد أرشدَنا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلم إلى عددٍ من الوظائف التي يَنبغي على المسلم أن يقوم بها، وهي Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan salah satu musim kebaikan yang paling agung dan pestanya yang penuh berkah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tampaknya sebab keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena menjadi waktu berkumpulnya inti-inti ibadah, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji, dan ini tidak terjadi pada waktu selainnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita beberapa tugas yang hendaknya dilaksanakan oleh seorang Muslim pada hari-hari ini, yaitu: 1- الإكثار من الأعمال الصالحة فعن ابن عبَّاس قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيها أحبُّ إلى الله من هذه الأيام العشر))، قالوا: يا رسُولَ الله، ولا الجِهادُ في سبيل الله؟! قال: ((ولا الجِهادُ في سبيل الله، إلاَّ رجُلٌ خرج بنفسه ومالِه ثُمَّ لم يَرجع من ذلك بشيء))؛ رواه البخاري 1. Memperbanyak amal shalehDiriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشَرَةِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Bahkan jihad di jalan Allah (tidak dapat menandinginya)?” Beliau menjawab, “Bahkan jihad di jalan Allah! Kecuali seseorang yang pergi berjihad dengan diri dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apapun darinya (dia terbunuh dan hartanya habis).” (HR. al-Bukhari). 2- المحافظة على صلاة الفجر في جماعة، والذِّكر بعدها حتى تطلع الشمس وصلاة الضحىفعن أنس بن مالكٍ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلَّى الغداةَ في جماعةٍ ثُمَّ قعد يذكرُ اللهَ حتى تطلُع الشَّمسُ ثُمَّ صلَّى ركعتين، كانت له كأجر حجَّةٍ وعُمرة)).قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((تامَّةٍ تامَّةٍ تامَّةٍ))؛ أخرجه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ غريبٌ 2. Konsisten mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu berzikir setelahnya hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat dhuhaDiriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ “Barang siapa yang mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu ia tetap duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia mendirikan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah.” Anas menambahkan, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Pahala haji dan umrah) yang sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan gharib). 3- المحافظة على صيام الأيام العَشر وهي: مستحبَّة استحبابًا شديدًا؛ كما قال الإمام النَّووي، لأنَّها من الأعمال الصالحات؛ ففي مسند أحمد: ((لم يكُن يدَع النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: صيامَ عاشُوراء، والعشر، وثلاثة أيَّامٍ من كُلِّ شهرٍ)). 3. Konsisten berpuasa pada hari-hari ini (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah – pen)Puasa ini merupakan sunnah yang sangat ditekankan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, karena ia salah satu amal shaleh. Dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa Asyura (10 Muharram), puasa sepuluh hari Dzulhijjah (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah), dan puasa tiga hari setiap bulan. 4- صيام يوم عرفة لغير الحاجِّ عن أبي قتادة عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: ((صيامُ يوم عرَفة، إنِّي أَحتسبُ على الله أن يُكفِّر السَّنةَ التي قبلَه والسَّنة التي بعده))؛ رواه مسلم 4. Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak menunaikan hajiDiriwayatkan dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR. Muslim). 5- المحافظة على قيام ليالي العشر وقد أقسم الله بهنَّ إذ قال: ﴿ وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ ﴾ [الفجر: 1، 2]، قال ابن كثير: المراد بها عَشر ذي الحجَّة 5. Konsisten mendirikan shalat malam pada sepuluh hari iniAllah Ta’ala telah bersumpah dengan sepuluh hari ini dalam firman-Nya: وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi waktu fajar, dan demi malam yang sepuluh!” (QS. Al-Fajr: 1-2).  Ibnu Katsir mengatakan, “Yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” 6- الإكثار من الذِّكر والاستغفار والتكبير امتثالاً لقول الله تعالى: ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]، قال ابن عباس: أيَّام العشر؛ يعني: عَشر ذي الحجَّة، مع يوم عرَفَة والعيد.وعن ابن عبَّاسٍ قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العملُ فيهنَّ من أيام العشر؛ فأكثروا فيهنَّ التَّسبيح والتَّكبير)). 6. Memperbanyak zikir, istighfar, dan takbir Hal ini sebagai pengamalan atas firman Allah Ta’ala: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ  “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28). Ibnu Abbas berkata, “Sepuluh hari, yakni pada bulan Dzulhijah, termasuk hari Arafah dan hari raya Idul Adha.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ  “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan pada hari-hari tersebut.” 7- الإكثار من التكبير عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما أهلَّ مُهلٌّ قطُّ، ولا كبَّر مُكبِّرٌ قطُّ، إلاَّ بُشِّر))، قيل: يا رسولَ الله بالجنَّة؟ قال: ((نعم)) وقال المنذري: إسناده رجال الصَّحيح وعن ابن عمر رضي الله عنهما مرفوعًا: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العمل فيهنَّ من هذه الأيَّام العشر؛ فأكثرُوا فيهنَّ من التَّهليل والتَّكبير والتَّحميد))؛ قال ابن حجر في “الأمالي المطلقة (ص14)”: “هذا حديث حسن • “وقد كان ابن عمر وأبو هريرة يَخرجان إلى السُّوق في أيَّام العشر يكبِّران ويكبِّر الناس بتكبيرهما”؛ أخرجه البخاريُّ تعليقًا بصيغة الجزم، وأخرجه موصولاً الفاكهيُّ في أخبار مكَّة • وقال ابنُ رجب في فتح الباري (9/ 8 – 9): “وروى جعفر الفريابي، من رواية يزيد بن أبي زياد، قال: رأيتُ سعيد بن جبير وعبدالرحمن بن أبي ليلى ومجاهدًا – أو اثنين من هؤلاء الثلاثة – ومَن رَأينا من فقهاء النَّاس يقولون في أيَّام العشر: “الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد • وروى المروزيُّ، عن ميمون بن مهران، قال: “أدركتُ الناس وإنَّهم ليكبِّرون في العشر ويبدأ التكبير من صبح يوم عَرفة إلى العصر من آخر أيَّام التشريق عند جمهور الفقهاء ويُسنُّ بعد كلِّ صلاة، ولا سيما عند الخروج إلى العيد، وفي جميع الأوقات ولا يُخصُّ بمكان؛ فيكبر في السُّوق، وفي الطريق، ونحو ذلك 7. Memperbanyak takbir Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَهَلَّ مُهِلٌّ قَطُّ ولا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ قَطُّ إلَّا بُشِّرَ، قيل: يا رسولَ اللهِ، بالجَنَّةِ؟ قال: نَعَمْ  “Tidaklah ada orang yang mengeraskan suara zikirnya dan tidaklah ada orang yang mengucapkan takbir, melainkan akan diberi kabar gembira.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kabar gembira berupa surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Al-Mundziri mengatakan, “Sanad hadits ini adalah para perawi hadits shahih.” Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfu: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ والتَّحميدِ “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Amali al-Muthlaqah halaman 14, “Ini adalah hadits yang hasan.” Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sambil menggaungkan takbir, lalu orang-orang juga bertakbir mengikuti takbir mereka berdua. (Diriwayatkan al-Bukhari secara Mu’allaq (tanpa menyebutkan para perawi), tapi dengan ungkapan yang tegas. Diriwayatkan juga oleh al-Fakihi dalam Akhbar Makkah secara Maushul (rantai sanad para perawinya tidak terputus). Ibnu Rajab dalam kitab Fath al-Bari jilid 9 hlm. 8-9 mengatakan, “Ja’far al-Firyabi meriwayatkan dari Yazid bin Abi Ziyad bahwa ia menceritakan, ‘Aku melihat Said bin Jabir, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Mujahid —atau dua di antara tiga dari mereka— serta para ulama fikih yang kami temui bahwa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah mereka mengucapkan: ALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR! LAA ILAAHA ILLALLAAH! WALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR WA LILLAAHIL HAMDU.’” Al-Marwazi meriwayatkan dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Aku berjumpa dengan orang-orang (para sahabat), dan mereka bertakbir pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah…” Menurut mayoritas ulama, takbir dimulai sejak subuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga Asar pada hari terakhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Disunnahkan untuk bertakbir setiap selesai shalat fardhu, terlebih lagi ketika pergi menuju shalat Id, juga setiap waktu dan tidak terikat dengan tempat tertentu, sehingga disunnahkan untuk bertakbir di pasar, jalan, dan lain sebagainya. 8- الأضحية وهي سنَّة مؤكَّدة، قال ابن قُدامة في المغني: “أجمع المسلمون على مشروعيَّة الأضحية؛ اقتداء بأبينا إبراهيم عليه السلام، واتِّباعًا لسنَّة نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض، فطيبوا بها نفسا أخرجه الترمذي في جامعه برقم: (1493) وقال: حديث حسن.وقال: وفي الباب عن عمران بن حصين وزيد بن أرقم عن زيد بن أرقم قال: قال أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا رسُولَ الله، ما هذه الأضاحي؟ قال: ((سُنَّةُ أبيكُم إبراهيم)) قالوا: فما لنا فيها يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ حسنة)) قالوا: فالصُّوفُ يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ من الصُّوف حسنة))؛ أخرجه ابن ماجه ووقتها من بَعد صلاة العيد يوم النَّحر إلى غروب الشَّمس من آخر يومٍ من أيام التَّشريق، ويجوز الذَّبح ليلاً ونهارًا  8. Menyembelih kurban Ini merupakan amalan sunnah muakkad (ditekankan). Ibnu Qudamah dalam kitab “al-Mughni” berkata, “Kaum Muslimin sepakat disyariatkannya menyembelih kurban, sebagai peneladanan ayah kita, Ibrahim ‘alaihis salam, dan penerapan sunnah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ وَإِنَّهُ لَيُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ الله بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا “Tidaklah manusia beramal suatu amalan pada hari an-Nahr (hari raya kurban 10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih kurban. Hewan kurban itu akan didatangkan pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya, dan darah yang menetes itu akan sampai kepada Allah sebelum darah itu sampai di tanah, maka bergembiralah dengan itu.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami no. 1493. Ia berkata, “Hadits ini hasan.” Juga berkata, “Dalam bab ini juga diriwayatkan hadits lain dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam”). Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kurban-kurban ini itu apa?” Beliau menjawab, “Ia sunnah ayah kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang kami dapatkan darinya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai rambutnya bernilai satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Begitu juga bulu dombanya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai bulunya bernilai kebaikan.” (HR. Ibnu Majah). Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir hari tasyriq. Penyembelihan boleh dilakukan pada siang ataupun malam hari. 9- إذا أردتَ أن تضحِّي فامتنِع عن أخذ شيء من شَعرك وأظفارك. فعن أمِّ سلَمة ترفعُه قالَت: قال صلى الله عليه وسلم: ((إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا))؛ أخرجه مسلم 9. Apabila kamu hendak berkurban, maka jangan memotong rambut dan kukumu Diriwayatkan dari Ummu Salamah secara marfu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا “Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan ia punya hewan kurban yang hendak ia sembelih, maka janganlah sekali-kali ia mencukur rambut dan memotong kukunya.” (HR. Muslim). 10- حال السلَف في العشر من ذي الحجة • كان سعيد بن جُبير إذا دخلَت أيَّام العشر اجتهد اجتهادًا شديدًا حتى ما يَكاد يَقدر عليه؛ سنن الدارمي (2/ 41). • وعنه قال: “لا تُطفئوا سُرجكم ليالي العشر • ويقول: “يقِّظوا خدمَكم يتسحَّرون لصوم يوم عرَفة”؛ سير أعلام النبلاء (4/ 326) • وعن الحسَن البصري أنَّه قال: “صيام يَومٍ من العشر يعدِل شهرين”؛ الدر المنثور (ج 8/ 501) • وكان السَّلَف ينوِّعون من العبادات في عشر ذي الحج • فقد قال عمر بن الخطاب: “لا بأس بِقضاء رمضان في العشر • وكان الحسَن البصري يَكره أن يتطوَّع بصيامٍ وعليه قضاء من رمضان إلاَّ العشر • وعن أبي معن قال: رأيتُ جابر بن زيد وأبا العالية اعتمرا في العشر • وكان الحافظ ابن عساكر يَعتكف في شهر رمضان، وعشر ذي الحجَّة 10. Keadaan para Salaf pada sepuluh hari pertama DZulhijjah Dulu Said bin Jubair apabila memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah akan bersungguh-sungguh dalam ibadah hingga hampir tidak kuat lagi. (Kitab Sunan ad-Darimi, jilid 1 hlm. 41). Diriwayatkan juga darinya bahwa ia berkata, “Janganlah kalian mematikan lampu penerang kalian pada sepuluh malam ini.” Ia juga berkata, “Bangunkanlah para pembantu kalian agar mereka makan sahur untuk puasa hari Arafah.” (Kitab Siyar A’lam an-Nubala, jilid 4 hlm. 326). Diriwayatkan dari Hasan al-Basri, ia berkata, “Puasa satu hari dari hari-hari pertama bulan Dzulhijjah setara dengan puasa dua bulan.” (Kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 8 hlm. 501). Dulu para salaf melakukan beraneka ragam ibadah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Umar bin Khattab berkata, “Boleh berpuasa qadha Ramadhan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Dulu Hasan al-Basri memakruhkan untuk berpuasa sunnah sedangkan seseorang masih punya tanggungan qadha Ramadhan, kecuali pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dulu al-Hafizh Ibnu ‘Asakir beriktikaf pada bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sumber: https://www.alukah.net/الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة! Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 235 times, 1 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid


الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة Oleh:  Dr. Abdus Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس العَشر من ذي الحجَّة موسم من أعظم مواسم الخير، وعُرس من أعراسها المباركة قال ابن حجر: “والذي يَظهر أنَّ السَّبب بامتياز عشر ذي الحجة؛ لمكان اجتماع أمَّهات العِبادة فيه، وهي: الصَّلاة، والصِّيام، والصَّدقة، والحجُّ، ولا يتأتَّى ذلك في غيره” وقد أرشدَنا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلم إلى عددٍ من الوظائف التي يَنبغي على المسلم أن يقوم بها، وهي Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan salah satu musim kebaikan yang paling agung dan pestanya yang penuh berkah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tampaknya sebab keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena menjadi waktu berkumpulnya inti-inti ibadah, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji, dan ini tidak terjadi pada waktu selainnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita beberapa tugas yang hendaknya dilaksanakan oleh seorang Muslim pada hari-hari ini, yaitu: 1- الإكثار من الأعمال الصالحة فعن ابن عبَّاس قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيها أحبُّ إلى الله من هذه الأيام العشر))، قالوا: يا رسُولَ الله، ولا الجِهادُ في سبيل الله؟! قال: ((ولا الجِهادُ في سبيل الله، إلاَّ رجُلٌ خرج بنفسه ومالِه ثُمَّ لم يَرجع من ذلك بشيء))؛ رواه البخاري 1. Memperbanyak amal shalehDiriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشَرَةِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Bahkan jihad di jalan Allah (tidak dapat menandinginya)?” Beliau menjawab, “Bahkan jihad di jalan Allah! Kecuali seseorang yang pergi berjihad dengan diri dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apapun darinya (dia terbunuh dan hartanya habis).” (HR. al-Bukhari). 2- المحافظة على صلاة الفجر في جماعة، والذِّكر بعدها حتى تطلع الشمس وصلاة الضحىفعن أنس بن مالكٍ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلَّى الغداةَ في جماعةٍ ثُمَّ قعد يذكرُ اللهَ حتى تطلُع الشَّمسُ ثُمَّ صلَّى ركعتين، كانت له كأجر حجَّةٍ وعُمرة)).قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((تامَّةٍ تامَّةٍ تامَّةٍ))؛ أخرجه الترمذي وقال: حديثٌ حسنٌ غريبٌ 2. Konsisten mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu berzikir setelahnya hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat dhuhaDiriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ “Barang siapa yang mendirikan shalat subuh secara berjamaah, lalu ia tetap duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia mendirikan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah.” Anas menambahkan, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Pahala haji dan umrah) yang sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan gharib). 3- المحافظة على صيام الأيام العَشر وهي: مستحبَّة استحبابًا شديدًا؛ كما قال الإمام النَّووي، لأنَّها من الأعمال الصالحات؛ ففي مسند أحمد: ((لم يكُن يدَع النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: صيامَ عاشُوراء، والعشر، وثلاثة أيَّامٍ من كُلِّ شهرٍ)). 3. Konsisten berpuasa pada hari-hari ini (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah – pen)Puasa ini merupakan sunnah yang sangat ditekankan, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, karena ia salah satu amal shaleh. Dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa Asyura (10 Muharram), puasa sepuluh hari Dzulhijjah (kecuali tanggal 10 Dzulhijjah), dan puasa tiga hari setiap bulan. 4- صيام يوم عرفة لغير الحاجِّ عن أبي قتادة عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: ((صيامُ يوم عرَفة، إنِّي أَحتسبُ على الله أن يُكفِّر السَّنةَ التي قبلَه والسَّنة التي بعده))؛ رواه مسلم 4. Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak menunaikan hajiDiriwayatkan dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR. Muslim). 5- المحافظة على قيام ليالي العشر وقد أقسم الله بهنَّ إذ قال: ﴿ وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ ﴾ [الفجر: 1، 2]، قال ابن كثير: المراد بها عَشر ذي الحجَّة 5. Konsisten mendirikan shalat malam pada sepuluh hari iniAllah Ta’ala telah bersumpah dengan sepuluh hari ini dalam firman-Nya: وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi waktu fajar, dan demi malam yang sepuluh!” (QS. Al-Fajr: 1-2).  Ibnu Katsir mengatakan, “Yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” 6- الإكثار من الذِّكر والاستغفار والتكبير امتثالاً لقول الله تعالى: ﴿ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ ﴾ [الحج: 28]، قال ابن عباس: أيَّام العشر؛ يعني: عَشر ذي الحجَّة، مع يوم عرَفَة والعيد.وعن ابن عبَّاسٍ قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العملُ فيهنَّ من أيام العشر؛ فأكثروا فيهنَّ التَّسبيح والتَّكبير)). 6. Memperbanyak zikir, istighfar, dan takbir Hal ini sebagai pengamalan atas firman Allah Ta’ala: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ  “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 28). Ibnu Abbas berkata, “Sepuluh hari, yakni pada bulan Dzulhijah, termasuk hari Arafah dan hari raya Idul Adha.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ  “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan pada hari-hari tersebut.” 7- الإكثار من التكبير عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ((ما أهلَّ مُهلٌّ قطُّ، ولا كبَّر مُكبِّرٌ قطُّ، إلاَّ بُشِّر))، قيل: يا رسولَ الله بالجنَّة؟ قال: ((نعم)) وقال المنذري: إسناده رجال الصَّحيح وعن ابن عمر رضي الله عنهما مرفوعًا: ((ما من أيَّامٍ أعظمُ عند الله ولا أحبُّ إليه العمل فيهنَّ من هذه الأيَّام العشر؛ فأكثرُوا فيهنَّ من التَّهليل والتَّكبير والتَّحميد))؛ قال ابن حجر في “الأمالي المطلقة (ص14)”: “هذا حديث حسن • “وقد كان ابن عمر وأبو هريرة يَخرجان إلى السُّوق في أيَّام العشر يكبِّران ويكبِّر الناس بتكبيرهما”؛ أخرجه البخاريُّ تعليقًا بصيغة الجزم، وأخرجه موصولاً الفاكهيُّ في أخبار مكَّة • وقال ابنُ رجب في فتح الباري (9/ 8 – 9): “وروى جعفر الفريابي، من رواية يزيد بن أبي زياد، قال: رأيتُ سعيد بن جبير وعبدالرحمن بن أبي ليلى ومجاهدًا – أو اثنين من هؤلاء الثلاثة – ومَن رَأينا من فقهاء النَّاس يقولون في أيَّام العشر: “الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد • وروى المروزيُّ، عن ميمون بن مهران، قال: “أدركتُ الناس وإنَّهم ليكبِّرون في العشر ويبدأ التكبير من صبح يوم عَرفة إلى العصر من آخر أيَّام التشريق عند جمهور الفقهاء ويُسنُّ بعد كلِّ صلاة، ولا سيما عند الخروج إلى العيد، وفي جميع الأوقات ولا يُخصُّ بمكان؛ فيكبر في السُّوق، وفي الطريق، ونحو ذلك 7. Memperbanyak takbir Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ما أَهَلَّ مُهِلٌّ قَطُّ ولا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ قَطُّ إلَّا بُشِّرَ، قيل: يا رسولَ اللهِ، بالجَنَّةِ؟ قال: نَعَمْ  “Tidaklah ada orang yang mengeraskan suara zikirnya dan tidaklah ada orang yang mengucapkan takbir, melainkan akan diberi kabar gembira.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, kabar gembira berupa surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Al-Mundziri mengatakan, “Sanad hadits ini adalah para perawi hadits shahih.” Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara marfu: ما مِن أيَّامٍ أعظَمُ عِندَ اللهِ ولا أحَبُّ إليه مِن العَمَلِ فيهنَّ مِن هذه الأيَّامِ العَشرِ، فأكثِروا فيهنَّ مِن التَّهليلِ والتَّكبيرِ والتَّحميدِ “Tidaklah ada hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih Dia cintai untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Amali al-Muthlaqah halaman 14, “Ini adalah hadits yang hasan.” Dulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sambil menggaungkan takbir, lalu orang-orang juga bertakbir mengikuti takbir mereka berdua. (Diriwayatkan al-Bukhari secara Mu’allaq (tanpa menyebutkan para perawi), tapi dengan ungkapan yang tegas. Diriwayatkan juga oleh al-Fakihi dalam Akhbar Makkah secara Maushul (rantai sanad para perawinya tidak terputus). Ibnu Rajab dalam kitab Fath al-Bari jilid 9 hlm. 8-9 mengatakan, “Ja’far al-Firyabi meriwayatkan dari Yazid bin Abi Ziyad bahwa ia menceritakan, ‘Aku melihat Said bin Jabir, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Mujahid —atau dua di antara tiga dari mereka— serta para ulama fikih yang kami temui bahwa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah mereka mengucapkan: ALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR! LAA ILAAHA ILLALLAAH! WALLAAHU AKBAR! ALLAAHU AKBAR WA LILLAAHIL HAMDU.’” Al-Marwazi meriwayatkan dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Aku berjumpa dengan orang-orang (para sahabat), dan mereka bertakbir pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah…” Menurut mayoritas ulama, takbir dimulai sejak subuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga Asar pada hari terakhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Disunnahkan untuk bertakbir setiap selesai shalat fardhu, terlebih lagi ketika pergi menuju shalat Id, juga setiap waktu dan tidak terikat dengan tempat tertentu, sehingga disunnahkan untuk bertakbir di pasar, jalan, dan lain sebagainya. 8- الأضحية وهي سنَّة مؤكَّدة، قال ابن قُدامة في المغني: “أجمع المسلمون على مشروعيَّة الأضحية؛ اقتداء بأبينا إبراهيم عليه السلام، واتِّباعًا لسنَّة نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض، فطيبوا بها نفسا أخرجه الترمذي في جامعه برقم: (1493) وقال: حديث حسن.وقال: وفي الباب عن عمران بن حصين وزيد بن أرقم عن زيد بن أرقم قال: قال أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا رسُولَ الله، ما هذه الأضاحي؟ قال: ((سُنَّةُ أبيكُم إبراهيم)) قالوا: فما لنا فيها يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ حسنة)) قالوا: فالصُّوفُ يا رسُولَ الله؟ قال: ((بكُلِّ شعرةٍ من الصُّوف حسنة))؛ أخرجه ابن ماجه ووقتها من بَعد صلاة العيد يوم النَّحر إلى غروب الشَّمس من آخر يومٍ من أيام التَّشريق، ويجوز الذَّبح ليلاً ونهارًا  8. Menyembelih kurban Ini merupakan amalan sunnah muakkad (ditekankan). Ibnu Qudamah dalam kitab “al-Mughni” berkata, “Kaum Muslimin sepakat disyariatkannya menyembelih kurban, sebagai peneladanan ayah kita, Ibrahim ‘alaihis salam, dan penerapan sunnah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ وَإِنَّهُ لَيُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ الله بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا “Tidaklah manusia beramal suatu amalan pada hari an-Nahr (hari raya kurban 10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih kurban. Hewan kurban itu akan didatangkan pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya, dan darah yang menetes itu akan sampai kepada Allah sebelum darah itu sampai di tanah, maka bergembiralah dengan itu.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami no. 1493. Ia berkata, “Hadits ini hasan.” Juga berkata, “Dalam bab ini juga diriwayatkan hadits lain dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam”). Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kurban-kurban ini itu apa?” Beliau menjawab, “Ia sunnah ayah kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang kami dapatkan darinya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai rambutnya bernilai satu kebaikan.” Mereka bertanya, “Begitu juga bulu dombanya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Setiap helai bulunya bernilai kebaikan.” (HR. Ibnu Majah). Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir hari tasyriq. Penyembelihan boleh dilakukan pada siang ataupun malam hari. 9- إذا أردتَ أن تضحِّي فامتنِع عن أخذ شيء من شَعرك وأظفارك. فعن أمِّ سلَمة ترفعُه قالَت: قال صلى الله عليه وسلم: ((إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا))؛ أخرجه مسلم 9. Apabila kamu hendak berkurban, maka jangan memotong rambut dan kukumu Diriwayatkan dari Ummu Salamah secara marfu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: إذا دخل العشرُ وعنده أُضحيَّة يُريدُ أن يُضحِّي فلا يأخُذنَّ شعرًا ولا يقلمنَّ ظُفُرًا “Apabila telah masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan ia punya hewan kurban yang hendak ia sembelih, maka janganlah sekali-kali ia mencukur rambut dan memotong kukunya.” (HR. Muslim). 10- حال السلَف في العشر من ذي الحجة • كان سعيد بن جُبير إذا دخلَت أيَّام العشر اجتهد اجتهادًا شديدًا حتى ما يَكاد يَقدر عليه؛ سنن الدارمي (2/ 41). • وعنه قال: “لا تُطفئوا سُرجكم ليالي العشر • ويقول: “يقِّظوا خدمَكم يتسحَّرون لصوم يوم عرَفة”؛ سير أعلام النبلاء (4/ 326) • وعن الحسَن البصري أنَّه قال: “صيام يَومٍ من العشر يعدِل شهرين”؛ الدر المنثور (ج 8/ 501) • وكان السَّلَف ينوِّعون من العبادات في عشر ذي الحج • فقد قال عمر بن الخطاب: “لا بأس بِقضاء رمضان في العشر • وكان الحسَن البصري يَكره أن يتطوَّع بصيامٍ وعليه قضاء من رمضان إلاَّ العشر • وعن أبي معن قال: رأيتُ جابر بن زيد وأبا العالية اعتمرا في العشر • وكان الحافظ ابن عساكر يَعتكف في شهر رمضان، وعشر ذي الحجَّة 10. Keadaan para Salaf pada sepuluh hari pertama DZulhijjah Dulu Said bin Jubair apabila memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah akan bersungguh-sungguh dalam ibadah hingga hampir tidak kuat lagi. (Kitab Sunan ad-Darimi, jilid 1 hlm. 41). Diriwayatkan juga darinya bahwa ia berkata, “Janganlah kalian mematikan lampu penerang kalian pada sepuluh malam ini.” Ia juga berkata, “Bangunkanlah para pembantu kalian agar mereka makan sahur untuk puasa hari Arafah.” (Kitab Siyar A’lam an-Nubala, jilid 4 hlm. 326). Diriwayatkan dari Hasan al-Basri, ia berkata, “Puasa satu hari dari hari-hari pertama bulan Dzulhijjah setara dengan puasa dua bulan.” (Kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 8 hlm. 501). Dulu para salaf melakukan beraneka ragam ibadah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Umar bin Khattab berkata, “Boleh berpuasa qadha Ramadhan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Dulu Hasan al-Basri memakruhkan untuk berpuasa sunnah sedangkan seseorang masih punya tanggungan qadha Ramadhan, kecuali pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dulu al-Hafizh Ibnu ‘Asakir beriktikaf pada bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sumber: https://www.alukah.net/الوصايا العشر في العشر من ذي الحجة! Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 235 times, 1 visit(s) today Post Views: 568 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Penyemangat Terbesar untuk Beribadah

أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 562 times, 1 visit(s) today Post Views: 590

Penyemangat Terbesar untuk Beribadah

أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 562 times, 1 visit(s) today Post Views: 590
أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 562 times, 1 visit(s) today Post Views: 590


أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 562 times, 1 visit(s) today Post Views: 590

Penentuan Hari Arafah Jika Terjadi Perbedaan Mathla’

Daftar Isi TogglePerbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaPendapat pertamaPendapat keduaالحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد المبعوث رحمة للعالمين ، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين ، وبعدPembahasan mengenai penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah adalah pembahasan yang sering di diskusikan di waktu-waktu bulan Zulhijah. Dan pembahasan ini pun sejatinya telah dibahas oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak ada cela bila terus membahasnya dalam rangka menyebarkan ilmu dan mendekatkan umat kepada ilmu yang telah kita ketahui bersama betapa agungnya kedudukan ilmu bagi seorang muslim. Tentunya dengan tetap memperhatikan koridor-koridor dalam berdiskusi dan bersikap adil dalam menyikapi perbedaan yang ada, tanpa melebihi batas.Perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaMathla’ artinya tempat terlihatnya hilal yang menunjukkan bulan baru atau awal bulan. Suatu hal yang disepakati bahwa mathla’ itu bisa berbeda-beda tergantung tempat melihatnya. Oleh karena itu, terkadang (atau bahkan sering), hilal sudah terlihat di negeri A namun tidak terlihat di negeri B. Dan ini tentunya mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan.Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah menjadi dua pendapat:Pendapat pertamaBahwa hari Arafah itu adalah hari ketika para jemaah haji wukuf di Arafah dan seluruh umat Islam di berbagai negeri mengikuti waktu tersebut.  Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Saudi Arabia) yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Lajnah Al-Ifta Al-Mishriyyah (Mesir), Syekh Faishal Maulawi, Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Syekh Abdurrahman As-Suhaim, Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan para ulama yang lain.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, yang dimaksud hari Arafah adalah hari ketika jemaah hari wukuf di Arafah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:Dari ‘Atha’ rahimahullah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 5: 176 dan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1: 264 dari ‘Atha’ secara mursal dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4224)Dari Ibnul Munkadir, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,عرفة يوم يعرف الإمام“Hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 175], Ibnu Hajar dalam At Talkhis berkata, “Dalam riwayat ini Mujahid bersendirian, lalu Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Muhammad bin Al-Munkadir dari ‘Aisyah statusnya mursal. Dan perkataan Al-Baihaqi ini benar. Walaupun At-Tirmidzi telah menukil dari Imam Bukhari bahwa beliau berkata bahwa Ibnul Munkadir mendengar hadis dari ‘Aisyah.”)Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24) berkata, “Sanad hadis ini lemah, Muhammad bin Ismail Al Farisi disebutkan dalam Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat (9: 78), ‘Dia sering meriwayatkan hadis gharib’ dan lihat juga Lisanul Mizan (5: 77). Walaupun demikian, Asy-Syekh Ahmad Syakir mensahihkan hadis ini dalam tulisan beliau yang berjudul Awa’ilus Syuhur Al-‘Arabiyyah Hal Yajuz Syar’an Itsbatuha bil Hisab Al Falakiy (hal. 26)”.Dari Masruq, beliau menemui ‘Aisyah radhiyallahu ’anha di hari Arafah, kemudian Masruq berkata, ‘Beri aku minum’. Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Wahai budak, berilah ia minuman madu. Wahai Masruq, apakah engkau tidak puasa?’ Masruq berkata, ‘Tidak, saya khawatir ini sudah hari Iduladha.’ ‘Aisyah berkata,ليس ذلك إنما عرفة يوم يعرف الإمام ، ويوم النحر يوم ينحر الإمام ، أو ما سمعت يا مسروق أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعدله بألف يوم“Bukan demikian, sesungguhnya hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah dan hari Iduladha adalah hari ketika imam berkurban. Atau mungkin engkau belum mendengar wahai Masruq, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam menyamakan puasa Arafah dengan puasa 1000 hari?” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [3: 190] berkata, “Dalam sanadnya ada Dalham bin Shalih, ia dianggap lemah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, sehingga sanadnya hasan.” Dan hadis ini dilemahkan oleh Syekh Al-Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib)Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Khalid bin Usaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berwukuf di Arafah ketika itu.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [2: 224] dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 176] dan ia berkata, ‘Hadis ini mursal jayyid dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil.“)Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir berkata, “Abdul Aziz ini seorang tabi’in. Ibnu Syahin menukil perkataan Ibnu Abi Dawud bahwa status Abdul Aziz diperselisihkan (ia sahabat Nabi atau bukan). Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Abdullah bin Khalid, ayah Abdul Aziz, dengan hadis ini dari jalan Abdul Aziz dari Abdullah bin Khalid.”Ibnu Hajar juga berkata dalam At-Taqrib (1: 472), “Sebagian ulama ada yang menyebutnya sebagai sahabat Nabi.” Namun hal ini tidak mengeluarkan hadis ini dari status mursal, karena Abdullah bin Khalid bin Usaid (ayah Abdul Aziz) juga dikatakan oleh Ibnu Mandah, “Status shuhbah dan ru’yah-nya perlu dikritisi.” Artinya, Abdullah bin Khalid juga masih diperselisihkan apakah ia sahabat Nabi atau bukan. Pernyataan demikian juga ada dari Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shahabah, juga Ibnu Al-Atsir dalam Usudul Ghabah. Hadis ini dilemahkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24). Beliau menjelaskan bahwa hadis ini memiliki 3 illah (cacat). Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini memiliki syahid yang tidak bisa cukup untuk mengangkat derajatnya, yaitu riwayat dari Al-Waqidi yang ia statusnya matruk.Sanggahan:Jika kita perhatikan dengan seksama dalil-dalil yang sahih dari beberapa dalil di atas, tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa puasa Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji. Yang ada adalah penyebutan hari Arafah sebagai hari wukufnya jemaah haji. Dan hadis-hadis tersebut semisal dengan hadis,صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 238)Oleh karena itu, karena hadis-hadis ini semisal, mengapa membedakan antara ini dan itu. Semestinya berlakukan kaidah yang sama antara puasa Arafah dan puasa Ramadan dan Idulfitri, yaitu mengikuti hilal masing-masing negeri.Dalil kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyandingkan kata “shiyam” dengan kata “hari Arafah”, dalam hadis,صيام يوم عرفة“Puasa hari Arafah.” (HR. Muslim no. 116)Ini menunjukkan bahwa puasa dilakukan ketika orang-orang berwukuf di Arafah sehingga dinamakan puasa hari Arafah.Sanggahan:Pendalilan ini juga tidak sharih (tegas) menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan di hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah. Karena pada hadis yang lain justru tegas disebutkan hari tersebut adalah 9 Zulhijah. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Dalil ketiga, adanya ijma’ amali selama puluhan tahun bahwa hari Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji di Arafah. Telah dinukil oleh Syekh Hisamuddin ‘Affanah dari Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar bahwa beliau berkata,إن المسلمين في جميع أقطار العالم الإسلامي قد أجمعوا إجماعاً عملياً منذ عشرات السنين على متابعة الحجاج في عيد الأضحى ولا يجوز لأي جهة أو مجموعة من الناس مخالفة هذا الإجماع“Kaum muslimin di seluruh negeri sudah ijmak secara praktek sejak puluhan tahun bahwa Iduladha itu mengikuti jemaah haji, dan tidak boleh sedikit pun atau sekelompok orang manapun menyelisihi ijmak ini.”Syekh Abdurrahman As-Suhaim rahimahullah mengatakan,ولا عبرة هنا باختلاف المطالع ؛ لأن الأمة تجتمع على أن يوم عرفة في ذلك اليوم الْمُحدَّد ، وعادة من يُخالف في ذلك لا يُخالف لأجل اختلاف مطالع ، بل لأمور سياسية !“Perbedaan mathla’ tidak ada artinya dalam masalah ini, karena umat telah sepakat bahwa hari Arafah itu pada waktu yang ditentukan tersebut. Dan biasanya, perbedaan dalam masalah ini bukanlah karena perbedaan mathla’, namun karena sekedar kepentingan politik.”Sanggahan:Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khalil mengatakan,فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi. Karena justru sejak dahulu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi, maka hal ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal. Karena kaum muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern, mereka sama sekali tidak berpatokan pada wukufnya jemaah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun ulama ahli fikih yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wukufnya jemaah haji di Arafah.”Dalil keempat, jika melihat keutamaan dan keagungan hari Arafah dalam hadis-hadis, maka hari yang layak dan sesuai dengannya adalah hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah.Sanggahan:Keutamaan dan keagungan hari Arafah adalah bagi orang-orang yang wukuf di Arafah. Adapun keutamaan puasa Arafah itu untuk seluruh manusia yang tidak sedang berhaji. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,صيامُ يومِ عرفةَ ، أَحتسبُ على اللهِ أن يُكفِّرَ السنةَ التي قبلَه . والسنةَ التي بعده“Puasa di hari Arafah aku harapkan bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)Hadis ini umum berlaku untuk semua orang yang tidak berhaji. Maka puasa Arafah tidak harus mencocoki wukufnya jemaah haji.Baca juga: Rahasia Keagungan Hari ArafahPendapat keduaBahwa hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah, baik bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji ataupun tidak. Karena setiap negeri memiliki hasil ru’yatul hilal masing-masing (ikhtilaful mathali’). Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin, Syekh Hani bin Abdillah Al-Jubair, Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi, Syekh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih, dan lain-lain, hafizhahumullah.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, masalah penentuan hari Arafah ini adalah masalah furu’ (turunan) dari pembahasan mengenai ikhtilaful mathali’. Sehingga dalil-dalilnya sebagaimana dalil-dalil dalam masalah ikhtilaful mathali’. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda,لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka hingga engkau melihat hilal.” (HR. Muslim no. 1080)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idulfitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Iduladha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi no. 632, Ad-Daruquthni no. 385)Para ulama berbeda pendapat mengenai ikhtilaful mathali’, yaitu jika satu negeri sudah melihat hilal, apakah negeri lain mengikuti persaksian negeri tersebut ataukan mengikuti ru’yatul hilal di negeri masing-masing? Ini yang dibahas oleh para ulama. Dan dalam membahas masalah ini, para ulama tidak membedakan bulan Zulhijah dengan bulan yang lain.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Masalah (penentuan hari Arafah) ini didasari oleh perselisihan para ulama mengenai apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia ataukah hilal berbeda-beda tergantung mathla’? Yang benar dalam masalah ini, hilal berbeda-beda tergantung mathla’. Misalnya, di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Zulhijah. Sedangkan di negara lain, hilal Zulhijah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah adalah tanggal 10 Zulhijah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iduladha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Zulhijah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah itu baru tanggal 8 Zulhijah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijah di Makkah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no. 19)Penjelasan demikian juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan para ulama yang lain.Sanggahan:Dalil-dalil menunjukkan bahwa ini bukan masalah ikhtilaful mathali’ sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan penentuan awal puasa Ramadan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.”Maka definisi “yaum arafah” adalah hari ketika para jemaah haji wukuf, sehingga yang menjadi patokan adalah wukuf. Dan ini disebutkan oleh sebagian ulama. Ibnul Arabi mengatakan,وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها“Seluruh manusia di segala penjuru mengikuti para jemaah haji dalam masalah tersebut.” (Ahkamul Qur’an, 1: 143)Dalil kedua, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah pada penanggalan Hijriah bukan melihat pada wukuf di padang Arafah. Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan kata يوم عرفة dengan definisi tersebut, sebagaimana dalam Qamus Al-Fiqhi, Mu’jam Lughatil Fuqaha, dan syarah kitab-kitab sunnah. Yang menjadi perselisihan adalah mengenai sebab penamaan hari tersebut dengan hari Arafah.Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير“Adapun hari Arafah, maka ia adalah tanggal 9 Zulhijah. Dinamakan demikian karena di hari itu waktunya wukuf di Arafah. Sebagian ulama mengatakan, dinamakan demikian karena Ibrahim ‘alaihis salam diperlihatkan dalam mimpinya di malam Tarwiyah bahwasanya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sehingga ketika bangun, ia pun yatarawwa (memikirkannya terus) apakah ini sekedar mimpi ataukah wahyu dari Allah? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari Tarwiyah. Dan di malam selanjutnya ia bermimpi lagi, sehingga jadilah hari itu hari Arafah, karena ia telah ‘arafa (mengetahui) bahwasanya itu adalah wahyu dari Allah. Sehingga dinamakan hari Arafah. Ia adalah hari yang agung dan mulia, dan merupakan id yang mulia, keutamaannya sangatlah besar.”Dalil ketiga, terdapat riwayat yang menunjukkan secara sharih (tegas) bahwa hari Arafah adalah tanggal sembilan Zulhijah, di antaranya hadis Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ ، ويومَ عاشوراءَ ، وثلاثةَ أيَّامٍ من كلِّ شَهْرٍ ، أوَّلَ اثنينِ منَ الشَّهرِ والخميسَ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah, pada hari Asyura, puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa di hari Senin dan Kamis di awal bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Sanggahan:Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama, diantaranya oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah, dan juga Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad. Syekh Al-Albani sendiri walaupun mensahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih An-Nasa’i, beliau mendhaifkan di Shahih Al-Jami’.Dalil keempat, terdapat riwayat sahih yang menunjukkan bahwa hari Iduladha dan Arafah itu mengikuti ulil amri. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha,أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقاً وحليةً فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس“Masruq datang ke rumah Aisyah bersama seorang lelaki. Kemudian Aisyah berkata kepada budaknya, ‘Wahai budak, hidangkan kepada mereka sawiq (sejenis roti) dan manisan, andaikan saya tidak puasa saya juga akan mencobanya.’ Maka kedua lelaki tersebut berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau sedang berpuasa? Bukankah engkau tahu bahwa bisa jadi hari ini sudah hari menyembelih (Iduladha)?’ Maka Aisyah berkata, ‘Hari menyembelih adalah ketika imam (ulil amri) menyembelih, dan manusia berkumpul semua, dan hari berbuka adalah ketika imam berbuka dan manusia berkumpul semua.” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf [4: 157], dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [1: 389])Maka, dalam hadis ini jelas Aisyah menyandarkan lebaran dan puasa kepada keputusan ulil amri.Dalil kelima, masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, maka berlaku kaidah:حكم الحاكم فيها يرفع الخلاف“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف ، وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه“Jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan, lalu penguasa negara memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib untuk menaati perintahnya. Karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dan keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, maka berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri tempat kalian berada berpuasa dan berbuka, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda. Demikian juga dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no.19)Wallahu a’lam, pendapat kedua inilah yang lebih kuat karena lebih selamat dari isykal dan sanggahan. Yaitu bahwa puasa Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah mengikuti ru’yatul hilal negeri masing-masing, tanpa melihat apakah bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji atau tidak.Baca juga: Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diringkas dari tulisan Syekh Dr. Ahmad bin Muhammad bin Khalil dengan beberapa penambahan.

Penentuan Hari Arafah Jika Terjadi Perbedaan Mathla’

Daftar Isi TogglePerbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaPendapat pertamaPendapat keduaالحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد المبعوث رحمة للعالمين ، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين ، وبعدPembahasan mengenai penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah adalah pembahasan yang sering di diskusikan di waktu-waktu bulan Zulhijah. Dan pembahasan ini pun sejatinya telah dibahas oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak ada cela bila terus membahasnya dalam rangka menyebarkan ilmu dan mendekatkan umat kepada ilmu yang telah kita ketahui bersama betapa agungnya kedudukan ilmu bagi seorang muslim. Tentunya dengan tetap memperhatikan koridor-koridor dalam berdiskusi dan bersikap adil dalam menyikapi perbedaan yang ada, tanpa melebihi batas.Perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaMathla’ artinya tempat terlihatnya hilal yang menunjukkan bulan baru atau awal bulan. Suatu hal yang disepakati bahwa mathla’ itu bisa berbeda-beda tergantung tempat melihatnya. Oleh karena itu, terkadang (atau bahkan sering), hilal sudah terlihat di negeri A namun tidak terlihat di negeri B. Dan ini tentunya mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan.Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah menjadi dua pendapat:Pendapat pertamaBahwa hari Arafah itu adalah hari ketika para jemaah haji wukuf di Arafah dan seluruh umat Islam di berbagai negeri mengikuti waktu tersebut.  Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Saudi Arabia) yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Lajnah Al-Ifta Al-Mishriyyah (Mesir), Syekh Faishal Maulawi, Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Syekh Abdurrahman As-Suhaim, Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan para ulama yang lain.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, yang dimaksud hari Arafah adalah hari ketika jemaah hari wukuf di Arafah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:Dari ‘Atha’ rahimahullah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 5: 176 dan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1: 264 dari ‘Atha’ secara mursal dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4224)Dari Ibnul Munkadir, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,عرفة يوم يعرف الإمام“Hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 175], Ibnu Hajar dalam At Talkhis berkata, “Dalam riwayat ini Mujahid bersendirian, lalu Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Muhammad bin Al-Munkadir dari ‘Aisyah statusnya mursal. Dan perkataan Al-Baihaqi ini benar. Walaupun At-Tirmidzi telah menukil dari Imam Bukhari bahwa beliau berkata bahwa Ibnul Munkadir mendengar hadis dari ‘Aisyah.”)Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24) berkata, “Sanad hadis ini lemah, Muhammad bin Ismail Al Farisi disebutkan dalam Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat (9: 78), ‘Dia sering meriwayatkan hadis gharib’ dan lihat juga Lisanul Mizan (5: 77). Walaupun demikian, Asy-Syekh Ahmad Syakir mensahihkan hadis ini dalam tulisan beliau yang berjudul Awa’ilus Syuhur Al-‘Arabiyyah Hal Yajuz Syar’an Itsbatuha bil Hisab Al Falakiy (hal. 26)”.Dari Masruq, beliau menemui ‘Aisyah radhiyallahu ’anha di hari Arafah, kemudian Masruq berkata, ‘Beri aku minum’. Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Wahai budak, berilah ia minuman madu. Wahai Masruq, apakah engkau tidak puasa?’ Masruq berkata, ‘Tidak, saya khawatir ini sudah hari Iduladha.’ ‘Aisyah berkata,ليس ذلك إنما عرفة يوم يعرف الإمام ، ويوم النحر يوم ينحر الإمام ، أو ما سمعت يا مسروق أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعدله بألف يوم“Bukan demikian, sesungguhnya hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah dan hari Iduladha adalah hari ketika imam berkurban. Atau mungkin engkau belum mendengar wahai Masruq, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam menyamakan puasa Arafah dengan puasa 1000 hari?” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [3: 190] berkata, “Dalam sanadnya ada Dalham bin Shalih, ia dianggap lemah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, sehingga sanadnya hasan.” Dan hadis ini dilemahkan oleh Syekh Al-Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib)Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Khalid bin Usaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berwukuf di Arafah ketika itu.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [2: 224] dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 176] dan ia berkata, ‘Hadis ini mursal jayyid dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil.“)Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir berkata, “Abdul Aziz ini seorang tabi’in. Ibnu Syahin menukil perkataan Ibnu Abi Dawud bahwa status Abdul Aziz diperselisihkan (ia sahabat Nabi atau bukan). Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Abdullah bin Khalid, ayah Abdul Aziz, dengan hadis ini dari jalan Abdul Aziz dari Abdullah bin Khalid.”Ibnu Hajar juga berkata dalam At-Taqrib (1: 472), “Sebagian ulama ada yang menyebutnya sebagai sahabat Nabi.” Namun hal ini tidak mengeluarkan hadis ini dari status mursal, karena Abdullah bin Khalid bin Usaid (ayah Abdul Aziz) juga dikatakan oleh Ibnu Mandah, “Status shuhbah dan ru’yah-nya perlu dikritisi.” Artinya, Abdullah bin Khalid juga masih diperselisihkan apakah ia sahabat Nabi atau bukan. Pernyataan demikian juga ada dari Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shahabah, juga Ibnu Al-Atsir dalam Usudul Ghabah. Hadis ini dilemahkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24). Beliau menjelaskan bahwa hadis ini memiliki 3 illah (cacat). Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini memiliki syahid yang tidak bisa cukup untuk mengangkat derajatnya, yaitu riwayat dari Al-Waqidi yang ia statusnya matruk.Sanggahan:Jika kita perhatikan dengan seksama dalil-dalil yang sahih dari beberapa dalil di atas, tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa puasa Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji. Yang ada adalah penyebutan hari Arafah sebagai hari wukufnya jemaah haji. Dan hadis-hadis tersebut semisal dengan hadis,صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 238)Oleh karena itu, karena hadis-hadis ini semisal, mengapa membedakan antara ini dan itu. Semestinya berlakukan kaidah yang sama antara puasa Arafah dan puasa Ramadan dan Idulfitri, yaitu mengikuti hilal masing-masing negeri.Dalil kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyandingkan kata “shiyam” dengan kata “hari Arafah”, dalam hadis,صيام يوم عرفة“Puasa hari Arafah.” (HR. Muslim no. 116)Ini menunjukkan bahwa puasa dilakukan ketika orang-orang berwukuf di Arafah sehingga dinamakan puasa hari Arafah.Sanggahan:Pendalilan ini juga tidak sharih (tegas) menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan di hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah. Karena pada hadis yang lain justru tegas disebutkan hari tersebut adalah 9 Zulhijah. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Dalil ketiga, adanya ijma’ amali selama puluhan tahun bahwa hari Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji di Arafah. Telah dinukil oleh Syekh Hisamuddin ‘Affanah dari Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar bahwa beliau berkata,إن المسلمين في جميع أقطار العالم الإسلامي قد أجمعوا إجماعاً عملياً منذ عشرات السنين على متابعة الحجاج في عيد الأضحى ولا يجوز لأي جهة أو مجموعة من الناس مخالفة هذا الإجماع“Kaum muslimin di seluruh negeri sudah ijmak secara praktek sejak puluhan tahun bahwa Iduladha itu mengikuti jemaah haji, dan tidak boleh sedikit pun atau sekelompok orang manapun menyelisihi ijmak ini.”Syekh Abdurrahman As-Suhaim rahimahullah mengatakan,ولا عبرة هنا باختلاف المطالع ؛ لأن الأمة تجتمع على أن يوم عرفة في ذلك اليوم الْمُحدَّد ، وعادة من يُخالف في ذلك لا يُخالف لأجل اختلاف مطالع ، بل لأمور سياسية !“Perbedaan mathla’ tidak ada artinya dalam masalah ini, karena umat telah sepakat bahwa hari Arafah itu pada waktu yang ditentukan tersebut. Dan biasanya, perbedaan dalam masalah ini bukanlah karena perbedaan mathla’, namun karena sekedar kepentingan politik.”Sanggahan:Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khalil mengatakan,فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi. Karena justru sejak dahulu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi, maka hal ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal. Karena kaum muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern, mereka sama sekali tidak berpatokan pada wukufnya jemaah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun ulama ahli fikih yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wukufnya jemaah haji di Arafah.”Dalil keempat, jika melihat keutamaan dan keagungan hari Arafah dalam hadis-hadis, maka hari yang layak dan sesuai dengannya adalah hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah.Sanggahan:Keutamaan dan keagungan hari Arafah adalah bagi orang-orang yang wukuf di Arafah. Adapun keutamaan puasa Arafah itu untuk seluruh manusia yang tidak sedang berhaji. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,صيامُ يومِ عرفةَ ، أَحتسبُ على اللهِ أن يُكفِّرَ السنةَ التي قبلَه . والسنةَ التي بعده“Puasa di hari Arafah aku harapkan bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)Hadis ini umum berlaku untuk semua orang yang tidak berhaji. Maka puasa Arafah tidak harus mencocoki wukufnya jemaah haji.Baca juga: Rahasia Keagungan Hari ArafahPendapat keduaBahwa hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah, baik bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji ataupun tidak. Karena setiap negeri memiliki hasil ru’yatul hilal masing-masing (ikhtilaful mathali’). Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin, Syekh Hani bin Abdillah Al-Jubair, Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi, Syekh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih, dan lain-lain, hafizhahumullah.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, masalah penentuan hari Arafah ini adalah masalah furu’ (turunan) dari pembahasan mengenai ikhtilaful mathali’. Sehingga dalil-dalilnya sebagaimana dalil-dalil dalam masalah ikhtilaful mathali’. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda,لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka hingga engkau melihat hilal.” (HR. Muslim no. 1080)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idulfitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Iduladha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi no. 632, Ad-Daruquthni no. 385)Para ulama berbeda pendapat mengenai ikhtilaful mathali’, yaitu jika satu negeri sudah melihat hilal, apakah negeri lain mengikuti persaksian negeri tersebut ataukan mengikuti ru’yatul hilal di negeri masing-masing? Ini yang dibahas oleh para ulama. Dan dalam membahas masalah ini, para ulama tidak membedakan bulan Zulhijah dengan bulan yang lain.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Masalah (penentuan hari Arafah) ini didasari oleh perselisihan para ulama mengenai apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia ataukah hilal berbeda-beda tergantung mathla’? Yang benar dalam masalah ini, hilal berbeda-beda tergantung mathla’. Misalnya, di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Zulhijah. Sedangkan di negara lain, hilal Zulhijah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah adalah tanggal 10 Zulhijah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iduladha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Zulhijah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah itu baru tanggal 8 Zulhijah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijah di Makkah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no. 19)Penjelasan demikian juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan para ulama yang lain.Sanggahan:Dalil-dalil menunjukkan bahwa ini bukan masalah ikhtilaful mathali’ sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan penentuan awal puasa Ramadan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.”Maka definisi “yaum arafah” adalah hari ketika para jemaah haji wukuf, sehingga yang menjadi patokan adalah wukuf. Dan ini disebutkan oleh sebagian ulama. Ibnul Arabi mengatakan,وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها“Seluruh manusia di segala penjuru mengikuti para jemaah haji dalam masalah tersebut.” (Ahkamul Qur’an, 1: 143)Dalil kedua, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah pada penanggalan Hijriah bukan melihat pada wukuf di padang Arafah. Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan kata يوم عرفة dengan definisi tersebut, sebagaimana dalam Qamus Al-Fiqhi, Mu’jam Lughatil Fuqaha, dan syarah kitab-kitab sunnah. Yang menjadi perselisihan adalah mengenai sebab penamaan hari tersebut dengan hari Arafah.Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير“Adapun hari Arafah, maka ia adalah tanggal 9 Zulhijah. Dinamakan demikian karena di hari itu waktunya wukuf di Arafah. Sebagian ulama mengatakan, dinamakan demikian karena Ibrahim ‘alaihis salam diperlihatkan dalam mimpinya di malam Tarwiyah bahwasanya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sehingga ketika bangun, ia pun yatarawwa (memikirkannya terus) apakah ini sekedar mimpi ataukah wahyu dari Allah? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari Tarwiyah. Dan di malam selanjutnya ia bermimpi lagi, sehingga jadilah hari itu hari Arafah, karena ia telah ‘arafa (mengetahui) bahwasanya itu adalah wahyu dari Allah. Sehingga dinamakan hari Arafah. Ia adalah hari yang agung dan mulia, dan merupakan id yang mulia, keutamaannya sangatlah besar.”Dalil ketiga, terdapat riwayat yang menunjukkan secara sharih (tegas) bahwa hari Arafah adalah tanggal sembilan Zulhijah, di antaranya hadis Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ ، ويومَ عاشوراءَ ، وثلاثةَ أيَّامٍ من كلِّ شَهْرٍ ، أوَّلَ اثنينِ منَ الشَّهرِ والخميسَ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah, pada hari Asyura, puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa di hari Senin dan Kamis di awal bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Sanggahan:Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama, diantaranya oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah, dan juga Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad. Syekh Al-Albani sendiri walaupun mensahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih An-Nasa’i, beliau mendhaifkan di Shahih Al-Jami’.Dalil keempat, terdapat riwayat sahih yang menunjukkan bahwa hari Iduladha dan Arafah itu mengikuti ulil amri. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha,أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقاً وحليةً فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس“Masruq datang ke rumah Aisyah bersama seorang lelaki. Kemudian Aisyah berkata kepada budaknya, ‘Wahai budak, hidangkan kepada mereka sawiq (sejenis roti) dan manisan, andaikan saya tidak puasa saya juga akan mencobanya.’ Maka kedua lelaki tersebut berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau sedang berpuasa? Bukankah engkau tahu bahwa bisa jadi hari ini sudah hari menyembelih (Iduladha)?’ Maka Aisyah berkata, ‘Hari menyembelih adalah ketika imam (ulil amri) menyembelih, dan manusia berkumpul semua, dan hari berbuka adalah ketika imam berbuka dan manusia berkumpul semua.” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf [4: 157], dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [1: 389])Maka, dalam hadis ini jelas Aisyah menyandarkan lebaran dan puasa kepada keputusan ulil amri.Dalil kelima, masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, maka berlaku kaidah:حكم الحاكم فيها يرفع الخلاف“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف ، وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه“Jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan, lalu penguasa negara memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib untuk menaati perintahnya. Karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dan keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, maka berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri tempat kalian berada berpuasa dan berbuka, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda. Demikian juga dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no.19)Wallahu a’lam, pendapat kedua inilah yang lebih kuat karena lebih selamat dari isykal dan sanggahan. Yaitu bahwa puasa Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah mengikuti ru’yatul hilal negeri masing-masing, tanpa melihat apakah bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji atau tidak.Baca juga: Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diringkas dari tulisan Syekh Dr. Ahmad bin Muhammad bin Khalil dengan beberapa penambahan.
Daftar Isi TogglePerbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaPendapat pertamaPendapat keduaالحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد المبعوث رحمة للعالمين ، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين ، وبعدPembahasan mengenai penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah adalah pembahasan yang sering di diskusikan di waktu-waktu bulan Zulhijah. Dan pembahasan ini pun sejatinya telah dibahas oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak ada cela bila terus membahasnya dalam rangka menyebarkan ilmu dan mendekatkan umat kepada ilmu yang telah kita ketahui bersama betapa agungnya kedudukan ilmu bagi seorang muslim. Tentunya dengan tetap memperhatikan koridor-koridor dalam berdiskusi dan bersikap adil dalam menyikapi perbedaan yang ada, tanpa melebihi batas.Perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaMathla’ artinya tempat terlihatnya hilal yang menunjukkan bulan baru atau awal bulan. Suatu hal yang disepakati bahwa mathla’ itu bisa berbeda-beda tergantung tempat melihatnya. Oleh karena itu, terkadang (atau bahkan sering), hilal sudah terlihat di negeri A namun tidak terlihat di negeri B. Dan ini tentunya mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan.Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah menjadi dua pendapat:Pendapat pertamaBahwa hari Arafah itu adalah hari ketika para jemaah haji wukuf di Arafah dan seluruh umat Islam di berbagai negeri mengikuti waktu tersebut.  Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Saudi Arabia) yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Lajnah Al-Ifta Al-Mishriyyah (Mesir), Syekh Faishal Maulawi, Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Syekh Abdurrahman As-Suhaim, Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan para ulama yang lain.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, yang dimaksud hari Arafah adalah hari ketika jemaah hari wukuf di Arafah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:Dari ‘Atha’ rahimahullah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 5: 176 dan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1: 264 dari ‘Atha’ secara mursal dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4224)Dari Ibnul Munkadir, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,عرفة يوم يعرف الإمام“Hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 175], Ibnu Hajar dalam At Talkhis berkata, “Dalam riwayat ini Mujahid bersendirian, lalu Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Muhammad bin Al-Munkadir dari ‘Aisyah statusnya mursal. Dan perkataan Al-Baihaqi ini benar. Walaupun At-Tirmidzi telah menukil dari Imam Bukhari bahwa beliau berkata bahwa Ibnul Munkadir mendengar hadis dari ‘Aisyah.”)Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24) berkata, “Sanad hadis ini lemah, Muhammad bin Ismail Al Farisi disebutkan dalam Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat (9: 78), ‘Dia sering meriwayatkan hadis gharib’ dan lihat juga Lisanul Mizan (5: 77). Walaupun demikian, Asy-Syekh Ahmad Syakir mensahihkan hadis ini dalam tulisan beliau yang berjudul Awa’ilus Syuhur Al-‘Arabiyyah Hal Yajuz Syar’an Itsbatuha bil Hisab Al Falakiy (hal. 26)”.Dari Masruq, beliau menemui ‘Aisyah radhiyallahu ’anha di hari Arafah, kemudian Masruq berkata, ‘Beri aku minum’. Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Wahai budak, berilah ia minuman madu. Wahai Masruq, apakah engkau tidak puasa?’ Masruq berkata, ‘Tidak, saya khawatir ini sudah hari Iduladha.’ ‘Aisyah berkata,ليس ذلك إنما عرفة يوم يعرف الإمام ، ويوم النحر يوم ينحر الإمام ، أو ما سمعت يا مسروق أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعدله بألف يوم“Bukan demikian, sesungguhnya hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah dan hari Iduladha adalah hari ketika imam berkurban. Atau mungkin engkau belum mendengar wahai Masruq, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam menyamakan puasa Arafah dengan puasa 1000 hari?” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [3: 190] berkata, “Dalam sanadnya ada Dalham bin Shalih, ia dianggap lemah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, sehingga sanadnya hasan.” Dan hadis ini dilemahkan oleh Syekh Al-Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib)Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Khalid bin Usaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berwukuf di Arafah ketika itu.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [2: 224] dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 176] dan ia berkata, ‘Hadis ini mursal jayyid dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil.“)Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir berkata, “Abdul Aziz ini seorang tabi’in. Ibnu Syahin menukil perkataan Ibnu Abi Dawud bahwa status Abdul Aziz diperselisihkan (ia sahabat Nabi atau bukan). Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Abdullah bin Khalid, ayah Abdul Aziz, dengan hadis ini dari jalan Abdul Aziz dari Abdullah bin Khalid.”Ibnu Hajar juga berkata dalam At-Taqrib (1: 472), “Sebagian ulama ada yang menyebutnya sebagai sahabat Nabi.” Namun hal ini tidak mengeluarkan hadis ini dari status mursal, karena Abdullah bin Khalid bin Usaid (ayah Abdul Aziz) juga dikatakan oleh Ibnu Mandah, “Status shuhbah dan ru’yah-nya perlu dikritisi.” Artinya, Abdullah bin Khalid juga masih diperselisihkan apakah ia sahabat Nabi atau bukan. Pernyataan demikian juga ada dari Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shahabah, juga Ibnu Al-Atsir dalam Usudul Ghabah. Hadis ini dilemahkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24). Beliau menjelaskan bahwa hadis ini memiliki 3 illah (cacat). Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini memiliki syahid yang tidak bisa cukup untuk mengangkat derajatnya, yaitu riwayat dari Al-Waqidi yang ia statusnya matruk.Sanggahan:Jika kita perhatikan dengan seksama dalil-dalil yang sahih dari beberapa dalil di atas, tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa puasa Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji. Yang ada adalah penyebutan hari Arafah sebagai hari wukufnya jemaah haji. Dan hadis-hadis tersebut semisal dengan hadis,صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 238)Oleh karena itu, karena hadis-hadis ini semisal, mengapa membedakan antara ini dan itu. Semestinya berlakukan kaidah yang sama antara puasa Arafah dan puasa Ramadan dan Idulfitri, yaitu mengikuti hilal masing-masing negeri.Dalil kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyandingkan kata “shiyam” dengan kata “hari Arafah”, dalam hadis,صيام يوم عرفة“Puasa hari Arafah.” (HR. Muslim no. 116)Ini menunjukkan bahwa puasa dilakukan ketika orang-orang berwukuf di Arafah sehingga dinamakan puasa hari Arafah.Sanggahan:Pendalilan ini juga tidak sharih (tegas) menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan di hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah. Karena pada hadis yang lain justru tegas disebutkan hari tersebut adalah 9 Zulhijah. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Dalil ketiga, adanya ijma’ amali selama puluhan tahun bahwa hari Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji di Arafah. Telah dinukil oleh Syekh Hisamuddin ‘Affanah dari Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar bahwa beliau berkata,إن المسلمين في جميع أقطار العالم الإسلامي قد أجمعوا إجماعاً عملياً منذ عشرات السنين على متابعة الحجاج في عيد الأضحى ولا يجوز لأي جهة أو مجموعة من الناس مخالفة هذا الإجماع“Kaum muslimin di seluruh negeri sudah ijmak secara praktek sejak puluhan tahun bahwa Iduladha itu mengikuti jemaah haji, dan tidak boleh sedikit pun atau sekelompok orang manapun menyelisihi ijmak ini.”Syekh Abdurrahman As-Suhaim rahimahullah mengatakan,ولا عبرة هنا باختلاف المطالع ؛ لأن الأمة تجتمع على أن يوم عرفة في ذلك اليوم الْمُحدَّد ، وعادة من يُخالف في ذلك لا يُخالف لأجل اختلاف مطالع ، بل لأمور سياسية !“Perbedaan mathla’ tidak ada artinya dalam masalah ini, karena umat telah sepakat bahwa hari Arafah itu pada waktu yang ditentukan tersebut. Dan biasanya, perbedaan dalam masalah ini bukanlah karena perbedaan mathla’, namun karena sekedar kepentingan politik.”Sanggahan:Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khalil mengatakan,فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi. Karena justru sejak dahulu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi, maka hal ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal. Karena kaum muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern, mereka sama sekali tidak berpatokan pada wukufnya jemaah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun ulama ahli fikih yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wukufnya jemaah haji di Arafah.”Dalil keempat, jika melihat keutamaan dan keagungan hari Arafah dalam hadis-hadis, maka hari yang layak dan sesuai dengannya adalah hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah.Sanggahan:Keutamaan dan keagungan hari Arafah adalah bagi orang-orang yang wukuf di Arafah. Adapun keutamaan puasa Arafah itu untuk seluruh manusia yang tidak sedang berhaji. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,صيامُ يومِ عرفةَ ، أَحتسبُ على اللهِ أن يُكفِّرَ السنةَ التي قبلَه . والسنةَ التي بعده“Puasa di hari Arafah aku harapkan bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)Hadis ini umum berlaku untuk semua orang yang tidak berhaji. Maka puasa Arafah tidak harus mencocoki wukufnya jemaah haji.Baca juga: Rahasia Keagungan Hari ArafahPendapat keduaBahwa hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah, baik bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji ataupun tidak. Karena setiap negeri memiliki hasil ru’yatul hilal masing-masing (ikhtilaful mathali’). Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin, Syekh Hani bin Abdillah Al-Jubair, Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi, Syekh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih, dan lain-lain, hafizhahumullah.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, masalah penentuan hari Arafah ini adalah masalah furu’ (turunan) dari pembahasan mengenai ikhtilaful mathali’. Sehingga dalil-dalilnya sebagaimana dalil-dalil dalam masalah ikhtilaful mathali’. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda,لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka hingga engkau melihat hilal.” (HR. Muslim no. 1080)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idulfitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Iduladha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi no. 632, Ad-Daruquthni no. 385)Para ulama berbeda pendapat mengenai ikhtilaful mathali’, yaitu jika satu negeri sudah melihat hilal, apakah negeri lain mengikuti persaksian negeri tersebut ataukan mengikuti ru’yatul hilal di negeri masing-masing? Ini yang dibahas oleh para ulama. Dan dalam membahas masalah ini, para ulama tidak membedakan bulan Zulhijah dengan bulan yang lain.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Masalah (penentuan hari Arafah) ini didasari oleh perselisihan para ulama mengenai apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia ataukah hilal berbeda-beda tergantung mathla’? Yang benar dalam masalah ini, hilal berbeda-beda tergantung mathla’. Misalnya, di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Zulhijah. Sedangkan di negara lain, hilal Zulhijah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah adalah tanggal 10 Zulhijah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iduladha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Zulhijah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah itu baru tanggal 8 Zulhijah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijah di Makkah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no. 19)Penjelasan demikian juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan para ulama yang lain.Sanggahan:Dalil-dalil menunjukkan bahwa ini bukan masalah ikhtilaful mathali’ sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan penentuan awal puasa Ramadan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.”Maka definisi “yaum arafah” adalah hari ketika para jemaah haji wukuf, sehingga yang menjadi patokan adalah wukuf. Dan ini disebutkan oleh sebagian ulama. Ibnul Arabi mengatakan,وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها“Seluruh manusia di segala penjuru mengikuti para jemaah haji dalam masalah tersebut.” (Ahkamul Qur’an, 1: 143)Dalil kedua, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah pada penanggalan Hijriah bukan melihat pada wukuf di padang Arafah. Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan kata يوم عرفة dengan definisi tersebut, sebagaimana dalam Qamus Al-Fiqhi, Mu’jam Lughatil Fuqaha, dan syarah kitab-kitab sunnah. Yang menjadi perselisihan adalah mengenai sebab penamaan hari tersebut dengan hari Arafah.Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير“Adapun hari Arafah, maka ia adalah tanggal 9 Zulhijah. Dinamakan demikian karena di hari itu waktunya wukuf di Arafah. Sebagian ulama mengatakan, dinamakan demikian karena Ibrahim ‘alaihis salam diperlihatkan dalam mimpinya di malam Tarwiyah bahwasanya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sehingga ketika bangun, ia pun yatarawwa (memikirkannya terus) apakah ini sekedar mimpi ataukah wahyu dari Allah? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari Tarwiyah. Dan di malam selanjutnya ia bermimpi lagi, sehingga jadilah hari itu hari Arafah, karena ia telah ‘arafa (mengetahui) bahwasanya itu adalah wahyu dari Allah. Sehingga dinamakan hari Arafah. Ia adalah hari yang agung dan mulia, dan merupakan id yang mulia, keutamaannya sangatlah besar.”Dalil ketiga, terdapat riwayat yang menunjukkan secara sharih (tegas) bahwa hari Arafah adalah tanggal sembilan Zulhijah, di antaranya hadis Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ ، ويومَ عاشوراءَ ، وثلاثةَ أيَّامٍ من كلِّ شَهْرٍ ، أوَّلَ اثنينِ منَ الشَّهرِ والخميسَ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah, pada hari Asyura, puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa di hari Senin dan Kamis di awal bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Sanggahan:Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama, diantaranya oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah, dan juga Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad. Syekh Al-Albani sendiri walaupun mensahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih An-Nasa’i, beliau mendhaifkan di Shahih Al-Jami’.Dalil keempat, terdapat riwayat sahih yang menunjukkan bahwa hari Iduladha dan Arafah itu mengikuti ulil amri. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha,أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقاً وحليةً فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس“Masruq datang ke rumah Aisyah bersama seorang lelaki. Kemudian Aisyah berkata kepada budaknya, ‘Wahai budak, hidangkan kepada mereka sawiq (sejenis roti) dan manisan, andaikan saya tidak puasa saya juga akan mencobanya.’ Maka kedua lelaki tersebut berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau sedang berpuasa? Bukankah engkau tahu bahwa bisa jadi hari ini sudah hari menyembelih (Iduladha)?’ Maka Aisyah berkata, ‘Hari menyembelih adalah ketika imam (ulil amri) menyembelih, dan manusia berkumpul semua, dan hari berbuka adalah ketika imam berbuka dan manusia berkumpul semua.” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf [4: 157], dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [1: 389])Maka, dalam hadis ini jelas Aisyah menyandarkan lebaran dan puasa kepada keputusan ulil amri.Dalil kelima, masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, maka berlaku kaidah:حكم الحاكم فيها يرفع الخلاف“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف ، وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه“Jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan, lalu penguasa negara memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib untuk menaati perintahnya. Karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dan keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, maka berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri tempat kalian berada berpuasa dan berbuka, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda. Demikian juga dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no.19)Wallahu a’lam, pendapat kedua inilah yang lebih kuat karena lebih selamat dari isykal dan sanggahan. Yaitu bahwa puasa Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah mengikuti ru’yatul hilal negeri masing-masing, tanpa melihat apakah bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji atau tidak.Baca juga: Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diringkas dari tulisan Syekh Dr. Ahmad bin Muhammad bin Khalil dengan beberapa penambahan.


Daftar Isi TogglePerbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaPendapat pertamaPendapat keduaالحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد المبعوث رحمة للعالمين ، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين ، وبعدPembahasan mengenai penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah adalah pembahasan yang sering di diskusikan di waktu-waktu bulan Zulhijah. Dan pembahasan ini pun sejatinya telah dibahas oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak ada cela bila terus membahasnya dalam rangka menyebarkan ilmu dan mendekatkan umat kepada ilmu yang telah kita ketahui bersama betapa agungnya kedudukan ilmu bagi seorang muslim. Tentunya dengan tetap memperhatikan koridor-koridor dalam berdiskusi dan bersikap adil dalam menyikapi perbedaan yang ada, tanpa melebihi batas.Perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnyaMathla’ artinya tempat terlihatnya hilal yang menunjukkan bulan baru atau awal bulan. Suatu hal yang disepakati bahwa mathla’ itu bisa berbeda-beda tergantung tempat melihatnya. Oleh karena itu, terkadang (atau bahkan sering), hilal sudah terlihat di negeri A namun tidak terlihat di negeri B. Dan ini tentunya mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan.Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah menjadi dua pendapat:Pendapat pertamaBahwa hari Arafah itu adalah hari ketika para jemaah haji wukuf di Arafah dan seluruh umat Islam di berbagai negeri mengikuti waktu tersebut.  Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Saudi Arabia) yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Lajnah Al-Ifta Al-Mishriyyah (Mesir), Syekh Faishal Maulawi, Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Syekh Abdurrahman As-Suhaim, Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan para ulama yang lain.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, yang dimaksud hari Arafah adalah hari ketika jemaah hari wukuf di Arafah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:Dari ‘Atha’ rahimahullah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 5: 176 dan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1: 264 dari ‘Atha’ secara mursal dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4224)Dari Ibnul Munkadir, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,عرفة يوم يعرف الإمام“Hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 175], Ibnu Hajar dalam At Talkhis berkata, “Dalam riwayat ini Mujahid bersendirian, lalu Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Muhammad bin Al-Munkadir dari ‘Aisyah statusnya mursal. Dan perkataan Al-Baihaqi ini benar. Walaupun At-Tirmidzi telah menukil dari Imam Bukhari bahwa beliau berkata bahwa Ibnul Munkadir mendengar hadis dari ‘Aisyah.”)Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24) berkata, “Sanad hadis ini lemah, Muhammad bin Ismail Al Farisi disebutkan dalam Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat (9: 78), ‘Dia sering meriwayatkan hadis gharib’ dan lihat juga Lisanul Mizan (5: 77). Walaupun demikian, Asy-Syekh Ahmad Syakir mensahihkan hadis ini dalam tulisan beliau yang berjudul Awa’ilus Syuhur Al-‘Arabiyyah Hal Yajuz Syar’an Itsbatuha bil Hisab Al Falakiy (hal. 26)”.Dari Masruq, beliau menemui ‘Aisyah radhiyallahu ’anha di hari Arafah, kemudian Masruq berkata, ‘Beri aku minum’. Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Wahai budak, berilah ia minuman madu. Wahai Masruq, apakah engkau tidak puasa?’ Masruq berkata, ‘Tidak, saya khawatir ini sudah hari Iduladha.’ ‘Aisyah berkata,ليس ذلك إنما عرفة يوم يعرف الإمام ، ويوم النحر يوم ينحر الإمام ، أو ما سمعت يا مسروق أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعدله بألف يوم“Bukan demikian, sesungguhnya hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah dan hari Iduladha adalah hari ketika imam berkurban. Atau mungkin engkau belum mendengar wahai Masruq, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam menyamakan puasa Arafah dengan puasa 1000 hari?” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [3: 190] berkata, “Dalam sanadnya ada Dalham bin Shalih, ia dianggap lemah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, sehingga sanadnya hasan.” Dan hadis ini dilemahkan oleh Syekh Al-Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib)Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Khalid bin Usaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berwukuf di Arafah ketika itu.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [2: 224] dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 176] dan ia berkata, ‘Hadis ini mursal jayyid dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil.“)Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir berkata, “Abdul Aziz ini seorang tabi’in. Ibnu Syahin menukil perkataan Ibnu Abi Dawud bahwa status Abdul Aziz diperselisihkan (ia sahabat Nabi atau bukan). Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Abdullah bin Khalid, ayah Abdul Aziz, dengan hadis ini dari jalan Abdul Aziz dari Abdullah bin Khalid.”Ibnu Hajar juga berkata dalam At-Taqrib (1: 472), “Sebagian ulama ada yang menyebutnya sebagai sahabat Nabi.” Namun hal ini tidak mengeluarkan hadis ini dari status mursal, karena Abdullah bin Khalid bin Usaid (ayah Abdul Aziz) juga dikatakan oleh Ibnu Mandah, “Status shuhbah dan ru’yah-nya perlu dikritisi.” Artinya, Abdullah bin Khalid juga masih diperselisihkan apakah ia sahabat Nabi atau bukan. Pernyataan demikian juga ada dari Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shahabah, juga Ibnu Al-Atsir dalam Usudul Ghabah. Hadis ini dilemahkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24). Beliau menjelaskan bahwa hadis ini memiliki 3 illah (cacat). Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini memiliki syahid yang tidak bisa cukup untuk mengangkat derajatnya, yaitu riwayat dari Al-Waqidi yang ia statusnya matruk.Sanggahan:Jika kita perhatikan dengan seksama dalil-dalil yang sahih dari beberapa dalil di atas, tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa puasa Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji. Yang ada adalah penyebutan hari Arafah sebagai hari wukufnya jemaah haji. Dan hadis-hadis tersebut semisal dengan hadis,صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 238)Oleh karena itu, karena hadis-hadis ini semisal, mengapa membedakan antara ini dan itu. Semestinya berlakukan kaidah yang sama antara puasa Arafah dan puasa Ramadan dan Idulfitri, yaitu mengikuti hilal masing-masing negeri.Dalil kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyandingkan kata “shiyam” dengan kata “hari Arafah”, dalam hadis,صيام يوم عرفة“Puasa hari Arafah.” (HR. Muslim no. 116)Ini menunjukkan bahwa puasa dilakukan ketika orang-orang berwukuf di Arafah sehingga dinamakan puasa hari Arafah.Sanggahan:Pendalilan ini juga tidak sharih (tegas) menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan di hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah. Karena pada hadis yang lain justru tegas disebutkan hari tersebut adalah 9 Zulhijah. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Dalil ketiga, adanya ijma’ amali selama puluhan tahun bahwa hari Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji di Arafah. Telah dinukil oleh Syekh Hisamuddin ‘Affanah dari Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar bahwa beliau berkata,إن المسلمين في جميع أقطار العالم الإسلامي قد أجمعوا إجماعاً عملياً منذ عشرات السنين على متابعة الحجاج في عيد الأضحى ولا يجوز لأي جهة أو مجموعة من الناس مخالفة هذا الإجماع“Kaum muslimin di seluruh negeri sudah ijmak secara praktek sejak puluhan tahun bahwa Iduladha itu mengikuti jemaah haji, dan tidak boleh sedikit pun atau sekelompok orang manapun menyelisihi ijmak ini.”Syekh Abdurrahman As-Suhaim rahimahullah mengatakan,ولا عبرة هنا باختلاف المطالع ؛ لأن الأمة تجتمع على أن يوم عرفة في ذلك اليوم الْمُحدَّد ، وعادة من يُخالف في ذلك لا يُخالف لأجل اختلاف مطالع ، بل لأمور سياسية !“Perbedaan mathla’ tidak ada artinya dalam masalah ini, karena umat telah sepakat bahwa hari Arafah itu pada waktu yang ditentukan tersebut. Dan biasanya, perbedaan dalam masalah ini bukanlah karena perbedaan mathla’, namun karena sekedar kepentingan politik.”Sanggahan:Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khalil mengatakan,فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi. Karena justru sejak dahulu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi, maka hal ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal. Karena kaum muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern, mereka sama sekali tidak berpatokan pada wukufnya jemaah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun ulama ahli fikih yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wukufnya jemaah haji di Arafah.”Dalil keempat, jika melihat keutamaan dan keagungan hari Arafah dalam hadis-hadis, maka hari yang layak dan sesuai dengannya adalah hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah.Sanggahan:Keutamaan dan keagungan hari Arafah adalah bagi orang-orang yang wukuf di Arafah. Adapun keutamaan puasa Arafah itu untuk seluruh manusia yang tidak sedang berhaji. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,صيامُ يومِ عرفةَ ، أَحتسبُ على اللهِ أن يُكفِّرَ السنةَ التي قبلَه . والسنةَ التي بعده“Puasa di hari Arafah aku harapkan bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)Hadis ini umum berlaku untuk semua orang yang tidak berhaji. Maka puasa Arafah tidak harus mencocoki wukufnya jemaah haji.Baca juga: Rahasia Keagungan Hari ArafahPendapat keduaBahwa hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah, baik bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji ataupun tidak. Karena setiap negeri memiliki hasil ru’yatul hilal masing-masing (ikhtilaful mathali’). Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin, Syekh Hani bin Abdillah Al-Jubair, Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi, Syekh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih, dan lain-lain, hafizhahumullah.Dalil-dalil mereka adalah:Dalil pertama, masalah penentuan hari Arafah ini adalah masalah furu’ (turunan) dari pembahasan mengenai ikhtilaful mathali’. Sehingga dalil-dalilnya sebagaimana dalil-dalil dalam masalah ikhtilaful mathali’. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda,لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka hingga engkau melihat hilal.” (HR. Muslim no. 1080)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idulfitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Iduladha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi no. 632, Ad-Daruquthni no. 385)Para ulama berbeda pendapat mengenai ikhtilaful mathali’, yaitu jika satu negeri sudah melihat hilal, apakah negeri lain mengikuti persaksian negeri tersebut ataukan mengikuti ru’yatul hilal di negeri masing-masing? Ini yang dibahas oleh para ulama. Dan dalam membahas masalah ini, para ulama tidak membedakan bulan Zulhijah dengan bulan yang lain.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Masalah (penentuan hari Arafah) ini didasari oleh perselisihan para ulama mengenai apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia ataukah hilal berbeda-beda tergantung mathla’? Yang benar dalam masalah ini, hilal berbeda-beda tergantung mathla’. Misalnya, di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Zulhijah. Sedangkan di negara lain, hilal Zulhijah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah adalah tanggal 10 Zulhijah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iduladha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Zulhijah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah itu baru tanggal 8 Zulhijah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijah di Makkah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no. 19)Penjelasan demikian juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan para ulama yang lain.Sanggahan:Dalil-dalil menunjukkan bahwa ini bukan masalah ikhtilaful mathali’ sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan penentuan awal puasa Ramadan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.”Maka definisi “yaum arafah” adalah hari ketika para jemaah haji wukuf, sehingga yang menjadi patokan adalah wukuf. Dan ini disebutkan oleh sebagian ulama. Ibnul Arabi mengatakan,وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها“Seluruh manusia di segala penjuru mengikuti para jemaah haji dalam masalah tersebut.” (Ahkamul Qur’an, 1: 143)Dalil kedua, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah pada penanggalan Hijriah bukan melihat pada wukuf di padang Arafah. Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan kata يوم عرفة dengan definisi tersebut, sebagaimana dalam Qamus Al-Fiqhi, Mu’jam Lughatil Fuqaha, dan syarah kitab-kitab sunnah. Yang menjadi perselisihan adalah mengenai sebab penamaan hari tersebut dengan hari Arafah.Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير“Adapun hari Arafah, maka ia adalah tanggal 9 Zulhijah. Dinamakan demikian karena di hari itu waktunya wukuf di Arafah. Sebagian ulama mengatakan, dinamakan demikian karena Ibrahim ‘alaihis salam diperlihatkan dalam mimpinya di malam Tarwiyah bahwasanya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sehingga ketika bangun, ia pun yatarawwa (memikirkannya terus) apakah ini sekedar mimpi ataukah wahyu dari Allah? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari Tarwiyah. Dan di malam selanjutnya ia bermimpi lagi, sehingga jadilah hari itu hari Arafah, karena ia telah ‘arafa (mengetahui) bahwasanya itu adalah wahyu dari Allah. Sehingga dinamakan hari Arafah. Ia adalah hari yang agung dan mulia, dan merupakan id yang mulia, keutamaannya sangatlah besar.”Dalil ketiga, terdapat riwayat yang menunjukkan secara sharih (tegas) bahwa hari Arafah adalah tanggal sembilan Zulhijah, di antaranya hadis Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ ، ويومَ عاشوراءَ ، وثلاثةَ أيَّامٍ من كلِّ شَهْرٍ ، أوَّلَ اثنينِ منَ الشَّهرِ والخميسَ“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah, pada hari Asyura, puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa di hari Senin dan Kamis di awal bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)Sanggahan:Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama, diantaranya oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah, dan juga Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad. Syekh Al-Albani sendiri walaupun mensahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih An-Nasa’i, beliau mendhaifkan di Shahih Al-Jami’.Dalil keempat, terdapat riwayat sahih yang menunjukkan bahwa hari Iduladha dan Arafah itu mengikuti ulil amri. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha,أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقاً وحليةً فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس“Masruq datang ke rumah Aisyah bersama seorang lelaki. Kemudian Aisyah berkata kepada budaknya, ‘Wahai budak, hidangkan kepada mereka sawiq (sejenis roti) dan manisan, andaikan saya tidak puasa saya juga akan mencobanya.’ Maka kedua lelaki tersebut berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau sedang berpuasa? Bukankah engkau tahu bahwa bisa jadi hari ini sudah hari menyembelih (Iduladha)?’ Maka Aisyah berkata, ‘Hari menyembelih adalah ketika imam (ulil amri) menyembelih, dan manusia berkumpul semua, dan hari berbuka adalah ketika imam berbuka dan manusia berkumpul semua.” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf [4: 157], dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [1: 389])Maka, dalam hadis ini jelas Aisyah menyandarkan lebaran dan puasa kepada keputusan ulil amri.Dalil kelima, masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, maka berlaku kaidah:حكم الحاكم فيها يرفع الخلاف“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف ، وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه“Jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan, lalu penguasa negara memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib untuk menaati perintahnya. Karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dan keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, maka berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri tempat kalian berada berpuasa dan berbuka, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda. Demikian juga dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no.19)Wallahu a’lam, pendapat kedua inilah yang lebih kuat karena lebih selamat dari isykal dan sanggahan. Yaitu bahwa puasa Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah mengikuti ru’yatul hilal negeri masing-masing, tanpa melihat apakah bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji atau tidak.Baca juga: Keutamaan dan Keistimewaan Hari Arafah***Penulis: Yulian PurnamaArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diringkas dari tulisan Syekh Dr. Ahmad bin Muhammad bin Khalil dengan beberapa penambahan.

Jika Hewan Kurban Disembelih Sebelum Shahibul Qurban Salat Iduladha karena Perbedaan Zona Waktu

Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id

Jika Hewan Kurban Disembelih Sebelum Shahibul Qurban Salat Iduladha karena Perbedaan Zona Waktu

Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id
Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id


Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id

Kamu Posting Apa Hari Ini? Bisa Jadi Pahala Abadi atau Dosa Tak Berhenti?

Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى

Kamu Posting Apa Hari Ini? Bisa Jadi Pahala Abadi atau Dosa Tak Berhenti?

Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى
Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى


Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 9): Bagaimana Kita Membalas Kasih Sayang Allah?

Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 9): Bagaimana Kita Membalas Kasih Sayang Allah?

Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari
Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari


Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 2)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 217 times, 1 visit(s) today Post Views: 517 QRIS donasi Yufid

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 2)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 217 times, 1 visit(s) today Post Views: 517 QRIS donasi Yufid
أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 217 times, 1 visit(s) today Post Views: 517 QRIS donasi Yufid


أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 217 times, 1 visit(s) today Post Views: 517 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 1)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 757 times, 1 visit(s) today Post Views: 648 QRIS donasi Yufid

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 1)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 757 times, 1 visit(s) today Post Views: 648 QRIS donasi Yufid
أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 757 times, 1 visit(s) today Post Views: 648 QRIS donasi Yufid


أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Ziarah Kubur Bagi Wanita, Suami Minum Asi, Memotong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan Dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar Visited 757 times, 1 visit(s) today Post Views: 648 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 7)

Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 7)

Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

4 Bulan Haram: Waktu Emas Pahala Berlipat, Tapi Dosa Juga Lebih Berat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا

4 Bulan Haram: Waktu Emas Pahala Berlipat, Tapi Dosa Juga Lebih Berat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا
Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا


Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا

Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah: Hari-Hari Terbaik dalam Setahun

Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195

Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah: Hari-Hari Terbaik dalam Setahun

Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195
Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195


Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195

Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ

Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ
Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ


Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ
Prev     Next