Kasih Sayang adalah Pondasi Agama Islam

Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id

Kasih Sayang adalah Pondasi Agama Islam

Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id

Tahapan-Tahapan Larangan Khamr dalam Al-Qur’an

Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id

Tahapan-Tahapan Larangan Khamr dalam Al-Qur’an

Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id

Ternyata Inilah Hubungan Iman dan Amal Saleh – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ

Ternyata Inilah Hubungan Iman dan Amal Saleh – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ
Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ


Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.
Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.


Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.

Hukum Gratifikasi kepada Pejabat atau Penyelenggara Negara

Daftar Isi Toggle Pengertian gratifikasiDi antara bentuk gratifikasi yang marak terjadiHukum gratifikasiHikmah dilarangnya gratifikasiPenutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Pengertian gratifikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan bahwa, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Adapun makna gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, tanda terima kasih, tips, dan lain sebagainya. Gratifikasi dapat disebut juga sebagai suap yang terselubung. Di antara bentuk gratifikasi yang marak terjadi Gratifikasi adalah fenomena yang sayangnya banyak terjadi di masyarakat kita, dari lapisan bawah hingga mereka yang berada di atas sudah sangat jamak terdengar fenomena ini terjadi. Dari lingkup sekolah hingga pelayanan di instansi pemerintahan, sudah sangat umum kita temukan kasus-kasus yang mengarah kepada tindakan tercela ini. Memberi hadiah, souvenir, atau uang tips kepada pejabat saat kunjungan kerja. Seorang mahasiswa memberi hadiah kepada dosennya menjelang ujian skripsinya. Dalam pelayanan misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari seseorang yang kasusnya sedang ditangani, akibatnya keputusan hakim menjadi berat sebelah dan lebih condong kepada orang tersebut. Tentu ini juga merupakan bentuk gratifikasi. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap perbuatan semacam ini? Hukum gratifikasi Dalam Islam, gratifikasi hukumnya haram sebagaimana gratifikasi juga dilarang dalam hukum bernegara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya dari menerima gratifikasi atau suap. Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan, اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku Al-Azdi yang bernama Ibnu Al-Utbiah sebagai pemungut zakat. Ketika pulang dari tugasnya tersebut, dia berkata, ‘Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku.’ Beliau bersabda, ‘Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Zat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik.’ Kemudian beliau mengangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata), ‘Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan’ sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832) Di hadis yang lainnya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul (harta rampasan perang yang bukan menjadi haknya). Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ “Hadiah bagi para pegawai adalah ghulul (yakni, barang curian dari harta rampasan perang).” (HR. Ahmad no.  22495) Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa hukuman ghulul sama dengan hukuman mereka yang mengambil suap. Ia berfirman, وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.“ (QS. Ali Imran: 161) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga pernah menyampaikan tatkala beliau ditanya dalam sebuah kesempatan, “Apa hukumnya pemberian yang diberikan kepada dokter setelah ia berobat?” Beliau  menjawab, “Jika dia adalah seorang dokter di rumah sakit pemerintah, atau apotek pemerintah, maka dia tidak boleh diberi apa-apa (karena di Kerajaan Saudi, fasilitas kesehatan termasuk yang menjadi tanggungan pemerintah). Akan tetapi, jika diberinya setelah selesai dari pekerjaannya, tanpa janji, ataupun alasan apa pun, mungkin tidak ada salahnya. Akan  tetapi, lebih aman untuk tidak menerimanya, karena ditakutkan dengan menerima hal tersebut, dia akan memberinya lebih banyak perhatian, dan mengabaikan orang lain. Saya pribadi berpendapat untuk tidak memberinya apa pun, bahkan setelah dia selesai dari pekerjaannya, sebagai bentuk saddu adz-dzari’ah dan menghindari adanya trik. Maka, orang yang berobat tersebut tidak boleh memberi dokter tersebut suatu apa pun, melainkan hanya doa yang baik untuknya, berdoa agar (dokter tersebut) selalu dalam taufik dan pertolongan Allah dan selalu diberi kesuksesan dengan ucapannya kepadanya, جزاك الله خيرًا، نسأل الله لك الإعانة والتوفيق ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu. Kami memohon kepada Allah agar selalu menolongmu dan memberimu taufik-Nya.’ ” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, 19: 380-381) Dari sini, dapat kita pahami, baik itu dari sisi yang memberikan gratifikasi ataupun mereka yang menerimanya, maka sama-sama terlarang dalam agama Islam. Perbuatan semacam ini pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Baca juga: Korupsi Waktu Hikmah dilarangnya gratifikasi Pertama: Menutup celah hilangnya profesionalisme seseorang dan bermudah-mudahan dirinya dalam menjalankan amanah ataupun tugas yang sedang diembannya, yang mana ini tentu merupakan sebuah penghianatan. Seorang hakim misalnya, pasti ia akan terpengaruh dengan gratifikasi yang diambilnya. Dalam mengambil keputusan dan mengetok palu, tentu akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasan Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu As-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi. Kedua: Gratifikasi menyebabkan adanya sikap pilih kasih dan kecenderungan memberikan pelayanan yang maksimal hanya ketika ada suap dan pemberian. Adapun untuk mereka yang yang tidak memberinya sesuatu, maka ia akan bersikap acuh tak acuh atau bahkan mempersulit pelayanannya. Padahal, semua masyarakat seharusnya memiliki hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Karena sejatinya ia telah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum. Ketiga: Menumbuhkan rasa ikhlas dan menghilangkan harapan akan sesuatu dari manusia yang akan merusak mental seorang pegawai dalam bekerja. Penutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Mungkin pada awalnya gratifikasi ada yang benar-benar bertujuan baik, yaitu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pelayanan yang baik dari seorang pegawai atau penyelenggara negara. Akan tetapi, perlu kita sadari bersama bahwa hadiah semacam ini memiliki dampak buruk yang begitu banyak, baik bagi si pemberi ataupun yang menerimanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ الرَّاشِيَ والْمُرْتَشِيَ “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi no. 1337) Hendaknya jangan sampai kita mendapatkan sebuah pelayanan, mengambil hak yang bukan menjadi hak kita karena adanya harta yang kita bayarkan kepada seorang pegawai atau penyelenggara negara. Ingatlah firman Allah Ta’ala, وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) Bagi mereka yang sedang bekerja di sebuah instansi pemerintahan ataupun perusahaan yang melayani masyarakat umum dan telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya tersebut untuk lebih berhati-hati di dalam menerima pemberian dari orang lain. Hendaknya ia senantiasa bertanya dan memperjelas apakah pemberian tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang sedang diembannya tersebut ataukah tidak. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mengambil suap, gratifikasi, dan yang semisalnya merupakan salah satu kebiasaan dan perilaku orang-orang Yahudi yang seharusnya kita hindari. Allah Ta’ala berfirman, وَتَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62) Para ahli tafsir menyebutkan bahwa makna harta yang haram di dalam ayat tersebut di antaranya adalah suap, sogokan, dan gratifikasi. Wallahu a’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Menyikapi Dosa Korupsi dan Koruptor *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Gratifikasi kepada Pejabat atau Penyelenggara Negara

Daftar Isi Toggle Pengertian gratifikasiDi antara bentuk gratifikasi yang marak terjadiHukum gratifikasiHikmah dilarangnya gratifikasiPenutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Pengertian gratifikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan bahwa, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Adapun makna gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, tanda terima kasih, tips, dan lain sebagainya. Gratifikasi dapat disebut juga sebagai suap yang terselubung. Di antara bentuk gratifikasi yang marak terjadi Gratifikasi adalah fenomena yang sayangnya banyak terjadi di masyarakat kita, dari lapisan bawah hingga mereka yang berada di atas sudah sangat jamak terdengar fenomena ini terjadi. Dari lingkup sekolah hingga pelayanan di instansi pemerintahan, sudah sangat umum kita temukan kasus-kasus yang mengarah kepada tindakan tercela ini. Memberi hadiah, souvenir, atau uang tips kepada pejabat saat kunjungan kerja. Seorang mahasiswa memberi hadiah kepada dosennya menjelang ujian skripsinya. Dalam pelayanan misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari seseorang yang kasusnya sedang ditangani, akibatnya keputusan hakim menjadi berat sebelah dan lebih condong kepada orang tersebut. Tentu ini juga merupakan bentuk gratifikasi. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap perbuatan semacam ini? Hukum gratifikasi Dalam Islam, gratifikasi hukumnya haram sebagaimana gratifikasi juga dilarang dalam hukum bernegara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya dari menerima gratifikasi atau suap. Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan, اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku Al-Azdi yang bernama Ibnu Al-Utbiah sebagai pemungut zakat. Ketika pulang dari tugasnya tersebut, dia berkata, ‘Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku.’ Beliau bersabda, ‘Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Zat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik.’ Kemudian beliau mengangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata), ‘Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan’ sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832) Di hadis yang lainnya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul (harta rampasan perang yang bukan menjadi haknya). Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ “Hadiah bagi para pegawai adalah ghulul (yakni, barang curian dari harta rampasan perang).” (HR. Ahmad no.  22495) Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa hukuman ghulul sama dengan hukuman mereka yang mengambil suap. Ia berfirman, وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.“ (QS. Ali Imran: 161) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga pernah menyampaikan tatkala beliau ditanya dalam sebuah kesempatan, “Apa hukumnya pemberian yang diberikan kepada dokter setelah ia berobat?” Beliau  menjawab, “Jika dia adalah seorang dokter di rumah sakit pemerintah, atau apotek pemerintah, maka dia tidak boleh diberi apa-apa (karena di Kerajaan Saudi, fasilitas kesehatan termasuk yang menjadi tanggungan pemerintah). Akan tetapi, jika diberinya setelah selesai dari pekerjaannya, tanpa janji, ataupun alasan apa pun, mungkin tidak ada salahnya. Akan  tetapi, lebih aman untuk tidak menerimanya, karena ditakutkan dengan menerima hal tersebut, dia akan memberinya lebih banyak perhatian, dan mengabaikan orang lain. Saya pribadi berpendapat untuk tidak memberinya apa pun, bahkan setelah dia selesai dari pekerjaannya, sebagai bentuk saddu adz-dzari’ah dan menghindari adanya trik. Maka, orang yang berobat tersebut tidak boleh memberi dokter tersebut suatu apa pun, melainkan hanya doa yang baik untuknya, berdoa agar (dokter tersebut) selalu dalam taufik dan pertolongan Allah dan selalu diberi kesuksesan dengan ucapannya kepadanya, جزاك الله خيرًا، نسأل الله لك الإعانة والتوفيق ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu. Kami memohon kepada Allah agar selalu menolongmu dan memberimu taufik-Nya.’ ” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, 19: 380-381) Dari sini, dapat kita pahami, baik itu dari sisi yang memberikan gratifikasi ataupun mereka yang menerimanya, maka sama-sama terlarang dalam agama Islam. Perbuatan semacam ini pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Baca juga: Korupsi Waktu Hikmah dilarangnya gratifikasi Pertama: Menutup celah hilangnya profesionalisme seseorang dan bermudah-mudahan dirinya dalam menjalankan amanah ataupun tugas yang sedang diembannya, yang mana ini tentu merupakan sebuah penghianatan. Seorang hakim misalnya, pasti ia akan terpengaruh dengan gratifikasi yang diambilnya. Dalam mengambil keputusan dan mengetok palu, tentu akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasan Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu As-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi. Kedua: Gratifikasi menyebabkan adanya sikap pilih kasih dan kecenderungan memberikan pelayanan yang maksimal hanya ketika ada suap dan pemberian. Adapun untuk mereka yang yang tidak memberinya sesuatu, maka ia akan bersikap acuh tak acuh atau bahkan mempersulit pelayanannya. Padahal, semua masyarakat seharusnya memiliki hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Karena sejatinya ia telah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum. Ketiga: Menumbuhkan rasa ikhlas dan menghilangkan harapan akan sesuatu dari manusia yang akan merusak mental seorang pegawai dalam bekerja. Penutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Mungkin pada awalnya gratifikasi ada yang benar-benar bertujuan baik, yaitu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pelayanan yang baik dari seorang pegawai atau penyelenggara negara. Akan tetapi, perlu kita sadari bersama bahwa hadiah semacam ini memiliki dampak buruk yang begitu banyak, baik bagi si pemberi ataupun yang menerimanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ الرَّاشِيَ والْمُرْتَشِيَ “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi no. 1337) Hendaknya jangan sampai kita mendapatkan sebuah pelayanan, mengambil hak yang bukan menjadi hak kita karena adanya harta yang kita bayarkan kepada seorang pegawai atau penyelenggara negara. Ingatlah firman Allah Ta’ala, وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) Bagi mereka yang sedang bekerja di sebuah instansi pemerintahan ataupun perusahaan yang melayani masyarakat umum dan telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya tersebut untuk lebih berhati-hati di dalam menerima pemberian dari orang lain. Hendaknya ia senantiasa bertanya dan memperjelas apakah pemberian tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang sedang diembannya tersebut ataukah tidak. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mengambil suap, gratifikasi, dan yang semisalnya merupakan salah satu kebiasaan dan perilaku orang-orang Yahudi yang seharusnya kita hindari. Allah Ta’ala berfirman, وَتَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62) Para ahli tafsir menyebutkan bahwa makna harta yang haram di dalam ayat tersebut di antaranya adalah suap, sogokan, dan gratifikasi. Wallahu a’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Menyikapi Dosa Korupsi dan Koruptor *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pengertian gratifikasiDi antara bentuk gratifikasi yang marak terjadiHukum gratifikasiHikmah dilarangnya gratifikasiPenutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Pengertian gratifikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan bahwa, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Adapun makna gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, tanda terima kasih, tips, dan lain sebagainya. Gratifikasi dapat disebut juga sebagai suap yang terselubung. Di antara bentuk gratifikasi yang marak terjadi Gratifikasi adalah fenomena yang sayangnya banyak terjadi di masyarakat kita, dari lapisan bawah hingga mereka yang berada di atas sudah sangat jamak terdengar fenomena ini terjadi. Dari lingkup sekolah hingga pelayanan di instansi pemerintahan, sudah sangat umum kita temukan kasus-kasus yang mengarah kepada tindakan tercela ini. Memberi hadiah, souvenir, atau uang tips kepada pejabat saat kunjungan kerja. Seorang mahasiswa memberi hadiah kepada dosennya menjelang ujian skripsinya. Dalam pelayanan misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari seseorang yang kasusnya sedang ditangani, akibatnya keputusan hakim menjadi berat sebelah dan lebih condong kepada orang tersebut. Tentu ini juga merupakan bentuk gratifikasi. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap perbuatan semacam ini? Hukum gratifikasi Dalam Islam, gratifikasi hukumnya haram sebagaimana gratifikasi juga dilarang dalam hukum bernegara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya dari menerima gratifikasi atau suap. Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan, اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku Al-Azdi yang bernama Ibnu Al-Utbiah sebagai pemungut zakat. Ketika pulang dari tugasnya tersebut, dia berkata, ‘Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku.’ Beliau bersabda, ‘Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Zat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik.’ Kemudian beliau mengangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata), ‘Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan’ sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832) Di hadis yang lainnya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul (harta rampasan perang yang bukan menjadi haknya). Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ “Hadiah bagi para pegawai adalah ghulul (yakni, barang curian dari harta rampasan perang).” (HR. Ahmad no.  22495) Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa hukuman ghulul sama dengan hukuman mereka yang mengambil suap. Ia berfirman, وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.“ (QS. Ali Imran: 161) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga pernah menyampaikan tatkala beliau ditanya dalam sebuah kesempatan, “Apa hukumnya pemberian yang diberikan kepada dokter setelah ia berobat?” Beliau  menjawab, “Jika dia adalah seorang dokter di rumah sakit pemerintah, atau apotek pemerintah, maka dia tidak boleh diberi apa-apa (karena di Kerajaan Saudi, fasilitas kesehatan termasuk yang menjadi tanggungan pemerintah). Akan tetapi, jika diberinya setelah selesai dari pekerjaannya, tanpa janji, ataupun alasan apa pun, mungkin tidak ada salahnya. Akan  tetapi, lebih aman untuk tidak menerimanya, karena ditakutkan dengan menerima hal tersebut, dia akan memberinya lebih banyak perhatian, dan mengabaikan orang lain. Saya pribadi berpendapat untuk tidak memberinya apa pun, bahkan setelah dia selesai dari pekerjaannya, sebagai bentuk saddu adz-dzari’ah dan menghindari adanya trik. Maka, orang yang berobat tersebut tidak boleh memberi dokter tersebut suatu apa pun, melainkan hanya doa yang baik untuknya, berdoa agar (dokter tersebut) selalu dalam taufik dan pertolongan Allah dan selalu diberi kesuksesan dengan ucapannya kepadanya, جزاك الله خيرًا، نسأل الله لك الإعانة والتوفيق ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu. Kami memohon kepada Allah agar selalu menolongmu dan memberimu taufik-Nya.’ ” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, 19: 380-381) Dari sini, dapat kita pahami, baik itu dari sisi yang memberikan gratifikasi ataupun mereka yang menerimanya, maka sama-sama terlarang dalam agama Islam. Perbuatan semacam ini pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Baca juga: Korupsi Waktu Hikmah dilarangnya gratifikasi Pertama: Menutup celah hilangnya profesionalisme seseorang dan bermudah-mudahan dirinya dalam menjalankan amanah ataupun tugas yang sedang diembannya, yang mana ini tentu merupakan sebuah penghianatan. Seorang hakim misalnya, pasti ia akan terpengaruh dengan gratifikasi yang diambilnya. Dalam mengambil keputusan dan mengetok palu, tentu akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasan Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu As-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi. Kedua: Gratifikasi menyebabkan adanya sikap pilih kasih dan kecenderungan memberikan pelayanan yang maksimal hanya ketika ada suap dan pemberian. Adapun untuk mereka yang yang tidak memberinya sesuatu, maka ia akan bersikap acuh tak acuh atau bahkan mempersulit pelayanannya. Padahal, semua masyarakat seharusnya memiliki hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Karena sejatinya ia telah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum. Ketiga: Menumbuhkan rasa ikhlas dan menghilangkan harapan akan sesuatu dari manusia yang akan merusak mental seorang pegawai dalam bekerja. Penutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Mungkin pada awalnya gratifikasi ada yang benar-benar bertujuan baik, yaitu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pelayanan yang baik dari seorang pegawai atau penyelenggara negara. Akan tetapi, perlu kita sadari bersama bahwa hadiah semacam ini memiliki dampak buruk yang begitu banyak, baik bagi si pemberi ataupun yang menerimanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ الرَّاشِيَ والْمُرْتَشِيَ “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi no. 1337) Hendaknya jangan sampai kita mendapatkan sebuah pelayanan, mengambil hak yang bukan menjadi hak kita karena adanya harta yang kita bayarkan kepada seorang pegawai atau penyelenggara negara. Ingatlah firman Allah Ta’ala, وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) Bagi mereka yang sedang bekerja di sebuah instansi pemerintahan ataupun perusahaan yang melayani masyarakat umum dan telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya tersebut untuk lebih berhati-hati di dalam menerima pemberian dari orang lain. Hendaknya ia senantiasa bertanya dan memperjelas apakah pemberian tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang sedang diembannya tersebut ataukah tidak. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mengambil suap, gratifikasi, dan yang semisalnya merupakan salah satu kebiasaan dan perilaku orang-orang Yahudi yang seharusnya kita hindari. Allah Ta’ala berfirman, وَتَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62) Para ahli tafsir menyebutkan bahwa makna harta yang haram di dalam ayat tersebut di antaranya adalah suap, sogokan, dan gratifikasi. Wallahu a’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Menyikapi Dosa Korupsi dan Koruptor *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pengertian gratifikasiDi antara bentuk gratifikasi yang marak terjadiHukum gratifikasiHikmah dilarangnya gratifikasiPenutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Pengertian gratifikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan bahwa, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” Adapun makna gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, tanda terima kasih, tips, dan lain sebagainya. Gratifikasi dapat disebut juga sebagai suap yang terselubung. Di antara bentuk gratifikasi yang marak terjadi Gratifikasi adalah fenomena yang sayangnya banyak terjadi di masyarakat kita, dari lapisan bawah hingga mereka yang berada di atas sudah sangat jamak terdengar fenomena ini terjadi. Dari lingkup sekolah hingga pelayanan di instansi pemerintahan, sudah sangat umum kita temukan kasus-kasus yang mengarah kepada tindakan tercela ini. Memberi hadiah, souvenir, atau uang tips kepada pejabat saat kunjungan kerja. Seorang mahasiswa memberi hadiah kepada dosennya menjelang ujian skripsinya. Dalam pelayanan misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari seseorang yang kasusnya sedang ditangani, akibatnya keputusan hakim menjadi berat sebelah dan lebih condong kepada orang tersebut. Tentu ini juga merupakan bentuk gratifikasi. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap perbuatan semacam ini? Hukum gratifikasi Dalam Islam, gratifikasi hukumnya haram sebagaimana gratifikasi juga dilarang dalam hukum bernegara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya dari menerima gratifikasi atau suap. Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan, اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku Al-Azdi yang bernama Ibnu Al-Utbiah sebagai pemungut zakat. Ketika pulang dari tugasnya tersebut, dia berkata, ‘Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku.’ Beliau bersabda, ‘Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Zat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik.’ Kemudian beliau mengangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata), ‘Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan’ sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832) Di hadis yang lainnya, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul (harta rampasan perang yang bukan menjadi haknya). Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda, هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ “Hadiah bagi para pegawai adalah ghulul (yakni, barang curian dari harta rampasan perang).” (HR. Ahmad no.  22495) Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa hukuman ghulul sama dengan hukuman mereka yang mengambil suap. Ia berfirman, وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.“ (QS. Ali Imran: 161) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga pernah menyampaikan tatkala beliau ditanya dalam sebuah kesempatan, “Apa hukumnya pemberian yang diberikan kepada dokter setelah ia berobat?” Beliau  menjawab, “Jika dia adalah seorang dokter di rumah sakit pemerintah, atau apotek pemerintah, maka dia tidak boleh diberi apa-apa (karena di Kerajaan Saudi, fasilitas kesehatan termasuk yang menjadi tanggungan pemerintah). Akan tetapi, jika diberinya setelah selesai dari pekerjaannya, tanpa janji, ataupun alasan apa pun, mungkin tidak ada salahnya. Akan  tetapi, lebih aman untuk tidak menerimanya, karena ditakutkan dengan menerima hal tersebut, dia akan memberinya lebih banyak perhatian, dan mengabaikan orang lain. Saya pribadi berpendapat untuk tidak memberinya apa pun, bahkan setelah dia selesai dari pekerjaannya, sebagai bentuk saddu adz-dzari’ah dan menghindari adanya trik. Maka, orang yang berobat tersebut tidak boleh memberi dokter tersebut suatu apa pun, melainkan hanya doa yang baik untuknya, berdoa agar (dokter tersebut) selalu dalam taufik dan pertolongan Allah dan selalu diberi kesuksesan dengan ucapannya kepadanya, جزاك الله خيرًا، نسأل الله لك الإعانة والتوفيق ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu. Kami memohon kepada Allah agar selalu menolongmu dan memberimu taufik-Nya.’ ” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, 19: 380-381) Dari sini, dapat kita pahami, baik itu dari sisi yang memberikan gratifikasi ataupun mereka yang menerimanya, maka sama-sama terlarang dalam agama Islam. Perbuatan semacam ini pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Baca juga: Korupsi Waktu Hikmah dilarangnya gratifikasi Pertama: Menutup celah hilangnya profesionalisme seseorang dan bermudah-mudahan dirinya dalam menjalankan amanah ataupun tugas yang sedang diembannya, yang mana ini tentu merupakan sebuah penghianatan. Seorang hakim misalnya, pasti ia akan terpengaruh dengan gratifikasi yang diambilnya. Dalam mengambil keputusan dan mengetok palu, tentu akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasan Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu As-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi. Kedua: Gratifikasi menyebabkan adanya sikap pilih kasih dan kecenderungan memberikan pelayanan yang maksimal hanya ketika ada suap dan pemberian. Adapun untuk mereka yang yang tidak memberinya sesuatu, maka ia akan bersikap acuh tak acuh atau bahkan mempersulit pelayanannya. Padahal, semua masyarakat seharusnya memiliki hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Karena sejatinya ia telah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum. Ketiga: Menumbuhkan rasa ikhlas dan menghilangkan harapan akan sesuatu dari manusia yang akan merusak mental seorang pegawai dalam bekerja. Penutup: Bagaimana muslim seharusnya bersikap? Mungkin pada awalnya gratifikasi ada yang benar-benar bertujuan baik, yaitu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pelayanan yang baik dari seorang pegawai atau penyelenggara negara. Akan tetapi, perlu kita sadari bersama bahwa hadiah semacam ini memiliki dampak buruk yang begitu banyak, baik bagi si pemberi ataupun yang menerimanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, لعنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ الرَّاشِيَ والْمُرْتَشِيَ “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Tirmidzi no. 1337) Hendaknya jangan sampai kita mendapatkan sebuah pelayanan, mengambil hak yang bukan menjadi hak kita karena adanya harta yang kita bayarkan kepada seorang pegawai atau penyelenggara negara. Ingatlah firman Allah Ta’ala, وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) Bagi mereka yang sedang bekerja di sebuah instansi pemerintahan ataupun perusahaan yang melayani masyarakat umum dan telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya tersebut untuk lebih berhati-hati di dalam menerima pemberian dari orang lain. Hendaknya ia senantiasa bertanya dan memperjelas apakah pemberian tersebut ada hubungannya dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang sedang diembannya tersebut ataukah tidak. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa mengambil suap, gratifikasi, dan yang semisalnya merupakan salah satu kebiasaan dan perilaku orang-orang Yahudi yang seharusnya kita hindari. Allah Ta’ala berfirman, وَتَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62) Para ahli tafsir menyebutkan bahwa makna harta yang haram di dalam ayat tersebut di antaranya adalah suap, sogokan, dan gratifikasi. Wallahu a’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Menyikapi Dosa Korupsi dan Koruptor *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Doa Istiftah dalam Salat Malam

Daftar Isi Toggle Kandungan makna doaPertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan IsrafilKedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumiKetiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyataKeempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihanKelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Doa istiftah adalah salah satu doa yang dibaca pada awal salat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa doa istiftah yang beliau ajarkan kepada kita, umatnya. Salah satu doa yang sering beliau baca ketika memulai salat malam adalah sebagaimana dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang gaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran dalam hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 770) Kandungan makna doa Doa istiftah ini sarat akan makna dan mengandung pelajaran penting yang menyentuh berbagai aspek keagungan Allah, pentingnya petunjuk dari-Nya, serta kedudukan istimewa para malaikat. Melalui doa ini, kita diajarkan untuk mengakui dan menghormati kebesaran Allah dan para Malaikat-Nya yang memiliki peran besar dalam menjalankan perintah-Nya. Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari doa ini: Pertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan Israfil Masing-masing dari malaikat ini memiliki tugas penting dalam Islam. Jibril ‘alaihis salam bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, termasuk menyampaikan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa semua ajaran agama yang benar bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril, menjadikannya sebagai perantara kebenaran ilahi. Mikail ‘alaihis salam bertugas mengatur turunnya hujan serta pertumbuhan tanaman, yang menjadi sumber rezeki bagi seluruh makhluk. Mikail melambangkan kemurahan Allah yang memberikan rezeki dan keberkahan kepada makhluk-Nya, serta menjaga keseimbangan alam. Sedangkan Israfil ‘alaihis salam bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat, yang menandakan dimulainya hari pembalasan. Tugas Israfil ini mengingatkan kita akan akhir kehidupan dunia dan dimulainya kehidupan akhirat. Oleh karenanya, dengan menyebut nama-nama malaikat tersebut dalam doa, kita diajak untuk selalu mengingat peran besar para malaikat tersebut dalam menjalankan perintah Allah. Menyebut mereka dalam doa juga merupakan bentuk penghormatan kepada para malaikat yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Begitu pula, pengakuan terhadap mereka dalam doa ini membantu kita untuk memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dalam hal rezeki, wahyu, maupun kehidupan setelah mati, semuanya diatur oleh Allah melalui malaikat-malaikat-Nya yang mulia. Kedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumi Dalam lanjutan doa ini, kita mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. Kalimat ini mengajarkan kepada kita tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang kita saksikan (syahadah) maupun yang tersembunyi (gaib). Allah menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebagaimana firman-Nya, خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-‘Ankabut: 44) Pengakuan ini memperkuat keyakinan kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah kekuasaan dan kendali Allah, sehingga kita selalu merasa rendah diri di hadapan-Nya dan senantiasa bergantung kepada-Nya dalam setiap urusan kita. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ketiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyata Dalam doa ini, juga disebutkan bahwa Allah adalah ‘Alimul Ghaibi wasy Syahadah, yang berarti bahwa Allah mengetahui segala hal yang tersembunyi (gaib) dan yang tampak (nyata). Maka, makna doa ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan Allah, baik yang tersembunyi dalam hati manusia, maupun yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman, يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghabun: 4) Dengan demikian, seorang hamba yang membaca doa ini diingatkan untuk selalu jujur dalam hati dan amal, karena Allah mengetahui segala sesuatu yang tersirat maupun yang tersurat. Keempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihan Salah satu inti dari doa ini adalah permohonan agar Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam hal-hal yang diperselisihkan. Manusia sering kali berbeda pendapat, baik dalam urusan agama maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar (hidayah) dalam menghadapi perselisihan tersebut. Allah berfirman, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59) Jadi, sangatlah jelas bahwa doa ini menegaskan betapa pentingnya hidayah Allah dalam menemukan kebenaran di tengah perbedaan yang ada. Hanya dengan izin Allah, kita bisa diarahkan menuju jalan yang benar. Kelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Ini mengingatkan kita pada doa yang kita baca dalam setiap rakaat salat, yaitu surah Al-Fatihah, ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6) Jalan yang lurus adalah jalan yang mengantarkan kita kepada keridaan Allah dan keselamatan di dunia serta akhirat. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk ke jalan ini, dan kita harus selalu memohon kepada-Nya agar tidak tersesat dari jalan tersebut. Doa istiftah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan doa mulia yang sarat makna. Kita mengakui kekuasaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pemberi petunjuk dengan doa ini. Kita memohon kepada-Nya agar selalu ditunjukkan jalan yang lurus dan diberi petunjuk dalam menghadapi berbagai perselisihan. Mudah-mudahan, Allah memudahkan kita untuk selalu mengamalkan doa ini dalam setiap salat kita, terutama salat malam, dan mendapatkan hidayah dari Allah untuk selalu berada di jalan yang benar. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Doa Istiftah dalam Salat Malam

Daftar Isi Toggle Kandungan makna doaPertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan IsrafilKedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumiKetiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyataKeempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihanKelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Doa istiftah adalah salah satu doa yang dibaca pada awal salat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa doa istiftah yang beliau ajarkan kepada kita, umatnya. Salah satu doa yang sering beliau baca ketika memulai salat malam adalah sebagaimana dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang gaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran dalam hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 770) Kandungan makna doa Doa istiftah ini sarat akan makna dan mengandung pelajaran penting yang menyentuh berbagai aspek keagungan Allah, pentingnya petunjuk dari-Nya, serta kedudukan istimewa para malaikat. Melalui doa ini, kita diajarkan untuk mengakui dan menghormati kebesaran Allah dan para Malaikat-Nya yang memiliki peran besar dalam menjalankan perintah-Nya. Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari doa ini: Pertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan Israfil Masing-masing dari malaikat ini memiliki tugas penting dalam Islam. Jibril ‘alaihis salam bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, termasuk menyampaikan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa semua ajaran agama yang benar bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril, menjadikannya sebagai perantara kebenaran ilahi. Mikail ‘alaihis salam bertugas mengatur turunnya hujan serta pertumbuhan tanaman, yang menjadi sumber rezeki bagi seluruh makhluk. Mikail melambangkan kemurahan Allah yang memberikan rezeki dan keberkahan kepada makhluk-Nya, serta menjaga keseimbangan alam. Sedangkan Israfil ‘alaihis salam bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat, yang menandakan dimulainya hari pembalasan. Tugas Israfil ini mengingatkan kita akan akhir kehidupan dunia dan dimulainya kehidupan akhirat. Oleh karenanya, dengan menyebut nama-nama malaikat tersebut dalam doa, kita diajak untuk selalu mengingat peran besar para malaikat tersebut dalam menjalankan perintah Allah. Menyebut mereka dalam doa juga merupakan bentuk penghormatan kepada para malaikat yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Begitu pula, pengakuan terhadap mereka dalam doa ini membantu kita untuk memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dalam hal rezeki, wahyu, maupun kehidupan setelah mati, semuanya diatur oleh Allah melalui malaikat-malaikat-Nya yang mulia. Kedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumi Dalam lanjutan doa ini, kita mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. Kalimat ini mengajarkan kepada kita tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang kita saksikan (syahadah) maupun yang tersembunyi (gaib). Allah menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebagaimana firman-Nya, خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-‘Ankabut: 44) Pengakuan ini memperkuat keyakinan kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah kekuasaan dan kendali Allah, sehingga kita selalu merasa rendah diri di hadapan-Nya dan senantiasa bergantung kepada-Nya dalam setiap urusan kita. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ketiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyata Dalam doa ini, juga disebutkan bahwa Allah adalah ‘Alimul Ghaibi wasy Syahadah, yang berarti bahwa Allah mengetahui segala hal yang tersembunyi (gaib) dan yang tampak (nyata). Maka, makna doa ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan Allah, baik yang tersembunyi dalam hati manusia, maupun yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman, يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghabun: 4) Dengan demikian, seorang hamba yang membaca doa ini diingatkan untuk selalu jujur dalam hati dan amal, karena Allah mengetahui segala sesuatu yang tersirat maupun yang tersurat. Keempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihan Salah satu inti dari doa ini adalah permohonan agar Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam hal-hal yang diperselisihkan. Manusia sering kali berbeda pendapat, baik dalam urusan agama maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar (hidayah) dalam menghadapi perselisihan tersebut. Allah berfirman, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59) Jadi, sangatlah jelas bahwa doa ini menegaskan betapa pentingnya hidayah Allah dalam menemukan kebenaran di tengah perbedaan yang ada. Hanya dengan izin Allah, kita bisa diarahkan menuju jalan yang benar. Kelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Ini mengingatkan kita pada doa yang kita baca dalam setiap rakaat salat, yaitu surah Al-Fatihah, ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6) Jalan yang lurus adalah jalan yang mengantarkan kita kepada keridaan Allah dan keselamatan di dunia serta akhirat. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk ke jalan ini, dan kita harus selalu memohon kepada-Nya agar tidak tersesat dari jalan tersebut. Doa istiftah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan doa mulia yang sarat makna. Kita mengakui kekuasaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pemberi petunjuk dengan doa ini. Kita memohon kepada-Nya agar selalu ditunjukkan jalan yang lurus dan diberi petunjuk dalam menghadapi berbagai perselisihan. Mudah-mudahan, Allah memudahkan kita untuk selalu mengamalkan doa ini dalam setiap salat kita, terutama salat malam, dan mendapatkan hidayah dari Allah untuk selalu berada di jalan yang benar. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Kandungan makna doaPertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan IsrafilKedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumiKetiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyataKeempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihanKelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Doa istiftah adalah salah satu doa yang dibaca pada awal salat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa doa istiftah yang beliau ajarkan kepada kita, umatnya. Salah satu doa yang sering beliau baca ketika memulai salat malam adalah sebagaimana dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang gaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran dalam hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 770) Kandungan makna doa Doa istiftah ini sarat akan makna dan mengandung pelajaran penting yang menyentuh berbagai aspek keagungan Allah, pentingnya petunjuk dari-Nya, serta kedudukan istimewa para malaikat. Melalui doa ini, kita diajarkan untuk mengakui dan menghormati kebesaran Allah dan para Malaikat-Nya yang memiliki peran besar dalam menjalankan perintah-Nya. Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari doa ini: Pertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan Israfil Masing-masing dari malaikat ini memiliki tugas penting dalam Islam. Jibril ‘alaihis salam bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, termasuk menyampaikan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa semua ajaran agama yang benar bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril, menjadikannya sebagai perantara kebenaran ilahi. Mikail ‘alaihis salam bertugas mengatur turunnya hujan serta pertumbuhan tanaman, yang menjadi sumber rezeki bagi seluruh makhluk. Mikail melambangkan kemurahan Allah yang memberikan rezeki dan keberkahan kepada makhluk-Nya, serta menjaga keseimbangan alam. Sedangkan Israfil ‘alaihis salam bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat, yang menandakan dimulainya hari pembalasan. Tugas Israfil ini mengingatkan kita akan akhir kehidupan dunia dan dimulainya kehidupan akhirat. Oleh karenanya, dengan menyebut nama-nama malaikat tersebut dalam doa, kita diajak untuk selalu mengingat peran besar para malaikat tersebut dalam menjalankan perintah Allah. Menyebut mereka dalam doa juga merupakan bentuk penghormatan kepada para malaikat yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Begitu pula, pengakuan terhadap mereka dalam doa ini membantu kita untuk memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dalam hal rezeki, wahyu, maupun kehidupan setelah mati, semuanya diatur oleh Allah melalui malaikat-malaikat-Nya yang mulia. Kedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumi Dalam lanjutan doa ini, kita mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. Kalimat ini mengajarkan kepada kita tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang kita saksikan (syahadah) maupun yang tersembunyi (gaib). Allah menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebagaimana firman-Nya, خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-‘Ankabut: 44) Pengakuan ini memperkuat keyakinan kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah kekuasaan dan kendali Allah, sehingga kita selalu merasa rendah diri di hadapan-Nya dan senantiasa bergantung kepada-Nya dalam setiap urusan kita. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ketiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyata Dalam doa ini, juga disebutkan bahwa Allah adalah ‘Alimul Ghaibi wasy Syahadah, yang berarti bahwa Allah mengetahui segala hal yang tersembunyi (gaib) dan yang tampak (nyata). Maka, makna doa ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan Allah, baik yang tersembunyi dalam hati manusia, maupun yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman, يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghabun: 4) Dengan demikian, seorang hamba yang membaca doa ini diingatkan untuk selalu jujur dalam hati dan amal, karena Allah mengetahui segala sesuatu yang tersirat maupun yang tersurat. Keempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihan Salah satu inti dari doa ini adalah permohonan agar Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam hal-hal yang diperselisihkan. Manusia sering kali berbeda pendapat, baik dalam urusan agama maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar (hidayah) dalam menghadapi perselisihan tersebut. Allah berfirman, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59) Jadi, sangatlah jelas bahwa doa ini menegaskan betapa pentingnya hidayah Allah dalam menemukan kebenaran di tengah perbedaan yang ada. Hanya dengan izin Allah, kita bisa diarahkan menuju jalan yang benar. Kelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Ini mengingatkan kita pada doa yang kita baca dalam setiap rakaat salat, yaitu surah Al-Fatihah, ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6) Jalan yang lurus adalah jalan yang mengantarkan kita kepada keridaan Allah dan keselamatan di dunia serta akhirat. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk ke jalan ini, dan kita harus selalu memohon kepada-Nya agar tidak tersesat dari jalan tersebut. Doa istiftah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan doa mulia yang sarat makna. Kita mengakui kekuasaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pemberi petunjuk dengan doa ini. Kita memohon kepada-Nya agar selalu ditunjukkan jalan yang lurus dan diberi petunjuk dalam menghadapi berbagai perselisihan. Mudah-mudahan, Allah memudahkan kita untuk selalu mengamalkan doa ini dalam setiap salat kita, terutama salat malam, dan mendapatkan hidayah dari Allah untuk selalu berada di jalan yang benar. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Kandungan makna doaPertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan IsrafilKedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumiKetiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyataKeempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihanKelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Doa istiftah adalah salah satu doa yang dibaca pada awal salat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa doa istiftah yang beliau ajarkan kepada kita, umatnya. Salah satu doa yang sering beliau baca ketika memulai salat malam adalah sebagaimana dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اِهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang gaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum untuk memutuskan apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran dalam hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 770) Kandungan makna doa Doa istiftah ini sarat akan makna dan mengandung pelajaran penting yang menyentuh berbagai aspek keagungan Allah, pentingnya petunjuk dari-Nya, serta kedudukan istimewa para malaikat. Melalui doa ini, kita diajarkan untuk mengakui dan menghormati kebesaran Allah dan para Malaikat-Nya yang memiliki peran besar dalam menjalankan perintah-Nya. Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari doa ini: Pertama: Pengakuan bahwa Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat besar: Jibril, Mikail, dan Israfil Masing-masing dari malaikat ini memiliki tugas penting dalam Islam. Jibril ‘alaihis salam bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, termasuk menyampaikan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa semua ajaran agama yang benar bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril, menjadikannya sebagai perantara kebenaran ilahi. Mikail ‘alaihis salam bertugas mengatur turunnya hujan serta pertumbuhan tanaman, yang menjadi sumber rezeki bagi seluruh makhluk. Mikail melambangkan kemurahan Allah yang memberikan rezeki dan keberkahan kepada makhluk-Nya, serta menjaga keseimbangan alam. Sedangkan Israfil ‘alaihis salam bertugas meniup sangkakala pada hari kiamat, yang menandakan dimulainya hari pembalasan. Tugas Israfil ini mengingatkan kita akan akhir kehidupan dunia dan dimulainya kehidupan akhirat. Oleh karenanya, dengan menyebut nama-nama malaikat tersebut dalam doa, kita diajak untuk selalu mengingat peran besar para malaikat tersebut dalam menjalankan perintah Allah. Menyebut mereka dalam doa juga merupakan bentuk penghormatan kepada para malaikat yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Begitu pula, pengakuan terhadap mereka dalam doa ini membantu kita untuk memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik dalam hal rezeki, wahyu, maupun kehidupan setelah mati, semuanya diatur oleh Allah melalui malaikat-malaikat-Nya yang mulia. Kedua: Allah sebagai Pencipta langit dan bumi Dalam lanjutan doa ini, kita mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. Kalimat ini mengajarkan kepada kita tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang kita saksikan (syahadah) maupun yang tersembunyi (gaib). Allah menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebagaimana firman-Nya, خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ “Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-‘Ankabut: 44) Pengakuan ini memperkuat keyakinan kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah kekuasaan dan kendali Allah, sehingga kita selalu merasa rendah diri di hadapan-Nya dan senantiasa bergantung kepada-Nya dalam setiap urusan kita. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ketiga: Allah Mengetahui yang gaib dan nyata Dalam doa ini, juga disebutkan bahwa Allah adalah ‘Alimul Ghaibi wasy Syahadah, yang berarti bahwa Allah mengetahui segala hal yang tersembunyi (gaib) dan yang tampak (nyata). Maka, makna doa ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan Allah, baik yang tersembunyi dalam hati manusia, maupun yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman, يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghabun: 4) Dengan demikian, seorang hamba yang membaca doa ini diingatkan untuk selalu jujur dalam hati dan amal, karena Allah mengetahui segala sesuatu yang tersirat maupun yang tersurat. Keempat: Memohon petunjuk di tengah perselisihan Salah satu inti dari doa ini adalah permohonan agar Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam hal-hal yang diperselisihkan. Manusia sering kali berbeda pendapat, baik dalam urusan agama maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar (hidayah) dalam menghadapi perselisihan tersebut. Allah berfirman, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59) Jadi, sangatlah jelas bahwa doa ini menegaskan betapa pentingnya hidayah Allah dalam menemukan kebenaran di tengah perbedaan yang ada. Hanya dengan izin Allah, kita bisa diarahkan menuju jalan yang benar. Kelima: Jalan yang lurus (Shirathal mustaqim) Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. Ini mengingatkan kita pada doa yang kita baca dalam setiap rakaat salat, yaitu surah Al-Fatihah, ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6) Jalan yang lurus adalah jalan yang mengantarkan kita kepada keridaan Allah dan keselamatan di dunia serta akhirat. Hanya Allah yang dapat memberi petunjuk ke jalan ini, dan kita harus selalu memohon kepada-Nya agar tidak tersesat dari jalan tersebut. Doa istiftah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan doa mulia yang sarat makna. Kita mengakui kekuasaan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pemberi petunjuk dengan doa ini. Kita memohon kepada-Nya agar selalu ditunjukkan jalan yang lurus dan diberi petunjuk dalam menghadapi berbagai perselisihan. Mudah-mudahan, Allah memudahkan kita untuk selalu mengamalkan doa ini dalam setiap salat kita, terutama salat malam, dan mendapatkan hidayah dari Allah untuk selalu berada di jalan yang benar. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa Saat Terbangun di Malam Hari *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KelimaTeks Hadis KeenamKandungan HadisKandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa?Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan?Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Teks Hadis Kelima Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah seorang di antara kalian diundang (walimah), maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut. Jika dia sedang berpuasa, hendaklah dia mendoakan (tuan rumah). Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia makan.” (HR. Muslim no. 1431) Teks Hadis Keenam Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ “Jika dia mau, dia boleh makan; dan jika dia mau, dia boleh meninggalkannya.” (HR. Muslim no. 1430) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa? Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah alasan untuk tidak memenuhi undangan walimah. Seseorang yang diundang saat berpuasa, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah tersebut sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Kehadirannya tersebut cukup untuk memenuhi maksud undangan, meskipun dia tidak ikut makan. Jika tuan rumah mengizinkannya (untuk tidak hadir), kewajiban untuk hadir pun dapat gugur. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari perkataan, فليصلِّ (falyushalli). Sebagian ulama memahaminya secara tekstual dan menafsirkannya sebagai salat yang kita kenal, yaitu ibadah salat dari takbiratul ihram hingga salam. Artinya, seseorang hadir memenuhi undangan walimah dan mendirikan salat agar mendapatkan keutamaan dari salat tersebut dan memberikan keberkahan kepada tuan rumah dan para tamu yang hadir. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “falyushalli” adalah doa (mendoakan tuan rumah). Maksudnya, hendaknya ia berdoa untuk tuan rumah dengan permohonan ampunan, keberkahan, dan petunjuk (hidayah) bagi orang yang mengundang. [1] Penafsiran “salat” sebagai “doa” juga terdapat dalam nash-nash syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ “Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Penafsiran “salat” sebagai doa juga diriwayatkan oleh sebagian perawinya, yaitu Hisyam bin Hassan, dalam riwayat al-Baihaqi [2]. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ “Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan; dan jika dia berpuasa, hendaknya dia berdoa.” (HR. Abu Dawud no. 3737) Dalam riwayat Ahmad melalui jalur Hisyam bin Hassan disebutkan, فَلْيُصَلِّ وَلْيَدْعُ لَهُمْ “Hendaknya dia salat dan berdoa untuk mereka.” (HR. Ahmad, 13: 172-173) Al-Albani rahimahullah mengatakan, ولعل قوله” :وليدعُ”خطأ من بعض النساخ أو الرواة، وأصله: أي: ليدع لهم “Kemungkinan besar kata ‘wal-yad’u’ adalah kesalahan dari sebagian penyalin manuskrip atau perawi, dan asalnya adalah: yaitu, hendaknya dia berdoa untuk mereka.” [3] Syekh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan bahwa dia tidak menemukan dalam riwayat manapun bahwa kalimat ini berasal dari hadis marfu’ (disandarkan langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga kemungkinan besar itu adalah penjelasan yang disisipkan oleh Hisyam bin Hassan. [4] Yang lebih kuat, wallahu Ta’ala a’alam, adalah pendapat pertama. Sehingga orang yang diundang hendaknya salat dua rakaat di rumah si pengundang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha [5]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ، فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ، قَالَ: أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ» ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى غَيْرَ المَكْتُوبَةِ، “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim membawakan kurma dan lemak untuk beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalikan lemak kalian ke tempatnya dan kurma kalian ke wadahnya, karena sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Lalu beliau berdiri menuju sudut rumah dan melaksanakan salat sunah … “ (HR. Bukhari no. 1982) Pendapat ini menggabungkan antara ibadah salat dan doa sekaligus. [6] Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan? Jika seorang yang berpuasa memenuhi undangan walimah, maka jika puasanya adalah puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadan, haram baginya untuk membatalkan puasa tersebut menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Disunahkan untuk memberitahukan kondisinya bahwa dia sedang berpuasa, agar tuan rumah memahami alasannya, supaya tidak disangka bahwa dia tidak suka dengan makanan yang disajikan atau semacamnya. Menyampaikan kondisi sedang berpuasa ini tidak dianggap sebagai perbuatan riya’, melainkan sebagai bagian dari adab pergaulan yang baik dan untuk memberikan alasan pada waktu yang dibutuhkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke suatu jamuan, sedangkan dia sedang berpuasa, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Muslim no. 1150) Jika ia hadir, hendaknya ia mendoakan tuan rumah dengan doa-doa yang sesuai, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ “Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian, orang-orang baik makan makanan kalian, dan malaikat turun atas kalian.” (HR. Ahmad, 19: 397-398, dengan sanad yang sahih) Atau doa lain yang sesuai dengan keadaan pada saat itu. Adapun jika puasanya adalah puasa sunah, maka dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini karena membatalkan puasa sunah dengan alasan yang dibenarkan itu hukumnya diperbolehkan. Jika dengan membatalkan puasa dan ikut makan dari makanan yang disajikan saudara yang mengundangnya itu dapat menyenangkan hatinya dan membawa kebahagiaan kepadanya, maka yang lebih baik dan lebih utama adalah membatalkan puasa sunah. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa dia membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah datang bersama para sahabatnya. Ketika makanan disajikan, seorang laki-laki dari kaum itu berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دعاكم أخوكم، وتكلف لكم “Saudaramu telah mengundangmu dan bersusah payah untukmu.” Kemudian beliau berkata kepadanya, أفطر، وصم مكانه يومًا إن شئت “Berbukalah, dan gantilah puasamu di hari lain jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi, 4: 279. Sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 4: 210. Dinilai hasan oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 7: 11-12) Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Para ulama, yaitu salah satu pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali dan Syafi’i, berdalil dengan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa yang menjadi kewajiban adalah menghadiri (memenuhi) undangan, sedangkan makan tidaklah wajib meskipun orang yang diundang tidak sedang berpuasa. Hal ini karena yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diancam jika ditinggalkan adalah menghadiri undangan, sedangkan makan tidak disebutkan sebagai sesuatu yang wajib. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa makan bersifat pilihan (opsional). Namun, makan lebih utama karena lebih sempurna dalam memenuhi undangan, lebih memuliakan pengundang, dan juga menghibur hatinya, kecuali jika ada uzur, seperti sudah makan sebelum datang, makanan yang disajikan tidak cocok untuknya, memerlukan makanan khusus, atau alasan lain yang menghalangi makan. Akan tetapi, jika memungkinkan untuk duduk bersama mereka dan makan meskipun sedikit dari jenis makanan yang disukai, seperti buah-buahan misalnya, itu lebih baik dan lebih sempurna. Adapun mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [7] berpendapat bahwa makan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika tidak berpuasa, maka hendaknya dia makan”; dan karena tujuan dari menghadiri undangan adalah untuk makan, sehingga hal itu menjadi kewajiban. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu bahwa makan tidaklah wajib; karena hadis dengan jelas memberikan pilihan kepada orang yang diundang antara makan atau tidak makan (lihat kembali teks hadis keenam di atas). Sehingga perintah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَطْعَمْ “hendaknya ia makan’; diartikan sebagai perintah anjuran (sunah) [8]. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari undangan adalah untuk makan, maka memerlukan peninjauan kembali, karena yang dimaksud sebenarnya adalah memenuhi undangan dan hadir, serta menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kewajiban hadir juga berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak makan [9]. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** @30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 9: 247. [2] As-Sunan Al-Kubra, 8: 263. [3] Al-Irwa’, 7: 14. [4] Al-Musnad, 14: 170. [5] Lihat Syarh At-Thibi ‘ala Al-Misykat, 4: 195. [6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7: 132. [7] Syarh Shahih Muslim, 7: 276. [8] Tharh At-Tatsrib, 7: 80. [9] Al-Mughni, 10: 197-198. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 422-425). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 4)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KelimaTeks Hadis KeenamKandungan HadisKandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa?Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan?Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Teks Hadis Kelima Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah seorang di antara kalian diundang (walimah), maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut. Jika dia sedang berpuasa, hendaklah dia mendoakan (tuan rumah). Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia makan.” (HR. Muslim no. 1431) Teks Hadis Keenam Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ “Jika dia mau, dia boleh makan; dan jika dia mau, dia boleh meninggalkannya.” (HR. Muslim no. 1430) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa? Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah alasan untuk tidak memenuhi undangan walimah. Seseorang yang diundang saat berpuasa, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah tersebut sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Kehadirannya tersebut cukup untuk memenuhi maksud undangan, meskipun dia tidak ikut makan. Jika tuan rumah mengizinkannya (untuk tidak hadir), kewajiban untuk hadir pun dapat gugur. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari perkataan, فليصلِّ (falyushalli). Sebagian ulama memahaminya secara tekstual dan menafsirkannya sebagai salat yang kita kenal, yaitu ibadah salat dari takbiratul ihram hingga salam. Artinya, seseorang hadir memenuhi undangan walimah dan mendirikan salat agar mendapatkan keutamaan dari salat tersebut dan memberikan keberkahan kepada tuan rumah dan para tamu yang hadir. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “falyushalli” adalah doa (mendoakan tuan rumah). Maksudnya, hendaknya ia berdoa untuk tuan rumah dengan permohonan ampunan, keberkahan, dan petunjuk (hidayah) bagi orang yang mengundang. [1] Penafsiran “salat” sebagai “doa” juga terdapat dalam nash-nash syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ “Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Penafsiran “salat” sebagai doa juga diriwayatkan oleh sebagian perawinya, yaitu Hisyam bin Hassan, dalam riwayat al-Baihaqi [2]. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ “Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan; dan jika dia berpuasa, hendaknya dia berdoa.” (HR. Abu Dawud no. 3737) Dalam riwayat Ahmad melalui jalur Hisyam bin Hassan disebutkan, فَلْيُصَلِّ وَلْيَدْعُ لَهُمْ “Hendaknya dia salat dan berdoa untuk mereka.” (HR. Ahmad, 13: 172-173) Al-Albani rahimahullah mengatakan, ولعل قوله” :وليدعُ”خطأ من بعض النساخ أو الرواة، وأصله: أي: ليدع لهم “Kemungkinan besar kata ‘wal-yad’u’ adalah kesalahan dari sebagian penyalin manuskrip atau perawi, dan asalnya adalah: yaitu, hendaknya dia berdoa untuk mereka.” [3] Syekh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan bahwa dia tidak menemukan dalam riwayat manapun bahwa kalimat ini berasal dari hadis marfu’ (disandarkan langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga kemungkinan besar itu adalah penjelasan yang disisipkan oleh Hisyam bin Hassan. [4] Yang lebih kuat, wallahu Ta’ala a’alam, adalah pendapat pertama. Sehingga orang yang diundang hendaknya salat dua rakaat di rumah si pengundang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha [5]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ، فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ، قَالَ: أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ» ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى غَيْرَ المَكْتُوبَةِ، “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim membawakan kurma dan lemak untuk beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalikan lemak kalian ke tempatnya dan kurma kalian ke wadahnya, karena sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Lalu beliau berdiri menuju sudut rumah dan melaksanakan salat sunah … “ (HR. Bukhari no. 1982) Pendapat ini menggabungkan antara ibadah salat dan doa sekaligus. [6] Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan? Jika seorang yang berpuasa memenuhi undangan walimah, maka jika puasanya adalah puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadan, haram baginya untuk membatalkan puasa tersebut menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Disunahkan untuk memberitahukan kondisinya bahwa dia sedang berpuasa, agar tuan rumah memahami alasannya, supaya tidak disangka bahwa dia tidak suka dengan makanan yang disajikan atau semacamnya. Menyampaikan kondisi sedang berpuasa ini tidak dianggap sebagai perbuatan riya’, melainkan sebagai bagian dari adab pergaulan yang baik dan untuk memberikan alasan pada waktu yang dibutuhkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke suatu jamuan, sedangkan dia sedang berpuasa, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Muslim no. 1150) Jika ia hadir, hendaknya ia mendoakan tuan rumah dengan doa-doa yang sesuai, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ “Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian, orang-orang baik makan makanan kalian, dan malaikat turun atas kalian.” (HR. Ahmad, 19: 397-398, dengan sanad yang sahih) Atau doa lain yang sesuai dengan keadaan pada saat itu. Adapun jika puasanya adalah puasa sunah, maka dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini karena membatalkan puasa sunah dengan alasan yang dibenarkan itu hukumnya diperbolehkan. Jika dengan membatalkan puasa dan ikut makan dari makanan yang disajikan saudara yang mengundangnya itu dapat menyenangkan hatinya dan membawa kebahagiaan kepadanya, maka yang lebih baik dan lebih utama adalah membatalkan puasa sunah. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa dia membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah datang bersama para sahabatnya. Ketika makanan disajikan, seorang laki-laki dari kaum itu berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دعاكم أخوكم، وتكلف لكم “Saudaramu telah mengundangmu dan bersusah payah untukmu.” Kemudian beliau berkata kepadanya, أفطر، وصم مكانه يومًا إن شئت “Berbukalah, dan gantilah puasamu di hari lain jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi, 4: 279. Sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 4: 210. Dinilai hasan oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 7: 11-12) Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Para ulama, yaitu salah satu pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali dan Syafi’i, berdalil dengan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa yang menjadi kewajiban adalah menghadiri (memenuhi) undangan, sedangkan makan tidaklah wajib meskipun orang yang diundang tidak sedang berpuasa. Hal ini karena yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diancam jika ditinggalkan adalah menghadiri undangan, sedangkan makan tidak disebutkan sebagai sesuatu yang wajib. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa makan bersifat pilihan (opsional). Namun, makan lebih utama karena lebih sempurna dalam memenuhi undangan, lebih memuliakan pengundang, dan juga menghibur hatinya, kecuali jika ada uzur, seperti sudah makan sebelum datang, makanan yang disajikan tidak cocok untuknya, memerlukan makanan khusus, atau alasan lain yang menghalangi makan. Akan tetapi, jika memungkinkan untuk duduk bersama mereka dan makan meskipun sedikit dari jenis makanan yang disukai, seperti buah-buahan misalnya, itu lebih baik dan lebih sempurna. Adapun mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [7] berpendapat bahwa makan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika tidak berpuasa, maka hendaknya dia makan”; dan karena tujuan dari menghadiri undangan adalah untuk makan, sehingga hal itu menjadi kewajiban. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu bahwa makan tidaklah wajib; karena hadis dengan jelas memberikan pilihan kepada orang yang diundang antara makan atau tidak makan (lihat kembali teks hadis keenam di atas). Sehingga perintah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَطْعَمْ “hendaknya ia makan’; diartikan sebagai perintah anjuran (sunah) [8]. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari undangan adalah untuk makan, maka memerlukan peninjauan kembali, karena yang dimaksud sebenarnya adalah memenuhi undangan dan hadir, serta menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kewajiban hadir juga berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak makan [9]. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** @30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 9: 247. [2] As-Sunan Al-Kubra, 8: 263. [3] Al-Irwa’, 7: 14. [4] Al-Musnad, 14: 170. [5] Lihat Syarh At-Thibi ‘ala Al-Misykat, 4: 195. [6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7: 132. [7] Syarh Shahih Muslim, 7: 276. [8] Tharh At-Tatsrib, 7: 80. [9] Al-Mughni, 10: 197-198. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 422-425). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KelimaTeks Hadis KeenamKandungan HadisKandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa?Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan?Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Teks Hadis Kelima Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah seorang di antara kalian diundang (walimah), maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut. Jika dia sedang berpuasa, hendaklah dia mendoakan (tuan rumah). Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia makan.” (HR. Muslim no. 1431) Teks Hadis Keenam Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ “Jika dia mau, dia boleh makan; dan jika dia mau, dia boleh meninggalkannya.” (HR. Muslim no. 1430) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa? Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah alasan untuk tidak memenuhi undangan walimah. Seseorang yang diundang saat berpuasa, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah tersebut sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Kehadirannya tersebut cukup untuk memenuhi maksud undangan, meskipun dia tidak ikut makan. Jika tuan rumah mengizinkannya (untuk tidak hadir), kewajiban untuk hadir pun dapat gugur. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari perkataan, فليصلِّ (falyushalli). Sebagian ulama memahaminya secara tekstual dan menafsirkannya sebagai salat yang kita kenal, yaitu ibadah salat dari takbiratul ihram hingga salam. Artinya, seseorang hadir memenuhi undangan walimah dan mendirikan salat agar mendapatkan keutamaan dari salat tersebut dan memberikan keberkahan kepada tuan rumah dan para tamu yang hadir. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “falyushalli” adalah doa (mendoakan tuan rumah). Maksudnya, hendaknya ia berdoa untuk tuan rumah dengan permohonan ampunan, keberkahan, dan petunjuk (hidayah) bagi orang yang mengundang. [1] Penafsiran “salat” sebagai “doa” juga terdapat dalam nash-nash syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ “Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Penafsiran “salat” sebagai doa juga diriwayatkan oleh sebagian perawinya, yaitu Hisyam bin Hassan, dalam riwayat al-Baihaqi [2]. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ “Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan; dan jika dia berpuasa, hendaknya dia berdoa.” (HR. Abu Dawud no. 3737) Dalam riwayat Ahmad melalui jalur Hisyam bin Hassan disebutkan, فَلْيُصَلِّ وَلْيَدْعُ لَهُمْ “Hendaknya dia salat dan berdoa untuk mereka.” (HR. Ahmad, 13: 172-173) Al-Albani rahimahullah mengatakan, ولعل قوله” :وليدعُ”خطأ من بعض النساخ أو الرواة، وأصله: أي: ليدع لهم “Kemungkinan besar kata ‘wal-yad’u’ adalah kesalahan dari sebagian penyalin manuskrip atau perawi, dan asalnya adalah: yaitu, hendaknya dia berdoa untuk mereka.” [3] Syekh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan bahwa dia tidak menemukan dalam riwayat manapun bahwa kalimat ini berasal dari hadis marfu’ (disandarkan langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga kemungkinan besar itu adalah penjelasan yang disisipkan oleh Hisyam bin Hassan. [4] Yang lebih kuat, wallahu Ta’ala a’alam, adalah pendapat pertama. Sehingga orang yang diundang hendaknya salat dua rakaat di rumah si pengundang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha [5]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ، فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ، قَالَ: أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ» ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى غَيْرَ المَكْتُوبَةِ، “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim membawakan kurma dan lemak untuk beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalikan lemak kalian ke tempatnya dan kurma kalian ke wadahnya, karena sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Lalu beliau berdiri menuju sudut rumah dan melaksanakan salat sunah … “ (HR. Bukhari no. 1982) Pendapat ini menggabungkan antara ibadah salat dan doa sekaligus. [6] Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan? Jika seorang yang berpuasa memenuhi undangan walimah, maka jika puasanya adalah puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadan, haram baginya untuk membatalkan puasa tersebut menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Disunahkan untuk memberitahukan kondisinya bahwa dia sedang berpuasa, agar tuan rumah memahami alasannya, supaya tidak disangka bahwa dia tidak suka dengan makanan yang disajikan atau semacamnya. Menyampaikan kondisi sedang berpuasa ini tidak dianggap sebagai perbuatan riya’, melainkan sebagai bagian dari adab pergaulan yang baik dan untuk memberikan alasan pada waktu yang dibutuhkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke suatu jamuan, sedangkan dia sedang berpuasa, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Muslim no. 1150) Jika ia hadir, hendaknya ia mendoakan tuan rumah dengan doa-doa yang sesuai, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ “Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian, orang-orang baik makan makanan kalian, dan malaikat turun atas kalian.” (HR. Ahmad, 19: 397-398, dengan sanad yang sahih) Atau doa lain yang sesuai dengan keadaan pada saat itu. Adapun jika puasanya adalah puasa sunah, maka dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini karena membatalkan puasa sunah dengan alasan yang dibenarkan itu hukumnya diperbolehkan. Jika dengan membatalkan puasa dan ikut makan dari makanan yang disajikan saudara yang mengundangnya itu dapat menyenangkan hatinya dan membawa kebahagiaan kepadanya, maka yang lebih baik dan lebih utama adalah membatalkan puasa sunah. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa dia membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah datang bersama para sahabatnya. Ketika makanan disajikan, seorang laki-laki dari kaum itu berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دعاكم أخوكم، وتكلف لكم “Saudaramu telah mengundangmu dan bersusah payah untukmu.” Kemudian beliau berkata kepadanya, أفطر، وصم مكانه يومًا إن شئت “Berbukalah, dan gantilah puasamu di hari lain jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi, 4: 279. Sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 4: 210. Dinilai hasan oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 7: 11-12) Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Para ulama, yaitu salah satu pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali dan Syafi’i, berdalil dengan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa yang menjadi kewajiban adalah menghadiri (memenuhi) undangan, sedangkan makan tidaklah wajib meskipun orang yang diundang tidak sedang berpuasa. Hal ini karena yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diancam jika ditinggalkan adalah menghadiri undangan, sedangkan makan tidak disebutkan sebagai sesuatu yang wajib. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa makan bersifat pilihan (opsional). Namun, makan lebih utama karena lebih sempurna dalam memenuhi undangan, lebih memuliakan pengundang, dan juga menghibur hatinya, kecuali jika ada uzur, seperti sudah makan sebelum datang, makanan yang disajikan tidak cocok untuknya, memerlukan makanan khusus, atau alasan lain yang menghalangi makan. Akan tetapi, jika memungkinkan untuk duduk bersama mereka dan makan meskipun sedikit dari jenis makanan yang disukai, seperti buah-buahan misalnya, itu lebih baik dan lebih sempurna. Adapun mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [7] berpendapat bahwa makan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika tidak berpuasa, maka hendaknya dia makan”; dan karena tujuan dari menghadiri undangan adalah untuk makan, sehingga hal itu menjadi kewajiban. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu bahwa makan tidaklah wajib; karena hadis dengan jelas memberikan pilihan kepada orang yang diundang antara makan atau tidak makan (lihat kembali teks hadis keenam di atas). Sehingga perintah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَطْعَمْ “hendaknya ia makan’; diartikan sebagai perintah anjuran (sunah) [8]. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari undangan adalah untuk makan, maka memerlukan peninjauan kembali, karena yang dimaksud sebenarnya adalah memenuhi undangan dan hadir, serta menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kewajiban hadir juga berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak makan [9]. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** @30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 9: 247. [2] As-Sunan Al-Kubra, 8: 263. [3] Al-Irwa’, 7: 14. [4] Al-Musnad, 14: 170. [5] Lihat Syarh At-Thibi ‘ala Al-Misykat, 4: 195. [6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7: 132. [7] Syarh Shahih Muslim, 7: 276. [8] Tharh At-Tatsrib, 7: 80. [9] Al-Mughni, 10: 197-198. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 422-425). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KelimaTeks Hadis KeenamKandungan HadisKandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa?Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan?Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Teks Hadis Kelima Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika salah seorang di antara kalian diundang (walimah), maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut. Jika dia sedang berpuasa, hendaklah dia mendoakan (tuan rumah). Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia makan.” (HR. Muslim no. 1431) Teks Hadis Keenam Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ “Jika dia mau, dia boleh makan; dan jika dia mau, dia boleh meninggalkannya.” (HR. Muslim no. 1430) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa? Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah alasan untuk tidak memenuhi undangan walimah. Seseorang yang diundang saat berpuasa, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah tersebut sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Kehadirannya tersebut cukup untuk memenuhi maksud undangan, meskipun dia tidak ikut makan. Jika tuan rumah mengizinkannya (untuk tidak hadir), kewajiban untuk hadir pun dapat gugur. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari perkataan, فليصلِّ (falyushalli). Sebagian ulama memahaminya secara tekstual dan menafsirkannya sebagai salat yang kita kenal, yaitu ibadah salat dari takbiratul ihram hingga salam. Artinya, seseorang hadir memenuhi undangan walimah dan mendirikan salat agar mendapatkan keutamaan dari salat tersebut dan memberikan keberkahan kepada tuan rumah dan para tamu yang hadir. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “falyushalli” adalah doa (mendoakan tuan rumah). Maksudnya, hendaknya ia berdoa untuk tuan rumah dengan permohonan ampunan, keberkahan, dan petunjuk (hidayah) bagi orang yang mengundang. [1] Penafsiran “salat” sebagai “doa” juga terdapat dalam nash-nash syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala, وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ “Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Penafsiran “salat” sebagai doa juga diriwayatkan oleh sebagian perawinya, yaitu Hisyam bin Hassan, dalam riwayat al-Baihaqi [2]. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ “Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan; dan jika dia berpuasa, hendaknya dia berdoa.” (HR. Abu Dawud no. 3737) Dalam riwayat Ahmad melalui jalur Hisyam bin Hassan disebutkan, فَلْيُصَلِّ وَلْيَدْعُ لَهُمْ “Hendaknya dia salat dan berdoa untuk mereka.” (HR. Ahmad, 13: 172-173) Al-Albani rahimahullah mengatakan, ولعل قوله” :وليدعُ”خطأ من بعض النساخ أو الرواة، وأصله: أي: ليدع لهم “Kemungkinan besar kata ‘wal-yad’u’ adalah kesalahan dari sebagian penyalin manuskrip atau perawi, dan asalnya adalah: yaitu, hendaknya dia berdoa untuk mereka.” [3] Syekh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan bahwa dia tidak menemukan dalam riwayat manapun bahwa kalimat ini berasal dari hadis marfu’ (disandarkan langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga kemungkinan besar itu adalah penjelasan yang disisipkan oleh Hisyam bin Hassan. [4] Yang lebih kuat, wallahu Ta’ala a’alam, adalah pendapat pertama. Sehingga orang yang diundang hendaknya salat dua rakaat di rumah si pengundang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha [5]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ، فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ، قَالَ: أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ» ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى غَيْرَ المَكْتُوبَةِ، “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim membawakan kurma dan lemak untuk beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalikan lemak kalian ke tempatnya dan kurma kalian ke wadahnya, karena sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Lalu beliau berdiri menuju sudut rumah dan melaksanakan salat sunah … “ (HR. Bukhari no. 1982) Pendapat ini menggabungkan antara ibadah salat dan doa sekaligus. [6] Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan? Jika seorang yang berpuasa memenuhi undangan walimah, maka jika puasanya adalah puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadan, haram baginya untuk membatalkan puasa tersebut menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Disunahkan untuk memberitahukan kondisinya bahwa dia sedang berpuasa, agar tuan rumah memahami alasannya, supaya tidak disangka bahwa dia tidak suka dengan makanan yang disajikan atau semacamnya. Menyampaikan kondisi sedang berpuasa ini tidak dianggap sebagai perbuatan riya’, melainkan sebagai bagian dari adab pergaulan yang baik dan untuk memberikan alasan pada waktu yang dibutuhkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ “Jika salah seorang di antara kalian diundang ke suatu jamuan, sedangkan dia sedang berpuasa, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Muslim no. 1150) Jika ia hadir, hendaknya ia mendoakan tuan rumah dengan doa-doa yang sesuai, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ “Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian, orang-orang baik makan makanan kalian, dan malaikat turun atas kalian.” (HR. Ahmad, 19: 397-398, dengan sanad yang sahih) Atau doa lain yang sesuai dengan keadaan pada saat itu. Adapun jika puasanya adalah puasa sunah, maka dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini karena membatalkan puasa sunah dengan alasan yang dibenarkan itu hukumnya diperbolehkan. Jika dengan membatalkan puasa dan ikut makan dari makanan yang disajikan saudara yang mengundangnya itu dapat menyenangkan hatinya dan membawa kebahagiaan kepadanya, maka yang lebih baik dan lebih utama adalah membatalkan puasa sunah. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa dia membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah datang bersama para sahabatnya. Ketika makanan disajikan, seorang laki-laki dari kaum itu berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دعاكم أخوكم، وتكلف لكم “Saudaramu telah mengundangmu dan bersusah payah untukmu.” Kemudian beliau berkata kepadanya, أفطر، وصم مكانه يومًا إن شئت “Berbukalah, dan gantilah puasamu di hari lain jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi, 4: 279. Sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 4: 210. Dinilai hasan oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 7: 11-12) Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan? Para ulama, yaitu salah satu pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali dan Syafi’i, berdalil dengan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa yang menjadi kewajiban adalah menghadiri (memenuhi) undangan, sedangkan makan tidaklah wajib meskipun orang yang diundang tidak sedang berpuasa. Hal ini karena yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diancam jika ditinggalkan adalah menghadiri undangan, sedangkan makan tidak disebutkan sebagai sesuatu yang wajib. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa makan bersifat pilihan (opsional). Namun, makan lebih utama karena lebih sempurna dalam memenuhi undangan, lebih memuliakan pengundang, dan juga menghibur hatinya, kecuali jika ada uzur, seperti sudah makan sebelum datang, makanan yang disajikan tidak cocok untuknya, memerlukan makanan khusus, atau alasan lain yang menghalangi makan. Akan tetapi, jika memungkinkan untuk duduk bersama mereka dan makan meskipun sedikit dari jenis makanan yang disukai, seperti buah-buahan misalnya, itu lebih baik dan lebih sempurna. Adapun mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [7] berpendapat bahwa makan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Jika tidak berpuasa, maka hendaknya dia makan”; dan karena tujuan dari menghadiri undangan adalah untuk makan, sehingga hal itu menjadi kewajiban. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu bahwa makan tidaklah wajib; karena hadis dengan jelas memberikan pilihan kepada orang yang diundang antara makan atau tidak makan (lihat kembali teks hadis keenam di atas). Sehingga perintah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَلْيَطْعَمْ “hendaknya ia makan’; diartikan sebagai perintah anjuran (sunah) [8]. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari undangan adalah untuk makan, maka memerlukan peninjauan kembali, karena yang dimaksud sebenarnya adalah memenuhi undangan dan hadir, serta menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kewajiban hadir juga berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak makan [9]. Wallahu Ta’ala a’lam. [10] [Bersambung] Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5 *** @30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 9: 247. [2] As-Sunan Al-Kubra, 8: 263. [3] Al-Irwa’, 7: 14. [4] Al-Musnad, 14: 170. [5] Lihat Syarh At-Thibi ‘ala Al-Misykat, 4: 195. [6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7: 132. [7] Syarh Shahih Muslim, 7: 276. [8] Tharh At-Tatsrib, 7: 80. [9] Al-Mughni, 10: 197-198. [10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 422-425). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhiSyarat pertamaSyarat keduaSyarat ketigaSyarat keempatSyarat kelimaSyarat keenam Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum syariat dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang penting adalah: Syarat pertama Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke acara walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) karena kemungkinan adanya najis (misalnya, babi). Jika undangan tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan mereka, seperti perayaan hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena hal itu berarti menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa akidah kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika perayaan hari besar mereka. Syarat kedua Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada manfaat (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada manfaat dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, karena pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada manfaat yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah. Syarat ketiga Pengundang harus menyebutkan (nama) orang yang diundang dan menyebutkan secara khusus bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, atau dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak hadir dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain. Adapun jika undangan itu bersifat umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang kamu temui”; atau memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini karena pemilik acara (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga apabila orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak akan merasa kecewa, dan ia tidak akan menanyakan tentang ketidakhadirannya. Terdapat pengecualian apabila yang diundang adalah kerabat atau rekan (sahabat), dan diketahui apabila yang diundang tidak hadir, hal itu akan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi atau pelanggaran terhadap hak pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang akan merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya ia memenuhi undangan tersebut. Adapun pendapat sebagian ahli fikih yang menyatakan bahwa jika undangan bersifat umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha, ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ “Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang kamu temui … “ (HR. Bukhari no. 5163) Syarat keempat Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti hiburan yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri acara tersebut. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Dan juga firman-Nya, وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ “Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140) Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250) Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang pria yang membuat makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lalu dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249) Al-Auza’i rahimahullah berkata, لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف “Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana atau alat musik.” [4] Namun, apabila seseorang mampu mengubah kemungkaran tersebut dengan jabatan (kewenangan atau otoritasnya) atau kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh hadir dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49) Inilah yang wajib bagi seorang muslim, yaitu memiliki semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat melihat kemungkaran, agar Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ “Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beriman yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664) Syarat kelima Orang yang diundang tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, atau khawatir akan keselamatan diri, keluarga, atau harta benda. Semua kewajiban syariat gugur dengan adanya uzur, berdasarkan kaidah, لا واجب مع العجز “Tidak ada kewajiban ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i. Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka kewajiban memenuhi undangan itu gugur. [5] Syarat keenam Undangan itu harus pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk acara yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya. Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebutkan ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya masih diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7] [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331. [2] Lihat Al-Mughni, 10: 194. [3] Sebagian ulama memberikan catatan bahwa apabila kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari ceramah Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini) [4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya. [5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246. [6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71. [7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhiSyarat pertamaSyarat keduaSyarat ketigaSyarat keempatSyarat kelimaSyarat keenam Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum syariat dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang penting adalah: Syarat pertama Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke acara walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) karena kemungkinan adanya najis (misalnya, babi). Jika undangan tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan mereka, seperti perayaan hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena hal itu berarti menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa akidah kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika perayaan hari besar mereka. Syarat kedua Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada manfaat (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada manfaat dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, karena pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada manfaat yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah. Syarat ketiga Pengundang harus menyebutkan (nama) orang yang diundang dan menyebutkan secara khusus bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, atau dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak hadir dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain. Adapun jika undangan itu bersifat umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang kamu temui”; atau memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini karena pemilik acara (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga apabila orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak akan merasa kecewa, dan ia tidak akan menanyakan tentang ketidakhadirannya. Terdapat pengecualian apabila yang diundang adalah kerabat atau rekan (sahabat), dan diketahui apabila yang diundang tidak hadir, hal itu akan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi atau pelanggaran terhadap hak pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang akan merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya ia memenuhi undangan tersebut. Adapun pendapat sebagian ahli fikih yang menyatakan bahwa jika undangan bersifat umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha, ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ “Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang kamu temui … “ (HR. Bukhari no. 5163) Syarat keempat Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti hiburan yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri acara tersebut. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Dan juga firman-Nya, وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ “Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140) Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250) Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang pria yang membuat makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lalu dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249) Al-Auza’i rahimahullah berkata, لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف “Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana atau alat musik.” [4] Namun, apabila seseorang mampu mengubah kemungkaran tersebut dengan jabatan (kewenangan atau otoritasnya) atau kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh hadir dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49) Inilah yang wajib bagi seorang muslim, yaitu memiliki semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat melihat kemungkaran, agar Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ “Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beriman yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664) Syarat kelima Orang yang diundang tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, atau khawatir akan keselamatan diri, keluarga, atau harta benda. Semua kewajiban syariat gugur dengan adanya uzur, berdasarkan kaidah, لا واجب مع العجز “Tidak ada kewajiban ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i. Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka kewajiban memenuhi undangan itu gugur. [5] Syarat keenam Undangan itu harus pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk acara yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya. Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebutkan ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya masih diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7] [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331. [2] Lihat Al-Mughni, 10: 194. [3] Sebagian ulama memberikan catatan bahwa apabila kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari ceramah Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini) [4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya. [5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246. [6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71. [7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhiSyarat pertamaSyarat keduaSyarat ketigaSyarat keempatSyarat kelimaSyarat keenam Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum syariat dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang penting adalah: Syarat pertama Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke acara walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) karena kemungkinan adanya najis (misalnya, babi). Jika undangan tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan mereka, seperti perayaan hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena hal itu berarti menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa akidah kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika perayaan hari besar mereka. Syarat kedua Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada manfaat (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada manfaat dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, karena pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada manfaat yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah. Syarat ketiga Pengundang harus menyebutkan (nama) orang yang diundang dan menyebutkan secara khusus bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, atau dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak hadir dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain. Adapun jika undangan itu bersifat umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang kamu temui”; atau memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini karena pemilik acara (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga apabila orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak akan merasa kecewa, dan ia tidak akan menanyakan tentang ketidakhadirannya. Terdapat pengecualian apabila yang diundang adalah kerabat atau rekan (sahabat), dan diketahui apabila yang diundang tidak hadir, hal itu akan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi atau pelanggaran terhadap hak pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang akan merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya ia memenuhi undangan tersebut. Adapun pendapat sebagian ahli fikih yang menyatakan bahwa jika undangan bersifat umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha, ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ “Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang kamu temui … “ (HR. Bukhari no. 5163) Syarat keempat Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti hiburan yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri acara tersebut. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Dan juga firman-Nya, وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ “Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140) Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250) Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang pria yang membuat makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lalu dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249) Al-Auza’i rahimahullah berkata, لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف “Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana atau alat musik.” [4] Namun, apabila seseorang mampu mengubah kemungkaran tersebut dengan jabatan (kewenangan atau otoritasnya) atau kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh hadir dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49) Inilah yang wajib bagi seorang muslim, yaitu memiliki semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat melihat kemungkaran, agar Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ “Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beriman yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664) Syarat kelima Orang yang diundang tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, atau khawatir akan keselamatan diri, keluarga, atau harta benda. Semua kewajiban syariat gugur dengan adanya uzur, berdasarkan kaidah, لا واجب مع العجز “Tidak ada kewajiban ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i. Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka kewajiban memenuhi undangan itu gugur. [5] Syarat keenam Undangan itu harus pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk acara yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya. Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebutkan ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya masih diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7] [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331. [2] Lihat Al-Mughni, 10: 194. [3] Sebagian ulama memberikan catatan bahwa apabila kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari ceramah Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini) [4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya. [5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246. [6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71. [7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhiSyarat pertamaSyarat keduaSyarat ketigaSyarat keempatSyarat kelimaSyarat keenam Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum syariat dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang penting adalah: Syarat pertama Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke acara walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) karena kemungkinan adanya najis (misalnya, babi). Jika undangan tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan mereka, seperti perayaan hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena hal itu berarti menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa akidah kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika perayaan hari besar mereka. Syarat kedua Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada manfaat (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada manfaat dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, karena pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada manfaat yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah. Syarat ketiga Pengundang harus menyebutkan (nama) orang yang diundang dan menyebutkan secara khusus bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, atau dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak hadir dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain. Adapun jika undangan itu bersifat umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang kamu temui”; atau memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini karena pemilik acara (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga apabila orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak akan merasa kecewa, dan ia tidak akan menanyakan tentang ketidakhadirannya. Terdapat pengecualian apabila yang diundang adalah kerabat atau rekan (sahabat), dan diketahui apabila yang diundang tidak hadir, hal itu akan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi atau pelanggaran terhadap hak pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang akan merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya ia memenuhi undangan tersebut. Adapun pendapat sebagian ahli fikih yang menyatakan bahwa jika undangan bersifat umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha, ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ “Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang kamu temui … “ (HR. Bukhari no. 5163) Syarat keempat Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti hiburan yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri acara tersebut. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ “Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Dan juga firman-Nya, وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ “Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140) Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250) Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang pria yang membuat makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lalu dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249) Al-Auza’i rahimahullah berkata, لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف “Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana atau alat musik.” [4] Namun, apabila seseorang mampu mengubah kemungkaran tersebut dengan jabatan (kewenangan atau otoritasnya) atau kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh hadir dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49) Inilah yang wajib bagi seorang muslim, yaitu memiliki semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat melihat kemungkaran, agar Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ “Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beriman yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664) Syarat kelima Orang yang diundang tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, atau khawatir akan keselamatan diri, keluarga, atau harta benda. Semua kewajiban syariat gugur dengan adanya uzur, berdasarkan kaidah, لا واجب مع العجز “Tidak ada kewajiban ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i. Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka kewajiban memenuhi undangan itu gugur. [5] Syarat keenam Undangan itu harus pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk acara yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya. Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebutkan ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya masih diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7] [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331. [2] Lihat Al-Mughni, 10: 194. [3] Sebagian ulama memberikan catatan bahwa apabila kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari ceramah Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini) [4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya. [5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246. [6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71. [7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Biografi Imam Ibnu Majah

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabPertumbuhanGuru-guruMurid-muridKarya tulisPerkataan ulama tentang Ibnu MajahWafat Nama dan nasab Dia adalah imam, hafiz besar, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Rabi’ Al-Qazwini. Dia dikenal dengan nama Ibnu Majah, dan “Majah” (مَاجَهْ) dibaca dengan memfathahkan huruf mim dan jim yang ringan, di antara keduanya terdapat alif, dan di akhir kata ada huruf ha yang sukun. Nama ini adalah nama Persia yang merupakan julukan dari ayahnya, Yazid. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah julukan dari kakeknya, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah nama dari ibunya. Pendapat pertama lebih kuat. Wallahu a’lam. Nasabnya berasal dari sebuah suku yang disebut Rabi’ah, dan dia berasal dari Qazwin, yang merupakan salah satu kota terkenal di wilayah Irak yang dihuni oleh orang-orang non-Arab (‘ajam). Dari kota ini, lahir banyak ilmuwan terkemuka. Oleh karena itu, ia disebut Ibnu Majah Al-Rab’i Al-Qazwini (ابن ماجه الربعي القزويني). Pertumbuhan Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 Hijriah. Tumbuh dalam lingkungan ilmiah, sehingga dia mencintai ilmu syar’i pada umumnya, dan ilmu hadis secara khusus. Dia menghafal Al-Qur’an dan sering mengikuti majelis para ahli hadis di masjid-masjid Qazwin, hingga dia mengumpulkan banyak ilmu hadis. Pada tahun 230 Hijriyah, dia hijrah untuk mencari hadis dan bertemu langsung dengan para guru, melakukan perjalanan ke Khurasan, Basrah, Kufah, Baghdad, Damaskus, Makkah, Madinah, Mesir, dan banyak kota lainnya. Perjalanan merupakan kesempatan untuk Ibnu Majah untuk bertemu dengan banyak guru hadis di setiap kota yang dikunjunginya. Guru-guru Karena banyaknya perjalanan menuntut ilmu yang telah ia tempuh, Ibnu Majah memiliki banyak guru di setiap wilayah dan kota yang dia kunjungi. Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- mendengar dari banyak ulama, di antaranya Ali bin Muhammad At-Tanafisi Al-Hafiz, yang banyak meriwayatkan darinya, Jabbar bin Al-Mughlis, salah satu guru lamanya, Mus’ab bin Abdullah Az-Zubairi, Suwaid bin Said, Abdullah bin Ma’awiyah Al-Jumahi, Muhammad bin Ramh, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hazami, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakar bin Abu Syaiba, Hisyam bin Ammar, Yazid bin Abdullah Al-Yamami, Abu Mus’ab Az-Zuhri, Bashar bin Ma’adh Al-‘Aqdi, Hamid bin Mas’adah, Abu Hudhafah As-Sahmi, Dawud bin Rasyid, Abu Khaitsamah, Abdullah bin Dzakwân Al-Muqri’, Abdullah bin Amir bin Barad, Abu Sa’id Al-Asyaj, dan banyak lagi ulama lainnya. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari lima belas tahun, Ibnu Majah kembali ke Qazwin dan menetap di sana. Ibnu Majah fokus pada penulisan dan pengumpulan hadis. Setelah namanya tersebar luas, para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk belajar darinya. Murid-murid Tidak hanya terbatas pada penulisan, aktivitas ilmiah Ibnu Majah juga mencakup pengajaran dan memberikan ceramah serta pelajaran. Di antara orang-orang yang paling terkenal yang meriwayatkan hadis darinya dan belajar langsung di bawah bimbingannya adalah Ali bin Said bin Abdullah Al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar Al-Jurashi Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwini yang merupakan kakek dari Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Al-Tayyib Ahmad bin Ruh Al-Mush’arani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwini, Ja’far bin Idris, Muhammad bin Isa Al-Saffar, Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwini Al-Hafiz, dan banyak lagi perawi terkenal lainnya. Karya tulis Karya yang paling fenomenal dan terkenal adalah kitab Sunan Ibnu Majah, yang merupakan salah satu dari enam kitab hadis sahih. Sebagian besar karya-karya lainnya hilang bersama dengan banyaknya warisan besar kita yang telah lenyap. Selain karya terkenalnya “Sunan Ibnu Majah“, Ibnu Majah juga menulis sebuah tafsir untuk Al-Qur’an yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wa Al-Nihayah sebagai tafsir yang sangat komprehensif (lengkap). Sayangnya, tafsir ini hilang, seperti banyak buku lainnya yang ia tulis. Dia juga menulis sebuah buku sejarah yang mengulas dari zaman para sahabat hingga zamannya. Ibnu Katsir menyebutnya sebagai “sejarah yang lengkap”. Sayangnya, buku ini juga tidak tersisa dan hilang. Perkataan ulama tentang Ibnu Majah Ibnu Majah mendapatkan pujian dan pengakuan dari para ulama pada masanya. Ibnu Majah merupakan salah satu imam besar di bidang hadis. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Dia adalah seorang imam dalam hadis, yang mengetahui ilmu-ilmunya dan segala yang terkait dengannya.” Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Majah adalah seorang hafiz, jujur, dan memiliki ilmu yang luas.” Abu Ya’la Al-Khalili berkata, “Dia adalah seorang yang terpercaya, besar, diterima dalam periwayatan, dan memiliki pengetahuan tentang hadis serta hafalan yang baik.” Ibnu Nasiruddin berkata, “Muhammad bin Yazid bin Majah adalah salah satu imam besar, pemilik kitab ‘Sunan‘ yang merupakan salah satu kitab Islam, seorang hafiz yang terpercaya dan besar.” Wafat Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, tanggal 22 Ramadan, tahun 273 Hijriah. Salat jenazahnya dilakukan oleh saudaranya, Abu Bakar, dan pemakamannya ditangani oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abu Abdullah, serta anaknya, Abdullah. Ibnu Majah wafat pada usia 64 tahun. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://ar.islamway.net/article/70490/ ترجمة-الإمام-ابن-ماجه https://www.alukah.net/culture/0/99532/ الإمام-الحافظ-ابن-ماجه-القزويني/

Biografi Imam Ibnu Majah

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabPertumbuhanGuru-guruMurid-muridKarya tulisPerkataan ulama tentang Ibnu MajahWafat Nama dan nasab Dia adalah imam, hafiz besar, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Rabi’ Al-Qazwini. Dia dikenal dengan nama Ibnu Majah, dan “Majah” (مَاجَهْ) dibaca dengan memfathahkan huruf mim dan jim yang ringan, di antara keduanya terdapat alif, dan di akhir kata ada huruf ha yang sukun. Nama ini adalah nama Persia yang merupakan julukan dari ayahnya, Yazid. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah julukan dari kakeknya, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah nama dari ibunya. Pendapat pertama lebih kuat. Wallahu a’lam. Nasabnya berasal dari sebuah suku yang disebut Rabi’ah, dan dia berasal dari Qazwin, yang merupakan salah satu kota terkenal di wilayah Irak yang dihuni oleh orang-orang non-Arab (‘ajam). Dari kota ini, lahir banyak ilmuwan terkemuka. Oleh karena itu, ia disebut Ibnu Majah Al-Rab’i Al-Qazwini (ابن ماجه الربعي القزويني). Pertumbuhan Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 Hijriah. Tumbuh dalam lingkungan ilmiah, sehingga dia mencintai ilmu syar’i pada umumnya, dan ilmu hadis secara khusus. Dia menghafal Al-Qur’an dan sering mengikuti majelis para ahli hadis di masjid-masjid Qazwin, hingga dia mengumpulkan banyak ilmu hadis. Pada tahun 230 Hijriyah, dia hijrah untuk mencari hadis dan bertemu langsung dengan para guru, melakukan perjalanan ke Khurasan, Basrah, Kufah, Baghdad, Damaskus, Makkah, Madinah, Mesir, dan banyak kota lainnya. Perjalanan merupakan kesempatan untuk Ibnu Majah untuk bertemu dengan banyak guru hadis di setiap kota yang dikunjunginya. Guru-guru Karena banyaknya perjalanan menuntut ilmu yang telah ia tempuh, Ibnu Majah memiliki banyak guru di setiap wilayah dan kota yang dia kunjungi. Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- mendengar dari banyak ulama, di antaranya Ali bin Muhammad At-Tanafisi Al-Hafiz, yang banyak meriwayatkan darinya, Jabbar bin Al-Mughlis, salah satu guru lamanya, Mus’ab bin Abdullah Az-Zubairi, Suwaid bin Said, Abdullah bin Ma’awiyah Al-Jumahi, Muhammad bin Ramh, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hazami, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakar bin Abu Syaiba, Hisyam bin Ammar, Yazid bin Abdullah Al-Yamami, Abu Mus’ab Az-Zuhri, Bashar bin Ma’adh Al-‘Aqdi, Hamid bin Mas’adah, Abu Hudhafah As-Sahmi, Dawud bin Rasyid, Abu Khaitsamah, Abdullah bin Dzakwân Al-Muqri’, Abdullah bin Amir bin Barad, Abu Sa’id Al-Asyaj, dan banyak lagi ulama lainnya. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari lima belas tahun, Ibnu Majah kembali ke Qazwin dan menetap di sana. Ibnu Majah fokus pada penulisan dan pengumpulan hadis. Setelah namanya tersebar luas, para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk belajar darinya. Murid-murid Tidak hanya terbatas pada penulisan, aktivitas ilmiah Ibnu Majah juga mencakup pengajaran dan memberikan ceramah serta pelajaran. Di antara orang-orang yang paling terkenal yang meriwayatkan hadis darinya dan belajar langsung di bawah bimbingannya adalah Ali bin Said bin Abdullah Al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar Al-Jurashi Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwini yang merupakan kakek dari Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Al-Tayyib Ahmad bin Ruh Al-Mush’arani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwini, Ja’far bin Idris, Muhammad bin Isa Al-Saffar, Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwini Al-Hafiz, dan banyak lagi perawi terkenal lainnya. Karya tulis Karya yang paling fenomenal dan terkenal adalah kitab Sunan Ibnu Majah, yang merupakan salah satu dari enam kitab hadis sahih. Sebagian besar karya-karya lainnya hilang bersama dengan banyaknya warisan besar kita yang telah lenyap. Selain karya terkenalnya “Sunan Ibnu Majah“, Ibnu Majah juga menulis sebuah tafsir untuk Al-Qur’an yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wa Al-Nihayah sebagai tafsir yang sangat komprehensif (lengkap). Sayangnya, tafsir ini hilang, seperti banyak buku lainnya yang ia tulis. Dia juga menulis sebuah buku sejarah yang mengulas dari zaman para sahabat hingga zamannya. Ibnu Katsir menyebutnya sebagai “sejarah yang lengkap”. Sayangnya, buku ini juga tidak tersisa dan hilang. Perkataan ulama tentang Ibnu Majah Ibnu Majah mendapatkan pujian dan pengakuan dari para ulama pada masanya. Ibnu Majah merupakan salah satu imam besar di bidang hadis. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Dia adalah seorang imam dalam hadis, yang mengetahui ilmu-ilmunya dan segala yang terkait dengannya.” Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Majah adalah seorang hafiz, jujur, dan memiliki ilmu yang luas.” Abu Ya’la Al-Khalili berkata, “Dia adalah seorang yang terpercaya, besar, diterima dalam periwayatan, dan memiliki pengetahuan tentang hadis serta hafalan yang baik.” Ibnu Nasiruddin berkata, “Muhammad bin Yazid bin Majah adalah salah satu imam besar, pemilik kitab ‘Sunan‘ yang merupakan salah satu kitab Islam, seorang hafiz yang terpercaya dan besar.” Wafat Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, tanggal 22 Ramadan, tahun 273 Hijriah. Salat jenazahnya dilakukan oleh saudaranya, Abu Bakar, dan pemakamannya ditangani oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abu Abdullah, serta anaknya, Abdullah. Ibnu Majah wafat pada usia 64 tahun. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://ar.islamway.net/article/70490/ ترجمة-الإمام-ابن-ماجه https://www.alukah.net/culture/0/99532/ الإمام-الحافظ-ابن-ماجه-القزويني/
Daftar Isi Toggle Nama dan nasabPertumbuhanGuru-guruMurid-muridKarya tulisPerkataan ulama tentang Ibnu MajahWafat Nama dan nasab Dia adalah imam, hafiz besar, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Rabi’ Al-Qazwini. Dia dikenal dengan nama Ibnu Majah, dan “Majah” (مَاجَهْ) dibaca dengan memfathahkan huruf mim dan jim yang ringan, di antara keduanya terdapat alif, dan di akhir kata ada huruf ha yang sukun. Nama ini adalah nama Persia yang merupakan julukan dari ayahnya, Yazid. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah julukan dari kakeknya, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah nama dari ibunya. Pendapat pertama lebih kuat. Wallahu a’lam. Nasabnya berasal dari sebuah suku yang disebut Rabi’ah, dan dia berasal dari Qazwin, yang merupakan salah satu kota terkenal di wilayah Irak yang dihuni oleh orang-orang non-Arab (‘ajam). Dari kota ini, lahir banyak ilmuwan terkemuka. Oleh karena itu, ia disebut Ibnu Majah Al-Rab’i Al-Qazwini (ابن ماجه الربعي القزويني). Pertumbuhan Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 Hijriah. Tumbuh dalam lingkungan ilmiah, sehingga dia mencintai ilmu syar’i pada umumnya, dan ilmu hadis secara khusus. Dia menghafal Al-Qur’an dan sering mengikuti majelis para ahli hadis di masjid-masjid Qazwin, hingga dia mengumpulkan banyak ilmu hadis. Pada tahun 230 Hijriyah, dia hijrah untuk mencari hadis dan bertemu langsung dengan para guru, melakukan perjalanan ke Khurasan, Basrah, Kufah, Baghdad, Damaskus, Makkah, Madinah, Mesir, dan banyak kota lainnya. Perjalanan merupakan kesempatan untuk Ibnu Majah untuk bertemu dengan banyak guru hadis di setiap kota yang dikunjunginya. Guru-guru Karena banyaknya perjalanan menuntut ilmu yang telah ia tempuh, Ibnu Majah memiliki banyak guru di setiap wilayah dan kota yang dia kunjungi. Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- mendengar dari banyak ulama, di antaranya Ali bin Muhammad At-Tanafisi Al-Hafiz, yang banyak meriwayatkan darinya, Jabbar bin Al-Mughlis, salah satu guru lamanya, Mus’ab bin Abdullah Az-Zubairi, Suwaid bin Said, Abdullah bin Ma’awiyah Al-Jumahi, Muhammad bin Ramh, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hazami, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakar bin Abu Syaiba, Hisyam bin Ammar, Yazid bin Abdullah Al-Yamami, Abu Mus’ab Az-Zuhri, Bashar bin Ma’adh Al-‘Aqdi, Hamid bin Mas’adah, Abu Hudhafah As-Sahmi, Dawud bin Rasyid, Abu Khaitsamah, Abdullah bin Dzakwân Al-Muqri’, Abdullah bin Amir bin Barad, Abu Sa’id Al-Asyaj, dan banyak lagi ulama lainnya. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari lima belas tahun, Ibnu Majah kembali ke Qazwin dan menetap di sana. Ibnu Majah fokus pada penulisan dan pengumpulan hadis. Setelah namanya tersebar luas, para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk belajar darinya. Murid-murid Tidak hanya terbatas pada penulisan, aktivitas ilmiah Ibnu Majah juga mencakup pengajaran dan memberikan ceramah serta pelajaran. Di antara orang-orang yang paling terkenal yang meriwayatkan hadis darinya dan belajar langsung di bawah bimbingannya adalah Ali bin Said bin Abdullah Al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar Al-Jurashi Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwini yang merupakan kakek dari Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Al-Tayyib Ahmad bin Ruh Al-Mush’arani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwini, Ja’far bin Idris, Muhammad bin Isa Al-Saffar, Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwini Al-Hafiz, dan banyak lagi perawi terkenal lainnya. Karya tulis Karya yang paling fenomenal dan terkenal adalah kitab Sunan Ibnu Majah, yang merupakan salah satu dari enam kitab hadis sahih. Sebagian besar karya-karya lainnya hilang bersama dengan banyaknya warisan besar kita yang telah lenyap. Selain karya terkenalnya “Sunan Ibnu Majah“, Ibnu Majah juga menulis sebuah tafsir untuk Al-Qur’an yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wa Al-Nihayah sebagai tafsir yang sangat komprehensif (lengkap). Sayangnya, tafsir ini hilang, seperti banyak buku lainnya yang ia tulis. Dia juga menulis sebuah buku sejarah yang mengulas dari zaman para sahabat hingga zamannya. Ibnu Katsir menyebutnya sebagai “sejarah yang lengkap”. Sayangnya, buku ini juga tidak tersisa dan hilang. Perkataan ulama tentang Ibnu Majah Ibnu Majah mendapatkan pujian dan pengakuan dari para ulama pada masanya. Ibnu Majah merupakan salah satu imam besar di bidang hadis. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Dia adalah seorang imam dalam hadis, yang mengetahui ilmu-ilmunya dan segala yang terkait dengannya.” Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Majah adalah seorang hafiz, jujur, dan memiliki ilmu yang luas.” Abu Ya’la Al-Khalili berkata, “Dia adalah seorang yang terpercaya, besar, diterima dalam periwayatan, dan memiliki pengetahuan tentang hadis serta hafalan yang baik.” Ibnu Nasiruddin berkata, “Muhammad bin Yazid bin Majah adalah salah satu imam besar, pemilik kitab ‘Sunan‘ yang merupakan salah satu kitab Islam, seorang hafiz yang terpercaya dan besar.” Wafat Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, tanggal 22 Ramadan, tahun 273 Hijriah. Salat jenazahnya dilakukan oleh saudaranya, Abu Bakar, dan pemakamannya ditangani oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abu Abdullah, serta anaknya, Abdullah. Ibnu Majah wafat pada usia 64 tahun. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://ar.islamway.net/article/70490/ ترجمة-الإمام-ابن-ماجه https://www.alukah.net/culture/0/99532/ الإمام-الحافظ-ابن-ماجه-القزويني/


Daftar Isi Toggle Nama dan nasabPertumbuhanGuru-guruMurid-muridKarya tulisPerkataan ulama tentang Ibnu MajahWafat Nama dan nasab Dia adalah imam, hafiz besar, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Rabi’ Al-Qazwini. Dia dikenal dengan nama Ibnu Majah, dan “Majah” (مَاجَهْ) dibaca dengan memfathahkan huruf mim dan jim yang ringan, di antara keduanya terdapat alif, dan di akhir kata ada huruf ha yang sukun. Nama ini adalah nama Persia yang merupakan julukan dari ayahnya, Yazid. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah julukan dari kakeknya, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah nama dari ibunya. Pendapat pertama lebih kuat. Wallahu a’lam. Nasabnya berasal dari sebuah suku yang disebut Rabi’ah, dan dia berasal dari Qazwin, yang merupakan salah satu kota terkenal di wilayah Irak yang dihuni oleh orang-orang non-Arab (‘ajam). Dari kota ini, lahir banyak ilmuwan terkemuka. Oleh karena itu, ia disebut Ibnu Majah Al-Rab’i Al-Qazwini (ابن ماجه الربعي القزويني). Pertumbuhan Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 Hijriah. Tumbuh dalam lingkungan ilmiah, sehingga dia mencintai ilmu syar’i pada umumnya, dan ilmu hadis secara khusus. Dia menghafal Al-Qur’an dan sering mengikuti majelis para ahli hadis di masjid-masjid Qazwin, hingga dia mengumpulkan banyak ilmu hadis. Pada tahun 230 Hijriyah, dia hijrah untuk mencari hadis dan bertemu langsung dengan para guru, melakukan perjalanan ke Khurasan, Basrah, Kufah, Baghdad, Damaskus, Makkah, Madinah, Mesir, dan banyak kota lainnya. Perjalanan merupakan kesempatan untuk Ibnu Majah untuk bertemu dengan banyak guru hadis di setiap kota yang dikunjunginya. Guru-guru Karena banyaknya perjalanan menuntut ilmu yang telah ia tempuh, Ibnu Majah memiliki banyak guru di setiap wilayah dan kota yang dia kunjungi. Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- mendengar dari banyak ulama, di antaranya Ali bin Muhammad At-Tanafisi Al-Hafiz, yang banyak meriwayatkan darinya, Jabbar bin Al-Mughlis, salah satu guru lamanya, Mus’ab bin Abdullah Az-Zubairi, Suwaid bin Said, Abdullah bin Ma’awiyah Al-Jumahi, Muhammad bin Ramh, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hazami, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Abu Bakar bin Abu Syaiba, Hisyam bin Ammar, Yazid bin Abdullah Al-Yamami, Abu Mus’ab Az-Zuhri, Bashar bin Ma’adh Al-‘Aqdi, Hamid bin Mas’adah, Abu Hudhafah As-Sahmi, Dawud bin Rasyid, Abu Khaitsamah, Abdullah bin Dzakwân Al-Muqri’, Abdullah bin Amir bin Barad, Abu Sa’id Al-Asyaj, dan banyak lagi ulama lainnya. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari lima belas tahun, Ibnu Majah kembali ke Qazwin dan menetap di sana. Ibnu Majah fokus pada penulisan dan pengumpulan hadis. Setelah namanya tersebar luas, para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk belajar darinya. Murid-murid Tidak hanya terbatas pada penulisan, aktivitas ilmiah Ibnu Majah juga mencakup pengajaran dan memberikan ceramah serta pelajaran. Di antara orang-orang yang paling terkenal yang meriwayatkan hadis darinya dan belajar langsung di bawah bimbingannya adalah Ali bin Said bin Abdullah Al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar Al-Jurashi Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwini yang merupakan kakek dari Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Al-Tayyib Ahmad bin Ruh Al-Mush’arani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwini, Ja’far bin Idris, Muhammad bin Isa Al-Saffar, Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwini Al-Hafiz, dan banyak lagi perawi terkenal lainnya. Karya tulis Karya yang paling fenomenal dan terkenal adalah kitab Sunan Ibnu Majah, yang merupakan salah satu dari enam kitab hadis sahih. Sebagian besar karya-karya lainnya hilang bersama dengan banyaknya warisan besar kita yang telah lenyap. Selain karya terkenalnya “Sunan Ibnu Majah“, Ibnu Majah juga menulis sebuah tafsir untuk Al-Qur’an yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wa Al-Nihayah sebagai tafsir yang sangat komprehensif (lengkap). Sayangnya, tafsir ini hilang, seperti banyak buku lainnya yang ia tulis. Dia juga menulis sebuah buku sejarah yang mengulas dari zaman para sahabat hingga zamannya. Ibnu Katsir menyebutnya sebagai “sejarah yang lengkap”. Sayangnya, buku ini juga tidak tersisa dan hilang. Perkataan ulama tentang Ibnu Majah Ibnu Majah mendapatkan pujian dan pengakuan dari para ulama pada masanya. Ibnu Majah merupakan salah satu imam besar di bidang hadis. Ibnu Khallikan berkata tentangnya, “Dia adalah seorang imam dalam hadis, yang mengetahui ilmu-ilmunya dan segala yang terkait dengannya.” Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Majah adalah seorang hafiz, jujur, dan memiliki ilmu yang luas.” Abu Ya’la Al-Khalili berkata, “Dia adalah seorang yang terpercaya, besar, diterima dalam periwayatan, dan memiliki pengetahuan tentang hadis serta hafalan yang baik.” Ibnu Nasiruddin berkata, “Muhammad bin Yazid bin Majah adalah salah satu imam besar, pemilik kitab ‘Sunan‘ yang merupakan salah satu kitab Islam, seorang hafiz yang terpercaya dan besar.” Wafat Ibnu Majah -semoga Allah merahmatinya- wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, tanggal 22 Ramadan, tahun 273 Hijriah. Salat jenazahnya dilakukan oleh saudaranya, Abu Bakar, dan pemakamannya ditangani oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abu Abdullah, serta anaknya, Abdullah. Ibnu Majah wafat pada usia 64 tahun. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Diterjemahkan dan disusun ulang oleh penulis dari web: https://ar.islamway.net/article/70490/ ترجمة-الإمام-ابن-ماجه https://www.alukah.net/culture/0/99532/ الإمام-الحافظ-ابن-ماجه-القزويني/

Apa Beda Qada dan Qadar? – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Penulis berkata: Penetapan Qada dan Qadar. Apa perbedaan antara kedua istilah ini? Orang-orang banyak membicarakan hal ini. Apa perbedaan antara Qada dan Qadar? Ada yang mengatakan, “Tidak ada bedanya.” Keduanya disebut hanya dalam konteks menyandingkan sesuatu dengan dirinya sendiri untuk penegasan. Sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Jika memang benar ada perbedaan di antara keduanya, maka pendapat terbaik dalam hal ini adalah bahwa Qadar mencakup dua tingkatan: ʿIlmu dan Kitābah (bahwa Allah Mengetahui dan Menuliskan takdir) Artinya, Qadar adalah sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Qada mencakup dua tingkatan; ʿMasyīʾah dan Khalq (bahwa Allah Menghendaki dan Menciptakan takdir). Artinya, terealisasinya apa yang telah ditakdirkan sebelumnya sesuai dengan Qadar yang ditentukan. Yakni, terjadinya apa yang telah ditetapkan sebelumnya, sesuai dengan Qadar yang telah ditulis, dan semua itu terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ʿAzza wa Jalla. Jadi, Qada maknanya kembali kepada dua tingkatan ini. Ilmu tentang ini hanya di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ: إِثْبَاتُ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَاتَيْنِ الكَلِمَتَيْنِ؟ تَكَلَّمَ النَّاسُ فِي هَذَا كَثِيرًا مَا هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ الكَلِمَتَي الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا فَرْقَ وَإِنَّهُ إِنَّمَا ذِكْرُهُمَا مِنْ بَابِ عَطْفِ الشَّيْءِ عَلَى نَفْسِهِ عَلَى سَبِيلِ التَّأْكِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ ثَمَّةَ فَرْقًا بَيْنَهُمَا فَأَحْسَنُ مَا يُقَالُ فِي هَذَا أَنَّ الْقَدَرَ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْعِلْمِ وَالْكِتَابَةِ يَعْنِي هُوَ الشَّيْءُ السَّابِقُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَإِنَّهُ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْمَشِيئَةِ وَالْخَلْقِ يَعْنِي وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وَهَذَا الْوُقُوعُ إِنَّمَا يَكُونُ بِمَشِيئَةِ اللهِ عَزّ وَجَلَّ وَخَلْقِهِ فَيَعُودُ مَعْنَى الْقَضَاءِ إِلَى هَاتَيْنِ الْمَرْتَبَتَيْنِ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ عَزّ وَجَلَّ

Apa Beda Qada dan Qadar? – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Penulis berkata: Penetapan Qada dan Qadar. Apa perbedaan antara kedua istilah ini? Orang-orang banyak membicarakan hal ini. Apa perbedaan antara Qada dan Qadar? Ada yang mengatakan, “Tidak ada bedanya.” Keduanya disebut hanya dalam konteks menyandingkan sesuatu dengan dirinya sendiri untuk penegasan. Sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Jika memang benar ada perbedaan di antara keduanya, maka pendapat terbaik dalam hal ini adalah bahwa Qadar mencakup dua tingkatan: ʿIlmu dan Kitābah (bahwa Allah Mengetahui dan Menuliskan takdir) Artinya, Qadar adalah sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Qada mencakup dua tingkatan; ʿMasyīʾah dan Khalq (bahwa Allah Menghendaki dan Menciptakan takdir). Artinya, terealisasinya apa yang telah ditakdirkan sebelumnya sesuai dengan Qadar yang ditentukan. Yakni, terjadinya apa yang telah ditetapkan sebelumnya, sesuai dengan Qadar yang telah ditulis, dan semua itu terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ʿAzza wa Jalla. Jadi, Qada maknanya kembali kepada dua tingkatan ini. Ilmu tentang ini hanya di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ: إِثْبَاتُ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَاتَيْنِ الكَلِمَتَيْنِ؟ تَكَلَّمَ النَّاسُ فِي هَذَا كَثِيرًا مَا هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ الكَلِمَتَي الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا فَرْقَ وَإِنَّهُ إِنَّمَا ذِكْرُهُمَا مِنْ بَابِ عَطْفِ الشَّيْءِ عَلَى نَفْسِهِ عَلَى سَبِيلِ التَّأْكِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ ثَمَّةَ فَرْقًا بَيْنَهُمَا فَأَحْسَنُ مَا يُقَالُ فِي هَذَا أَنَّ الْقَدَرَ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْعِلْمِ وَالْكِتَابَةِ يَعْنِي هُوَ الشَّيْءُ السَّابِقُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَإِنَّهُ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْمَشِيئَةِ وَالْخَلْقِ يَعْنِي وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وَهَذَا الْوُقُوعُ إِنَّمَا يَكُونُ بِمَشِيئَةِ اللهِ عَزّ وَجَلَّ وَخَلْقِهِ فَيَعُودُ مَعْنَى الْقَضَاءِ إِلَى هَاتَيْنِ الْمَرْتَبَتَيْنِ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ عَزّ وَجَلَّ
Penulis berkata: Penetapan Qada dan Qadar. Apa perbedaan antara kedua istilah ini? Orang-orang banyak membicarakan hal ini. Apa perbedaan antara Qada dan Qadar? Ada yang mengatakan, “Tidak ada bedanya.” Keduanya disebut hanya dalam konteks menyandingkan sesuatu dengan dirinya sendiri untuk penegasan. Sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Jika memang benar ada perbedaan di antara keduanya, maka pendapat terbaik dalam hal ini adalah bahwa Qadar mencakup dua tingkatan: ʿIlmu dan Kitābah (bahwa Allah Mengetahui dan Menuliskan takdir) Artinya, Qadar adalah sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Qada mencakup dua tingkatan; ʿMasyīʾah dan Khalq (bahwa Allah Menghendaki dan Menciptakan takdir). Artinya, terealisasinya apa yang telah ditakdirkan sebelumnya sesuai dengan Qadar yang ditentukan. Yakni, terjadinya apa yang telah ditetapkan sebelumnya, sesuai dengan Qadar yang telah ditulis, dan semua itu terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ʿAzza wa Jalla. Jadi, Qada maknanya kembali kepada dua tingkatan ini. Ilmu tentang ini hanya di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ: إِثْبَاتُ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَاتَيْنِ الكَلِمَتَيْنِ؟ تَكَلَّمَ النَّاسُ فِي هَذَا كَثِيرًا مَا هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ الكَلِمَتَي الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا فَرْقَ وَإِنَّهُ إِنَّمَا ذِكْرُهُمَا مِنْ بَابِ عَطْفِ الشَّيْءِ عَلَى نَفْسِهِ عَلَى سَبِيلِ التَّأْكِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ ثَمَّةَ فَرْقًا بَيْنَهُمَا فَأَحْسَنُ مَا يُقَالُ فِي هَذَا أَنَّ الْقَدَرَ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْعِلْمِ وَالْكِتَابَةِ يَعْنِي هُوَ الشَّيْءُ السَّابِقُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَإِنَّهُ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْمَشِيئَةِ وَالْخَلْقِ يَعْنِي وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وَهَذَا الْوُقُوعُ إِنَّمَا يَكُونُ بِمَشِيئَةِ اللهِ عَزّ وَجَلَّ وَخَلْقِهِ فَيَعُودُ مَعْنَى الْقَضَاءِ إِلَى هَاتَيْنِ الْمَرْتَبَتَيْنِ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ عَزّ وَجَلَّ


Penulis berkata: Penetapan Qada dan Qadar. Apa perbedaan antara kedua istilah ini? Orang-orang banyak membicarakan hal ini. Apa perbedaan antara Qada dan Qadar? Ada yang mengatakan, “Tidak ada bedanya.” Keduanya disebut hanya dalam konteks menyandingkan sesuatu dengan dirinya sendiri untuk penegasan. Sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Jika memang benar ada perbedaan di antara keduanya, maka pendapat terbaik dalam hal ini adalah bahwa Qadar mencakup dua tingkatan: ʿIlmu dan Kitābah (bahwa Allah Mengetahui dan Menuliskan takdir) Artinya, Qadar adalah sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan Qada mencakup dua tingkatan; ʿMasyīʾah dan Khalq (bahwa Allah Menghendaki dan Menciptakan takdir). Artinya, terealisasinya apa yang telah ditakdirkan sebelumnya sesuai dengan Qadar yang ditentukan. Yakni, terjadinya apa yang telah ditetapkan sebelumnya, sesuai dengan Qadar yang telah ditulis, dan semua itu terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ʿAzza wa Jalla. Jadi, Qada maknanya kembali kepada dua tingkatan ini. Ilmu tentang ini hanya di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ: إِثْبَاتُ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مَا الْفَرْقُ بَيْنَ هَاتَيْنِ الكَلِمَتَيْنِ؟ تَكَلَّمَ النَّاسُ فِي هَذَا كَثِيرًا مَا هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ الكَلِمَتَي الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا فَرْقَ وَإِنَّهُ إِنَّمَا ذِكْرُهُمَا مِنْ بَابِ عَطْفِ الشَّيْءِ عَلَى نَفْسِهِ عَلَى سَبِيلِ التَّأْكِيدِ وَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَإِنْ ثَبَتَ أَنَّ ثَمَّةَ فَرْقًا بَيْنَهُمَا فَأَحْسَنُ مَا يُقَالُ فِي هَذَا أَنَّ الْقَدَرَ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْعِلْمِ وَالْكِتَابَةِ يَعْنِي هُوَ الشَّيْءُ السَّابِقُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَإِنَّهُ يَشْمَلُ مَرْتَبَتَي الْمَشِيئَةِ وَالْخَلْقِ يَعْنِي وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وُقُوعُ مَا قُدِّرَ سَابِقًا بِحَسَبِ مَا قُدِّرَ وَهَذَا الْوُقُوعُ إِنَّمَا يَكُونُ بِمَشِيئَةِ اللهِ عَزّ وَجَلَّ وَخَلْقِهِ فَيَعُودُ مَعْنَى الْقَضَاءِ إِلَى هَاتَيْنِ الْمَرْتَبَتَيْنِ وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ عَزّ وَجَلَّ

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu
Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu


Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

Ingin Umur Panjang dan Berkah? Amalkan 6 Hal Ini

Dalam Islam, umur adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Keberkahan umur bukan hanya tentang panjangnya waktu, tetapi juga tentang nilai dan manfaat dari umur tersebut. Berikut ini adalah kiat-kiat untuk menambah keberkahan umur yang diajarkan dalam Islam:   Pertama: Menjaga Ketaatan dan Menjauhi Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada Orang Tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung Silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh berkah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak Istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan keberkahan hidup. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Memperbanyak Doa Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur   Kesimpulan Keberkahan umur adalah anugerah yang dapat diraih dengan menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia. Dengan menyambung silaturahim, memperbanyak istighfar, bersedekah, berbakti kepada orang tua, memperbanyak doa, dan menjaga ketaatan, insya Allah umur kita akan diberkahi dan penuh manfaat. Mari kita amalkan kiat-kiat ini untuk meraih rida Allah dan keberkahan dalam hidup. – @ Sekar Kedhaton, 2 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 4 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskiat panjang umur kiat umur berkah manajemen waktu panjang umur umur umur berkah waktu

Ingin Umur Panjang dan Berkah? Amalkan 6 Hal Ini

Dalam Islam, umur adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Keberkahan umur bukan hanya tentang panjangnya waktu, tetapi juga tentang nilai dan manfaat dari umur tersebut. Berikut ini adalah kiat-kiat untuk menambah keberkahan umur yang diajarkan dalam Islam:   Pertama: Menjaga Ketaatan dan Menjauhi Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada Orang Tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung Silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh berkah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak Istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan keberkahan hidup. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Memperbanyak Doa Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur   Kesimpulan Keberkahan umur adalah anugerah yang dapat diraih dengan menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia. Dengan menyambung silaturahim, memperbanyak istighfar, bersedekah, berbakti kepada orang tua, memperbanyak doa, dan menjaga ketaatan, insya Allah umur kita akan diberkahi dan penuh manfaat. Mari kita amalkan kiat-kiat ini untuk meraih rida Allah dan keberkahan dalam hidup. – @ Sekar Kedhaton, 2 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 4 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskiat panjang umur kiat umur berkah manajemen waktu panjang umur umur umur berkah waktu
Dalam Islam, umur adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Keberkahan umur bukan hanya tentang panjangnya waktu, tetapi juga tentang nilai dan manfaat dari umur tersebut. Berikut ini adalah kiat-kiat untuk menambah keberkahan umur yang diajarkan dalam Islam:   Pertama: Menjaga Ketaatan dan Menjauhi Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada Orang Tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung Silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh berkah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak Istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan keberkahan hidup. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Memperbanyak Doa Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur   Kesimpulan Keberkahan umur adalah anugerah yang dapat diraih dengan menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia. Dengan menyambung silaturahim, memperbanyak istighfar, bersedekah, berbakti kepada orang tua, memperbanyak doa, dan menjaga ketaatan, insya Allah umur kita akan diberkahi dan penuh manfaat. Mari kita amalkan kiat-kiat ini untuk meraih rida Allah dan keberkahan dalam hidup. – @ Sekar Kedhaton, 2 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 4 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskiat panjang umur kiat umur berkah manajemen waktu panjang umur umur umur berkah waktu


Dalam Islam, umur adalah anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Keberkahan umur bukan hanya tentang panjangnya waktu, tetapi juga tentang nilai dan manfaat dari umur tersebut. Berikut ini adalah kiat-kiat untuk menambah keberkahan umur yang diajarkan dalam Islam:   Pertama: Menjaga Ketaatan dan Menjauhi Maksiat Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ. Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87) Baca juga: Dampak Maksiat, Mengurangi Umur   Kedua: Berbakti kepada Orang Tua Berbakti kepada orang tua adalah amalan mulia yang menjamin keberkahan hidup. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin umurnya dipanjangkan dan rezekinya diluaskan, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin silaturahim dengan kerabatnya.” (HR. Ahmad, 3:229; 3:266. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai hadits ini shahih dengan sanad yang hasan). Baca juga: Cara Membahagiakan Orang Tua   Ketiga: Menyambung Silaturahim Menyambung tali silaturahim (menyambung hubungan keluarga yang terputus) merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari, no. 5985; Muslim, no. 2557). Hadits ini menunjukkan hubungan antara kebaikan sosial terhadap kerabat dengan keberkahan duniawi. Dengan menyambung silaturahim, seseorang mendapatkan kelapangan rezeki dan umur yang penuh berkah. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ “Barang siapa bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturahim, niscaya umurnya diperpanjang, hartanya dilimpahkan, dan keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 58, hasan). Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Keempat: Memperbanyak Istighfar Memohon ampun kepada Allah adalah kunci untuk mendapatkan keberkahan hidup. Allah Ta’ala berfirman, فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Baca juga:  Istighfar Sebab Kemudahan Rezeki dan Turunnya Hujan Keutamaan Istighfar Sebagai Penghalang Musibah   Kelima: Memperbanyak Doa Memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang yang penuh keberkahan adalah sunnah. Salah satu doa yang bisa diamalkan adalah: اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي ALLOOHUMMA AK-TSIR MAALII WA WALADII, WA BAARIK LII FIIMAA A’THOYTANII WA ATHIL HAYAATII ‘ALA THOO’ATIK WA AHSIN ‘AMALII WAGH-FIR LII. Artinya: Ya Allah perbanyaklah hartaku dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau berikan kepadaku. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan kepada-Mu, perbaguslah amalku, dan ampunilah dosa-dosaku. Baca juga: Doa Meminta Panjang Umur   Kesimpulan Keberkahan umur adalah anugerah yang dapat diraih dengan menjaga hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia. Dengan menyambung silaturahim, memperbanyak istighfar, bersedekah, berbakti kepada orang tua, memperbanyak doa, dan menjaga ketaatan, insya Allah umur kita akan diberkahi dan penuh manfaat. Mari kita amalkan kiat-kiat ini untuk meraih rida Allah dan keberkahan dalam hidup. – @ Sekar Kedhaton, 2 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 4 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskiat panjang umur kiat umur berkah manajemen waktu panjang umur umur umur berkah waktu

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat
Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat


Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

Hukum Mengunjungi Al-‘Ula dalam Islam: Panduan Lengkap untuk Wisatawan Muslim

Al-‘Ula, wilayah bersejarah di Arab Saudi, menyimpan keindahan alam dan peninggalan peradaban kuno yang menakjubkan. Namun, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tempat ini terlarang untuk dikunjungi menurut syariat Islam? Artikel ini akan membahas hukum, panduan Islami, dan tempat-tempat yang aman untuk dikunjungi di Al-‘Ula.   Daftar Isi tutup 1. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 2. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 3. Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang 4. Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? 6. Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi 7. Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula 8. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour 9. Kesimpulan Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula, wilayah bersejarah di barat laut Arab Saudi, sering menjadi perbincangan umat Islam terkait hukum mengunjungi tempat ini. Dengan jaraknya sekitar 300 km di sebelah utara Madinah, Al-‘Ula tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga situs-situs bersejarah yang kaya dengan pelajaran peradaban. Namun, benarkah semua area di Al-‘Ula terlarang untuk dikunjungi?   Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula merupakan destinasi penting di Arab Saudi karena memadukan pesona alam dan situs arkeologi. Lembah-lembahnya dihiasi dengan formasi batuan unik, oasis subur, serta bangunan kuno yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau. Salah satu daya tarik utamanya adalah Madain Saleh (Hegra), yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pertama di Arab Saudi. Selain itu, Al-‘Ula juga memiliki tempat-tempat menarik seperti Elephant Rock, Kota Kuno Al-‘Ula, dan Maraya, gedung cermin terbesar di dunia.   Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang Sebagian besar area di Al-‘Ula dapat dikunjungi tanpa permasalahan syariat. Namun, umat Islam perlu berhati-hati saat mendekati situs-situs yang terkait dengan peristiwa azab Allah. Salah satu tempat yang membutuhkan perhatian khusus adalah Madain Saleh (Hegra), bekas pemukiman kaum Tsamud yang dihancurkan karena kedurhakaan mereka terhadap Allah dan utusan-Nya, Nabi Shaleh.   Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasulullah ﷺ memberikan nasihat khusus terkait tempat-tempat seperti ini. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.   Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? Madain Saleh diyakini sebagai lokasi bekas pemukiman kaum Tsamud. Namun, Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi dalam sebuah diskusi di Kasisolusi dengan Bang Deryansha menyebutkan pentingnya memastikan keakuratan informasi terkait lokasi sebenarnya kaum Tsamud, karena mestinya menjadi kajian sejarah. Terlepas dari itu, kehati-hatian dalam mendekati tempat-tempat azab Allah tetap menjadi prinsip utama.   Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi Selain Madain Saleh, Al-‘Ula memiliki banyak tempat menarik yang aman dan tidak bermasalah dalam syariat, seperti: Elephant Rock (Jabal Al-Fil): Formasi batuan ikonik berbentuk seperti gajah. Tempat ini populer untuk fotografi, terutama saat matahari terbenam. Kota Kuno Al-‘Ula (Old Town): Peninggalan peradaban kuno dengan arsitektur tradisional. Maraya: Gedung cermin terbesar di dunia yang memantulkan keindahan lanskap Ashar Valley, serta menjadi pusat seni dan budaya di Al-‘Ula.   Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula Mengunjungi Al-‘Ula dapat menjadi kesempatan untuk: Tadabur Keindahan Alam: Formasi batuan, lembah subur, dan lanskap menakjubkan di Al-‘Ula mengingatkan kita pada kebesaran Allah. Pelajaran Sejarah Umat Terdahulu: Situs-situs di Al-‘Ula menjadi pengingat bagi umat manusia akan umat-umat yang ingkar kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69) Refleksi Spiritual: Perjalanan ini dapat menguatkan keimanan dan kesadaran kita akan tanda-tanda kekuasaan Allah. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour Bagi yang ingin mengeksplorasi Al-‘Ula dengan bimbingan syar’i, Rehla Tour menyediakan perjalanan istimewa yang menggabungkan Umrah dengan kunjungan ke Al-‘Ula. Insya-Allah, pada 23 Januari 2025, bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc., peserta akan diajak ke tempat-tempat yang diperbolehkan dalam syariat. 📞 Hubungi Admin Rehla Tour: 📱 081399719666 (Wika) 📱 081263466633 (Bunga)   Kesimpulan Mengunjungi Al-‘Ula tidaklah terlarang secara keseluruhan. Selama kita menjaga adab Islami, menghindari tempat-tempat yang diperingatkan dalam syariat, dan memanfaatkan kunjungan untuk tadabur serta refleksi, perjalanan ini dapat menjadi pengalaman yang bermanfaat dan memperkaya keimanan. Al-‘Ula adalah pengingat nyata akan kekuasaan Allah, sejarah umat terdahulu, dan pelajaran untuk masa kini.   – Diselesaikan pada Sabtu sore saat hujan turun, 6 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 7 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com TagsAl-'Ula Arab Saudi Azab Kaum Tsamud Destinasi Bersejarah Arab Saudi Elephant Rock Al-'Ula Hadis tentang Madain Saleh Hukum Mengunjungi Al-'Ula Kaum Tsamud Keindahan Alam Arab Saudi Kota Kuno Al-'Ula Madain Saleh Maraya Al-'Ula Panduan Wisata Muslim promo umrah saudi arabia Sejarah Kaum Tsamud Tadabur Alam dan Sejarah Umrah dan Wisata Al-'Ula Wisata Islami

Hukum Mengunjungi Al-‘Ula dalam Islam: Panduan Lengkap untuk Wisatawan Muslim

Al-‘Ula, wilayah bersejarah di Arab Saudi, menyimpan keindahan alam dan peninggalan peradaban kuno yang menakjubkan. Namun, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tempat ini terlarang untuk dikunjungi menurut syariat Islam? Artikel ini akan membahas hukum, panduan Islami, dan tempat-tempat yang aman untuk dikunjungi di Al-‘Ula.   Daftar Isi tutup 1. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 2. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 3. Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang 4. Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? 6. Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi 7. Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula 8. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour 9. Kesimpulan Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula, wilayah bersejarah di barat laut Arab Saudi, sering menjadi perbincangan umat Islam terkait hukum mengunjungi tempat ini. Dengan jaraknya sekitar 300 km di sebelah utara Madinah, Al-‘Ula tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga situs-situs bersejarah yang kaya dengan pelajaran peradaban. Namun, benarkah semua area di Al-‘Ula terlarang untuk dikunjungi?   Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula merupakan destinasi penting di Arab Saudi karena memadukan pesona alam dan situs arkeologi. Lembah-lembahnya dihiasi dengan formasi batuan unik, oasis subur, serta bangunan kuno yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau. Salah satu daya tarik utamanya adalah Madain Saleh (Hegra), yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pertama di Arab Saudi. Selain itu, Al-‘Ula juga memiliki tempat-tempat menarik seperti Elephant Rock, Kota Kuno Al-‘Ula, dan Maraya, gedung cermin terbesar di dunia.   Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang Sebagian besar area di Al-‘Ula dapat dikunjungi tanpa permasalahan syariat. Namun, umat Islam perlu berhati-hati saat mendekati situs-situs yang terkait dengan peristiwa azab Allah. Salah satu tempat yang membutuhkan perhatian khusus adalah Madain Saleh (Hegra), bekas pemukiman kaum Tsamud yang dihancurkan karena kedurhakaan mereka terhadap Allah dan utusan-Nya, Nabi Shaleh.   Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasulullah ﷺ memberikan nasihat khusus terkait tempat-tempat seperti ini. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.   Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? Madain Saleh diyakini sebagai lokasi bekas pemukiman kaum Tsamud. Namun, Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi dalam sebuah diskusi di Kasisolusi dengan Bang Deryansha menyebutkan pentingnya memastikan keakuratan informasi terkait lokasi sebenarnya kaum Tsamud, karena mestinya menjadi kajian sejarah. Terlepas dari itu, kehati-hatian dalam mendekati tempat-tempat azab Allah tetap menjadi prinsip utama.   Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi Selain Madain Saleh, Al-‘Ula memiliki banyak tempat menarik yang aman dan tidak bermasalah dalam syariat, seperti: Elephant Rock (Jabal Al-Fil): Formasi batuan ikonik berbentuk seperti gajah. Tempat ini populer untuk fotografi, terutama saat matahari terbenam. Kota Kuno Al-‘Ula (Old Town): Peninggalan peradaban kuno dengan arsitektur tradisional. Maraya: Gedung cermin terbesar di dunia yang memantulkan keindahan lanskap Ashar Valley, serta menjadi pusat seni dan budaya di Al-‘Ula.   Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula Mengunjungi Al-‘Ula dapat menjadi kesempatan untuk: Tadabur Keindahan Alam: Formasi batuan, lembah subur, dan lanskap menakjubkan di Al-‘Ula mengingatkan kita pada kebesaran Allah. Pelajaran Sejarah Umat Terdahulu: Situs-situs di Al-‘Ula menjadi pengingat bagi umat manusia akan umat-umat yang ingkar kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69) Refleksi Spiritual: Perjalanan ini dapat menguatkan keimanan dan kesadaran kita akan tanda-tanda kekuasaan Allah. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour Bagi yang ingin mengeksplorasi Al-‘Ula dengan bimbingan syar’i, Rehla Tour menyediakan perjalanan istimewa yang menggabungkan Umrah dengan kunjungan ke Al-‘Ula. Insya-Allah, pada 23 Januari 2025, bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc., peserta akan diajak ke tempat-tempat yang diperbolehkan dalam syariat. 📞 Hubungi Admin Rehla Tour: 📱 081399719666 (Wika) 📱 081263466633 (Bunga)   Kesimpulan Mengunjungi Al-‘Ula tidaklah terlarang secara keseluruhan. Selama kita menjaga adab Islami, menghindari tempat-tempat yang diperingatkan dalam syariat, dan memanfaatkan kunjungan untuk tadabur serta refleksi, perjalanan ini dapat menjadi pengalaman yang bermanfaat dan memperkaya keimanan. Al-‘Ula adalah pengingat nyata akan kekuasaan Allah, sejarah umat terdahulu, dan pelajaran untuk masa kini.   – Diselesaikan pada Sabtu sore saat hujan turun, 6 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 7 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com TagsAl-'Ula Arab Saudi Azab Kaum Tsamud Destinasi Bersejarah Arab Saudi Elephant Rock Al-'Ula Hadis tentang Madain Saleh Hukum Mengunjungi Al-'Ula Kaum Tsamud Keindahan Alam Arab Saudi Kota Kuno Al-'Ula Madain Saleh Maraya Al-'Ula Panduan Wisata Muslim promo umrah saudi arabia Sejarah Kaum Tsamud Tadabur Alam dan Sejarah Umrah dan Wisata Al-'Ula Wisata Islami
Al-‘Ula, wilayah bersejarah di Arab Saudi, menyimpan keindahan alam dan peninggalan peradaban kuno yang menakjubkan. Namun, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tempat ini terlarang untuk dikunjungi menurut syariat Islam? Artikel ini akan membahas hukum, panduan Islami, dan tempat-tempat yang aman untuk dikunjungi di Al-‘Ula.   Daftar Isi tutup 1. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 2. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 3. Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang 4. Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? 6. Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi 7. Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula 8. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour 9. Kesimpulan Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula, wilayah bersejarah di barat laut Arab Saudi, sering menjadi perbincangan umat Islam terkait hukum mengunjungi tempat ini. Dengan jaraknya sekitar 300 km di sebelah utara Madinah, Al-‘Ula tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga situs-situs bersejarah yang kaya dengan pelajaran peradaban. Namun, benarkah semua area di Al-‘Ula terlarang untuk dikunjungi?   Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula merupakan destinasi penting di Arab Saudi karena memadukan pesona alam dan situs arkeologi. Lembah-lembahnya dihiasi dengan formasi batuan unik, oasis subur, serta bangunan kuno yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau. Salah satu daya tarik utamanya adalah Madain Saleh (Hegra), yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pertama di Arab Saudi. Selain itu, Al-‘Ula juga memiliki tempat-tempat menarik seperti Elephant Rock, Kota Kuno Al-‘Ula, dan Maraya, gedung cermin terbesar di dunia.   Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang Sebagian besar area di Al-‘Ula dapat dikunjungi tanpa permasalahan syariat. Namun, umat Islam perlu berhati-hati saat mendekati situs-situs yang terkait dengan peristiwa azab Allah. Salah satu tempat yang membutuhkan perhatian khusus adalah Madain Saleh (Hegra), bekas pemukiman kaum Tsamud yang dihancurkan karena kedurhakaan mereka terhadap Allah dan utusan-Nya, Nabi Shaleh.   Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasulullah ﷺ memberikan nasihat khusus terkait tempat-tempat seperti ini. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.   Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? Madain Saleh diyakini sebagai lokasi bekas pemukiman kaum Tsamud. Namun, Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi dalam sebuah diskusi di Kasisolusi dengan Bang Deryansha menyebutkan pentingnya memastikan keakuratan informasi terkait lokasi sebenarnya kaum Tsamud, karena mestinya menjadi kajian sejarah. Terlepas dari itu, kehati-hatian dalam mendekati tempat-tempat azab Allah tetap menjadi prinsip utama.   Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi Selain Madain Saleh, Al-‘Ula memiliki banyak tempat menarik yang aman dan tidak bermasalah dalam syariat, seperti: Elephant Rock (Jabal Al-Fil): Formasi batuan ikonik berbentuk seperti gajah. Tempat ini populer untuk fotografi, terutama saat matahari terbenam. Kota Kuno Al-‘Ula (Old Town): Peninggalan peradaban kuno dengan arsitektur tradisional. Maraya: Gedung cermin terbesar di dunia yang memantulkan keindahan lanskap Ashar Valley, serta menjadi pusat seni dan budaya di Al-‘Ula.   Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula Mengunjungi Al-‘Ula dapat menjadi kesempatan untuk: Tadabur Keindahan Alam: Formasi batuan, lembah subur, dan lanskap menakjubkan di Al-‘Ula mengingatkan kita pada kebesaran Allah. Pelajaran Sejarah Umat Terdahulu: Situs-situs di Al-‘Ula menjadi pengingat bagi umat manusia akan umat-umat yang ingkar kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69) Refleksi Spiritual: Perjalanan ini dapat menguatkan keimanan dan kesadaran kita akan tanda-tanda kekuasaan Allah. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour Bagi yang ingin mengeksplorasi Al-‘Ula dengan bimbingan syar’i, Rehla Tour menyediakan perjalanan istimewa yang menggabungkan Umrah dengan kunjungan ke Al-‘Ula. Insya-Allah, pada 23 Januari 2025, bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc., peserta akan diajak ke tempat-tempat yang diperbolehkan dalam syariat. 📞 Hubungi Admin Rehla Tour: 📱 081399719666 (Wika) 📱 081263466633 (Bunga)   Kesimpulan Mengunjungi Al-‘Ula tidaklah terlarang secara keseluruhan. Selama kita menjaga adab Islami, menghindari tempat-tempat yang diperingatkan dalam syariat, dan memanfaatkan kunjungan untuk tadabur serta refleksi, perjalanan ini dapat menjadi pengalaman yang bermanfaat dan memperkaya keimanan. Al-‘Ula adalah pengingat nyata akan kekuasaan Allah, sejarah umat terdahulu, dan pelajaran untuk masa kini.   – Diselesaikan pada Sabtu sore saat hujan turun, 6 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 7 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com TagsAl-'Ula Arab Saudi Azab Kaum Tsamud Destinasi Bersejarah Arab Saudi Elephant Rock Al-'Ula Hadis tentang Madain Saleh Hukum Mengunjungi Al-'Ula Kaum Tsamud Keindahan Alam Arab Saudi Kota Kuno Al-'Ula Madain Saleh Maraya Al-'Ula Panduan Wisata Muslim promo umrah saudi arabia Sejarah Kaum Tsamud Tadabur Alam dan Sejarah Umrah dan Wisata Al-'Ula Wisata Islami


Al-‘Ula, wilayah bersejarah di Arab Saudi, menyimpan keindahan alam dan peninggalan peradaban kuno yang menakjubkan. Namun, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tempat ini terlarang untuk dikunjungi menurut syariat Islam? Artikel ini akan membahas hukum, panduan Islami, dan tempat-tempat yang aman untuk dikunjungi di Al-‘Ula.   Daftar Isi tutup 1. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 2. Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah 3. Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang 4. Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? 6. Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi 7. Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula 8. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour 9. Kesimpulan Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula, wilayah bersejarah di barat laut Arab Saudi, sering menjadi perbincangan umat Islam terkait hukum mengunjungi tempat ini. Dengan jaraknya sekitar 300 km di sebelah utara Madinah, Al-‘Ula tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga situs-situs bersejarah yang kaya dengan pelajaran peradaban. Namun, benarkah semua area di Al-‘Ula terlarang untuk dikunjungi?   Keindahan Al-‘Ula: Destinasi Budaya dan Sejarah Al-‘Ula merupakan destinasi penting di Arab Saudi karena memadukan pesona alam dan situs arkeologi. Lembah-lembahnya dihiasi dengan formasi batuan unik, oasis subur, serta bangunan kuno yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau. Salah satu daya tarik utamanya adalah Madain Saleh (Hegra), yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pertama di Arab Saudi. Selain itu, Al-‘Ula juga memiliki tempat-tempat menarik seperti Elephant Rock, Kota Kuno Al-‘Ula, dan Maraya, gedung cermin terbesar di dunia.   Tidak Semua Area di Al-‘Ula Terlarang Sebagian besar area di Al-‘Ula dapat dikunjungi tanpa permasalahan syariat. Namun, umat Islam perlu berhati-hati saat mendekati situs-situs yang terkait dengan peristiwa azab Allah. Salah satu tempat yang membutuhkan perhatian khusus adalah Madain Saleh (Hegra), bekas pemukiman kaum Tsamud yang dihancurkan karena kedurhakaan mereka terhadap Allah dan utusan-Nya, Nabi Shaleh.   Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasulullah ﷺ memberikan nasihat khusus terkait tempat-tempat seperti ini. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: لَا تَدْخُلُوا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ “Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang diazab, kecuali jika kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, agar tidak menimpa kalian seperti yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini mengajarkan bahwa ketika mengunjungi tempat-tempat seperti Madain Saleh, umat Islam harus melakukannya dengan rasa takut dan khusyuk, mengingat azab Allah yang pernah terjadi di sana.   Kenapa Sebaiknya Tidak Mengunjungi Madain Saleh? Madain Saleh diyakini sebagai lokasi bekas pemukiman kaum Tsamud. Namun, Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi dalam sebuah diskusi di Kasisolusi dengan Bang Deryansha menyebutkan pentingnya memastikan keakuratan informasi terkait lokasi sebenarnya kaum Tsamud, karena mestinya menjadi kajian sejarah. Terlepas dari itu, kehati-hatian dalam mendekati tempat-tempat azab Allah tetap menjadi prinsip utama.   Area di Al-‘Ula yang Aman untuk Dikunjungi Selain Madain Saleh, Al-‘Ula memiliki banyak tempat menarik yang aman dan tidak bermasalah dalam syariat, seperti: Elephant Rock (Jabal Al-Fil): Formasi batuan ikonik berbentuk seperti gajah. Tempat ini populer untuk fotografi, terutama saat matahari terbenam. Kota Kuno Al-‘Ula (Old Town): Peninggalan peradaban kuno dengan arsitektur tradisional. Maraya: Gedung cermin terbesar di dunia yang memantulkan keindahan lanskap Ashar Valley, serta menjadi pusat seni dan budaya di Al-‘Ula.   Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan ke Al-‘Ula Mengunjungi Al-‘Ula dapat menjadi kesempatan untuk: Tadabur Keindahan Alam: Formasi batuan, lembah subur, dan lanskap menakjubkan di Al-‘Ula mengingatkan kita pada kebesaran Allah. Pelajaran Sejarah Umat Terdahulu: Situs-situs di Al-‘Ula menjadi pengingat bagi umat manusia akan umat-umat yang ingkar kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69) Refleksi Spiritual: Perjalanan ini dapat menguatkan keimanan dan kesadaran kita akan tanda-tanda kekuasaan Allah. Kunjungan Istimewa Bersama Rehla Tour Bagi yang ingin mengeksplorasi Al-‘Ula dengan bimbingan syar’i, Rehla Tour menyediakan perjalanan istimewa yang menggabungkan Umrah dengan kunjungan ke Al-‘Ula. Insya-Allah, pada 23 Januari 2025, bersama Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc., peserta akan diajak ke tempat-tempat yang diperbolehkan dalam syariat. 📞 Hubungi Admin Rehla Tour: 📱 081399719666 (Wika) 📱 081263466633 (Bunga)   Kesimpulan Mengunjungi Al-‘Ula tidaklah terlarang secara keseluruhan. Selama kita menjaga adab Islami, menghindari tempat-tempat yang diperingatkan dalam syariat, dan memanfaatkan kunjungan untuk tadabur serta refleksi, perjalanan ini dapat menjadi pengalaman yang bermanfaat dan memperkaya keimanan. Al-‘Ula adalah pengingat nyata akan kekuasaan Allah, sejarah umat terdahulu, dan pelajaran untuk masa kini.   – Diselesaikan pada Sabtu sore saat hujan turun, 6 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 7 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com TagsAl-'Ula Arab Saudi Azab Kaum Tsamud Destinasi Bersejarah Arab Saudi Elephant Rock Al-'Ula Hadis tentang Madain Saleh Hukum Mengunjungi Al-'Ula Kaum Tsamud Keindahan Alam Arab Saudi Kota Kuno Al-'Ula Madain Saleh Maraya Al-'Ula Panduan Wisata Muslim promo umrah saudi arabia Sejarah Kaum Tsamud Tadabur Alam dan Sejarah Umrah dan Wisata Al-'Ula Wisata Islami
Prev     Next