Mengapa Al-Qur’an Tak Tersentuh Perubahan Sejak 1400 Tahun Lalu? Ini Jawabannya

Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ

Mengapa Al-Qur’an Tak Tersentuh Perubahan Sejak 1400 Tahun Lalu? Ini Jawabannya

Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ
Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ


Al-Qur’an ini sungguh menakjubkan. Ia adalah kitab Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Mukjizat pada segala sisinya. Mukjizat dalam lafaznya. Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Seandainya kita mengambil satu kata saja dari Al-Qur’an, lalu kita membandingkannya dengan seluruh kamus bahasa Arab untuk mencari kata yang lebih baik darinya, niscaya kita tidak akan menemukannya.” Kita tidak akan menemukannya! Al-Qur’an mukjizat dalam lafaznya. Mukjizat dalam gaya bahasanya. Mukjizat dalam makna-maknanya. Mukjizat dalam struktur kalimatnya. Mukjizat dalam penjagaan Allah terhadapnya. Meskipun umat Islam telah melalui banyak peristiwa besar, tapi Al-Qur’an ini tetap terjaga, berkat penjagaan Allah. Tidak berubah sedikit pun darinya, meskipun hanya satu huruf. Karena Allah telah menjamin penjagaannya. “Sungguh Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9). Ketika Tuhan kita berfirman, “…dan sungguh Kami yang menjaganya,” maka selesai sudah urusannya. Al-Qur’an pasti terjaga. “…dan sungguh Kami yang menjaganya.” sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Tidak berubah satu huruf pun darinya. Bukankah ini termasuk mukjizat Al-Qur’an?! Engkau lihat orang non-Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab, terkadang ia bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang lebih bagus daripada bacaan orang Arab Pernah suatu kali aku mendatangi tempat pembelajaran Al-Qur’an di salah satu negeri. Aku masuk menemui sekelompok orang non-Arab. Ternyata mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab, bahkan satu kata pun tidak. Namun mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan seperti bacaan orang Arab atau bahkan lebih bagus lagi. Bacaan yang sempurna tanpa kesalahan pelafazan, dan dengan menerapkan hukum-hukum tajwid. Subhanallah! Ini salah satu mukjizat Al-Qur’an. “Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17). Al-Qur’an ini diberkahi, saudara-saudara! “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah.” (QS. Shad: 29). Penuh berkah pada segala sisi. Penuh berkah dalam tilawahnya (pembacaannya). Penuh berkah dalam menghafalnya. Penuh berkah dalam pengamalannya. Penuh berkah dalam menjadikannya sebagai pedoman hukum. Penuh berkah untuk ruqyah dan sarana pengobatan dengannya. Karena itulah, ketika seorang sahabat Nabi membacakan Al-Qur’an kepada seorang pemimpin kabilah Arab yang tersengat kalajengking, ia pun sembuh sepenuhnya, dan bisa bangun seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan. Padahal racun kalajengking itu telah menyebar ke dalam darahnya. Namun, berkat keberkahan Al-Qur’an, Allah ‘Azza wa Jalla menyembuhkannya. Maka Al-Qur’an yang agung ini, wahai saudara-saudara, hendaknya kita agungkan. Termasuk bentuk pengagungan terhadap Al-Qur’an adalah seorang muslim senantiasa berpegang teguh dengannya. ==== فَهَذَا الْقُرْانُ عَجَبٌ هُوَ كِتَابُ رَبِّنَا عَزَّ وَجَلَّ مُعْجِزٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ يَقُولُ السُّيُوطِيُّ رَحِمَهُ اللَّه يَقُولُ لَوْ أَخَذْنَا كَلِمَةً مِنَ الْقُرْآنِ كَلِمَةً وَاحِدَةً وَأَخَذْنَا جَمِيْعَ قَوَامِيسِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ لِنَجِدَ كَلِمَةً أَفْضَلَ مِنْهَا لَمْ نَجِدْ لَمْ نَجِدْ مُعْجِزٌ فِي لَفْظِهِ مُعْجِزٌ فِي أُسْلُوبِهِ مُعْجِزٌ فِي مَعَانِيهِ مُعْجِزٌ فِي تَرْكِيبِهِ مُعْجِزٌ فِي حِفْظِ اللَّهِ لَهُ رَغْمَ مَا اعْتَرَى الْأُمَّةَ الْإِسْلَامِيَّةَ مِنْ أَحْدَاثٍ عَظِيمَةٍ إِلَّا أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ بَقِيَ مَحْفُوظًا بِحِفْظِ اللَّهِ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ حَرْفٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَكَفَّلَ بِذَلِكَ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ عِنْدَمَا يَقُولُ رَبُّنَا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ انْتَهَى الْأَمْرُ الْقُرْآنَ مَحْفُوظٌ قَطْعًا وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ نَقْرَأُهُ غَضًا طَرِيًّا كَمَا نَزَلَ كَمَا يَقْرَأُهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَابَتُهُ لَمْ يَتَغَيَّرْ مِنْهُ حَرْفٌ وَاحِدٌ أَلَيْسَ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ؟ تَرَى الْأَعْجَمِيَّ الَّذِي لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَحْيَانًا قِرَاءَةً أَفْضَلَ مِنَ الْعَرَبِيِّ وَقَدْ ذَهَبْتُ مَرَّةً لِمَقْرَأَةِ القُرْآنِيَّةِ فِي إِحْدَى الْبُلْدَانِ فَدَخَلْتُ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْعَجَمِ فَإِذَا بِهِمْ لَا يَفْقَهُونَ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ شَيْئًا وَلَا كَلِمَةً وَاحِدَةً وَإِذَا بِهِمْ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ قِرَاءَةً مِثْلَ قِرَاءَةِ الْعَرَبِ أَوْ أَحْسَنَ قِرَاءَةً مُتْقَنَةً مِنْ غَيْرِ عُجْمَةٍ وَبِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ فَسُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا مِنْ إِعْجَازِ الْقُرْآنِ وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ هَذَا الْقُرْآنُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ مُبَارَكٌ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ مُبَارَكٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ مُبَارَكٌ فِي تِلَاوَتِهِ مُبَارَكٌ فِي حِفْظِهِ مُبَارَكٌ فِي الْعَمَلِ بِهِ مُبَارَكٌ فِي التَّحَاكُمِ إِلَيْهِ مُبَارَكٌ فِي الرُّقْيَةِ بِهِ وَالِاسْتِشْفَاءِ بِهِ وَلِهَذَا لَمَّا قَرَأَ الصَّحَابِيُّ عَلَى سَيِّدِ حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ وَقَدْ لَدَغَتْهُ الْعَقْرَبُ شُفِيَ تَمَامًا وَقَامَ كَأَنَّمَا نَشِطَ مِنَ الْعِقَالِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ نَفَذَ فِي دَمِهِ سُمُّ الْعَقْرَبِ وَمَعَ ذَلِكَ بِبَرَكَةِ الْقُرْآنِ شَفَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ عَلَيْنَا أَنْ نُعَظِّمَهُ وَمِنْ تَعْظِيمِهِ أَنَّ الْمُسْلِمَ يَرْتَبِطُ بِهِ

Fikih Salat Zawal

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1] Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya. Hadis-hadis tentang salat zawal Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut: Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478) Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani) Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289) Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah. Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’ Beliau menjawab, إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘ Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam) Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2] Keutamaan salat zawal Salat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya: Amal saleh diangkat ke langit Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat). Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3] Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisab Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة “Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163) Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489) Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf Tata cara salat zawal Berikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal: Empat rakaat setelah tergelincirnya matahari Salat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا “Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4] Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5] Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua? Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ “Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6] Apakah termasuk salat yang memiliki sebab? Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam. Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan, وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ “Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8] Memperpanjang salat Dari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289) Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut, يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9] Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar *** Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan. Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031 [2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi. [3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat. [5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275 [6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455. [8] Ibid, 2: 122. [9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.

Fikih Salat Zawal

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1] Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya. Hadis-hadis tentang salat zawal Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut: Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478) Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani) Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289) Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah. Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’ Beliau menjawab, إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘ Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam) Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2] Keutamaan salat zawal Salat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya: Amal saleh diangkat ke langit Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat). Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3] Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisab Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة “Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163) Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489) Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf Tata cara salat zawal Berikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal: Empat rakaat setelah tergelincirnya matahari Salat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا “Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4] Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5] Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua? Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ “Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6] Apakah termasuk salat yang memiliki sebab? Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam. Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan, وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ “Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8] Memperpanjang salat Dari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289) Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut, يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9] Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar *** Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan. Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031 [2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi. [3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat. [5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275 [6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455. [8] Ibid, 2: 122. [9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1] Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya. Hadis-hadis tentang salat zawal Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut: Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478) Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani) Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289) Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah. Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’ Beliau menjawab, إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘ Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam) Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2] Keutamaan salat zawal Salat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya: Amal saleh diangkat ke langit Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat). Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3] Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisab Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة “Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163) Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489) Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf Tata cara salat zawal Berikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal: Empat rakaat setelah tergelincirnya matahari Salat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا “Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4] Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5] Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua? Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ “Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6] Apakah termasuk salat yang memiliki sebab? Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam. Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan, وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ “Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8] Memperpanjang salat Dari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289) Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut, يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9] Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar *** Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan. Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031 [2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi. [3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat. [5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275 [6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455. [8] Ibid, 2: 122. [9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat zawalDalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478)Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289)Keutamaan salat zawalAmal saleh diangkat ke langitPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat zawalEmpat rakaat setelah tergelincirnya matahariApakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua?Apakah termasuk salat yang memiliki sebab?Memperpanjang salatDoa dan zikir yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah, dan ibadah yang paling utama adalah salat. Beliau terbiasa menjaga sebagian salat sunah, dan hal ini telah diriwayatkan oleh para sahabat. Di antaranya adalah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu dalam hadis berikut, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُدمِنُ أربَعَ رَكَعاتٍ عِندَ زَوالِ الشَّمسِ “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir.” (Hadis hasan, al-Jami’ ash-Shaghir no. 7053) [1] Salat ini memiliki keutamaan yang istimewa, baik dari sisi waktu pelaksanaannya maupun dari sisi perhatian Nabi terhadapnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas secara ringkas mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salat zawal, keutamaannya, tata cara pelaksanaannya, serta doa dan zikir yang dianjurkan untuk dibaca setelahnya. Hadis-hadis tentang salat zawal Terdapat sejumlah hadis yang membicarakan tentang salat zawal. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut: Dalam Sunan at-Tirmidzi (no. 478) Imam At-Tirmidzi membawakan bab khusus tentang salat ini, beliau mengatakan, “Bab: Dalil tentang salat pada waktu zawal”; kemudian beliau membawakan hadis dari Abdullah bin as-Sa’ib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, dan aku suka jika di saat itu amal salehku diangkat ke langit.‘” (HR. Tirmidzi no. 478, disahihkan oleh Al-Albani) Dalam asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah (no. 287-289) Imam At-Tirmidzi juga menyebuatkan beberapa hadis tentang salat ini dalam kitab asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah. Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjaga salat empat rakaat ketika matahari tergelincir. Aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau senantiasa menjaga empat rakaat ini saat zawal?’ Beliau menjawab, إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تُرْتَجُ حَتَّى تُصَلَّى الظُّهْرُ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِي تِلْكَ السَّاعَةِ خَيْرٌ ‘Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka saat matahari tergelincir, dan tidak ditutup sampai zuhur ditegakkan. Aku suka jika dalam waktu tersebut amal baikku diangkat ke langit.‘ Aku bertanya, ‘Apakah dalam semua rakaat itu ada bacaan (Al-Quran)?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah ada salam pemisah di antara rakaat-rakaat itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.'” (Hadis hasan, tanpa kalimat terakhir tentang tidak adanya salam) Riwayat lain dari Abdullah bin as-Sa’ib mengulangi makna yang sama, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum salat zuhur, dan beliau bersabda, إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيهَا عَمَلٌ صَالِحٌ ‘Itu adalah waktu dibukanya pintu-pintu langit, dan aku suka jika amal salehku diangkat saat itu.’” (Hadis shahih li ghairihi) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Beliau biasa salat empat rakaat sebelum zuhur, dan beliau menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya saat zawal dan memperpanjang salat tersebut.” (Hadis hasan) [2] Keutamaan salat zawal Salat zawal memiliki banyak keutamaan, di antaranya: Amal saleh diangkat ke langit Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis dalam Sunan At-Tirmidzi di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih salat pada waktu tersebut karena menginginkan agar amal salehnya diangkat dalam keadaan terbaik (sedang salat). Selain itu, salat zawal termasuk dalam salat sunah, sehingga memiliki banyak keutamaan. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah sunah ini secara umum, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [3] Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisab Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة “Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.” Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui- (yang artinya), ‘Lihatlah salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah?’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh Al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud, 1: 163) Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'” (HR. Muslim no. 489) Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat zawal, yang memiliki keistimewaan dari sisi waktu dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Baca juga: Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf Tata cara salat zawal Berikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat zawal: Empat rakaat setelah tergelincirnya matahari Salat zawal dikerjakan sebanyak empat rakaat setelah matahari tergelincir ke arah barat (zawal asy-syams), sebagaimana ditujukkkan oleh hadis-hadis di atas. Salat ini merupakan salat tersendiri, berbeda dari salat sunah rawatib zuhur. Wallaahu a’lam. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, وَسُنَّةُ ‌الزَّوَالِ أَرْبَعٌ وَهِيَ غَيْرُ سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي هِيَ أَرْبَعٌ أَيْضًا “Salat sunah zawal adalah empat rakaat, dan ia berbeda dari salat sunah rawatib zuhur yang juga empat rakaat.” [4] Al-‘Alqami rahimahullah mengatakan, “Salat ini dinamakan sunah zawal, dan ia bukan termasuk salat empat rakaat yang merupakan sunah zuhur.” [5] Apakah dikerjakan langsung empat rakaat atau dua-dua? Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. Jika dikerjakan empat rakaat dengan sekali salam, maka hal ini diperbolehkan. Wallaahu a’lam. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, الأَفْضَلُ في تَطَوُّعِ النَّهَارِ: أن يكونَ مَثْنَى مَثْنَى. لما رَوَى عَلِىُّ بنُ عَبْدِ اللهِ البارِقِىُّ، عن ابْنِ عمرَ عن النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أنه قال: “صَلَاةُ اللَّيْلِ والنَّهارِ مَثْنَى مَثْنَى”. رَوَاهُ أبو دَاوُدَ ، والأثْرَمُ. ولأنَّه أبعَدُ من السَّهْوِ، وأشْبَهُ بِصَلاةِ اللَّيْلِ، وتَطَوُّعَاتِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … . والصَّحِيحُ أنَّه إنْ تَطَوَّعَ في النَّهارِ بأرْبَعٍ فلا بَأْسَ “Yang lebih utama dalam salat sunah siang adalah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.’ (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Ini lebih menjauhkan dari kesalahan, lebih menyerupai salat malam, dan lebih sesuai dengan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat-salat sunahnya. … Dan yang (lebih) tepat, diperbolehkan salat sunah di siang hari dengan empat rakaat (sekali salam). … ” [6] Apakah termasuk salat yang memiliki sebab? Salat ini termasuk salat yang memiliki sebab, semisal dengan salat tahiyyatul masjid. [7] Oleh karena itu, jika seseorang sudah melaksanakan salat apapun (misalnya, empat rakaat salat sunah rawatib qabliyah zuhur), maka dianggap sudah mendapatkan salat sunah zawal ini. Wallaahu a’lam. Syamsuddin Ar-Ramli rahimahullah mengatakan, وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ سَنِّ قَضَاءِ ‌سُنَّةِ ‌الزَّوَالِ لِتَصْرِيحِهِ بِأَنَّهَا ذَاتُ سَبَبٍ، فَإِذَا صَلَّى سُنَّةَ الظُّهْرِ حَصَلَ بِهَا ‌سُنَّةُ ‌الزَّوَالِ مَا لَمْ يَنْفِهَا قِيَاسًا عَلَى مَا مَرَّ فِي تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ “Kemungkinan salat ini tidak disunahkan untuk diqadha jika terlewat, karena disebut sebagai salat yang memiliki sebab. Maka, jika seseorang sudah melaksanakan salat sunah zuhur, dianggap sudah mendapatkan sunah zawal, selama dia tidak menafikannya, sebagai qiyas atas salat tahiyyatul masjid.” [8] Memperpanjang salat Dari riwayat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu disebutkan, كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا، وَذَكَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّيهَا عِنْدَ الزَّوَالِ وَيَمُدُّ فِيهَا “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat empat rakaat sebelum zuhur saat zawal, dan beliau memperpanjang di dalamnya.” (Hadis hasan, asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah no. 289) Doa dan zikir yang dibaca Terkait dengan bacaan Al-Quran di dalam salat zawal, disunahkan untuk memperpanjangnya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. Syekh ‘Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam penjelasan beliau terhadap hadis tersebut, يطيل فيها القراءة ويطيل الركوع والسجود “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang bacaan Al-Quran, rukuk, dan sujud dalam salat ini.” [9] Sedangkan untuk doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat zawal ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallaahu a’lam. Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan diberi taufik untuk menghidupkan waktu-waktu utama dengan ibadah yang ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar *** Rumdin PPIA Sragen, 29 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ Alfāẓ al-Minhāj. 8 jilid. Beirut: Dar al-Fikr, cet. terakhir, 1404/1984. Disertai ḥāsyiah oleh Abī al-Ḍiyā’ Nuruddin ‘Ali asy-Syabramalsī al-Aqharī (w. 1087) dan Aḥmad bin ‘Abd ar-Razzāq al-Maghribī ar-Rasyīdī (w. 1096). Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431), sesuai nomor cetakan. Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/147031 [2] asy-Syamāil al-Muḥammadiyyah karya at-Tirmidzi (hal. 231–233), dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Shubkhi. [3] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16. [4] al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1: 233. Dalam Nihayah al-Muhtaj (2: 123), disebutkan bahwasanya salat ini bisa dikerjakan dua rakaat. [5] Hasyiyah asy-Syabramalsī terhadap Nihayah al-Muhtaj (2: 123). Tentang silang pendapat dalam masalah ini, lihat: https://islamqa.info/ar/answers/347528/  dan Syarh Syamail Nabiy karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr, hal. 274 – 275 [6] al-Mughni karya Ibn Qudamah (2: 537). Untuk dalil yang lebih lengkap, lihat: https://dorar.net/feqhia/1285 [7] Nihayah al-Muhtaj, 1: 455. [8] Ibid, 2: 122. [9] Syarh Syamail Nabi, hal. 276.

Teks Khotbah Jumat: Jangan Pernah Khawatir atas Rezekimu, karena Allah yang Menjamin

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian. Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala. Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643) Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya. Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya. قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315) Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6) Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah. Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta. Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16) أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Baca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit. Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya. Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita. هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya. Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20) Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Jangan Pernah Khawatir atas Rezekimu, karena Allah yang Menjamin

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian. Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala. Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643) Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya. Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya. قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315) Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6) Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah. Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta. Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16) أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Baca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit. Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya. Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita. هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya. Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20) Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian. Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala. Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643) Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya. Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya. قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315) Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6) Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah. Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta. Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16) أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Baca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit. Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya. Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita. هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya. Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20) Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah salat Jumat sekalian. Pertama-tama, khatib mengajak diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian, marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah serta meninggalkan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang kita hadapi dan memberikan rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3) Apapun kondisi keuangan yang sedang kita hadapi, dari susahnya mencari pekerjaan, keinginan kuat untuk menikah, namun belum memiliki rezeki yang mencukupi ataupun permasalahan ekonomi lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali bertakwa kepada Allah Ta’ala. Inilah janji Allah kepada kita semua yang mau terus istikamah di atas jalan ketaatan kepada-Nya serta berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah serta perbuatan-perbuatan yang menjadikan kita berpaling dari peringatan Allah Ta’ala. Karena selain Allah Ta’ala menjanjikan kesejahteraan dan kemudahan rezeki bagi mereka yang bertakwa, Allah juga memberikan ancaman bagi siapa saja yang tidak mau mengindahkan perintah dan peringatan Allah Ta’ala, masih mencari rezeki dengan cara-cara yang Allah haramkan dan Allah larang, masih bermuamalah dengan harta ribawi ataupun bekerja dengan menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Allah Ta’ala juga berfirman, وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96) Jemaah salat Jumat sekalian, di antara keistimewaan kaum muslimin dari yang lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah membekali kita dengan pengetahuan bahwa Allah telah menetapkan semua takdir manusia. Jauh sebelum diri kita terlahir di dunia ini. Sehingga sudah sepantasnya perkara rezeki ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh seorang muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya, dan kecelakaan atau kebahagiaannya …” (HR. Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643) Artinya, jatah rezeki telah dibagi dan ditetapkan. Semua telah ditentukan dengan kadar yang Allah beri. Karena itu, perbaguslah cara kita menjemput rezeki dengan selalu meminta tolong kepada Allah Ta’ala. Bersangka baiklah kepada-Nya. Karena apabila seseorang berburuk sangka kepada Allah, maka hal ini sama sekali tak bermanfaat untuknya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, berikut ini adalah beberapa langkah terbaik seorang muslim di dalam menjemput rezeki yang telah Allah tentukan kepada-Nya. Pertama, berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah tergantung dengan persangkaan hamba-Nya kepada-Nya. قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya; dan jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076 dan Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al-Jami’, no. 4315) Kedua, kita harus yakin, sesungguhnya Allah Ta’ala menjamin rezeki semua ciptaan-Nya. Allah sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini, melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6) Jangankan manusia yang sudah mampu berusaha, seorang manusia, saat dia belum mampu berbuat apa-apa berupa janin dalam rahim ibunya saja, Allah telah menjamin rezeki untuknya. Bahkan hewan-hewan di dalam samudera dan semut-semut di dalam tanah sekalipun, Allah telah jamin semua rezeki mereka. Allah tidak menciptakan makhluk untuk kemudian menelantarkan mereka. Allah akan mengurus seluruh urusan mereka karena Allah adalah Al-Mudabbir, Yang Maha Mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah. Ketiga, ketahuilah bahwa rezeki adalah ujian Allah kepada hamba-Nya. Dia lapangkan rezeki seseorang, untuk melihat apakah hamba tersebut memuji dan bersyukur kepada-Nya. Dan di sisi lain, Allah menyempitkan rezeki kepada yang lainnya, bukan karena lupa terhadap mereka, tapi ingin melihat apakah mereka termasuk hamba-hamba yang bersabar, berusaha, dan tidak meminta-minta. Sabar saat mendapatkan rezeki yang sempit dan menghadapi masalah adalah kewajiban. Karena Allah mencela orang-orang yang tidak sabar dan menuduh Allah dengan tuduhan buruk. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”  Adapun apabila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16) أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ Baca juga: Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Rezeki digapai dengan usaha. Karena inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa. Nabi Musa ‘alaihis salam mencari rezeki dengan menjadi penggembala. Nabi Zakariya ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Demikian juga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengawali usahanya dengan menjadi penggembala dengan imbalan jasa uang yang sedikit. Selain kita berharap dan memohon kepada Allah Ta’ala untuk diberikan rezeki, maka kita pun juga harus berusaha dan bekerja. Karena seekor burung pun tidak akan mendapatkan rezeki berupa makanan kecuali ia keluar dari sangkarnya. Ingatlah juga bahwa bekerja adalah sebuah kehormatan, apapun pekerjaannya. Sebaliknya, menganggur dan tidak bekerja, serta hanya berpangku tangan mengharap belas kasih manusia adalah aib. Bekerjalah! Jangan meminta-minta. Bekerjalah, karena Allah telah menundukkan bumi ini untuk kita. هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Bekerjalah. Carilah karunia Allah. Dan bertawakallah kepada-Nya. Yang terakhir, ketahuilah bahwa dunia ini adalah tempat fana dan sementara. Sebagaimana firman Allah Taala, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20) Oleh karena itu, dalam mencari rezeki dan kehidupan di dunia, hendaknya diri kita tidak tertipu dan lupa untuk mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai pekerjaan dan kesibukan kita pada akhirnya melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena kehidupan akhiratlah yang kekal abadi, dan bekal terbaik untuk sukses di dalamnya adalah dengan beribadah dan bertakwa kepada Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita. Dan semoga konsep rezeki ini benar-benar menancap kuat di dada kita. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، َللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Apa Nama Allah yang Paling Agung? Ini Jawaban yang Disepakati Ulama – Syaikh Shalih al-Ushaimi

Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ

Apa Nama Allah yang Paling Agung? Ini Jawaban yang Disepakati Ulama – Syaikh Shalih al-Ushaimi

Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ
Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ


Kemudian penulis berkata: Uluhiyah mencakup seluruh nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena itu, sebagian ulama berdalil bahwa “Allah” adalah nama-Nya yang paling agung. Mereka berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah Allah.” Karena nama tersebut mencakup seluruh sifat pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan pendapat sekelompok ulama terdahulu, seperti Abu Hanifah dan Ibnu Mandah rahimahumallah. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menyebutkan pendapat-pendapat lain tentang nama-Nya yang paling agung. Pendapat-pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani dan lainnya, jumlahnya mencapai empat puluh pendapat. Imam As-Suyuthi dan ulama lain menulis risalah khusus membahas tentang hal ini. Dalam risalah itu, As-Suyuthi menyebutkan dua puluh pendapat. Sebagian pendapat tersebut jelas kelemahannya karena tidak didukung oleh dalil yang sahih. Kemudian penulis rahimahullahu Ta’ala menjelaskan pilihan beliau tentang nama yang paling agung dengan ucapannya: “Dan setelah diteliti, nama-Nya yang paling agung adalah…” dan seterusnya. Maka, nama Allah yang paling agung menurut penulis adalah sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Majmu’ al-Fawa’id dengan penjelasan yang lebih baik daripada penjelasan beliau di sini. Beliau berkata, “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya, baik yang berdiri sendiri maupun dipadukan dengan nama lainnya,” “Setiap nama-Nya yang berdiri sendiri…” Tulis faedah ilmu ini! “Nama Allah yang paling agung adalah setiap nama-Nya yang berdiri sendiri atau dipadukan dengan lainnya, jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya,” Jika menunjukkan seluruh sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya atau menunjukkan seluruh makna dari sifat-sifat-Nya.” Beliau berpendapat bahwa setiap nama-Nya yang termasuk jenis ini adalah nama yang paling agung. Oleh sebab itu, beliau berpendapat bahwa “Allah” adalah nama yang paling agung. Begitu pula “Ash-Shamad” dan “Al-Hayyu Al-Qayyum” termasuk nama-Nya yang paling agung. Nama “Allah” dan “Ash-Shamad” adalah nama-nama yang berdiri sendiri. Sedangkan “Al-Hayyu Al-Qayyum”, “Al-Hamid Al-Majid”, dan “Al-Kabir Al-Azhim” adalah nama-nama yang digandengkan, namun tetap menunjukkan seluruh sifat Zat dan perbuatan Allah, sehingga termasuk nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung juga. Dan pendapat yang benar adalah bahwa nama-Nya yang paling agung adalah nama jenis yang mencakup seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah adalah nama-nama yang indah (husna), maka demikian pula seluruh nama Allah itu… Apa? paling agung (‘uzhma), bukan sekadar agung (‘azhīmah). Seluruh nama Allah itu paling agung (‘uzhma), karena bentuk mu’annats (femininnya) dari a‘zhama (paling agung) adalah ‘uzhma. Maka seluruh nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah nama-nama yang paling agung. Dan pendapat inilah yang ditunjukkan dalil-dalil yang ada dalam hadis-hadis yang menyebutkan orang yang berdoa dengan doa yang mengandung nama-Nya yang paling agung, dan hadisnya cukup banyak. Maka pendapat yang benar adalah bahwa nama Allah yang paling agung itu adalah jenis nama yang berlaku untuk seluruh nama Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana semua nama Allah disifati sebagai nama-nama yang indah, demikian pula seluruh nama-Nya disifati sebagai nama-nama yang paling agung. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan oleh guru kami, Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu Ta’ala. Dan pada pendapat ini aku mengisyaratkan lewat ucapanku: “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik.” “Allah memiliki nama yang paling agung yang dikenal, dan nama-nama-Nya memiliki sifat paling baik…” Pendapat inilah yang didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya; dan pendapat ini dipilih oleh para ulama besar seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” …seperti Ibnu Jarir, dan diikuti pula oleh Ibnu Baz atas apa yang beliau katakan, dan ini adalah pendapat yang kuat.” Maka “Allah”, “Ar-Rahman”, dan “Al-Karim” adalah nama-nama-Nya yang paling agung; “Al-Majid” dan “Ash-Shamad” juga adalah nama-nama-Nya yang paling agung. Maka setiap nama dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang memiliki sifat paling agung ini. ==== ثُمَّ قَالَ فَالْأُلُوْهِيَّةُ تَتَضَمَّنُ جَمِيعَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتِ الْعُلْيَا فَلِأَجْلِ هَذَا احْتَجَّ بِذَلِكَ مَنْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ فَقَالُوا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ لِلَّهِ هُوَ اللَّهُ لِأَنَّهُ يَشْتَمِلُ عَلَى جَمِيعِ أَوْصَافِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَهَذَا قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْقُدَمَاءِ كَأَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ مَنْدَهَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَقْوَالًا أُخْرَى فِي اسْمِهِ الأَعْظَمِ وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ قَدْ ذَكَرَ الشَّوْكَانِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا تَبْلُغُ أَرْبَعِينَ قَوْلًا وَصَنَّفَ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُ رِسَالَةً مُفْرَدَةً فِيهَا عَدَّ فِيهَا السُّيُوطِيُّ عِشْرِينَ قَوْلًا مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرُ الضَّعْفِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيلٍ صَحِيحٍ عَلَيْهِ ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى اخْتِيَارَهُ فِي الِاسْمِ الْأَعْظَمِ بِقَوْلِهِ وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ إِلَى آخِرِهِ فَالِاسْمُ الْأَعْظَمُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ هُوَ مَا صَرَّحَ بِهِ فِي مَجْمُوعِ الْفَوَائِد بِكَلَامٍ أَفْضَلَ مِنْ كَلَامِهِ هُنَا فَقَالَ الِاسْمُ الْأَعْظَمُ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ اُكْتُبْ هَذِهِ الْفَائِدَةَ هَذِهِ كُلُّ اسْمٍ مُفْرَدٍ أَوْ مَقْرُونٍ مَعَ غَيْرِهِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ إِذَا دَلَّ عَلَى جَمِيعِ الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ أَوْ دَلَّ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِي الصِّفَاتِ فَهُو يَرَى أَنَّ مَا كَانَ مِنَ الْأَسْمَاءِ مِنْ هَذَا الْجِنْسِ فَهُوَ اسْمٌ أَعْظَمُ فَلِذَلِك يَرَى أَنَّ اللَّهَ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَالْأَوَّلُ مُفْرَدٌ اللَّهُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالصَّمَدُ اسْمٌ مُفْرَدٌ وَالْحَيُّ الْقَيُّومُ وَالْحَمِيدُ الْمَجِيدُ وَالْكَبِيرُ الْعَظِيمُ هَذِه أَسْمَاءٌ مَقْرُونَةٌ لَكِنَّهَا دَالَّةٌ عَلَى جَمِيعِ صِفَاتِ الذَّاتِ وَالْفِعْلِ لِلَّهِ فَتَكُونُ أَيْضًا اسْمًا أَعْظَمَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ اسْمُ جِنْسٍ دَالٌّ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا أَنَّ أَسْمَاءَ اللَّهِ كُلُّهَا حُسْنَى فَكَذَلِكَ أَسْمَاءُ اللَّهِ كُلُّهَا أَيْش؟ عُظْمَى وَلَيْسَتْ عَظِيمَةٌ كُلُّهَا عُظْمَى لِأَنَّ أَعْظَمَ مُؤَنَّثَهُ عُظْمَى فَكُلُّ أَسْمَاءِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عُظْمَى وَهَذَا هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ بِهِ الْأَدِلَّةُ الْوَارِدَةُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي أُخْبِرَ بِأَنَّ الدَّاعِيَ دَعَا فِيهَا بِالِاسْمِ الْأَعْظَمِ وَهِيَ عِدَّةُ أَحَادِيثَ فَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاسْمَ الْأَعْظَمَ هُوَ جِنْسٌ يُطْلَقُ عَلَى جَمِيعِ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكَمَا تُوصَفُ أَسْمَاءُ اللَّهِ جَمِيعًا بِأَنَّهَا حُسْنَى كَذَلِك تُوصَفُ بِأَنَّهَا عُظْمَى وَقَدِ اخْتَارَ هَذَا الْقَوْلَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَشَيْخُنَا ابْنُ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَى ذَلِكَ أَشَرْتُ بِقَوْلِيْ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِهِ تُوَصَّفُ لِلَّهِ اسْمٌ أَعْظَمٌ مُعَرَّفُ أَسْمَاؤُهُ الْحُسْنَى بِه تُوَصَّفُ فَذَا الَّذِي تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ فِي نَصْرِهِ وَاخْتَارَهُ الْأَجِلَّةُ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ كَابْنِ جَرِيرٍ وَاقْتَفَى الْبَازِيُّ مَا قَالَهُ وَإِنَّهُ الْقَوِيُّ فَاللَّهُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالرَّحْمَنُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْكَرِيمُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالْمَجِيْدُ اسْمٌ أَعْظَمُ وَالصَّمَدُ اسْمٌ أَعْظَمُ فَكُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ مَوْصُوفٌ بِهَذَا الْوَصْفِ

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 110 times, 1 visit(s) today Post Views: 43 QRIS donasi Yufid

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah

10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 110 times, 1 visit(s) today Post Views: 43 QRIS donasi Yufid
10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 110 times, 1 visit(s) today Post Views: 43 QRIS donasi Yufid


10+ Amalan Berpahala Haji dan Umrah عشرة أعمال لها أجر الحج والعمرة Oleh: Dr. Abdul Sami’ al-Anis د. عبدالسميع الأنيس سبحان من فضل هذه الأمة وفتح لها على يدي نبيها نبي الرحمة أبواب الفضائل الجمة، فما من عمل عظيم يقوم به قوم ويعجز عنه آخرون إلا وقد جعل الله عملا يقاومه أو يفضل عليه فتتساوى الأمة كلها في القدرة عليه. Maha Suci Allah, yang telah memberi keutamaan bagi umat ini dan membukakan baginya pintu-pintu karunia yang besar melalui Nabinya yang penuh kasih. Tidaklah ada amalan agung yang hanya mampu dikerjakan sebagian orang saja, melainkan Allah menjadikan amalan lain yang setara atau lebih agung darinya, sehingga seluruh umat ini sama-sama mampu melakukannya. ولما كان الحج من أفضل الأعمال، والنفوس تتوق إليه لما وضع الله في القلوب من الحنين إلى ذلك البيت المعظم، وكان كثير من الناس يعجز عنه، ولا سيما كل عام شرع الله أعمالا يبلغ أجرها أجر الحج فيتعرض بذلك العاجزون عن التطوع بالحج، ومن هذه اﻷعمال: Haji merupakan salah satu amalan yang terbaik, dan jiwa umat Islam selalu mendambakannya – berkat rasa rindu yang Allah tanamkan pada diri mereka terhadap Baitullah -, tapi banyak orang yang tidak mampu menunaikannya, terlebih lagi jika setiap tahun; maka Allah mensyariatkan amalan-amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji, sehingga orang-orang yang tidak mampu berhaji dapat mengerjakan amalan-amalan yang setara dengan haji tersebut. Di antara amalan-amalan itu adalah sebagai berikut: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري. Bertasbih, tahmid, dan takbir setelah Shalat-Shalat Fardhu Diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang fakir pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Orang-orang kaya memperoleh derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal; mereka mendirikan shalat seperti kami mendirikan shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka punya harta lebih untuk menunaikan haji, umrah, berjihad, dan bersedekah!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ بِأَمْرٍ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ أَدْرَكْتُمْ مَنْ سَبَقَكُمْ وَلَمْ يُدْرِكْكُمْ أَحَدٌ بَعْدَكُمْ، وَكُنْتُمْ خَيْرَ مَنْ أَنْتُمْ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِ، إِلاَّ مَنْ عَمِلَ مِثْلَهُ تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ، وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ “Maukah aku sampaikan kepada kalian suatu hal yang jika kalian lakukan, niscaya kalian dapat mengejar orang yang telah mengungguli kalian (dalam pahala) dan tidak ada seorang pun yang dapat mengejar kalian, serta kalian akan menjadi orang terbaik daripada orang-orang di sekitar kalian, kecuali orang yang sama-sama mengamalkannya? Ucapkanlah tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allaahu Akbar), sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.” (HR. al-Bukhari). وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قلنا يا رسول الله ذهب الأغنياء بالأجر يحجون ولا نحج ويجاهدون ولا نجاهد وبكذا وبكذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة”. رواه أحمد في مسند والنسائي في سننه. Diriwayatkan dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya mendapatkan pahala; mereka berhaji, sedangkan kami tidak bisa, mereka berjihad sedangkan kami tidak bisa, dan mereka bisa melakukan ini dan itu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: ألا أدلكم على شيء إن أخذتم به جئتم من أفضل ما يجيء به أحد منهم: أن تكبروا الله أربع وثلاثين وتسبحوه ثلاثا وثلاثين وتحمدوه ثلاثا وثلاثين في دبر كل صلاة “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan meraih apa yang lebih baik daripada yang diraih oleh salah seorang dari mereka? Bertakbir sebanyak 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali setiap selesai Shalat (Fardhu).” (HR. Ahmad dalam “al-Musnad”, dan an-Nasa’i dalam “as-Sunan”). رأى النبي صلى الله عليه وسلم تأسف أصحابه الفقراء وحزنهم على ما فاتهم من إنفاق إخوانهم الأغنياء أموالهم في سبيل الله تقرباً إليه وابتغاء لمرضاته فطيب قلوبهم ودلهم على عمل يسير يدركون به من سبقهم ولا يلحقهم معه أحد بعدهم ويكونون به خيرا ممن هم معه إلا من عمل مثل عملهم: وهو الذكر عقب الصلوات المفروضات. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kesedihan para Sahabatnya yang miskin atas pahala yang tidak dapat mereka raih dari sedekah harta di jalan Allah yang dilakukan oleh saudara-saudara mereka yang kaya demi mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh sebab itu, beliau ingin menghibur hati mereka dan menunjukkan kepada mereka suatu amalan ringan yang dengannya mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka, dan membuat mereka tidak dapat terkejar, serta menjadikan mereka yang terbaik, kecuali atas orang yang juga mengamalkan amalan itu; yaitu berzikir setelah Shalat-Shalat Fardhu. 2- العمرة في رمضان: فات بعض النساء الحج مع النبي صلى الله عليه وسلم فلما قدم سألته عما يجزئ من تلك الحجة قال: “اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي”. وقالت عائشة: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: “جهادكن الحج والعمرة”. Menunaikan umrah pada bulan Ramadhan Ada seorang Sahabat wanita tidak dapat menunaikan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau pulang dari haji, wanita itu bertanya tentang amalan yang setara dengan haji tersebut. Lalu beliau menjawab: اعتمري في رمضان فإن عمرة في رمضان تعدل حجة أو حجة معي “Lakukanlah umrah pada bulan Ramadhan, karena umrah pada bulan Ramadhan setara dengan haji atau haji bersamaku.” Aisyah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan terbaik, apakah kami boleh berjihad?” Beliau menjawab, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah dengan menunaikan haji dan umrah.” 3- صلاة الفجر في جماعة، ثم ذكر الله تعالى إلى طلوع الشمس ثم صلاة ركعتين: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “تامة تامة تامة”. أخرجه الترمذي في جامعه. Shalat Subuh berjamaah, lalu berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mendirikan shalat sunnah dua rakaat Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ صَلَّى الصبح فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ جلس في مصلاه يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ مثل أَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ  “Barang siapa yang mendirikan Shalat Subuh berjamaah, lalu duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu ia mendirikan shalat sunnah dua rakaat; maka baginya seperti pahala haji dan umrah yang sempurna.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskannya dengan bersabda: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ “Sempurna! Sempurna! Sempurna!” (HR. at-Tirmidzi dalam “al-Jami”). 4- شهود الجمعة يعدل حجة تطوع قال سعيد بن المسيب هو أحب إلى من حجة نافلة وقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم المبكر إليها كالمهدي هدياً إلى بيت الله الحرام. وفي حديث ضعيف “الجمعة حج المساكين”. Menghadiri Shalat Jumat Menghadiri Shalat Jumat setara dengan haji sunnah, sebagaimana yang dikatakan Said bin al-Musayyib, “Itu lebih aku sukai daripada haji sunnah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa orang yang berangkat Shalat Jumat di awal waktu bagaikan orang yang menyembelih hewan kurban di Baitullah.  Adapun dalam hadits yang lemah disebutkan, “Shalat Jumat adalah hajinya orang-orang miskin.” 5- الخروج إلى المسجد ﻷداء صلاة مكتوبة: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر”. رواه أبو داود في سننه. Pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر “Barang siapa yang bersuci di rumahnya, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan Shalat Fardhu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berihram haji; dan barang siapa yang pergi untuk Shalat Dhuha, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berumrah.” (HR. Abu Dawud dalam “as-Sunan”). 6- بر الوالدين: عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها. Berbakti kepada kedua orang tua Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasihat kepada seseorang untuk berbakti kepada ibunya; beliau bersabda, “Kamu (bagaikan) orang yang sedang berhaji, berumrah, dan berjihad.” Yakni jika dia berbakti kepada ibunya itu. 7- الخروج إلى صلاة العيدين: وقال بعض الصحابة الخروج إلى العيد يوم الفطر يعدل عمرة ويوم الأضحى يعدل حجة. Pergi ke Shalat Id Sebagian Sahabat berpendapat bahwa pergi menuju Shalat Idul Fitri setara dengan umrah, sedangkan menuju Shalat Idul Adha setara dengan haji. 8- قضاء حوائج الناس: قال الحسن: مشيك في حاجة أخيك المسلم خير لك من حجة بعد حجة. Membantu orang lain memenuhi kebutuhannya Al-Hasan berkata, “Kamu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudara Muslimmu itu lebih baik bagimu daripada haji setelah haji sebelumnya. 9- صلاة العشاء في جماعة: قال عقبة بن عبد الغافر: صلاة العشاء في جماعة تعدل حجة وصلاة الغد في جماعة تعدل عمرة. وقال أبو هريرة لرجل: بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكره الإمام أحمد. Shalat Isya berjamaah Uqbah bin Abdul Ghafir berkata, “Shalat Isya berjamaah setara dengan haji, sedangkan Shalat Subuh berjamaah setara dengan umrah.” Abu Hurairah pernah berkata kepada seseorang, “Kamu bersegera pergi ke masjid di awal waktu lebih aku sukai daripada jihad kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). 10- أداء الواجبات كلها أفضل من التنفل بالنفل بالحج والعمرة وغيرهما فإنه ما تقرب العباد إلى الله تعالى بأحب إليه من أداء ما افترض عليهم، وكثير من الناس يهون عليه التنقل بالحج والصدقة ولا يهون عليه أداء الواجبات من الديون ورد المظالم وكذلك يثقل على كثير من النفوس التنزه عن كسب الحرام والشبهات ويسهل عليها إنفاق ذلك في الحج والصدقة. Melaksanakan segala kewajiban Melaksanakan semua kewajiban itu lebih utama daripada menunaikan haji dan umrah yang sunnah, atau amalan sunnah lainnya; karena tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan padanya.  Banyak orang yang merasa mudah menjalankan haji atau sedekah sunnah; tapi terasa berat baginya menjalankan kewajiban, seperti membayar utang dan menyelesaikan kezaliman. Banyak juga orang yang merasa berat meninggalkan nafkah yang haram dan syubhat, tapi mudah baginya untuk menggunakan harta itu untuk melaksanakan haji dan sedekah. 11- كف الجوارح عن المحرمات أفضل من التطوع بالحج وغيره وهو أشف على النفوس قال الفضيل بن عياض: ما حج ولا رباط ولا جهاد أشد من حبس اللسان، ولو أصبحت يهمك لسانك أصبحت في هم شديد ليس الاعتبار بأعمال البر بالجوارح، وإنما الاعتبار بلين القلوب وتقواها وتطهيرها عن الآثام. Menahan diri dari hal-hal yang haram Mencegah anggota badan dari hal-hal yang haram itu lebih baik daripada melakukan haji sunnah atau amalan sunnah lainnya, tapi itu lebih berat bagi jiwa manusia. Fudhail bin Iyadh berkata, “Tidak ada haji, berjaga di perbatasan, dan berjihad yang lebih berat daripada menjaga lisan. Andai kamu mulai memperhatikan lisanmu, kamu akan berada dalam kesulitan berat. Ukurannya bukan dengan amal-amal kebaikan yang dilakukan anggota badanmu, tapi dengan kelembutan, ketakwaan, dan penyucian hati dari dosa-dosa.” سفر الدنيا ينقطع بسير الأبدان، وسفر الآخرة ينقطع بسير القلوب. قال رجل لبعض العارفين: قد قطعت إليك مسافة قال: ليس هذا الأمر بقطع المسافات فارق نفسك بخطوة وقد وصلت إلى مقصودك. سير القلوب أبلغ من سير الأبدان، كم من واصل ببدنه إلى البيت وقلبه منقطع عن رب البيت وكم من قاعد على فراشه في بيته وقلبه متصل بالمحل الأعلى. جسمي معي غير أن الروح عندكم … فالجسم في غربة والروح في وطن Perjalanan dunia dapat diselesaikan dengan perjalanan badan, sedangkan perjalanan akhirat harus diselesaikan dengan perjalanan hati. Ada seorang lelaki yang berkata kepada seorang yang arif, “Aku telah menempuh jarak yang jauh untuk dapat sampai padamu.” Ia menanggapi, “Perkara ini bukan urusan menempuh jarak yang jauh, tapi jika kamu telah meninggalkan hawa nafsumu satu langkah, maka kamu telah sampai pada tujuanmu. Langkah hati lebih mendalam daripada langkah kaki. Betapa banyak orang yang badannya telah sampai di Baitullah, tapi hatinya terputus dari Sang Pemilik Baitullah. Betapa banyak orang yang duduk di kasur di rumahnya, sedangkan hatinya telah sampai di kedudukan tertinggi.” جِسْمِي مَعِي غَيْرَ أَنَّ الرُّوْحَ عَنْدَكُمْ … فَالْجِسْمُ فِي غُرْبَةٍ وَالرُّوْحُ فِي وَطَنِ Jasadku bersamaku, hanya saja jiwaku bersama kalian Jasad sedang di tanah perantauan, tapi jiwa ada di tanah air قال بعض العارفين: عجبا لمن يقطع المفاوز والقفار ليصل إلى البيت فيشاهد فيه آثار الأنبياء، أيها المؤمن: إن لله بين جنبيك بيتا لو طهرته لأشرق ذلك البيت بنور ربه وانشرح وانفسح أنشد الشبلي: إن بيتا أنت ساكنه غير محتاج إلى السرج  ومريضا أنت عائده قد أتاه الله بالفرج  وجهك المأمول حجتنا يوم يأتي الناس بالحجج Seorang arif berkata, “Sungguh mengherankan orang yang menempuh padang pasir dan tempat yang jauh demi sampai ke Rumah Allah (Baitullah), lalu di sana ia melihat bekas-bekas peninggalan para Nabi. Wahai orang beriman, sesungguhnya Allah punya rumah di hadapanmu, seandainya kamu menyucikannya, niscaya rumah itu akan memancarkan cahaya Tuhannya dan menjadi lapang.  As-Syibli bersyair: إِنَّ بَيْتًا أَنْتَ سَاكِنُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَى السِّرْج  Sungguh rumah yang engkau tinggali itu,  Tidak membutuhkan pelita وَمَرِيْضَا أَنْتَ عَائِدُهُ قَدْ أَتَاهُ اللهُ بِالْفَرَجِ  Dan orang sakit yang engkau jenguk itu Telah diberi Allah kesembuhannya وَجْهُكَ الْمَأمُولُ حِجَّتَنَا يَومَ يَأتِي النَّاسُ بِالحُجَجِ Wajahmu yang diharapkan itulah haji kami Pada hari orang-orang datang dengan haji تطهيره تفريغه من كل ما يكرهه الله تعالى من أصنام النفس والهوى ومتى بقيت فيه من ذلك بقية فالله أغنى الأغنياء عن الشرك وهو لا يرضى بمزاحمة الأصنام قال سهل بن عبد الله: حرام على قلب أن يدخله النور وفيه شيء مما يكرهه الله. أردناكم صرفا فلما مزجتم بعدتم بمقدار التفاتكم عنا  وقلنا لكم لا تسكنوا القلب غيرنا فأسكنتم الأغيار ما أنتم منا Menyucikan hati adalah dengan mengosongkannya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala yang berupa berhala hawa nafsu. Apabila di dalamnya masih terdapat berhala itu, maka Allah tidak membutuhkan sekutu dan tidak rela bersama berhala itu dalam hatimu. Sahl bin Abdullah berkata, “Hati tidak mungkin dimasuki cahaya apabila di dalamnya ada hal yang dibenci oleh Allah.” أَرَدْنَاكُمْ صَرْفًا فَلَمَّا مَزَجْتُمْ بَعَدْتُمْ بِمِقْدَارِ الْتِفَاتِكُمْ عَنَّا  Kami ingin kalian mendekat, tapi ketika kalian menyekutukan… Kalian justru menjauh sejauh keberpalingan kalian dari Kami وَقُلْنَا لَكُمْ لَا تُسْكِنُوا الْقَلْبَ غَيْرَنَا فَأَسْكَنْتُمْ الْأَغْيَارَ مَا أَنْتُمْ مِنَّا Kami katakan pada kalian, jangan tempatkan selain Kami dalam hati Tapi justru kalian menempatkan banyak hal lain. Kalian bukan bagian dari Kami! قال ابن رجب: إخواني إن حبستم العام عن الحج فارجعوا إلى جهاد النفوس فهو الجهاد الأكبر. أو أحصرتم عن أداء النسك، فأريقوا على تخلفكم من الدموع ما تيسر، فإن إراقة الدماء لازمة للمحصر. ولا تحلقوا رؤوس أديانكم بالذنوب؛ فإن الذنوب حالقة الدين ليست حالقة الشعر! وقوموا لله باستشعار الرجاء والخوف مقام القيام بأرجاء الخيف والمشعر. ومن كان قد بعد عن حرم الله فلا يبعد نفسه بالذنوب عن رحمة الله فإن رحمة الله قريب ممن تاب إليه واستغفر. ومن عجز عن حج البيت أو البيت منه بعد فليقصد رب البيت فإنه ممن دعاه ورجاه أقرب من حبل الوريد. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري  هذه المعلومات كلها مستفادة من كتاب: ‏لطائف المعارف لابن رجب (ص: 239) بتصرف واختصار وترتيب. Ibnu Rajab berkata: “Saudara-saudaraku, jika kamu pada suatu tahun tidak dapat pergi berhaji, maka kembalilah untuk berjihad melawan nafsu, karena itulah jihad terbesar; atau jika kalian terhalang dari menunaikan haji, maka tumpahkanlah air mata sebisa kalian atas keterhalangan itu, karena menumpahkan darah hewan kurban juga wajib bagi jemaah haji yang terhalang dari memasuki Makkah. Janganlah kalian mencukur agama kalian dengan dosa-dosa, karena dosa-dosa dapat mencukur agama, bukan mencukur rambut! Tegakkanlah rasa harap dan takut kepada Allah, sebagai ganti atas berdiri di Arafah dan Muzdalifah! Barang siapa yang telah jauh dari Tanah Suci Allah, maka janganlah ia menjauhkan dirinya lagi dari rahmat Allah dengan dosa-dosa, karena rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang bertobat dan memohon ampun kepadanya! Barang siapa yang tidak mampu berhaji di Baitullah atau jauh dari Baitullah, maka hendaklah ia menuju Sang Maha Pemilik Baitullah, karena Dia lebih dekat kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya daripada urat leher. إليك قصدي رب البيت والحجر فأنت سؤالي من حجي ومن عمري  Engkaulah yang aku tuju, wahai Pemilik Baitullah dan Hijr Ismail Engkaulah yang aku pinta dari haji dan umrahku وفيك سعيي وتطوافي ومزدلفي والهدي جسمي الذي يغني عن الجزي  Demi Engkau sai, tawaf, dan mabitku di Muzdalifah Sembelihan hadyu adalah jasadku yang cukup untuk itu ومسجد الخيف خوفي من تباعدكم ومشعري ومقامي دونكم خطري  Masjid Khaif di Mina adalah dengan rasa takutku jauh dari-Mu Muzdalifah dan Maqam Ibrahimku adalah dengan dengan hatiku yang selalu terpaut pada-Mu زادي رجائي لكم والشوق راحلتي والماء من عبراتي والهوى سفري Sedangkan bekalku adalah rasa harapku kepada-Mu, dan kerinduan adalah kendaraanku Bekal air minum adalah dari air mataku, dan hasratku kepada-Mu adalah perjalananku Semua materi ini dinukil dari kitab “Lathaif al-Ma’arif” karya Ibnu Rajab, hlm. 239 dengan gubahan dan susunan ulang. Sumber: https://www.alukah.net/spotlight/0/107915/عشرة-أعمال-لها-أجر-الحج-والعمرة/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 110 times, 1 visit(s) today Post Views: 43 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Tujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimanan Tujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14) Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah, فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198) Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ  “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351) Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى “Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377) Allah Ta’ala berfirman, وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ “Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45) وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45) Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya. Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ “Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“ Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya. Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an. Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala. Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan. Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka. Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya. Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186) Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan) Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan, لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Tujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimanan Tujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14) Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah, فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198) Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ  “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351) Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى “Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377) Allah Ta’ala berfirman, وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ “Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45) وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45) Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya. Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ “Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“ Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya. Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an. Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala. Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan. Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka. Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya. Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186) Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan) Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan, لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi Toggle Tujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimanan Tujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14) Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah, فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198) Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ  “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351) Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى “Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377) Allah Ta’ala berfirman, وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ “Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45) وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45) Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya. Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ “Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“ Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya. Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an. Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala. Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan. Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka. Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya. Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186) Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan) Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan, لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi Toggle Tujuan keempat: Senantiasa mengingat AllahTujuan kelima: Menguatkan keimanan Tujuan keempat: Senantiasa mengingat Allah Di antara tujuan haji adalah menegakkan dzikrullah, yaitu agar senantiasa mengingat Allah. Bahkan seluruh amal saleh disyariatkan untuk tujuan ini. Salat disyariatkan untuk mengingat Allah, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.“ (QS. Thaha: 14) Demikian pula haji, puasa, dan setiap ketaatan disyariatkan untuk mengingat Allah, فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di masy’aril haram.“ (QS. Al-Baqarah: 198) Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.“ (QS. Al-Hajj: 27-28) Dzikrullah atau mengingat Allah merupakan salah satu tujuan haji, bahkan sesungguhnya haji dan juga ibadah yang lainnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, إنَّما جُعل الطوافُ بالبيت، والسعيُ بين الصفا والمروة ورميُ الجمار لإقامة ذكر الله عزَّ وجلَّ  “Sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan juga melempar jumrah itu diadakan untuk mengingat Allah Azza wa jalla.” (HR. Ahmad no. 24351) Penyebutan ketiga amal berupa thawaf, sa’i, dan melempar jumrah bukanlah pembatasan, namun hanya penyebutan contoh, karena hakikatnya amalan-amalan haji seluruhnya disyariatkan untuk menegakkan dzikrullah. Allah menyebutkan bahwa dzikir merupakan amalan yang mulia dan bentuk ketaatan yang agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا، عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ، فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ ” قَالُوا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى “Maukah kalian aku beritahu amalan terbaik, tersuci di sisi Allah, dan paling tinggi dalam derajat, serta lebih baik bagi kalian dari diberi emas dan perak, dan lebih baik dari berjumpa musuh lalu kalian penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian? Mereka menjawab, “Ya”. Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3377) Allah Ta’ala berfirman, وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ “Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.“ (QS. Al-Ankabut: 45) وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 45) Dzikrullah adalah ibadah mulia dan agung yang wajib membersamai setiap hamba dalam ibadah haii, salat, puasa, dan seluruh ketatatan; karena manusia yang paling besar pahalanya dalam setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalamnya. Imam Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Anas Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ أَيُّ الْمُجَاهِدِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا يَا رَسُولُ اللَّه ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَعَالَى ذِكْرًا ، قَالَ فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، ثُمَّ ذَكَرَ لَهُ الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ وَالْحَجَّ وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ !! ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَجَلْ “Seseorang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Mujahidin mana yang paling besar pahalanya, wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Ia bertanya lagi, “Orang yang berpuasa mana yang paling banyak pahalanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling banyak dzikirnya.” Kemudian orang tersebut menyebutkan salat, zakat, haji, dan sedekah kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab semuanya dengan sabdanya, “Yang paling banyak dzikirnya.” Maka Abu Bakar berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Orang-orang yang selalu mengingat Allâh Azza wa Jalla membawa semua kebaikan!!” Maka Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya.“ (HR. Ahmad no. 15614) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku setiap amal saleh yang paling mulia adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah di dalamnya. Orang puasa yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika puasanya. Orang bersedakah yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah, orang berhaji yang paling utama adalah yang paling banyak mengingat Allah. Demikianlah hal ini berlaku bagi seluruah amal ketaatan.“ Ini merupakan kaidah yang penting dan mulia yang berlaku umum untuk seluruh ibadah. Orang yang paling banyak pahalanya dalam setiap amalan adalah yang paling banyak mengingat Allah di dalam menunaikannya. Yang dimaksud dengan dzikir atau mengingat Allah adalah dzikir dengan hati dan dzikir dengan lisan sekaligus; keduanya merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi. Karena dzikir terdiri dari tiga tingkatan: dzikir dengan hati dan lisan; dzikir dengan hati saja; dan dzikir dengan lisan saja. Tingkatan dzikir yang paling tinggi dan mulia adalah bedzikir kepada Allah dengan hati dan lisan sekaligus. Setiap orang akan berbeda-beda pahala mereka dalam setiap ibadah sesuai dengan banyak dan sedikitnya dzikir mereka kepada Allah ketika menunaikannya. Oleh karena itu, sesungguhnya jemaah haji tidaklah berada dalam satu tingkatan dalam haji mereka dan pahala mereka tidaklah sama semua, karena di antara mereka ada yang banyak berdzikir kepada Allah, ada yang pertengahan, ada yang sedikit, bahkan ada yang lalai dan abai. Allahul musta’an. Maka hendaknya para jamaah haji menjaga watunya dalam ibadah haji mereka untuk bersemangat di dalamnya dalam memperbanyak dzikir kepada Allah, dengan membaca Al-Quran, bertalbiyah, bertasbih, bertahmid, membaca buku yang berisi ilmu, dan yang semisalnya dalam rangka untuk mendapatkan kebaikan yang banyak dalam hajinya dan mendapat keberuntungan di dalamnya serta meraih pahala. Tujuan kelima: Menguatkan keimanan Di antara tujuan haji adalah untuk menguatkan iman. Sudah dimaklumi bahawa iman bisa bertambah dan berkurang, serta bisa menguat dan melemah. Bertambah dengan dzikrullah, amalan ketaatan, serta tobat dan kembali kepada-Nya. Iman akan berkurang dengan sikap lalai serta perbuatan maksiat dan dosa. Haji merupakan jalan keluar yang baik untuk memperbaiki hati dan juga menambah keimanan. Betapa banyak didapatkan dalam ibadah haji, pelajaran yang luar biasa berupa kembalinya hati kepada Allah, dan menguatnya rasa takut dan harap, banyaknya tobat, dan betapa banyak air mata yang menetes, betapa banyak taubat nasuha yang diterima, betapa banyak dosa diampuni, betapa banyak kesalahan diampuni, betapa banyak doa khusyuk yang dikabulkan, dan betapa benyak pembebasan dari api neraka. Sebab-sebab menguat dan bertambahnya iman dalam ibadah haji sangat banyak. Haji akan menghapus dosa yang telah lalu, haji mabrur tidak ada balasan kecuali surga, dan barangisapa menunaikannya tanpa rafats dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti dilahirkan dari perut ibunya, dan juga akan menghapus dosa seperti api menghilangkan karat besi. Sebagaimana hal-hal tersebut diterangkan dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak momentum haji menjadi titik perubahan dalam kehidupan banyak manusia dari kejelekan menjadi kebaikan, atau menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan realita kondisi yang seperti ini bisa disaksikan tidak terhitung jumlahnya. Betapa banyak orang yang berhaji menemukan jawaban ketika haji dan mengangkat tangannya di hadapan Rabb-Nya dengan khusyuk dan merendahkan diri disertai mengharapkan keutamaan yang agung. Dia meminta untuk meningkatkan iman di dalam hatinya dan tetap berada di atas keimanan tersebut, dan menghilangkan fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan memperbaiki urusan dunia, agama, dan akhiratnya, dan menghiasi dirinya dengan hiasan iman, dan menjadikannya di antara orang yang mendapat petunjuk. Allah tidak mengecewakan doa hamba dan tidak menolak permintaanya. Allah berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. Al-Baqarah: 186) Disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka (Ia kabulkan).” (HR. Ibnu Majah, hasan) Maka renungkanlah jemaah haji yang meninggalkan negerinya, keluarganya, perdagangan, dan pekerjaannya, dan merasakan beratnya perjalanan jauh yang ditempuh, kemudian tatkala sampai di miqat memakai pakaian ihram yang hanya dua kain dengan penuh tawadhu’ kepada Rabbya, tidak memakai penutup kepala, berjalan dengan penuh ketundukan dan perendahan diri menuju Ka’bah dengan ucapan, لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).” Dia mengulang-ulanginya sampai di Ka’bah. Kemudian dia mengulang-ulanginya lagi ketika perpindahan di antara tempat-tempat ibadah haji. Maka betapa banyak ketika itu menjadi perubahan dalam kehidupan manusia? Betapa banyak pengaruh yang besar bagi kepribadian dan akhlaknya, lebih-lebih jika dia menyadari dan merasakan makna ini dengan sesungguhnya serta menghadirkan dalam hati. Maka tidak diragukan lagi, ini akan menjadi pintu yang sangat lebar untuk menguatkan dan memperbarui keimanan. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian) Definisi maysir secara bahasa dan istilah Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1] Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2] Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata, حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر “Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3] Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata, طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب “Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4] Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى “Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5] Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata, لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان “Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6] Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي “Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8] Perbedaan antara gharar dan maysir Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10] Hukum al-maysir dalam akad muamalah Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91) Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan. Dalil dari As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ “Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan). Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16] Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه “Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17] Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر “Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل “Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20] Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah, “Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya. Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar. Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.” Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah, إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا “Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** @Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504. [2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351. [3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493. [4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas. [5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225. [6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas. [7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237. [9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434. [10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61. [11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.   [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.” [13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398) [14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ “Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524) [15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284) Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak). [16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824. [17] Al-Furusiyah, hal. 175-176. [18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108. [19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387. [20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah. [21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian) Definisi maysir secara bahasa dan istilah Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1] Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2] Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata, حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر “Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3] Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata, طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب “Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4] Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى “Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5] Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata, لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان “Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6] Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي “Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8] Perbedaan antara gharar dan maysir Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10] Hukum al-maysir dalam akad muamalah Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91) Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan. Dalil dari As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ “Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan). Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16] Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه “Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17] Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر “Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل “Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20] Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah, “Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya. Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar. Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.” Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah, إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا “Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** @Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504. [2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351. [3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493. [4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas. [5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225. [6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas. [7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237. [9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434. [10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61. [11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.   [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.” [13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398) [14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ “Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524) [15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284) Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak). [16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824. [17] Al-Furusiyah, hal. 175-176. [18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108. [19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387. [20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah. [21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.
Daftar Isi Toggle Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian) Definisi maysir secara bahasa dan istilah Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1] Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2] Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata, حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر “Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3] Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata, طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب “Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4] Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى “Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5] Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata, لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان “Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6] Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي “Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8] Perbedaan antara gharar dan maysir Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10] Hukum al-maysir dalam akad muamalah Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91) Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan. Dalil dari As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ “Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan). Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16] Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه “Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17] Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر “Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل “Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20] Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah, “Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya. Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar. Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.” Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah, إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا “Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** @Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504. [2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351. [3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493. [4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas. [5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225. [6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas. [7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237. [9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434. [10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61. [11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.   [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.” [13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398) [14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ “Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524) [15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284) Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak). [16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824. [17] Al-Furusiyah, hal. 175-176. [18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108. [19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387. [20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah. [21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.


Daftar Isi Toggle Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian) Definisi maysir secara bahasa dan istilah Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1] Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2] Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata, حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر “Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3] Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata, طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب “Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4] Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى “Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5] Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata, لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان “Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6] Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي “Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8] Perbedaan antara gharar dan maysir Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir. Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.”  [10] Hukum al-maysir dalam akad muamalah Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91) Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan. Dalil dari As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ “Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647) Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan). Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16] Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه “Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17] Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر “Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل “Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20] Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah, “Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya. Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar. Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.” Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah, إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا “Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 *** @Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504. [2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351. [3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493. [4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas. [5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225. [6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas. [7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237. [9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434. [10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61. [11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.   [12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.” [13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398) [14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ “Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524) [15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284) Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak). [16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824. [17] Al-Furusiyah, hal. 175-176. [18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108. [19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387. [20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah. [21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka Di antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ “Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan) Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman, وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72) Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar). Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر “Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146) Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya. Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula. Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196) Allah Ta’ala juga berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197) Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203) Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32) Allah juga berfirman, إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38) Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131) Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah. Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak. Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka Di antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ “Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan) Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman, وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72) Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar). Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر “Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146) Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya. Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula. Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196) Allah Ta’ala juga berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197) Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203) Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32) Allah juga berfirman, إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38) Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131) Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah. Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak. Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi Toggle Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka Di antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ “Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan) Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman, وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72) Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar). Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر “Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146) Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya. Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula. Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196) Allah Ta’ala juga berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197) Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203) Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32) Allah juga berfirman, إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38) Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131) Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah. Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak. Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi Toggle Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari nerakaTujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Tujuan kedua: Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka Di antara tujuan haji adalah mendapatkan keberuntungan besar berupa keridaan Allah, selamat dari api neraka, dan juga mendapatkan ampunan serta rahmat-Nya. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ “Siapa saja yang berhaji kepada Allah, lalu tidak melakukan rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Dan haji mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ “Apakah kamu tahu bahwa Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Dan bahwasanya hijrah juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu? Serta haji juga menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu?” (HR. Muslim no. 121) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ “Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Dan tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.” (HR. An-Nasa’i no. 2631 dan Tirmidzi no. 810, hasan) Keberuntungan dengan mendapat keridaan Allah merupakan nikmat yang sangat agung dan mulia. Allah Ta’ala berfriman, وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 71-72) Allah menyebutkan pertama kali amal-amal mereka berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, menunaikan kewajiban dalam Islam, kemudian Allah menyebutkan apa yang Allah janjikan untuk mereka. Dimulai dengan penyebutan bahwa Allah menjanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kemudian disebutkan tempat tinggal yang agung dan kamar yang tinggi yang Allah sediakan untuk mereka sebagai tempat hunian mereka di surga; kemudian kemuliaan yang agung dan nikmat yang besar, yaitu keberuntungan dengan mendapatkan keridaan-Nya. Allah berfiriman, (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) (Dan keridaan Allah adalah lebih besar); kemudian Allah tutup ayat ini dengan menyebutkan, (ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ) (Itu adalah keberuntungan yang besar). Dalam firman Allah (وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ) terdapat penjelasan tentang keagungan dan kemuliaan keridaan Allah, dan bahwasanya hal ini merupakan nikmat yang paling besar dari seluruh nikmat dan pemberian yang paling mulia. Keridaan Allah adalah sifat di antara sifat-sifat Allah, sementara surga dan seluruh nikmat serta anugerah yang ada di dalamnya adalah makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, keridaan Allah lebih besar dari seluruh kenikmatan, lebih besar dari surga dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya, karena ia merupakan anugerah yang terbesar dan nikmat yang paling agung. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam sebuah hadis, Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ تَبارَكَ وتَعالَى يقولُ لأهْلِ الجَنَّةِ: يا أهْلَ الجَنَّةِ، فيَقولونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنا وسَعْدَيْكَ، فيَقولُ: هلْ رَضِيتُمْ؟ فيَقولونَ: وما لنا لا نَرْضَى وقدْ أعْطَيْتَنا ما لَمْ تُعْطِ أحَدًا مِن خَلْقِكَ؟ فيَقولُ: أنا أُعْطِيكُمْ أفْضَلَ مِن ذلكَ، قالوا: يا رَبِّ، وأَيُّ شَيءٍ أفْضَلُ مِن ذلكَ؟ فيَقولُ: أُحِلُّ علَيْكُم رِضْوانِي، فلا أسْخَطُ علَيْكُم بَعْدَهُ أبَدًا “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Wahai penduduk surga.” Maka mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu wahai Tuhan kami dengan perasaan bahagia.” Maka Allah berfirman, “Apakah kalian merasa puas?” Maka mereka menjawab, “Bagaimana kami tidak puas, padahal Engkau sungguh telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu.” Maka Allah berfirman, “Aku berikan kepadamu sekalian yang lebih utama dari itu (surga).” Mereka berkata, “Wahai Tuhanku, adakah sesuatu yang lebih utama dari itu?” Maka Allah berfirman, “Aku limpahkan kepadamu sekalian keridaan-Ku, maka Aku tidak akan memurkaimu sesudah itu untuk selama-lamanya..“ (HR. Bukhari dan Muslim) Al-Hakim juga meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إذا دخل أهل الجنة الجنة، قال الله تعالى: تشتهون شيئا فأزيدكم؟ قالوا: يا ربنا، و ما خير مما أعطيتنا! قال: رضواني أكبر “Jika penduduk surga sudah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan kepadamu?” Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih baik dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami?” Allah  berkata, “Keridaan-Ku lebih besar.“ (HR. Al-Hakim, 1: 146) Maksudnya, keridaan Allah lebih besar dari surga dan seluruh isinya. Maka hendakanya setiap muslim menjadikan tujuan ibadah haji yang agung ini berada di depan matanya dan menghadirkan di dalam hatinya. Dia berusaha dalam menunaikan hajinya ke baitullah untuk mendapat rida Allah dan ampunan serta pembebasan dari neraka. Hendaknya dia juga bersemangat menghadirkan di benaknya dalam setiap waktu dan kondisi, baik saat haji maupun di kesempatan lain. Karena sesungguhnya makna ayat ini, apabila terpatri di dalam hati seorang hamba, maka niscaya keadaannya akan berubah menjadi baik dan seluruh urusannya akan baik pula. Tujuan ketiga: Merealisasikan takwa kepada Allah Di antara tujuan ibadah haji adalah merealisasikan takwa kepada Allah. Dalam banyak ayat, Allah menjelasakan tentang wasiat takwa, karena dalam ibadah haji akan terwujud sebab-sebak takwa yang tidak ada pada ibadah yang lainnya, tentu dengan menyadari secara benar hakikat haji dan maknanya. Allah mengulang berkali-kali tentang takwa kepada Allah dalam konteks ayat-ayat haji di surah Al-Baqarah. Allah berfriman, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 196) Allah Ta’ala juga berfirman, وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197) Allah Ta’ala menutup ayat haji dalam surah Al-Baqarah dengan firman-Nya, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203) Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan di dalam hati.“ (QS. Al-Hajj: 32) Allah juga berfirman, إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.“ (QS. Al-Hajj: 38) Takwa merupakan wasiat yang agung dan sebaik baik bekal untuk hari akhirat. Takwa adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk sejak awal sampai akhir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.“ (QS. An-Nisa’: 131) Takwa merupakan wasiat Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umatnya. Apabila beliau mengirim pemimpin pasukan perang, maka beliau mengkhususkan untuk mewasiatkan takwa untuknya dan seluruh kaum muslimin yang berperang. Takwa juga merupakan nasihat yang paling banyak beliau sampaikan saat berkhotbah. Tatkala beliau berkhotbah di hadapan manusia di haji wada’ pada yaumun nahr, beliau mewasiatkan seluruh manusia untuk bertakwa. Para salafus shalih juga senantiasa saling menasihati dengan takwa. Hal ini karena takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk mendapat keridaan Allah. Tatkala ada seorang yang berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Bertakwalah kepada Allah.” Maka ‘Umar pun menjawab dengan ucapan, “Tidak ada kebaikan bagimu jika engkau tidak mengucapkannya; dan tidak ada kebaikan bagi kami jika tidak menerimanya.“ Nukilan dari para salaf tentang masalah takwa ini sangatlah banyak. Betapa indahnya apabila jemaah haji kembali dari hajinya dengan membawa bekal yang agung dan berkah ini, karena wasiat Allah tentang takwa senantiasa berulang dalam ayat-ayat haji. Allah menyeru orang yang berakal untuk bertakwa, ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi orang yang berakal -yang Allah telah memulikan mereka bisa melaksanakan ibadah haji-, untuk menjadikan takwa sebagai tujuan paling besar dalam ibadah haji mereka dan menundukkan akal mereka dalam menunaikan rangkaian ibadah agar mendapat faidah takwa darinya. Haji adalah madrasah agung untuk takwa dan merupakan persiapan terbesar yang dibutuhkan untuk meraih takwa, karena dalam amalan-amalan haji terdapat olah jiwa dan ujian bagi jiwa untuk menetapi ketaatan kepada Allah dan kembali untuk ibadah kepada-Nya. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Jutaan Orang Tak Sadar: Pahala Haji & Umrah Hangus karena Sebab Sepele Ini

Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Jutaan Orang Tak Sadar: Pahala Haji & Umrah Hangus karena Sebab Sepele Ini

Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ


Muna bertanya tentang sebuah fenomena yang akhir-akhir ini mulai banyak tersebar, yaitu sebagian orang yang pergi ke Makkah, lalu mengambil foto atau video di pelataran tawaf, di depan Ka’bah, sambil membawa selembar kertas—kertas tersebut berisi doa, misalnya, baik untuk seseorang, atau komunitas tertentu secara umum. Ia memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah. Apa arahan Anda mengenai perbuatan semacam ini? Dia memotret kertas tersebut, ya? Betul, di kertas itu tertulis doa. Ia berada di pelataran tawaf, memotret kertas itu dengan latar belakang Ka’bah—seolah-olah berkata, “Aku telah mendoakan kalian di tempat ini.” Oh, baik. Perbuatan seperti ini dapat membuka pintu riya (pamer ibadah). Padahal, ini adalah ibadah, bukan ajang untuk pamer atau dijadikan tontonan dan dokumentasi semacam itu. Bisa jadi, ini justru menjadi sebab gugurnya amal. Sayangnya, kita menyaksikan hal ini terjadi di pelataran tawaf dan sa’i. Bahkan, aku melihat sendiri ada orang yang sedang mencukur rambutnya lalu merekamnya dan menayangkannya secara langsung (live streaming). Semua ini bertentangan dengan tuntutan utama dalam ibadah, yaitu keikhlasan. Karena itu, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang mungkar (tercela). Yaitu, aktivitas foto dan pamer yang menyertai tawaf, sa’i, dan ibadah lainnya, ini adalah perbuatan mungkar, karena ia membuka celah riya. Bisa jadi ini menjadi sebab tidak diterimanya amalan tersebut. Oleh sebab itu, hendaklah perbuatan ini dihindari. Bagi siapa pun yang hendak melaksanakan umrah, haji, atau tawaf dan sa’i secara umum hendaknya ia menghadirkan niat yang ikhlas hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya juga ia menjauh dari ponsel, media sosial, serta segala bentuk dokumentasi dan pengambilan gambar. Bahkan, sebagian orang sampai memotret dirinya sendiri dan menayangkan gambar-gambar itu secara langsung kepada sebagian orang lainnya. Seolah ia berkata kepada orang-orang: “Lihat aku sedang tawaf! Lihat aku sedang sa’i!”—ini adalah riya yang nyata! Padahal riya dapat menggugurkan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Hadis Qudsi: “Barang siapa melakukan suatu amal, dan ia mempersekutukan-Ku dalam amal itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim). ==== مُنَى سَأَلَتْ عَنْ ظَاهِرَةٍ بَدَأَتْ تَنْتَشِرُ الْفَتْرَةَ الْأَخِيرَةَ الْبَعْضُ يَذْهَبُ إِلَى مَكَّةَ وَيُصَوِّرُ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ أَمَامَ الْكَعْبَةِ مَعَهُ وَرَقَةٌ هَذِهِ الْوَرَقَةُ فِيهَا دُعَاءٌ مَثَلًا إِمَّا لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ أَوْ لِمَجْمُوعَةٍ بِشَكْلٍ عَامٍّ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ فَمَا تَوْجِيهُكُمْ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَعْمَالِ؟ صَوَّرَ الْوَرَقَةَ وَمَاذَا؟ نَعَمْ الْوَرَقَةُ مَكْتُوبٌ فِيهَا دُعَاءٌ هُوَ فِي صَحْنِ الْمَطَافِ يُصَوِّرُ الْوَرَقَةَ وَمِنْ خَلْفِهَا الْكَعْبَةُ يَعْنِي كَأَنَّهُ يَقُولُ دَعَوتُ لَكُمْ فِي هَذَا الْمَكَانِ أَيْ نَعَمْ هَذَا الْعَمَلُ مَدْعَاةٌ لِلرِّيَاءِ وَهَذِهِ عِبَادَةٌ لَيْسَتْ مَجَالًا لِلْمُبَاهَاةِ وَلِلتَّصْوِيرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ هَذَا رُبَّمَا يَكُونُ سَبَبًا لِحُبُوطِ الْعَمَلِ وَهَذَا مَعَ الْأَسَفِ نَجِدُهُ فِي الْمَطَافِ وَفِي الْمَسْعَى بَلْ حَتَّى رَأَيْتُ مَنْ يَحْلِقُ رَأْسَهُ وَيُصَوِّرُ يَبُثُّ هَذَا عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً هَذِهِ كُلُّهَا أُمُورٌ تَتَنَافَى مَعَ مَا هُوَ مَطْلُوبٌ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَلِذَلِك هَذَا الْعَمَلُ عَمَلٌ مُنْكَرٌ يَعْنِي هَذَا الَّذِي يُصَاحِبُ الطَّوَافَ وَالسَّعْيَ وَالْعِبَادَاتِ مِنَ التَّصْوِيرِ وَالْمُبَاهَاةِ هَذَا عَمَلٌ مُنْكَرٌ لِأَنَّ هَذَا مَدْعَاةٌ لِلرَّيَاءِ وَهَذَا قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِعَدَمِ قَبُولِ ذَلِكَ الْعَمَلِ فَيَنْبَغِي تَرْكُ ذَلِكَ وَيَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ بِالْعُمْرَةِ أَوْ بِالْحَجِّ أَوْ يَطُوفُ عُمُومًا أَوْ يَسْعَى أَنْ يَسْتَحْضِرَ إِخْلَاصَ النِّيَّةِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْجَوَّالِ وَعَنْ وَسَائِلِ التَّوَاصُلِ وَعَنِ التَّصْوِيْرِ بِجَمِيْعِ أَشْكَالِهِ وَصُوَرِهِ بَلْ بَلَغَ الْحَالُ بِبَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ يُصَوِّرُ نَفْسَهُ وَيَبُثُّ هَذِهِ الصُّوَرَ عَلَى الْهَوَاءِ مُبَاشَرَةً لِبَعْضِ النَّاسِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ اُنْظُرُونِي أَطُوفُ اُنْظُرُونِي أَسْعَى هَذَا هُوَ الرِّيَاءُ بِعَيْنِهِ وَالرِّيَاءُ مُحْبِطٌ لِلْعَمَلِ وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Pengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani) Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya. Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya. Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji: (1) Mewujudkan pemurnian tauhid; (2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka; (3) Merealisasikan takwa kepada Allah; (4) Senantiasa mengingat Allah; (5) Menguatkan keimanan; (6) Memenuhi panggilan Allah; (7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji; (8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam; (9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin; (11) Mengingat akhirat; (12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah; (13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia; (14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan (15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah. Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya. Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita. Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ) “Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218) Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ “Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185) Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ). Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat. Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata, اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ “Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan) Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji. Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985) Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163) [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Pengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani) Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya. Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya. Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji: (1) Mewujudkan pemurnian tauhid; (2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka; (3) Merealisasikan takwa kepada Allah; (4) Senantiasa mengingat Allah; (5) Menguatkan keimanan; (6) Memenuhi panggilan Allah; (7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji; (8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam; (9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin; (11) Mengingat akhirat; (12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah; (13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia; (14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan (15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah. Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya. Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita. Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ) “Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218) Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ “Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185) Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ). Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat. Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata, اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ “Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan) Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji. Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985) Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163) [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi Toggle PengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Pengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani) Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya. Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya. Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji: (1) Mewujudkan pemurnian tauhid; (2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka; (3) Merealisasikan takwa kepada Allah; (4) Senantiasa mengingat Allah; (5) Menguatkan keimanan; (6) Memenuhi panggilan Allah; (7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji; (8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam; (9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin; (11) Mengingat akhirat; (12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah; (13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia; (14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan (15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah. Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya. Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita. Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ) “Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218) Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ “Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185) Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ). Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat. Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata, اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ “Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan) Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji. Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985) Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163) [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi Toggle PengantarTujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Pengantar Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ “Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani) Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya. Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya. Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji: (1) Mewujudkan pemurnian tauhid; (2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka; (3) Merealisasikan takwa kepada Allah; (4) Senantiasa mengingat Allah; (5) Menguatkan keimanan; (6) Memenuhi panggilan Allah; (7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji; (8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam; (9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin; (11) Mengingat akhirat; (12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah; (13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia; (14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan (15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah. Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya. Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita. Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ) “Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218) Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ “Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185) Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ). Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat. Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata, اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ “Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan) Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat  yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji. Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985) Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ​ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏ “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163) [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Hukum Haji Tanpa Tashrih (Izin atau Visa Haji Resmi)

Daftar Isi Toggle Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Ibadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1] Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ “Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2] Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini. Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas. Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan. Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih? Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa? Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa. Dalilnya adalah firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3] Fatwa-fatwa dari para ulama Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudi لا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا) “Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6] Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah لاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج “Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7] Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah الحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة  “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8] Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah طاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان “Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9] Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah? Mengapa harus ada tashrih? Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan, 1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci. 2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan. 3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi. 4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi. 5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah. Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat. Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Islam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني “Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10] Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain. Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Ali ‘Imran: 97 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. An-Nisa: 59 [4] QS. At-Taghābun: 16 [5] QS. Ali Imran: 97 [6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci [7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/ [8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766 [9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/ [10] HR. Bukhari dan Muslim

Hukum Haji Tanpa Tashrih (Izin atau Visa Haji Resmi)

Daftar Isi Toggle Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Ibadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1] Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ “Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2] Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini. Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas. Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan. Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih? Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa? Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa. Dalilnya adalah firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3] Fatwa-fatwa dari para ulama Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudi لا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا) “Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6] Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah لاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج “Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7] Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah الحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة  “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8] Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah طاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان “Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9] Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah? Mengapa harus ada tashrih? Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan, 1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci. 2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan. 3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi. 4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi. 5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah. Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat. Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Islam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني “Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10] Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain. Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Ali ‘Imran: 97 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. An-Nisa: 59 [4] QS. At-Taghābun: 16 [5] QS. Ali Imran: 97 [6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci [7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/ [8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766 [9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/ [10] HR. Bukhari dan Muslim
Daftar Isi Toggle Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Ibadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1] Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ “Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2] Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini. Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas. Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan. Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih? Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa? Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa. Dalilnya adalah firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3] Fatwa-fatwa dari para ulama Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudi لا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا) “Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6] Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah لاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج “Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7] Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah الحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة  “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8] Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah طاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان “Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9] Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah? Mengapa harus ada tashrih? Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan, 1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci. 2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan. 3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi. 4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi. 5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah. Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat. Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Islam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني “Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10] Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain. Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Ali ‘Imran: 97 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. An-Nisa: 59 [4] QS. At-Taghābun: 16 [5] QS. Ali Imran: 97 [6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci [7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/ [8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766 [9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/ [10] HR. Bukhari dan Muslim


Daftar Isi Toggle Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih?Fatwa-fatwa dari para ulamaHai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab SaudiSyekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahSyekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahSyekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahMengapa harus ada tashrih?Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Ibadah haji adalah salah satu bentuk penghambaan yang paling agung dalam Islam. Ia merupakan rukun Islam yang kelima, dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Haji mengandung banyak makna dan pelajaran: ketundukan kepada Allah, kesabaran, perjuangan, persaudaraan umat, dan kesetaraan di hadapan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1] Haji adalah ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar. Dalam hadis disebutkan, الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ “Umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.” [2] Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan pelanggaran yang menuntut perhatian, seperti haji tanpa izin resmi, yang justru dapat merusak tujuan syar’i dari ibadah ini. Saat ini, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggara utama haji telah mewajibkan setiap calon jemaah untuk mendapatkan tashrih resmi, yaitu surat izin haji. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan langkah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Sistem ini diberlakukan karena banyaknya jumlah pendaftar haji, sementara kapasitas Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah sangatlah terbatas. Namun kenyataannya, masih banyak kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji tanpa tashrih (izin atau visa resmi). Suatu fenomena yang memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Mereka melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, demi keinginan kuat untuk berhaji meskipun tidak sesuai prosedur. Padahal, pelaksanaan haji tanpa izin resmi bisa membahayakan keselamatan diri, mengganggu ketertiban, dan merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung ketaatan dan keteraturan. Bagaimana hukum menunaikan ibadah haji tanpa tashrih? Meski aturan ini telah berlaku secara luas dan jelas, sebagian orang tetap mencoba menunaikan ibadah haji tanpa tashrih. Mereka menyusup lewat jalur ilegal atau menggunakan identitas palsu. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: Bagaimanakah status haji mereka secara syariat? Apakah sah? Apakah berdosa? Para ulama membedakan antara sahnya ibadah dan berdosa karena adanya pelanggaran aturan. Jika seseorang berhaji tanpa tashrih, namun tetap melaksanakan semua rukun dan syarat haji, maka hajinya sah, tetapi ia berdosa karena telah melanggar aturan penguasa (pemerintah) yang sah. Artinya, seluruh rangkaian ibadah haji yang ia lakukan sah; namun di dalam waktu yang bersamaan, dia juga berdosa. Dalilnya adalah firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” [3] Fatwa-fatwa dari para ulama Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Arab Saudi لا يجوز الذهاب إلى الحج دون أخذ تصريح ويأثم فاعله لما فيه من مخالفة أمر ولي الأمر الذي ما صدر إلا تحقيقا للمصلحة العامة، ولا سيما دفعوا الأضرار بعموم الحجاج وإن كان الحج حج فريضة ولم يتمكن المكلف من استخراج تصريح الحج فإنه في حكم عدم المستطيع قال الله تعالى: (فاتقوا الله ما استطعتم) وقال سبحانه؛ (ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا) “Tidak diperbolehkan pergi haji tanpa mendapatkan izin (tashrih). Dan orang yang melakukannya berdosa karena hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap perintah waliyul amr (penguasa). Aturan tersebut dibuat demi mewujudkan kemaslahatan umum, terutama dalam mencegah bahaya bagi seluruh jemaah haji. Meskipun haji itu adalah kewajiban, jika seseorang tidak mampu mendapatkan izin haji, maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian’ [4]; dan Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Dan (kewajiban) manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi yang mampu menempuhnya.’” [5] [6] Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah لاـ يتبع القرار، هذا صادر من هيئة كبار العلماء، الدولة أحالته إلى هيئة كبار العلماء لأجل التخفيف على الحجاج “Dia tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ini dikeluarkan oleh Haiah Kibar al-‘Ulama (Majelis Ulama Tertinggi). Negara menyerahkannya kepada Hai’ah Kibar al-‘Ulama guna meringankan beban para jemaah haji.”[7] Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah الحج صحيح لكن مع الإثم، ومخالفة الأنظمة التي جعلها ولي الأمر لمصالح الناس ومصالح الحُجاج، فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يُريد بذلك مصلحة الناس، وتنظيم الحج، يصح منه الحج ولكن يكون عاصيًا وآثمًا في حجه، والإنسان لا يرتكب الإثم من أجل أداء سنة، الحج سُّنة إذا زاد عن مرةِ واحدة فهو سُّنة؛ ومعصية ولي الأمر محرمة، فلا يرتكب مُحرمًا من أجل فعل سُّنة  “Haji itu sah, tetapi disertai dosa, karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh waliyul amr (penguasa) demi kemaslahatan masyarakat dan para jemaah haji. Maka, taat kepada waliyul amr adalah wajib, karena ia menginginkan kebaikan bagi masyarakat dan mengatur pelaksanaan haji. Maka hajinya sah, namun ia berdosa dan melakukan maksiat dalam hajinya. Seseorang tidak boleh melakukan dosa demi menunaikan suatu amalan sunah. Haji (kedua dan seterusnya) adalah sunah, jika sudah dilakukan sekali. Dan maksiat kepada waliyul amr adalah haram. Maka, tidak boleh melakukan hal yang haram demi mengerjakan amalan sunah.” [8] Syekh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah طاعة ولي الأمر يجب طاعتهم في غير معصية الله – عز وجل – ، وهنا المسألة تختلف الآن بين مَن كان حجَّ وبين مَن لم يكن قد حجَّ ؛ يعني فريضة الإسلام ، فالذي حجَّ حجة الإسلام فيجب أن يطيع الأمر إلا إذا تبيَّن له أن الذين وضعوا هذا النظام وضعوه نكايةً في الإسلام ، وهذا ما أظنُّه يخطر في بال إنسان “Ketaatan kepada waliyul amr (penguasa) hukumnya wajib selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di sini perkaranya berbeda antara orang yang sudah menunaikan haji dan yang belum menunaikan haji (haji fardu Islam). Maka, orang yang sudah melaksanakan haji Islam wajib menaati aturan, kecuali jika jelas baginya bahwa aturan tersebut dibuat untuk merendahkan Islam, dan saya tidak mengira ada seorang pun yang akan berpikiran seperti itu.” [9] Baca juga: Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah? Mengapa harus ada tashrih? Beberapa alasan syar’i dan logis mengapa tashrih diperlukan, 1) Mengatur jumlah jemaah haji agar tidak melebihi kapasitas tempat suci. 2) Menjaga keselamatan jemaah dari kemacetan, kelelahan, dan desak-desakan. 3) Menjamin pelayanan yang layak seperti air, makanan, dan transportasi. 4) Memudahkan pengawasan dan kesehatan, khususnya saat terjadi pandemi. 5) Meningkatkan efektivitas pengelolaan jemaah. Syariat Islam datang untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka, aturan tashrih adalah bagian dari penjagaan terhadap jiwa dan keselamatan umat. Semua ini adalah bentuk maslahah (kemaslahatan) yang dijaga oleh syariat. Taat prosedur, haji mabrur, Insyaa Allah Islam adalah agama yang mengajarkan ketaatan dan disiplin. Termasuk dalam ibadah haji, kita dianjurkan untuk menunaikannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني “Siapa saja yang menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah. Dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka ia telah durhaka kepada Allah. Dan siapa saja yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati aku.” [10] Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita setiap muslim. Namun, untuk meraih pahala yang sempurna, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan. Haji tanpa tashrih memang sah, tetapi bisa berujung pada dosa karena menyelisihi perintah waliyul amr dan membahayakan orang lain. Maka bersabarlah, dan niatkan haji dengan cara yang halal dan sesuai aturan. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk berhaji dengan cara yang diridai dan diberkahi-Nya. Aamiin. Baca juga: Tiga Pelajaran Penting dari Haji Nabi *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Ali ‘Imran: 97 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. An-Nisa: 59 [4] QS. At-Taghābun: 16 [5] QS. Ali Imran: 97 [6] Lihat web https://www.spa.gov.sa/N2090424 untuk penjelasan secara lengkap dan terperinci [7] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/ [8] Lihat https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/15766 [9] Lihat https://www.al-albany.com/audios/content/3463/ [10] HR. Bukhari dan Muslim

Jangan Takut Terasing dan Sendirian di Tengah Keramaian Dunia

Daftar Isi Toggle Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Kadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat. Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati. Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman? Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun. Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya, ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7) Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya. Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata, قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة “Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal, Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat. Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian. Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya, وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس “Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian. Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita. Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Selain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati. Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031) Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965) “Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain. Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri *** Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.

Jangan Takut Terasing dan Sendirian di Tengah Keramaian Dunia

Daftar Isi Toggle Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Kadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat. Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati. Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman? Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun. Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya, ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7) Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya. Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata, قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة “Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal, Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat. Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian. Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya, وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس “Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian. Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita. Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Selain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati. Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031) Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965) “Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain. Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri *** Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.
Daftar Isi Toggle Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Kadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat. Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati. Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman? Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun. Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya, ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7) Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya. Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata, قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة “Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal, Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat. Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian. Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya, وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس “Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian. Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita. Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Selain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati. Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031) Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965) “Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain. Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri *** Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.


Daftar Isi Toggle Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman?Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Kadang hati kita merasa pusing, galau, sedih, gundah gulana, hidup terasa sesak, sempit, dan “sumpek”. Padahal, pada saat itu kita sedang tidak ada masalah, kebutuhan sehari-hari tercukupi, dan tidak punya utang. Perasaan-perasaan semacam itu seringkali muncul karena memang hati kita yang sedang “bermasalah”.  Hati kita yang sedang sakit dan butuh obat. Ketika hati kita baik, maka insya Allah kondisi kita pun baik, tidak peduli apakah kita sedang sendiri, tidak ada teman di sekeliling kita, atau tidak ada orang yang memberikan apresiasi dan pujian atas apa yang kita lakukan. Dalam kondisi hati semacam itu, kita tidak membutuhkan dan tidak peduli lagi dengan penilaian manusia. Karena dalam kondisi hati yang baik dan “hidup”, kita tahu bahwa kita tidak lagi membutuhkan penilaian manusia. Namun, fokus kita adalah bagaimanakah Allah Ta’ala melihat dan menilai atas apa yang telah kita perbuat. Pada hari kiamat kelak, Allah Ta’ala akan menyingkap dan membongkar semua yang selama ini kita sembunyikan dalam hati kita. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq: 9) Oleh karena itu, manusia yang cerdas adalah manusia yang fokus untuk memperbaiki kondisi hatinya. Karena amalan-amalan lahiriyah merupakan hasil dan cerminan dari apa yang tersembunyi di dalam hati. Mengapa ketika sendiri, manusia merasa butuh mencari teman? Sebagian kita lebih senang di keramaian, butuh teman untuk jalan-jalan, nongkrong di cafe, mal, dan tempat-tempat ramai lainnya. Mengapa kita sedih saat tidak punya teman? Padahal Allah Ta’ala bisa dan mampu untuk membuat kita bahagia tanpa ada satu orang pun di sekitar kita. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, beliau lebih memilih penjara daripada berzina. Padahal ketika di penjara, kemungkinan besar beliau akan sendirian, tidak punya teman. Hal ini karena Nabi Yusuf ‘alaihis salam memiliki Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahakuasa, yang akan memberikan kebahagiaan, meski di penjara, meski tanpa siapa pun, meski tanpa memiliki apapun. Demikian juga kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika di penjara, diasingkan, dijauhkan dari keluarga dan kampungnya, juga diancam dibunuh. Namun, keteguhan hati beliau tidak tergoyahkan dengan itu semua, dan beliau mengatakan dalam perkataan emasnya, ما يفعل أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري ، أين رحت فهي معي ، إن سجني خلوة وقتلي شهادة وإخراجي من بلدي سياحة “Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku; ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Penjara bagiku adalah khalwah (waktu menyendiri bersama Allah, pent.), kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiranku dari negeriku bagaikan wisata (rekreasi) bagiku.” (Waqafatun Bahiyyah min Ḥayati Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah, 1: 7) Penjara bagi beliau rahimahullah adalah waktu terbaik untuk bisa menyendiri bersama Allah Ta’ala, memperbanyak ibadah, memperbanyak salat, dzikir, membaca Al-Quran, tafakur, tanpa ada siapapun yang mengganggu. Kalaupun beliau diasingkan, beliau menganggapnya sebagai rekreasi, bepergian ke tempat baru. Dan kalaupun beliau pada akhirnya dibunuh, maka itu adalah kematian yang beliau rindukan karena mati dalam keadaan syahid, meskipun tidak punya teman. Hal ini karena beliau telah menjadikan Allah Ta’ala sebagai teman dan kekasihnya. Maka, kisah-kisah di atas adalah perwujudan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Tsur kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Lalu, mengapa kita mudah bosan ketika duduk sendiri berdzikir, membaca Al-Quran, atau belajar ilmu syar’i? Al-Khattabi rahimahullah berkata, قال بعض الحكماء: إنما يستوحش الإنسان بالوحدة لخلاء ذاته ، وعدم الفضلية من نفسه ؛ فيتكثر حينئذ بملاقاة الناس ، ويطرد الوحشة عن نفسه بالكون معهم ، فإذا كانت ذاته فاضلة طلب الوحدة ليستعين بها على الفكرة ، ويتفرغ الاستخراج الحكمة “Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Seseorang merasa kesepian ketika dia sendirian karena hatinya kosong dan tidak memiliki keutamaan dari dirinya sendiri; maka ia merasa perlu bergaul dengan orang lain untuk mengusir rasa sepi itu dengan keberadaan mereka. Namun, jika dirinya memiliki keutamaan, maka ia justru akan mencari kesendirian untuk membantunya dalam berpikir dan fokus dalam menggali hikmah.’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Lihatlah bagaimana keadaan para ulama, para penulis, pemikir atau cendekiawan, mengapa mereka tidak merasa bosan ketika sendirian? Bahkan para ulama dulu sangat kuat duduk sendiri di perpustakaan selama berjam-jam untuk menelaah kitab dan belajar, menulis kitab hingga berjilid-jilid yang kita pun mungkin tidak akan mampu selesai membacanya sampai kematian menjemput kita. Hal ini karena hati mereka “terisi”, pikiran mereka “terus berjalan”, sehingga ketika sendiri, mereka tidak merasa kesepian. Sebaliknya, orang yang merasa kesepian saat sendiri, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong. Lalu dia pun mencari teman untuk ngobrol atau nongkrong. Hati mereka kosong dari setidaknya tiga hal, Pertama, kosong dari mengingat Allah, kosong dari mengingat keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala. Kedua, kosong dari mengingat perjalanannya kelak ke negeri akhirat. Ketiga, kosong dari mengingat datangnya hari kematian. Ketika hati kita kosong dari semua itu, kita pun mencari teman. Padahal ketika nongkrong dengan teman-teman yang tidak baik, yang dibicarakan hanyalah pencapaian duniawi, pamer kesuksesan, menjatuhkan atau merendahkan orang lain, atau menggunjing dan membongkar aib (kejelekan) orang lain (ghibah). Sehingga benarlah ketika Al-Khattabi rahimahullah kemudian melanjutkan perkataannya, وقال بعضهم: الاستئناس بالناس من علامات الإفلاس “Sebagian ahli hikmah berkata, ‘Mencari kenyamanan dari (berkumpul dengan) manusia adalah tanda-tanda kefakiran (batin).’” (Arsyif Multaqa Ahl al-Ḥadits, 61: 263) Ya, itulah tanda hati yang miskin, hati yang kosong, yang selalu merasa butuh teman, dan tidak bisa merasa bahagia ketika sendirian. Jika memang demikian, maka isilah hati kita dengan dzikir kepada Allah, yang bisa kita temui kapan saja tanpa harus membuat janji meeting terlebih dahulu. Allah Ta’ala membuka pintu tobat kapan saja, selama kita mendatangi-Nya dalam salat dan sujud kita. Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Renungkanlah kondisi kita saat sendirian di alam kubur Selain itu, renungkanlah kondisi nenek moyang kita di alam kubur, mereka sepi sendiri di sana, menunggu datangnya hari kiamat selama bertahun-tahun lamanya, tanpa teman satu pun. Maka, latihlah diri kita untuk merasakan nikmat dan lezatnya ibadah kepada Allah Ta’ala meskipun dalam kondisi sendirian. Kita bangun malam, mengambil air wudu, lalu salat malam, berdoa, berdzikir mengingat Allah Ta’ala. Jika kita belum mampu merasakah lezatnya ibadah di kala sendirian seperti itu, maka itulah hati yang kosong, hati yang sakit, yang butuh segera diobati. Renungkanlah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat naungan Allah, di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki amal rahasia, amal tersembunyi yang tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil; (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah; (3) seorang yang hatinya bergantung kepada masjid; (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’; (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah, lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi, lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806 dan Muslim no. 1031) Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup, dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965) “Suka mengasingkan diri”, maksudnya adalah tidak menampakkan amalnya kepada orang lain. Dan inilah musibah kaum muslimin saat ini, ketika sebagian mereka senang memposting aktivitas ibadahnya di media sosial, dia pun suka mengecek berapa yang sudah like, comment, dan share. Itulah kondisi hati yang kosong dari mengingat Allah Ta’ala. Sekali lagi, itulah tanda hati yang kosong dan butuh segera diobati sebelum menjadi hati yang mati. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Baca juga: Bertengkar dengan Diri Sendiri *** Unayzah, KSA, 11 Zulqa’dah 1446/ 9 Mei 2025 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Penulis banyak mengambil faidah dari ceramah Ustadz Rifky Ja’far Thalib hafizhahullah di sini.

Hadis: Rasulullah adalah Pendengar yang Baik

Daftar Isi Toggle Teks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Beberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan. Teks hadis عَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ  Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.” Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.” Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1] Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanita Faedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain.  Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2]  Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,  لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3] Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya. Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4] Baca juga: Menjadi Ayah Teladan Pelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Hadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat. Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”. Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan.  Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita. Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5] Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik. Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini. [2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210. [3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197. [4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477  [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.

Hadis: Rasulullah adalah Pendengar yang Baik

Daftar Isi Toggle Teks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Beberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan. Teks hadis عَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ  Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.” Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.” Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1] Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanita Faedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain.  Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2]  Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,  لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3] Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya. Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4] Baca juga: Menjadi Ayah Teladan Pelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Hadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat. Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”. Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan.  Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita. Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5] Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik. Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini. [2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210. [3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197. [4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477  [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.
Daftar Isi Toggle Teks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Beberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan. Teks hadis عَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ  Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.” Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.” Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1] Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanita Faedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain.  Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2]  Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,  لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3] Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya. Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4] Baca juga: Menjadi Ayah Teladan Pelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Hadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat. Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”. Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan.  Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita. Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5] Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik. Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini. [2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210. [3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197. [4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477  [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.


Daftar Isi Toggle Teks hadisPelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanitaPelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Beberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan. Teks hadis عَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ  Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.” Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.” Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1] Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanita Faedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain.  Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2]  Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid.  Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,  لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3] Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya. Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4] Baca juga: Menjadi Ayah Teladan Pelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat Hadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat. Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”. Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan.  Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita. Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5] Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik. Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini. [2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210. [3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197. [4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477  [5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.

Di Antara Doa yang Paling Lengkap

٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 194 times, 1 visit(s) today Post Views: 53 QRIS donasi Yufid

Di Antara Doa yang Paling Lengkap

٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 194 times, 1 visit(s) today Post Views: 53 QRIS donasi Yufid
٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 194 times, 1 visit(s) today Post Views: 53 QRIS donasi Yufid


٢ – اللَّهمَّ اقسِم لنا من خشيتِكَ ما تحولُ بِهِ بيننا وبينَ معاصيكَ ومن طاعتِكَ ما تبلِّغنا بِهِ جنَّتكَ… 2. Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā taẖūlu bihi bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka … (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang dengannya Engkau Mencegah kami dari segala maksiat kepada-Mu dan ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, …). الراوي: عبدالله بن عمر • الألباني، التوسل للألباني (٤٥) • حسن • أخرجه الترمذي (٣٥٠٢)، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (١٠٢٣٤) مطولاً، من حديث عبدالله بن عمر . Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani dalam at-Tawassul karya al-Albani (45) • Hadis hasan • Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234) dengan redaksi yang panjang dari hadis Abdullah bin Umar. قلَّما كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يقومُ من مَجلسٍ حتَّى يدعوَ بِهَؤلاءِ الكلِماتِ لأصحابِهِ : اللَّهمَّ اقسِم لَنا من خشيتِكَ ما يَحولُ بينَنا وبينَ معاصيكَ ، ومن طاعتِكَ ما تبلِّغُنا بِهِ جنَّتَكَ ، ومنَ اليقينِ ما تُهَوِّنُ بِهِ علَينا مُصيباتِ الدُّنيا ، ومتِّعنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتنا ما أحييتَنا ، واجعَلهُ الوارثَ منَّا ، واجعَل ثأرَنا على من ظلمَنا ، وانصُرنا علَى من عادانا ، ولا تجعَل مُصيبتَنا في دينِنا ، ولا تجعلِ الدُّنيا أَكْبرَ همِّنا ولا مبلغَ عِلمِنا ، ولا تسلِّط علَينا مَن لا يرحَمُنا Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini kepada para Sahabat beliau, “Allāhummaqsim lanā min khasyatika mā yaẖūlu bainanā wa baina maʿāṣhīka wa min ṯhāʿatika mā tuballighunā bihi jannataka wa minal yaqīni mā tuhawwinu bihi ʿalainā muṣhībātid dunyā wa mattiʾnā bi asmāʿinā wa abṣhārinā wa quwwatinā mā aẖyaitanā wajʾalhul wāritsa minnā wajʾal tsaʾranā ʿalā man ẓhalamanā wanṣhurnā ʿalā man ʿādānā wa lā tajʾal muṣhībatanā fī dīninā wa lā tajʾalid dunyā akbara hamminā wa lā mablagha ʿilminā wa lā tusalliṯh ʿalainā man lā yarẖamunā (artinya: Ya Allah, Berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu (yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu, ketaatan kepada-Mu yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan keyakinan yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami segala musibah dunia ini, dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau masih Memberikan kami hidup, dan Jadikanlah itu sebagai warisan dari kami, Balaskan untuk kami orang yang telah menzalimi kami, Tolonglah kami melawan orang yang memusuhi kami, serta jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami, Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami dan puncak keilmuan kami, dan Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami).” الراوي : عبدالله بن عمر •الألباني •صحيح الترمذي • الصفحة أو الرقم: 3502 • خلاصة حكم المحدث : حسن • التخريج : أخرجه الترمذي (3502) واللفظ له، والنسائي في ((السنن الكبرى)) (10234)، والطبراني في ((الدعاء)) (1911) Perawi: Abdullah bin Umar • Al-Albani • Sahih at-Tirmidzi • Halaman atau nomor: 3502 • Ringkasan tentang hukum hadis: Hasan • Takhrīj hadis: Diriwayatkan oleh Tirmizi (3502) dan ini adalah redaksinya, Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (10234), dan ath-Thabarani dalam ad-Duʿāʾ (1911) في هذا الحديثِ دُعاءٌ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، جامِعٌ لكثيرٍ مِن أبوابِ الخيرِ وتحقيقِ السَّعادةِ في الدَّارَين؛ فقَد اشتَمَل على مَطالِبَ عَظيمةٍ فيما يَحتاجُ إليه العبدُ في دينِه ودُنياه، وفيه يَقولُ ابنُ عُمرَ رَضِي اللهُ عَنهما: “قَلَّما كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَقومُ مِن مَجلِسٍ”، أي: نادِرًا ما يقومُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن مَجلِسٍ، “حتَّى يَدعُوَ بهؤلاءِ الكلماتِ”، أي: يكونُ حَريصًا على أن يَدعُوَ بهؤلاءِ الدَّعَواتِ لأصحابِه: “اللَّهمَّ اقْسِم لنا”، أي: اللَّهمَّ ارزُقْنا نَصيبًا وحَظًّا “مِن خَشيَتِك”، أي: مِن الخوفِ مِنك وتَعظيمِك وإجلالِك “ما يَحولُ بينَنا وبينَ مَعاصيك”، أي: تَكونُ هذه الخشيةُ حائِلًا ومانِعًا مِن الوُقوعِ في المعصيةِ والذُّنوبِ وذلك أنَّ العَبدَ إذا امتَلَأ قلبُه إجلالًا وتَعظيمًا للهِ عزَّ وجلَّ؛ فإنَّ ذلك يَمنَعُه مِن أن يَرتَكِبَ المحظوراتِ Dalam hadis ini ada doa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang di dalamnya mencakup banyak pintu kebaikan dan usaha meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doa ini mengandung berbagai permintaan agung yang dibutuhkan oleh seorang hamba bagi agama dan dunianya. Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mengatakan tentang hadis ini, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam jarang bangkit meninggalkan suatu majelis” yakni Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hampir-hampir tidak pernah bangun meninggalkan suatu pertemuan “sampai beliau membacakan kalimat-kalimat ini,” yakni beliau sangat antusias dalam membacakan doa tersebut kepada para Sahabat beliau. “Ya Allah, Berikanlah kepada kami” artinya: Ya Allah, Anugerahkan kepada kami bagian dan jatah “rasa takut kepada-Mu” yakni: memiliki rasa takut sehingga memuliakan dan mengagungkan-Mu “(yaitu) sesuatu yang akan menghalangi antara kami dengan bermaksiat kepada-Mu” yakni rasa takut yang akan menjadi penghalang dan pencegah sehingga kami tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Yang demikian itu karena seorang hamba jika hatinya penuh dengan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah ʿAzza wa Jalla, maka hal itu akan mencegahnya melakukan perbuatan yang terlarang “ومِن طاعَتِك”، أي: وارزُقْنا القِيامَ بامتِثالِ والْتِزامِ ما تُحِبُّه وتَرْضاه مِن الأقوالِ والأفعالِ “ما تُبَلِّغُنا به”، أي: تُوصِّلُنا بهذه الطَّاعةِ “جنَّتَك” ورِضْوانَك، “ومِنَ اليقينِ”، أي: ارزُقْنا قوَّةَ الإيمانِ بما قدَّرتَه وكتَبْتَه مِن الحِكْمةِ وتَكفيرِ سيِّئاتِنا ورَفْعِ درَجاتِنا “ما تُهوِّنُ به علَينا”، أي: تُسهِّلُ بهذا اليقينِ علَينا “مُصيباتِ الدُّنيا”، أي: ما يقَعُ لنا مِن مِحَنٍ وابتِلاءاتٍ في الدُّنيا، “ومَتِّعْنا بأسماعِنا وأبصارِنا وقوَّتِنا”، أي: اجعَلْنا مُنتفِعين بما أنعَمتَ علينا مِن نِعَمِ السَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “ما أحيَيتَنا”، أي: مُدَّةَ بَقائِنا إلى أن نَموتَ “ketaatan kepada-Mu” artinya: Anugerahkan kepada kami kemampuan menjalankan dan teguh melakukan perbuatan dan perkataan yang Engkau Ridai, “yang dengannya Engkau Mengantarkan kami kepada surga-Mu” yakni Engkau Menyampaikan kami kepada surga dan keridaan-Mu dengan wasilah ketaatan tersebut; “keyakinan” artinya: Anugerahkan kepada kami kekuatan iman dengan hikmah, penebus dosa, dan pengangkat derajat yang telah Engkau Takdirkan dan Tetapkan; “yang dengannya Engkau Meringankan bagi kami” yakni keyakinan yang akan memudahkan kami “segala musibah dunia ini” yakni segala ujian dan cobaan yang menimpa kami di dunia ini; “dan Izinkan kami menikmati pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami” artinya: Jadikan kami orang yang bisa memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang telah Engkau Anugerahkan kepada kami, “selama Engkau masih Memberikan kami hidup” yakni sepanjang hidup kami sampai kami diwafatkan. “واجعَلْه”، أي: اجعَلِ التَّمتُّعَ والانتِفاعَ بالسَّمعِ والبصَرِ والقوَّةِ “الوارِثَ منَّا”، أي: باقِيًا مُستمِرًّا بأنْ تكونَ صحيحةً وسليمةً إلى الموتِ، فكانت بمكانةِ الوارِثِ؛ لأنَّه هو مَن يَبْقى بعدَ وفاةِ مُورِّثِه، وقيل: اجعَلْ هذا الانتِفاعَ والتَّمتُّعَ في ذُرِّيَّتِنا مِن بَعدِنا، “واجعَلْ ثأرَنا”، أي: اجعَلْ انتِقامَنا وطلَبَنا لحَقِّنا “على مَن ظلَمَنا” لا يتَعدَّاه فنُدرِكُه منه، ولا تَجْعَلْنا مُعتَدين على غَيرِنا فنَكونَ ظالِمين،  “.dan Jadikanlah itu” artinya: Jadikan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan yang kami manfaatkan dan nikmati itu, “sebagai warisan dari kami” yakni tetap dan terus-menerus sehat dan normal sampai mati. Ini seperti warisan yang mana ahli waris masih tetap ada sampai setelah wafatnya orang yang mewariskan. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jadikan (pendengaran, penglihatan, dan kekuatan) yang kami manfaatkan dan nikmati ini untuk keturunan kami juga setelah kami wafat; “Balaskan untuk kami” artinya: Tunaikan balasan dan tuntutan hak kami dari “orang yang telah menzalimi kami” tanpa harus menzaliminya tapi kami tetap mendapatkan hak kami darinya dan jangan Jadikan kami orang yang berbuat aniaya kepada orang lain sehingga kami menjadi orang yang zalim. وانصُرْنا”، أي: وارزُقْنا الظَّفرَ “على مَن عادانا”، أي: مَن تَعدَّى علينا بغيرِ حقٍّ ولا تَجعَلْ مُصيبَتَنا في دينِنا”، أي: اللهمَّ لا تُصِبْنا بما يَنقُصُ دِينَنا من اعتقادِ سُوءٍ، وأكْلِ الحرامِ، أو فَترةٍ وكَسلٍ في العبادةِ وغيرِ ذلك مِن المعاصِي المهلِكات، والمصيبةُ في الدِّينِ هي المصيبةُ الحقيقيَّةُ؛ لأنَّه إذا أُبقِيَ على دِينِ المرءِ فما فاتَه من الدُّنيا شيءٌ، وإذا ضاعَ الدِّينُ لم يَفُزْ بشيءٍ، “Tolonglah kami” artinya: Anugerahkan kepada kami kemenangan “melawan orang yang memusuhi kami” yakni orang yang menganiaya kami tanpa alasan yang dibenarkan. “Jangan Engkau Timpakan musibah kepada agama kami” artinya: Ya Allah, janganlah Engkau Timpakan kepada kami musibah yang mengurangi kualitas agama kami, seperti akidah yang rusak, mengonsumsi yang haram, atau malas beribadah, serta berbagai maksiat yang membinasakan. Musibah yang menimpa agama adalah musibah yang sebenarnya, karena menjaga agama itu tidak akan membuatnya kehilangan dunia sedikit pun, tetapi jika agamanya hilang, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun. “ولا تَجعَلِ الدُّنيا أكبَرَ هَمِّنا”، أي: لا تجعَلْ أعظَمَ ما نَقصِدُه ونَهتَمُّ به ونَحزَنُ مِن أجلِه هو أمورَ الدُّنيا، فنَنشَغِلَ بها، وتُلهِيَنا عن العِبادةِ والطَّاعةِ، “ولا مَبْلغَ”، أي: ولا تجعَلِ الدُّنيا مُنتهَى وغايةَ “عِلْمِنا”، أي: لا يَكونُ عِلمُنا كلُّه هو التَّفكُّرَ في أحوالِ الدُّنْيا؛ بحيثُ نَكونُ ناسينَ للآخِرَةِ، “ولا تُسلِّطْ علينا مَن لا يَرحَمُنا “، أي: مِن القومِ الكافِرينَ، أو من الأُمراءِ الظَّالِمين، أو من السُّفهاءِ الجاهِلينَ؛ فلا تَجعَلْ لهؤلاءِ علَينا مِن سَبيلٍ أو سُلطانٍ، ولا تَجعلْنا مغلوبِينَ لهم، أو لا تَجعلِ الظالمِينَ حاكِمينَ علينا فإنَّهم لا يَرحَمون الرَّعيةَ. وقيل: لا تُسلِّطْ علينا مَلائكةَ العَذابِ في القَبرِ والنَّارِ. “(Jangan Engkau) Menjadikan dunia sebagai keresahan terbesar kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya maksud dan perhatian terbesar kami, membuat kami bersedih karenanya, padahal itu hanya perkara dunia, yang menyibukkan kami dan melalaikan kami dari ibadah dan ketaatan; “dan puncak keilmuan kami” artinya: jangan Engkau Menjadikannya sebagai puncak dan tujuan akhir ilmu kami; yakni ketika keilmuan kami seluruhnya adalah berpikir tentang urusan dunia sehingga menjadikan kami melupakan akhirat. “(Jangan Engkau) Menguasakan atas kami orang yang tidak mengasihi kami,” baik dari kalangan orang-orang kafir, pemimpin yang zalim, atau orang-orang pandir yang bodoh. Jangan Engkau Beri mereka jalan dan kekuasaan untuk menguasai kami, Membuat kami dikalahkan oleh mereka, atau Menjadikan orang zalim menjadi penguasa kami. Mereka adalah orang yang tidak mempunyai belas kasihan kepada rakyat mereka. Ada yang mengatakan bahwa artinya: Jangan Engkau Biarkan malaikat-malaikat azab menguasai kami di dunia, kubur, dan neraka.  وفي الحديثِ: الحِرصُ على مُلازَمةِ الطَّاعةِ. وفيه: الحِرْصُ على العِلمِ الَّذي يَنفَعُ في الآخِرَةِ. وفيه: الحثُّ على الدُّعاءِ الجامِعِ لخيرِ الدُّنيا والآخِرَةِ.(مصدر الشرح: الدرر السنية) Hadis ini mengisyaratkan antusiasme dalam menetapi amal ketaatan dan semangat dalam ilmu yang bermanfaat bagi akhirat seseorang serta anjuran untuk berdoa dengan doa lengkap dan menyeluruh yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat. Sumber syarah hadis: ad-Durar as-Saniyyah 🔍 Arab Insyaallah, Foto Cincin Batu Akik, Doa Setelah Wudhu Rumaysho, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Efek Sering Onani Visited 194 times, 1 visit(s) today Post Views: 53 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next