Daftar Isi
Toggle
Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah
Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)
Definisi maysir secara bahasa dan istilah
Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]
Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]
Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,
حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر
“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]
Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,
طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب
“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]
Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى
“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]
Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,
لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان
“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]
Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي
“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]
Perbedaan antara gharar dan maysir
Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir.
Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.” [10]
Hukum al-maysir dalam akad muamalah
Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91)
Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”
Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.
Dalil dari As-Sunah
Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)
Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).
Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]
Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه
“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]
Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر
“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل
“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]
Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah
Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,
“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.
Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.
Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,
إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا
“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21]
[Bersambung]
Kembali ke bagian 4
***
@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.
[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.
[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.
[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.
[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.
[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.
[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.
[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.
[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.
[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.
[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.
[12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”
[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)
[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)
[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)
Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).
[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.
[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.
[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.
[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.
[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.
[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.
Daftar Isi
Toggle
Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)Definisi maysir secara bahasa dan istilahPerbedaan antara gharar dan maysirHukum al-maysir dalam akad muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahContoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah
Prinsip keempat: Melarang praktik maysir (perjudian)
Definisi maysir secara bahasa dan istilah
Menurut bahasa, kata al-maysir (الميسر) merupakan mashdar mimiy; dan terdapat beberapa pendapat tentang asal-usulnya secara bahasa. Ada yang mengatakan, al-maysir berasal dari kata al-yusru (اليسر); yang artinya mudah (kemudahan). Ada juga yang mengatakan, berasal dari kata al-yasar (اليسار), yang berarti kekayaan, karena seseorang merampas harta kekayaannya. Selain itu, terdapat juga pendapat-pendapat lainnya. [1]
Secara bahasa, al-maysir adalah qimar (perjudian), juga dipakai untuk istilah al-jazur (hewan ternak semacam unta atau kambing yang digunakan sebagai taruhan). [2]
Adapun menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang disampaikan oleh para ulama fikih. Ibnul Hamam Al-Hanafi rahimahullah berkata,
حاصله: تعليق الملك، أو الاستحقاق بالخطر
“Intinya: menggantungkan kepemilikan atau hak milik dengan suatu risiko (hasil yang tidak pasti).” [3]
Ibnul ‘Arabi Al-Maliki rahimahullah berkata,
طلب كل واحد منهما صاحبه بغلبة في عمل، أو قول؛ ليأخذ مالا جعله للغالب
“Setiap orang meminta kepada temannya untuk menang dalam suatu perbuatan atau perkataan, agar ia dapat mengambil harta yang disediakan untuk pemenang.“ [4]
Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
هو الذي لايخلو الداخل فيه، من أن يكون غانما إن أخذ، أو غارما إن أعطى
“Dia adalah sesuatu yang tidak ada seorang pun yang terlibat di dalamnya, kecuali akan menjadi penerima keuntungan jika ia menerima (karena menjadi pemenang, pent.), atau akan menanggung kerugian jika ia memberikan (karena kalah, pent.).” [5]
Ibnu Abi Al-Fath Al-Hanbali rahimahullah berkata,
لعب على مال؛ ليأخذه الغالب من المغلوب، كائنا من كان
“Permainan dengan uang, di mana pemenang mengambilnya dari yang kalah, apapun kondisinya.” [6]
Dan yang perlu dicatat adalah bahwa sejumlah ulama berpendapat bahwa maysir yang diharamkan oleh Allah Ta’ala itu lebih luas dari sekedar permainan (perlombaan) dan perjudian yang menjadi sebab memakan harta orang lain secara batil. Mereka memasukkan ke dalam definisi maysir berupa semua perkara yang menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah dan salat; dan semua yang menyebabkan permusuhan dan kebencian antara manusia, meskipun tidak berkaitan dengan taruhan harta (uang). [7]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فتبين أن ” الميسر” اشتمل على ” مفسدتين ” : مفسدة في المال ، وهي أكله بالباطل . ومفسدة في العمل وهي ما فيه من مفسدة المال وفساد القلب والعقل وفساد ذات البين . وكل من المفسدتين مستقلة بالنهي
“Jelaslah bahwa “maysir” mencakup dua kerusakan: (1) kerusakan pada harta, yaitu memakan harta dengan cara yang batil; dan (2) kerusakan pada amal, yaitu apa yang terkandung di dalamnya berupa kerusakan harta, kerusakan hati dan akal, serta kerusakan hubungan antar sesama. Masing-masing dari kedua kerusakan tersebut berdiri sendiri dengan larangannya.” [8]
Perbedaan antara gharar dan maysir
Dengan melihat definisi masing-masing dari gharar dan maysir, jelaslah bahwa definisi keduanya berdekatan (mirip). Oleh karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa keduanya itu sama saja, yang satu sudah tercakup dalam yang lainnya. [9] Akan tetapi, dekatnya pengertian keduanya bukan berarti sama persis dalam semua sisi. Hal ini karena sebagian bentuk gharar tidak bisa disebut sebagai maysir. Definisi maysir itu lebih khusus dari gharar. Maka, setiap maysir adalah gharar; namun tidak berlaku sebaliknya, gharar belum tentu maysir.
Dr. Adh-Dharir hafizhahullah berkata, “Kata qimar atau maysir itu lebih khusus daripada gharar. Qimar dan maysir adalah gharar tanpa diragukan lagi. Akan tetapi, terdapat berbagai jenis akad yang di dalamnya terdapat gharar, namun tidak tepat kalau dikatakan bahwa akad tersebut adalah qimar. Oleh karena itu, jual beli yang mengandung gharar, ijarah (sewa-menyewa) yang mengandung gharar, dan juga akad-akad lainnya, merupakan sebuah kekeliruan jika menyebut akad-akad tersebut secara mutlak sebagai qimar dan menyerupakan dengannya. Kecuali akad-akad yang sudah jelas mengandung ciri-ciri qimar.” [10]
Hukum al-maysir dalam akad muamalah
Haramnya maysir merupakan salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat dalam masalah muamalah, dan disepakati oleh para ulama tanpa ada keraguan di dalamnya. [11] Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunah.
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijsun) dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (QS. Al-maidah: 90-91)
Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir. Hal ini karena Allah Ta’ala menyebutnya sebagai perbuatan yang keji atau kotor (rijsun), perbuatan setan, dan juga memerintahkan untuk menjauhinya. Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa maysir merupakan sebab permusuhan dan kebencian di antara manusia; dan menghalangi manusia dari salat dan dzikir. Kemudian Allah Ta’ala menegaskan larangan sebelumnya dengan mengatakan (yang artinya), “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).”
Dua ayat ini sangat jelas menunjukkan haramnya maysir, tanpa ada keraguan di dalamnya, dan juga tanpa ada ruang untuk membantah keharamannya. Setiap akad muamalah yang menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara manusia termasuk dalam maysir yang telah Allah haramkan.
Dalil dari As-Sunah
Adapun dalil dari As-Sunah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Siapa saja yang berkata kepada sahabatnya, ‘Kemarilah, saya berjudi denganmu’, maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Bukhari no. 4860 dan Muslim no. 1647)
Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan qimar sebagai sebab wajibnya sedekah dalam rangka penghapusan dosa. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa qimar adalah haram [12], sama saja baik dalam akad muamalah atau permainan (perlombaan).
Termasuk yang menunjukkan bahwa qimar adalah haram adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap jual beli hashah [13], jual beli yang mengandung gharar, jual beli habalil habalah [14}, jual beli ‘ashbul fahli (jual beli air mani pejantan) [15], dan juga muamalah yang mengandung unsur maysir. [16]
Ini adalah sebagian dalil yang disebutkan oleh para ulama untuk menunjukkan haramnya maysir. Siapa saja yang merenungkan kaidah-kaidah syariat, dia akan mengetahui secara pasti bahwa syariat tidaklah membolehkan maysir dalam semua perkara, baik dalam masalah akad muamalah atau permainan (perlombaan).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وإذا تأملت أحوال هذه المغالبات رأيتها في ذلك كالخمر قليلها يدعو إلى كثيرها وكثيرها يصد عن ما يحبه الله ورسوله ويوقع فيما يبغضه الله ورسوله فلو لم يكن في تحريمها نص لكانت أصول الشريعة وقواعدها وما اشتملت عليه من الحكم والمصالح وعدم الفرق بين المتماثلين توجب تحريم ذلك والنهي عنه
“Jika engkau memperhatikan keadaan berbagai bentuk permainan (kompetisi) (المغالبات), maka engkau akan melihat bahwa dalam hal ini, ia seperti khamr (minuman keras): sedikitnya mendorong kepada banyaknya, dan banyaknya menghalangi dari hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjerumuskan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, seandainya pun tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkannya, niscaya prinsip-prinsip syariat, kaidah-kaidahnya, serta apa yang terkandung di dalamnya berupa hikmah dan kemaslahatan, serta larangan untuk membedakan antara dua hal yang serupa, semuanya menunjukkan bahwa hal itu wajib diharamkan dan dilarang.” [17]
Karena syariat Islam menegakkan keadilan dalam semua aspek hukumnya, maka syariat melarang semua bentuk muamalah yang mengandung unsur maysir. Kaidahnya adalah semua bentuk muamalah yang tidak jelas (meragukan), apakah akan mendapatkan keuntungan atau kerugian yang timbul dari gharar yang murni dan spekulasi risiko tinggi. Semua hal itu pada akhirnya menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia. [18]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من المعاملات … هي داخلة إما في الربا وإما في الميسر فالإجارة بالأجرة المجهولة مثل أن يكريه الدار بما يكسبه المكتري في حانوته من المال هو من الميسر
“Segala bentuk transaksi yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … termasuk ke dalam riba atau maysir (perjudian). Maka, sewa-menyewa dengan upah yang tidak jelas, seperti menyewakan rumah kepada seseorang dengan bayaran berupa apa yang akan diperoleh penyewa dari tokonya, termasuk dalam kategori maysir.” [19]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
والشارع نهى عن الربا لما فيه من الظلم وعن الميسر لما فيه من الظلم والقرآن جاء بتحريم هذا وهذا وكلاهما أكل المال بالباطل
“Syariat melarang riba karena mengandung unsur kezaliman, dan melarang maysir (perjudian) karena juga mengandung unsur kezaliman. Al-Quran telah mengharamkan keduanya, karena keduanya merupakan tindakan memakan harta (orang lain) dengan cara yang batil (tidak sah).” [20]
Contoh penerapan larangan maysir dalam akad muamalah
Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Al-Lajnah Da’imah,
“Saya memiliki toko di pasar untuk menjual parfum, barang-barang mewah, dan tas. Saya ingin meningkatkan penjualan toko saya dengan memberikan beberapa hadiah kepada pembeli, yang akan dilakukan dengan cara berikut: Jika pembeli membeli barang senilai dua ratus riyal (200 SAR) dari toko, mereka akan menarik satu kartu dan mendapatkan hadiah yang tertulis di dalam kartu tersebut. Jika pembeli membeli senilai empat ratus SAR, mereka akan mendapatkan dua kartu dan dua hadiah, dan seterusnya.
Hadiah-hadiah ini bervariasi, ada yang bernilai tinggi (yang jumlahnya sedikit), ada yang bernilai sedang (jumlahnya sedang), dan ada yang nilainya sekitar 10% dari nilai pembelian, yaitu sekitar 20 riyal ke atas (yang jumlahnya banyak). Artinya, setiap pembeli akan mendapatkan hadiah di dalam kartu, dan harga hadiahnya bisa bervariasi; bisa berupa kaset, AC, televisi, korek api, atau botol parfum, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberuntungan memainkan peran besar.
Mengenai barang yang dijual pada hari distribusi hadiah, barang tersebut dijual dengan harga normal, tidak ada kenaikan harga, dan juga tidak ada pengurangan harga. Hadiah hanya diberikan kepada pelanggan retail, tidak termasuk pelanggan grosir, karena toko saya memiliki pelanggan grosir. Karyawan di toko tidak diperbolehkan menarik kartu ini, begitu juga orang yang mengatur sistem ini jika kami ingin mengiklankannya di surat kabar lokal dan memasang iklan di pintu toko untuk menarik perhatian pelanggan. Saya mohon kepada Anda untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini dan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi agama dan kehidupan saya. Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda.”
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da’imah,
إذا كان الواقع كما ذكر ، فجعل ما يعطى للمشترين باسم هدايا على هذا النظام حرام؛ لما فيه من المقامرة، من أجل توزيع البضاعة وتنمية رأس المال بكثرة البيع، ولو كان ذلك بالأسعار التي تباع بها البضاعة عادة، ولما فيه من المضارة بالتجار الآخرين، إلا إذا سلكوا نفس الطريقة، فيكون في ذلك إغراء بالمقامرة من أجل رواج التجارة وزيادة الكسب، ويتبع ذلك الشحناء وإيقاد نار العداوة والبغضاء، وأكل المال بالباطل. إذ قد يشتري بعض الناس بمائتي ريال، ويواتيه حظه في الكرت المسحوب بمسجل أو مكيف أو تلفزيون، ويشتري آخر بنفس القيمة، ويكون حظه في الكرت المسحوب ولاعة أو زجاجة عطر قيمتها عشره أريلة أو عشرون ريالا مثلا
“Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka memberikan apa yang diberikan kepada pembeli dengan nama hadiah berdasarkan sistem ini adalah haram, karena mengandung unsur qimar (perjudian), yang bertujuan untuk mendistribusikan barang dan meningkatkan modal melalui banyaknya penjualan, meskipun dengan harga yang biasa dijual barang tersebut. Ini juga merugikan pedagang lain, kecuali jika mereka mengikuti cara yang sama. Dalam hal ini, ini akan menggoda orang untuk berjudi demi kelancaran perdagangan dan peningkatan keuntungan, yang akan diikuti dengan permusuhan, menyalakan api kebencian, dan memakan harta dengan cara yang batil. Karena seseorang mungkin membeli dengan harga dua ratus riyal, dan keberuntungannya mendapatkan kartu yang diundi dengan hadiah seperti kulkas, AC, atau televisi. Sementara orang lain membeli dengan nilai yang sama dan mendapatkan kartu dengan hadiah berupa korek api atau botol parfum yang nilainya sepuluh atau dua puluh riyal, misalnya.” [21]
[Bersambung]
Kembali ke bagian 4
***
@Unayzah, KSA; 13 Zulkaidah 1446/ 11 Mei 2025
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, 2: 163; Ad-Durr Al-Mashun, 2: 504.
[2] Lihat Ash-Shihah, 2: 857, 858; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 351.
[3] Syarh Fathul Qadir, 4: 493.
[4] ‘Aridhah Al-Ahwadhi, 77: 18; secara ringkas.
[5] Al-Hawi Al-Kabir, 19: 225.
[6] Al-Mathla’, hal. 256-257; secara ringkas.
[7] Lihat pembahasan rinci tentang masalah ini di kitab Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 69-83.
[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 32: 237.
[9] Lihat Al-Qimar wa Hukmuhu fil Fiqhi Al-Islamiy, 1: 427-434.
[10] Al-Gharar wa Atsaruhu fil Fiqhi Al-Islamiy, hal. 61.
[11] Di antara ulama yang menukil adanya ijmak dalam masalah ini adalah: Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, 6: 94; Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 32: 220; dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8: 497.
[12] Lihat Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi, 11: 107. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mazhab jumhur ulama bahwa tekad kuat (‘azm) untuk melakukan suatu maksiat, jika sifatnya menetap di dalam hati, maka itu dinilai (dicatat) sebagai dosa; berbeda dengan lintasan hati yang tidak menetap.”
[13] Bentuknya, penjual menggelar kain-kain yang dijualnya, lalu berkata kepada pembeli, “Saya lempar batu ini ke atas, lalu kain mana saja yang terkena batu, itulah kain yang aku jual kepadamu dengan harga sekian.” (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1: 398)
[14] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
“Bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin (binatang) yang masih dalam kandungan.” (HR. Bukhari no. 2143 dan Muslim no. 1524)
[15] Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli air mani pejantan.” (HR. Bukhari no. 2284)
Pada masa silam, jual beli ini bentuknya melakukan pembayaran agar hewan pejantan mengawini hewan betina. Padahal, belum tentu berhasil (belum tentu menghasilkan anak).
[16] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 14: 471; Zaadul Ma’ad, 5: 824.
[17] Al-Furusiyah, hal. 175-176.
[18] Lihat Syarhus Sunnah lil Baghawi, 6: 279; Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, hal. 158-159; Hujjatullah Al-Balighah, 2: 108.
[19] I’laamul Muwaqi’in, 1: 387.
[20] Majmu’ Al-Fatawa, 20: 510; melalui Maktabah Asy-Syamilah.
[21] Fataawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, 15: 149.