Fatwa Ulama: Seorang Hamba Memiliki Pilihan atas Perbuatannya Sesuai Kehendaknya

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.

Fatwa Ulama: Seorang Hamba Memiliki Pilihan atas Perbuatannya Sesuai Kehendaknya

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.
Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.


Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)Dan Allah juga berfirman,وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”Kemudian beliau membaca firman Allah,فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”Hingga firman-Nya,فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.'” (QS. Al-Lail) [3]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah***Penerjemah: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28Catatan kaki:[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir” (no. 4949) dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (no. 621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.

Apa Arti Mimpi Buruk Bertemu Sosok Putih? Lakukan 5 Tips Ini Jika Mimpi Buruk

Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Apa Arti Mimpi Buruk Bertemu Sosok Putih? Lakukan 5 Tips Ini Jika Mimpi Buruk

Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ


Penanya ini bernama Abdullah Al-‘Āmirī, dari Al-Qunfudzah. Tampaknya dia adalah penanya yang pertama tadi. Ia berkata, “Aku melihat dalam mimpi bahwa ada seorang lelaki berdiri di sampingku, dia sangat putih. Pakaiannya pun sangat putih. Ia mengenakan sorban putih. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah maut.’ Lalu dia berkata, ‘Bagaimana menurutmu jika aku memukulmu dengan belencong ini?’ Ketika itu dia membawa belencong. Aku menjawab, ‘Aku serahkan urusanku kepada Allah, jika memang engkau malaikat maut.’ Lalu aku terbangun dari tidur. Aku pun berlindung kepada Allah dan membaca surat-surat perlindungan (Al-Mu‘awwidzāt). Kemudian aku tidur kembali, (dan mimpi melihatnya lagi), dia berkata kepadaku, ‘Apakah ini waktu untuk bangun!?’ Dia berteriak dan berkata seperti sebelumnya, lalu berkata, ‘Kenapa engkau menghindar dariku?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak menghindar dari kematian, tapi aku ingin mengucapkan kalimat terakhirku.’ ‘Setelah itu, silakan bunuh aku dengan belencong itu.’ Lalu aku mengucapkan: Lā ilāha illallāh, wahdahu lā syarīka lah, yuhyī wa yumītu wa huwa ‘alā kulli syai’in qodīr. Ketika mendengar kalimat ini, dia melemparkan belencong itu dan menjatuhkannya ke tanah. Kemudian ia meludah ke telapak tangannya, lalu mengusap dadaku dengan tangannya itu. Aku pun terbangun dari tidur.” Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bukanlah Nabi Yusuf ‘alaihissalām yang bisa menakwilkan setiap mimpi. Namun, mimpi ini, engkau telah melakukan hal yang benar dengan menyebut kalimat lā ilāha illallāh. Bisa jadi makhluk yang engkau ceritakan itu adalah setan.Tatkala engkau menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, ia menjadi lemah, tersungkur, dan benda yang ada di tangannya pun jatuh. Sungguh Allah Subḥānahu telah mengilhamkan kepadamu untuk berzikir, maka segala puji bagi Allah Jalla wa ‘Ala atas taufik yang Dia berikan. Kendati demikian, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita, apabila kita melihat dalam mimpi sesuatu yang kita tidak sukai, agar: (1) tidak menceritakannya kepada siapa pun, (2) memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā dari setan, (3) menyebut nama Allah Jalla wa ‘Ala, (4) meludah ke arah kiri sebanyak 3 kali. Lalu (5) mengubah posisi berbaring dari sisi tidur kita sebelumnya ke sisi yang lain. Dengan itu semua, mimpi itu tidak akan mendatangkan mudarat kepada kita. Wallahu a’lam. ==== هَذَا السَّائِلُ عَبْدُ اللَّهِ الْعَامِرِيُّ مِنَ الْقُنْفُذَةِ الظَّاهِرُ أَنَّهُ السَّائِلُ الْأَوَّلُ يَقُولُ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ بِأَنَّ رَجُلاً يَقِفُ بِجِوَارِهِ وَكَانَ شَدِيدَ الْبَيَاضِ وَكَانَتْ مَلَابِسُهُ شَدِيدَةَ الْبَيَاضِ وَكَانَ يَرْتَدِي عِمَامَةً بَيْضَاءَ فَسَأَلْتُهُ مَنْ تَكُوْنُ؟ قَالَ إِنَّنِي الْمَوْتُ فَمَاذَا تَرَى لَوْ ضَرَبْتُكَ بِهَذَا الْفَارُوْعِ وَكَانَ بِيَدِهِ فَارُوعًا أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنْ كُنْتَ أَنْتَ مَلَكَ الْمَوْتِ ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ وَاسْتَعَذْتُ بِاللَّهِ وَقَرَأْتُ الْمُعَوِّذَاتِ ثُمَّ نِمْتُ أُخْرَى وَقَالَ لِي أَحَانَ وَصَاحَ وَقَالَ فِي الْأَوَّلِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ بِقَوْلِهِ مَاذَا تَمْتَنِعُ مِنِّي؟ فَقُلْتُ لَسْتُ أَمْتَنِعَ مِنَ الْمَوْتِ وَلَكِنْ أَقُولُ آخِرَ كَلِمَةٍ ثُمَّ اُقْتُلْنِي بِهَذَا الْفَارُوعِ فَقُلْتُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فَلَمَّا سَمِعَ هَذَا الْكَلَامَ طَرَحَ الْفَارُوعَ وَأَلْقَاهُ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ بَصَقَ فِي يَدِهِ فَمَسَحَ صَدْرِي بِهَا ثُمَّ صَحَيْتُ مِنَ الْمَنَامِ يَا أَخِي فِي الْحَقِيقَةِ أَنَا لَسْتُ بِيُوسُفَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى أُعَبِّرَ كُلَّ رُؤْيًا وَلَكِنْ هَذِهِ الرُّؤْيَا أَحْسَنْتَ فِيهَا فِي ذِكْرِكَ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَعَلَّ هَذَا الَّذِي ذَكَرْتَ شَيْطَانٌ فَلَمَّا ذَكَرْتَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا ضَعُفَ فَخَرَّ فَسَقَطَ مِنْ يَدِهِ مَا كَانَ فِيهَا وَقَدْ أَلْهَمَكَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الذِّكْرَ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا عَلَى تَوْفِيقِهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَمَرَنَا إِذَا نَحْنُ رَأَيْنَا فِي مَنَامِنَا مَا نَكْرَهُ أَلَّا نُخْبِرَ أَحَدًا بِمَا رَأْيْنَا وَأَنْ نَسْتَعِيذَ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَنْ نُسَمِّيَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا وَأَنْ نَتْفُلَ عَلَى يَسَارِنَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ نَتَحَوَّلُ مِنَ الْجَنْبِ الَّذِي كُنَّا عَلَيْهِ نَائِمِيْنَ إِلَى الْجَنْبِ الْآخَرِ وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 1)

Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.

Fikih Khotbah Jumat (Bag. 1)

Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.
Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.


Daftar Isi ToggleKapan dimulainya khotbah Jumat?Syarat dan rukun khotbah JumatRukun-rukun khotbahPertama: Memuji Allah Ta‘alaKedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKetiga: Wasiat takwaKeempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahKelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSyarat khotbah JumatKhotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.Kapan dimulainya khotbah Jumat?Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]Syarat dan rukun khotbah JumatBerdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.Rukun-rukun khotbahRukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:Pertama: Memuji Allah Ta‘alaHal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamAllah berfirman,وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)Ketiga: Wasiat takwaKetiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbahHal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah keduaSecara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.Syarat khotbah JumatDisyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,وَتَرَكُوكَ قَائِمًا“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.Dalilnya adalah firman Allah,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.[Bersambung]Lanjut ke bagian 2***Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018. Catatan kaki:[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.[3] al-Mughni, 3: 240.[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.

3 Syarat Tobat: Tobatmu Belum Sah Jika Belum Melakukannya! – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا

3 Syarat Tobat: Tobatmu Belum Sah Jika Belum Melakukannya! – Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama

Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا
Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا


Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali. Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya. Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.” Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya. Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama: Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya. Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut. Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu. Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri. Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal. Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa. Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing. Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya. ==== ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا

Rahasia Penghapus Dosa yang Sering Diremehkan Umat Islam! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian…” (QS. Ali Imran: 133). Bersegera menuju ampunan artinya bersegera menuju apa, saudara-saudara? Menuju sebab-sebabnya. Sebab-sebab mendapatkan ampunan. Ampunan ada sebab-sebabnya. Allah Ta’ala menyebutkan sebab-sebab itu secara umum dalam satu ayat. Ada yang bisa menyebutkan ayat ini? Apa, saudara-saudara? “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Perhatikanlah kata (لَغَفَّارٌ) — apa istilah ini menurut para ulama bahasa Arab? Bentuk mubalaghah (hiperbolik); yaitu kata dengan pola: fa‘‘āl, mif‘āl, fa‘ūl, fa‘īl, fa‘il. Lima bentuk semuanya menunjukkan apa? Menunjukkan makna mubalaghah (hiperbolik) dalam ampunan. Di antara sebab ampunan lainnya adalah amal saleh: salat lima waktu, Salat Jumat hingga ke Salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, sebagaimana disebut dalam hadis-hadis yang masyhur dan dikenal. Juga dari satu ibadah umrah ke umrah berikutnya. Sebab ampunan lainnya: perbuatan-perbuatan baik. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (QS. Hud: 114). Sebab ampunan lainnya: istighfar. Istighfar juga salah satu sebab ampunan atas dosa-dosa. Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Jika aku mendengar suatu hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menjadikannya bermanfaat untukku Namun jika ada seseorang yang menceritakan hadis kepadaku, aku akan memintanya bersumpah. Jika ia bersumpah, aku mempercayainya Abu Bakar pernah menyampaikan hadis kepadaku, dan Abu Bakar adalah orang yang jujur.” (HR. Ahmad). Apakah Ali meminta Abu Bakar bersumpah dulu? Tidak, karena Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq, telah berkata benar. (Lalu Ali berkata) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang hamba melakukan dosa — atau tiada seorang hamba pun yang berdosa kemudian ia berwudu dan menyempurnakan wudunya lalu ia salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad). Dua rakaat ini dikenal dengan dua rakaat Salat Taubat. Maka jika seseorang berdosa, disyariatkan baginya untuk berwudu, lalu salat dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah mengampuninya. Dengan begitu, ia telah menggabungkan antara salat dan istighfar — yang merupakan salah satu sebab ampunan — Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan salat lima waktu seperti sungai yang mengalir deras di depan pintu salah satu dari kalian ia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran pada dirinya?” (HR. Muslim). Begitu pula dengan dosa-dosa, ia akan terhapus oleh salat dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dengan istighfar yang merupakan salah satu sebab ampunan. Allah berfirman (dalam hadis Qudsi): “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian senantiasa melakukan kesalahan siang dan malam sedangkan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (HR. Muslim) ==== وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَالْمُسَارَعَةُ إِلَى الْمَغْفِرَةِ مُسَارَعَةٌ إِلَى مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِلَى أَسْبَابِهَا أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ وَالْمَغْفِرَةُ لَهَا أَسْبَابٌ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى مُجْمَلَةً فِي آيَةٍ فِيهِ أَحَدٌ يَذْكُرُهَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى تَأَمَّلُوا لَغَفَّارٌ هَذِهِ الصِّيْغَةُ مَاذَا يُسَمِّيْهَا عُلَمَاءُ الْعَرَبِيَّةِ؟ صِيْغَةُ الْمُبَالَغَةِ فَعَّالٌ مِفْعَالٌ فَعُوْلٌ فَعِيْلٌ فَعِلٌ خَمْسُ صِيَغٍ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى مَاذَا؟ تَدُلُّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي الْمَغْفِرَةِ وَمِنْهَا الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ كَمَا فِي الْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ الْمَعْرُوفَةِ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ الْحَسَنَاتُ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ الِاسْتِغْفَارُ الِاسْتِغْفَارُ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ مَغْفِرَةِ الذُّنُوبِ وَفِي حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ حَدِيثًا مِنَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَعَنِي اللَّهُ بِهِ فَإِنْ حَدَّثَنِي بِهِ أَحَدٌ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِنْ حَلَفَ صَدَّقْتُهُ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ اسْتَحْلَفَهُ؟ لَا الصِّدِّيقُ صَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا أَوْ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ هَاتَانِ رَكْعَتَانِ مَعْرُوفَتَانِ بِرَكْعَتَيْ إيْش رَكْعَتَيْ التَّوْبَةِ فَالْإِنْسَانُ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا يُشْرَعُ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَيُصَلِّي وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَغْفِرَ اللَّهُ لَهُ فَجَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ حَتَّى قَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ غَمْرٍ فِي بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَومٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ؟ كَذَلِكَ الذُّنُوبُ تَأْتِي عَلَيْهَا الصَّلَاةُ فَتَمْحُوهَا بِفَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَذَلِكَ الِاسْتِغْفَارُ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

Rahasia Penghapus Dosa yang Sering Diremehkan Umat Islam! – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian…” (QS. Ali Imran: 133). Bersegera menuju ampunan artinya bersegera menuju apa, saudara-saudara? Menuju sebab-sebabnya. Sebab-sebab mendapatkan ampunan. Ampunan ada sebab-sebabnya. Allah Ta’ala menyebutkan sebab-sebab itu secara umum dalam satu ayat. Ada yang bisa menyebutkan ayat ini? Apa, saudara-saudara? “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Perhatikanlah kata (لَغَفَّارٌ) — apa istilah ini menurut para ulama bahasa Arab? Bentuk mubalaghah (hiperbolik); yaitu kata dengan pola: fa‘‘āl, mif‘āl, fa‘ūl, fa‘īl, fa‘il. Lima bentuk semuanya menunjukkan apa? Menunjukkan makna mubalaghah (hiperbolik) dalam ampunan. Di antara sebab ampunan lainnya adalah amal saleh: salat lima waktu, Salat Jumat hingga ke Salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, sebagaimana disebut dalam hadis-hadis yang masyhur dan dikenal. Juga dari satu ibadah umrah ke umrah berikutnya. Sebab ampunan lainnya: perbuatan-perbuatan baik. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (QS. Hud: 114). Sebab ampunan lainnya: istighfar. Istighfar juga salah satu sebab ampunan atas dosa-dosa. Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Jika aku mendengar suatu hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menjadikannya bermanfaat untukku Namun jika ada seseorang yang menceritakan hadis kepadaku, aku akan memintanya bersumpah. Jika ia bersumpah, aku mempercayainya Abu Bakar pernah menyampaikan hadis kepadaku, dan Abu Bakar adalah orang yang jujur.” (HR. Ahmad). Apakah Ali meminta Abu Bakar bersumpah dulu? Tidak, karena Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq, telah berkata benar. (Lalu Ali berkata) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang hamba melakukan dosa — atau tiada seorang hamba pun yang berdosa kemudian ia berwudu dan menyempurnakan wudunya lalu ia salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad). Dua rakaat ini dikenal dengan dua rakaat Salat Taubat. Maka jika seseorang berdosa, disyariatkan baginya untuk berwudu, lalu salat dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah mengampuninya. Dengan begitu, ia telah menggabungkan antara salat dan istighfar — yang merupakan salah satu sebab ampunan — Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan salat lima waktu seperti sungai yang mengalir deras di depan pintu salah satu dari kalian ia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran pada dirinya?” (HR. Muslim). Begitu pula dengan dosa-dosa, ia akan terhapus oleh salat dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dengan istighfar yang merupakan salah satu sebab ampunan. Allah berfirman (dalam hadis Qudsi): “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian senantiasa melakukan kesalahan siang dan malam sedangkan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (HR. Muslim) ==== وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَالْمُسَارَعَةُ إِلَى الْمَغْفِرَةِ مُسَارَعَةٌ إِلَى مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِلَى أَسْبَابِهَا أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ وَالْمَغْفِرَةُ لَهَا أَسْبَابٌ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى مُجْمَلَةً فِي آيَةٍ فِيهِ أَحَدٌ يَذْكُرُهَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى تَأَمَّلُوا لَغَفَّارٌ هَذِهِ الصِّيْغَةُ مَاذَا يُسَمِّيْهَا عُلَمَاءُ الْعَرَبِيَّةِ؟ صِيْغَةُ الْمُبَالَغَةِ فَعَّالٌ مِفْعَالٌ فَعُوْلٌ فَعِيْلٌ فَعِلٌ خَمْسُ صِيَغٍ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى مَاذَا؟ تَدُلُّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي الْمَغْفِرَةِ وَمِنْهَا الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ كَمَا فِي الْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ الْمَعْرُوفَةِ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ الْحَسَنَاتُ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ الِاسْتِغْفَارُ الِاسْتِغْفَارُ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ مَغْفِرَةِ الذُّنُوبِ وَفِي حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ حَدِيثًا مِنَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَعَنِي اللَّهُ بِهِ فَإِنْ حَدَّثَنِي بِهِ أَحَدٌ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِنْ حَلَفَ صَدَّقْتُهُ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ اسْتَحْلَفَهُ؟ لَا الصِّدِّيقُ صَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا أَوْ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ هَاتَانِ رَكْعَتَانِ مَعْرُوفَتَانِ بِرَكْعَتَيْ إيْش رَكْعَتَيْ التَّوْبَةِ فَالْإِنْسَانُ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا يُشْرَعُ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَيُصَلِّي وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَغْفِرَ اللَّهُ لَهُ فَجَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ حَتَّى قَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ غَمْرٍ فِي بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَومٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ؟ كَذَلِكَ الذُّنُوبُ تَأْتِي عَلَيْهَا الصَّلَاةُ فَتَمْحُوهَا بِفَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَذَلِكَ الِاسْتِغْفَارُ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian…” (QS. Ali Imran: 133). Bersegera menuju ampunan artinya bersegera menuju apa, saudara-saudara? Menuju sebab-sebabnya. Sebab-sebab mendapatkan ampunan. Ampunan ada sebab-sebabnya. Allah Ta’ala menyebutkan sebab-sebab itu secara umum dalam satu ayat. Ada yang bisa menyebutkan ayat ini? Apa, saudara-saudara? “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Perhatikanlah kata (لَغَفَّارٌ) — apa istilah ini menurut para ulama bahasa Arab? Bentuk mubalaghah (hiperbolik); yaitu kata dengan pola: fa‘‘āl, mif‘āl, fa‘ūl, fa‘īl, fa‘il. Lima bentuk semuanya menunjukkan apa? Menunjukkan makna mubalaghah (hiperbolik) dalam ampunan. Di antara sebab ampunan lainnya adalah amal saleh: salat lima waktu, Salat Jumat hingga ke Salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, sebagaimana disebut dalam hadis-hadis yang masyhur dan dikenal. Juga dari satu ibadah umrah ke umrah berikutnya. Sebab ampunan lainnya: perbuatan-perbuatan baik. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (QS. Hud: 114). Sebab ampunan lainnya: istighfar. Istighfar juga salah satu sebab ampunan atas dosa-dosa. Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Jika aku mendengar suatu hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menjadikannya bermanfaat untukku Namun jika ada seseorang yang menceritakan hadis kepadaku, aku akan memintanya bersumpah. Jika ia bersumpah, aku mempercayainya Abu Bakar pernah menyampaikan hadis kepadaku, dan Abu Bakar adalah orang yang jujur.” (HR. Ahmad). Apakah Ali meminta Abu Bakar bersumpah dulu? Tidak, karena Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq, telah berkata benar. (Lalu Ali berkata) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang hamba melakukan dosa — atau tiada seorang hamba pun yang berdosa kemudian ia berwudu dan menyempurnakan wudunya lalu ia salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad). Dua rakaat ini dikenal dengan dua rakaat Salat Taubat. Maka jika seseorang berdosa, disyariatkan baginya untuk berwudu, lalu salat dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah mengampuninya. Dengan begitu, ia telah menggabungkan antara salat dan istighfar — yang merupakan salah satu sebab ampunan — Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan salat lima waktu seperti sungai yang mengalir deras di depan pintu salah satu dari kalian ia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran pada dirinya?” (HR. Muslim). Begitu pula dengan dosa-dosa, ia akan terhapus oleh salat dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dengan istighfar yang merupakan salah satu sebab ampunan. Allah berfirman (dalam hadis Qudsi): “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian senantiasa melakukan kesalahan siang dan malam sedangkan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (HR. Muslim) ==== وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَالْمُسَارَعَةُ إِلَى الْمَغْفِرَةِ مُسَارَعَةٌ إِلَى مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِلَى أَسْبَابِهَا أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ وَالْمَغْفِرَةُ لَهَا أَسْبَابٌ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى مُجْمَلَةً فِي آيَةٍ فِيهِ أَحَدٌ يَذْكُرُهَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى تَأَمَّلُوا لَغَفَّارٌ هَذِهِ الصِّيْغَةُ مَاذَا يُسَمِّيْهَا عُلَمَاءُ الْعَرَبِيَّةِ؟ صِيْغَةُ الْمُبَالَغَةِ فَعَّالٌ مِفْعَالٌ فَعُوْلٌ فَعِيْلٌ فَعِلٌ خَمْسُ صِيَغٍ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى مَاذَا؟ تَدُلُّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي الْمَغْفِرَةِ وَمِنْهَا الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ كَمَا فِي الْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ الْمَعْرُوفَةِ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ الْحَسَنَاتُ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ الِاسْتِغْفَارُ الِاسْتِغْفَارُ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ مَغْفِرَةِ الذُّنُوبِ وَفِي حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ حَدِيثًا مِنَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَعَنِي اللَّهُ بِهِ فَإِنْ حَدَّثَنِي بِهِ أَحَدٌ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِنْ حَلَفَ صَدَّقْتُهُ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ اسْتَحْلَفَهُ؟ لَا الصِّدِّيقُ صَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا أَوْ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ هَاتَانِ رَكْعَتَانِ مَعْرُوفَتَانِ بِرَكْعَتَيْ إيْش رَكْعَتَيْ التَّوْبَةِ فَالْإِنْسَانُ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا يُشْرَعُ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَيُصَلِّي وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَغْفِرَ اللَّهُ لَهُ فَجَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ حَتَّى قَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ غَمْرٍ فِي بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَومٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ؟ كَذَلِكَ الذُّنُوبُ تَأْتِي عَلَيْهَا الصَّلَاةُ فَتَمْحُوهَا بِفَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَذَلِكَ الِاسْتِغْفَارُ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ


“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian…” (QS. Ali Imran: 133). Bersegera menuju ampunan artinya bersegera menuju apa, saudara-saudara? Menuju sebab-sebabnya. Sebab-sebab mendapatkan ampunan. Ampunan ada sebab-sebabnya. Allah Ta’ala menyebutkan sebab-sebab itu secara umum dalam satu ayat. Ada yang bisa menyebutkan ayat ini? Apa, saudara-saudara? “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat beriman, beramal saleh, lalu tetap berada di jalan yang lurus.” (QS. Thaha: 82) Perhatikanlah kata (لَغَفَّارٌ) — apa istilah ini menurut para ulama bahasa Arab? Bentuk mubalaghah (hiperbolik); yaitu kata dengan pola: fa‘‘āl, mif‘āl, fa‘ūl, fa‘īl, fa‘il. Lima bentuk semuanya menunjukkan apa? Menunjukkan makna mubalaghah (hiperbolik) dalam ampunan. Di antara sebab ampunan lainnya adalah amal saleh: salat lima waktu, Salat Jumat hingga ke Salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, sebagaimana disebut dalam hadis-hadis yang masyhur dan dikenal. Juga dari satu ibadah umrah ke umrah berikutnya. Sebab ampunan lainnya: perbuatan-perbuatan baik. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.” (QS. Hud: 114). Sebab ampunan lainnya: istighfar. Istighfar juga salah satu sebab ampunan atas dosa-dosa. Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Jika aku mendengar suatu hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menjadikannya bermanfaat untukku Namun jika ada seseorang yang menceritakan hadis kepadaku, aku akan memintanya bersumpah. Jika ia bersumpah, aku mempercayainya Abu Bakar pernah menyampaikan hadis kepadaku, dan Abu Bakar adalah orang yang jujur.” (HR. Ahmad). Apakah Ali meminta Abu Bakar bersumpah dulu? Tidak, karena Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq, telah berkata benar. (Lalu Ali berkata) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang hamba melakukan dosa — atau tiada seorang hamba pun yang berdosa kemudian ia berwudu dan menyempurnakan wudunya lalu ia salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad). Dua rakaat ini dikenal dengan dua rakaat Salat Taubat. Maka jika seseorang berdosa, disyariatkan baginya untuk berwudu, lalu salat dan memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah mengampuninya. Dengan begitu, ia telah menggabungkan antara salat dan istighfar — yang merupakan salah satu sebab ampunan — Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan salat lima waktu seperti sungai yang mengalir deras di depan pintu salah satu dari kalian ia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran pada dirinya?” (HR. Muslim). Begitu pula dengan dosa-dosa, ia akan terhapus oleh salat dengan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dengan istighfar yang merupakan salah satu sebab ampunan. Allah berfirman (dalam hadis Qudsi): “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian senantiasa melakukan kesalahan siang dan malam sedangkan Aku mengampuni seluruh dosa. Maka mohonlah ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (HR. Muslim) ==== وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَالْمُسَارَعَةُ إِلَى الْمَغْفِرَةِ مُسَارَعَةٌ إِلَى مَاذَا يَا إِخْوَانُ؟ إِلَى أَسْبَابِهَا أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ وَالْمَغْفِرَةُ لَهَا أَسْبَابٌ ذَكَرَهَا اللَّهُ تَعَالَى مُجْمَلَةً فِي آيَةٍ فِيهِ أَحَدٌ يَذْكُرُهَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى تَأَمَّلُوا لَغَفَّارٌ هَذِهِ الصِّيْغَةُ مَاذَا يُسَمِّيْهَا عُلَمَاءُ الْعَرَبِيَّةِ؟ صِيْغَةُ الْمُبَالَغَةِ فَعَّالٌ مِفْعَالٌ فَعُوْلٌ فَعِيْلٌ فَعِلٌ خَمْسُ صِيَغٍ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى مَاذَا؟ تَدُلُّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي الْمَغْفِرَةِ وَمِنْهَا الْأَعْمَالُ الصَّالِحَةُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ كَمَا فِي الْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ الْمَعْرُوفَةِ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ الْحَسَنَاتُ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ الِاسْتِغْفَارُ الِاسْتِغْفَارُ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ مَغْفِرَةِ الذُّنُوبِ وَفِي حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ حَدِيثًا مِنَ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَعَنِي اللَّهُ بِهِ فَإِنْ حَدَّثَنِي بِهِ أَحَدٌ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِنْ حَلَفَ صَدَّقْتُهُ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ اسْتَحْلَفَهُ؟ لَا الصِّدِّيقُ صَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا أَوْ مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ هَاتَانِ رَكْعَتَانِ مَعْرُوفَتَانِ بِرَكْعَتَيْ إيْش رَكْعَتَيْ التَّوْبَةِ فَالْإِنْسَانُ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا يُشْرَعُ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَيُصَلِّي وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَغْفِرَ اللَّهُ لَهُ فَجَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ حَتَّى قَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ غَمْرٍ فِي بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَومٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ؟ كَذَلِكَ الذُّنُوبُ تَأْتِي عَلَيْهَا الصَّلَاةُ فَتَمْحُوهَا بِفَضْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَذَلِكَ الِاسْتِغْفَارُ مِنْ أَسْبَابِ الْمَغْفِرَةِ يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

Fikih Salat Saat Masuk dan Keluar Rumah

Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahAl-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahTerhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat saat masuk dan keluar rumahDua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahDapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahTanpa ada jedaDoa dan zikir yang dibacaDalam Islam, setiap langkah kehidupan memiliki tuntunan dan nilai ibadah jika dijalani dengan niat yang benar dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di antara rutinitas harian yang tidak luput dari perhatian syariat adalah ketika seseorang keluar atau masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan satu amalan ringan namun penuh faedah: menunaikan salat dua rakaat saat hendak keluar dan saat telah masuk rumah.Dalam pembahasan kali ini, kita akan menelusuri hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, dan tata cara pelaksanaannya.Hadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahTerdapat sejumlah hadis dan riwayat yang menjelaskan fikih salat dua rakaat saat keluar dan masuk rumah. Di antaranya adalah:Al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخلت منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء، فإذا خرجت من منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مخرج السوء“Jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk. Dan jika engkau keluar dari rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat keluar.” Para ulama berselisih pendapat tentang derajat hadis ini, yang berkonsekuensi perselisihan mereka terhadap pensyariatan salat dua rakaat saat keluar masuk rumah. Sebagian dari mereka melemahkannya, sehingga mereka berpendapat tidak disyariatkannya salat ini; dan sebagian yang lain menguatkannya.Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan oleh al-Munawi [1], dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh Syekh al-Albani [2]. Syekh Muhammad Umar Bazmul juga menilai hadis ini dengan “hadis hasan”. [3] Wallahu a’lam.Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260), dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Ia (Syuraih) berkata,“Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika masuk ke rumahmu dan ketika keluar dari rumahmu?’ Ia menjawab,كَانَ يَبْدَأُ إِذَا دَخَلَ بِالسِّوَاكِ، وَإِذَا ‌خَرَجَ ‌صَلَّى ‌رَكْعَتَيْنِ‘Beliau memulai dengan bersiwak ketika masuk, dan jika hendak keluar, beliau salat dua rakaat.’” Hadis ini dinilai “munkar” oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [4]Terdapat beberapa hadis lain semisal, yang tidak terlepas dari pembicaraan para ulama tentang kelemahannya. Wallahu a’lam. [5]Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahDari dalil di atas, khususnya riwayat Al-Bazzar, maka disunahkan bagi seorang muslim untuk menunaikan dua rakaat salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah. Salat ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Terhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahSalat ini menjadi sebab terhindarnya seseorang dari keburukan saat keluar maupun masuk rumah. Al-Munawi rahimahullah menyebutkan, ketika menjelaskan hadis tersebut di atas,ثم ذكر حكمة ذلك وأظهرها في قالب العلة فقال (تمنعانك مخرج) بفتح الميم والراء (السوء) بالضم أي ما عساه خارج البيت من السوء (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء)”Lalu disebutkan hikmah dari salat ini secara jelas sebagai sebab: ‘yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat keluar’ — yaitu apa pun bentuk keburukan yang mungkin terjadi di luar rumah.“Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat masuk.” [6]Selain itu, salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah ini, termasuk dalam kategori salat sunah, sehingga juga memiliki banyak keutamaan sebagai salat sunah yang lainnya. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah ini, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [7]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.”Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya—padahal Dia lebih mengetahui, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud [1: 163])Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'”  (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah.Baca juga: Fikih Salat ZawalTata cara salat saat masuk dan keluar rumahBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah:Dua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahJika seorang muslim hendak keluar dari rumahnya, maka disunahkan baginya untuk salat dua rakaat yang ringan. Demikian pula jika ia setelah masuk ke dalam rumahnya, maka hendaknya ia juga salat dua rakaat.Dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahSalat ini dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunah; baik dengan (tambahan) niat untuk salat dua rakaat saat masuk dan keluar rumah, atau tidak. Dalam hal ini, salat ini seperti salat tahiyyatul masjid.Tanpa ada jedaJika terjadi jeda yang panjang tanpa uzur antara salat dengan keluar atau masuk rumah, maka keutamaan salat ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, dianggap terluput.Ketiga poin tersebut disarikan dari penjelasan Al-Munawi rahimahullah terhadap hadis utama dalam permasalahan ini. Beliau mengatakan,(‌إذا ‌خرجت ‌من ‌منزلك) أي أردت الخروج وفي رواية من بيتك (فصل) ندبا (ركعتين) خفيفتين وتحصل بفرض أو نفل … (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء) وعبر بالفاء في الموضعين ليفيد أن السنة الفورية بذلك أي بحيث ينسب الصلاة إلى الدخول عرفا فتفوت بطول الفصل بلا عذر … ويحصل فضلهما بصلاة فرض أو نفل نويا أو لا كالتحية“Jika engkau keluar dari manzil (rumah)mu” — maksudnya: jika engkau bermaksud keluar, dan dalam riwayat lain disebutkan “dari bait (rumah)mu” — “maka salatlah” sebagai anjuran sunah dua rakaat yang ringan. Hal ini bisa didapatkan dengan salat fardhu maupun salat sunnah. … “Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk.” … Penggunaan huruf fa’ (ف) pada kedua tempat tersebut menunjukkan bahwa salat ini merupakan sunah yang dilakukan secara fawriyyah (segera), yaitu agar salat tersebut secara ‘urf (kebiasaan) dianggap bertepatan dengan momen masuk. Jika ada jeda yang terlalu lama tanpa uzur, maka keutamaannya terluput. … Keutamaan salat ini juga dapat diperoleh dengan salat fardhu atau sunah, baik dengan niat khusus maupun tidak, sebagaimana salat tahiyyatul masjid.” [8]Doa dan zikir yang dibacaTerkait doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan dilindungi dari segala keburukan. AamiinBaca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 21 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] Fayd al-Qadir, 1: 334.[2] as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1323.[3] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 88.[4] Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah, 13: 507.[5] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/478545[6] Faydh al-Qadir, 1: 334.[7] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[8] Faydh al-Qadir, 1: 334.

Fikih Salat Saat Masuk dan Keluar Rumah

Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahAl-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahTerhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat saat masuk dan keluar rumahDua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahDapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahTanpa ada jedaDoa dan zikir yang dibacaDalam Islam, setiap langkah kehidupan memiliki tuntunan dan nilai ibadah jika dijalani dengan niat yang benar dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di antara rutinitas harian yang tidak luput dari perhatian syariat adalah ketika seseorang keluar atau masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan satu amalan ringan namun penuh faedah: menunaikan salat dua rakaat saat hendak keluar dan saat telah masuk rumah.Dalam pembahasan kali ini, kita akan menelusuri hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, dan tata cara pelaksanaannya.Hadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahTerdapat sejumlah hadis dan riwayat yang menjelaskan fikih salat dua rakaat saat keluar dan masuk rumah. Di antaranya adalah:Al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخلت منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء، فإذا خرجت من منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مخرج السوء“Jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk. Dan jika engkau keluar dari rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat keluar.” Para ulama berselisih pendapat tentang derajat hadis ini, yang berkonsekuensi perselisihan mereka terhadap pensyariatan salat dua rakaat saat keluar masuk rumah. Sebagian dari mereka melemahkannya, sehingga mereka berpendapat tidak disyariatkannya salat ini; dan sebagian yang lain menguatkannya.Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan oleh al-Munawi [1], dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh Syekh al-Albani [2]. Syekh Muhammad Umar Bazmul juga menilai hadis ini dengan “hadis hasan”. [3] Wallahu a’lam.Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260), dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Ia (Syuraih) berkata,“Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika masuk ke rumahmu dan ketika keluar dari rumahmu?’ Ia menjawab,كَانَ يَبْدَأُ إِذَا دَخَلَ بِالسِّوَاكِ، وَإِذَا ‌خَرَجَ ‌صَلَّى ‌رَكْعَتَيْنِ‘Beliau memulai dengan bersiwak ketika masuk, dan jika hendak keluar, beliau salat dua rakaat.’” Hadis ini dinilai “munkar” oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [4]Terdapat beberapa hadis lain semisal, yang tidak terlepas dari pembicaraan para ulama tentang kelemahannya. Wallahu a’lam. [5]Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahDari dalil di atas, khususnya riwayat Al-Bazzar, maka disunahkan bagi seorang muslim untuk menunaikan dua rakaat salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah. Salat ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Terhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahSalat ini menjadi sebab terhindarnya seseorang dari keburukan saat keluar maupun masuk rumah. Al-Munawi rahimahullah menyebutkan, ketika menjelaskan hadis tersebut di atas,ثم ذكر حكمة ذلك وأظهرها في قالب العلة فقال (تمنعانك مخرج) بفتح الميم والراء (السوء) بالضم أي ما عساه خارج البيت من السوء (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء)”Lalu disebutkan hikmah dari salat ini secara jelas sebagai sebab: ‘yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat keluar’ — yaitu apa pun bentuk keburukan yang mungkin terjadi di luar rumah.“Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat masuk.” [6]Selain itu, salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah ini, termasuk dalam kategori salat sunah, sehingga juga memiliki banyak keutamaan sebagai salat sunah yang lainnya. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah ini, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [7]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.”Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya—padahal Dia lebih mengetahui, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud [1: 163])Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'”  (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah.Baca juga: Fikih Salat ZawalTata cara salat saat masuk dan keluar rumahBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah:Dua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahJika seorang muslim hendak keluar dari rumahnya, maka disunahkan baginya untuk salat dua rakaat yang ringan. Demikian pula jika ia setelah masuk ke dalam rumahnya, maka hendaknya ia juga salat dua rakaat.Dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahSalat ini dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunah; baik dengan (tambahan) niat untuk salat dua rakaat saat masuk dan keluar rumah, atau tidak. Dalam hal ini, salat ini seperti salat tahiyyatul masjid.Tanpa ada jedaJika terjadi jeda yang panjang tanpa uzur antara salat dengan keluar atau masuk rumah, maka keutamaan salat ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, dianggap terluput.Ketiga poin tersebut disarikan dari penjelasan Al-Munawi rahimahullah terhadap hadis utama dalam permasalahan ini. Beliau mengatakan,(‌إذا ‌خرجت ‌من ‌منزلك) أي أردت الخروج وفي رواية من بيتك (فصل) ندبا (ركعتين) خفيفتين وتحصل بفرض أو نفل … (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء) وعبر بالفاء في الموضعين ليفيد أن السنة الفورية بذلك أي بحيث ينسب الصلاة إلى الدخول عرفا فتفوت بطول الفصل بلا عذر … ويحصل فضلهما بصلاة فرض أو نفل نويا أو لا كالتحية“Jika engkau keluar dari manzil (rumah)mu” — maksudnya: jika engkau bermaksud keluar, dan dalam riwayat lain disebutkan “dari bait (rumah)mu” — “maka salatlah” sebagai anjuran sunah dua rakaat yang ringan. Hal ini bisa didapatkan dengan salat fardhu maupun salat sunnah. … “Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk.” … Penggunaan huruf fa’ (ف) pada kedua tempat tersebut menunjukkan bahwa salat ini merupakan sunah yang dilakukan secara fawriyyah (segera), yaitu agar salat tersebut secara ‘urf (kebiasaan) dianggap bertepatan dengan momen masuk. Jika ada jeda yang terlalu lama tanpa uzur, maka keutamaannya terluput. … Keutamaan salat ini juga dapat diperoleh dengan salat fardhu atau sunah, baik dengan niat khusus maupun tidak, sebagaimana salat tahiyyatul masjid.” [8]Doa dan zikir yang dibacaTerkait doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan dilindungi dari segala keburukan. AamiinBaca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 21 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] Fayd al-Qadir, 1: 334.[2] as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1323.[3] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 88.[4] Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah, 13: 507.[5] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/478545[6] Faydh al-Qadir, 1: 334.[7] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[8] Faydh al-Qadir, 1: 334.
Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahAl-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahTerhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat saat masuk dan keluar rumahDua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahDapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahTanpa ada jedaDoa dan zikir yang dibacaDalam Islam, setiap langkah kehidupan memiliki tuntunan dan nilai ibadah jika dijalani dengan niat yang benar dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di antara rutinitas harian yang tidak luput dari perhatian syariat adalah ketika seseorang keluar atau masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan satu amalan ringan namun penuh faedah: menunaikan salat dua rakaat saat hendak keluar dan saat telah masuk rumah.Dalam pembahasan kali ini, kita akan menelusuri hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, dan tata cara pelaksanaannya.Hadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahTerdapat sejumlah hadis dan riwayat yang menjelaskan fikih salat dua rakaat saat keluar dan masuk rumah. Di antaranya adalah:Al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخلت منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء، فإذا خرجت من منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مخرج السوء“Jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk. Dan jika engkau keluar dari rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat keluar.” Para ulama berselisih pendapat tentang derajat hadis ini, yang berkonsekuensi perselisihan mereka terhadap pensyariatan salat dua rakaat saat keluar masuk rumah. Sebagian dari mereka melemahkannya, sehingga mereka berpendapat tidak disyariatkannya salat ini; dan sebagian yang lain menguatkannya.Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan oleh al-Munawi [1], dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh Syekh al-Albani [2]. Syekh Muhammad Umar Bazmul juga menilai hadis ini dengan “hadis hasan”. [3] Wallahu a’lam.Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260), dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Ia (Syuraih) berkata,“Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika masuk ke rumahmu dan ketika keluar dari rumahmu?’ Ia menjawab,كَانَ يَبْدَأُ إِذَا دَخَلَ بِالسِّوَاكِ، وَإِذَا ‌خَرَجَ ‌صَلَّى ‌رَكْعَتَيْنِ‘Beliau memulai dengan bersiwak ketika masuk, dan jika hendak keluar, beliau salat dua rakaat.’” Hadis ini dinilai “munkar” oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [4]Terdapat beberapa hadis lain semisal, yang tidak terlepas dari pembicaraan para ulama tentang kelemahannya. Wallahu a’lam. [5]Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahDari dalil di atas, khususnya riwayat Al-Bazzar, maka disunahkan bagi seorang muslim untuk menunaikan dua rakaat salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah. Salat ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Terhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahSalat ini menjadi sebab terhindarnya seseorang dari keburukan saat keluar maupun masuk rumah. Al-Munawi rahimahullah menyebutkan, ketika menjelaskan hadis tersebut di atas,ثم ذكر حكمة ذلك وأظهرها في قالب العلة فقال (تمنعانك مخرج) بفتح الميم والراء (السوء) بالضم أي ما عساه خارج البيت من السوء (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء)”Lalu disebutkan hikmah dari salat ini secara jelas sebagai sebab: ‘yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat keluar’ — yaitu apa pun bentuk keburukan yang mungkin terjadi di luar rumah.“Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat masuk.” [6]Selain itu, salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah ini, termasuk dalam kategori salat sunah, sehingga juga memiliki banyak keutamaan sebagai salat sunah yang lainnya. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah ini, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [7]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.”Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya—padahal Dia lebih mengetahui, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud [1: 163])Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'”  (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah.Baca juga: Fikih Salat ZawalTata cara salat saat masuk dan keluar rumahBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah:Dua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahJika seorang muslim hendak keluar dari rumahnya, maka disunahkan baginya untuk salat dua rakaat yang ringan. Demikian pula jika ia setelah masuk ke dalam rumahnya, maka hendaknya ia juga salat dua rakaat.Dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahSalat ini dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunah; baik dengan (tambahan) niat untuk salat dua rakaat saat masuk dan keluar rumah, atau tidak. Dalam hal ini, salat ini seperti salat tahiyyatul masjid.Tanpa ada jedaJika terjadi jeda yang panjang tanpa uzur antara salat dengan keluar atau masuk rumah, maka keutamaan salat ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, dianggap terluput.Ketiga poin tersebut disarikan dari penjelasan Al-Munawi rahimahullah terhadap hadis utama dalam permasalahan ini. Beliau mengatakan,(‌إذا ‌خرجت ‌من ‌منزلك) أي أردت الخروج وفي رواية من بيتك (فصل) ندبا (ركعتين) خفيفتين وتحصل بفرض أو نفل … (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء) وعبر بالفاء في الموضعين ليفيد أن السنة الفورية بذلك أي بحيث ينسب الصلاة إلى الدخول عرفا فتفوت بطول الفصل بلا عذر … ويحصل فضلهما بصلاة فرض أو نفل نويا أو لا كالتحية“Jika engkau keluar dari manzil (rumah)mu” — maksudnya: jika engkau bermaksud keluar, dan dalam riwayat lain disebutkan “dari bait (rumah)mu” — “maka salatlah” sebagai anjuran sunah dua rakaat yang ringan. Hal ini bisa didapatkan dengan salat fardhu maupun salat sunnah. … “Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk.” … Penggunaan huruf fa’ (ف) pada kedua tempat tersebut menunjukkan bahwa salat ini merupakan sunah yang dilakukan secara fawriyyah (segera), yaitu agar salat tersebut secara ‘urf (kebiasaan) dianggap bertepatan dengan momen masuk. Jika ada jeda yang terlalu lama tanpa uzur, maka keutamaannya terluput. … Keutamaan salat ini juga dapat diperoleh dengan salat fardhu atau sunah, baik dengan niat khusus maupun tidak, sebagaimana salat tahiyyatul masjid.” [8]Doa dan zikir yang dibacaTerkait doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan dilindungi dari segala keburukan. AamiinBaca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 21 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] Fayd al-Qadir, 1: 334.[2] as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1323.[3] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 88.[4] Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah, 13: 507.[5] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/478545[6] Faydh al-Qadir, 1: 334.[7] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[8] Faydh al-Qadir, 1: 334.


Daftar Isi ToggleHadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahAl-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahTerhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahPelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabSarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTata cara salat saat masuk dan keluar rumahDua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahDapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahTanpa ada jedaDoa dan zikir yang dibacaDalam Islam, setiap langkah kehidupan memiliki tuntunan dan nilai ibadah jika dijalani dengan niat yang benar dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di antara rutinitas harian yang tidak luput dari perhatian syariat adalah ketika seseorang keluar atau masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan satu amalan ringan namun penuh faedah: menunaikan salat dua rakaat saat hendak keluar dan saat telah masuk rumah.Dalam pembahasan kali ini, kita akan menelusuri hadis-hadis yang menjadi dasar anjuran salat ini, keutamaannya, dan tata cara pelaksanaannya.Hadis-hadis tentang salat saat masuk dan keluar rumahTerdapat sejumlah hadis dan riwayat yang menjelaskan fikih salat dua rakaat saat keluar dan masuk rumah. Di antaranya adalah:Al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar (2: 357)Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إذا دخلت منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء، فإذا خرجت من منزلك؛ فصل ركعتين تمنعانك مخرج السوء“Jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk. Dan jika engkau keluar dari rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat keluar.” Para ulama berselisih pendapat tentang derajat hadis ini, yang berkonsekuensi perselisihan mereka terhadap pensyariatan salat dua rakaat saat keluar masuk rumah. Sebagian dari mereka melemahkannya, sehingga mereka berpendapat tidak disyariatkannya salat ini; dan sebagian yang lain menguatkannya.Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan oleh al-Munawi [1], dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh Syekh al-Albani [2]. Syekh Muhammad Umar Bazmul juga menilai hadis ini dengan “hadis hasan”. [3] Wallahu a’lam.Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260)Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab al-Ihsan (6: 260), dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dari ‘Aisyah. Ia (Syuraih) berkata,“Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika masuk ke rumahmu dan ketika keluar dari rumahmu?’ Ia menjawab,كَانَ يَبْدَأُ إِذَا دَخَلَ بِالسِّوَاكِ، وَإِذَا ‌خَرَجَ ‌صَلَّى ‌رَكْعَتَيْنِ‘Beliau memulai dengan bersiwak ketika masuk, dan jika hendak keluar, beliau salat dua rakaat.’” Hadis ini dinilai “munkar” oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. [4]Terdapat beberapa hadis lain semisal, yang tidak terlepas dari pembicaraan para ulama tentang kelemahannya. Wallahu a’lam. [5]Keutamaan salat saat masuk dan keluar rumahDari dalil di atas, khususnya riwayat Al-Bazzar, maka disunahkan bagi seorang muslim untuk menunaikan dua rakaat salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah. Salat ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya:Terhindar dari keburukan saat keluar maupun masuk rumahSalat ini menjadi sebab terhindarnya seseorang dari keburukan saat keluar maupun masuk rumah. Al-Munawi rahimahullah menyebutkan, ketika menjelaskan hadis tersebut di atas,ثم ذكر حكمة ذلك وأظهرها في قالب العلة فقال (تمنعانك مخرج) بفتح الميم والراء (السوء) بالضم أي ما عساه خارج البيت من السوء (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء)”Lalu disebutkan hikmah dari salat ini secara jelas sebagai sebab: ‘yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat keluar’ — yaitu apa pun bentuk keburukan yang mungkin terjadi di luar rumah.“Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan menghindarkanmu dari keburukan saat masuk.” [6]Selain itu, salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah ini, termasuk dalam kategori salat sunah, sehingga juga memiliki banyak keutamaan sebagai salat sunah yang lainnya. Dalam berbagai hadis, dijelaskan manfaat besar dari ibadah ini, terutama sebagai pelengkap kekurangan dari salat wajib dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Di antara keutamaan tersebut adalah: [7]Pelengkap kekurangan salat wajib dan termasuk amal yang pertama dihisabDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة“Amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat dari amalan-amalan manusia adalah salat.”Beliau mengatakan, “Allah berfirman kepada para malaikat-Nya—padahal Dia lebih mengetahui, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku, apakah ia telah menyempurnakannya ataukah tidak?’ Jika sempurna, maka dicatat sempurna. Jika ada kekurangan, Allah berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Jika ia memilikinya, maka Allah berfirman, ‘Sempurnakan salat wajib hamba-Ku dengan salat sunahnya.’ Kemudian amalan-amalan diambil atas hal tersebut.” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan; disahihkan oleh al-Albani terhadap riwayat Abu Dawud [1: 163])Sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudu dan keperluannya. Beliau pun bersabda, ‘Mintalah!’ Aku menjawab, ‘Aku meminta agar dapat menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ‘Apakah tidak ada permintaan yang lain?’ Aku menjawab, ‘Itulah permintaanku.’ Maka beliau bersabda, ‘Bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyak bersujud (yaitu memperbanyak salat).'”  (HR. Muslim no. 489)Hadis ini menunjukkan keutamaan memperbanyak salat sunah sebagai sarana untuk mendapatkan derajat tinggi di surga dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang ingin meraih kedekatan itu, hendaklah memperbanyak salat sunah, termasuk salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah.Baca juga: Fikih Salat ZawalTata cara salat saat masuk dan keluar rumahBerikut ini poin-poin penting tentang tata cara salat ketika hendak keluar dan telah masuk rumah:Dua rakaat yang ringan, dilakukan ketika hendak keluar atau telah masuk rumahJika seorang muslim hendak keluar dari rumahnya, maka disunahkan baginya untuk salat dua rakaat yang ringan. Demikian pula jika ia setelah masuk ke dalam rumahnya, maka hendaknya ia juga salat dua rakaat.Dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunahSalat ini dapat dilakukan dengan salat fardhu maupun salat sunah; baik dengan (tambahan) niat untuk salat dua rakaat saat masuk dan keluar rumah, atau tidak. Dalam hal ini, salat ini seperti salat tahiyyatul masjid.Tanpa ada jedaJika terjadi jeda yang panjang tanpa uzur antara salat dengan keluar atau masuk rumah, maka keutamaan salat ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, dianggap terluput.Ketiga poin tersebut disarikan dari penjelasan Al-Munawi rahimahullah terhadap hadis utama dalam permasalahan ini. Beliau mengatakan,(‌إذا ‌خرجت ‌من ‌منزلك) أي أردت الخروج وفي رواية من بيتك (فصل) ندبا (ركعتين) خفيفتين وتحصل بفرض أو نفل … (وإذا دخلت) إلى (منزلك فصل ركعتين تمنعانك مدخل السوء) وعبر بالفاء في الموضعين ليفيد أن السنة الفورية بذلك أي بحيث ينسب الصلاة إلى الدخول عرفا فتفوت بطول الفصل بلا عذر … ويحصل فضلهما بصلاة فرض أو نفل نويا أو لا كالتحية“Jika engkau keluar dari manzil (rumah)mu” — maksudnya: jika engkau bermaksud keluar, dan dalam riwayat lain disebutkan “dari bait (rumah)mu” — “maka salatlah” sebagai anjuran sunah dua rakaat yang ringan. Hal ini bisa didapatkan dengan salat fardhu maupun salat sunnah. … “Dan jika engkau masuk ke rumahmu, maka salatlah dua rakaat yang akan melindungimu dari keburukan saat masuk.” … Penggunaan huruf fa’ (ف) pada kedua tempat tersebut menunjukkan bahwa salat ini merupakan sunah yang dilakukan secara fawriyyah (segera), yaitu agar salat tersebut secara ‘urf (kebiasaan) dianggap bertepatan dengan momen masuk. Jika ada jeda yang terlalu lama tanpa uzur, maka keutamaannya terluput. … Keutamaan salat ini juga dapat diperoleh dengan salat fardhu atau sunah, baik dengan niat khusus maupun tidak, sebagaimana salat tahiyyatul masjid.” [8]Doa dan zikir yang dibacaTerkait doa dan zikir yang dibaca khusus dalam salat ini, kami belum menemukan adanya doa dan zikir khusus tersebut. Wallahu a’lam.Demikian, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mencintai salat, memperbanyak salat sunah, dan dilindungi dari segala keburukan. AamiinBaca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar***Rumdin PPIA Sragen, 21 Zulkaidah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Catatan kaki:[1] Fayd al-Qadir, 1: 334.[2] as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1323.[3] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 88.[4] Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah, 13: 507.[5] Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/478545[6] Faydh al-Qadir, 1: 334.[7] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 13-16.[8] Faydh al-Qadir, 1: 334.

Hikmah Diharamkannya Perjudian dan Taruhan

الحكمة من تحريم القمار Hikmah  Diharamkannya Judi السؤال ما الحكمة الشرعية من تحريم القمار ؟ الجواب الحمد لله. القمار حرام لأنّ الله حرّمه وهو سبحانه وتعالى يحكم ما يشاء قال الله تعالى : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ ) وأما الحكمة في تحريمه فإنّ العاقل يرى في ذلك أسبابا كثيرة منها Pertanyaan: Apa hikmah di balik pelarangan perjudian dalam syariat? Jawaban: Alhamdulillah. Judi hukumnya haram, karena Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah mengharamkannya dan Allah Subẖānahu wa Taʿālā menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan,  maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kalian dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 90) Adapun hikmah dibalik larangan tersebut, maka orang yang berakal tentu bisa melihat banyak sebabnya, diantaranya: 1- القمار يجعل الإنسان يعتمد في كسبه على المصادفة والحظ ، والأماني الفارغة لا على العمل والجد وكد اليمين ، وعرق الجبين ، واحترام الأسباب المشروعة . 2- القمار أداة لهدم البيوت العامرة ، وفقد الأموال في وجوه محرمة ، وافتقار العوائل الغنية ، وإذلال النفوس العزيزة .. 3- القمار يورث العداوة والبغضاء بين المتلاعبين بأكل الأموال بينهم بالباطل ، وحصولهم على المال بغير الحق . 4- القمار يصد عن ذكر الله وعن الصلاة ، ويدفع بالمتلاعبين إلى أسوأ الأخلاق ، واقبح العادات . 5- القمار هواية آثمة تلتهم الوقت والجهد ، وتعوّد على الخمول والكسل ، وتعطل الأمة عن العمل والإنتاج . 6- القمار يدفع صاحبه إلى الإجرام لأن الفريق المفلس يريد أن يحصل على المال من أي طريق كان ، ولو عن طريق السرقة والاغتصاب ، أو الرشوة والاختلاس . 7- القمار يورث القلق ، ويسبب المرض ويحطم الأعصاب ، ويولّد الحقد ، ويؤدي في الغالب إلى الإجرام أو الانتحار أو الجنون أو المرض العضال . Perjudian membuat seseorang menggantungkan penghasilan mereka pada untung-untungan, peluang, dan angan-angan kosong, bukan pada bekerja, ketekunan, usaha keras, berpeluh, dan mengupayakan sebab-sebab yang dibenarkan syariat. Perjudian merupakan alat untuk menghancurkan rumah tangga yang sejahtera, menghabiskan uang dengan cara yang terlarang, memiskinkan keluarga yang kaya, dan mempermalukan jiwa yang mulia. Perjudian menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka yang memainkannya dengan cara saling memakan harta mereka dengan cara yang batil dan memperoleh harta dengan cara yang tidak benar. Perjudian menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan salat dan menyeret para pelakunya kepada akhlak terburuk dan perilaku tercela. Perjudian merupakan kegemaran yang dosa, menghabiskan waktu dan usaha, dan membudayakan kemalasan dan keengganan bekerja, serta membawa pelakunya kepada akhlak yang paling buruk dan kebiasaan yang paling jelek. Perjudian mendorong pelakunya melakukan kejahatan karena pihak yang kalah tentu ingin mendapatkan uang bagaimanapun caranya, walau harus mencuri, merampas, menyuap, dan menggelapkan. Perjudian mengakibatkan kegelisahan, menyebabkan penyakit, merusak saraf, menumbuhkan kedengkian, dan umumnya menyeret kepada tindak kejahatan, bunuh diri, kegilaan, atau penyakit psikis. 8- والقمار يدفع المقامر إلى أفسد الأخلاق كشرب الخمور وتناول المخدرات ، فالأجواء التي يدار فيها القمار يقل فيها الضوء ، ويكثر فيها دخان اللفائف ، وتخفت الأصوات وترتفع الهمهمة ، يتسلل لها الهواة كأنما يفرون من العدالة ، ويدخلون في توجس وتردد ، وتلتف جموعهم حول مائدة خضراء تتصاعد حولها أنفاسهم المضطربة ، وتخفق قلوبهم المكلومة ، والمفروض أنهم رفاق لعب ، ولكنهم في الحقيقة أعداء ، فكل منهم يتربص بالآخر ، ويعمل على أن يكسب على حسابه وحساب أولاده ، ويعمل صاحب المكان على أن يخدر أحاسيس الجميع بما يقدم لهم من موسيقى حالمة ، ونساء ضائعات ، وأنواع الشراب ، وأنواع التدخين ، وتكثر حول المائدة الخضراء ضروب الغش والخداع ، فالسقاة والمطعمون والفتيات يكشفون أوراق لاعب إلى لاعب ، ويغمزون ويهمسون لينصروا بالباطل واحداً على الآخر ، وليقيموا أحياناً نوعاً من التوازن يضمن استمرار اللعب وطول اللقاء ، ويخسر الجميع بلا شك ، يخسرون بما يدفعونه ثمناً للشراب والتدخين ، وما يدفعون للسقاة والمطعمين ، وما يقدمونه من شراب للفتيات ، وتتفاوت بعد ذلك الخسارة ، فالرابح الذي نجح في كل الجولات أو أكثرها لا يتبقى معه من الربح شيء على الإطلاق أو لا يتبقى معه إلا مقدار ضئيل ، وأما الخاسر فقد خسر كل شيء ، وفي آخر الليل يتسللون جميعاً وقد علتهم الكآبة والخزي ، والخاسر يتوعد الرابح إلى الغد . أحمد شلبي ، الحياة الاجتماعية في التفكير الإسلامي ص 241 . Perjudian mendorong penjudi kepada perangai yang paling rusak, seperti minum khamar dan mengonsumsi narkoba. Lingkungan di mana perjudian dilakukan biasanya remang-remang pencahayaannya, dipenuhi asap rokok, suara bisik-bisik dan gumaman keras. Orang-orang amatir menyelinap ke dalam seakan-akan mereka sedang lari dari keadilan. Mereka memasukinya dengan perasaan waswas dan keraguan. Komunitas seperti mereka berkumpul di sekeliling meja berwarna  hijau yang dipenuhi oleh napas-napas yang sesak, yang membuat jantung mereka yang sakit berdebar kencang. Seharusnya, mereka menjadi rekan bermain, tetapi kenyataannya mereka saling bermusuhan, masing-masing dari mereka saling mengintai, dan bekerja untuk mendapatkan penghasilan dengan mengorbankan nasib diri dan anak-anaknya. Pemilik tempat itu berupaya untuk meracuni mental mereka semua dengan mempersembahkan kepada mereka musik-musik yang indah, wanita-wanita hina, dan berbagai macam minuman dan rokok. Di sekitar meja berwarna hijau tersebut berbagai jenis kecurangan dan penipuan tersebar. Para pelayan, pramusaji, dan gadis-gadis saling membocorkan kartu-kartu pemain ke pemain lain, mengedipkan mata dan berbisik-bisik untuk secara curang menolong seseorang atas orang lain, dan kadang-kadang mereka berupaya membangun semacam keseimbangan permainan untuk memastikan agar permainan terus berjalan perkumpulan tersebut bertahan selama mungkin. Semuanya rugi, itu pasti! Mereka rugi sesuai dengan uang yang mereka bayarkan untuk minum dan merokok, dan apa yang mereka sogokkan untuk para pelayan dan pramusaji, dan minuman yang mereka berikan kepada para wanita di sekeliling mereka, sehingga kerugian mereka bervariasi. Yang untung karena menang di setiap gilirannya atau di sebagian besarnya akhirnya keuntungannya juga tidak tersisa sama sekali atau hanya tersisa sedikit saja. Adapun bagi yang kalah, ia telah rugi segala-segalanya. Di penghujung malam mereka semua menyelinap pergi dengan diliputi depresi dan rasa malu, di mana si kalah menjanjikan lagi kepada si menang esok hari. (Ahmad Syalabi, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, hlm 241). كم من بيوت افتقرت بسبب القمار ، وكم من بطون جاعت وأجسام عريت أو لبست الأسمال وكم من زواج فشل ، ووظيفة ضاعت لأن صاحبها اختلس ليقامر ، وكم من رجل باع دينه وعِرضه على مائدة القمار ، فالقمار يدمر كل شيء وهو إن كان هدفه المال ولكنه يشمل الخمر والتدخين ورفاق السوء والظلام والغموض والغش والكراهية والتربص والاختلاس وكل صفات الشر . من كتاب قضايا اللهو والترفيه ص 388 نسأل الله السلامة والعافية . Berapa banyak rumah tangga yang menjadi fakir gara-gara judi?! Berapa banyak perut yang kelaparan, badan kehilangan pakaian atau memakai baju compang-camping?!  Berapa banyak pernikahan yang kandas?!  Berapa banyak pekerjaan hilang karena karyawannya menggelapkan uang untuk berjudi dan berapa banyak manusia menjual agama dan kemuliaannya demi berjudi?!  Perjudian menghancurkan segalanya, dan meskipun tujuan utamanya adalah uang, tetapi di situ pasti ada khamar, rokok, teman yang buruk, kegelapan, kongkalikong, kecurangan, kebencian, tipu daya, penggelapan, dan semua sifat tercela. Selesai kutipan dari buku Qadhāyā al-Lahwi wa Tarfiyyah, hal. 388. Kami memohon keselamatan dan afiat kepada Allah. Sumber: https://islamqa.info/الحكمة من تحريم القمار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 338 times, 1 visit(s) today Post Views: 598 QRIS donasi Yufid

Hikmah Diharamkannya Perjudian dan Taruhan

الحكمة من تحريم القمار Hikmah  Diharamkannya Judi السؤال ما الحكمة الشرعية من تحريم القمار ؟ الجواب الحمد لله. القمار حرام لأنّ الله حرّمه وهو سبحانه وتعالى يحكم ما يشاء قال الله تعالى : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ ) وأما الحكمة في تحريمه فإنّ العاقل يرى في ذلك أسبابا كثيرة منها Pertanyaan: Apa hikmah di balik pelarangan perjudian dalam syariat? Jawaban: Alhamdulillah. Judi hukumnya haram, karena Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah mengharamkannya dan Allah Subẖānahu wa Taʿālā menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan,  maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kalian dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 90) Adapun hikmah dibalik larangan tersebut, maka orang yang berakal tentu bisa melihat banyak sebabnya, diantaranya: 1- القمار يجعل الإنسان يعتمد في كسبه على المصادفة والحظ ، والأماني الفارغة لا على العمل والجد وكد اليمين ، وعرق الجبين ، واحترام الأسباب المشروعة . 2- القمار أداة لهدم البيوت العامرة ، وفقد الأموال في وجوه محرمة ، وافتقار العوائل الغنية ، وإذلال النفوس العزيزة .. 3- القمار يورث العداوة والبغضاء بين المتلاعبين بأكل الأموال بينهم بالباطل ، وحصولهم على المال بغير الحق . 4- القمار يصد عن ذكر الله وعن الصلاة ، ويدفع بالمتلاعبين إلى أسوأ الأخلاق ، واقبح العادات . 5- القمار هواية آثمة تلتهم الوقت والجهد ، وتعوّد على الخمول والكسل ، وتعطل الأمة عن العمل والإنتاج . 6- القمار يدفع صاحبه إلى الإجرام لأن الفريق المفلس يريد أن يحصل على المال من أي طريق كان ، ولو عن طريق السرقة والاغتصاب ، أو الرشوة والاختلاس . 7- القمار يورث القلق ، ويسبب المرض ويحطم الأعصاب ، ويولّد الحقد ، ويؤدي في الغالب إلى الإجرام أو الانتحار أو الجنون أو المرض العضال . Perjudian membuat seseorang menggantungkan penghasilan mereka pada untung-untungan, peluang, dan angan-angan kosong, bukan pada bekerja, ketekunan, usaha keras, berpeluh, dan mengupayakan sebab-sebab yang dibenarkan syariat. Perjudian merupakan alat untuk menghancurkan rumah tangga yang sejahtera, menghabiskan uang dengan cara yang terlarang, memiskinkan keluarga yang kaya, dan mempermalukan jiwa yang mulia. Perjudian menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka yang memainkannya dengan cara saling memakan harta mereka dengan cara yang batil dan memperoleh harta dengan cara yang tidak benar. Perjudian menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan salat dan menyeret para pelakunya kepada akhlak terburuk dan perilaku tercela. Perjudian merupakan kegemaran yang dosa, menghabiskan waktu dan usaha, dan membudayakan kemalasan dan keengganan bekerja, serta membawa pelakunya kepada akhlak yang paling buruk dan kebiasaan yang paling jelek. Perjudian mendorong pelakunya melakukan kejahatan karena pihak yang kalah tentu ingin mendapatkan uang bagaimanapun caranya, walau harus mencuri, merampas, menyuap, dan menggelapkan. Perjudian mengakibatkan kegelisahan, menyebabkan penyakit, merusak saraf, menumbuhkan kedengkian, dan umumnya menyeret kepada tindak kejahatan, bunuh diri, kegilaan, atau penyakit psikis. 8- والقمار يدفع المقامر إلى أفسد الأخلاق كشرب الخمور وتناول المخدرات ، فالأجواء التي يدار فيها القمار يقل فيها الضوء ، ويكثر فيها دخان اللفائف ، وتخفت الأصوات وترتفع الهمهمة ، يتسلل لها الهواة كأنما يفرون من العدالة ، ويدخلون في توجس وتردد ، وتلتف جموعهم حول مائدة خضراء تتصاعد حولها أنفاسهم المضطربة ، وتخفق قلوبهم المكلومة ، والمفروض أنهم رفاق لعب ، ولكنهم في الحقيقة أعداء ، فكل منهم يتربص بالآخر ، ويعمل على أن يكسب على حسابه وحساب أولاده ، ويعمل صاحب المكان على أن يخدر أحاسيس الجميع بما يقدم لهم من موسيقى حالمة ، ونساء ضائعات ، وأنواع الشراب ، وأنواع التدخين ، وتكثر حول المائدة الخضراء ضروب الغش والخداع ، فالسقاة والمطعمون والفتيات يكشفون أوراق لاعب إلى لاعب ، ويغمزون ويهمسون لينصروا بالباطل واحداً على الآخر ، وليقيموا أحياناً نوعاً من التوازن يضمن استمرار اللعب وطول اللقاء ، ويخسر الجميع بلا شك ، يخسرون بما يدفعونه ثمناً للشراب والتدخين ، وما يدفعون للسقاة والمطعمين ، وما يقدمونه من شراب للفتيات ، وتتفاوت بعد ذلك الخسارة ، فالرابح الذي نجح في كل الجولات أو أكثرها لا يتبقى معه من الربح شيء على الإطلاق أو لا يتبقى معه إلا مقدار ضئيل ، وأما الخاسر فقد خسر كل شيء ، وفي آخر الليل يتسللون جميعاً وقد علتهم الكآبة والخزي ، والخاسر يتوعد الرابح إلى الغد . أحمد شلبي ، الحياة الاجتماعية في التفكير الإسلامي ص 241 . Perjudian mendorong penjudi kepada perangai yang paling rusak, seperti minum khamar dan mengonsumsi narkoba. Lingkungan di mana perjudian dilakukan biasanya remang-remang pencahayaannya, dipenuhi asap rokok, suara bisik-bisik dan gumaman keras. Orang-orang amatir menyelinap ke dalam seakan-akan mereka sedang lari dari keadilan. Mereka memasukinya dengan perasaan waswas dan keraguan. Komunitas seperti mereka berkumpul di sekeliling meja berwarna  hijau yang dipenuhi oleh napas-napas yang sesak, yang membuat jantung mereka yang sakit berdebar kencang. Seharusnya, mereka menjadi rekan bermain, tetapi kenyataannya mereka saling bermusuhan, masing-masing dari mereka saling mengintai, dan bekerja untuk mendapatkan penghasilan dengan mengorbankan nasib diri dan anak-anaknya. Pemilik tempat itu berupaya untuk meracuni mental mereka semua dengan mempersembahkan kepada mereka musik-musik yang indah, wanita-wanita hina, dan berbagai macam minuman dan rokok. Di sekitar meja berwarna hijau tersebut berbagai jenis kecurangan dan penipuan tersebar. Para pelayan, pramusaji, dan gadis-gadis saling membocorkan kartu-kartu pemain ke pemain lain, mengedipkan mata dan berbisik-bisik untuk secara curang menolong seseorang atas orang lain, dan kadang-kadang mereka berupaya membangun semacam keseimbangan permainan untuk memastikan agar permainan terus berjalan perkumpulan tersebut bertahan selama mungkin. Semuanya rugi, itu pasti! Mereka rugi sesuai dengan uang yang mereka bayarkan untuk minum dan merokok, dan apa yang mereka sogokkan untuk para pelayan dan pramusaji, dan minuman yang mereka berikan kepada para wanita di sekeliling mereka, sehingga kerugian mereka bervariasi. Yang untung karena menang di setiap gilirannya atau di sebagian besarnya akhirnya keuntungannya juga tidak tersisa sama sekali atau hanya tersisa sedikit saja. Adapun bagi yang kalah, ia telah rugi segala-segalanya. Di penghujung malam mereka semua menyelinap pergi dengan diliputi depresi dan rasa malu, di mana si kalah menjanjikan lagi kepada si menang esok hari. (Ahmad Syalabi, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, hlm 241). كم من بيوت افتقرت بسبب القمار ، وكم من بطون جاعت وأجسام عريت أو لبست الأسمال وكم من زواج فشل ، ووظيفة ضاعت لأن صاحبها اختلس ليقامر ، وكم من رجل باع دينه وعِرضه على مائدة القمار ، فالقمار يدمر كل شيء وهو إن كان هدفه المال ولكنه يشمل الخمر والتدخين ورفاق السوء والظلام والغموض والغش والكراهية والتربص والاختلاس وكل صفات الشر . من كتاب قضايا اللهو والترفيه ص 388 نسأل الله السلامة والعافية . Berapa banyak rumah tangga yang menjadi fakir gara-gara judi?! Berapa banyak perut yang kelaparan, badan kehilangan pakaian atau memakai baju compang-camping?!  Berapa banyak pernikahan yang kandas?!  Berapa banyak pekerjaan hilang karena karyawannya menggelapkan uang untuk berjudi dan berapa banyak manusia menjual agama dan kemuliaannya demi berjudi?!  Perjudian menghancurkan segalanya, dan meskipun tujuan utamanya adalah uang, tetapi di situ pasti ada khamar, rokok, teman yang buruk, kegelapan, kongkalikong, kecurangan, kebencian, tipu daya, penggelapan, dan semua sifat tercela. Selesai kutipan dari buku Qadhāyā al-Lahwi wa Tarfiyyah, hal. 388. Kami memohon keselamatan dan afiat kepada Allah. Sumber: https://islamqa.info/الحكمة من تحريم القمار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 338 times, 1 visit(s) today Post Views: 598 QRIS donasi Yufid
الحكمة من تحريم القمار Hikmah  Diharamkannya Judi السؤال ما الحكمة الشرعية من تحريم القمار ؟ الجواب الحمد لله. القمار حرام لأنّ الله حرّمه وهو سبحانه وتعالى يحكم ما يشاء قال الله تعالى : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ ) وأما الحكمة في تحريمه فإنّ العاقل يرى في ذلك أسبابا كثيرة منها Pertanyaan: Apa hikmah di balik pelarangan perjudian dalam syariat? Jawaban: Alhamdulillah. Judi hukumnya haram, karena Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah mengharamkannya dan Allah Subẖānahu wa Taʿālā menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan,  maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kalian dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 90) Adapun hikmah dibalik larangan tersebut, maka orang yang berakal tentu bisa melihat banyak sebabnya, diantaranya: 1- القمار يجعل الإنسان يعتمد في كسبه على المصادفة والحظ ، والأماني الفارغة لا على العمل والجد وكد اليمين ، وعرق الجبين ، واحترام الأسباب المشروعة . 2- القمار أداة لهدم البيوت العامرة ، وفقد الأموال في وجوه محرمة ، وافتقار العوائل الغنية ، وإذلال النفوس العزيزة .. 3- القمار يورث العداوة والبغضاء بين المتلاعبين بأكل الأموال بينهم بالباطل ، وحصولهم على المال بغير الحق . 4- القمار يصد عن ذكر الله وعن الصلاة ، ويدفع بالمتلاعبين إلى أسوأ الأخلاق ، واقبح العادات . 5- القمار هواية آثمة تلتهم الوقت والجهد ، وتعوّد على الخمول والكسل ، وتعطل الأمة عن العمل والإنتاج . 6- القمار يدفع صاحبه إلى الإجرام لأن الفريق المفلس يريد أن يحصل على المال من أي طريق كان ، ولو عن طريق السرقة والاغتصاب ، أو الرشوة والاختلاس . 7- القمار يورث القلق ، ويسبب المرض ويحطم الأعصاب ، ويولّد الحقد ، ويؤدي في الغالب إلى الإجرام أو الانتحار أو الجنون أو المرض العضال . Perjudian membuat seseorang menggantungkan penghasilan mereka pada untung-untungan, peluang, dan angan-angan kosong, bukan pada bekerja, ketekunan, usaha keras, berpeluh, dan mengupayakan sebab-sebab yang dibenarkan syariat. Perjudian merupakan alat untuk menghancurkan rumah tangga yang sejahtera, menghabiskan uang dengan cara yang terlarang, memiskinkan keluarga yang kaya, dan mempermalukan jiwa yang mulia. Perjudian menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka yang memainkannya dengan cara saling memakan harta mereka dengan cara yang batil dan memperoleh harta dengan cara yang tidak benar. Perjudian menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan salat dan menyeret para pelakunya kepada akhlak terburuk dan perilaku tercela. Perjudian merupakan kegemaran yang dosa, menghabiskan waktu dan usaha, dan membudayakan kemalasan dan keengganan bekerja, serta membawa pelakunya kepada akhlak yang paling buruk dan kebiasaan yang paling jelek. Perjudian mendorong pelakunya melakukan kejahatan karena pihak yang kalah tentu ingin mendapatkan uang bagaimanapun caranya, walau harus mencuri, merampas, menyuap, dan menggelapkan. Perjudian mengakibatkan kegelisahan, menyebabkan penyakit, merusak saraf, menumbuhkan kedengkian, dan umumnya menyeret kepada tindak kejahatan, bunuh diri, kegilaan, atau penyakit psikis. 8- والقمار يدفع المقامر إلى أفسد الأخلاق كشرب الخمور وتناول المخدرات ، فالأجواء التي يدار فيها القمار يقل فيها الضوء ، ويكثر فيها دخان اللفائف ، وتخفت الأصوات وترتفع الهمهمة ، يتسلل لها الهواة كأنما يفرون من العدالة ، ويدخلون في توجس وتردد ، وتلتف جموعهم حول مائدة خضراء تتصاعد حولها أنفاسهم المضطربة ، وتخفق قلوبهم المكلومة ، والمفروض أنهم رفاق لعب ، ولكنهم في الحقيقة أعداء ، فكل منهم يتربص بالآخر ، ويعمل على أن يكسب على حسابه وحساب أولاده ، ويعمل صاحب المكان على أن يخدر أحاسيس الجميع بما يقدم لهم من موسيقى حالمة ، ونساء ضائعات ، وأنواع الشراب ، وأنواع التدخين ، وتكثر حول المائدة الخضراء ضروب الغش والخداع ، فالسقاة والمطعمون والفتيات يكشفون أوراق لاعب إلى لاعب ، ويغمزون ويهمسون لينصروا بالباطل واحداً على الآخر ، وليقيموا أحياناً نوعاً من التوازن يضمن استمرار اللعب وطول اللقاء ، ويخسر الجميع بلا شك ، يخسرون بما يدفعونه ثمناً للشراب والتدخين ، وما يدفعون للسقاة والمطعمين ، وما يقدمونه من شراب للفتيات ، وتتفاوت بعد ذلك الخسارة ، فالرابح الذي نجح في كل الجولات أو أكثرها لا يتبقى معه من الربح شيء على الإطلاق أو لا يتبقى معه إلا مقدار ضئيل ، وأما الخاسر فقد خسر كل شيء ، وفي آخر الليل يتسللون جميعاً وقد علتهم الكآبة والخزي ، والخاسر يتوعد الرابح إلى الغد . أحمد شلبي ، الحياة الاجتماعية في التفكير الإسلامي ص 241 . Perjudian mendorong penjudi kepada perangai yang paling rusak, seperti minum khamar dan mengonsumsi narkoba. Lingkungan di mana perjudian dilakukan biasanya remang-remang pencahayaannya, dipenuhi asap rokok, suara bisik-bisik dan gumaman keras. Orang-orang amatir menyelinap ke dalam seakan-akan mereka sedang lari dari keadilan. Mereka memasukinya dengan perasaan waswas dan keraguan. Komunitas seperti mereka berkumpul di sekeliling meja berwarna  hijau yang dipenuhi oleh napas-napas yang sesak, yang membuat jantung mereka yang sakit berdebar kencang. Seharusnya, mereka menjadi rekan bermain, tetapi kenyataannya mereka saling bermusuhan, masing-masing dari mereka saling mengintai, dan bekerja untuk mendapatkan penghasilan dengan mengorbankan nasib diri dan anak-anaknya. Pemilik tempat itu berupaya untuk meracuni mental mereka semua dengan mempersembahkan kepada mereka musik-musik yang indah, wanita-wanita hina, dan berbagai macam minuman dan rokok. Di sekitar meja berwarna hijau tersebut berbagai jenis kecurangan dan penipuan tersebar. Para pelayan, pramusaji, dan gadis-gadis saling membocorkan kartu-kartu pemain ke pemain lain, mengedipkan mata dan berbisik-bisik untuk secara curang menolong seseorang atas orang lain, dan kadang-kadang mereka berupaya membangun semacam keseimbangan permainan untuk memastikan agar permainan terus berjalan perkumpulan tersebut bertahan selama mungkin. Semuanya rugi, itu pasti! Mereka rugi sesuai dengan uang yang mereka bayarkan untuk minum dan merokok, dan apa yang mereka sogokkan untuk para pelayan dan pramusaji, dan minuman yang mereka berikan kepada para wanita di sekeliling mereka, sehingga kerugian mereka bervariasi. Yang untung karena menang di setiap gilirannya atau di sebagian besarnya akhirnya keuntungannya juga tidak tersisa sama sekali atau hanya tersisa sedikit saja. Adapun bagi yang kalah, ia telah rugi segala-segalanya. Di penghujung malam mereka semua menyelinap pergi dengan diliputi depresi dan rasa malu, di mana si kalah menjanjikan lagi kepada si menang esok hari. (Ahmad Syalabi, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, hlm 241). كم من بيوت افتقرت بسبب القمار ، وكم من بطون جاعت وأجسام عريت أو لبست الأسمال وكم من زواج فشل ، ووظيفة ضاعت لأن صاحبها اختلس ليقامر ، وكم من رجل باع دينه وعِرضه على مائدة القمار ، فالقمار يدمر كل شيء وهو إن كان هدفه المال ولكنه يشمل الخمر والتدخين ورفاق السوء والظلام والغموض والغش والكراهية والتربص والاختلاس وكل صفات الشر . من كتاب قضايا اللهو والترفيه ص 388 نسأل الله السلامة والعافية . Berapa banyak rumah tangga yang menjadi fakir gara-gara judi?! Berapa banyak perut yang kelaparan, badan kehilangan pakaian atau memakai baju compang-camping?!  Berapa banyak pernikahan yang kandas?!  Berapa banyak pekerjaan hilang karena karyawannya menggelapkan uang untuk berjudi dan berapa banyak manusia menjual agama dan kemuliaannya demi berjudi?!  Perjudian menghancurkan segalanya, dan meskipun tujuan utamanya adalah uang, tetapi di situ pasti ada khamar, rokok, teman yang buruk, kegelapan, kongkalikong, kecurangan, kebencian, tipu daya, penggelapan, dan semua sifat tercela. Selesai kutipan dari buku Qadhāyā al-Lahwi wa Tarfiyyah, hal. 388. Kami memohon keselamatan dan afiat kepada Allah. Sumber: https://islamqa.info/الحكمة من تحريم القمار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 338 times, 1 visit(s) today Post Views: 598 QRIS donasi Yufid


الحكمة من تحريم القمار Hikmah  Diharamkannya Judi السؤال ما الحكمة الشرعية من تحريم القمار ؟ الجواب الحمد لله. القمار حرام لأنّ الله حرّمه وهو سبحانه وتعالى يحكم ما يشاء قال الله تعالى : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ ) وأما الحكمة في تحريمه فإنّ العاقل يرى في ذلك أسبابا كثيرة منها Pertanyaan: Apa hikmah di balik pelarangan perjudian dalam syariat? Jawaban: Alhamdulillah. Judi hukumnya haram, karena Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah mengharamkannya dan Allah Subẖānahu wa Taʿālā menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Subẖānahu wa Taʿālā berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan,  maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kalian dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS Al-Maidah: 90) Adapun hikmah dibalik larangan tersebut, maka orang yang berakal tentu bisa melihat banyak sebabnya, diantaranya: 1- القمار يجعل الإنسان يعتمد في كسبه على المصادفة والحظ ، والأماني الفارغة لا على العمل والجد وكد اليمين ، وعرق الجبين ، واحترام الأسباب المشروعة . 2- القمار أداة لهدم البيوت العامرة ، وفقد الأموال في وجوه محرمة ، وافتقار العوائل الغنية ، وإذلال النفوس العزيزة .. 3- القمار يورث العداوة والبغضاء بين المتلاعبين بأكل الأموال بينهم بالباطل ، وحصولهم على المال بغير الحق . 4- القمار يصد عن ذكر الله وعن الصلاة ، ويدفع بالمتلاعبين إلى أسوأ الأخلاق ، واقبح العادات . 5- القمار هواية آثمة تلتهم الوقت والجهد ، وتعوّد على الخمول والكسل ، وتعطل الأمة عن العمل والإنتاج . 6- القمار يدفع صاحبه إلى الإجرام لأن الفريق المفلس يريد أن يحصل على المال من أي طريق كان ، ولو عن طريق السرقة والاغتصاب ، أو الرشوة والاختلاس . 7- القمار يورث القلق ، ويسبب المرض ويحطم الأعصاب ، ويولّد الحقد ، ويؤدي في الغالب إلى الإجرام أو الانتحار أو الجنون أو المرض العضال . Perjudian membuat seseorang menggantungkan penghasilan mereka pada untung-untungan, peluang, dan angan-angan kosong, bukan pada bekerja, ketekunan, usaha keras, berpeluh, dan mengupayakan sebab-sebab yang dibenarkan syariat. Perjudian merupakan alat untuk menghancurkan rumah tangga yang sejahtera, menghabiskan uang dengan cara yang terlarang, memiskinkan keluarga yang kaya, dan mempermalukan jiwa yang mulia. Perjudian menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka yang memainkannya dengan cara saling memakan harta mereka dengan cara yang batil dan memperoleh harta dengan cara yang tidak benar. Perjudian menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan salat dan menyeret para pelakunya kepada akhlak terburuk dan perilaku tercela. Perjudian merupakan kegemaran yang dosa, menghabiskan waktu dan usaha, dan membudayakan kemalasan dan keengganan bekerja, serta membawa pelakunya kepada akhlak yang paling buruk dan kebiasaan yang paling jelek. Perjudian mendorong pelakunya melakukan kejahatan karena pihak yang kalah tentu ingin mendapatkan uang bagaimanapun caranya, walau harus mencuri, merampas, menyuap, dan menggelapkan. Perjudian mengakibatkan kegelisahan, menyebabkan penyakit, merusak saraf, menumbuhkan kedengkian, dan umumnya menyeret kepada tindak kejahatan, bunuh diri, kegilaan, atau penyakit psikis. 8- والقمار يدفع المقامر إلى أفسد الأخلاق كشرب الخمور وتناول المخدرات ، فالأجواء التي يدار فيها القمار يقل فيها الضوء ، ويكثر فيها دخان اللفائف ، وتخفت الأصوات وترتفع الهمهمة ، يتسلل لها الهواة كأنما يفرون من العدالة ، ويدخلون في توجس وتردد ، وتلتف جموعهم حول مائدة خضراء تتصاعد حولها أنفاسهم المضطربة ، وتخفق قلوبهم المكلومة ، والمفروض أنهم رفاق لعب ، ولكنهم في الحقيقة أعداء ، فكل منهم يتربص بالآخر ، ويعمل على أن يكسب على حسابه وحساب أولاده ، ويعمل صاحب المكان على أن يخدر أحاسيس الجميع بما يقدم لهم من موسيقى حالمة ، ونساء ضائعات ، وأنواع الشراب ، وأنواع التدخين ، وتكثر حول المائدة الخضراء ضروب الغش والخداع ، فالسقاة والمطعمون والفتيات يكشفون أوراق لاعب إلى لاعب ، ويغمزون ويهمسون لينصروا بالباطل واحداً على الآخر ، وليقيموا أحياناً نوعاً من التوازن يضمن استمرار اللعب وطول اللقاء ، ويخسر الجميع بلا شك ، يخسرون بما يدفعونه ثمناً للشراب والتدخين ، وما يدفعون للسقاة والمطعمين ، وما يقدمونه من شراب للفتيات ، وتتفاوت بعد ذلك الخسارة ، فالرابح الذي نجح في كل الجولات أو أكثرها لا يتبقى معه من الربح شيء على الإطلاق أو لا يتبقى معه إلا مقدار ضئيل ، وأما الخاسر فقد خسر كل شيء ، وفي آخر الليل يتسللون جميعاً وقد علتهم الكآبة والخزي ، والخاسر يتوعد الرابح إلى الغد . أحمد شلبي ، الحياة الاجتماعية في التفكير الإسلامي ص 241 . Perjudian mendorong penjudi kepada perangai yang paling rusak, seperti minum khamar dan mengonsumsi narkoba. Lingkungan di mana perjudian dilakukan biasanya remang-remang pencahayaannya, dipenuhi asap rokok, suara bisik-bisik dan gumaman keras. Orang-orang amatir menyelinap ke dalam seakan-akan mereka sedang lari dari keadilan. Mereka memasukinya dengan perasaan waswas dan keraguan. Komunitas seperti mereka berkumpul di sekeliling meja berwarna  hijau yang dipenuhi oleh napas-napas yang sesak, yang membuat jantung mereka yang sakit berdebar kencang. Seharusnya, mereka menjadi rekan bermain, tetapi kenyataannya mereka saling bermusuhan, masing-masing dari mereka saling mengintai, dan bekerja untuk mendapatkan penghasilan dengan mengorbankan nasib diri dan anak-anaknya. Pemilik tempat itu berupaya untuk meracuni mental mereka semua dengan mempersembahkan kepada mereka musik-musik yang indah, wanita-wanita hina, dan berbagai macam minuman dan rokok. Di sekitar meja berwarna hijau tersebut berbagai jenis kecurangan dan penipuan tersebar. Para pelayan, pramusaji, dan gadis-gadis saling membocorkan kartu-kartu pemain ke pemain lain, mengedipkan mata dan berbisik-bisik untuk secara curang menolong seseorang atas orang lain, dan kadang-kadang mereka berupaya membangun semacam keseimbangan permainan untuk memastikan agar permainan terus berjalan perkumpulan tersebut bertahan selama mungkin. Semuanya rugi, itu pasti! Mereka rugi sesuai dengan uang yang mereka bayarkan untuk minum dan merokok, dan apa yang mereka sogokkan untuk para pelayan dan pramusaji, dan minuman yang mereka berikan kepada para wanita di sekeliling mereka, sehingga kerugian mereka bervariasi. Yang untung karena menang di setiap gilirannya atau di sebagian besarnya akhirnya keuntungannya juga tidak tersisa sama sekali atau hanya tersisa sedikit saja. Adapun bagi yang kalah, ia telah rugi segala-segalanya. Di penghujung malam mereka semua menyelinap pergi dengan diliputi depresi dan rasa malu, di mana si kalah menjanjikan lagi kepada si menang esok hari. (Ahmad Syalabi, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, hlm 241). كم من بيوت افتقرت بسبب القمار ، وكم من بطون جاعت وأجسام عريت أو لبست الأسمال وكم من زواج فشل ، ووظيفة ضاعت لأن صاحبها اختلس ليقامر ، وكم من رجل باع دينه وعِرضه على مائدة القمار ، فالقمار يدمر كل شيء وهو إن كان هدفه المال ولكنه يشمل الخمر والتدخين ورفاق السوء والظلام والغموض والغش والكراهية والتربص والاختلاس وكل صفات الشر . من كتاب قضايا اللهو والترفيه ص 388 نسأل الله السلامة والعافية . Berapa banyak rumah tangga yang menjadi fakir gara-gara judi?! Berapa banyak perut yang kelaparan, badan kehilangan pakaian atau memakai baju compang-camping?!  Berapa banyak pernikahan yang kandas?!  Berapa banyak pekerjaan hilang karena karyawannya menggelapkan uang untuk berjudi dan berapa banyak manusia menjual agama dan kemuliaannya demi berjudi?!  Perjudian menghancurkan segalanya, dan meskipun tujuan utamanya adalah uang, tetapi di situ pasti ada khamar, rokok, teman yang buruk, kegelapan, kongkalikong, kecurangan, kebencian, tipu daya, penggelapan, dan semua sifat tercela. Selesai kutipan dari buku Qadhāyā al-Lahwi wa Tarfiyyah, hal. 388. Kami memohon keselamatan dan afiat kepada Allah. Sumber: https://islamqa.info/الحكمة من تحريم القمار Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 338 times, 1 visit(s) today Post Views: 598 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Muhaimin”Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaMengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaMenumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaMendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiSesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dari ketiadaan, serta menundukkan bagi mereka apa yang ada di langit dan di bumi, agar mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya. Maka, kesibukan seorang hamba dalam mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah kesibukan terhadap tujuan penciptaannya. Sementara berpaling dan menyia-nyiakannya adalah bentuk kelalaian terhadap tujuan ia diciptakan. Tidaklah layak bagi seorang hamba —yang telah dikaruniai begitu banyak keutamaan dan nikmat oleh Allah— untuk menjadi orang yang jahil (bodoh) terhadap Rabb-nya dan berpaling dari mengenal-Nya Subhanahu wa Ta‘ala. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Muhaimin. Nama ini mengandung makna pengawasan, penjagaan, dan kesaksian Allah atas seluruh makhluk-Nya, serta membawa pelajaran penting bagi setiap hamba dalam membina rasa muraqabah dan keikhlasan. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya iman, ketundukan, dan ihsan dalam peribadatan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Muhaimin”Nama Al-Muhaimin disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“Al-Mu’min, Al-Muhaimin.” (QS. Al-Hasyr: 23)Allah juga menyebutkan makna nama ini dalam firman-Nya,وأنزلنا إليك الكٌتّابّ بالحقّ مصّدقْا لما بين يديه من الكتاب ومهيمناً عليه“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan sebagai penjaga terhadapnya.” (QS. Al-Ma’idah: 48) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Muhaimin” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Al-Muhaimin adalah bentuk ism fā‘il (pelaku) dari kata ( هَيْمَنَ – يُهَيمن – هَيمَنَة )  haymana – yuhaiminu – haimanatan. Secara bahasa, kata al-haymanah berarti mengawasi dan memelihara sesuatu. [3]Lebih jauh lagi, dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzur menyebutkan,وَفِي المُهَيْمِن خَمْسَةُ أَقوال: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ المُهَيْمِن المُؤْتَمَنُ، وَقَالَ الْكِسَائِيُّ المُهَيْمِنُ الشَّهِيدُ، وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ الرَّقِيبُ، يُقَالُ هَيْمَن يُهَيْمِنُ هَيْمنَة إِذَا كَانَ رَقِيبًا عَلَى الشَّيْءِ، وَقَالَ أَبو مَعْشَرٍ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ مَعْنَاهُ وقَبَّاناً عَلَيْهِ، وَقِيلَ: وَقَائِمًا عَلَى الكُتُب.“Terdapat lima pendapat ulama tentang makna al-Muhaimin,1) Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-Muhaimin adalah al-Mu’taman (yang dipercaya).2) Al-Kisā’ī mengatakan: al-Muhaimin adalah asy-Syahīd (yang menyaksikan).3) Ulama lain mengatakan: al-Muhaimin adalah ar-Raqīb (yang mengawasi), sebagaimana dalam ungkapan “haymana yuhayminu haymanah” — artinya mengawasi sesuatu.4) Abu Ma‘syar menafsirkan muhaiminan ‘alayh sebagai qabbānan ‘alayh (yang menimbang atau memutuskan atasnya).5) Ada juga yang menafsirkan al-Muhaimin sebagai qāiman ‘ala al-kutub (yang memelihara dan menjaga kitab-kitab).” [4]Ibn Fāris rahimahullah mengatakan,الْمُهَيْمِنُ، وَهُوَ الشَّاهِدُ … مِنْ بَابِ أَمِنَ، وَالْهَاءُ مُبْدَلَةٌ مِنْ هَمْزَةٍ“Al-Muhaimin bermakna saksi (asy-syahīd), berasal dari akar kata a-mi-na. Huruf ha’ di dalamnya adalah bentuk pengganti dari hamzah.” [5]Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَقَوْلُهُ: {الْمُهَيْمِنُ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ: أَيِ الشَّاهِدُ عَلَى خَلْقِهِ بِأَعْمَالِهِمْ، بِمَعْنَى: هُوَ رَقِيبٌ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِهِ: {وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [الْبُرُوجِ: 9] ، وَقَوْلُهُ {ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ} [يُونُسَ: 46] .وَقَوْلُهُ: {أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ} الْآيَةَ [الرَّعْدِ: 33] .“Makna firman-Nya {Al-Muhaimin} adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan banyak ulama lainnya, yaitu Yang menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Maknanya adalah Yang mengawasi mereka, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.‘ (QS. Al-Buruj: 9); ‘Kemudian Allah menjadi saksi atas apa yang mereka lakukan.‘ (QS. Yunus: 46); ‘Maka apakah Dia yang mengawasi setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya?‘ (QS. Ar-Ra‘d: 33)” [6]Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,ومعنى «المهيمن) أي: المطلع على خفايا الأمور، وخبايا الصدور، الذي أحاط بكل شيء علما، الشاهد على الخلق بأعمالهم الرقيب عليهم فيما يصدر منهم من قول أو فعل، لا يغيب عنه من أفعالهم شيء، ولا يعزب عنه مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء.“Makna Al-Muhaimin adalah Dzat yang mengetahui secara sempurna rahasia perkara dan bisikan hati, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia adalah saksi atas seluruh amal makhluk-Nya, pengawas atas apa pun yang keluar dari mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya, bahkan sebesar dzarrah pun di bumi maupun di langit tidak akan luput dari-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaPenetapan nama “Al-Muhaimin” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Mengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaSeorang mukmin wajib mengimani bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang paling baik adalah Al-Muhaimin; dan menetapkan makna dari nama tersebut. Allah Subhanahu wa Ta‘ala merupakan saksi atas seluruh makhluk-Nya terhadap segala yang keluar dari mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari amal mereka yang tersembunyi dari-Nya. Allah memiliki kesempurnaan mutlak dalam hal ini; Dia tidak tersesat, tidak lupa, dan tidak lalai. Sebagaimana firman-Nya,وّمّا الله بٌغّافٌلُ عّمَّا تّعًمّلٍونّ“Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74) [8]Menumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaDi antara buah dari keimanan terhadap nama mulia Al-Muhaimin adalah tumbuhnya kesadaran akan pengawasan Allah yang sempurna. Karena nama ini mencakup makna sebagai saksi, pengawas, dan pengatur segala sesuatu, maka seorang hamba seyogianya merasa takut dan berharap kepada-Nya dalam segala keadaan. Sebab Dialah yang menyaksikan rahasia dan bisikan hati, baik di dunia maupun di akhirat. [9]Mendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiBarang siapa yang mengetahui bahwa Allah mengetahui dirinya, melihatnya, dan mengawasinya secara sempurna, maka hal itu akan membuahkan penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hati dari segala hal yang tidak diridai oleh Allah. Ia akan berusaha mengarahkan semua bagian dirinya hanya pada hal-hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [10]Semoga Allah Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya, memahami makna nama-nama-Nya yang mulia, dan istikamah dalam muraqabah serta ketaatan di setiap waktu dan keadaan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”***Rumdin PPIA Sragen, 13 Dzul-Qadah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] Disarikan dari Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 94.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 242.[4] Lisan al-‘Arab, 13: 437.[5] Maqāyīs al-Lughah, 6: 63.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80. Tentang perbedaan pendapat dari para ahli tafsir dalam hal ini, silakan merujuk ke Tafsir Ath-Thabari, 22: 552-554.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 187.[8] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 95.[9] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 242–243.[10] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 32.

Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Muhaimin”Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaMengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaMenumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaMendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiSesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dari ketiadaan, serta menundukkan bagi mereka apa yang ada di langit dan di bumi, agar mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya. Maka, kesibukan seorang hamba dalam mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah kesibukan terhadap tujuan penciptaannya. Sementara berpaling dan menyia-nyiakannya adalah bentuk kelalaian terhadap tujuan ia diciptakan. Tidaklah layak bagi seorang hamba —yang telah dikaruniai begitu banyak keutamaan dan nikmat oleh Allah— untuk menjadi orang yang jahil (bodoh) terhadap Rabb-nya dan berpaling dari mengenal-Nya Subhanahu wa Ta‘ala. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Muhaimin. Nama ini mengandung makna pengawasan, penjagaan, dan kesaksian Allah atas seluruh makhluk-Nya, serta membawa pelajaran penting bagi setiap hamba dalam membina rasa muraqabah dan keikhlasan. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya iman, ketundukan, dan ihsan dalam peribadatan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Muhaimin”Nama Al-Muhaimin disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“Al-Mu’min, Al-Muhaimin.” (QS. Al-Hasyr: 23)Allah juga menyebutkan makna nama ini dalam firman-Nya,وأنزلنا إليك الكٌتّابّ بالحقّ مصّدقْا لما بين يديه من الكتاب ومهيمناً عليه“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan sebagai penjaga terhadapnya.” (QS. Al-Ma’idah: 48) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Muhaimin” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Al-Muhaimin adalah bentuk ism fā‘il (pelaku) dari kata ( هَيْمَنَ – يُهَيمن – هَيمَنَة )  haymana – yuhaiminu – haimanatan. Secara bahasa, kata al-haymanah berarti mengawasi dan memelihara sesuatu. [3]Lebih jauh lagi, dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzur menyebutkan,وَفِي المُهَيْمِن خَمْسَةُ أَقوال: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ المُهَيْمِن المُؤْتَمَنُ، وَقَالَ الْكِسَائِيُّ المُهَيْمِنُ الشَّهِيدُ، وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ الرَّقِيبُ، يُقَالُ هَيْمَن يُهَيْمِنُ هَيْمنَة إِذَا كَانَ رَقِيبًا عَلَى الشَّيْءِ، وَقَالَ أَبو مَعْشَرٍ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ مَعْنَاهُ وقَبَّاناً عَلَيْهِ، وَقِيلَ: وَقَائِمًا عَلَى الكُتُب.“Terdapat lima pendapat ulama tentang makna al-Muhaimin,1) Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-Muhaimin adalah al-Mu’taman (yang dipercaya).2) Al-Kisā’ī mengatakan: al-Muhaimin adalah asy-Syahīd (yang menyaksikan).3) Ulama lain mengatakan: al-Muhaimin adalah ar-Raqīb (yang mengawasi), sebagaimana dalam ungkapan “haymana yuhayminu haymanah” — artinya mengawasi sesuatu.4) Abu Ma‘syar menafsirkan muhaiminan ‘alayh sebagai qabbānan ‘alayh (yang menimbang atau memutuskan atasnya).5) Ada juga yang menafsirkan al-Muhaimin sebagai qāiman ‘ala al-kutub (yang memelihara dan menjaga kitab-kitab).” [4]Ibn Fāris rahimahullah mengatakan,الْمُهَيْمِنُ، وَهُوَ الشَّاهِدُ … مِنْ بَابِ أَمِنَ، وَالْهَاءُ مُبْدَلَةٌ مِنْ هَمْزَةٍ“Al-Muhaimin bermakna saksi (asy-syahīd), berasal dari akar kata a-mi-na. Huruf ha’ di dalamnya adalah bentuk pengganti dari hamzah.” [5]Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَقَوْلُهُ: {الْمُهَيْمِنُ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ: أَيِ الشَّاهِدُ عَلَى خَلْقِهِ بِأَعْمَالِهِمْ، بِمَعْنَى: هُوَ رَقِيبٌ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِهِ: {وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [الْبُرُوجِ: 9] ، وَقَوْلُهُ {ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ} [يُونُسَ: 46] .وَقَوْلُهُ: {أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ} الْآيَةَ [الرَّعْدِ: 33] .“Makna firman-Nya {Al-Muhaimin} adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan banyak ulama lainnya, yaitu Yang menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Maknanya adalah Yang mengawasi mereka, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.‘ (QS. Al-Buruj: 9); ‘Kemudian Allah menjadi saksi atas apa yang mereka lakukan.‘ (QS. Yunus: 46); ‘Maka apakah Dia yang mengawasi setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya?‘ (QS. Ar-Ra‘d: 33)” [6]Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,ومعنى «المهيمن) أي: المطلع على خفايا الأمور، وخبايا الصدور، الذي أحاط بكل شيء علما، الشاهد على الخلق بأعمالهم الرقيب عليهم فيما يصدر منهم من قول أو فعل، لا يغيب عنه من أفعالهم شيء، ولا يعزب عنه مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء.“Makna Al-Muhaimin adalah Dzat yang mengetahui secara sempurna rahasia perkara dan bisikan hati, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia adalah saksi atas seluruh amal makhluk-Nya, pengawas atas apa pun yang keluar dari mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya, bahkan sebesar dzarrah pun di bumi maupun di langit tidak akan luput dari-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaPenetapan nama “Al-Muhaimin” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Mengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaSeorang mukmin wajib mengimani bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang paling baik adalah Al-Muhaimin; dan menetapkan makna dari nama tersebut. Allah Subhanahu wa Ta‘ala merupakan saksi atas seluruh makhluk-Nya terhadap segala yang keluar dari mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari amal mereka yang tersembunyi dari-Nya. Allah memiliki kesempurnaan mutlak dalam hal ini; Dia tidak tersesat, tidak lupa, dan tidak lalai. Sebagaimana firman-Nya,وّمّا الله بٌغّافٌلُ عّمَّا تّعًمّلٍونّ“Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74) [8]Menumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaDi antara buah dari keimanan terhadap nama mulia Al-Muhaimin adalah tumbuhnya kesadaran akan pengawasan Allah yang sempurna. Karena nama ini mencakup makna sebagai saksi, pengawas, dan pengatur segala sesuatu, maka seorang hamba seyogianya merasa takut dan berharap kepada-Nya dalam segala keadaan. Sebab Dialah yang menyaksikan rahasia dan bisikan hati, baik di dunia maupun di akhirat. [9]Mendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiBarang siapa yang mengetahui bahwa Allah mengetahui dirinya, melihatnya, dan mengawasinya secara sempurna, maka hal itu akan membuahkan penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hati dari segala hal yang tidak diridai oleh Allah. Ia akan berusaha mengarahkan semua bagian dirinya hanya pada hal-hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [10]Semoga Allah Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya, memahami makna nama-nama-Nya yang mulia, dan istikamah dalam muraqabah serta ketaatan di setiap waktu dan keadaan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”***Rumdin PPIA Sragen, 13 Dzul-Qadah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] Disarikan dari Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 94.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 242.[4] Lisan al-‘Arab, 13: 437.[5] Maqāyīs al-Lughah, 6: 63.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80. Tentang perbedaan pendapat dari para ahli tafsir dalam hal ini, silakan merujuk ke Tafsir Ath-Thabari, 22: 552-554.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 187.[8] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 95.[9] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 242–243.[10] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 32.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Muhaimin”Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaMengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaMenumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaMendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiSesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dari ketiadaan, serta menundukkan bagi mereka apa yang ada di langit dan di bumi, agar mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya. Maka, kesibukan seorang hamba dalam mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah kesibukan terhadap tujuan penciptaannya. Sementara berpaling dan menyia-nyiakannya adalah bentuk kelalaian terhadap tujuan ia diciptakan. Tidaklah layak bagi seorang hamba —yang telah dikaruniai begitu banyak keutamaan dan nikmat oleh Allah— untuk menjadi orang yang jahil (bodoh) terhadap Rabb-nya dan berpaling dari mengenal-Nya Subhanahu wa Ta‘ala. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Muhaimin. Nama ini mengandung makna pengawasan, penjagaan, dan kesaksian Allah atas seluruh makhluk-Nya, serta membawa pelajaran penting bagi setiap hamba dalam membina rasa muraqabah dan keikhlasan. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya iman, ketundukan, dan ihsan dalam peribadatan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Muhaimin”Nama Al-Muhaimin disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“Al-Mu’min, Al-Muhaimin.” (QS. Al-Hasyr: 23)Allah juga menyebutkan makna nama ini dalam firman-Nya,وأنزلنا إليك الكٌتّابّ بالحقّ مصّدقْا لما بين يديه من الكتاب ومهيمناً عليه“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan sebagai penjaga terhadapnya.” (QS. Al-Ma’idah: 48) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Muhaimin” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Al-Muhaimin adalah bentuk ism fā‘il (pelaku) dari kata ( هَيْمَنَ – يُهَيمن – هَيمَنَة )  haymana – yuhaiminu – haimanatan. Secara bahasa, kata al-haymanah berarti mengawasi dan memelihara sesuatu. [3]Lebih jauh lagi, dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzur menyebutkan,وَفِي المُهَيْمِن خَمْسَةُ أَقوال: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ المُهَيْمِن المُؤْتَمَنُ، وَقَالَ الْكِسَائِيُّ المُهَيْمِنُ الشَّهِيدُ، وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ الرَّقِيبُ، يُقَالُ هَيْمَن يُهَيْمِنُ هَيْمنَة إِذَا كَانَ رَقِيبًا عَلَى الشَّيْءِ، وَقَالَ أَبو مَعْشَرٍ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ مَعْنَاهُ وقَبَّاناً عَلَيْهِ، وَقِيلَ: وَقَائِمًا عَلَى الكُتُب.“Terdapat lima pendapat ulama tentang makna al-Muhaimin,1) Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-Muhaimin adalah al-Mu’taman (yang dipercaya).2) Al-Kisā’ī mengatakan: al-Muhaimin adalah asy-Syahīd (yang menyaksikan).3) Ulama lain mengatakan: al-Muhaimin adalah ar-Raqīb (yang mengawasi), sebagaimana dalam ungkapan “haymana yuhayminu haymanah” — artinya mengawasi sesuatu.4) Abu Ma‘syar menafsirkan muhaiminan ‘alayh sebagai qabbānan ‘alayh (yang menimbang atau memutuskan atasnya).5) Ada juga yang menafsirkan al-Muhaimin sebagai qāiman ‘ala al-kutub (yang memelihara dan menjaga kitab-kitab).” [4]Ibn Fāris rahimahullah mengatakan,الْمُهَيْمِنُ، وَهُوَ الشَّاهِدُ … مِنْ بَابِ أَمِنَ، وَالْهَاءُ مُبْدَلَةٌ مِنْ هَمْزَةٍ“Al-Muhaimin bermakna saksi (asy-syahīd), berasal dari akar kata a-mi-na. Huruf ha’ di dalamnya adalah bentuk pengganti dari hamzah.” [5]Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَقَوْلُهُ: {الْمُهَيْمِنُ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ: أَيِ الشَّاهِدُ عَلَى خَلْقِهِ بِأَعْمَالِهِمْ، بِمَعْنَى: هُوَ رَقِيبٌ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِهِ: {وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [الْبُرُوجِ: 9] ، وَقَوْلُهُ {ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ} [يُونُسَ: 46] .وَقَوْلُهُ: {أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ} الْآيَةَ [الرَّعْدِ: 33] .“Makna firman-Nya {Al-Muhaimin} adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan banyak ulama lainnya, yaitu Yang menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Maknanya adalah Yang mengawasi mereka, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.‘ (QS. Al-Buruj: 9); ‘Kemudian Allah menjadi saksi atas apa yang mereka lakukan.‘ (QS. Yunus: 46); ‘Maka apakah Dia yang mengawasi setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya?‘ (QS. Ar-Ra‘d: 33)” [6]Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,ومعنى «المهيمن) أي: المطلع على خفايا الأمور، وخبايا الصدور، الذي أحاط بكل شيء علما، الشاهد على الخلق بأعمالهم الرقيب عليهم فيما يصدر منهم من قول أو فعل، لا يغيب عنه من أفعالهم شيء، ولا يعزب عنه مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء.“Makna Al-Muhaimin adalah Dzat yang mengetahui secara sempurna rahasia perkara dan bisikan hati, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia adalah saksi atas seluruh amal makhluk-Nya, pengawas atas apa pun yang keluar dari mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya, bahkan sebesar dzarrah pun di bumi maupun di langit tidak akan luput dari-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaPenetapan nama “Al-Muhaimin” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Mengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaSeorang mukmin wajib mengimani bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang paling baik adalah Al-Muhaimin; dan menetapkan makna dari nama tersebut. Allah Subhanahu wa Ta‘ala merupakan saksi atas seluruh makhluk-Nya terhadap segala yang keluar dari mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari amal mereka yang tersembunyi dari-Nya. Allah memiliki kesempurnaan mutlak dalam hal ini; Dia tidak tersesat, tidak lupa, dan tidak lalai. Sebagaimana firman-Nya,وّمّا الله بٌغّافٌلُ عّمَّا تّعًمّلٍونّ“Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74) [8]Menumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaDi antara buah dari keimanan terhadap nama mulia Al-Muhaimin adalah tumbuhnya kesadaran akan pengawasan Allah yang sempurna. Karena nama ini mencakup makna sebagai saksi, pengawas, dan pengatur segala sesuatu, maka seorang hamba seyogianya merasa takut dan berharap kepada-Nya dalam segala keadaan. Sebab Dialah yang menyaksikan rahasia dan bisikan hati, baik di dunia maupun di akhirat. [9]Mendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiBarang siapa yang mengetahui bahwa Allah mengetahui dirinya, melihatnya, dan mengawasinya secara sempurna, maka hal itu akan membuahkan penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hati dari segala hal yang tidak diridai oleh Allah. Ia akan berusaha mengarahkan semua bagian dirinya hanya pada hal-hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [10]Semoga Allah Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya, memahami makna nama-nama-Nya yang mulia, dan istikamah dalam muraqabah serta ketaatan di setiap waktu dan keadaan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”***Rumdin PPIA Sragen, 13 Dzul-Qadah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] Disarikan dari Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 94.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 242.[4] Lisan al-‘Arab, 13: 437.[5] Maqāyīs al-Lughah, 6: 63.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80. Tentang perbedaan pendapat dari para ahli tafsir dalam hal ini, silakan merujuk ke Tafsir Ath-Thabari, 22: 552-554.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 187.[8] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 95.[9] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 242–243.[10] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 32.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Muhaimin”Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaMengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaMenumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaMendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiSesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dari ketiadaan, serta menundukkan bagi mereka apa yang ada di langit dan di bumi, agar mereka mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya. Maka, kesibukan seorang hamba dalam mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah kesibukan terhadap tujuan penciptaannya. Sementara berpaling dan menyia-nyiakannya adalah bentuk kelalaian terhadap tujuan ia diciptakan. Tidaklah layak bagi seorang hamba —yang telah dikaruniai begitu banyak keutamaan dan nikmat oleh Allah— untuk menjadi orang yang jahil (bodoh) terhadap Rabb-nya dan berpaling dari mengenal-Nya Subhanahu wa Ta‘ala. [1]Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu nama Allah yang agung, yaitu Al-Muhaimin. Nama ini mengandung makna pengawasan, penjagaan, dan kesaksian Allah atas seluruh makhluk-Nya, serta membawa pelajaran penting bagi setiap hamba dalam membina rasa muraqabah dan keikhlasan. Semoga pembahasan ini menjadi sebab bertambahnya iman, ketundukan, dan ihsan dalam peribadatan kita kepada Allah Ta‘ala.Dalil nama Allah “Al-Muhaimin”Nama Al-Muhaimin disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ“Al-Mu’min, Al-Muhaimin.” (QS. Al-Hasyr: 23)Allah juga menyebutkan makna nama ini dalam firman-Nya,وأنزلنا إليك الكٌتّابّ بالحقّ مصّدقْا لما بين يديه من الكتاب ومهيمناً عليه“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan sebagai penjaga terhadapnya.” (QS. Al-Ma’idah: 48) [2]Kandungan makna nama Allah “Al-Muhaimin”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Muhaimin” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Muhaimin”Al-Muhaimin adalah bentuk ism fā‘il (pelaku) dari kata ( هَيْمَنَ – يُهَيمن – هَيمَنَة )  haymana – yuhaiminu – haimanatan. Secara bahasa, kata al-haymanah berarti mengawasi dan memelihara sesuatu. [3]Lebih jauh lagi, dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzur menyebutkan,وَفِي المُهَيْمِن خَمْسَةُ أَقوال: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ المُهَيْمِن المُؤْتَمَنُ، وَقَالَ الْكِسَائِيُّ المُهَيْمِنُ الشَّهِيدُ، وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ الرَّقِيبُ، يُقَالُ هَيْمَن يُهَيْمِنُ هَيْمنَة إِذَا كَانَ رَقِيبًا عَلَى الشَّيْءِ، وَقَالَ أَبو مَعْشَرٍ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ مَعْنَاهُ وقَبَّاناً عَلَيْهِ، وَقِيلَ: وَقَائِمًا عَلَى الكُتُب.“Terdapat lima pendapat ulama tentang makna al-Muhaimin,1) Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-Muhaimin adalah al-Mu’taman (yang dipercaya).2) Al-Kisā’ī mengatakan: al-Muhaimin adalah asy-Syahīd (yang menyaksikan).3) Ulama lain mengatakan: al-Muhaimin adalah ar-Raqīb (yang mengawasi), sebagaimana dalam ungkapan “haymana yuhayminu haymanah” — artinya mengawasi sesuatu.4) Abu Ma‘syar menafsirkan muhaiminan ‘alayh sebagai qabbānan ‘alayh (yang menimbang atau memutuskan atasnya).5) Ada juga yang menafsirkan al-Muhaimin sebagai qāiman ‘ala al-kutub (yang memelihara dan menjaga kitab-kitab).” [4]Ibn Fāris rahimahullah mengatakan,الْمُهَيْمِنُ، وَهُوَ الشَّاهِدُ … مِنْ بَابِ أَمِنَ، وَالْهَاءُ مُبْدَلَةٌ مِنْ هَمْزَةٍ“Al-Muhaimin bermakna saksi (asy-syahīd), berasal dari akar kata a-mi-na. Huruf ha’ di dalamnya adalah bentuk pengganti dari hamzah.” [5]Makna “Al-Muhaimin” dalam konteks AllahIbnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,وَقَوْلُهُ: {الْمُهَيْمِنُ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ: أَيِ الشَّاهِدُ عَلَى خَلْقِهِ بِأَعْمَالِهِمْ، بِمَعْنَى: هُوَ رَقِيبٌ عَلَيْهِمْ، كَقَوْلِهِ: {وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [الْبُرُوجِ: 9] ، وَقَوْلُهُ {ثُمَّ اللَّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ} [يُونُسَ: 46] .وَقَوْلُهُ: {أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ} الْآيَةَ [الرَّعْدِ: 33] .“Makna firman-Nya {Al-Muhaimin} adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan banyak ulama lainnya, yaitu Yang menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Maknanya adalah Yang mengawasi mereka, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.‘ (QS. Al-Buruj: 9); ‘Kemudian Allah menjadi saksi atas apa yang mereka lakukan.‘ (QS. Yunus: 46); ‘Maka apakah Dia yang mengawasi setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya?‘ (QS. Ar-Ra‘d: 33)” [6]Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah menjelaskan tentang makna nama ini dengan mengatakan,ومعنى «المهيمن) أي: المطلع على خفايا الأمور، وخبايا الصدور، الذي أحاط بكل شيء علما، الشاهد على الخلق بأعمالهم الرقيب عليهم فيما يصدر منهم من قول أو فعل، لا يغيب عنه من أفعالهم شيء، ولا يعزب عنه مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء.“Makna Al-Muhaimin adalah Dzat yang mengetahui secara sempurna rahasia perkara dan bisikan hati, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dia adalah saksi atas seluruh amal makhluk-Nya, pengawas atas apa pun yang keluar dari mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari perbuatan mereka yang tersembunyi dari-Nya, bahkan sebesar dzarrah pun di bumi maupun di langit tidak akan luput dari-Nya.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Muhaimin” bagi hambaPenetapan nama “Al-Muhaimin” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba:Mengimani nama “Al-Muhaimin” dan maknanya yang sempurnaSeorang mukmin wajib mengimani bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang paling baik adalah Al-Muhaimin; dan menetapkan makna dari nama tersebut. Allah Subhanahu wa Ta‘ala merupakan saksi atas seluruh makhluk-Nya terhadap segala yang keluar dari mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tidak ada satu pun dari amal mereka yang tersembunyi dari-Nya. Allah memiliki kesempurnaan mutlak dalam hal ini; Dia tidak tersesat, tidak lupa, dan tidak lalai. Sebagaimana firman-Nya,وّمّا الله بٌغّافٌلُ عّمَّا تّعًمّلٍونّ“Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 74) [8]Menumbuhkan rasa muraqabah serta takut dan harap kepada-NyaDi antara buah dari keimanan terhadap nama mulia Al-Muhaimin adalah tumbuhnya kesadaran akan pengawasan Allah yang sempurna. Karena nama ini mencakup makna sebagai saksi, pengawas, dan pengatur segala sesuatu, maka seorang hamba seyogianya merasa takut dan berharap kepada-Nya dalam segala keadaan. Sebab Dialah yang menyaksikan rahasia dan bisikan hati, baik di dunia maupun di akhirat. [9]Mendorong penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hatiBarang siapa yang mengetahui bahwa Allah mengetahui dirinya, melihatnya, dan mengawasinya secara sempurna, maka hal itu akan membuahkan penjagaan lisan, anggota tubuh, dan bisikan hati dari segala hal yang tidak diridai oleh Allah. Ia akan berusaha mengarahkan semua bagian dirinya hanya pada hal-hal yang dicintai dan diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [10]Semoga Allah Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya, memahami makna nama-nama-Nya yang mulia, dan istikamah dalam muraqabah serta ketaatan di setiap waktu dan keadaan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”***Rumdin PPIA Sragen, 13 Dzul-Qadah 1446Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi Utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H. Catatan kaki:[1] Disarikan dari Fiqhul Asma’il Husna, hal. 24.[2] An-Nahj al-Asmā, hal. 94.[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 242.[4] Lisan al-‘Arab, 13: 437.[5] Maqāyīs al-Lughah, 6: 63.[6] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80. Tentang perbedaan pendapat dari para ahli tafsir dalam hal ini, silakan merujuk ke Tafsir Ath-Thabari, 22: 552-554.[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 187.[8] Lihat An-Nahj al-Asma, hal. 95.[9] At-Ta‘liq al-Asnā, hal. 242–243.[10] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 32.

Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad

Surah Al-Lahab merupakan surah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah. Surah ini memiliki beberapa faedah yang bagus dan jika kita renungkan tentang turunnya surat ini, maka kita akan dapati kesimpulan bahwa Al-Quran tidak mungkin hasil dari tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Surah Al-Lahab adalah surah Makiyyah. Surah Makiyyah artinya surat yang turun sebelum Nabi Muhamad shallallahu ’alaihi wa salam hijrah dari Makkah ke Madinah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ’anhuma,أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } إِلَى آخِرِهَا“Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit dan berseru, “Wahai orang-orang!” Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul menuju beliau. Lalu beliau bertanya, “Apa pendapat kalian, jika aku mengabarkan kepada kalian bahwa musuh akan segera menyergap kalian, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab yang pedih.” Maka Abu Lahab berkata, “Apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami? Celaka kamu.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan firman-Nya, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} hingga akhir ayat.” (HR Bukhari)Dari hadis tersebut kita bisa ketahui bahwa surah ini turun untuk membalas celaan Abu Lahab terhadap Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy. Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,أبو لهب هو عم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان شديد العداوة [والأذية] للنبي صلى الله عليه وسلم، فلا فيه دين، ولا حمية للقرابة -قبحه الله- فذمه الله بهذا الذم العظيم، الذي هو خزي عليه إلى يوم القيامة فقال: { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } أي: خسرت يداه، وشقى { وَتَبَّ } فلم يربح“Abu Lahab merupakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia sangat memusuhi dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada dalam dirinya agama dan juga tidak ada rasa hormat terhadap hubungan kekerabatan -semoga Allah memburukkannnya-. Maka Allah pun mencelanya dengan celaan yang besar, yang merupakan kehinaan baginya hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” Yaitu, rugi dan celaka kedua tangannya, dan ia benar-benar tidak akan beruntung.”Abu Lahab merupakan salah satu orang yang memusuhi dakwah Islam walaupun ia masih merupakan kerabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi sangatlah keras walaupun ia merupakan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking kerasnya permusuhan tersebut, hingga akhirnya diabadikan dalam Al-Quran.Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan hadis yang mengisahkan tentang permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,قال الإمام أحمد : حدثنا إبراهيم بن أبي العباس ، حدثنا عبد الرحمن بن أبي الزناد ، عن أبيه قال : أخبرني رجل – يقال له : ربيعة بن عباد ، من بني الديل ، وكان جاهليا فأسلم – قال : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم في الجاهلية في سوق ذي المجاز وهو يقول : ” يا أيها الناس ، قولوا : لا إله إلا الله تفلحوا ” والناس مجتمعون عليه ، ووراءه رجل وضيء الوجه أحول ذو غديرتين ، يقول : إنه صابئ كاذب . يتبعه حيث ذهب ، فسألت عنه فقالوا : هذا عمه أبو لهبImam Ahmad berkata, telah menceritakan pada kami Ibrahim bin Abi Al-Abbas, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abi Zinad, dari ayahnya, dia berkata, “Telah mengabarkan padaku seorang laki-laki yang bernama Bini Ad-Diil -dulunya ia seorang Jahiliyah, lalu masuk Islam-. Dia berkata, ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Jahiliyah di pasar Dzu al-Majaz berkata, “Wahai manusia, katakanlah Laa ilaaha illallaha (tiada tuhan yang layak disembah selain Allah), niscaya kalian akan beruntung.”Manusia pun berkumpul mengerumuninya. Di belakang beliau ada seorang dengan wajah yang tampan, bermata juling, dengan rambut berkuncir dua. Ia berkata, “Ia adalah orang yang menyimpang dan seorang pendusta.” Ia mengikuti Nabi kemanapun beliau berada. Maka aku pun bertanya tentang orang tersebut, lalu mereka menjawab, “Itu adalah pamannya, Abu Lahab.”Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai RuqyahItulah Abu Lahab, salah seorang paman Nabi yang malah memusuhi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Selain itu, istri Abu Lahab pun merupakan seorang yang mendukung suaminya dalam keburukan, Allah Ta’ala berfirman,وَّامْرَاَتُهٗۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ“Dan istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).” (QS. Al-Lahab: 4)Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,وكانت أيضًا شديدة الأذية لرسول الله صلى الله عليه وسلم، تتعاون هي وزوجها على الإثم والعدوان، وتلقي الشر، وتسعى غاية ما تقدر عليه في أذية الرسول صلى الله عليه وسلم“Dan istrinya juga merupakan orang yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dan suaminya saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan, juga menyebar keburukan. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Lalu, apa hubungannya turunnya ayat ini dengan bukti bahwa tidak mungkin Al-Quran merupakan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam? Jika kita perhatikan, turunnya surah ini ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan aktif memusuhi Nabi Muhammad. Padahal jika kita perhatikan kembali, banyak di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Islam, mereka akhirnya masuk Islam. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tokoh penting dalam Islam.Di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Rasulullah lalu masuk Islam adalah Umar bin Khattab. Awalnya, Umar memusuhi Rasulullah, akan tetapi setelahnya membela Rasulullah dan bahkan menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ada juga Khalid bin Walid yang merupakan otak di balik serangan balik kaum Quraisy di perang Uhud yang memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Setelah masuk Islam, beliau menjadi komandan pasukan Islam yang tak terkalahkan. Ada juga Abu Sufyan, sang komandan perang Uhud dan perang Khandaq; yang setelah terjadi Fathu Makkah, beliau pun masuk Islam.Lalu, atas dasar apa Nabi Muhammad menyebutkan nama Abu Lahab sebagai orang yang akan masuk neraka? Tentu karena Al-Quran merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karangan atau tulisan dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Buktinya, Abu Lahab tidaklah masuk Islam dan mati dalam kekafiran.Jika kita renungkan kembali mengenai turunnya surah Al-Lahab ini, aslinya mudah bagi Abu Lahab untuk membuktikan salahnya Islam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan pura-pura menerima kebenaran agama Islam setelah turunnya ayat ini. Ia bisa menjadi seorang munafik yang berpura-pura masuk Islam ketika mendengar kabar turunnya ayat ini, sehingga memasukkan keraguan ke dalam hati kaum muslimin.Akan tetapi, Al-Quran diturunkan oleh Zat yang Maha mengetahui,اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 115)Allah tahu Abu Lahab tidak akan berbuat demikian karena satu dan lain hal, dan benarlah apa yang dikatakan Allah dan surah Al-Lahab. Abu Lahab dan istrinya, keduanya mati dalam keadaan kafir.Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,ففي هذه السورة، آية باهرة من آيات الله، فإن الله أنزل هذه السورة، وأبو لهب وامرأته لم يهلكا، وأخبر أنهما سيعذبان في النار ولا بد، ومن لازم ذلك أنهما لا يسلمان، فوقع كما أخبر عالم الغيب والشهادة“Dalam surah ini, ada satu tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menurunkan surah ini dalam keadaan Abu Lahab dan istrinya belum binasa. Allah mengabarkan bahwa keduanya akan diazab di dalam neraka dan itu pasti terjadi. Konsekuensi dari turunnya ayat ini bahwa keduanya pasti tidak akan masuk Islam. Realitanya, itulah yang terjadi sebagaimana yang dikabarkan Allah Yang Maha mengetahui segala hal yang gaib dan yang nyata.”Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.https://www.islamweb.net

Mengenal Surah Al-Lahab dan Bukti Al-Quran bukan Tulisan Nabi Muhammad

Surah Al-Lahab merupakan surah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah. Surah ini memiliki beberapa faedah yang bagus dan jika kita renungkan tentang turunnya surat ini, maka kita akan dapati kesimpulan bahwa Al-Quran tidak mungkin hasil dari tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Surah Al-Lahab adalah surah Makiyyah. Surah Makiyyah artinya surat yang turun sebelum Nabi Muhamad shallallahu ’alaihi wa salam hijrah dari Makkah ke Madinah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ’anhuma,أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } إِلَى آخِرِهَا“Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit dan berseru, “Wahai orang-orang!” Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul menuju beliau. Lalu beliau bertanya, “Apa pendapat kalian, jika aku mengabarkan kepada kalian bahwa musuh akan segera menyergap kalian, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab yang pedih.” Maka Abu Lahab berkata, “Apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami? Celaka kamu.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan firman-Nya, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} hingga akhir ayat.” (HR Bukhari)Dari hadis tersebut kita bisa ketahui bahwa surah ini turun untuk membalas celaan Abu Lahab terhadap Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy. Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,أبو لهب هو عم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان شديد العداوة [والأذية] للنبي صلى الله عليه وسلم، فلا فيه دين، ولا حمية للقرابة -قبحه الله- فذمه الله بهذا الذم العظيم، الذي هو خزي عليه إلى يوم القيامة فقال: { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } أي: خسرت يداه، وشقى { وَتَبَّ } فلم يربح“Abu Lahab merupakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia sangat memusuhi dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada dalam dirinya agama dan juga tidak ada rasa hormat terhadap hubungan kekerabatan -semoga Allah memburukkannnya-. Maka Allah pun mencelanya dengan celaan yang besar, yang merupakan kehinaan baginya hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” Yaitu, rugi dan celaka kedua tangannya, dan ia benar-benar tidak akan beruntung.”Abu Lahab merupakan salah satu orang yang memusuhi dakwah Islam walaupun ia masih merupakan kerabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi sangatlah keras walaupun ia merupakan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking kerasnya permusuhan tersebut, hingga akhirnya diabadikan dalam Al-Quran.Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan hadis yang mengisahkan tentang permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,قال الإمام أحمد : حدثنا إبراهيم بن أبي العباس ، حدثنا عبد الرحمن بن أبي الزناد ، عن أبيه قال : أخبرني رجل – يقال له : ربيعة بن عباد ، من بني الديل ، وكان جاهليا فأسلم – قال : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم في الجاهلية في سوق ذي المجاز وهو يقول : ” يا أيها الناس ، قولوا : لا إله إلا الله تفلحوا ” والناس مجتمعون عليه ، ووراءه رجل وضيء الوجه أحول ذو غديرتين ، يقول : إنه صابئ كاذب . يتبعه حيث ذهب ، فسألت عنه فقالوا : هذا عمه أبو لهبImam Ahmad berkata, telah menceritakan pada kami Ibrahim bin Abi Al-Abbas, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abi Zinad, dari ayahnya, dia berkata, “Telah mengabarkan padaku seorang laki-laki yang bernama Bini Ad-Diil -dulunya ia seorang Jahiliyah, lalu masuk Islam-. Dia berkata, ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Jahiliyah di pasar Dzu al-Majaz berkata, “Wahai manusia, katakanlah Laa ilaaha illallaha (tiada tuhan yang layak disembah selain Allah), niscaya kalian akan beruntung.”Manusia pun berkumpul mengerumuninya. Di belakang beliau ada seorang dengan wajah yang tampan, bermata juling, dengan rambut berkuncir dua. Ia berkata, “Ia adalah orang yang menyimpang dan seorang pendusta.” Ia mengikuti Nabi kemanapun beliau berada. Maka aku pun bertanya tentang orang tersebut, lalu mereka menjawab, “Itu adalah pamannya, Abu Lahab.”Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai RuqyahItulah Abu Lahab, salah seorang paman Nabi yang malah memusuhi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Selain itu, istri Abu Lahab pun merupakan seorang yang mendukung suaminya dalam keburukan, Allah Ta’ala berfirman,وَّامْرَاَتُهٗۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ“Dan istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).” (QS. Al-Lahab: 4)Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,وكانت أيضًا شديدة الأذية لرسول الله صلى الله عليه وسلم، تتعاون هي وزوجها على الإثم والعدوان، وتلقي الشر، وتسعى غاية ما تقدر عليه في أذية الرسول صلى الله عليه وسلم“Dan istrinya juga merupakan orang yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dan suaminya saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan, juga menyebar keburukan. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Lalu, apa hubungannya turunnya ayat ini dengan bukti bahwa tidak mungkin Al-Quran merupakan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam? Jika kita perhatikan, turunnya surah ini ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan aktif memusuhi Nabi Muhammad. Padahal jika kita perhatikan kembali, banyak di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Islam, mereka akhirnya masuk Islam. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tokoh penting dalam Islam.Di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Rasulullah lalu masuk Islam adalah Umar bin Khattab. Awalnya, Umar memusuhi Rasulullah, akan tetapi setelahnya membela Rasulullah dan bahkan menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ada juga Khalid bin Walid yang merupakan otak di balik serangan balik kaum Quraisy di perang Uhud yang memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Setelah masuk Islam, beliau menjadi komandan pasukan Islam yang tak terkalahkan. Ada juga Abu Sufyan, sang komandan perang Uhud dan perang Khandaq; yang setelah terjadi Fathu Makkah, beliau pun masuk Islam.Lalu, atas dasar apa Nabi Muhammad menyebutkan nama Abu Lahab sebagai orang yang akan masuk neraka? Tentu karena Al-Quran merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karangan atau tulisan dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Buktinya, Abu Lahab tidaklah masuk Islam dan mati dalam kekafiran.Jika kita renungkan kembali mengenai turunnya surah Al-Lahab ini, aslinya mudah bagi Abu Lahab untuk membuktikan salahnya Islam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan pura-pura menerima kebenaran agama Islam setelah turunnya ayat ini. Ia bisa menjadi seorang munafik yang berpura-pura masuk Islam ketika mendengar kabar turunnya ayat ini, sehingga memasukkan keraguan ke dalam hati kaum muslimin.Akan tetapi, Al-Quran diturunkan oleh Zat yang Maha mengetahui,اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 115)Allah tahu Abu Lahab tidak akan berbuat demikian karena satu dan lain hal, dan benarlah apa yang dikatakan Allah dan surah Al-Lahab. Abu Lahab dan istrinya, keduanya mati dalam keadaan kafir.Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,ففي هذه السورة، آية باهرة من آيات الله، فإن الله أنزل هذه السورة، وأبو لهب وامرأته لم يهلكا، وأخبر أنهما سيعذبان في النار ولا بد، ومن لازم ذلك أنهما لا يسلمان، فوقع كما أخبر عالم الغيب والشهادة“Dalam surah ini, ada satu tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menurunkan surah ini dalam keadaan Abu Lahab dan istrinya belum binasa. Allah mengabarkan bahwa keduanya akan diazab di dalam neraka dan itu pasti terjadi. Konsekuensi dari turunnya ayat ini bahwa keduanya pasti tidak akan masuk Islam. Realitanya, itulah yang terjadi sebagaimana yang dikabarkan Allah Yang Maha mengetahui segala hal yang gaib dan yang nyata.”Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.https://www.islamweb.net
Surah Al-Lahab merupakan surah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah. Surah ini memiliki beberapa faedah yang bagus dan jika kita renungkan tentang turunnya surat ini, maka kita akan dapati kesimpulan bahwa Al-Quran tidak mungkin hasil dari tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Surah Al-Lahab adalah surah Makiyyah. Surah Makiyyah artinya surat yang turun sebelum Nabi Muhamad shallallahu ’alaihi wa salam hijrah dari Makkah ke Madinah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ’anhuma,أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } إِلَى آخِرِهَا“Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit dan berseru, “Wahai orang-orang!” Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul menuju beliau. Lalu beliau bertanya, “Apa pendapat kalian, jika aku mengabarkan kepada kalian bahwa musuh akan segera menyergap kalian, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab yang pedih.” Maka Abu Lahab berkata, “Apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami? Celaka kamu.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan firman-Nya, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} hingga akhir ayat.” (HR Bukhari)Dari hadis tersebut kita bisa ketahui bahwa surah ini turun untuk membalas celaan Abu Lahab terhadap Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy. Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,أبو لهب هو عم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان شديد العداوة [والأذية] للنبي صلى الله عليه وسلم، فلا فيه دين، ولا حمية للقرابة -قبحه الله- فذمه الله بهذا الذم العظيم، الذي هو خزي عليه إلى يوم القيامة فقال: { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } أي: خسرت يداه، وشقى { وَتَبَّ } فلم يربح“Abu Lahab merupakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia sangat memusuhi dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada dalam dirinya agama dan juga tidak ada rasa hormat terhadap hubungan kekerabatan -semoga Allah memburukkannnya-. Maka Allah pun mencelanya dengan celaan yang besar, yang merupakan kehinaan baginya hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” Yaitu, rugi dan celaka kedua tangannya, dan ia benar-benar tidak akan beruntung.”Abu Lahab merupakan salah satu orang yang memusuhi dakwah Islam walaupun ia masih merupakan kerabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi sangatlah keras walaupun ia merupakan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking kerasnya permusuhan tersebut, hingga akhirnya diabadikan dalam Al-Quran.Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan hadis yang mengisahkan tentang permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,قال الإمام أحمد : حدثنا إبراهيم بن أبي العباس ، حدثنا عبد الرحمن بن أبي الزناد ، عن أبيه قال : أخبرني رجل – يقال له : ربيعة بن عباد ، من بني الديل ، وكان جاهليا فأسلم – قال : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم في الجاهلية في سوق ذي المجاز وهو يقول : ” يا أيها الناس ، قولوا : لا إله إلا الله تفلحوا ” والناس مجتمعون عليه ، ووراءه رجل وضيء الوجه أحول ذو غديرتين ، يقول : إنه صابئ كاذب . يتبعه حيث ذهب ، فسألت عنه فقالوا : هذا عمه أبو لهبImam Ahmad berkata, telah menceritakan pada kami Ibrahim bin Abi Al-Abbas, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abi Zinad, dari ayahnya, dia berkata, “Telah mengabarkan padaku seorang laki-laki yang bernama Bini Ad-Diil -dulunya ia seorang Jahiliyah, lalu masuk Islam-. Dia berkata, ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Jahiliyah di pasar Dzu al-Majaz berkata, “Wahai manusia, katakanlah Laa ilaaha illallaha (tiada tuhan yang layak disembah selain Allah), niscaya kalian akan beruntung.”Manusia pun berkumpul mengerumuninya. Di belakang beliau ada seorang dengan wajah yang tampan, bermata juling, dengan rambut berkuncir dua. Ia berkata, “Ia adalah orang yang menyimpang dan seorang pendusta.” Ia mengikuti Nabi kemanapun beliau berada. Maka aku pun bertanya tentang orang tersebut, lalu mereka menjawab, “Itu adalah pamannya, Abu Lahab.”Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai RuqyahItulah Abu Lahab, salah seorang paman Nabi yang malah memusuhi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Selain itu, istri Abu Lahab pun merupakan seorang yang mendukung suaminya dalam keburukan, Allah Ta’ala berfirman,وَّامْرَاَتُهٗۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ“Dan istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).” (QS. Al-Lahab: 4)Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,وكانت أيضًا شديدة الأذية لرسول الله صلى الله عليه وسلم، تتعاون هي وزوجها على الإثم والعدوان، وتلقي الشر، وتسعى غاية ما تقدر عليه في أذية الرسول صلى الله عليه وسلم“Dan istrinya juga merupakan orang yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dan suaminya saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan, juga menyebar keburukan. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Lalu, apa hubungannya turunnya ayat ini dengan bukti bahwa tidak mungkin Al-Quran merupakan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam? Jika kita perhatikan, turunnya surah ini ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan aktif memusuhi Nabi Muhammad. Padahal jika kita perhatikan kembali, banyak di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Islam, mereka akhirnya masuk Islam. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tokoh penting dalam Islam.Di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Rasulullah lalu masuk Islam adalah Umar bin Khattab. Awalnya, Umar memusuhi Rasulullah, akan tetapi setelahnya membela Rasulullah dan bahkan menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ada juga Khalid bin Walid yang merupakan otak di balik serangan balik kaum Quraisy di perang Uhud yang memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Setelah masuk Islam, beliau menjadi komandan pasukan Islam yang tak terkalahkan. Ada juga Abu Sufyan, sang komandan perang Uhud dan perang Khandaq; yang setelah terjadi Fathu Makkah, beliau pun masuk Islam.Lalu, atas dasar apa Nabi Muhammad menyebutkan nama Abu Lahab sebagai orang yang akan masuk neraka? Tentu karena Al-Quran merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karangan atau tulisan dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Buktinya, Abu Lahab tidaklah masuk Islam dan mati dalam kekafiran.Jika kita renungkan kembali mengenai turunnya surah Al-Lahab ini, aslinya mudah bagi Abu Lahab untuk membuktikan salahnya Islam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan pura-pura menerima kebenaran agama Islam setelah turunnya ayat ini. Ia bisa menjadi seorang munafik yang berpura-pura masuk Islam ketika mendengar kabar turunnya ayat ini, sehingga memasukkan keraguan ke dalam hati kaum muslimin.Akan tetapi, Al-Quran diturunkan oleh Zat yang Maha mengetahui,اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 115)Allah tahu Abu Lahab tidak akan berbuat demikian karena satu dan lain hal, dan benarlah apa yang dikatakan Allah dan surah Al-Lahab. Abu Lahab dan istrinya, keduanya mati dalam keadaan kafir.Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,ففي هذه السورة، آية باهرة من آيات الله، فإن الله أنزل هذه السورة، وأبو لهب وامرأته لم يهلكا، وأخبر أنهما سيعذبان في النار ولا بد، ومن لازم ذلك أنهما لا يسلمان، فوقع كما أخبر عالم الغيب والشهادة“Dalam surah ini, ada satu tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menurunkan surah ini dalam keadaan Abu Lahab dan istrinya belum binasa. Allah mengabarkan bahwa keduanya akan diazab di dalam neraka dan itu pasti terjadi. Konsekuensi dari turunnya ayat ini bahwa keduanya pasti tidak akan masuk Islam. Realitanya, itulah yang terjadi sebagaimana yang dikabarkan Allah Yang Maha mengetahui segala hal yang gaib dan yang nyata.”Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.https://www.islamweb.net


Surah Al-Lahab merupakan surah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan sebelum Nabi Muhammad hijrah. Surah ini memiliki beberapa faedah yang bagus dan jika kita renungkan tentang turunnya surat ini, maka kita akan dapati kesimpulan bahwa Al-Quran tidak mungkin hasil dari tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.Surah Al-Lahab adalah surah Makiyyah. Surah Makiyyah artinya surat yang turun sebelum Nabi Muhamad shallallahu ’alaihi wa salam hijrah dari Makkah ke Madinah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ’anhuma,أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } إِلَى آخِرِهَا“Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit dan berseru, “Wahai orang-orang!” Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul menuju beliau. Lalu beliau bertanya, “Apa pendapat kalian, jika aku mengabarkan kepada kalian bahwa musuh akan segera menyergap kalian, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab yang pedih.” Maka Abu Lahab berkata, “Apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami? Celaka kamu.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan firman-Nya, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} hingga akhir ayat.” (HR Bukhari)Dari hadis tersebut kita bisa ketahui bahwa surah ini turun untuk membalas celaan Abu Lahab terhadap Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy. Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,أبو لهب هو عم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان شديد العداوة [والأذية] للنبي صلى الله عليه وسلم، فلا فيه دين، ولا حمية للقرابة -قبحه الله- فذمه الله بهذا الذم العظيم، الذي هو خزي عليه إلى يوم القيامة فقال: { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ } أي: خسرت يداه، وشقى { وَتَبَّ } فلم يربح“Abu Lahab merupakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia sangat memusuhi dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada dalam dirinya agama dan juga tidak ada rasa hormat terhadap hubungan kekerabatan -semoga Allah memburukkannnya-. Maka Allah pun mencelanya dengan celaan yang besar, yang merupakan kehinaan baginya hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, {TABBAT YADAA ABII LAHAB} yang artinya, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” Yaitu, rugi dan celaka kedua tangannya, dan ia benar-benar tidak akan beruntung.”Abu Lahab merupakan salah satu orang yang memusuhi dakwah Islam walaupun ia masih merupakan kerabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi sangatlah keras walaupun ia merupakan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saking kerasnya permusuhan tersebut, hingga akhirnya diabadikan dalam Al-Quran.Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan hadis yang mengisahkan tentang permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,قال الإمام أحمد : حدثنا إبراهيم بن أبي العباس ، حدثنا عبد الرحمن بن أبي الزناد ، عن أبيه قال : أخبرني رجل – يقال له : ربيعة بن عباد ، من بني الديل ، وكان جاهليا فأسلم – قال : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم في الجاهلية في سوق ذي المجاز وهو يقول : ” يا أيها الناس ، قولوا : لا إله إلا الله تفلحوا ” والناس مجتمعون عليه ، ووراءه رجل وضيء الوجه أحول ذو غديرتين ، يقول : إنه صابئ كاذب . يتبعه حيث ذهب ، فسألت عنه فقالوا : هذا عمه أبو لهبImam Ahmad berkata, telah menceritakan pada kami Ibrahim bin Abi Al-Abbas, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abi Zinad, dari ayahnya, dia berkata, “Telah mengabarkan padaku seorang laki-laki yang bernama Bini Ad-Diil -dulunya ia seorang Jahiliyah, lalu masuk Islam-. Dia berkata, ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Jahiliyah di pasar Dzu al-Majaz berkata, “Wahai manusia, katakanlah Laa ilaaha illallaha (tiada tuhan yang layak disembah selain Allah), niscaya kalian akan beruntung.”Manusia pun berkumpul mengerumuninya. Di belakang beliau ada seorang dengan wajah yang tampan, bermata juling, dengan rambut berkuncir dua. Ia berkata, “Ia adalah orang yang menyimpang dan seorang pendusta.” Ia mengikuti Nabi kemanapun beliau berada. Maka aku pun bertanya tentang orang tersebut, lalu mereka menjawab, “Itu adalah pamannya, Abu Lahab.”Baca juga: Surah Al-Fatihah sebagai RuqyahItulah Abu Lahab, salah seorang paman Nabi yang malah memusuhi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Selain itu, istri Abu Lahab pun merupakan seorang yang mendukung suaminya dalam keburukan, Allah Ta’ala berfirman,وَّامْرَاَتُهٗۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ“Dan istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).” (QS. Al-Lahab: 4)Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,وكانت أيضًا شديدة الأذية لرسول الله صلى الله عليه وسلم، تتعاون هي وزوجها على الإثم والعدوان، وتلقي الشر، وتسعى غاية ما تقدر عليه في أذية الرسول صلى الله عليه وسلم“Dan istrinya juga merupakan orang yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dan suaminya saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan, juga menyebar keburukan. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Lalu, apa hubungannya turunnya ayat ini dengan bukti bahwa tidak mungkin Al-Quran merupakan tulisan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam? Jika kita perhatikan, turunnya surah ini ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan aktif memusuhi Nabi Muhammad. Padahal jika kita perhatikan kembali, banyak di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Islam, mereka akhirnya masuk Islam. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tokoh penting dalam Islam.Di antara orang-orang Quraisy yang awalnya memusuhi Rasulullah lalu masuk Islam adalah Umar bin Khattab. Awalnya, Umar memusuhi Rasulullah, akan tetapi setelahnya membela Rasulullah dan bahkan menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ada juga Khalid bin Walid yang merupakan otak di balik serangan balik kaum Quraisy di perang Uhud yang memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Setelah masuk Islam, beliau menjadi komandan pasukan Islam yang tak terkalahkan. Ada juga Abu Sufyan, sang komandan perang Uhud dan perang Khandaq; yang setelah terjadi Fathu Makkah, beliau pun masuk Islam.Lalu, atas dasar apa Nabi Muhammad menyebutkan nama Abu Lahab sebagai orang yang akan masuk neraka? Tentu karena Al-Quran merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karangan atau tulisan dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Buktinya, Abu Lahab tidaklah masuk Islam dan mati dalam kekafiran.Jika kita renungkan kembali mengenai turunnya surah Al-Lahab ini, aslinya mudah bagi Abu Lahab untuk membuktikan salahnya Islam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan pura-pura menerima kebenaran agama Islam setelah turunnya ayat ini. Ia bisa menjadi seorang munafik yang berpura-pura masuk Islam ketika mendengar kabar turunnya ayat ini, sehingga memasukkan keraguan ke dalam hati kaum muslimin.Akan tetapi, Al-Quran diturunkan oleh Zat yang Maha mengetahui,اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 115)Allah tahu Abu Lahab tidak akan berbuat demikian karena satu dan lain hal, dan benarlah apa yang dikatakan Allah dan surah Al-Lahab. Abu Lahab dan istrinya, keduanya mati dalam keadaan kafir.Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya,ففي هذه السورة، آية باهرة من آيات الله، فإن الله أنزل هذه السورة، وأبو لهب وامرأته لم يهلكا، وأخبر أنهما سيعذبان في النار ولا بد، ومن لازم ذلك أنهما لا يسلمان، فوقع كما أخبر عالم الغيب والشهادة“Dalam surah ini, ada satu tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menurunkan surah ini dalam keadaan Abu Lahab dan istrinya belum binasa. Allah mengabarkan bahwa keduanya akan diazab di dalam neraka dan itu pasti terjadi. Konsekuensi dari turunnya ayat ini bahwa keduanya pasti tidak akan masuk Islam. Realitanya, itulah yang terjadi sebagaimana yang dikabarkan Allah Yang Maha mengetahui segala hal yang gaib dan yang nyata.”Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.https://www.islamweb.net

Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan

حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan السؤال عندنا في الجزائر البرامج التي تستعمل في جهاز الكمبيوتر نشتريها من الباعة ، ونعلم أن هذه النسخ التي نشتريها ليست أصلية ، ونعلم أن بيعها أو شراءها غير جائز ؛ لأنها محفوظة الحقوق ، وللعلم لا تصلنا النسخ الأصلية حتى نشتريها ، وغير متوفرة ، فهل عدم توفرها يجيز لنا شراء النسخ غير الأصلية ؟ Pertanyaan: Di Aljazair, kami membeli program yang dipakai di komputer dari para penjual. Kami tahu bahwa salinan yang kami beli itu bukan asli, dan kami tahu bahwa memperjual belikannya tidak boleh, karena hak ciptanya dilindungi. Perlu diketahui bahwa salinan aslinya tidak sampai kepada kami dan tidak tersedia sehingga bisa kami beli. Apakah ketidaktersediaannya memungkinkan kita membeli salinan yang tidak asli (bajakan)? الجواب الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:أولاً : هذه المسألة هي جزء من مسألة كبيرة تسمى بـ ” الملكية الفكرية ” ، وهي من المسائل التي طال الحديث حولها شرعيّاً ، بل وحتى دوليّاً ؛ نظراً للأهمية التي تترتب عليها ، فهي تشمل الملكية الصناعية التي تحفظ حقوق براءات الاختراع والاكتشافات والأسماء الصناعية ، كما تشمل الملكية الأدبية والفنية التي تشمل حقوق التأليف والتصنيف . والحقيقة أن مثل هذه المسائل النوازل تحتاج إلى دراسة شاملة لجميع الجوانب المتعلقة بها ، سواء كانت تشريعية أو تأصيلية أو اقتصادية أو غير ذلك ، فالأمر تتجاذبه أطراف مختلفة مؤثرة في الحكم ، فكان لا بد من الوقوف على هذه المؤثرات Jawaban: Segala puji bagi Allah, dan semoga selawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah. Pertama, masalah ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yang disebut dengan “kekayaan intelektual”, yang merupakan salah satu masalah yang telah dibahas panjang lebar dalam perspektif syariat, bahkan di tingkat internasional karena adanya urgensi dalam hal tersebut. Kekayaan intelektual meliputi hak kekayaan intelektual industri, yang melindungi hak paten, penemuan, dan merk industri, serta hak kekayaan intelektual sastra dan seni, yang meliputi hak karya dan komposisi. Sebenarnya, persoalan kontemporer seperti ini memerlukan kajian yang integral dan komprehensif yang meliputi semua aspek yang terkait dengannya, baik aspek syariat, dasar hukum, ekonomi, maupun yang lainnya, karena persoalan ini berkaitan dengan berbagai sisi yang berpengaruh dalam menentukan hukum, sehingga harus memperhatikan semua sisi-sisi tersebut. ونحن ننقل هنا فتاوى بعض الهيئات الشرعية المتخصصة في بحث هذه الأمور النوازل 1. قرار المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة ” الحمد لله وحده ، والصلاة والسلام على من لا نبيَّ بعده ، سيدنا ونبينا محمد صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم ، أمَّا بعد فإنَّ مجلس المجمع الفقهي الإسلامي في دورته التاسعة ، المنعقدة بمبنى ” رابطة العالم الإسلامي ” في مكة المكرمة في الفترة من يوم السبت 12 رجب 1406هـ إلى يوم السبت 19 رجب 1406هـ ، قد نظر في موضوع حقوق التأليف لمؤلفي الكتب والبحوث والرسائل العلمية : هل هي حقوق ثابتة مملوكة لأصحابها ، وهل يجوز شرعاً الاعتياض عنها ، والتعاقد مع الناشرين عليها ، وهل يجوز لأحدٍ غير المؤلف أن ينشر كتبه وبحوثه ويبيعها دون إذنه ، على أنَّها مباحة لكلِّ أحدٍ ، أو لا يجوز ؟ وعرض على المجلس التقارير والدراسات التي هيأها في هذا الشأن بعض أعضاء المجلس ، وناقش المجلس أيضاً رأي بعض الباحثين المعاصرين ، من أنَّ المؤلِّف ليس له حقٌّ مالي مشروع فيما يؤلِّفه أو ينشره من كتب علمية ، بحجَّة أنَّ العلم لا يجوز شرعاً حجره عن الناس ، بل يجب على العلماء بذله ، ومن كتم علماً ألْجَمَهُ الله تعالى يوم القيامة بلجام من نارٍ ، فلكلِّ من وصل إلى يده بطريق مشروع نسخة من كتابٍ لأحد المؤلفين ، أن ينسخه كتابةً ، وأن ينشره ويتاجر بتمويل نشره ، وبيع نسخه كما يشاء ، وليس للمؤلف حقُّ منعه . ونظر المجلس في الرأي المقابل ، وما نشر فيه عن حقوق الابتكار ، وما يسمى الملكية الأدبية والملكية الصناعية ، من أنَّ كل مؤلِّف لكتاب أو بحث أو عمل فنيٍّ أو مخترعٍ لآلة نافعة له الحق وحده في استثمار مؤلَّفه أو اختراعه ، نشراً وإنتاجاً وبيعاً ، وأن يتنازل عنه لمن شاء بعوض أو غيره ، وبالشروط التي يوافق عليها ، وليس لأحدٍ أن ينشر الكتاب المؤلَّف أو البحث المكتوب بدون إذن صاحبه ، ولا أن يُقَلِّد الاختراع ويتاجر به دون رضى مخترعه وانتهى المجلس بعد المناقشة المستفيضة إلى القرار التالي Kami kutipkan di sini beberapa fatwa lembaga agama yang berspesialisasi di bidang pembahasan masalah kontemporer: 1. Pernyataan Akademi Fikih Islam di bawah Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah: Segala puji hanya milik Allah semata, selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada orang yang tiada lagi Nabi setelahnya, junjungan dan Nabi kami, Muhammad shallallāhu ʿalaihi wa sallam. Adapun berikutnya, bahwa Dewan Akademi Fikih Islam dalam sidangnya yang kesembilan yang diselenggarakan di Gedung Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah, yang dimulai hari pada Sabtu, 12 Rajab 1406 H, sampai dengan hari Sabtu, 19 Rajab 1406 H, telah membahas masalah hak cipta bagi para pengarang buku, hasil penelitian, dan karya ilmiah. Apakah hak-hak tersebut sah dan dimiliki oleh para pengarang dan apakah dibolehkan secara syariat untuk mendapatkan bayaran darinya serta membuat akad dengan penerbit? Apakah dibolehkan bagi siapa pun selain pengarang untuk menerbitkan buku-buku dan hasil penelitiannya lalu memperjualbelikannya tanpa seizinnya atas dasar bahwa hal itu boleh (dimanfaatkan) oleh siapa saja ataukah tidak boleh? Dipresentasikan kepada dewan majelis pembahasan-pembahasan dan kajian-kajian tentang masalah-masalah ini yang telah disiapkan oleh sebagian anggota dewan majelis. Peserta majelis juga telah mendiskusikannya pandangan sebagian peneliti kontemporer yang menyatakan bahwa pengarang tidak memiliki hak finansial yang sah secara syariat atas buku-buku ilmiah yang telah ditulis atau disebarkannya, dengan hujah bahwa menurut syariat, ilmu tidak boleh dibatasi aksesnya kepada manusia, bahkan orang yang berilmu harus menyebarluaskannya, dan pada hari kiamat Allah akan memasang kekang dari api neraka bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Jadi, bagi siapa saja yang memperoleh salinan buku dari salah seorang pengarang dengan cara yang dibenarkan syariat, atau menyalinnya dengan menulisnya, menerbitkannya, memperjualbelikannya karena membiayai penerbitannya, dan menjual sekehendaknya, maka bagi pengarang tidak berhak untuk melarangnya.  Dewan majelis juga mempelajari pandangan yang berlawanan dan pembahasan tentang hak paten serta perkara yang diistilahkan dengan kepemilikan sastra dan kepemilikan industri, bahwa setiap penulis buku, penelitian, karya seni, atau penemuan alat yang berguna memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan keuntungan finansial dari karangan atau penemuannya, baik dari sisi penerbitannya, pembuatannya, atau penjualannya, dan bisa memberikan hak tersebut kepada siapa pun yang dikehendakinya dengan kompensasi atau yang lain sebagainya dan dengan syarat yang telah disepakati, dan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menerbitkan buku, karangan, atau penelitian yang ditulis tanpa persetujuan penulis, maupun meniru suatu penemuan lalu memperjualbelikannya tanpa persetujuan penemunya. Setelah diskusi yang menyeluruh, dewan mencapai kesimpulan sebagai berikut: أولاً : إنَّ الكتب والبحوث قبل ابتكار طرق النشر بالمطابع التي تخرج منه الآلاف المؤلَّفة من النسخ ، حين لم يكن في الماضي وسيلة لنشر الكتاب إلاَّ الاستنساخ باليد ، وقد يقضي الناسخ سنوات في استنساخ كتابٍ كبير ليخرج منه نسخة واحدة ، كان الناسخ إذ ذاك يخدم العالم المؤلِّف حينما ينسخ بقلمه نسخة أو عدَّة نسخ لولاها لبقي الكتاب على نسخة المؤلِّف الأصلية معرَّضاً للضياع الأبدي إذا تلفت النسخة الأصلية ، فلم يكن نسخ الكتاب عدواناً على المؤلِّف ، واستثماراً من الناسخ لجهود غيره وعلمه ، بل بالعكس ، كان خدمة له ، وشهرة لعلمه ، وجهوده Bahwa buku-buku dan penelitian, sebelum ditemukannya metode penyebaran dengan percetakan modern yang dapat menghasilkan ribuan eksemplar salinan, ketika sebelumnya belum ada cara lain untuk menyebarkan buku kecuali dengan cara menyalin dengan tangan, yang terkadang mengharuskan si penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin satu buku yang besar untuk menghasilkan satu eksemplar saja. Si penyalin dengan begitu telah berkhidmat kepada cendekia penulisnya ketika dia menyalin dengan alat tulisnya satu eksemplar atau beberapa eksemplar, yang  jika tidak demikian, tentu buku tersebut akan tetap berupa salinan asli si penulis, yang rentan hilang selamanya jika salinan aslinya rusak. Jadi, menyalin buku bukanlah pelanggaran terhadap si penulis dan bukan menjadi keuntungan pribadi bagi penyalin atas usaha dan ilmu orang lain, justru sebaliknya, ia berkhidmat kepadanya serta menyebarkan pengetahuan dan usahanya. ثانياً : أمَّا بعد ظهور المطابع فقد أصبح الأمر معكوساً تماماً ، فقد يقضي المؤلِّف معظم عمره في تأليف كتاب نافعٍ ، وينشره ليبيعه ، فيأخذ شخصٌ آخر نسخة منه فينشرها بالوسائل الحديثة طبعاً وتصويراً ، ويبيعه مزاحماً مؤلِّفَهُ ومنافساً له ، أو يوزِّعه مجاناً ليكسب بتوزيعه شهرة ، فيضيع تعب المؤلِّف وجهوده ، ومثل ذلك يقال في المخترع . وهذا مما يثبط همم ذوي العلم والذكاء في التأليف والاختراع ، حيث يرون أنَّ جهودهم سينهبها سواهم متى ظهرت ونزلت الميدان ، ويتاجر بها منافساً لهم من لم يبذل شيئاً مما بذلوه هم في التأليف أو الابتكار . فقد تغيَّر الوضع بتغيُّر الزمن وظهور المستجدات فيه ، مما له التأثير الأساسي بين ما كان وما صار ، مما يوجب نظراً جديداً يحفظ لكل ذي جهد جهده وحقَّه . فيجب أن يعتبر للمؤلِّف والمُخْتَرِعِ حقٌّ فيما ألَّف أو ابتكر ، وهذا الحقُّ هو ملك له شرعاً ، لا يجوز لأحدٍ أن يسطو عليه دون إذنه Adapun setelah ditemukannya mesin cetak, justru yang terjadi adalah kebalikannya: penulis bisa saja menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis buku yang bermanfaat, lalu menerbitkan dan menjualnya, kemudian ada orang lain yang mendapatkan salinannya darinya dan menerbitkannya dengan berbagai alat cetak dan fotokopi modern, lalu ia dapat menjualnya sehingga menjadi saingan dan rival bagi penulis atau dia mendistribusikannya secara gratis agar mendapatkan popularitas melalui pendistribusian tersebut, sehingga jerih payah dan usaha penulis terabaikan. Hal yang sama juga berlaku kepada seorang penemu. Hal ini dapat membuat hilangnya tekad orang-orang yang punya ilmu dan kecerdasan atau karya serta penemuan, karena mereka tahu bahwa jerih payah mereka akan dicuri begitu saja oleh orang lain ketika sudah muncul dan diturunkan ke lapangan, yang diperjualbelikan lalu menyaingi mereka tanpa melakukan usaha yang telah dilakukannya dalam mengarang atau menemukan. Jadi, keadaan terkadang berubah dengan perubahan zaman serta munculnya cara dan metode baru, yang berdampak besar pada perubahan sesuatu di zaman dahulu dan di masa mendatang, yang mengharuskan adanya pengkajian ulang demi menjaga hak dan usaha orang yang memiliki hak dan usaha. Pengarang dan penemu harus memiliki hak atas apa yang telah mereka tulis dan ciptakan, yang mana secara syariat hak ini merupakan hak mereka. Tidak boleh bagi siapa pun untuk mengambil darinya tanpa izin, dengan syarat bahwa buku atau penelitian tersebut tidak menyebarkan hal-hal yang mungkar secara syariat, bidah, atau kesesatan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika demikian, maka harus dimusnahkan dan tidak boleh diterbitkan.  وذلك بشرط أن يكون الكتاب أو البحث ليس فيه دعوة إلى منكر شرعاً ، أو بدعة أو أيِّ ضلالة تنافي شريعة الإسلام ، وإلاَّ فإنَّه حينئذٍ يجب إتلافه ، ولا يجوز نشره .وكذلك ليس للناشر الذي يتَّفق معه المؤلِّف ولا لغيره تعديل شيءٍ في مضمون الكتاب ، أو تغيير شيءٍ دون موافقة المؤلِّف ، وهذا الحقُّ يورَث عن صاحبه ، ويتقيَّد بما تقيِّده به المعاهدات الدولية والنظم والأعراف التي لا تخالف الشريعة ، والتي تنظِّم هذا الحق وتحدِّده بعد وفاة صاحبه تنظيماً وجمعاً بين حقِّه الخاصِّ والحقِّ العامِّ ؛ لأنَّ كل مؤلِّف أو مخترعٍ يستعين بأفكار ونتاج من سبقوه ، ولو في المعلومات العامة ، والوسائل القائمة قبله .أمَّا المؤلِّف أو المخترع الذي يكون مستأجراً من إحدى دور النشر ليؤلِّف لها كتاباً ، أو من إحدى المؤسسات ليخترع لها شيئاً لغاية ما : فإنَّ ما ينتجه يكون من  حقِّ الجهة المستأجرة له ، ويتبع في حقِّه الشروط المتَّفق عليها بينهما ، مما تقبله قواعد التعاقد . والله ولي التوفيق ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ” انتهى . نقلا عن ” فقه النوازل ” للدكتور محمد بن حسين الجيزاني ( 3 / 127 – 129 ) Demikian pula, baik penerbit atau orang lain yang telah melakukan kesepakatan dengan penulis tidak boleh  merevisi isi buku atau mengubah apa pun tanpa persetujuan pengarang. Hak ini dapat diwariskan dari pengarang, yang terikat dengan berbagai kebiasaan, hukum, dan praktik yang tidak bertentangan dengan syariat, yang mengatur dan membatasi hak ini setelah pengarang meninggal dunia demi mengatur dan menjamak hak-hak individu dan hak-hak masyarakat umum, karena setiap pengarang dan penemu pasti terinspirasi dengan ide-ide dan produk-produk orang-orang sebelumnya, meskipun hanya berupa pandangan umum atau sarana yang sudah ada sebelumnya. Adapun penulis atau penemu yang dibayar oleh penerbit untuk menulis buku untuk penerbit tersebut atau oleh salah satu lembaga untuk menciptakan sesuatu untuknya untuk tujuan tertentu, maka apa yang dihasilkannya menjadi hak lembaga yang mempekerjakannya, yang pada hak tersebut ada berbagai ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian. Taufik hanya milik Allah. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad, dan keluarga serta para Sahabat beliau. Selesai kutipan dari Fiqhu al-Nawāzil karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jirani (3/127-129). 2. قرار مجمع الفقه الإسلامي بجدة ، التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي جاء في ” قرارات وتوصيات مجمع الفقه الإسلامي ” ( 94 ) ما يلي : إنَّ مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره الخامس بالكويت ، من 1 إلى 6 جمادى الأولى 1409هـ ( الموافق 10 إلى 15 كانون الأول (ديسمبر) 1988م ، بعد اطلاعه على البحوث المقدَّمة من الأعضاء والخبراء في موضوع ( الحقوق المعنوية ) ، واستماعه للمناقشات التي دارت حوله ، قرَّر ما يلي أولاً : الاسم التجاري ، والعنوان التجاري ، والعلامة التجارية ، والتأليف والاختراع أو الابتكار هي حقوق خاصَّةٌ لأصحابها ، أصبح لها في العرف المعاصر قيمة مالية معتبرة لتموُّل الناس لها ، وهذه الحقوق يعتدُّ بها شرعاً ، فلا يجوز الاعتداء عليها ثانياً : يجوز التصرُّف في الاسم التجاري أو العنوان التجاري أو العلامة التجارية ، ونقل أيٍّ منها بعوض ماليٍّ إذا انتفى الغرر والتدليس والغش ، باعتبار أنَّ ذلك أصبح حقَّاً ماليّاً ثالثاً : حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعاً ، ولأصحابها حقُّ التصرُّف فيها ، ولا يجوز الاعتداء عليها ، والله أعلم ” انتهى 2. Pernyataan Dewan Fikih Islam di Jeddah, di bawah Organisasi Konferensi Islam. Disebutkan dalam Ketetapan dan Wasiat  Dewan Fikih Islam (94) sebagai berikut:  Bahwa Majelis Dewan Fikih Islam yang diselenggarakan pada sidang dalam konferensi kelima di Kuwait dari tanggal 1 hingga 6 Jumadil Ula 1409 H (bertepatan dengan 10 hingga 15 Desember 1988 M), setelah menelaah makalah-makalah yang disampaikan oleh para anggota dan para ahli tentang topik “hak-hak nonmateriel” dan menyimak diskusi yang dibahas tentang topik tersebut, maka ditetapkan hal-hal berikut: Nama dagang, nama perusahaan, merek dagang, karya tulis, dan penemuan atau invensi merupakan hak cipta eksklusif bagi penemunya, yang dalam praktik modern telah menjadi nilai ekonomis yang diakui untuk diambil keuntungannya oleh manusia. Hak-hak ini dihormati oleh syariat dan tidak boleh dilanggar. Boleh memanfaatkan nama dagang, nama perusahaan, atau merek dagang, dan mengalihkan apa pun darinya dengan imbalan finansial, asalkan tidak ada unsur penipuan, penyimpangan, dan kecurangan, dengan pertimbangan bahwa itu telah menjadi hak finansial. Hak atas karya tulis, penemuan, dan invensi dilindungi secara syariat dan bagi pemiliknya berhak memanfaatkannya, serta tidak seorang pun boleh melanggarnya. Allah yang lebih mengetahui. Selesai kutipan. 3. قرار اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية سئل علماء ” اللجنة الدائمة ” ( 13 / 188 ) ما يلي : أعمل في مجال الحاسب الآلي ، ومنذ أن بدأت العمل في هذا المجال أقوم بنسخ البرامج للعمل عليها ، ويتم ذلك دون أن أشتري النسخ الأصلية لهذه البرامج ، علمًا بأنه توجد على هذه البرامج عبارات تحذيرية من النسخ ، مؤداها : أن حقوق النسخ محفوظة ، تشبه عبارة ( حقوق الطبع محفوظة ) الموجودة على بعض الكتب ، وقد يكون صاحب البرنامج مسلمًا أو كافرًا ، وسؤالي هو : هل يجوز النسخ بهذه الطريقة أم لا ؟ . فأجابوا : ” لا يجوز نسخ البرامج التي يمنع أصحابها نسخها ، إلا بإذنهم ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ؛ ولقوله صلى الله عليه وسلم : ( لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة من نفسه ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من سبق إلى مباح فهو أحق به ) ، سواء كان صاحب هذه البرامج مسلماً أو كافراً غير حربي ؛ لأن حق الكافر غير الحربي محترم كحق المسلم ، وبالله التوفيق ” انتهى 3. Pernyataan Komite Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Para ulama anggota Komite Tetap (13/188) pernah ditanya sebagai berikut: “Saya bekerja di bidang komputer, dan sejak saya mulai bekerja di bidang ini, saya telah membuat salinan program untuk bekerja dengan komputer tersebut. Saya telah melakukan itu tanpa membeli salinan asli dari program-program tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam program-program tersebut memuat peringatan terhadap penyalinannya, yang menyatakan ‘all rights reserved’ (semua hak cipta dilindungi undang-undang), yang serupa dengan ‘hak penerbitan dilindungi undang-undang’ yang ada di sebagian buku. Pemilik program tersebut mungkin seorang muslim atau kafir. Pertanyaan saya adalah: ‘Apakah boleh membuat salinan dengan cara ini atau tidak?’”   Mereka menjawab bahwa tidak boleh membuat salinan program yang pembuatnya telah melarang pembuatan salinannya, kecuali dengan izin mereka, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ʿalaihi wa sallam “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Juga berdasarkan sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Juga sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Barang siapa yang mendahului dalam perkara mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Baik pembuat program tersebut seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi hukumnya haram (dilanggar) sebagaimana hak-hak seorang muslim. Selesai kutipan dari Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah, 13/188. وبناء على ما سبق فلا يجوز لأحد أن ينسخ شيئاً مما حُفظت حقوق نسخه لأصحابه ، كما لا يجوز شراء شيء مما نُسخ من هذه البرامج من غير إذن أصحابها ، ومع سهولة وسائل الاتصال اليوم لم يعد هناك ما يصعب تحصيله وشراؤه ، فالبرامج الأصلية موجودة ولا بد في الوكالات الرسمية لأصحاب تلك الشركات ، كما أنها موجودة في مواقع الشركات نفسها على الإنترنت ، ويمكن بكل سهولة شراؤها وتحصيلها من تلك الأماكن Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak seorang pun diperbolehkan menyalin sesuatu yang telah dilindungi hak ciptanya untuk pemiliknya, sebagaimana juga tidak diperbolehkan membeli sesuatu yang disalin dari program tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Dengan kemudahan komunikasi saat ini, tidak ada yang sulit untuk memperoleh izin dan membelinya. Jadi, program aslinya tersedia dan harusnya ada di agen resmi milik perusahaan tersebut, sebagaimana juga tersedia di situs web perusahaan tersebut di Internet, dan sangat mungkin dengan mudah dibeli dan diperoleh dari tempat-tempat tersebut. ثانياً يرى بعض علمائنا المحققين حرمة هذا الأمر إذا كان بقصد التجارة ، وأما من اقتنى نسخة لنفسه : فالأمر جائز ، وهو قول وسط بين المانعين بالكلية ، والمبيحين بالكلية . وقد سبق في جواب السؤال رقم ( 21927 ) إجابة مختصرة لهذه المسألة عن الشيخ سعد الحميِّد ، فيها التفصيل التالي : ” نسخ كتاب أو قرص بغرض المتاجرة ومضارّة صاحبه الأصلي : لا يجوز ، أما إذا نسخ الإنسان نسخة واحدة لنفسه : فنرجو ألا يكون بذلك بأس ، وتركه أولى وأحسن ” انتهى .وهذه فتوى للشيخ ابن عثيمين موافقه لها : السؤال : فضيلة الشيخ ! هل يجوز نسخ برامج الحاسب الآلي مع أن الشركات تمنع ذلك والنظام ؟ وهل يعتبر ذلك احتكاراً وهي تباع بأسعار غالية ، وإذا نسخت تباع بأسعار رخيصة ؟ Kedua, sebagian ulama muḥaqqiq kita berpendapat haramnya hal ini jika tujuannya adalah untuk perdagangan. Adapun orang yang memiliki salinannya untuk dirinya sendiri, maka hal itu dibolehkan. Ini merupakan pendapat pertengahan antara mereka yang melarangnya sepenuhnya dan mereka yang mengizinkannya sepenuhnya. Dalam jawaban soal nomor 21927, jawaban singkat atas masalah ini diberikan oleh Syekh Saad Al-Humaid, yang di dalamnya terdapat perincian sebagai berikut: “Tidak boleh menyalin buku atau kaset untuk tujuan memperjualbelikan dan merugikan pemilik aslinya. Akan tetapi, jika seseorang memperbanyak satu eksemplar untuk dirinya sendiri, kami berharap hal itu tidak mengapa, tetapi meninggalkannya lebih utama dan lebih baik.” Selesai kutipan.  Berikut adalah fatwa Syekh Ibnu Utsaimin yang senada dengan fatwa tersebut. Pertanyaan: “Wahai Syekh Yang Mulia, apakah boleh menyalin program komputer meskipun perusahaan dan hukum telah melarangnya? Apakah ini dianggap monopoli, karena dijual dengan harga tinggi, dan jika disalin (dibajak), bisa dijual dengan harga rendah?”  فأجاب : القرآن ؟ السائل : برامج الحاسب الآلي عموماً الشيخ : القرآن ؟ السائل : القرآن ، وغير القرآن ، والحديث ، وبرامج أخرى كثيرة الشيخ : يعني : ما سجل فيه ؟ السائل : ما سجل في الأقراص الشيخ : أما إذا كانت الدولة مانعة : فهذا لا يجوز ؛ لأن الله أمر بطاعة ولاة الأمور ، إلا في معصية الله ، والامتناع من تسجيلها ليس من معصية الله ، وأما من جهة الشركات : فالذي أرى أن الإنسان إذا نسخها لنفسه فقط : فلا بأس ، وأما إذا نسخها للتجارة : فهذا لا يجوز ؛ لأن فيه ضرراً على الآخرين ، يشبه البيع على بيع المسلم ؛ لأنهم إذا صاروا يبيعونه بمائة ونسختَه أنت وبعته بخمسين : هذا بيع على بيع أخيك السائل : وهل يجوز أن أشتريها بخمسين من أصحاب المحلات وهو منسوخ الشيخ : لا يجوز ، إلا إذا قدم لك أنه مأذون له ، وأما إذا لم يقدم : فهذا تشجيع على الإثم والعدوان السائل : إذا لم يؤذن له هو – جزاك الله خيراً – ؟ الشيخ : وإذا كنت أيضاً لا تدري ، أحياناً الإنسان لا يدري يقف على هذا المعرض ويشتري وهو لا يدري ، هذا لا بأس به ، الذي لا يدري ليس عليه شيء ” لقاءات الباب المفتوح ” ( 178 / السؤال رقم 6 ) ولمزيد من الفائدة راجع جواب السؤال رقم (52903) . والله أعلم Dijawab : Al-Quran? Penanya : Program komputer secara umum. Penanya : Al-Quran, juga selain Al-Quran, hadis, dan masih banyak lagi program lainnya. Syekh : Yakni yang tersimpan?  Penanya : Tidak disimpan dalam kaset. Syekh : Adapun jika negara melarangnya, maka ini tidak boleh. Karena Allah telah memerintahkan ketaatan kepada pemerintah, kecuali jika menyuruh kemaksiatan. Menahan diri dari menyalinnya bukanlah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Sedangkan (larangan) dari sisi perusahaannya, maka menurutku jika seseorang menyalinnya untuk dirinya sendiri saja tidaklah mengapa. Adapun jika ia menggandakannya untuk diperdagangkan, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena hal itu mendatangkan mudarat kepada orang lain, seperti penjualan di atas penjualan muslim lain, karena jika mereka menjualnya seharga seratus dan Anda menyalinnya dan menjualnya seharga lima puluh, maka ini termasuk penjualan di atas penjualan saudara Anda. Penanya : Apakah dibolehkan bagi saya membelinya dengan harga lima puluh dari pedagang, yakni versi salinannya (bajakannya)? Syekh : Tidak boleh, kecuali jika dia memberi tahu Anda bahwa dia telah diberi izin. Namun jika dia tidak bisa menunjukkannya, maka itu adalah kesembronoan dalam dosa dan pelanggaran. Penanya : Jika tidak diizinkan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syekh : Jika Anda sendiri juga tidak tahu, kadang seseorang tidak tahu, dia mampir di pameran ini dan membeli tanpa tahu apa-apa, maka ini tidak mengapa, karena yang tidak tahu tidaklah punya tanggungan apa pun. Liqāʾ al-Bābil al-Maftūḥ (178/Pertanyaan No. 6) Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban Pertanyaan No 52903. Allah Yang lebih mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 296 times, 1 visit(s) today Post Views: 415 QRIS donasi Yufid

Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan

حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan السؤال عندنا في الجزائر البرامج التي تستعمل في جهاز الكمبيوتر نشتريها من الباعة ، ونعلم أن هذه النسخ التي نشتريها ليست أصلية ، ونعلم أن بيعها أو شراءها غير جائز ؛ لأنها محفوظة الحقوق ، وللعلم لا تصلنا النسخ الأصلية حتى نشتريها ، وغير متوفرة ، فهل عدم توفرها يجيز لنا شراء النسخ غير الأصلية ؟ Pertanyaan: Di Aljazair, kami membeli program yang dipakai di komputer dari para penjual. Kami tahu bahwa salinan yang kami beli itu bukan asli, dan kami tahu bahwa memperjual belikannya tidak boleh, karena hak ciptanya dilindungi. Perlu diketahui bahwa salinan aslinya tidak sampai kepada kami dan tidak tersedia sehingga bisa kami beli. Apakah ketidaktersediaannya memungkinkan kita membeli salinan yang tidak asli (bajakan)? الجواب الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:أولاً : هذه المسألة هي جزء من مسألة كبيرة تسمى بـ ” الملكية الفكرية ” ، وهي من المسائل التي طال الحديث حولها شرعيّاً ، بل وحتى دوليّاً ؛ نظراً للأهمية التي تترتب عليها ، فهي تشمل الملكية الصناعية التي تحفظ حقوق براءات الاختراع والاكتشافات والأسماء الصناعية ، كما تشمل الملكية الأدبية والفنية التي تشمل حقوق التأليف والتصنيف . والحقيقة أن مثل هذه المسائل النوازل تحتاج إلى دراسة شاملة لجميع الجوانب المتعلقة بها ، سواء كانت تشريعية أو تأصيلية أو اقتصادية أو غير ذلك ، فالأمر تتجاذبه أطراف مختلفة مؤثرة في الحكم ، فكان لا بد من الوقوف على هذه المؤثرات Jawaban: Segala puji bagi Allah, dan semoga selawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah. Pertama, masalah ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yang disebut dengan “kekayaan intelektual”, yang merupakan salah satu masalah yang telah dibahas panjang lebar dalam perspektif syariat, bahkan di tingkat internasional karena adanya urgensi dalam hal tersebut. Kekayaan intelektual meliputi hak kekayaan intelektual industri, yang melindungi hak paten, penemuan, dan merk industri, serta hak kekayaan intelektual sastra dan seni, yang meliputi hak karya dan komposisi. Sebenarnya, persoalan kontemporer seperti ini memerlukan kajian yang integral dan komprehensif yang meliputi semua aspek yang terkait dengannya, baik aspek syariat, dasar hukum, ekonomi, maupun yang lainnya, karena persoalan ini berkaitan dengan berbagai sisi yang berpengaruh dalam menentukan hukum, sehingga harus memperhatikan semua sisi-sisi tersebut. ونحن ننقل هنا فتاوى بعض الهيئات الشرعية المتخصصة في بحث هذه الأمور النوازل 1. قرار المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة ” الحمد لله وحده ، والصلاة والسلام على من لا نبيَّ بعده ، سيدنا ونبينا محمد صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم ، أمَّا بعد فإنَّ مجلس المجمع الفقهي الإسلامي في دورته التاسعة ، المنعقدة بمبنى ” رابطة العالم الإسلامي ” في مكة المكرمة في الفترة من يوم السبت 12 رجب 1406هـ إلى يوم السبت 19 رجب 1406هـ ، قد نظر في موضوع حقوق التأليف لمؤلفي الكتب والبحوث والرسائل العلمية : هل هي حقوق ثابتة مملوكة لأصحابها ، وهل يجوز شرعاً الاعتياض عنها ، والتعاقد مع الناشرين عليها ، وهل يجوز لأحدٍ غير المؤلف أن ينشر كتبه وبحوثه ويبيعها دون إذنه ، على أنَّها مباحة لكلِّ أحدٍ ، أو لا يجوز ؟ وعرض على المجلس التقارير والدراسات التي هيأها في هذا الشأن بعض أعضاء المجلس ، وناقش المجلس أيضاً رأي بعض الباحثين المعاصرين ، من أنَّ المؤلِّف ليس له حقٌّ مالي مشروع فيما يؤلِّفه أو ينشره من كتب علمية ، بحجَّة أنَّ العلم لا يجوز شرعاً حجره عن الناس ، بل يجب على العلماء بذله ، ومن كتم علماً ألْجَمَهُ الله تعالى يوم القيامة بلجام من نارٍ ، فلكلِّ من وصل إلى يده بطريق مشروع نسخة من كتابٍ لأحد المؤلفين ، أن ينسخه كتابةً ، وأن ينشره ويتاجر بتمويل نشره ، وبيع نسخه كما يشاء ، وليس للمؤلف حقُّ منعه . ونظر المجلس في الرأي المقابل ، وما نشر فيه عن حقوق الابتكار ، وما يسمى الملكية الأدبية والملكية الصناعية ، من أنَّ كل مؤلِّف لكتاب أو بحث أو عمل فنيٍّ أو مخترعٍ لآلة نافعة له الحق وحده في استثمار مؤلَّفه أو اختراعه ، نشراً وإنتاجاً وبيعاً ، وأن يتنازل عنه لمن شاء بعوض أو غيره ، وبالشروط التي يوافق عليها ، وليس لأحدٍ أن ينشر الكتاب المؤلَّف أو البحث المكتوب بدون إذن صاحبه ، ولا أن يُقَلِّد الاختراع ويتاجر به دون رضى مخترعه وانتهى المجلس بعد المناقشة المستفيضة إلى القرار التالي Kami kutipkan di sini beberapa fatwa lembaga agama yang berspesialisasi di bidang pembahasan masalah kontemporer: 1. Pernyataan Akademi Fikih Islam di bawah Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah: Segala puji hanya milik Allah semata, selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada orang yang tiada lagi Nabi setelahnya, junjungan dan Nabi kami, Muhammad shallallāhu ʿalaihi wa sallam. Adapun berikutnya, bahwa Dewan Akademi Fikih Islam dalam sidangnya yang kesembilan yang diselenggarakan di Gedung Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah, yang dimulai hari pada Sabtu, 12 Rajab 1406 H, sampai dengan hari Sabtu, 19 Rajab 1406 H, telah membahas masalah hak cipta bagi para pengarang buku, hasil penelitian, dan karya ilmiah. Apakah hak-hak tersebut sah dan dimiliki oleh para pengarang dan apakah dibolehkan secara syariat untuk mendapatkan bayaran darinya serta membuat akad dengan penerbit? Apakah dibolehkan bagi siapa pun selain pengarang untuk menerbitkan buku-buku dan hasil penelitiannya lalu memperjualbelikannya tanpa seizinnya atas dasar bahwa hal itu boleh (dimanfaatkan) oleh siapa saja ataukah tidak boleh? Dipresentasikan kepada dewan majelis pembahasan-pembahasan dan kajian-kajian tentang masalah-masalah ini yang telah disiapkan oleh sebagian anggota dewan majelis. Peserta majelis juga telah mendiskusikannya pandangan sebagian peneliti kontemporer yang menyatakan bahwa pengarang tidak memiliki hak finansial yang sah secara syariat atas buku-buku ilmiah yang telah ditulis atau disebarkannya, dengan hujah bahwa menurut syariat, ilmu tidak boleh dibatasi aksesnya kepada manusia, bahkan orang yang berilmu harus menyebarluaskannya, dan pada hari kiamat Allah akan memasang kekang dari api neraka bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Jadi, bagi siapa saja yang memperoleh salinan buku dari salah seorang pengarang dengan cara yang dibenarkan syariat, atau menyalinnya dengan menulisnya, menerbitkannya, memperjualbelikannya karena membiayai penerbitannya, dan menjual sekehendaknya, maka bagi pengarang tidak berhak untuk melarangnya.  Dewan majelis juga mempelajari pandangan yang berlawanan dan pembahasan tentang hak paten serta perkara yang diistilahkan dengan kepemilikan sastra dan kepemilikan industri, bahwa setiap penulis buku, penelitian, karya seni, atau penemuan alat yang berguna memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan keuntungan finansial dari karangan atau penemuannya, baik dari sisi penerbitannya, pembuatannya, atau penjualannya, dan bisa memberikan hak tersebut kepada siapa pun yang dikehendakinya dengan kompensasi atau yang lain sebagainya dan dengan syarat yang telah disepakati, dan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menerbitkan buku, karangan, atau penelitian yang ditulis tanpa persetujuan penulis, maupun meniru suatu penemuan lalu memperjualbelikannya tanpa persetujuan penemunya. Setelah diskusi yang menyeluruh, dewan mencapai kesimpulan sebagai berikut: أولاً : إنَّ الكتب والبحوث قبل ابتكار طرق النشر بالمطابع التي تخرج منه الآلاف المؤلَّفة من النسخ ، حين لم يكن في الماضي وسيلة لنشر الكتاب إلاَّ الاستنساخ باليد ، وقد يقضي الناسخ سنوات في استنساخ كتابٍ كبير ليخرج منه نسخة واحدة ، كان الناسخ إذ ذاك يخدم العالم المؤلِّف حينما ينسخ بقلمه نسخة أو عدَّة نسخ لولاها لبقي الكتاب على نسخة المؤلِّف الأصلية معرَّضاً للضياع الأبدي إذا تلفت النسخة الأصلية ، فلم يكن نسخ الكتاب عدواناً على المؤلِّف ، واستثماراً من الناسخ لجهود غيره وعلمه ، بل بالعكس ، كان خدمة له ، وشهرة لعلمه ، وجهوده Bahwa buku-buku dan penelitian, sebelum ditemukannya metode penyebaran dengan percetakan modern yang dapat menghasilkan ribuan eksemplar salinan, ketika sebelumnya belum ada cara lain untuk menyebarkan buku kecuali dengan cara menyalin dengan tangan, yang terkadang mengharuskan si penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin satu buku yang besar untuk menghasilkan satu eksemplar saja. Si penyalin dengan begitu telah berkhidmat kepada cendekia penulisnya ketika dia menyalin dengan alat tulisnya satu eksemplar atau beberapa eksemplar, yang  jika tidak demikian, tentu buku tersebut akan tetap berupa salinan asli si penulis, yang rentan hilang selamanya jika salinan aslinya rusak. Jadi, menyalin buku bukanlah pelanggaran terhadap si penulis dan bukan menjadi keuntungan pribadi bagi penyalin atas usaha dan ilmu orang lain, justru sebaliknya, ia berkhidmat kepadanya serta menyebarkan pengetahuan dan usahanya. ثانياً : أمَّا بعد ظهور المطابع فقد أصبح الأمر معكوساً تماماً ، فقد يقضي المؤلِّف معظم عمره في تأليف كتاب نافعٍ ، وينشره ليبيعه ، فيأخذ شخصٌ آخر نسخة منه فينشرها بالوسائل الحديثة طبعاً وتصويراً ، ويبيعه مزاحماً مؤلِّفَهُ ومنافساً له ، أو يوزِّعه مجاناً ليكسب بتوزيعه شهرة ، فيضيع تعب المؤلِّف وجهوده ، ومثل ذلك يقال في المخترع . وهذا مما يثبط همم ذوي العلم والذكاء في التأليف والاختراع ، حيث يرون أنَّ جهودهم سينهبها سواهم متى ظهرت ونزلت الميدان ، ويتاجر بها منافساً لهم من لم يبذل شيئاً مما بذلوه هم في التأليف أو الابتكار . فقد تغيَّر الوضع بتغيُّر الزمن وظهور المستجدات فيه ، مما له التأثير الأساسي بين ما كان وما صار ، مما يوجب نظراً جديداً يحفظ لكل ذي جهد جهده وحقَّه . فيجب أن يعتبر للمؤلِّف والمُخْتَرِعِ حقٌّ فيما ألَّف أو ابتكر ، وهذا الحقُّ هو ملك له شرعاً ، لا يجوز لأحدٍ أن يسطو عليه دون إذنه Adapun setelah ditemukannya mesin cetak, justru yang terjadi adalah kebalikannya: penulis bisa saja menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis buku yang bermanfaat, lalu menerbitkan dan menjualnya, kemudian ada orang lain yang mendapatkan salinannya darinya dan menerbitkannya dengan berbagai alat cetak dan fotokopi modern, lalu ia dapat menjualnya sehingga menjadi saingan dan rival bagi penulis atau dia mendistribusikannya secara gratis agar mendapatkan popularitas melalui pendistribusian tersebut, sehingga jerih payah dan usaha penulis terabaikan. Hal yang sama juga berlaku kepada seorang penemu. Hal ini dapat membuat hilangnya tekad orang-orang yang punya ilmu dan kecerdasan atau karya serta penemuan, karena mereka tahu bahwa jerih payah mereka akan dicuri begitu saja oleh orang lain ketika sudah muncul dan diturunkan ke lapangan, yang diperjualbelikan lalu menyaingi mereka tanpa melakukan usaha yang telah dilakukannya dalam mengarang atau menemukan. Jadi, keadaan terkadang berubah dengan perubahan zaman serta munculnya cara dan metode baru, yang berdampak besar pada perubahan sesuatu di zaman dahulu dan di masa mendatang, yang mengharuskan adanya pengkajian ulang demi menjaga hak dan usaha orang yang memiliki hak dan usaha. Pengarang dan penemu harus memiliki hak atas apa yang telah mereka tulis dan ciptakan, yang mana secara syariat hak ini merupakan hak mereka. Tidak boleh bagi siapa pun untuk mengambil darinya tanpa izin, dengan syarat bahwa buku atau penelitian tersebut tidak menyebarkan hal-hal yang mungkar secara syariat, bidah, atau kesesatan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika demikian, maka harus dimusnahkan dan tidak boleh diterbitkan.  وذلك بشرط أن يكون الكتاب أو البحث ليس فيه دعوة إلى منكر شرعاً ، أو بدعة أو أيِّ ضلالة تنافي شريعة الإسلام ، وإلاَّ فإنَّه حينئذٍ يجب إتلافه ، ولا يجوز نشره .وكذلك ليس للناشر الذي يتَّفق معه المؤلِّف ولا لغيره تعديل شيءٍ في مضمون الكتاب ، أو تغيير شيءٍ دون موافقة المؤلِّف ، وهذا الحقُّ يورَث عن صاحبه ، ويتقيَّد بما تقيِّده به المعاهدات الدولية والنظم والأعراف التي لا تخالف الشريعة ، والتي تنظِّم هذا الحق وتحدِّده بعد وفاة صاحبه تنظيماً وجمعاً بين حقِّه الخاصِّ والحقِّ العامِّ ؛ لأنَّ كل مؤلِّف أو مخترعٍ يستعين بأفكار ونتاج من سبقوه ، ولو في المعلومات العامة ، والوسائل القائمة قبله .أمَّا المؤلِّف أو المخترع الذي يكون مستأجراً من إحدى دور النشر ليؤلِّف لها كتاباً ، أو من إحدى المؤسسات ليخترع لها شيئاً لغاية ما : فإنَّ ما ينتجه يكون من  حقِّ الجهة المستأجرة له ، ويتبع في حقِّه الشروط المتَّفق عليها بينهما ، مما تقبله قواعد التعاقد . والله ولي التوفيق ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ” انتهى . نقلا عن ” فقه النوازل ” للدكتور محمد بن حسين الجيزاني ( 3 / 127 – 129 ) Demikian pula, baik penerbit atau orang lain yang telah melakukan kesepakatan dengan penulis tidak boleh  merevisi isi buku atau mengubah apa pun tanpa persetujuan pengarang. Hak ini dapat diwariskan dari pengarang, yang terikat dengan berbagai kebiasaan, hukum, dan praktik yang tidak bertentangan dengan syariat, yang mengatur dan membatasi hak ini setelah pengarang meninggal dunia demi mengatur dan menjamak hak-hak individu dan hak-hak masyarakat umum, karena setiap pengarang dan penemu pasti terinspirasi dengan ide-ide dan produk-produk orang-orang sebelumnya, meskipun hanya berupa pandangan umum atau sarana yang sudah ada sebelumnya. Adapun penulis atau penemu yang dibayar oleh penerbit untuk menulis buku untuk penerbit tersebut atau oleh salah satu lembaga untuk menciptakan sesuatu untuknya untuk tujuan tertentu, maka apa yang dihasilkannya menjadi hak lembaga yang mempekerjakannya, yang pada hak tersebut ada berbagai ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian. Taufik hanya milik Allah. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad, dan keluarga serta para Sahabat beliau. Selesai kutipan dari Fiqhu al-Nawāzil karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jirani (3/127-129). 2. قرار مجمع الفقه الإسلامي بجدة ، التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي جاء في ” قرارات وتوصيات مجمع الفقه الإسلامي ” ( 94 ) ما يلي : إنَّ مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره الخامس بالكويت ، من 1 إلى 6 جمادى الأولى 1409هـ ( الموافق 10 إلى 15 كانون الأول (ديسمبر) 1988م ، بعد اطلاعه على البحوث المقدَّمة من الأعضاء والخبراء في موضوع ( الحقوق المعنوية ) ، واستماعه للمناقشات التي دارت حوله ، قرَّر ما يلي أولاً : الاسم التجاري ، والعنوان التجاري ، والعلامة التجارية ، والتأليف والاختراع أو الابتكار هي حقوق خاصَّةٌ لأصحابها ، أصبح لها في العرف المعاصر قيمة مالية معتبرة لتموُّل الناس لها ، وهذه الحقوق يعتدُّ بها شرعاً ، فلا يجوز الاعتداء عليها ثانياً : يجوز التصرُّف في الاسم التجاري أو العنوان التجاري أو العلامة التجارية ، ونقل أيٍّ منها بعوض ماليٍّ إذا انتفى الغرر والتدليس والغش ، باعتبار أنَّ ذلك أصبح حقَّاً ماليّاً ثالثاً : حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعاً ، ولأصحابها حقُّ التصرُّف فيها ، ولا يجوز الاعتداء عليها ، والله أعلم ” انتهى 2. Pernyataan Dewan Fikih Islam di Jeddah, di bawah Organisasi Konferensi Islam. Disebutkan dalam Ketetapan dan Wasiat  Dewan Fikih Islam (94) sebagai berikut:  Bahwa Majelis Dewan Fikih Islam yang diselenggarakan pada sidang dalam konferensi kelima di Kuwait dari tanggal 1 hingga 6 Jumadil Ula 1409 H (bertepatan dengan 10 hingga 15 Desember 1988 M), setelah menelaah makalah-makalah yang disampaikan oleh para anggota dan para ahli tentang topik “hak-hak nonmateriel” dan menyimak diskusi yang dibahas tentang topik tersebut, maka ditetapkan hal-hal berikut: Nama dagang, nama perusahaan, merek dagang, karya tulis, dan penemuan atau invensi merupakan hak cipta eksklusif bagi penemunya, yang dalam praktik modern telah menjadi nilai ekonomis yang diakui untuk diambil keuntungannya oleh manusia. Hak-hak ini dihormati oleh syariat dan tidak boleh dilanggar. Boleh memanfaatkan nama dagang, nama perusahaan, atau merek dagang, dan mengalihkan apa pun darinya dengan imbalan finansial, asalkan tidak ada unsur penipuan, penyimpangan, dan kecurangan, dengan pertimbangan bahwa itu telah menjadi hak finansial. Hak atas karya tulis, penemuan, dan invensi dilindungi secara syariat dan bagi pemiliknya berhak memanfaatkannya, serta tidak seorang pun boleh melanggarnya. Allah yang lebih mengetahui. Selesai kutipan. 3. قرار اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية سئل علماء ” اللجنة الدائمة ” ( 13 / 188 ) ما يلي : أعمل في مجال الحاسب الآلي ، ومنذ أن بدأت العمل في هذا المجال أقوم بنسخ البرامج للعمل عليها ، ويتم ذلك دون أن أشتري النسخ الأصلية لهذه البرامج ، علمًا بأنه توجد على هذه البرامج عبارات تحذيرية من النسخ ، مؤداها : أن حقوق النسخ محفوظة ، تشبه عبارة ( حقوق الطبع محفوظة ) الموجودة على بعض الكتب ، وقد يكون صاحب البرنامج مسلمًا أو كافرًا ، وسؤالي هو : هل يجوز النسخ بهذه الطريقة أم لا ؟ . فأجابوا : ” لا يجوز نسخ البرامج التي يمنع أصحابها نسخها ، إلا بإذنهم ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ؛ ولقوله صلى الله عليه وسلم : ( لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة من نفسه ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من سبق إلى مباح فهو أحق به ) ، سواء كان صاحب هذه البرامج مسلماً أو كافراً غير حربي ؛ لأن حق الكافر غير الحربي محترم كحق المسلم ، وبالله التوفيق ” انتهى 3. Pernyataan Komite Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Para ulama anggota Komite Tetap (13/188) pernah ditanya sebagai berikut: “Saya bekerja di bidang komputer, dan sejak saya mulai bekerja di bidang ini, saya telah membuat salinan program untuk bekerja dengan komputer tersebut. Saya telah melakukan itu tanpa membeli salinan asli dari program-program tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam program-program tersebut memuat peringatan terhadap penyalinannya, yang menyatakan ‘all rights reserved’ (semua hak cipta dilindungi undang-undang), yang serupa dengan ‘hak penerbitan dilindungi undang-undang’ yang ada di sebagian buku. Pemilik program tersebut mungkin seorang muslim atau kafir. Pertanyaan saya adalah: ‘Apakah boleh membuat salinan dengan cara ini atau tidak?’”   Mereka menjawab bahwa tidak boleh membuat salinan program yang pembuatnya telah melarang pembuatan salinannya, kecuali dengan izin mereka, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ʿalaihi wa sallam “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Juga berdasarkan sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Juga sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Barang siapa yang mendahului dalam perkara mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Baik pembuat program tersebut seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi hukumnya haram (dilanggar) sebagaimana hak-hak seorang muslim. Selesai kutipan dari Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah, 13/188. وبناء على ما سبق فلا يجوز لأحد أن ينسخ شيئاً مما حُفظت حقوق نسخه لأصحابه ، كما لا يجوز شراء شيء مما نُسخ من هذه البرامج من غير إذن أصحابها ، ومع سهولة وسائل الاتصال اليوم لم يعد هناك ما يصعب تحصيله وشراؤه ، فالبرامج الأصلية موجودة ولا بد في الوكالات الرسمية لأصحاب تلك الشركات ، كما أنها موجودة في مواقع الشركات نفسها على الإنترنت ، ويمكن بكل سهولة شراؤها وتحصيلها من تلك الأماكن Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak seorang pun diperbolehkan menyalin sesuatu yang telah dilindungi hak ciptanya untuk pemiliknya, sebagaimana juga tidak diperbolehkan membeli sesuatu yang disalin dari program tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Dengan kemudahan komunikasi saat ini, tidak ada yang sulit untuk memperoleh izin dan membelinya. Jadi, program aslinya tersedia dan harusnya ada di agen resmi milik perusahaan tersebut, sebagaimana juga tersedia di situs web perusahaan tersebut di Internet, dan sangat mungkin dengan mudah dibeli dan diperoleh dari tempat-tempat tersebut. ثانياً يرى بعض علمائنا المحققين حرمة هذا الأمر إذا كان بقصد التجارة ، وأما من اقتنى نسخة لنفسه : فالأمر جائز ، وهو قول وسط بين المانعين بالكلية ، والمبيحين بالكلية . وقد سبق في جواب السؤال رقم ( 21927 ) إجابة مختصرة لهذه المسألة عن الشيخ سعد الحميِّد ، فيها التفصيل التالي : ” نسخ كتاب أو قرص بغرض المتاجرة ومضارّة صاحبه الأصلي : لا يجوز ، أما إذا نسخ الإنسان نسخة واحدة لنفسه : فنرجو ألا يكون بذلك بأس ، وتركه أولى وأحسن ” انتهى .وهذه فتوى للشيخ ابن عثيمين موافقه لها : السؤال : فضيلة الشيخ ! هل يجوز نسخ برامج الحاسب الآلي مع أن الشركات تمنع ذلك والنظام ؟ وهل يعتبر ذلك احتكاراً وهي تباع بأسعار غالية ، وإذا نسخت تباع بأسعار رخيصة ؟ Kedua, sebagian ulama muḥaqqiq kita berpendapat haramnya hal ini jika tujuannya adalah untuk perdagangan. Adapun orang yang memiliki salinannya untuk dirinya sendiri, maka hal itu dibolehkan. Ini merupakan pendapat pertengahan antara mereka yang melarangnya sepenuhnya dan mereka yang mengizinkannya sepenuhnya. Dalam jawaban soal nomor 21927, jawaban singkat atas masalah ini diberikan oleh Syekh Saad Al-Humaid, yang di dalamnya terdapat perincian sebagai berikut: “Tidak boleh menyalin buku atau kaset untuk tujuan memperjualbelikan dan merugikan pemilik aslinya. Akan tetapi, jika seseorang memperbanyak satu eksemplar untuk dirinya sendiri, kami berharap hal itu tidak mengapa, tetapi meninggalkannya lebih utama dan lebih baik.” Selesai kutipan.  Berikut adalah fatwa Syekh Ibnu Utsaimin yang senada dengan fatwa tersebut. Pertanyaan: “Wahai Syekh Yang Mulia, apakah boleh menyalin program komputer meskipun perusahaan dan hukum telah melarangnya? Apakah ini dianggap monopoli, karena dijual dengan harga tinggi, dan jika disalin (dibajak), bisa dijual dengan harga rendah?”  فأجاب : القرآن ؟ السائل : برامج الحاسب الآلي عموماً الشيخ : القرآن ؟ السائل : القرآن ، وغير القرآن ، والحديث ، وبرامج أخرى كثيرة الشيخ : يعني : ما سجل فيه ؟ السائل : ما سجل في الأقراص الشيخ : أما إذا كانت الدولة مانعة : فهذا لا يجوز ؛ لأن الله أمر بطاعة ولاة الأمور ، إلا في معصية الله ، والامتناع من تسجيلها ليس من معصية الله ، وأما من جهة الشركات : فالذي أرى أن الإنسان إذا نسخها لنفسه فقط : فلا بأس ، وأما إذا نسخها للتجارة : فهذا لا يجوز ؛ لأن فيه ضرراً على الآخرين ، يشبه البيع على بيع المسلم ؛ لأنهم إذا صاروا يبيعونه بمائة ونسختَه أنت وبعته بخمسين : هذا بيع على بيع أخيك السائل : وهل يجوز أن أشتريها بخمسين من أصحاب المحلات وهو منسوخ الشيخ : لا يجوز ، إلا إذا قدم لك أنه مأذون له ، وأما إذا لم يقدم : فهذا تشجيع على الإثم والعدوان السائل : إذا لم يؤذن له هو – جزاك الله خيراً – ؟ الشيخ : وإذا كنت أيضاً لا تدري ، أحياناً الإنسان لا يدري يقف على هذا المعرض ويشتري وهو لا يدري ، هذا لا بأس به ، الذي لا يدري ليس عليه شيء ” لقاءات الباب المفتوح ” ( 178 / السؤال رقم 6 ) ولمزيد من الفائدة راجع جواب السؤال رقم (52903) . والله أعلم Dijawab : Al-Quran? Penanya : Program komputer secara umum. Penanya : Al-Quran, juga selain Al-Quran, hadis, dan masih banyak lagi program lainnya. Syekh : Yakni yang tersimpan?  Penanya : Tidak disimpan dalam kaset. Syekh : Adapun jika negara melarangnya, maka ini tidak boleh. Karena Allah telah memerintahkan ketaatan kepada pemerintah, kecuali jika menyuruh kemaksiatan. Menahan diri dari menyalinnya bukanlah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Sedangkan (larangan) dari sisi perusahaannya, maka menurutku jika seseorang menyalinnya untuk dirinya sendiri saja tidaklah mengapa. Adapun jika ia menggandakannya untuk diperdagangkan, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena hal itu mendatangkan mudarat kepada orang lain, seperti penjualan di atas penjualan muslim lain, karena jika mereka menjualnya seharga seratus dan Anda menyalinnya dan menjualnya seharga lima puluh, maka ini termasuk penjualan di atas penjualan saudara Anda. Penanya : Apakah dibolehkan bagi saya membelinya dengan harga lima puluh dari pedagang, yakni versi salinannya (bajakannya)? Syekh : Tidak boleh, kecuali jika dia memberi tahu Anda bahwa dia telah diberi izin. Namun jika dia tidak bisa menunjukkannya, maka itu adalah kesembronoan dalam dosa dan pelanggaran. Penanya : Jika tidak diizinkan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syekh : Jika Anda sendiri juga tidak tahu, kadang seseorang tidak tahu, dia mampir di pameran ini dan membeli tanpa tahu apa-apa, maka ini tidak mengapa, karena yang tidak tahu tidaklah punya tanggungan apa pun. Liqāʾ al-Bābil al-Maftūḥ (178/Pertanyaan No. 6) Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban Pertanyaan No 52903. Allah Yang lebih mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 296 times, 1 visit(s) today Post Views: 415 QRIS donasi Yufid
حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan السؤال عندنا في الجزائر البرامج التي تستعمل في جهاز الكمبيوتر نشتريها من الباعة ، ونعلم أن هذه النسخ التي نشتريها ليست أصلية ، ونعلم أن بيعها أو شراءها غير جائز ؛ لأنها محفوظة الحقوق ، وللعلم لا تصلنا النسخ الأصلية حتى نشتريها ، وغير متوفرة ، فهل عدم توفرها يجيز لنا شراء النسخ غير الأصلية ؟ Pertanyaan: Di Aljazair, kami membeli program yang dipakai di komputer dari para penjual. Kami tahu bahwa salinan yang kami beli itu bukan asli, dan kami tahu bahwa memperjual belikannya tidak boleh, karena hak ciptanya dilindungi. Perlu diketahui bahwa salinan aslinya tidak sampai kepada kami dan tidak tersedia sehingga bisa kami beli. Apakah ketidaktersediaannya memungkinkan kita membeli salinan yang tidak asli (bajakan)? الجواب الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:أولاً : هذه المسألة هي جزء من مسألة كبيرة تسمى بـ ” الملكية الفكرية ” ، وهي من المسائل التي طال الحديث حولها شرعيّاً ، بل وحتى دوليّاً ؛ نظراً للأهمية التي تترتب عليها ، فهي تشمل الملكية الصناعية التي تحفظ حقوق براءات الاختراع والاكتشافات والأسماء الصناعية ، كما تشمل الملكية الأدبية والفنية التي تشمل حقوق التأليف والتصنيف . والحقيقة أن مثل هذه المسائل النوازل تحتاج إلى دراسة شاملة لجميع الجوانب المتعلقة بها ، سواء كانت تشريعية أو تأصيلية أو اقتصادية أو غير ذلك ، فالأمر تتجاذبه أطراف مختلفة مؤثرة في الحكم ، فكان لا بد من الوقوف على هذه المؤثرات Jawaban: Segala puji bagi Allah, dan semoga selawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah. Pertama, masalah ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yang disebut dengan “kekayaan intelektual”, yang merupakan salah satu masalah yang telah dibahas panjang lebar dalam perspektif syariat, bahkan di tingkat internasional karena adanya urgensi dalam hal tersebut. Kekayaan intelektual meliputi hak kekayaan intelektual industri, yang melindungi hak paten, penemuan, dan merk industri, serta hak kekayaan intelektual sastra dan seni, yang meliputi hak karya dan komposisi. Sebenarnya, persoalan kontemporer seperti ini memerlukan kajian yang integral dan komprehensif yang meliputi semua aspek yang terkait dengannya, baik aspek syariat, dasar hukum, ekonomi, maupun yang lainnya, karena persoalan ini berkaitan dengan berbagai sisi yang berpengaruh dalam menentukan hukum, sehingga harus memperhatikan semua sisi-sisi tersebut. ونحن ننقل هنا فتاوى بعض الهيئات الشرعية المتخصصة في بحث هذه الأمور النوازل 1. قرار المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة ” الحمد لله وحده ، والصلاة والسلام على من لا نبيَّ بعده ، سيدنا ونبينا محمد صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم ، أمَّا بعد فإنَّ مجلس المجمع الفقهي الإسلامي في دورته التاسعة ، المنعقدة بمبنى ” رابطة العالم الإسلامي ” في مكة المكرمة في الفترة من يوم السبت 12 رجب 1406هـ إلى يوم السبت 19 رجب 1406هـ ، قد نظر في موضوع حقوق التأليف لمؤلفي الكتب والبحوث والرسائل العلمية : هل هي حقوق ثابتة مملوكة لأصحابها ، وهل يجوز شرعاً الاعتياض عنها ، والتعاقد مع الناشرين عليها ، وهل يجوز لأحدٍ غير المؤلف أن ينشر كتبه وبحوثه ويبيعها دون إذنه ، على أنَّها مباحة لكلِّ أحدٍ ، أو لا يجوز ؟ وعرض على المجلس التقارير والدراسات التي هيأها في هذا الشأن بعض أعضاء المجلس ، وناقش المجلس أيضاً رأي بعض الباحثين المعاصرين ، من أنَّ المؤلِّف ليس له حقٌّ مالي مشروع فيما يؤلِّفه أو ينشره من كتب علمية ، بحجَّة أنَّ العلم لا يجوز شرعاً حجره عن الناس ، بل يجب على العلماء بذله ، ومن كتم علماً ألْجَمَهُ الله تعالى يوم القيامة بلجام من نارٍ ، فلكلِّ من وصل إلى يده بطريق مشروع نسخة من كتابٍ لأحد المؤلفين ، أن ينسخه كتابةً ، وأن ينشره ويتاجر بتمويل نشره ، وبيع نسخه كما يشاء ، وليس للمؤلف حقُّ منعه . ونظر المجلس في الرأي المقابل ، وما نشر فيه عن حقوق الابتكار ، وما يسمى الملكية الأدبية والملكية الصناعية ، من أنَّ كل مؤلِّف لكتاب أو بحث أو عمل فنيٍّ أو مخترعٍ لآلة نافعة له الحق وحده في استثمار مؤلَّفه أو اختراعه ، نشراً وإنتاجاً وبيعاً ، وأن يتنازل عنه لمن شاء بعوض أو غيره ، وبالشروط التي يوافق عليها ، وليس لأحدٍ أن ينشر الكتاب المؤلَّف أو البحث المكتوب بدون إذن صاحبه ، ولا أن يُقَلِّد الاختراع ويتاجر به دون رضى مخترعه وانتهى المجلس بعد المناقشة المستفيضة إلى القرار التالي Kami kutipkan di sini beberapa fatwa lembaga agama yang berspesialisasi di bidang pembahasan masalah kontemporer: 1. Pernyataan Akademi Fikih Islam di bawah Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah: Segala puji hanya milik Allah semata, selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada orang yang tiada lagi Nabi setelahnya, junjungan dan Nabi kami, Muhammad shallallāhu ʿalaihi wa sallam. Adapun berikutnya, bahwa Dewan Akademi Fikih Islam dalam sidangnya yang kesembilan yang diselenggarakan di Gedung Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah, yang dimulai hari pada Sabtu, 12 Rajab 1406 H, sampai dengan hari Sabtu, 19 Rajab 1406 H, telah membahas masalah hak cipta bagi para pengarang buku, hasil penelitian, dan karya ilmiah. Apakah hak-hak tersebut sah dan dimiliki oleh para pengarang dan apakah dibolehkan secara syariat untuk mendapatkan bayaran darinya serta membuat akad dengan penerbit? Apakah dibolehkan bagi siapa pun selain pengarang untuk menerbitkan buku-buku dan hasil penelitiannya lalu memperjualbelikannya tanpa seizinnya atas dasar bahwa hal itu boleh (dimanfaatkan) oleh siapa saja ataukah tidak boleh? Dipresentasikan kepada dewan majelis pembahasan-pembahasan dan kajian-kajian tentang masalah-masalah ini yang telah disiapkan oleh sebagian anggota dewan majelis. Peserta majelis juga telah mendiskusikannya pandangan sebagian peneliti kontemporer yang menyatakan bahwa pengarang tidak memiliki hak finansial yang sah secara syariat atas buku-buku ilmiah yang telah ditulis atau disebarkannya, dengan hujah bahwa menurut syariat, ilmu tidak boleh dibatasi aksesnya kepada manusia, bahkan orang yang berilmu harus menyebarluaskannya, dan pada hari kiamat Allah akan memasang kekang dari api neraka bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Jadi, bagi siapa saja yang memperoleh salinan buku dari salah seorang pengarang dengan cara yang dibenarkan syariat, atau menyalinnya dengan menulisnya, menerbitkannya, memperjualbelikannya karena membiayai penerbitannya, dan menjual sekehendaknya, maka bagi pengarang tidak berhak untuk melarangnya.  Dewan majelis juga mempelajari pandangan yang berlawanan dan pembahasan tentang hak paten serta perkara yang diistilahkan dengan kepemilikan sastra dan kepemilikan industri, bahwa setiap penulis buku, penelitian, karya seni, atau penemuan alat yang berguna memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan keuntungan finansial dari karangan atau penemuannya, baik dari sisi penerbitannya, pembuatannya, atau penjualannya, dan bisa memberikan hak tersebut kepada siapa pun yang dikehendakinya dengan kompensasi atau yang lain sebagainya dan dengan syarat yang telah disepakati, dan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menerbitkan buku, karangan, atau penelitian yang ditulis tanpa persetujuan penulis, maupun meniru suatu penemuan lalu memperjualbelikannya tanpa persetujuan penemunya. Setelah diskusi yang menyeluruh, dewan mencapai kesimpulan sebagai berikut: أولاً : إنَّ الكتب والبحوث قبل ابتكار طرق النشر بالمطابع التي تخرج منه الآلاف المؤلَّفة من النسخ ، حين لم يكن في الماضي وسيلة لنشر الكتاب إلاَّ الاستنساخ باليد ، وقد يقضي الناسخ سنوات في استنساخ كتابٍ كبير ليخرج منه نسخة واحدة ، كان الناسخ إذ ذاك يخدم العالم المؤلِّف حينما ينسخ بقلمه نسخة أو عدَّة نسخ لولاها لبقي الكتاب على نسخة المؤلِّف الأصلية معرَّضاً للضياع الأبدي إذا تلفت النسخة الأصلية ، فلم يكن نسخ الكتاب عدواناً على المؤلِّف ، واستثماراً من الناسخ لجهود غيره وعلمه ، بل بالعكس ، كان خدمة له ، وشهرة لعلمه ، وجهوده Bahwa buku-buku dan penelitian, sebelum ditemukannya metode penyebaran dengan percetakan modern yang dapat menghasilkan ribuan eksemplar salinan, ketika sebelumnya belum ada cara lain untuk menyebarkan buku kecuali dengan cara menyalin dengan tangan, yang terkadang mengharuskan si penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin satu buku yang besar untuk menghasilkan satu eksemplar saja. Si penyalin dengan begitu telah berkhidmat kepada cendekia penulisnya ketika dia menyalin dengan alat tulisnya satu eksemplar atau beberapa eksemplar, yang  jika tidak demikian, tentu buku tersebut akan tetap berupa salinan asli si penulis, yang rentan hilang selamanya jika salinan aslinya rusak. Jadi, menyalin buku bukanlah pelanggaran terhadap si penulis dan bukan menjadi keuntungan pribadi bagi penyalin atas usaha dan ilmu orang lain, justru sebaliknya, ia berkhidmat kepadanya serta menyebarkan pengetahuan dan usahanya. ثانياً : أمَّا بعد ظهور المطابع فقد أصبح الأمر معكوساً تماماً ، فقد يقضي المؤلِّف معظم عمره في تأليف كتاب نافعٍ ، وينشره ليبيعه ، فيأخذ شخصٌ آخر نسخة منه فينشرها بالوسائل الحديثة طبعاً وتصويراً ، ويبيعه مزاحماً مؤلِّفَهُ ومنافساً له ، أو يوزِّعه مجاناً ليكسب بتوزيعه شهرة ، فيضيع تعب المؤلِّف وجهوده ، ومثل ذلك يقال في المخترع . وهذا مما يثبط همم ذوي العلم والذكاء في التأليف والاختراع ، حيث يرون أنَّ جهودهم سينهبها سواهم متى ظهرت ونزلت الميدان ، ويتاجر بها منافساً لهم من لم يبذل شيئاً مما بذلوه هم في التأليف أو الابتكار . فقد تغيَّر الوضع بتغيُّر الزمن وظهور المستجدات فيه ، مما له التأثير الأساسي بين ما كان وما صار ، مما يوجب نظراً جديداً يحفظ لكل ذي جهد جهده وحقَّه . فيجب أن يعتبر للمؤلِّف والمُخْتَرِعِ حقٌّ فيما ألَّف أو ابتكر ، وهذا الحقُّ هو ملك له شرعاً ، لا يجوز لأحدٍ أن يسطو عليه دون إذنه Adapun setelah ditemukannya mesin cetak, justru yang terjadi adalah kebalikannya: penulis bisa saja menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis buku yang bermanfaat, lalu menerbitkan dan menjualnya, kemudian ada orang lain yang mendapatkan salinannya darinya dan menerbitkannya dengan berbagai alat cetak dan fotokopi modern, lalu ia dapat menjualnya sehingga menjadi saingan dan rival bagi penulis atau dia mendistribusikannya secara gratis agar mendapatkan popularitas melalui pendistribusian tersebut, sehingga jerih payah dan usaha penulis terabaikan. Hal yang sama juga berlaku kepada seorang penemu. Hal ini dapat membuat hilangnya tekad orang-orang yang punya ilmu dan kecerdasan atau karya serta penemuan, karena mereka tahu bahwa jerih payah mereka akan dicuri begitu saja oleh orang lain ketika sudah muncul dan diturunkan ke lapangan, yang diperjualbelikan lalu menyaingi mereka tanpa melakukan usaha yang telah dilakukannya dalam mengarang atau menemukan. Jadi, keadaan terkadang berubah dengan perubahan zaman serta munculnya cara dan metode baru, yang berdampak besar pada perubahan sesuatu di zaman dahulu dan di masa mendatang, yang mengharuskan adanya pengkajian ulang demi menjaga hak dan usaha orang yang memiliki hak dan usaha. Pengarang dan penemu harus memiliki hak atas apa yang telah mereka tulis dan ciptakan, yang mana secara syariat hak ini merupakan hak mereka. Tidak boleh bagi siapa pun untuk mengambil darinya tanpa izin, dengan syarat bahwa buku atau penelitian tersebut tidak menyebarkan hal-hal yang mungkar secara syariat, bidah, atau kesesatan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika demikian, maka harus dimusnahkan dan tidak boleh diterbitkan.  وذلك بشرط أن يكون الكتاب أو البحث ليس فيه دعوة إلى منكر شرعاً ، أو بدعة أو أيِّ ضلالة تنافي شريعة الإسلام ، وإلاَّ فإنَّه حينئذٍ يجب إتلافه ، ولا يجوز نشره .وكذلك ليس للناشر الذي يتَّفق معه المؤلِّف ولا لغيره تعديل شيءٍ في مضمون الكتاب ، أو تغيير شيءٍ دون موافقة المؤلِّف ، وهذا الحقُّ يورَث عن صاحبه ، ويتقيَّد بما تقيِّده به المعاهدات الدولية والنظم والأعراف التي لا تخالف الشريعة ، والتي تنظِّم هذا الحق وتحدِّده بعد وفاة صاحبه تنظيماً وجمعاً بين حقِّه الخاصِّ والحقِّ العامِّ ؛ لأنَّ كل مؤلِّف أو مخترعٍ يستعين بأفكار ونتاج من سبقوه ، ولو في المعلومات العامة ، والوسائل القائمة قبله .أمَّا المؤلِّف أو المخترع الذي يكون مستأجراً من إحدى دور النشر ليؤلِّف لها كتاباً ، أو من إحدى المؤسسات ليخترع لها شيئاً لغاية ما : فإنَّ ما ينتجه يكون من  حقِّ الجهة المستأجرة له ، ويتبع في حقِّه الشروط المتَّفق عليها بينهما ، مما تقبله قواعد التعاقد . والله ولي التوفيق ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ” انتهى . نقلا عن ” فقه النوازل ” للدكتور محمد بن حسين الجيزاني ( 3 / 127 – 129 ) Demikian pula, baik penerbit atau orang lain yang telah melakukan kesepakatan dengan penulis tidak boleh  merevisi isi buku atau mengubah apa pun tanpa persetujuan pengarang. Hak ini dapat diwariskan dari pengarang, yang terikat dengan berbagai kebiasaan, hukum, dan praktik yang tidak bertentangan dengan syariat, yang mengatur dan membatasi hak ini setelah pengarang meninggal dunia demi mengatur dan menjamak hak-hak individu dan hak-hak masyarakat umum, karena setiap pengarang dan penemu pasti terinspirasi dengan ide-ide dan produk-produk orang-orang sebelumnya, meskipun hanya berupa pandangan umum atau sarana yang sudah ada sebelumnya. Adapun penulis atau penemu yang dibayar oleh penerbit untuk menulis buku untuk penerbit tersebut atau oleh salah satu lembaga untuk menciptakan sesuatu untuknya untuk tujuan tertentu, maka apa yang dihasilkannya menjadi hak lembaga yang mempekerjakannya, yang pada hak tersebut ada berbagai ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian. Taufik hanya milik Allah. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad, dan keluarga serta para Sahabat beliau. Selesai kutipan dari Fiqhu al-Nawāzil karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jirani (3/127-129). 2. قرار مجمع الفقه الإسلامي بجدة ، التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي جاء في ” قرارات وتوصيات مجمع الفقه الإسلامي ” ( 94 ) ما يلي : إنَّ مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره الخامس بالكويت ، من 1 إلى 6 جمادى الأولى 1409هـ ( الموافق 10 إلى 15 كانون الأول (ديسمبر) 1988م ، بعد اطلاعه على البحوث المقدَّمة من الأعضاء والخبراء في موضوع ( الحقوق المعنوية ) ، واستماعه للمناقشات التي دارت حوله ، قرَّر ما يلي أولاً : الاسم التجاري ، والعنوان التجاري ، والعلامة التجارية ، والتأليف والاختراع أو الابتكار هي حقوق خاصَّةٌ لأصحابها ، أصبح لها في العرف المعاصر قيمة مالية معتبرة لتموُّل الناس لها ، وهذه الحقوق يعتدُّ بها شرعاً ، فلا يجوز الاعتداء عليها ثانياً : يجوز التصرُّف في الاسم التجاري أو العنوان التجاري أو العلامة التجارية ، ونقل أيٍّ منها بعوض ماليٍّ إذا انتفى الغرر والتدليس والغش ، باعتبار أنَّ ذلك أصبح حقَّاً ماليّاً ثالثاً : حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعاً ، ولأصحابها حقُّ التصرُّف فيها ، ولا يجوز الاعتداء عليها ، والله أعلم ” انتهى 2. Pernyataan Dewan Fikih Islam di Jeddah, di bawah Organisasi Konferensi Islam. Disebutkan dalam Ketetapan dan Wasiat  Dewan Fikih Islam (94) sebagai berikut:  Bahwa Majelis Dewan Fikih Islam yang diselenggarakan pada sidang dalam konferensi kelima di Kuwait dari tanggal 1 hingga 6 Jumadil Ula 1409 H (bertepatan dengan 10 hingga 15 Desember 1988 M), setelah menelaah makalah-makalah yang disampaikan oleh para anggota dan para ahli tentang topik “hak-hak nonmateriel” dan menyimak diskusi yang dibahas tentang topik tersebut, maka ditetapkan hal-hal berikut: Nama dagang, nama perusahaan, merek dagang, karya tulis, dan penemuan atau invensi merupakan hak cipta eksklusif bagi penemunya, yang dalam praktik modern telah menjadi nilai ekonomis yang diakui untuk diambil keuntungannya oleh manusia. Hak-hak ini dihormati oleh syariat dan tidak boleh dilanggar. Boleh memanfaatkan nama dagang, nama perusahaan, atau merek dagang, dan mengalihkan apa pun darinya dengan imbalan finansial, asalkan tidak ada unsur penipuan, penyimpangan, dan kecurangan, dengan pertimbangan bahwa itu telah menjadi hak finansial. Hak atas karya tulis, penemuan, dan invensi dilindungi secara syariat dan bagi pemiliknya berhak memanfaatkannya, serta tidak seorang pun boleh melanggarnya. Allah yang lebih mengetahui. Selesai kutipan. 3. قرار اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية سئل علماء ” اللجنة الدائمة ” ( 13 / 188 ) ما يلي : أعمل في مجال الحاسب الآلي ، ومنذ أن بدأت العمل في هذا المجال أقوم بنسخ البرامج للعمل عليها ، ويتم ذلك دون أن أشتري النسخ الأصلية لهذه البرامج ، علمًا بأنه توجد على هذه البرامج عبارات تحذيرية من النسخ ، مؤداها : أن حقوق النسخ محفوظة ، تشبه عبارة ( حقوق الطبع محفوظة ) الموجودة على بعض الكتب ، وقد يكون صاحب البرنامج مسلمًا أو كافرًا ، وسؤالي هو : هل يجوز النسخ بهذه الطريقة أم لا ؟ . فأجابوا : ” لا يجوز نسخ البرامج التي يمنع أصحابها نسخها ، إلا بإذنهم ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ؛ ولقوله صلى الله عليه وسلم : ( لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة من نفسه ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من سبق إلى مباح فهو أحق به ) ، سواء كان صاحب هذه البرامج مسلماً أو كافراً غير حربي ؛ لأن حق الكافر غير الحربي محترم كحق المسلم ، وبالله التوفيق ” انتهى 3. Pernyataan Komite Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Para ulama anggota Komite Tetap (13/188) pernah ditanya sebagai berikut: “Saya bekerja di bidang komputer, dan sejak saya mulai bekerja di bidang ini, saya telah membuat salinan program untuk bekerja dengan komputer tersebut. Saya telah melakukan itu tanpa membeli salinan asli dari program-program tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam program-program tersebut memuat peringatan terhadap penyalinannya, yang menyatakan ‘all rights reserved’ (semua hak cipta dilindungi undang-undang), yang serupa dengan ‘hak penerbitan dilindungi undang-undang’ yang ada di sebagian buku. Pemilik program tersebut mungkin seorang muslim atau kafir. Pertanyaan saya adalah: ‘Apakah boleh membuat salinan dengan cara ini atau tidak?’”   Mereka menjawab bahwa tidak boleh membuat salinan program yang pembuatnya telah melarang pembuatan salinannya, kecuali dengan izin mereka, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ʿalaihi wa sallam “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Juga berdasarkan sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Juga sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Barang siapa yang mendahului dalam perkara mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Baik pembuat program tersebut seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi hukumnya haram (dilanggar) sebagaimana hak-hak seorang muslim. Selesai kutipan dari Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah, 13/188. وبناء على ما سبق فلا يجوز لأحد أن ينسخ شيئاً مما حُفظت حقوق نسخه لأصحابه ، كما لا يجوز شراء شيء مما نُسخ من هذه البرامج من غير إذن أصحابها ، ومع سهولة وسائل الاتصال اليوم لم يعد هناك ما يصعب تحصيله وشراؤه ، فالبرامج الأصلية موجودة ولا بد في الوكالات الرسمية لأصحاب تلك الشركات ، كما أنها موجودة في مواقع الشركات نفسها على الإنترنت ، ويمكن بكل سهولة شراؤها وتحصيلها من تلك الأماكن Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak seorang pun diperbolehkan menyalin sesuatu yang telah dilindungi hak ciptanya untuk pemiliknya, sebagaimana juga tidak diperbolehkan membeli sesuatu yang disalin dari program tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Dengan kemudahan komunikasi saat ini, tidak ada yang sulit untuk memperoleh izin dan membelinya. Jadi, program aslinya tersedia dan harusnya ada di agen resmi milik perusahaan tersebut, sebagaimana juga tersedia di situs web perusahaan tersebut di Internet, dan sangat mungkin dengan mudah dibeli dan diperoleh dari tempat-tempat tersebut. ثانياً يرى بعض علمائنا المحققين حرمة هذا الأمر إذا كان بقصد التجارة ، وأما من اقتنى نسخة لنفسه : فالأمر جائز ، وهو قول وسط بين المانعين بالكلية ، والمبيحين بالكلية . وقد سبق في جواب السؤال رقم ( 21927 ) إجابة مختصرة لهذه المسألة عن الشيخ سعد الحميِّد ، فيها التفصيل التالي : ” نسخ كتاب أو قرص بغرض المتاجرة ومضارّة صاحبه الأصلي : لا يجوز ، أما إذا نسخ الإنسان نسخة واحدة لنفسه : فنرجو ألا يكون بذلك بأس ، وتركه أولى وأحسن ” انتهى .وهذه فتوى للشيخ ابن عثيمين موافقه لها : السؤال : فضيلة الشيخ ! هل يجوز نسخ برامج الحاسب الآلي مع أن الشركات تمنع ذلك والنظام ؟ وهل يعتبر ذلك احتكاراً وهي تباع بأسعار غالية ، وإذا نسخت تباع بأسعار رخيصة ؟ Kedua, sebagian ulama muḥaqqiq kita berpendapat haramnya hal ini jika tujuannya adalah untuk perdagangan. Adapun orang yang memiliki salinannya untuk dirinya sendiri, maka hal itu dibolehkan. Ini merupakan pendapat pertengahan antara mereka yang melarangnya sepenuhnya dan mereka yang mengizinkannya sepenuhnya. Dalam jawaban soal nomor 21927, jawaban singkat atas masalah ini diberikan oleh Syekh Saad Al-Humaid, yang di dalamnya terdapat perincian sebagai berikut: “Tidak boleh menyalin buku atau kaset untuk tujuan memperjualbelikan dan merugikan pemilik aslinya. Akan tetapi, jika seseorang memperbanyak satu eksemplar untuk dirinya sendiri, kami berharap hal itu tidak mengapa, tetapi meninggalkannya lebih utama dan lebih baik.” Selesai kutipan.  Berikut adalah fatwa Syekh Ibnu Utsaimin yang senada dengan fatwa tersebut. Pertanyaan: “Wahai Syekh Yang Mulia, apakah boleh menyalin program komputer meskipun perusahaan dan hukum telah melarangnya? Apakah ini dianggap monopoli, karena dijual dengan harga tinggi, dan jika disalin (dibajak), bisa dijual dengan harga rendah?”  فأجاب : القرآن ؟ السائل : برامج الحاسب الآلي عموماً الشيخ : القرآن ؟ السائل : القرآن ، وغير القرآن ، والحديث ، وبرامج أخرى كثيرة الشيخ : يعني : ما سجل فيه ؟ السائل : ما سجل في الأقراص الشيخ : أما إذا كانت الدولة مانعة : فهذا لا يجوز ؛ لأن الله أمر بطاعة ولاة الأمور ، إلا في معصية الله ، والامتناع من تسجيلها ليس من معصية الله ، وأما من جهة الشركات : فالذي أرى أن الإنسان إذا نسخها لنفسه فقط : فلا بأس ، وأما إذا نسخها للتجارة : فهذا لا يجوز ؛ لأن فيه ضرراً على الآخرين ، يشبه البيع على بيع المسلم ؛ لأنهم إذا صاروا يبيعونه بمائة ونسختَه أنت وبعته بخمسين : هذا بيع على بيع أخيك السائل : وهل يجوز أن أشتريها بخمسين من أصحاب المحلات وهو منسوخ الشيخ : لا يجوز ، إلا إذا قدم لك أنه مأذون له ، وأما إذا لم يقدم : فهذا تشجيع على الإثم والعدوان السائل : إذا لم يؤذن له هو – جزاك الله خيراً – ؟ الشيخ : وإذا كنت أيضاً لا تدري ، أحياناً الإنسان لا يدري يقف على هذا المعرض ويشتري وهو لا يدري ، هذا لا بأس به ، الذي لا يدري ليس عليه شيء ” لقاءات الباب المفتوح ” ( 178 / السؤال رقم 6 ) ولمزيد من الفائدة راجع جواب السؤال رقم (52903) . والله أعلم Dijawab : Al-Quran? Penanya : Program komputer secara umum. Penanya : Al-Quran, juga selain Al-Quran, hadis, dan masih banyak lagi program lainnya. Syekh : Yakni yang tersimpan?  Penanya : Tidak disimpan dalam kaset. Syekh : Adapun jika negara melarangnya, maka ini tidak boleh. Karena Allah telah memerintahkan ketaatan kepada pemerintah, kecuali jika menyuruh kemaksiatan. Menahan diri dari menyalinnya bukanlah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Sedangkan (larangan) dari sisi perusahaannya, maka menurutku jika seseorang menyalinnya untuk dirinya sendiri saja tidaklah mengapa. Adapun jika ia menggandakannya untuk diperdagangkan, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena hal itu mendatangkan mudarat kepada orang lain, seperti penjualan di atas penjualan muslim lain, karena jika mereka menjualnya seharga seratus dan Anda menyalinnya dan menjualnya seharga lima puluh, maka ini termasuk penjualan di atas penjualan saudara Anda. Penanya : Apakah dibolehkan bagi saya membelinya dengan harga lima puluh dari pedagang, yakni versi salinannya (bajakannya)? Syekh : Tidak boleh, kecuali jika dia memberi tahu Anda bahwa dia telah diberi izin. Namun jika dia tidak bisa menunjukkannya, maka itu adalah kesembronoan dalam dosa dan pelanggaran. Penanya : Jika tidak diizinkan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syekh : Jika Anda sendiri juga tidak tahu, kadang seseorang tidak tahu, dia mampir di pameran ini dan membeli tanpa tahu apa-apa, maka ini tidak mengapa, karena yang tidak tahu tidaklah punya tanggungan apa pun. Liqāʾ al-Bābil al-Maftūḥ (178/Pertanyaan No. 6) Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban Pertanyaan No 52903. Allah Yang lebih mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 296 times, 1 visit(s) today Post Views: 415 QRIS donasi Yufid


حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Hukum Membeli Perangkat Lunak Komputer Bajakan السؤال عندنا في الجزائر البرامج التي تستعمل في جهاز الكمبيوتر نشتريها من الباعة ، ونعلم أن هذه النسخ التي نشتريها ليست أصلية ، ونعلم أن بيعها أو شراءها غير جائز ؛ لأنها محفوظة الحقوق ، وللعلم لا تصلنا النسخ الأصلية حتى نشتريها ، وغير متوفرة ، فهل عدم توفرها يجيز لنا شراء النسخ غير الأصلية ؟ Pertanyaan: Di Aljazair, kami membeli program yang dipakai di komputer dari para penjual. Kami tahu bahwa salinan yang kami beli itu bukan asli, dan kami tahu bahwa memperjual belikannya tidak boleh, karena hak ciptanya dilindungi. Perlu diketahui bahwa salinan aslinya tidak sampai kepada kami dan tidak tersedia sehingga bisa kami beli. Apakah ketidaktersediaannya memungkinkan kita membeli salinan yang tidak asli (bajakan)? الجواب الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:أولاً : هذه المسألة هي جزء من مسألة كبيرة تسمى بـ ” الملكية الفكرية ” ، وهي من المسائل التي طال الحديث حولها شرعيّاً ، بل وحتى دوليّاً ؛ نظراً للأهمية التي تترتب عليها ، فهي تشمل الملكية الصناعية التي تحفظ حقوق براءات الاختراع والاكتشافات والأسماء الصناعية ، كما تشمل الملكية الأدبية والفنية التي تشمل حقوق التأليف والتصنيف . والحقيقة أن مثل هذه المسائل النوازل تحتاج إلى دراسة شاملة لجميع الجوانب المتعلقة بها ، سواء كانت تشريعية أو تأصيلية أو اقتصادية أو غير ذلك ، فالأمر تتجاذبه أطراف مختلفة مؤثرة في الحكم ، فكان لا بد من الوقوف على هذه المؤثرات Jawaban: Segala puji bagi Allah, dan semoga selawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah. Pertama, masalah ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar yang disebut dengan “kekayaan intelektual”, yang merupakan salah satu masalah yang telah dibahas panjang lebar dalam perspektif syariat, bahkan di tingkat internasional karena adanya urgensi dalam hal tersebut. Kekayaan intelektual meliputi hak kekayaan intelektual industri, yang melindungi hak paten, penemuan, dan merk industri, serta hak kekayaan intelektual sastra dan seni, yang meliputi hak karya dan komposisi. Sebenarnya, persoalan kontemporer seperti ini memerlukan kajian yang integral dan komprehensif yang meliputi semua aspek yang terkait dengannya, baik aspek syariat, dasar hukum, ekonomi, maupun yang lainnya, karena persoalan ini berkaitan dengan berbagai sisi yang berpengaruh dalam menentukan hukum, sehingga harus memperhatikan semua sisi-sisi tersebut. ونحن ننقل هنا فتاوى بعض الهيئات الشرعية المتخصصة في بحث هذه الأمور النوازل 1. قرار المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة ” الحمد لله وحده ، والصلاة والسلام على من لا نبيَّ بعده ، سيدنا ونبينا محمد صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم ، أمَّا بعد فإنَّ مجلس المجمع الفقهي الإسلامي في دورته التاسعة ، المنعقدة بمبنى ” رابطة العالم الإسلامي ” في مكة المكرمة في الفترة من يوم السبت 12 رجب 1406هـ إلى يوم السبت 19 رجب 1406هـ ، قد نظر في موضوع حقوق التأليف لمؤلفي الكتب والبحوث والرسائل العلمية : هل هي حقوق ثابتة مملوكة لأصحابها ، وهل يجوز شرعاً الاعتياض عنها ، والتعاقد مع الناشرين عليها ، وهل يجوز لأحدٍ غير المؤلف أن ينشر كتبه وبحوثه ويبيعها دون إذنه ، على أنَّها مباحة لكلِّ أحدٍ ، أو لا يجوز ؟ وعرض على المجلس التقارير والدراسات التي هيأها في هذا الشأن بعض أعضاء المجلس ، وناقش المجلس أيضاً رأي بعض الباحثين المعاصرين ، من أنَّ المؤلِّف ليس له حقٌّ مالي مشروع فيما يؤلِّفه أو ينشره من كتب علمية ، بحجَّة أنَّ العلم لا يجوز شرعاً حجره عن الناس ، بل يجب على العلماء بذله ، ومن كتم علماً ألْجَمَهُ الله تعالى يوم القيامة بلجام من نارٍ ، فلكلِّ من وصل إلى يده بطريق مشروع نسخة من كتابٍ لأحد المؤلفين ، أن ينسخه كتابةً ، وأن ينشره ويتاجر بتمويل نشره ، وبيع نسخه كما يشاء ، وليس للمؤلف حقُّ منعه . ونظر المجلس في الرأي المقابل ، وما نشر فيه عن حقوق الابتكار ، وما يسمى الملكية الأدبية والملكية الصناعية ، من أنَّ كل مؤلِّف لكتاب أو بحث أو عمل فنيٍّ أو مخترعٍ لآلة نافعة له الحق وحده في استثمار مؤلَّفه أو اختراعه ، نشراً وإنتاجاً وبيعاً ، وأن يتنازل عنه لمن شاء بعوض أو غيره ، وبالشروط التي يوافق عليها ، وليس لأحدٍ أن ينشر الكتاب المؤلَّف أو البحث المكتوب بدون إذن صاحبه ، ولا أن يُقَلِّد الاختراع ويتاجر به دون رضى مخترعه وانتهى المجلس بعد المناقشة المستفيضة إلى القرار التالي Kami kutipkan di sini beberapa fatwa lembaga agama yang berspesialisasi di bidang pembahasan masalah kontemporer: 1. Pernyataan Akademi Fikih Islam di bawah Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah: Segala puji hanya milik Allah semata, selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada orang yang tiada lagi Nabi setelahnya, junjungan dan Nabi kami, Muhammad shallallāhu ʿalaihi wa sallam. Adapun berikutnya, bahwa Dewan Akademi Fikih Islam dalam sidangnya yang kesembilan yang diselenggarakan di Gedung Liga Muslim Dunia di Makkah al-Mukarramah, yang dimulai hari pada Sabtu, 12 Rajab 1406 H, sampai dengan hari Sabtu, 19 Rajab 1406 H, telah membahas masalah hak cipta bagi para pengarang buku, hasil penelitian, dan karya ilmiah. Apakah hak-hak tersebut sah dan dimiliki oleh para pengarang dan apakah dibolehkan secara syariat untuk mendapatkan bayaran darinya serta membuat akad dengan penerbit? Apakah dibolehkan bagi siapa pun selain pengarang untuk menerbitkan buku-buku dan hasil penelitiannya lalu memperjualbelikannya tanpa seizinnya atas dasar bahwa hal itu boleh (dimanfaatkan) oleh siapa saja ataukah tidak boleh? Dipresentasikan kepada dewan majelis pembahasan-pembahasan dan kajian-kajian tentang masalah-masalah ini yang telah disiapkan oleh sebagian anggota dewan majelis. Peserta majelis juga telah mendiskusikannya pandangan sebagian peneliti kontemporer yang menyatakan bahwa pengarang tidak memiliki hak finansial yang sah secara syariat atas buku-buku ilmiah yang telah ditulis atau disebarkannya, dengan hujah bahwa menurut syariat, ilmu tidak boleh dibatasi aksesnya kepada manusia, bahkan orang yang berilmu harus menyebarluaskannya, dan pada hari kiamat Allah akan memasang kekang dari api neraka bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Jadi, bagi siapa saja yang memperoleh salinan buku dari salah seorang pengarang dengan cara yang dibenarkan syariat, atau menyalinnya dengan menulisnya, menerbitkannya, memperjualbelikannya karena membiayai penerbitannya, dan menjual sekehendaknya, maka bagi pengarang tidak berhak untuk melarangnya.  Dewan majelis juga mempelajari pandangan yang berlawanan dan pembahasan tentang hak paten serta perkara yang diistilahkan dengan kepemilikan sastra dan kepemilikan industri, bahwa setiap penulis buku, penelitian, karya seni, atau penemuan alat yang berguna memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan keuntungan finansial dari karangan atau penemuannya, baik dari sisi penerbitannya, pembuatannya, atau penjualannya, dan bisa memberikan hak tersebut kepada siapa pun yang dikehendakinya dengan kompensasi atau yang lain sebagainya dan dengan syarat yang telah disepakati, dan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menerbitkan buku, karangan, atau penelitian yang ditulis tanpa persetujuan penulis, maupun meniru suatu penemuan lalu memperjualbelikannya tanpa persetujuan penemunya. Setelah diskusi yang menyeluruh, dewan mencapai kesimpulan sebagai berikut: أولاً : إنَّ الكتب والبحوث قبل ابتكار طرق النشر بالمطابع التي تخرج منه الآلاف المؤلَّفة من النسخ ، حين لم يكن في الماضي وسيلة لنشر الكتاب إلاَّ الاستنساخ باليد ، وقد يقضي الناسخ سنوات في استنساخ كتابٍ كبير ليخرج منه نسخة واحدة ، كان الناسخ إذ ذاك يخدم العالم المؤلِّف حينما ينسخ بقلمه نسخة أو عدَّة نسخ لولاها لبقي الكتاب على نسخة المؤلِّف الأصلية معرَّضاً للضياع الأبدي إذا تلفت النسخة الأصلية ، فلم يكن نسخ الكتاب عدواناً على المؤلِّف ، واستثماراً من الناسخ لجهود غيره وعلمه ، بل بالعكس ، كان خدمة له ، وشهرة لعلمه ، وجهوده Bahwa buku-buku dan penelitian, sebelum ditemukannya metode penyebaran dengan percetakan modern yang dapat menghasilkan ribuan eksemplar salinan, ketika sebelumnya belum ada cara lain untuk menyebarkan buku kecuali dengan cara menyalin dengan tangan, yang terkadang mengharuskan si penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin satu buku yang besar untuk menghasilkan satu eksemplar saja. Si penyalin dengan begitu telah berkhidmat kepada cendekia penulisnya ketika dia menyalin dengan alat tulisnya satu eksemplar atau beberapa eksemplar, yang  jika tidak demikian, tentu buku tersebut akan tetap berupa salinan asli si penulis, yang rentan hilang selamanya jika salinan aslinya rusak. Jadi, menyalin buku bukanlah pelanggaran terhadap si penulis dan bukan menjadi keuntungan pribadi bagi penyalin atas usaha dan ilmu orang lain, justru sebaliknya, ia berkhidmat kepadanya serta menyebarkan pengetahuan dan usahanya. ثانياً : أمَّا بعد ظهور المطابع فقد أصبح الأمر معكوساً تماماً ، فقد يقضي المؤلِّف معظم عمره في تأليف كتاب نافعٍ ، وينشره ليبيعه ، فيأخذ شخصٌ آخر نسخة منه فينشرها بالوسائل الحديثة طبعاً وتصويراً ، ويبيعه مزاحماً مؤلِّفَهُ ومنافساً له ، أو يوزِّعه مجاناً ليكسب بتوزيعه شهرة ، فيضيع تعب المؤلِّف وجهوده ، ومثل ذلك يقال في المخترع . وهذا مما يثبط همم ذوي العلم والذكاء في التأليف والاختراع ، حيث يرون أنَّ جهودهم سينهبها سواهم متى ظهرت ونزلت الميدان ، ويتاجر بها منافساً لهم من لم يبذل شيئاً مما بذلوه هم في التأليف أو الابتكار . فقد تغيَّر الوضع بتغيُّر الزمن وظهور المستجدات فيه ، مما له التأثير الأساسي بين ما كان وما صار ، مما يوجب نظراً جديداً يحفظ لكل ذي جهد جهده وحقَّه . فيجب أن يعتبر للمؤلِّف والمُخْتَرِعِ حقٌّ فيما ألَّف أو ابتكر ، وهذا الحقُّ هو ملك له شرعاً ، لا يجوز لأحدٍ أن يسطو عليه دون إذنه Adapun setelah ditemukannya mesin cetak, justru yang terjadi adalah kebalikannya: penulis bisa saja menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis buku yang bermanfaat, lalu menerbitkan dan menjualnya, kemudian ada orang lain yang mendapatkan salinannya darinya dan menerbitkannya dengan berbagai alat cetak dan fotokopi modern, lalu ia dapat menjualnya sehingga menjadi saingan dan rival bagi penulis atau dia mendistribusikannya secara gratis agar mendapatkan popularitas melalui pendistribusian tersebut, sehingga jerih payah dan usaha penulis terabaikan. Hal yang sama juga berlaku kepada seorang penemu. Hal ini dapat membuat hilangnya tekad orang-orang yang punya ilmu dan kecerdasan atau karya serta penemuan, karena mereka tahu bahwa jerih payah mereka akan dicuri begitu saja oleh orang lain ketika sudah muncul dan diturunkan ke lapangan, yang diperjualbelikan lalu menyaingi mereka tanpa melakukan usaha yang telah dilakukannya dalam mengarang atau menemukan. Jadi, keadaan terkadang berubah dengan perubahan zaman serta munculnya cara dan metode baru, yang berdampak besar pada perubahan sesuatu di zaman dahulu dan di masa mendatang, yang mengharuskan adanya pengkajian ulang demi menjaga hak dan usaha orang yang memiliki hak dan usaha. Pengarang dan penemu harus memiliki hak atas apa yang telah mereka tulis dan ciptakan, yang mana secara syariat hak ini merupakan hak mereka. Tidak boleh bagi siapa pun untuk mengambil darinya tanpa izin, dengan syarat bahwa buku atau penelitian tersebut tidak menyebarkan hal-hal yang mungkar secara syariat, bidah, atau kesesatan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam. Jika demikian, maka harus dimusnahkan dan tidak boleh diterbitkan.  وذلك بشرط أن يكون الكتاب أو البحث ليس فيه دعوة إلى منكر شرعاً ، أو بدعة أو أيِّ ضلالة تنافي شريعة الإسلام ، وإلاَّ فإنَّه حينئذٍ يجب إتلافه ، ولا يجوز نشره .وكذلك ليس للناشر الذي يتَّفق معه المؤلِّف ولا لغيره تعديل شيءٍ في مضمون الكتاب ، أو تغيير شيءٍ دون موافقة المؤلِّف ، وهذا الحقُّ يورَث عن صاحبه ، ويتقيَّد بما تقيِّده به المعاهدات الدولية والنظم والأعراف التي لا تخالف الشريعة ، والتي تنظِّم هذا الحق وتحدِّده بعد وفاة صاحبه تنظيماً وجمعاً بين حقِّه الخاصِّ والحقِّ العامِّ ؛ لأنَّ كل مؤلِّف أو مخترعٍ يستعين بأفكار ونتاج من سبقوه ، ولو في المعلومات العامة ، والوسائل القائمة قبله .أمَّا المؤلِّف أو المخترع الذي يكون مستأجراً من إحدى دور النشر ليؤلِّف لها كتاباً ، أو من إحدى المؤسسات ليخترع لها شيئاً لغاية ما : فإنَّ ما ينتجه يكون من  حقِّ الجهة المستأجرة له ، ويتبع في حقِّه الشروط المتَّفق عليها بينهما ، مما تقبله قواعد التعاقد . والله ولي التوفيق ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ” انتهى . نقلا عن ” فقه النوازل ” للدكتور محمد بن حسين الجيزاني ( 3 / 127 – 129 ) Demikian pula, baik penerbit atau orang lain yang telah melakukan kesepakatan dengan penulis tidak boleh  merevisi isi buku atau mengubah apa pun tanpa persetujuan pengarang. Hak ini dapat diwariskan dari pengarang, yang terikat dengan berbagai kebiasaan, hukum, dan praktik yang tidak bertentangan dengan syariat, yang mengatur dan membatasi hak ini setelah pengarang meninggal dunia demi mengatur dan menjamak hak-hak individu dan hak-hak masyarakat umum, karena setiap pengarang dan penemu pasti terinspirasi dengan ide-ide dan produk-produk orang-orang sebelumnya, meskipun hanya berupa pandangan umum atau sarana yang sudah ada sebelumnya. Adapun penulis atau penemu yang dibayar oleh penerbit untuk menulis buku untuk penerbit tersebut atau oleh salah satu lembaga untuk menciptakan sesuatu untuknya untuk tujuan tertentu, maka apa yang dihasilkannya menjadi hak lembaga yang mempekerjakannya, yang pada hak tersebut ada berbagai ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang sesuai dengan kaidah-kaidah perjanjian. Taufik hanya milik Allah. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad, dan keluarga serta para Sahabat beliau. Selesai kutipan dari Fiqhu al-Nawāzil karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jirani (3/127-129). 2. قرار مجمع الفقه الإسلامي بجدة ، التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي جاء في ” قرارات وتوصيات مجمع الفقه الإسلامي ” ( 94 ) ما يلي : إنَّ مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره الخامس بالكويت ، من 1 إلى 6 جمادى الأولى 1409هـ ( الموافق 10 إلى 15 كانون الأول (ديسمبر) 1988م ، بعد اطلاعه على البحوث المقدَّمة من الأعضاء والخبراء في موضوع ( الحقوق المعنوية ) ، واستماعه للمناقشات التي دارت حوله ، قرَّر ما يلي أولاً : الاسم التجاري ، والعنوان التجاري ، والعلامة التجارية ، والتأليف والاختراع أو الابتكار هي حقوق خاصَّةٌ لأصحابها ، أصبح لها في العرف المعاصر قيمة مالية معتبرة لتموُّل الناس لها ، وهذه الحقوق يعتدُّ بها شرعاً ، فلا يجوز الاعتداء عليها ثانياً : يجوز التصرُّف في الاسم التجاري أو العنوان التجاري أو العلامة التجارية ، ونقل أيٍّ منها بعوض ماليٍّ إذا انتفى الغرر والتدليس والغش ، باعتبار أنَّ ذلك أصبح حقَّاً ماليّاً ثالثاً : حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعاً ، ولأصحابها حقُّ التصرُّف فيها ، ولا يجوز الاعتداء عليها ، والله أعلم ” انتهى 2. Pernyataan Dewan Fikih Islam di Jeddah, di bawah Organisasi Konferensi Islam. Disebutkan dalam Ketetapan dan Wasiat  Dewan Fikih Islam (94) sebagai berikut:  Bahwa Majelis Dewan Fikih Islam yang diselenggarakan pada sidang dalam konferensi kelima di Kuwait dari tanggal 1 hingga 6 Jumadil Ula 1409 H (bertepatan dengan 10 hingga 15 Desember 1988 M), setelah menelaah makalah-makalah yang disampaikan oleh para anggota dan para ahli tentang topik “hak-hak nonmateriel” dan menyimak diskusi yang dibahas tentang topik tersebut, maka ditetapkan hal-hal berikut: Nama dagang, nama perusahaan, merek dagang, karya tulis, dan penemuan atau invensi merupakan hak cipta eksklusif bagi penemunya, yang dalam praktik modern telah menjadi nilai ekonomis yang diakui untuk diambil keuntungannya oleh manusia. Hak-hak ini dihormati oleh syariat dan tidak boleh dilanggar. Boleh memanfaatkan nama dagang, nama perusahaan, atau merek dagang, dan mengalihkan apa pun darinya dengan imbalan finansial, asalkan tidak ada unsur penipuan, penyimpangan, dan kecurangan, dengan pertimbangan bahwa itu telah menjadi hak finansial. Hak atas karya tulis, penemuan, dan invensi dilindungi secara syariat dan bagi pemiliknya berhak memanfaatkannya, serta tidak seorang pun boleh melanggarnya. Allah yang lebih mengetahui. Selesai kutipan. 3. قرار اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية سئل علماء ” اللجنة الدائمة ” ( 13 / 188 ) ما يلي : أعمل في مجال الحاسب الآلي ، ومنذ أن بدأت العمل في هذا المجال أقوم بنسخ البرامج للعمل عليها ، ويتم ذلك دون أن أشتري النسخ الأصلية لهذه البرامج ، علمًا بأنه توجد على هذه البرامج عبارات تحذيرية من النسخ ، مؤداها : أن حقوق النسخ محفوظة ، تشبه عبارة ( حقوق الطبع محفوظة ) الموجودة على بعض الكتب ، وقد يكون صاحب البرنامج مسلمًا أو كافرًا ، وسؤالي هو : هل يجوز النسخ بهذه الطريقة أم لا ؟ . فأجابوا : ” لا يجوز نسخ البرامج التي يمنع أصحابها نسخها ، إلا بإذنهم ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ؛ ولقوله صلى الله عليه وسلم : ( لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيبة من نفسه ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من سبق إلى مباح فهو أحق به ) ، سواء كان صاحب هذه البرامج مسلماً أو كافراً غير حربي ؛ لأن حق الكافر غير الحربي محترم كحق المسلم ، وبالله التوفيق ” انتهى 3. Pernyataan Komite Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Para ulama anggota Komite Tetap (13/188) pernah ditanya sebagai berikut: “Saya bekerja di bidang komputer, dan sejak saya mulai bekerja di bidang ini, saya telah membuat salinan program untuk bekerja dengan komputer tersebut. Saya telah melakukan itu tanpa membeli salinan asli dari program-program tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam program-program tersebut memuat peringatan terhadap penyalinannya, yang menyatakan ‘all rights reserved’ (semua hak cipta dilindungi undang-undang), yang serupa dengan ‘hak penerbitan dilindungi undang-undang’ yang ada di sebagian buku. Pemilik program tersebut mungkin seorang muslim atau kafir. Pertanyaan saya adalah: ‘Apakah boleh membuat salinan dengan cara ini atau tidak?’”   Mereka menjawab bahwa tidak boleh membuat salinan program yang pembuatnya telah melarang pembuatan salinannya, kecuali dengan izin mereka, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ʿalaihi wa sallam “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.” Juga berdasarkan sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” Juga sabda beliau shallallāhu ʿalaihi wa sallam, “Barang siapa yang mendahului dalam perkara mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” Baik pembuat program tersebut seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi hukumnya haram (dilanggar) sebagaimana hak-hak seorang muslim. Selesai kutipan dari Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah, 13/188. وبناء على ما سبق فلا يجوز لأحد أن ينسخ شيئاً مما حُفظت حقوق نسخه لأصحابه ، كما لا يجوز شراء شيء مما نُسخ من هذه البرامج من غير إذن أصحابها ، ومع سهولة وسائل الاتصال اليوم لم يعد هناك ما يصعب تحصيله وشراؤه ، فالبرامج الأصلية موجودة ولا بد في الوكالات الرسمية لأصحاب تلك الشركات ، كما أنها موجودة في مواقع الشركات نفسها على الإنترنت ، ويمكن بكل سهولة شراؤها وتحصيلها من تلك الأماكن Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak seorang pun diperbolehkan menyalin sesuatu yang telah dilindungi hak ciptanya untuk pemiliknya, sebagaimana juga tidak diperbolehkan membeli sesuatu yang disalin dari program tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Dengan kemudahan komunikasi saat ini, tidak ada yang sulit untuk memperoleh izin dan membelinya. Jadi, program aslinya tersedia dan harusnya ada di agen resmi milik perusahaan tersebut, sebagaimana juga tersedia di situs web perusahaan tersebut di Internet, dan sangat mungkin dengan mudah dibeli dan diperoleh dari tempat-tempat tersebut. ثانياً يرى بعض علمائنا المحققين حرمة هذا الأمر إذا كان بقصد التجارة ، وأما من اقتنى نسخة لنفسه : فالأمر جائز ، وهو قول وسط بين المانعين بالكلية ، والمبيحين بالكلية . وقد سبق في جواب السؤال رقم ( 21927 ) إجابة مختصرة لهذه المسألة عن الشيخ سعد الحميِّد ، فيها التفصيل التالي : ” نسخ كتاب أو قرص بغرض المتاجرة ومضارّة صاحبه الأصلي : لا يجوز ، أما إذا نسخ الإنسان نسخة واحدة لنفسه : فنرجو ألا يكون بذلك بأس ، وتركه أولى وأحسن ” انتهى .وهذه فتوى للشيخ ابن عثيمين موافقه لها : السؤال : فضيلة الشيخ ! هل يجوز نسخ برامج الحاسب الآلي مع أن الشركات تمنع ذلك والنظام ؟ وهل يعتبر ذلك احتكاراً وهي تباع بأسعار غالية ، وإذا نسخت تباع بأسعار رخيصة ؟ Kedua, sebagian ulama muḥaqqiq kita berpendapat haramnya hal ini jika tujuannya adalah untuk perdagangan. Adapun orang yang memiliki salinannya untuk dirinya sendiri, maka hal itu dibolehkan. Ini merupakan pendapat pertengahan antara mereka yang melarangnya sepenuhnya dan mereka yang mengizinkannya sepenuhnya. Dalam jawaban soal nomor 21927, jawaban singkat atas masalah ini diberikan oleh Syekh Saad Al-Humaid, yang di dalamnya terdapat perincian sebagai berikut: “Tidak boleh menyalin buku atau kaset untuk tujuan memperjualbelikan dan merugikan pemilik aslinya. Akan tetapi, jika seseorang memperbanyak satu eksemplar untuk dirinya sendiri, kami berharap hal itu tidak mengapa, tetapi meninggalkannya lebih utama dan lebih baik.” Selesai kutipan.  Berikut adalah fatwa Syekh Ibnu Utsaimin yang senada dengan fatwa tersebut. Pertanyaan: “Wahai Syekh Yang Mulia, apakah boleh menyalin program komputer meskipun perusahaan dan hukum telah melarangnya? Apakah ini dianggap monopoli, karena dijual dengan harga tinggi, dan jika disalin (dibajak), bisa dijual dengan harga rendah?”  فأجاب : القرآن ؟ السائل : برامج الحاسب الآلي عموماً الشيخ : القرآن ؟ السائل : القرآن ، وغير القرآن ، والحديث ، وبرامج أخرى كثيرة الشيخ : يعني : ما سجل فيه ؟ السائل : ما سجل في الأقراص الشيخ : أما إذا كانت الدولة مانعة : فهذا لا يجوز ؛ لأن الله أمر بطاعة ولاة الأمور ، إلا في معصية الله ، والامتناع من تسجيلها ليس من معصية الله ، وأما من جهة الشركات : فالذي أرى أن الإنسان إذا نسخها لنفسه فقط : فلا بأس ، وأما إذا نسخها للتجارة : فهذا لا يجوز ؛ لأن فيه ضرراً على الآخرين ، يشبه البيع على بيع المسلم ؛ لأنهم إذا صاروا يبيعونه بمائة ونسختَه أنت وبعته بخمسين : هذا بيع على بيع أخيك السائل : وهل يجوز أن أشتريها بخمسين من أصحاب المحلات وهو منسوخ الشيخ : لا يجوز ، إلا إذا قدم لك أنه مأذون له ، وأما إذا لم يقدم : فهذا تشجيع على الإثم والعدوان السائل : إذا لم يؤذن له هو – جزاك الله خيراً – ؟ الشيخ : وإذا كنت أيضاً لا تدري ، أحياناً الإنسان لا يدري يقف على هذا المعرض ويشتري وهو لا يدري ، هذا لا بأس به ، الذي لا يدري ليس عليه شيء ” لقاءات الباب المفتوح ” ( 178 / السؤال رقم 6 ) ولمزيد من الفائدة راجع جواب السؤال رقم (52903) . والله أعلم Dijawab : Al-Quran? Penanya : Program komputer secara umum. Penanya : Al-Quran, juga selain Al-Quran, hadis, dan masih banyak lagi program lainnya. Syekh : Yakni yang tersimpan?  Penanya : Tidak disimpan dalam kaset. Syekh : Adapun jika negara melarangnya, maka ini tidak boleh. Karena Allah telah memerintahkan ketaatan kepada pemerintah, kecuali jika menyuruh kemaksiatan. Menahan diri dari menyalinnya bukanlah bentuk kemaksiatan kepada Allah. Sedangkan (larangan) dari sisi perusahaannya, maka menurutku jika seseorang menyalinnya untuk dirinya sendiri saja tidaklah mengapa. Adapun jika ia menggandakannya untuk diperdagangkan, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena hal itu mendatangkan mudarat kepada orang lain, seperti penjualan di atas penjualan muslim lain, karena jika mereka menjualnya seharga seratus dan Anda menyalinnya dan menjualnya seharga lima puluh, maka ini termasuk penjualan di atas penjualan saudara Anda. Penanya : Apakah dibolehkan bagi saya membelinya dengan harga lima puluh dari pedagang, yakni versi salinannya (bajakannya)? Syekh : Tidak boleh, kecuali jika dia memberi tahu Anda bahwa dia telah diberi izin. Namun jika dia tidak bisa menunjukkannya, maka itu adalah kesembronoan dalam dosa dan pelanggaran. Penanya : Jika tidak diizinkan? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syekh : Jika Anda sendiri juga tidak tahu, kadang seseorang tidak tahu, dia mampir di pameran ini dan membeli tanpa tahu apa-apa, maka ini tidak mengapa, karena yang tidak tahu tidaklah punya tanggungan apa pun. Liqāʾ al-Bābil al-Maftūḥ (178/Pertanyaan No. 6) Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban Pertanyaan No 52903. Allah Yang lebih mengetahui. Sumber: https://islamqa.info/حكم شراء برامج الحاسوب المنسوخة Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 296 times, 1 visit(s) today Post Views: 415 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Khutbah Iduladha 1446 H: Labbaik Allahumma Labbaik, Ayat-Ayat yang Menggugah untuk Berhaji

Hari-hari mulia Dzulhijjah kembali menyapa. Inilah waktu yang mengingatkan kita pada keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam berkorban dan tunduk pada perintah Allah. Haji dan qurban bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi ujian keimanan dan keikhlasan yang dalam. Mari simak khutbah Idul Adha berikut, semoga menjadi penguat iman dan penyegar hati di hari nan agung ini.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. [Janganlah Berbuat Syirik] 3. [Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah] 4. [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban] 5. [Kesimpulan] 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي جَعَلَ الْـحَجَّ إِلَى بَيْتِهِ الْـحَرَامِ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَنَادَى النَّاسَ بِـهِ مِنْ عَلَى لِسَانِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَأَجَابُوهُ بِاللَّبَّيْكَ وَاللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، وَشَرَعَ فِيْهِ مَنَافِعَ دُنْيَوِيَّةً وَأُخْرَوِيَّةً لِأُوْلِي النُّهَى وَالْبَصَائِرِ.نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ بَلَّغَنَا أَيَّامَ الْعَشْرِ الْمُبَارَكَةِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، دَعَا عِبَادَهُ لِزِيَارَةِ بَيْتِهِ الْعَتِيقِ، وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنْ دَلَائِلِ التَّقْوَى وَالْإِيمَانِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَلَّ أُمَّتَهُ عَلَى سُبُلِ الْخَيْرِ، وَبَيَّنَ مَنَاسِكَ الْـحَجِّ، وَقَالَ: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَطَاعَتِهِ، وَالْمُسَارَعَةِ إِلَى الْـحَجِّ مَا اسْتَطَعْتُمْ إِلَيْهِ سَبِيلًا، تَصْدِيقًا لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ:﴿ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴾اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … [Janganlah Berbuat Syirik]Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. (QS. Al-Hajj: 26)اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُAllah Ta’ala menyebutkan agungnya Baitullah dan kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah”. Yang dimaksud adalah Allah memberikan tempat kepada Ibrahim dan akhirnya menjadi bagian bagi keturunannya. Allah memerintahkan kepada beliau untuk membangunnya di atas takwa dan ketaatan kepada Allah. Anaknya Isma’il pun kembali melanjutkan pembangunan Kabah tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar jangan berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun. Hendaklah setiap amalan hanya murni untuk Allah. Dan hendaklah Kabah tersebut dibangun dengan asma (nama) Allah.Tanda mulianya Kabah yaitu ketika Allah menyandarkan rumah tersebut kepada diri-Nya dengan menyebut Baitullah atau Baitiy (rumah-Ku). Ini sudah menunjukkan kemuliaan, keutamaan Kabah dan begitu pula bangunan tersebut diperintahkan untuk diagungkan oleh hati setiap insan. Dan ketika disebut,وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ“Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. Maksudnya adalah sucikanlah Kabah dari perbuatan syirik dan maksiat, dari berbagai najis dan kotoran. Hendaklah rumah Allah tersebut diisi dengan thawaf, iktikaf, melakukan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan ilmu agama. Termasuk mensucikan Kabah adalah membersihkannya dari suara yang sia-sia, suara yang begitu keras sehingga mengganggu orang yang beribadah shalat dan thawaf.Dalam ayat ini disebutkan thawaf terlebih dahulu karena ibadah tersebut hanya dilakukan di sekeliling Kabah. Ibadah berikutnya yang mulia lagi adalah iktikaf (berdiam di masjid dalam rangka ibadah). Hal ini semakin mulia dilakukan di sekeliling Kabah karena dilihat dari kemuliaan masjid tersebut dan apalagi boleh bersengaja bersafar (dalam rangka ibadah) untuk melaksanakan iktikaf di sana. Lalu amalan berikutnya adalah shalat.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ[Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah]Lalu Allah berfirman,وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).Yang dimaksud di sini adalah beritahukanlah dan ajaklah manusia untuk berhaji. Demikian kata Syaikh As-Sa’di. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Panggillah manusia, ajaklah mereka untuk berhaji ke rumah yang telah Kami perintahkan kepadamu (Ibrahim) untuk membangunnya.” Disebutkan pula oleh Ibnu Katsir, “Ibrahim berkata: Wahai Rabb, bagaimana manusia bisa mendengar suaraku, sedangkan suaraku tidak sampai pada mereka?” “Tetap ajaklah dan kami yang akan menyampaikan”, demikian jawabannya.Ketika diseru ajakan untuk berhaji, maka gunung akan tunduk hingga sampailah suara dari penjuru dunia, sampai yang di dalam rahim pun mendengarnya, hingga batu, tanah dan pohon pun mendengarnya, begitu pula yang telah ditetapkan oleh Allah untuk berhaji nantinya, terdengarlah jawaban, “Labbaik allahumma labbaik” (Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu).Dalam ayat (yang artinya), “niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus …”. Dari ayat ini sebagian ulama berdalil bahwa lebih utama berhaji dengan berjalan kaki–ketika mampu–daripada berkendaraan. Karena dalam ayat ini berjalan kaki diucapkan lebih dulu, baru setelah itu berkendaraan. Orang yang berjalan kaki menunjukkan akan kuatnya tekat dan semangat untuk berhaji. Namun mayoritas ulama tidaklah berpendapat seperti ini. Mereka menganggap bahwa yang lebih afdal adalah dengan berkendaraan karena demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhaji sambil berkendaraan padahal beliau adalah orang yang begitu kuat.Yang mendatangi rumah Allah, bukan hanya dari yang dekat. Namun dari yang juah sampai pelosok dunia. Dalam ayat disebutkan,يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”. Makna “fajjin” adalah jalan. Sedangkan “ ‘amiiq” berarti jauh. Jadi maksudnya, orang-orang datang dari berbagai penjuru yang jauh. Mereka datang sambil berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan dari ujung timur dan barat. Dari ujung barat seperti dari Andalus (Spanyol) dan ujung timur seperti dari negeri kita Indonesia.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban]Mengenai manfaat dari haji, Allah Ta’ala berfirman,لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman,لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah: 198). Perlu diperhatikan bahwa jangan berniat haji untuk mencari keuntungan dunia saja seperti untung besar dalam perdagangan. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir.Asalnya tetap niatkan untuk berhaji. Sedangkan keuntungan dari dagang hanyalah sampingan atau ikutan belaka. Demikian kata Ibnul Jauziy dalam Zaad Al-Masiir.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban. Sebagian ulama berdalil dengan ayat,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.‘Abdullah bin Wahb berkata bahwa Malik berkata padanya, “Aku suka jika makan dari hasil sembelihan qurban karena Allah Ta’ala perintahkan “makanlah sebagian darinya”. Ibnu Wahb berkata, “Aku bertanya pada Al-Laits, lalu ia menjawab seperti yang kukatakan.”Sufyan Ats-Tsauriy berkata dari Manshur, dari Ibrahim, “Makanlah sebagian darinya”, ia berkata, “Orang-orang musyrik dahulu tidaklah memakan hasil sembelihan mereka. Lalu hal ini diberi keringanan bagi kaum muslimin. Siapa yang mau, ia boleh memamakannya. Siapa yang tidak, ia pun dipersilakan.” Demikian diriwayatkan dari Mujahid, dari ‘Atho’ dan semisalnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُLalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28). Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah. Karena dalam surat yang sama, Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Kesimpulan]Pelajaran penting dari khutbah ini:Haji dan qurban adalah bukti cinta dan tunduk kepada Allah. Seperti Nabi Ibrahim yang rela meninggalkan segalanya demi taat pada perintah Rabb-nya.Ka’bah dibangun di atas ketakwaan, bukan kemegahan. Amal besar sekalipun, jika tidak ikhlas, tak akan diterima.Panggilan haji adalah panggilan untuk hati yang bersih. Siapa yang terpanggil, berarti hatinya telah dijawab oleh Allah. Adapun panggilan qurban adalah ujian kejujuran hati: rela atau tidak kita mengorbankan harta demi Allah semata.Mari Jawab Panggilan IniKini giliran kita,Untuk menyambut seruan haji dan qurban,Dengan niat yang tulus, dan amal yang penuh makna.Karena tak semua bisa mendengar,Dan tak semua bisa menjawab…Namun siapa yang mampu menjawab dengan hati:لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. LABBAIK LAA SYARIKA LAKA LABBAIK. INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK (Artinya: Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Mereka yang berhaji dan berumrah adalah yang dipilih oleh Allah. Semoga di tahun-tahun mendatang, giliran kita yang dipanggil, dipilih, dan dimampukan untuk datang memenuhi seruan suci itu.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Idul Adha pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji hukum qurban keutamaan qurban khutbah hari raya khutbah idul adha panduan qurban

Khutbah Iduladha 1446 H: Labbaik Allahumma Labbaik, Ayat-Ayat yang Menggugah untuk Berhaji

Hari-hari mulia Dzulhijjah kembali menyapa. Inilah waktu yang mengingatkan kita pada keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam berkorban dan tunduk pada perintah Allah. Haji dan qurban bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi ujian keimanan dan keikhlasan yang dalam. Mari simak khutbah Idul Adha berikut, semoga menjadi penguat iman dan penyegar hati di hari nan agung ini.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. [Janganlah Berbuat Syirik] 3. [Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah] 4. [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban] 5. [Kesimpulan] 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي جَعَلَ الْـحَجَّ إِلَى بَيْتِهِ الْـحَرَامِ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَنَادَى النَّاسَ بِـهِ مِنْ عَلَى لِسَانِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَأَجَابُوهُ بِاللَّبَّيْكَ وَاللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، وَشَرَعَ فِيْهِ مَنَافِعَ دُنْيَوِيَّةً وَأُخْرَوِيَّةً لِأُوْلِي النُّهَى وَالْبَصَائِرِ.نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ بَلَّغَنَا أَيَّامَ الْعَشْرِ الْمُبَارَكَةِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، دَعَا عِبَادَهُ لِزِيَارَةِ بَيْتِهِ الْعَتِيقِ، وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنْ دَلَائِلِ التَّقْوَى وَالْإِيمَانِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَلَّ أُمَّتَهُ عَلَى سُبُلِ الْخَيْرِ، وَبَيَّنَ مَنَاسِكَ الْـحَجِّ، وَقَالَ: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَطَاعَتِهِ، وَالْمُسَارَعَةِ إِلَى الْـحَجِّ مَا اسْتَطَعْتُمْ إِلَيْهِ سَبِيلًا، تَصْدِيقًا لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ:﴿ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴾اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … [Janganlah Berbuat Syirik]Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. (QS. Al-Hajj: 26)اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُAllah Ta’ala menyebutkan agungnya Baitullah dan kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah”. Yang dimaksud adalah Allah memberikan tempat kepada Ibrahim dan akhirnya menjadi bagian bagi keturunannya. Allah memerintahkan kepada beliau untuk membangunnya di atas takwa dan ketaatan kepada Allah. Anaknya Isma’il pun kembali melanjutkan pembangunan Kabah tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar jangan berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun. Hendaklah setiap amalan hanya murni untuk Allah. Dan hendaklah Kabah tersebut dibangun dengan asma (nama) Allah.Tanda mulianya Kabah yaitu ketika Allah menyandarkan rumah tersebut kepada diri-Nya dengan menyebut Baitullah atau Baitiy (rumah-Ku). Ini sudah menunjukkan kemuliaan, keutamaan Kabah dan begitu pula bangunan tersebut diperintahkan untuk diagungkan oleh hati setiap insan. Dan ketika disebut,وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ“Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. Maksudnya adalah sucikanlah Kabah dari perbuatan syirik dan maksiat, dari berbagai najis dan kotoran. Hendaklah rumah Allah tersebut diisi dengan thawaf, iktikaf, melakukan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan ilmu agama. Termasuk mensucikan Kabah adalah membersihkannya dari suara yang sia-sia, suara yang begitu keras sehingga mengganggu orang yang beribadah shalat dan thawaf.Dalam ayat ini disebutkan thawaf terlebih dahulu karena ibadah tersebut hanya dilakukan di sekeliling Kabah. Ibadah berikutnya yang mulia lagi adalah iktikaf (berdiam di masjid dalam rangka ibadah). Hal ini semakin mulia dilakukan di sekeliling Kabah karena dilihat dari kemuliaan masjid tersebut dan apalagi boleh bersengaja bersafar (dalam rangka ibadah) untuk melaksanakan iktikaf di sana. Lalu amalan berikutnya adalah shalat.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ[Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah]Lalu Allah berfirman,وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).Yang dimaksud di sini adalah beritahukanlah dan ajaklah manusia untuk berhaji. Demikian kata Syaikh As-Sa’di. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Panggillah manusia, ajaklah mereka untuk berhaji ke rumah yang telah Kami perintahkan kepadamu (Ibrahim) untuk membangunnya.” Disebutkan pula oleh Ibnu Katsir, “Ibrahim berkata: Wahai Rabb, bagaimana manusia bisa mendengar suaraku, sedangkan suaraku tidak sampai pada mereka?” “Tetap ajaklah dan kami yang akan menyampaikan”, demikian jawabannya.Ketika diseru ajakan untuk berhaji, maka gunung akan tunduk hingga sampailah suara dari penjuru dunia, sampai yang di dalam rahim pun mendengarnya, hingga batu, tanah dan pohon pun mendengarnya, begitu pula yang telah ditetapkan oleh Allah untuk berhaji nantinya, terdengarlah jawaban, “Labbaik allahumma labbaik” (Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu).Dalam ayat (yang artinya), “niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus …”. Dari ayat ini sebagian ulama berdalil bahwa lebih utama berhaji dengan berjalan kaki–ketika mampu–daripada berkendaraan. Karena dalam ayat ini berjalan kaki diucapkan lebih dulu, baru setelah itu berkendaraan. Orang yang berjalan kaki menunjukkan akan kuatnya tekat dan semangat untuk berhaji. Namun mayoritas ulama tidaklah berpendapat seperti ini. Mereka menganggap bahwa yang lebih afdal adalah dengan berkendaraan karena demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhaji sambil berkendaraan padahal beliau adalah orang yang begitu kuat.Yang mendatangi rumah Allah, bukan hanya dari yang dekat. Namun dari yang juah sampai pelosok dunia. Dalam ayat disebutkan,يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”. Makna “fajjin” adalah jalan. Sedangkan “ ‘amiiq” berarti jauh. Jadi maksudnya, orang-orang datang dari berbagai penjuru yang jauh. Mereka datang sambil berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan dari ujung timur dan barat. Dari ujung barat seperti dari Andalus (Spanyol) dan ujung timur seperti dari negeri kita Indonesia.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban]Mengenai manfaat dari haji, Allah Ta’ala berfirman,لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman,لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah: 198). Perlu diperhatikan bahwa jangan berniat haji untuk mencari keuntungan dunia saja seperti untung besar dalam perdagangan. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir.Asalnya tetap niatkan untuk berhaji. Sedangkan keuntungan dari dagang hanyalah sampingan atau ikutan belaka. Demikian kata Ibnul Jauziy dalam Zaad Al-Masiir.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban. Sebagian ulama berdalil dengan ayat,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.‘Abdullah bin Wahb berkata bahwa Malik berkata padanya, “Aku suka jika makan dari hasil sembelihan qurban karena Allah Ta’ala perintahkan “makanlah sebagian darinya”. Ibnu Wahb berkata, “Aku bertanya pada Al-Laits, lalu ia menjawab seperti yang kukatakan.”Sufyan Ats-Tsauriy berkata dari Manshur, dari Ibrahim, “Makanlah sebagian darinya”, ia berkata, “Orang-orang musyrik dahulu tidaklah memakan hasil sembelihan mereka. Lalu hal ini diberi keringanan bagi kaum muslimin. Siapa yang mau, ia boleh memamakannya. Siapa yang tidak, ia pun dipersilakan.” Demikian diriwayatkan dari Mujahid, dari ‘Atho’ dan semisalnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُLalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28). Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah. Karena dalam surat yang sama, Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Kesimpulan]Pelajaran penting dari khutbah ini:Haji dan qurban adalah bukti cinta dan tunduk kepada Allah. Seperti Nabi Ibrahim yang rela meninggalkan segalanya demi taat pada perintah Rabb-nya.Ka’bah dibangun di atas ketakwaan, bukan kemegahan. Amal besar sekalipun, jika tidak ikhlas, tak akan diterima.Panggilan haji adalah panggilan untuk hati yang bersih. Siapa yang terpanggil, berarti hatinya telah dijawab oleh Allah. Adapun panggilan qurban adalah ujian kejujuran hati: rela atau tidak kita mengorbankan harta demi Allah semata.Mari Jawab Panggilan IniKini giliran kita,Untuk menyambut seruan haji dan qurban,Dengan niat yang tulus, dan amal yang penuh makna.Karena tak semua bisa mendengar,Dan tak semua bisa menjawab…Namun siapa yang mampu menjawab dengan hati:لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. LABBAIK LAA SYARIKA LAKA LABBAIK. INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK (Artinya: Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Mereka yang berhaji dan berumrah adalah yang dipilih oleh Allah. Semoga di tahun-tahun mendatang, giliran kita yang dipanggil, dipilih, dan dimampukan untuk datang memenuhi seruan suci itu.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Idul Adha pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji hukum qurban keutamaan qurban khutbah hari raya khutbah idul adha panduan qurban
Hari-hari mulia Dzulhijjah kembali menyapa. Inilah waktu yang mengingatkan kita pada keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam berkorban dan tunduk pada perintah Allah. Haji dan qurban bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi ujian keimanan dan keikhlasan yang dalam. Mari simak khutbah Idul Adha berikut, semoga menjadi penguat iman dan penyegar hati di hari nan agung ini.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. [Janganlah Berbuat Syirik] 3. [Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah] 4. [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban] 5. [Kesimpulan] 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي جَعَلَ الْـحَجَّ إِلَى بَيْتِهِ الْـحَرَامِ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَنَادَى النَّاسَ بِـهِ مِنْ عَلَى لِسَانِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَأَجَابُوهُ بِاللَّبَّيْكَ وَاللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، وَشَرَعَ فِيْهِ مَنَافِعَ دُنْيَوِيَّةً وَأُخْرَوِيَّةً لِأُوْلِي النُّهَى وَالْبَصَائِرِ.نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ بَلَّغَنَا أَيَّامَ الْعَشْرِ الْمُبَارَكَةِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، دَعَا عِبَادَهُ لِزِيَارَةِ بَيْتِهِ الْعَتِيقِ، وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنْ دَلَائِلِ التَّقْوَى وَالْإِيمَانِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَلَّ أُمَّتَهُ عَلَى سُبُلِ الْخَيْرِ، وَبَيَّنَ مَنَاسِكَ الْـحَجِّ، وَقَالَ: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَطَاعَتِهِ، وَالْمُسَارَعَةِ إِلَى الْـحَجِّ مَا اسْتَطَعْتُمْ إِلَيْهِ سَبِيلًا، تَصْدِيقًا لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ:﴿ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴾اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … [Janganlah Berbuat Syirik]Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. (QS. Al-Hajj: 26)اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُAllah Ta’ala menyebutkan agungnya Baitullah dan kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah”. Yang dimaksud adalah Allah memberikan tempat kepada Ibrahim dan akhirnya menjadi bagian bagi keturunannya. Allah memerintahkan kepada beliau untuk membangunnya di atas takwa dan ketaatan kepada Allah. Anaknya Isma’il pun kembali melanjutkan pembangunan Kabah tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar jangan berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun. Hendaklah setiap amalan hanya murni untuk Allah. Dan hendaklah Kabah tersebut dibangun dengan asma (nama) Allah.Tanda mulianya Kabah yaitu ketika Allah menyandarkan rumah tersebut kepada diri-Nya dengan menyebut Baitullah atau Baitiy (rumah-Ku). Ini sudah menunjukkan kemuliaan, keutamaan Kabah dan begitu pula bangunan tersebut diperintahkan untuk diagungkan oleh hati setiap insan. Dan ketika disebut,وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ“Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. Maksudnya adalah sucikanlah Kabah dari perbuatan syirik dan maksiat, dari berbagai najis dan kotoran. Hendaklah rumah Allah tersebut diisi dengan thawaf, iktikaf, melakukan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan ilmu agama. Termasuk mensucikan Kabah adalah membersihkannya dari suara yang sia-sia, suara yang begitu keras sehingga mengganggu orang yang beribadah shalat dan thawaf.Dalam ayat ini disebutkan thawaf terlebih dahulu karena ibadah tersebut hanya dilakukan di sekeliling Kabah. Ibadah berikutnya yang mulia lagi adalah iktikaf (berdiam di masjid dalam rangka ibadah). Hal ini semakin mulia dilakukan di sekeliling Kabah karena dilihat dari kemuliaan masjid tersebut dan apalagi boleh bersengaja bersafar (dalam rangka ibadah) untuk melaksanakan iktikaf di sana. Lalu amalan berikutnya adalah shalat.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ[Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah]Lalu Allah berfirman,وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).Yang dimaksud di sini adalah beritahukanlah dan ajaklah manusia untuk berhaji. Demikian kata Syaikh As-Sa’di. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Panggillah manusia, ajaklah mereka untuk berhaji ke rumah yang telah Kami perintahkan kepadamu (Ibrahim) untuk membangunnya.” Disebutkan pula oleh Ibnu Katsir, “Ibrahim berkata: Wahai Rabb, bagaimana manusia bisa mendengar suaraku, sedangkan suaraku tidak sampai pada mereka?” “Tetap ajaklah dan kami yang akan menyampaikan”, demikian jawabannya.Ketika diseru ajakan untuk berhaji, maka gunung akan tunduk hingga sampailah suara dari penjuru dunia, sampai yang di dalam rahim pun mendengarnya, hingga batu, tanah dan pohon pun mendengarnya, begitu pula yang telah ditetapkan oleh Allah untuk berhaji nantinya, terdengarlah jawaban, “Labbaik allahumma labbaik” (Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu).Dalam ayat (yang artinya), “niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus …”. Dari ayat ini sebagian ulama berdalil bahwa lebih utama berhaji dengan berjalan kaki–ketika mampu–daripada berkendaraan. Karena dalam ayat ini berjalan kaki diucapkan lebih dulu, baru setelah itu berkendaraan. Orang yang berjalan kaki menunjukkan akan kuatnya tekat dan semangat untuk berhaji. Namun mayoritas ulama tidaklah berpendapat seperti ini. Mereka menganggap bahwa yang lebih afdal adalah dengan berkendaraan karena demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhaji sambil berkendaraan padahal beliau adalah orang yang begitu kuat.Yang mendatangi rumah Allah, bukan hanya dari yang dekat. Namun dari yang juah sampai pelosok dunia. Dalam ayat disebutkan,يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”. Makna “fajjin” adalah jalan. Sedangkan “ ‘amiiq” berarti jauh. Jadi maksudnya, orang-orang datang dari berbagai penjuru yang jauh. Mereka datang sambil berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan dari ujung timur dan barat. Dari ujung barat seperti dari Andalus (Spanyol) dan ujung timur seperti dari negeri kita Indonesia.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban]Mengenai manfaat dari haji, Allah Ta’ala berfirman,لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman,لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah: 198). Perlu diperhatikan bahwa jangan berniat haji untuk mencari keuntungan dunia saja seperti untung besar dalam perdagangan. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir.Asalnya tetap niatkan untuk berhaji. Sedangkan keuntungan dari dagang hanyalah sampingan atau ikutan belaka. Demikian kata Ibnul Jauziy dalam Zaad Al-Masiir.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban. Sebagian ulama berdalil dengan ayat,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.‘Abdullah bin Wahb berkata bahwa Malik berkata padanya, “Aku suka jika makan dari hasil sembelihan qurban karena Allah Ta’ala perintahkan “makanlah sebagian darinya”. Ibnu Wahb berkata, “Aku bertanya pada Al-Laits, lalu ia menjawab seperti yang kukatakan.”Sufyan Ats-Tsauriy berkata dari Manshur, dari Ibrahim, “Makanlah sebagian darinya”, ia berkata, “Orang-orang musyrik dahulu tidaklah memakan hasil sembelihan mereka. Lalu hal ini diberi keringanan bagi kaum muslimin. Siapa yang mau, ia boleh memamakannya. Siapa yang tidak, ia pun dipersilakan.” Demikian diriwayatkan dari Mujahid, dari ‘Atho’ dan semisalnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُLalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28). Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah. Karena dalam surat yang sama, Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Kesimpulan]Pelajaran penting dari khutbah ini:Haji dan qurban adalah bukti cinta dan tunduk kepada Allah. Seperti Nabi Ibrahim yang rela meninggalkan segalanya demi taat pada perintah Rabb-nya.Ka’bah dibangun di atas ketakwaan, bukan kemegahan. Amal besar sekalipun, jika tidak ikhlas, tak akan diterima.Panggilan haji adalah panggilan untuk hati yang bersih. Siapa yang terpanggil, berarti hatinya telah dijawab oleh Allah. Adapun panggilan qurban adalah ujian kejujuran hati: rela atau tidak kita mengorbankan harta demi Allah semata.Mari Jawab Panggilan IniKini giliran kita,Untuk menyambut seruan haji dan qurban,Dengan niat yang tulus, dan amal yang penuh makna.Karena tak semua bisa mendengar,Dan tak semua bisa menjawab…Namun siapa yang mampu menjawab dengan hati:لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. LABBAIK LAA SYARIKA LAKA LABBAIK. INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK (Artinya: Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Mereka yang berhaji dan berumrah adalah yang dipilih oleh Allah. Semoga di tahun-tahun mendatang, giliran kita yang dipanggil, dipilih, dan dimampukan untuk datang memenuhi seruan suci itu.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Idul Adha pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji hukum qurban keutamaan qurban khutbah hari raya khutbah idul adha panduan qurban


Hari-hari mulia Dzulhijjah kembali menyapa. Inilah waktu yang mengingatkan kita pada keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam berkorban dan tunduk pada perintah Allah. Haji dan qurban bukan sekadar ibadah lahiriah, tapi ujian keimanan dan keikhlasan yang dalam. Mari simak khutbah Idul Adha berikut, semoga menjadi penguat iman dan penyegar hati di hari nan agung ini.  Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. [Janganlah Berbuat Syirik] 3. [Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah] 4. [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban] 5. [Kesimpulan] 6. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ الْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي جَعَلَ الْـحَجَّ إِلَى بَيْتِهِ الْـحَرَامِ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَنَادَى النَّاسَ بِـهِ مِنْ عَلَى لِسَانِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَأَجَابُوهُ بِاللَّبَّيْكَ وَاللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، وَشَرَعَ فِيْهِ مَنَافِعَ دُنْيَوِيَّةً وَأُخْرَوِيَّةً لِأُوْلِي النُّهَى وَالْبَصَائِرِ.نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ بَلَّغَنَا أَيَّامَ الْعَشْرِ الْمُبَارَكَةِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، دَعَا عِبَادَهُ لِزِيَارَةِ بَيْتِهِ الْعَتِيقِ، وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنْ دَلَائِلِ التَّقْوَى وَالْإِيمَانِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَلَّ أُمَّتَهُ عَلَى سُبُلِ الْخَيْرِ، وَبَيَّنَ مَنَاسِكَ الْـحَجِّ، وَقَالَ: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ”.اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَطَاعَتِهِ، وَالْمُسَارَعَةِ إِلَى الْـحَجِّ مَا اسْتَطَعْتُمْ إِلَيْهِ سَبِيلًا، تَصْدِيقًا لِقَوْلِهِ سُبْحَانَهُ:﴿ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴾اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُMa’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … [Janganlah Berbuat Syirik]Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. (QS. Al-Hajj: 26)اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُAllah Ta’ala menyebutkan agungnya Baitullah dan kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah”. Yang dimaksud adalah Allah memberikan tempat kepada Ibrahim dan akhirnya menjadi bagian bagi keturunannya. Allah memerintahkan kepada beliau untuk membangunnya di atas takwa dan ketaatan kepada Allah. Anaknya Isma’il pun kembali melanjutkan pembangunan Kabah tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar jangan berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun. Hendaklah setiap amalan hanya murni untuk Allah. Dan hendaklah Kabah tersebut dibangun dengan asma (nama) Allah.Tanda mulianya Kabah yaitu ketika Allah menyandarkan rumah tersebut kepada diri-Nya dengan menyebut Baitullah atau Baitiy (rumah-Ku). Ini sudah menunjukkan kemuliaan, keutamaan Kabah dan begitu pula bangunan tersebut diperintahkan untuk diagungkan oleh hati setiap insan. Dan ketika disebut,وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ“Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud”. Maksudnya adalah sucikanlah Kabah dari perbuatan syirik dan maksiat, dari berbagai najis dan kotoran. Hendaklah rumah Allah tersebut diisi dengan thawaf, iktikaf, melakukan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan ilmu agama. Termasuk mensucikan Kabah adalah membersihkannya dari suara yang sia-sia, suara yang begitu keras sehingga mengganggu orang yang beribadah shalat dan thawaf.Dalam ayat ini disebutkan thawaf terlebih dahulu karena ibadah tersebut hanya dilakukan di sekeliling Kabah. Ibadah berikutnya yang mulia lagi adalah iktikaf (berdiam di masjid dalam rangka ibadah). Hal ini semakin mulia dilakukan di sekeliling Kabah karena dilihat dari kemuliaan masjid tersebut dan apalagi boleh bersengaja bersafar (dalam rangka ibadah) untuk melaksanakan iktikaf di sana. Lalu amalan berikutnya adalah shalat.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ[Ajakan untuk Berhaji tanda Menauhidkan Allah]Lalu Allah berfirman,وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).Yang dimaksud di sini adalah beritahukanlah dan ajaklah manusia untuk berhaji. Demikian kata Syaikh As-Sa’di. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Panggillah manusia, ajaklah mereka untuk berhaji ke rumah yang telah Kami perintahkan kepadamu (Ibrahim) untuk membangunnya.” Disebutkan pula oleh Ibnu Katsir, “Ibrahim berkata: Wahai Rabb, bagaimana manusia bisa mendengar suaraku, sedangkan suaraku tidak sampai pada mereka?” “Tetap ajaklah dan kami yang akan menyampaikan”, demikian jawabannya.Ketika diseru ajakan untuk berhaji, maka gunung akan tunduk hingga sampailah suara dari penjuru dunia, sampai yang di dalam rahim pun mendengarnya, hingga batu, tanah dan pohon pun mendengarnya, begitu pula yang telah ditetapkan oleh Allah untuk berhaji nantinya, terdengarlah jawaban, “Labbaik allahumma labbaik” (Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu).Dalam ayat (yang artinya), “niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus …”. Dari ayat ini sebagian ulama berdalil bahwa lebih utama berhaji dengan berjalan kaki–ketika mampu–daripada berkendaraan. Karena dalam ayat ini berjalan kaki diucapkan lebih dulu, baru setelah itu berkendaraan. Orang yang berjalan kaki menunjukkan akan kuatnya tekat dan semangat untuk berhaji. Namun mayoritas ulama tidaklah berpendapat seperti ini. Mereka menganggap bahwa yang lebih afdal adalah dengan berkendaraan karena demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhaji sambil berkendaraan padahal beliau adalah orang yang begitu kuat.Yang mendatangi rumah Allah, bukan hanya dari yang dekat. Namun dari yang juah sampai pelosok dunia. Dalam ayat disebutkan,يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ“mereka datang dari segenap penjuru yang jauh”. Makna “fajjin” adalah jalan. Sedangkan “ ‘amiiq” berarti jauh. Jadi maksudnya, orang-orang datang dari berbagai penjuru yang jauh. Mereka datang sambil berjalan kaki dan ada pula yang berkendaraan dari ujung timur dan barat. Dari ujung barat seperti dari Andalus (Spanyol) dan ujung timur seperti dari negeri kita Indonesia.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Manfaat dari Haji dan Perintah Berqurban]Mengenai manfaat dari haji, Allah Ta’ala berfirman,لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman,لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah: 198). Perlu diperhatikan bahwa jangan berniat haji untuk mencari keuntungan dunia saja seperti untung besar dalam perdagangan. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir.Asalnya tetap niatkan untuk berhaji. Sedangkan keuntungan dari dagang hanyalah sampingan atau ikutan belaka. Demikian kata Ibnul Jauziy dalam Zaad Al-Masiir.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban. Sebagian ulama berdalil dengan ayat,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.‘Abdullah bin Wahb berkata bahwa Malik berkata padanya, “Aku suka jika makan dari hasil sembelihan qurban karena Allah Ta’ala perintahkan “makanlah sebagian darinya”. Ibnu Wahb berkata, “Aku bertanya pada Al-Laits, lalu ia menjawab seperti yang kukatakan.”Sufyan Ats-Tsauriy berkata dari Manshur, dari Ibrahim, “Makanlah sebagian darinya”, ia berkata, “Orang-orang musyrik dahulu tidaklah memakan hasil sembelihan mereka. Lalu hal ini diberi keringanan bagi kaum muslimin. Siapa yang mau, ia boleh memamakannya. Siapa yang tidak, ia pun dipersilakan.” Demikian diriwayatkan dari Mujahid, dari ‘Atho’ dan semisalnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُLalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28). Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah. Karena dalam surat yang sama, Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.اللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ [Kesimpulan]Pelajaran penting dari khutbah ini:Haji dan qurban adalah bukti cinta dan tunduk kepada Allah. Seperti Nabi Ibrahim yang rela meninggalkan segalanya demi taat pada perintah Rabb-nya.Ka’bah dibangun di atas ketakwaan, bukan kemegahan. Amal besar sekalipun, jika tidak ikhlas, tak akan diterima.Panggilan haji adalah panggilan untuk hati yang bersih. Siapa yang terpanggil, berarti hatinya telah dijawab oleh Allah. Adapun panggilan qurban adalah ujian kejujuran hati: rela atau tidak kita mengorbankan harta demi Allah semata.Mari Jawab Panggilan IniKini giliran kita,Untuk menyambut seruan haji dan qurban,Dengan niat yang tulus, dan amal yang penuh makna.Karena tak semua bisa mendengar,Dan tak semua bisa menjawab…Namun siapa yang mampu menjawab dengan hati:لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ“LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. LABBAIK LAA SYARIKA LAKA LABBAIK. INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK (Artinya: Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”Mereka yang berhaji dan berumrah adalah yang dipilih oleh Allah. Semoga di tahun-tahun mendatang, giliran kita yang dipanggil, dipilih, dan dimampukan untuk datang memenuhi seruan suci itu.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Keduaاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Idul Adha pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji hukum qurban keutamaan qurban khutbah hari raya khutbah idul adha panduan qurban

Fatwa Ulama: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Sebagian saudara kami memiliki masalah dengan keluarga mereka—baik orang tua, paman, bibi, maupun kerabat lainnya—dari sisi mereka terjatuh dalam kesyirikan besar, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, bertawakal kepada selain-Nya, mencela Allah dan agama-Nya, dan semisalnya. Mereka juga tidak mau menerima nasihat. Apa nasihat Anda kepada mereka? Perlu diketahui, hal ini telah menimbulkan fitnah besar antara saudara-saudara ini dengan keluarga mereka. Jazakumullahu khairan. Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Seorang musyrik yang melakukan syirik akbar berhak untuk dibenci karena Allah dan kita berlepas diri (bara’) dari mereka secara mutlak tanpa ada rasa cinta atau loyalitas (wala’). Sebab, akidah al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) adalah ikatan iman yang paling kuat, landasan umat muslim, serta konsekuensi dan syarat dari syahadat. Allah Ta’ala berfirman,لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ“Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)Nabi ﷺ juga bersabda,لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” [1]Allah juga memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk berlepas diri dari perbuatan buruk keluarganya jika mereka menyelisihi perintah-Nya,وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ , وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  , فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.’” (QS. Asy-Syu’ara: 214-216)Namun, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti boleh menyakiti mereka dengan ucapan atau perbuatan. Seorang muslim tetap wajib berdakwah kepada keluarganya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah,فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ“Oleh karena itu, berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)Ia juga harus tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka musyrik, tidak boleh memutus hubungan, bahkan wajib bergaul dengan mereka secara baik di dunia, berdasarkan firman Allah,وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)Hukum terhadap kerabat lainnya sama seperti orang tua: wajib menyambung silaturahmi, memberi nafkah, dan berbuat baik, berdasarkan keumuman firman Allah,وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin.” (QS. An-Nisa: 36)Namun, berbuat baik kepada mereka tidak boleh sampai membantu kekufuran dan pendukungnya, apalagi jika mereka memerangi agama. Ini haram secara syar’i dan bisa menjerumuskan pada kekufuran, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai sekutu, maka dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)Dalam berdakwah, hendaknya menggunakan cara yang lembut dan menjauhi kekerasan yang membuat mereka lari, sesuai firman-Nya,ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)Sikap dakwah seperti ini adalah kunci utama agar orang awam bisa menerima nasihat. Nabi ﷺ bersabda,لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ“Jika Allah memberi hidayah melalui dirimu kepada satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta termahal).” [2]Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. [3]Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman, Bab: “Mencintai Rasulullah ﷺ adalah bagian dari iman” (no. 15), dan oleh Muslim dalam Kitab Al-Iman (no. 44), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Jihad, Bab: “Keutamaan orang yang seseorang masuk Islam melalui perantaraannya” (no. 3009), dan oleh Muslim dalam Kitab Keutamaan para Sahabat (no. 2406), dari hadis Sahl bin Sa‘d radhiyallahu ‘anhuma.[3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-19

Fatwa Ulama: Nasihat Bagi yang Terjerumus ke Dalam Kesyirikan

Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Sebagian saudara kami memiliki masalah dengan keluarga mereka—baik orang tua, paman, bibi, maupun kerabat lainnya—dari sisi mereka terjatuh dalam kesyirikan besar, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, bertawakal kepada selain-Nya, mencela Allah dan agama-Nya, dan semisalnya. Mereka juga tidak mau menerima nasihat. Apa nasihat Anda kepada mereka? Perlu diketahui, hal ini telah menimbulkan fitnah besar antara saudara-saudara ini dengan keluarga mereka. Jazakumullahu khairan. Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Seorang musyrik yang melakukan syirik akbar berhak untuk dibenci karena Allah dan kita berlepas diri (bara’) dari mereka secara mutlak tanpa ada rasa cinta atau loyalitas (wala’). Sebab, akidah al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) adalah ikatan iman yang paling kuat, landasan umat muslim, serta konsekuensi dan syarat dari syahadat. Allah Ta’ala berfirman,لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ“Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)Nabi ﷺ juga bersabda,لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” [1]Allah juga memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk berlepas diri dari perbuatan buruk keluarganya jika mereka menyelisihi perintah-Nya,وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ , وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  , فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.’” (QS. Asy-Syu’ara: 214-216)Namun, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti boleh menyakiti mereka dengan ucapan atau perbuatan. Seorang muslim tetap wajib berdakwah kepada keluarganya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah,فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ“Oleh karena itu, berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)Ia juga harus tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka musyrik, tidak boleh memutus hubungan, bahkan wajib bergaul dengan mereka secara baik di dunia, berdasarkan firman Allah,وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)Hukum terhadap kerabat lainnya sama seperti orang tua: wajib menyambung silaturahmi, memberi nafkah, dan berbuat baik, berdasarkan keumuman firman Allah,وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin.” (QS. An-Nisa: 36)Namun, berbuat baik kepada mereka tidak boleh sampai membantu kekufuran dan pendukungnya, apalagi jika mereka memerangi agama. Ini haram secara syar’i dan bisa menjerumuskan pada kekufuran, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai sekutu, maka dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)Dalam berdakwah, hendaknya menggunakan cara yang lembut dan menjauhi kekerasan yang membuat mereka lari, sesuai firman-Nya,ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)Sikap dakwah seperti ini adalah kunci utama agar orang awam bisa menerima nasihat. Nabi ﷺ bersabda,لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ“Jika Allah memberi hidayah melalui dirimu kepada satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta termahal).” [2]Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. [3]Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman, Bab: “Mencintai Rasulullah ﷺ adalah bagian dari iman” (no. 15), dan oleh Muslim dalam Kitab Al-Iman (no. 44), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Jihad, Bab: “Keutamaan orang yang seseorang masuk Islam melalui perantaraannya” (no. 3009), dan oleh Muslim dalam Kitab Keutamaan para Sahabat (no. 2406), dari hadis Sahl bin Sa‘d radhiyallahu ‘anhuma.[3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-19
Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Sebagian saudara kami memiliki masalah dengan keluarga mereka—baik orang tua, paman, bibi, maupun kerabat lainnya—dari sisi mereka terjatuh dalam kesyirikan besar, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, bertawakal kepada selain-Nya, mencela Allah dan agama-Nya, dan semisalnya. Mereka juga tidak mau menerima nasihat. Apa nasihat Anda kepada mereka? Perlu diketahui, hal ini telah menimbulkan fitnah besar antara saudara-saudara ini dengan keluarga mereka. Jazakumullahu khairan. Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Seorang musyrik yang melakukan syirik akbar berhak untuk dibenci karena Allah dan kita berlepas diri (bara’) dari mereka secara mutlak tanpa ada rasa cinta atau loyalitas (wala’). Sebab, akidah al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) adalah ikatan iman yang paling kuat, landasan umat muslim, serta konsekuensi dan syarat dari syahadat. Allah Ta’ala berfirman,لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ“Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)Nabi ﷺ juga bersabda,لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” [1]Allah juga memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk berlepas diri dari perbuatan buruk keluarganya jika mereka menyelisihi perintah-Nya,وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ , وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  , فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.’” (QS. Asy-Syu’ara: 214-216)Namun, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti boleh menyakiti mereka dengan ucapan atau perbuatan. Seorang muslim tetap wajib berdakwah kepada keluarganya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah,فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ“Oleh karena itu, berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)Ia juga harus tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka musyrik, tidak boleh memutus hubungan, bahkan wajib bergaul dengan mereka secara baik di dunia, berdasarkan firman Allah,وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)Hukum terhadap kerabat lainnya sama seperti orang tua: wajib menyambung silaturahmi, memberi nafkah, dan berbuat baik, berdasarkan keumuman firman Allah,وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin.” (QS. An-Nisa: 36)Namun, berbuat baik kepada mereka tidak boleh sampai membantu kekufuran dan pendukungnya, apalagi jika mereka memerangi agama. Ini haram secara syar’i dan bisa menjerumuskan pada kekufuran, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai sekutu, maka dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)Dalam berdakwah, hendaknya menggunakan cara yang lembut dan menjauhi kekerasan yang membuat mereka lari, sesuai firman-Nya,ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)Sikap dakwah seperti ini adalah kunci utama agar orang awam bisa menerima nasihat. Nabi ﷺ bersabda,لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ“Jika Allah memberi hidayah melalui dirimu kepada satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta termahal).” [2]Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. [3]Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman, Bab: “Mencintai Rasulullah ﷺ adalah bagian dari iman” (no. 15), dan oleh Muslim dalam Kitab Al-Iman (no. 44), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Jihad, Bab: “Keutamaan orang yang seseorang masuk Islam melalui perantaraannya” (no. 3009), dan oleh Muslim dalam Kitab Keutamaan para Sahabat (no. 2406), dari hadis Sahl bin Sa‘d radhiyallahu ‘anhuma.[3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-19


Daftar Isi ToggleFatwa Syekh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Sebagian saudara kami memiliki masalah dengan keluarga mereka—baik orang tua, paman, bibi, maupun kerabat lainnya—dari sisi mereka terjatuh dalam kesyirikan besar, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, bertawakal kepada selain-Nya, mencela Allah dan agama-Nya, dan semisalnya. Mereka juga tidak mau menerima nasihat. Apa nasihat Anda kepada mereka? Perlu diketahui, hal ini telah menimbulkan fitnah besar antara saudara-saudara ini dengan keluarga mereka. Jazakumullahu khairan. Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.Seorang musyrik yang melakukan syirik akbar berhak untuk dibenci karena Allah dan kita berlepas diri (bara’) dari mereka secara mutlak tanpa ada rasa cinta atau loyalitas (wala’). Sebab, akidah al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) adalah ikatan iman yang paling kuat, landasan umat muslim, serta konsekuensi dan syarat dari syahadat. Allah Ta’ala berfirman,لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡ“Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)Nabi ﷺ juga bersabda,لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” [1]Allah juga memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk berlepas diri dari perbuatan buruk keluarganya jika mereka menyelisihi perintah-Nya,وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ , وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  , فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ  “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.’” (QS. Asy-Syu’ara: 214-216)Namun, berlepas diri dari perbuatan buruk mereka tidak berarti boleh menyakiti mereka dengan ucapan atau perbuatan. Seorang muslim tetap wajib berdakwah kepada keluarganya dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah,فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ“Oleh karena itu, berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)Ia juga harus tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, meskipun mereka musyrik, tidak boleh memutus hubungan, bahkan wajib bergaul dengan mereka secara baik di dunia, berdasarkan firman Allah,وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗا“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)Hukum terhadap kerabat lainnya sama seperti orang tua: wajib menyambung silaturahmi, memberi nafkah, dan berbuat baik, berdasarkan keumuman firman Allah,وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin.” (QS. An-Nisa: 36)Namun, berbuat baik kepada mereka tidak boleh sampai membantu kekufuran dan pendukungnya, apalagi jika mereka memerangi agama. Ini haram secara syar’i dan bisa menjerumuskan pada kekufuran, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡ“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai sekutu, maka dia termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)Dalam berdakwah, hendaknya menggunakan cara yang lembut dan menjauhi kekerasan yang membuat mereka lari, sesuai firman-Nya,ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)Sikap dakwah seperti ini adalah kunci utama agar orang awam bisa menerima nasihat. Nabi ﷺ bersabda,لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ“Jika Allah memberi hidayah melalui dirimu kepada satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta termahal).” [2]Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. [3]Baca juga: Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Iman, Bab: “Mencintai Rasulullah ﷺ adalah bagian dari iman” (no. 15), dan oleh Muslim dalam Kitab Al-Iman (no. 44), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Jihad, Bab: “Keutamaan orang yang seseorang masuk Islam melalui perantaraannya” (no. 3009), dan oleh Muslim dalam Kitab Keutamaan para Sahabat (no. 2406), dari hadis Sahl bin Sa‘d radhiyallahu ‘anhuma.[3] Diterjemahkan dari: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-19

Khutbah Jumat: Berhajilah dan Berqurbanlah Sebagai Bukti Cinta kepada Allah

Hari-hari mulia ini adalah saat terbaik untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berqurbanlah sebagai wujud ketaatan, dan berhajilah bila telah mampu. Sebab haji dan qurban bukan sekadar ibadah ritual, melainkan tanda kepasrahan dan pengorbanan sejati. Maka jawablah panggilan-Nya dengan amal nyata, bukan hanya dengan harapan semata. Khutbah Pertamaالْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي شَرَعَ لَنَا نُسُكَ الذَّبْحِ، وَجَعَلَهُ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَدَلَّنَا عَلَى سُنَّةِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ فِي التَّقَرُّبِ بِالذَّبْحِ وَالطَّاعَةِ، وَنَحْمَدُهُ أَنْ بَلَّغَنَا هَذِهِ الْأَيَّامَ الْمُبَارَكَةَ الَّتِي يُحَبُّ فِيهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ.نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ الذَّبْحَ لِلتَّقَرُّبِ، وَدَعَاهُمْ لِيَذْكُرُوا اسْمَهُ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَيَّنَ شُرُوطَ الْأُضْحِيَةِ، وَحَثَّ أُمَّتَهُ عَلَى إِرْوَاءِ دَمِهَا، وَقَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ».اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَبِالْمُسَارَعَةِ إِلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ الْعَظِيمَةِ، سُنَّةِ الْأُضْحِيَةِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَرُوحِ تَضْحِيَةٍ صَادِقَةٍ، مُسْتَشْعِرِينَ مَعَ ذٰلِكَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ:﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ﴾ (QS. الحَجّ: ٢٨)Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hari Jumat ini begitu istimewa karena bertemunya dua hari raya, yaitu hari istimewa pertama “Hari Jumat” dan haris istimewa kedua “Hari Iduladha”.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Berarti untuk kita saat ini yang mudah mendapatkan masjid, baiknya tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid terdekat daripada menggantinya dengan shalat Zhuhur.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dari Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lima hari, dimulai dari yaumut tarwiyah (8 Dzulhijjah). Ada pula yang memaksudkan tiga hari dimulai dari hari Arafah (9 Dzulhijjah) seperti pendapat Imam Malik bin Anas.Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Adapun Al-Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir ketika penyembelihan hadyu yang wajib seperti damm wajib untuk manasik tamattu’ dan qiran. Begitu pula bisa dimaksudkan adalah dzikir ketika melempar jumrah dan takbir pada hari tasyrik karena ayat tersebut sifatnya umum.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban.فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.Lalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah.Lalu Allah berfirman,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)Yang dimaksud dengan ayat,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”, yaitu menyelesaikan ihram lalu mencukur rambut kepala dan mengenakan baju, kemudian memotong kuku dan lainnya. Demikian tafsiran Ibnu ‘Abbas. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 5:406, takhrij: Abu Ishaq Al-Huwainiy) Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir (5:426-237) menjelaskan ada empat penafsiran, yaitu: (1) mencukur rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, melempar jumrah dan wukuf di Arafah; (2) menyelesaikan manasik haji; (3) mencukur rambut kepala; (4) mencukur bulu (rambut) dan memotong kuku. Sedangkan menurut beliau, yang lebih bagus adalah tafsiran pertama. Jadi “tafats” dalam ayat di atas bermakna ‘kotor’.Lalu tunaikanlah nadzar.Nadzar termasuk amalan yang mesti ditunaikan. Para ulama mengatakan bahwa siapa yang punya nadzar untuk menunaikan amalan kebajikan pada hari-hari haji, bisa jadi ia bernadzar jika ia dapat melihat Ka’bah atau ia punya nadzar mutlak, maka lebih afdhol ditunaikan di Makkah (Zaad Al-Masiir, 5:427). Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29). Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nadzar untuk menyembelih unta. Sedangkan ulama lain semacam ‘Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah nadzar haji.Lalu lakukanlah thawaf keliling Kabah sebanyak tujuh kali.Dalam ayat selanjutnya disebutkan,وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Bahkan thawaf tersebut termasuk rukun haji. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.Ka’bah disebut ‘atiiq karena beberapa maksud. ‘Atiiq bisa bermakna rumah tua. Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah adalah rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. ‘Ikrimah mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah pertama kali dibebaskan ketika zaman tenggelamnya kaum Nuh. Khofish mengatakan bahwa karena Ka’bah tidak pernah bisa ditaklukkan. Ulama lain menambahkan, bahkan jika ada yang ingin menghancurkan Ka’bah malah dia yang akan binasa. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:407 dan Zaad Al-Masiir, 5:427-428).Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mememrintahkan untuk menjadikan ibadah terakhir untuk ibadah haji di Makkah dnegan thawaf wadak. Hadits yang membicarakan tentang thawaf wadak adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana ia berkata,أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328).Ma’asyiral muslimin rahimaniyallahu wa iyyakum…Di tengah berkah hari Jumat dan keagungan hari-hari Dzulhijjah, marilah kita renungkan…Apakah hati ini benar-benar telah terpanggil? Apakah kita siap menjawab seruan-Nya?Maka berhajilah dan berqurbanlah, sebagai bukti cinta kepada Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sebagai tanda tunduk, taat, dan rindu kepada-Nya.“Labbaik Allahumma Labbaik”—jawaban yang hanya mampu diucapkan oleh hati yang hidup.Semoga Allah jadikan kita hamba yang merespons panggilan-Nya dengan amal, bukan sekadar harapan.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Kedua الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji berhaji keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban

Khutbah Jumat: Berhajilah dan Berqurbanlah Sebagai Bukti Cinta kepada Allah

Hari-hari mulia ini adalah saat terbaik untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berqurbanlah sebagai wujud ketaatan, dan berhajilah bila telah mampu. Sebab haji dan qurban bukan sekadar ibadah ritual, melainkan tanda kepasrahan dan pengorbanan sejati. Maka jawablah panggilan-Nya dengan amal nyata, bukan hanya dengan harapan semata. Khutbah Pertamaالْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي شَرَعَ لَنَا نُسُكَ الذَّبْحِ، وَجَعَلَهُ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَدَلَّنَا عَلَى سُنَّةِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ فِي التَّقَرُّبِ بِالذَّبْحِ وَالطَّاعَةِ، وَنَحْمَدُهُ أَنْ بَلَّغَنَا هَذِهِ الْأَيَّامَ الْمُبَارَكَةَ الَّتِي يُحَبُّ فِيهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ.نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ الذَّبْحَ لِلتَّقَرُّبِ، وَدَعَاهُمْ لِيَذْكُرُوا اسْمَهُ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَيَّنَ شُرُوطَ الْأُضْحِيَةِ، وَحَثَّ أُمَّتَهُ عَلَى إِرْوَاءِ دَمِهَا، وَقَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ».اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَبِالْمُسَارَعَةِ إِلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ الْعَظِيمَةِ، سُنَّةِ الْأُضْحِيَةِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَرُوحِ تَضْحِيَةٍ صَادِقَةٍ، مُسْتَشْعِرِينَ مَعَ ذٰلِكَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ:﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ﴾ (QS. الحَجّ: ٢٨)Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hari Jumat ini begitu istimewa karena bertemunya dua hari raya, yaitu hari istimewa pertama “Hari Jumat” dan haris istimewa kedua “Hari Iduladha”.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Berarti untuk kita saat ini yang mudah mendapatkan masjid, baiknya tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid terdekat daripada menggantinya dengan shalat Zhuhur.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dari Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lima hari, dimulai dari yaumut tarwiyah (8 Dzulhijjah). Ada pula yang memaksudkan tiga hari dimulai dari hari Arafah (9 Dzulhijjah) seperti pendapat Imam Malik bin Anas.Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Adapun Al-Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir ketika penyembelihan hadyu yang wajib seperti damm wajib untuk manasik tamattu’ dan qiran. Begitu pula bisa dimaksudkan adalah dzikir ketika melempar jumrah dan takbir pada hari tasyrik karena ayat tersebut sifatnya umum.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban.فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.Lalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah.Lalu Allah berfirman,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)Yang dimaksud dengan ayat,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”, yaitu menyelesaikan ihram lalu mencukur rambut kepala dan mengenakan baju, kemudian memotong kuku dan lainnya. Demikian tafsiran Ibnu ‘Abbas. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 5:406, takhrij: Abu Ishaq Al-Huwainiy) Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir (5:426-237) menjelaskan ada empat penafsiran, yaitu: (1) mencukur rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, melempar jumrah dan wukuf di Arafah; (2) menyelesaikan manasik haji; (3) mencukur rambut kepala; (4) mencukur bulu (rambut) dan memotong kuku. Sedangkan menurut beliau, yang lebih bagus adalah tafsiran pertama. Jadi “tafats” dalam ayat di atas bermakna ‘kotor’.Lalu tunaikanlah nadzar.Nadzar termasuk amalan yang mesti ditunaikan. Para ulama mengatakan bahwa siapa yang punya nadzar untuk menunaikan amalan kebajikan pada hari-hari haji, bisa jadi ia bernadzar jika ia dapat melihat Ka’bah atau ia punya nadzar mutlak, maka lebih afdhol ditunaikan di Makkah (Zaad Al-Masiir, 5:427). Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29). Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nadzar untuk menyembelih unta. Sedangkan ulama lain semacam ‘Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah nadzar haji.Lalu lakukanlah thawaf keliling Kabah sebanyak tujuh kali.Dalam ayat selanjutnya disebutkan,وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Bahkan thawaf tersebut termasuk rukun haji. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.Ka’bah disebut ‘atiiq karena beberapa maksud. ‘Atiiq bisa bermakna rumah tua. Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah adalah rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. ‘Ikrimah mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah pertama kali dibebaskan ketika zaman tenggelamnya kaum Nuh. Khofish mengatakan bahwa karena Ka’bah tidak pernah bisa ditaklukkan. Ulama lain menambahkan, bahkan jika ada yang ingin menghancurkan Ka’bah malah dia yang akan binasa. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:407 dan Zaad Al-Masiir, 5:427-428).Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mememrintahkan untuk menjadikan ibadah terakhir untuk ibadah haji di Makkah dnegan thawaf wadak. Hadits yang membicarakan tentang thawaf wadak adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana ia berkata,أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328).Ma’asyiral muslimin rahimaniyallahu wa iyyakum…Di tengah berkah hari Jumat dan keagungan hari-hari Dzulhijjah, marilah kita renungkan…Apakah hati ini benar-benar telah terpanggil? Apakah kita siap menjawab seruan-Nya?Maka berhajilah dan berqurbanlah, sebagai bukti cinta kepada Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sebagai tanda tunduk, taat, dan rindu kepada-Nya.“Labbaik Allahumma Labbaik”—jawaban yang hanya mampu diucapkan oleh hati yang hidup.Semoga Allah jadikan kita hamba yang merespons panggilan-Nya dengan amal, bukan sekadar harapan.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Kedua الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji berhaji keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban
Hari-hari mulia ini adalah saat terbaik untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berqurbanlah sebagai wujud ketaatan, dan berhajilah bila telah mampu. Sebab haji dan qurban bukan sekadar ibadah ritual, melainkan tanda kepasrahan dan pengorbanan sejati. Maka jawablah panggilan-Nya dengan amal nyata, bukan hanya dengan harapan semata. Khutbah Pertamaالْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي شَرَعَ لَنَا نُسُكَ الذَّبْحِ، وَجَعَلَهُ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَدَلَّنَا عَلَى سُنَّةِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ فِي التَّقَرُّبِ بِالذَّبْحِ وَالطَّاعَةِ، وَنَحْمَدُهُ أَنْ بَلَّغَنَا هَذِهِ الْأَيَّامَ الْمُبَارَكَةَ الَّتِي يُحَبُّ فِيهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ.نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ الذَّبْحَ لِلتَّقَرُّبِ، وَدَعَاهُمْ لِيَذْكُرُوا اسْمَهُ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَيَّنَ شُرُوطَ الْأُضْحِيَةِ، وَحَثَّ أُمَّتَهُ عَلَى إِرْوَاءِ دَمِهَا، وَقَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ».اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَبِالْمُسَارَعَةِ إِلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ الْعَظِيمَةِ، سُنَّةِ الْأُضْحِيَةِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَرُوحِ تَضْحِيَةٍ صَادِقَةٍ، مُسْتَشْعِرِينَ مَعَ ذٰلِكَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ:﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ﴾ (QS. الحَجّ: ٢٨)Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hari Jumat ini begitu istimewa karena bertemunya dua hari raya, yaitu hari istimewa pertama “Hari Jumat” dan haris istimewa kedua “Hari Iduladha”.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Berarti untuk kita saat ini yang mudah mendapatkan masjid, baiknya tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid terdekat daripada menggantinya dengan shalat Zhuhur.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dari Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lima hari, dimulai dari yaumut tarwiyah (8 Dzulhijjah). Ada pula yang memaksudkan tiga hari dimulai dari hari Arafah (9 Dzulhijjah) seperti pendapat Imam Malik bin Anas.Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Adapun Al-Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir ketika penyembelihan hadyu yang wajib seperti damm wajib untuk manasik tamattu’ dan qiran. Begitu pula bisa dimaksudkan adalah dzikir ketika melempar jumrah dan takbir pada hari tasyrik karena ayat tersebut sifatnya umum.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban.فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.Lalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah.Lalu Allah berfirman,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)Yang dimaksud dengan ayat,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”, yaitu menyelesaikan ihram lalu mencukur rambut kepala dan mengenakan baju, kemudian memotong kuku dan lainnya. Demikian tafsiran Ibnu ‘Abbas. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 5:406, takhrij: Abu Ishaq Al-Huwainiy) Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir (5:426-237) menjelaskan ada empat penafsiran, yaitu: (1) mencukur rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, melempar jumrah dan wukuf di Arafah; (2) menyelesaikan manasik haji; (3) mencukur rambut kepala; (4) mencukur bulu (rambut) dan memotong kuku. Sedangkan menurut beliau, yang lebih bagus adalah tafsiran pertama. Jadi “tafats” dalam ayat di atas bermakna ‘kotor’.Lalu tunaikanlah nadzar.Nadzar termasuk amalan yang mesti ditunaikan. Para ulama mengatakan bahwa siapa yang punya nadzar untuk menunaikan amalan kebajikan pada hari-hari haji, bisa jadi ia bernadzar jika ia dapat melihat Ka’bah atau ia punya nadzar mutlak, maka lebih afdhol ditunaikan di Makkah (Zaad Al-Masiir, 5:427). Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29). Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nadzar untuk menyembelih unta. Sedangkan ulama lain semacam ‘Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah nadzar haji.Lalu lakukanlah thawaf keliling Kabah sebanyak tujuh kali.Dalam ayat selanjutnya disebutkan,وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Bahkan thawaf tersebut termasuk rukun haji. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.Ka’bah disebut ‘atiiq karena beberapa maksud. ‘Atiiq bisa bermakna rumah tua. Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah adalah rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. ‘Ikrimah mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah pertama kali dibebaskan ketika zaman tenggelamnya kaum Nuh. Khofish mengatakan bahwa karena Ka’bah tidak pernah bisa ditaklukkan. Ulama lain menambahkan, bahkan jika ada yang ingin menghancurkan Ka’bah malah dia yang akan binasa. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:407 dan Zaad Al-Masiir, 5:427-428).Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mememrintahkan untuk menjadikan ibadah terakhir untuk ibadah haji di Makkah dnegan thawaf wadak. Hadits yang membicarakan tentang thawaf wadak adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana ia berkata,أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328).Ma’asyiral muslimin rahimaniyallahu wa iyyakum…Di tengah berkah hari Jumat dan keagungan hari-hari Dzulhijjah, marilah kita renungkan…Apakah hati ini benar-benar telah terpanggil? Apakah kita siap menjawab seruan-Nya?Maka berhajilah dan berqurbanlah, sebagai bukti cinta kepada Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sebagai tanda tunduk, taat, dan rindu kepada-Nya.“Labbaik Allahumma Labbaik”—jawaban yang hanya mampu diucapkan oleh hati yang hidup.Semoga Allah jadikan kita hamba yang merespons panggilan-Nya dengan amal, bukan sekadar harapan.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Kedua الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji berhaji keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban


Hari-hari mulia ini adalah saat terbaik untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berqurbanlah sebagai wujud ketaatan, dan berhajilah bila telah mampu. Sebab haji dan qurban bukan sekadar ibadah ritual, melainkan tanda kepasrahan dan pengorbanan sejati. Maka jawablah panggilan-Nya dengan amal nyata, bukan hanya dengan harapan semata. Khutbah Pertamaالْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي شَرَعَ لَنَا نُسُكَ الذَّبْحِ، وَجَعَلَهُ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَدَلَّنَا عَلَى سُنَّةِ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ فِي التَّقَرُّبِ بِالذَّبْحِ وَالطَّاعَةِ، وَنَحْمَدُهُ أَنْ بَلَّغَنَا هَذِهِ الْأَيَّامَ الْمُبَارَكَةَ الَّتِي يُحَبُّ فِيهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ.نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَرَعَ لِعِبَادِهِ الذَّبْحَ لِلتَّقَرُّبِ، وَدَعَاهُمْ لِيَذْكُرُوا اسْمَهُ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَيَّنَ شُرُوطَ الْأُضْحِيَةِ، وَحَثَّ أُمَّتَهُ عَلَى إِرْوَاءِ دَمِهَا، وَقَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ».اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِيَ الْمُقَصِّرَةَ بِتَقْوَى اللهِ، وَبِالْمُسَارَعَةِ إِلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ الْعَظِيمَةِ، سُنَّةِ الْأُضْحِيَةِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، وَرُوحِ تَضْحِيَةٍ صَادِقَةٍ، مُسْتَشْعِرِينَ مَعَ ذٰلِكَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ:﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ ﴾ (QS. الحَجّ: ٢٨)Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …Hari Jumat ini begitu istimewa karena bertemunya dua hari raya, yaitu hari istimewa pertama “Hari Jumat” dan haris istimewa kedua “Hari Iduladha”.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Berarti untuk kita saat ini yang mudah mendapatkan masjid, baiknya tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid terdekat daripada menggantinya dengan shalat Zhuhur.Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah …لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)Ibnu ‘Abbas berkata mengenai maksud ayat, “Supaya mereka menyaksikan manfaat di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, amalan haji akan mendatangkan ridha Allah. Sedangkan di dunia, akan mendapatkan manfaat dari hewan qurban, keuntungan, dan perdagangan.” Demikian pula dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Yang dimaksud sekali lagi adalah kemanfaatan dunia maupun akhirat.Yang dimaksud ‘ayyam ma’lumaat’ (hari-hari yang tertentu) terdapat beberapa pendapat di antara para ulama seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sembilan hari pertama Dzulhijjah seperti pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Dari ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dari Abu Sholih dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lima hari, dimulai dari yaumut tarwiyah (8 Dzulhijjah). Ada pula yang memaksudkan tiga hari dimulai dari hari Arafah (9 Dzulhijjah) seperti pendapat Imam Malik bin Anas.Adapun yang dimaksud dzikir di sini adalah tasmiyah (membaca bismillah) ketika melakukan penyembelihan qurban. Karena dalam ayat disebutkan “supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak”.Adapun Al-Qadhi Abu Ya’la menyatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir ketika penyembelihan hadyu yang wajib seperti damm wajib untuk manasik tamattu’ dan qiran. Begitu pula bisa dimaksudkan adalah dzikir ketika melempar jumrah dan takbir pada hari tasyrik karena ayat tersebut sifatnya umum.Lalu Allah perintahkan makanlah dari hasil qurban.فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”, bahwa memakan hasil sembelihan qurban itu wajib. Namun kata Ibnu Katsir, ini adalah pendapat yang tidak biasa (gharib). Kebanyakan ulama menganggap bahwa memakan hasil sembelihan termasuk rukhsah (keringanan) atau istihbab (anjuran atau sunnah). Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih hadyu beliau memerintahkan untuk setiap unta diambil beberapa bagian, lalu dimasak, kemudian dagingnya dimakan dan kuahnya dicicipi.Lalu hasil qurban disedekahkan. Allah Ta’ala berfirman,فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36). Qoni’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang tidak meminta-minta. Sedangkan mu’tarr adalah yang meminta-minta. Demikian kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.Sebagian ulama berdalil bahwa hendaknya hasil qurban dibagi separuh untuk shahibul qurban dan separuhnya lagi untuk orang fakir. Namun ada ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk shahibul qurban, sepertiga sebagai hadiah dan sepertiganya lagi untuk sedekah.Lalu Allah berfirman,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)Yang dimaksud dengan ayat,ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”, yaitu menyelesaikan ihram lalu mencukur rambut kepala dan mengenakan baju, kemudian memotong kuku dan lainnya. Demikian tafsiran Ibnu ‘Abbas. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 5:406, takhrij: Abu Ishaq Al-Huwainiy) Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir (5:426-237) menjelaskan ada empat penafsiran, yaitu: (1) mencukur rambut kepala, memotong kumis, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, melempar jumrah dan wukuf di Arafah; (2) menyelesaikan manasik haji; (3) mencukur rambut kepala; (4) mencukur bulu (rambut) dan memotong kuku. Sedangkan menurut beliau, yang lebih bagus adalah tafsiran pertama. Jadi “tafats” dalam ayat di atas bermakna ‘kotor’.Lalu tunaikanlah nadzar.Nadzar termasuk amalan yang mesti ditunaikan. Para ulama mengatakan bahwa siapa yang punya nadzar untuk menunaikan amalan kebajikan pada hari-hari haji, bisa jadi ia bernadzar jika ia dapat melihat Ka’bah atau ia punya nadzar mutlak, maka lebih afdhol ditunaikan di Makkah (Zaad Al-Masiir, 5:427). Dalam ayat yang kita kaji disebutkan,وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al-Hajj: 29). Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah nadzar untuk menyembelih unta. Sedangkan ulama lain semacam ‘Ikrimah menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah nadzar haji.Lalu lakukanlah thawaf keliling Kabah sebanyak tujuh kali.Dalam ayat selanjutnya disebutkan,وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29). Yang dimaksud ayat ini adalah thawaf yang wajib yaitu thawaf ifadhah. Bahkan thawaf tersebut termasuk rukun haji. Karena perintah dalam ayat ini disebutkan setelah perintah menyembelih. Dan penyembelih baru dilaksanakan pada hari Idul Adha.Ka’bah disebut ‘atiiq karena beberapa maksud. ‘Atiiq bisa bermakna rumah tua. Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah adalah rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. ‘Ikrimah mengatakan bahwa disebut demikian karena Ka’bah pertama kali dibebaskan ketika zaman tenggelamnya kaum Nuh. Khofish mengatakan bahwa karena Ka’bah tidak pernah bisa ditaklukkan. Ulama lain menambahkan, bahkan jika ada yang ingin menghancurkan Ka’bah malah dia yang akan binasa. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:407 dan Zaad Al-Masiir, 5:427-428).Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mememrintahkan untuk menjadikan ibadah terakhir untuk ibadah haji di Makkah dnegan thawaf wadak. Hadits yang membicarakan tentang thawaf wadak adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana ia berkata,أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328).Ma’asyiral muslimin rahimaniyallahu wa iyyakum…Di tengah berkah hari Jumat dan keagungan hari-hari Dzulhijjah, marilah kita renungkan…Apakah hati ini benar-benar telah terpanggil? Apakah kita siap menjawab seruan-Nya?Maka berhajilah dan berqurbanlah, sebagai bukti cinta kepada Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi sebagai tanda tunduk, taat, dan rindu kepada-Nya.“Labbaik Allahumma Labbaik”—jawaban yang hanya mampu diucapkan oleh hati yang hidup.Semoga Allah jadikan kita hamba yang merespons panggilan-Nya dengan amal, bukan sekadar harapan.بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمKhutbah Kedua الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ – Naskah Khutbah Jumat pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsajakan berhaji berhaji keutamaan qurban khutbah jumat panduan qurban

Hukum Shalat Jumat Jika Idulfitri atau Iduladha Jatuh pada Hari Jumat

Hari Idulfitri atau Iduladha yang jatuh tepat di hari Jumat adalah momen langka yang menarik perhatian para ulama. Sebab, dua ibadah besar—shalat Id dan shalat Jumat—berkumpul dalam satu hari. Apakah shalat Id bisa menggantikan Jumat? Tulisan ini mengulas dalil, praktik sahabat, serta perbedaan pendapat ulama tentang hukum dan pilihan ibadah di hari istimewa tersebut.  Daftar Isi tutup 1. Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat Id 2. Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama 3. Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi? Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat IdAda beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan “HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (surah Al-Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878) Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para UlamaPara ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jumat ketika hari raya (Id) jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa shalat Id dan shalat Jumat adalah dua ibadah yang terpisah. Maka, keduanya tetap harus dikerjakan dan tidak bisa saling menggantikan.Demikian juga pendapat Imam Asy-Syafi’i. Namun, beliau memberikan keringanan bagi penduduk desa yang telah datang untuk shalat Id agar boleh tidak menghadiri shalat Jumat.Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Pendapat ini didasarkan pada atsar Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika serentak terjadi antara Id dan hari Jumat pada masanya, Utsman berkata:إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا ‌عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ، فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ“Berhimpun di hari ini dua Id. Siapa yang datang dari al-‘aliyah (daerah di sudut Madinah yang berjarak lebih kurang 4 – 6 mil dari kota Madinah) kalau mau menunggu Jumat silakan, dan kalau mau pulang juga silahkan. Sudah saya izinkan.”Dalam Al-Mughnī, Ibnu Qudamah menyebutkan,إن اتَّفَقَ عِيدٌ في يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى العِيدَ، إلَّا الإِمامَ، فإنَّها لا تَسْقُطُ عنه إلَّا أن لا يَجْتَمِعَ له من يُصَلِّي به الجُمُعَةَ. وقيل: ‌في ‌وُجُوبِها ‌على الإِمامِ رِوَايَتَانJika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka orang yang telah menunaikan shalat Id tidak wajib lagi menghadiri shalat Jumat. Namun, ini tidak berlaku bagi imam. Imam tetap berkewajiban menegakkan shalat Jumat untuk jamaah yang hadir, kecuali tidak ada cukup orang untuk berjamaah. Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama tentang apakah imam tetap wajib atau tidak.Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ، سَقَطَتِ الْجُمُعَةُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيدَ، إِلَّا الْإِمَامَ … وَحُضُورُهَا أَوْلَى.“Jika hari raya dan hari Jumat jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban shalat Jumat gugur bagi orang yang telah menghadiri shalat Id. Namun, hal ini tidak berlaku bagi imam—ia tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Meskipun demikian, tetap hadir shalat Jumat adalah pilihan yang lebih utama.”Sementara itu, menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, jika shalat Jumat dilakukan pada waktu shalat Id, maka itu sudah mencukupi—karena beliau berpendapat bahwa Jumat boleh dilakukan sebelum zawāl (matahari tergelincir).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada tiga pandangan ulama:Shalat Jumat tetap wajib bagi yang telah shalat Id, mengikuti keumuman dalil tentang kewajiban Jumat.Jumat gugur bagi penduduk yang jauh dari kota, sebagaimana keringanan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.Pendapat yang paling kuat adalah bahwa orang yang telah shalat Id tidak lagi wajib shalat Jumat. Namun, imam tetap harus melaksanakan Jumat bagi mereka yang belum shalat Id atau yang ingin tetap melaksanakannya.Pendapat ini didukung oleh hadis Nabi ﷺ dan praktik para sahabat seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ فَلْيَشْهَدْ، فَإِنَّا مُجْتَمِعُونَ.“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin tetap menghadiri shalat Jumat, silakan, karena kami tetap akan mengadakannya.”Hal ini menunjukkan bahwa shalat Id sudah mencukupi tujuan dari berkumpulnya umat Islam, dan jika tidak menghadiri Jumat, seseorang tetap bisa menunaikan shalat Zhuhur. Membebani semua orang untuk tetap hadir Jumat akan mengganggu tujuan dari hari raya, yang merupakan waktu untuk bergembira dan bersantai.Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan bahwa jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka bagi yang sudah shalat Id, dia boleh memilih: ingin tetap shalat Jumat atau cukup shalat Zhuhur. Namun, yang terbaik adalah tetap hadir Jumat. Adapun imam, dia tetap wajib mengadakan shalat Jumat jika ada tiga orang atau lebih yang hadir. Jika tidak, cukup dengan shalat Zhuhur.Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)Kesimpulannya, shalat Jumat tetap wajib dilakukan meskipun seseorang sudah ikut shalat Id di pagi harinya. Ini pendapat mayoritas ulama.Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi?Pendapat ini memang dinisbahkan kepada Atha` sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’,قال عطاء بن أبي رباح : إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر ، لا على أهل القرى ولا أهل البلد“‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Kalau mereka sudah shalat ied maka tidak wajib lagi shalat Jumat dan Zuhur, ataupun shalat lainnya kecuali Ashar, tidak untuk ahlu qura tidak pula untuk ahlu balad.” Pendapat Atha ini didasarkannya pada apa yang dilihatnya dari Abdullah bin Zubair seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan,صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا فصلينا وحدانا“Ibnu Zubair mengimami kami shalat ied yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian siang harinya kami datang untuk shalat Jumat, tapi ia tidak keluar (untuk mengimami kami). Akhirnya kami shalat sendiri-sendiri.” Pendapat Atha ini di-munaqasyah oleh para ulama. Ada yang memahami bahwa sebenarnya Ibnu Zubair tidak menggugurkan kewajiban Zuhur. Boleh jadi saja ia shalat di rumahnya. Ada juga yang mengatakan, boleh jadi Ibnu Zubair melaksanakan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari (zawal). Jadi ia telah menggabungkan antara shalat ied dan shalat Jumat.Namun ada yang tegas mengatakan bahwa pendapat Atha ini pendapat yang munkar. Tak seorangpun ulama yang mengambilnya. Al-‘Allamah Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,وَقَدْ رُوِيَ في هذا الباب عن بن الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ قَوْلٌ مُنْكَرٌ أَنْكَرَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ“Dalam masalah ini ada pendapat yang munkar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha; pendapat yang diinkari para fuqaha berbagai daerah dan tak satupun dari mereka yang mengambil pendapat ini.”Namun, pendapat Atha’ ini menjadi bahan pembahasan (‘munaqasyah’) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Az-Zubair tidak menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur, hanya saja beliau mungkin melaksanakannya di rumah. Ada pula yang berpendapat bahwa bisa jadi Ibnu Az-Zubair telah melaksanakan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir (zawāl), sehingga ia menggabungkan antara shalat Id dan Jumat dalam satu waktu yang berdekatan. – Disusun pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara shalat id cara shalat idul adha cara shalat idul fitri shalat id shalat jumat

Hukum Shalat Jumat Jika Idulfitri atau Iduladha Jatuh pada Hari Jumat

Hari Idulfitri atau Iduladha yang jatuh tepat di hari Jumat adalah momen langka yang menarik perhatian para ulama. Sebab, dua ibadah besar—shalat Id dan shalat Jumat—berkumpul dalam satu hari. Apakah shalat Id bisa menggantikan Jumat? Tulisan ini mengulas dalil, praktik sahabat, serta perbedaan pendapat ulama tentang hukum dan pilihan ibadah di hari istimewa tersebut.  Daftar Isi tutup 1. Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat Id 2. Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama 3. Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi? Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat IdAda beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan “HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (surah Al-Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878) Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para UlamaPara ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jumat ketika hari raya (Id) jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa shalat Id dan shalat Jumat adalah dua ibadah yang terpisah. Maka, keduanya tetap harus dikerjakan dan tidak bisa saling menggantikan.Demikian juga pendapat Imam Asy-Syafi’i. Namun, beliau memberikan keringanan bagi penduduk desa yang telah datang untuk shalat Id agar boleh tidak menghadiri shalat Jumat.Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Pendapat ini didasarkan pada atsar Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika serentak terjadi antara Id dan hari Jumat pada masanya, Utsman berkata:إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا ‌عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ، فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ“Berhimpun di hari ini dua Id. Siapa yang datang dari al-‘aliyah (daerah di sudut Madinah yang berjarak lebih kurang 4 – 6 mil dari kota Madinah) kalau mau menunggu Jumat silakan, dan kalau mau pulang juga silahkan. Sudah saya izinkan.”Dalam Al-Mughnī, Ibnu Qudamah menyebutkan,إن اتَّفَقَ عِيدٌ في يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى العِيدَ، إلَّا الإِمامَ، فإنَّها لا تَسْقُطُ عنه إلَّا أن لا يَجْتَمِعَ له من يُصَلِّي به الجُمُعَةَ. وقيل: ‌في ‌وُجُوبِها ‌على الإِمامِ رِوَايَتَانJika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka orang yang telah menunaikan shalat Id tidak wajib lagi menghadiri shalat Jumat. Namun, ini tidak berlaku bagi imam. Imam tetap berkewajiban menegakkan shalat Jumat untuk jamaah yang hadir, kecuali tidak ada cukup orang untuk berjamaah. Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama tentang apakah imam tetap wajib atau tidak.Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ، سَقَطَتِ الْجُمُعَةُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيدَ، إِلَّا الْإِمَامَ … وَحُضُورُهَا أَوْلَى.“Jika hari raya dan hari Jumat jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban shalat Jumat gugur bagi orang yang telah menghadiri shalat Id. Namun, hal ini tidak berlaku bagi imam—ia tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Meskipun demikian, tetap hadir shalat Jumat adalah pilihan yang lebih utama.”Sementara itu, menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, jika shalat Jumat dilakukan pada waktu shalat Id, maka itu sudah mencukupi—karena beliau berpendapat bahwa Jumat boleh dilakukan sebelum zawāl (matahari tergelincir).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada tiga pandangan ulama:Shalat Jumat tetap wajib bagi yang telah shalat Id, mengikuti keumuman dalil tentang kewajiban Jumat.Jumat gugur bagi penduduk yang jauh dari kota, sebagaimana keringanan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.Pendapat yang paling kuat adalah bahwa orang yang telah shalat Id tidak lagi wajib shalat Jumat. Namun, imam tetap harus melaksanakan Jumat bagi mereka yang belum shalat Id atau yang ingin tetap melaksanakannya.Pendapat ini didukung oleh hadis Nabi ﷺ dan praktik para sahabat seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ فَلْيَشْهَدْ، فَإِنَّا مُجْتَمِعُونَ.“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin tetap menghadiri shalat Jumat, silakan, karena kami tetap akan mengadakannya.”Hal ini menunjukkan bahwa shalat Id sudah mencukupi tujuan dari berkumpulnya umat Islam, dan jika tidak menghadiri Jumat, seseorang tetap bisa menunaikan shalat Zhuhur. Membebani semua orang untuk tetap hadir Jumat akan mengganggu tujuan dari hari raya, yang merupakan waktu untuk bergembira dan bersantai.Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan bahwa jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka bagi yang sudah shalat Id, dia boleh memilih: ingin tetap shalat Jumat atau cukup shalat Zhuhur. Namun, yang terbaik adalah tetap hadir Jumat. Adapun imam, dia tetap wajib mengadakan shalat Jumat jika ada tiga orang atau lebih yang hadir. Jika tidak, cukup dengan shalat Zhuhur.Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)Kesimpulannya, shalat Jumat tetap wajib dilakukan meskipun seseorang sudah ikut shalat Id di pagi harinya. Ini pendapat mayoritas ulama.Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi?Pendapat ini memang dinisbahkan kepada Atha` sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’,قال عطاء بن أبي رباح : إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر ، لا على أهل القرى ولا أهل البلد“‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Kalau mereka sudah shalat ied maka tidak wajib lagi shalat Jumat dan Zuhur, ataupun shalat lainnya kecuali Ashar, tidak untuk ahlu qura tidak pula untuk ahlu balad.” Pendapat Atha ini didasarkannya pada apa yang dilihatnya dari Abdullah bin Zubair seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan,صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا فصلينا وحدانا“Ibnu Zubair mengimami kami shalat ied yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian siang harinya kami datang untuk shalat Jumat, tapi ia tidak keluar (untuk mengimami kami). Akhirnya kami shalat sendiri-sendiri.” Pendapat Atha ini di-munaqasyah oleh para ulama. Ada yang memahami bahwa sebenarnya Ibnu Zubair tidak menggugurkan kewajiban Zuhur. Boleh jadi saja ia shalat di rumahnya. Ada juga yang mengatakan, boleh jadi Ibnu Zubair melaksanakan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari (zawal). Jadi ia telah menggabungkan antara shalat ied dan shalat Jumat.Namun ada yang tegas mengatakan bahwa pendapat Atha ini pendapat yang munkar. Tak seorangpun ulama yang mengambilnya. Al-‘Allamah Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,وَقَدْ رُوِيَ في هذا الباب عن بن الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ قَوْلٌ مُنْكَرٌ أَنْكَرَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ“Dalam masalah ini ada pendapat yang munkar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha; pendapat yang diinkari para fuqaha berbagai daerah dan tak satupun dari mereka yang mengambil pendapat ini.”Namun, pendapat Atha’ ini menjadi bahan pembahasan (‘munaqasyah’) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Az-Zubair tidak menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur, hanya saja beliau mungkin melaksanakannya di rumah. Ada pula yang berpendapat bahwa bisa jadi Ibnu Az-Zubair telah melaksanakan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir (zawāl), sehingga ia menggabungkan antara shalat Id dan Jumat dalam satu waktu yang berdekatan. – Disusun pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara shalat id cara shalat idul adha cara shalat idul fitri shalat id shalat jumat
Hari Idulfitri atau Iduladha yang jatuh tepat di hari Jumat adalah momen langka yang menarik perhatian para ulama. Sebab, dua ibadah besar—shalat Id dan shalat Jumat—berkumpul dalam satu hari. Apakah shalat Id bisa menggantikan Jumat? Tulisan ini mengulas dalil, praktik sahabat, serta perbedaan pendapat ulama tentang hukum dan pilihan ibadah di hari istimewa tersebut.  Daftar Isi tutup 1. Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat Id 2. Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama 3. Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi? Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat IdAda beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan “HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (surah Al-Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878) Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para UlamaPara ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jumat ketika hari raya (Id) jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa shalat Id dan shalat Jumat adalah dua ibadah yang terpisah. Maka, keduanya tetap harus dikerjakan dan tidak bisa saling menggantikan.Demikian juga pendapat Imam Asy-Syafi’i. Namun, beliau memberikan keringanan bagi penduduk desa yang telah datang untuk shalat Id agar boleh tidak menghadiri shalat Jumat.Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Pendapat ini didasarkan pada atsar Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika serentak terjadi antara Id dan hari Jumat pada masanya, Utsman berkata:إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا ‌عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ، فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ“Berhimpun di hari ini dua Id. Siapa yang datang dari al-‘aliyah (daerah di sudut Madinah yang berjarak lebih kurang 4 – 6 mil dari kota Madinah) kalau mau menunggu Jumat silakan, dan kalau mau pulang juga silahkan. Sudah saya izinkan.”Dalam Al-Mughnī, Ibnu Qudamah menyebutkan,إن اتَّفَقَ عِيدٌ في يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى العِيدَ، إلَّا الإِمامَ، فإنَّها لا تَسْقُطُ عنه إلَّا أن لا يَجْتَمِعَ له من يُصَلِّي به الجُمُعَةَ. وقيل: ‌في ‌وُجُوبِها ‌على الإِمامِ رِوَايَتَانJika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka orang yang telah menunaikan shalat Id tidak wajib lagi menghadiri shalat Jumat. Namun, ini tidak berlaku bagi imam. Imam tetap berkewajiban menegakkan shalat Jumat untuk jamaah yang hadir, kecuali tidak ada cukup orang untuk berjamaah. Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama tentang apakah imam tetap wajib atau tidak.Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ، سَقَطَتِ الْجُمُعَةُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيدَ، إِلَّا الْإِمَامَ … وَحُضُورُهَا أَوْلَى.“Jika hari raya dan hari Jumat jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban shalat Jumat gugur bagi orang yang telah menghadiri shalat Id. Namun, hal ini tidak berlaku bagi imam—ia tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Meskipun demikian, tetap hadir shalat Jumat adalah pilihan yang lebih utama.”Sementara itu, menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, jika shalat Jumat dilakukan pada waktu shalat Id, maka itu sudah mencukupi—karena beliau berpendapat bahwa Jumat boleh dilakukan sebelum zawāl (matahari tergelincir).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada tiga pandangan ulama:Shalat Jumat tetap wajib bagi yang telah shalat Id, mengikuti keumuman dalil tentang kewajiban Jumat.Jumat gugur bagi penduduk yang jauh dari kota, sebagaimana keringanan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.Pendapat yang paling kuat adalah bahwa orang yang telah shalat Id tidak lagi wajib shalat Jumat. Namun, imam tetap harus melaksanakan Jumat bagi mereka yang belum shalat Id atau yang ingin tetap melaksanakannya.Pendapat ini didukung oleh hadis Nabi ﷺ dan praktik para sahabat seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ فَلْيَشْهَدْ، فَإِنَّا مُجْتَمِعُونَ.“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin tetap menghadiri shalat Jumat, silakan, karena kami tetap akan mengadakannya.”Hal ini menunjukkan bahwa shalat Id sudah mencukupi tujuan dari berkumpulnya umat Islam, dan jika tidak menghadiri Jumat, seseorang tetap bisa menunaikan shalat Zhuhur. Membebani semua orang untuk tetap hadir Jumat akan mengganggu tujuan dari hari raya, yang merupakan waktu untuk bergembira dan bersantai.Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan bahwa jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka bagi yang sudah shalat Id, dia boleh memilih: ingin tetap shalat Jumat atau cukup shalat Zhuhur. Namun, yang terbaik adalah tetap hadir Jumat. Adapun imam, dia tetap wajib mengadakan shalat Jumat jika ada tiga orang atau lebih yang hadir. Jika tidak, cukup dengan shalat Zhuhur.Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)Kesimpulannya, shalat Jumat tetap wajib dilakukan meskipun seseorang sudah ikut shalat Id di pagi harinya. Ini pendapat mayoritas ulama.Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi?Pendapat ini memang dinisbahkan kepada Atha` sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’,قال عطاء بن أبي رباح : إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر ، لا على أهل القرى ولا أهل البلد“‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Kalau mereka sudah shalat ied maka tidak wajib lagi shalat Jumat dan Zuhur, ataupun shalat lainnya kecuali Ashar, tidak untuk ahlu qura tidak pula untuk ahlu balad.” Pendapat Atha ini didasarkannya pada apa yang dilihatnya dari Abdullah bin Zubair seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan,صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا فصلينا وحدانا“Ibnu Zubair mengimami kami shalat ied yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian siang harinya kami datang untuk shalat Jumat, tapi ia tidak keluar (untuk mengimami kami). Akhirnya kami shalat sendiri-sendiri.” Pendapat Atha ini di-munaqasyah oleh para ulama. Ada yang memahami bahwa sebenarnya Ibnu Zubair tidak menggugurkan kewajiban Zuhur. Boleh jadi saja ia shalat di rumahnya. Ada juga yang mengatakan, boleh jadi Ibnu Zubair melaksanakan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari (zawal). Jadi ia telah menggabungkan antara shalat ied dan shalat Jumat.Namun ada yang tegas mengatakan bahwa pendapat Atha ini pendapat yang munkar. Tak seorangpun ulama yang mengambilnya. Al-‘Allamah Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,وَقَدْ رُوِيَ في هذا الباب عن بن الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ قَوْلٌ مُنْكَرٌ أَنْكَرَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ“Dalam masalah ini ada pendapat yang munkar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha; pendapat yang diinkari para fuqaha berbagai daerah dan tak satupun dari mereka yang mengambil pendapat ini.”Namun, pendapat Atha’ ini menjadi bahan pembahasan (‘munaqasyah’) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Az-Zubair tidak menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur, hanya saja beliau mungkin melaksanakannya di rumah. Ada pula yang berpendapat bahwa bisa jadi Ibnu Az-Zubair telah melaksanakan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir (zawāl), sehingga ia menggabungkan antara shalat Id dan Jumat dalam satu waktu yang berdekatan. – Disusun pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara shalat id cara shalat idul adha cara shalat idul fitri shalat id shalat jumat


Hari Idulfitri atau Iduladha yang jatuh tepat di hari Jumat adalah momen langka yang menarik perhatian para ulama. Sebab, dua ibadah besar—shalat Id dan shalat Jumat—berkumpul dalam satu hari. Apakah shalat Id bisa menggantikan Jumat? Tulisan ini mengulas dalil, praktik sahabat, serta perbedaan pendapat ulama tentang hukum dan pilihan ibadah di hari istimewa tersebut.  Daftar Isi tutup 1. Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat Id 2. Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para Ulama 3. Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi? Dalil Sahih tentang Gugurnya Shalat Jumat karena Shalat IdAda beberapa hadits yang menunjukkan istimewanya hari Jumat jika bertemu dengan Idulfitri dan Iduladha, yaitu bisa mencukupkan dengan shalat Id dan tidak shalat Jumat, lalu shalat Jumat diganti dengan shalat Zhuhur.Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Muawiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam,أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Idulfitri atau Iduladha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Muawiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasai, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).Dari seorang tabiin bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah, ia berkata,صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.“Ibnu Az-Zubair ketika hari Id jatuh pada hari Jumat pernah shalat Id bersama kami pada pagi hari. Kami keluar untuk shalat Jumat, kemudian ketika itu, Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan perbuatan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud, no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua Id (shalat Idulfitri dan Iduladha) dan dalam shalat Jumat “SABBIHISMA ROBBIKAL A’LA” (surah Al-A’laa) dan “HAL ATAKA HADITSUL GHOSIYAH” (surah Al-Ghasyiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim, no. 878) Apakah Shalat Jumat Tetap Wajib Setelah Shalat Id? Ini Penjelasan Lengkap Para UlamaPara ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Jumat ketika hari raya (Id) jatuh bertepatan dengan hari Jumat. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa shalat Id dan shalat Jumat adalah dua ibadah yang terpisah. Maka, keduanya tetap harus dikerjakan dan tidak bisa saling menggantikan.Demikian juga pendapat Imam Asy-Syafi’i. Namun, beliau memberikan keringanan bagi penduduk desa yang telah datang untuk shalat Id agar boleh tidak menghadiri shalat Jumat.Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata:إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ يَوْمَ عِيدٍ، وَحَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى الَّذِينَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ، فَصَلَّوُا الْعِيدَ، لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلا خِلَافٍ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَفِي أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ فِي الأُمِّ وَالْقَدِيمِ أَنَّهَا تَسْقُطُ، وَالثَّانِي لَا تَسْقُطُ.“Jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya (Id), lalu penduduk desa yang sebenarnya terkena kewajiban shalat Jumat—karena mereka berada dalam jangkauan suara azan dari kota—datang untuk melaksanakan shalat Id, maka menurut kesepakatan para ulama, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi penduduk kota.Adapun untuk penduduk desa, ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat yang paling kuat dan merupakan pendapat yang ditegaskan langsung oleh Imam Asy-Syafi’i, baik dalam kitab Al-Umm maupun pendapat lamanya, menyatakan bahwa mereka tidak wajib lagi shalat Jumat setelah shalat Id. Namun, ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa kewajiban shalat Jumat tetap berlaku bagi mereka.”Jadi, gugurnya kewajiban untuk shalat Jumat -menurut ulama Syafi’iyyah- hanya berlaku bagi mereka yang datang dari al-qura (kampung-kampung), dan sudah ikut melaksanakan shalat Id bersama imam. Untuk mereka diberikan pilihan, antara ikut shalat Jumat dengan imam dan masyarakat setempat (ahl al-hadhar) atau pulang kembali ke rumah mereka dan mengganti Jumat dengan shalat Zhuhur.Pendapat ini didasarkan pada atsar Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ketika serentak terjadi antara Id dan hari Jumat pada masanya, Utsman berkata:إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا ‌عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ، فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ“Berhimpun di hari ini dua Id. Siapa yang datang dari al-‘aliyah (daerah di sudut Madinah yang berjarak lebih kurang 4 – 6 mil dari kota Madinah) kalau mau menunggu Jumat silakan, dan kalau mau pulang juga silahkan. Sudah saya izinkan.”Dalam Al-Mughnī, Ibnu Qudamah menyebutkan,إن اتَّفَقَ عِيدٌ في يَوْمِ جُمُعَةٍ، سَقَطَ حُضُورُ الجُمُعَةِ عَمَّنْ صَلَّى العِيدَ، إلَّا الإِمامَ، فإنَّها لا تَسْقُطُ عنه إلَّا أن لا يَجْتَمِعَ له من يُصَلِّي به الجُمُعَةَ. وقيل: ‌في ‌وُجُوبِها ‌على الإِمامِ رِوَايَتَانJika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka orang yang telah menunaikan shalat Id tidak wajib lagi menghadiri shalat Jumat. Namun, ini tidak berlaku bagi imam. Imam tetap berkewajiban menegakkan shalat Jumat untuk jamaah yang hadir, kecuali tidak ada cukup orang untuk berjamaah. Dalam hal ini, ada dua pendapat di kalangan ulama tentang apakah imam tetap wajib atau tidak.Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,إِذَا اجْتَمَعَ عِيدٌ وَجُمُعَةٌ، سَقَطَتِ الْجُمُعَةُ عَمَّنْ حَضَرَ الْعِيدَ، إِلَّا الْإِمَامَ … وَحُضُورُهَا أَوْلَى.“Jika hari raya dan hari Jumat jatuh pada hari yang sama, maka kewajiban shalat Jumat gugur bagi orang yang telah menghadiri shalat Id. Namun, hal ini tidak berlaku bagi imam—ia tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat. Meskipun demikian, tetap hadir shalat Jumat adalah pilihan yang lebih utama.”Sementara itu, menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, jika shalat Jumat dilakukan pada waktu shalat Id, maka itu sudah mencukupi—karena beliau berpendapat bahwa Jumat boleh dilakukan sebelum zawāl (matahari tergelincir).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada tiga pandangan ulama:Shalat Jumat tetap wajib bagi yang telah shalat Id, mengikuti keumuman dalil tentang kewajiban Jumat.Jumat gugur bagi penduduk yang jauh dari kota, sebagaimana keringanan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.Pendapat yang paling kuat adalah bahwa orang yang telah shalat Id tidak lagi wajib shalat Jumat. Namun, imam tetap harus melaksanakan Jumat bagi mereka yang belum shalat Id atau yang ingin tetap melaksanakannya.Pendapat ini didukung oleh hadis Nabi ﷺ dan praktik para sahabat seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَشْهَدَ الْجُمُعَةَ فَلْيَشْهَدْ، فَإِنَّا مُجْتَمِعُونَ.“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin tetap menghadiri shalat Jumat, silakan, karena kami tetap akan mengadakannya.”Hal ini menunjukkan bahwa shalat Id sudah mencukupi tujuan dari berkumpulnya umat Islam, dan jika tidak menghadiri Jumat, seseorang tetap bisa menunaikan shalat Zhuhur. Membebani semua orang untuk tetap hadir Jumat akan mengganggu tujuan dari hari raya, yang merupakan waktu untuk bergembira dan bersantai.Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan bahwa jika hari raya jatuh pada hari Jumat, maka bagi yang sudah shalat Id, dia boleh memilih: ingin tetap shalat Jumat atau cukup shalat Zhuhur. Namun, yang terbaik adalah tetap hadir Jumat. Adapun imam, dia tetap wajib mengadakan shalat Jumat jika ada tiga orang atau lebih yang hadir. Jika tidak, cukup dengan shalat Zhuhur.Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri shalat Id, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (empat rakaat). (Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, 8:182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al-Ifta’)Kesimpulannya, shalat Jumat tetap wajib dilakukan meskipun seseorang sudah ikut shalat Id di pagi harinya. Ini pendapat mayoritas ulama.Bagi yang Menganggap Kalau Tidak Shalat Jumat Tak Perlu Shalat Zhuhur Lagi?Pendapat ini memang dinisbahkan kepada Atha` sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’,قال عطاء بن أبي رباح : إذا صلوا العيد لم تجب بعده في هذا اليوم صلاة الجمعة ولا الظهر ولا غيرهما إلا العصر ، لا على أهل القرى ولا أهل البلد“‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Kalau mereka sudah shalat ied maka tidak wajib lagi shalat Jumat dan Zuhur, ataupun shalat lainnya kecuali Ashar, tidak untuk ahlu qura tidak pula untuk ahlu balad.” Pendapat Atha ini didasarkannya pada apa yang dilihatnya dari Abdullah bin Zubair seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan,صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا فصلينا وحدانا“Ibnu Zubair mengimami kami shalat ied yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian siang harinya kami datang untuk shalat Jumat, tapi ia tidak keluar (untuk mengimami kami). Akhirnya kami shalat sendiri-sendiri.” Pendapat Atha ini di-munaqasyah oleh para ulama. Ada yang memahami bahwa sebenarnya Ibnu Zubair tidak menggugurkan kewajiban Zuhur. Boleh jadi saja ia shalat di rumahnya. Ada juga yang mengatakan, boleh jadi Ibnu Zubair melaksanakan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari (zawal). Jadi ia telah menggabungkan antara shalat ied dan shalat Jumat.Namun ada yang tegas mengatakan bahwa pendapat Atha ini pendapat yang munkar. Tak seorangpun ulama yang mengambilnya. Al-‘Allamah Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata,وَقَدْ رُوِيَ في هذا الباب عن بن الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ قَوْلٌ مُنْكَرٌ أَنْكَرَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ“Dalam masalah ini ada pendapat yang munkar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan ‘Atha; pendapat yang diinkari para fuqaha berbagai daerah dan tak satupun dari mereka yang mengambil pendapat ini.”Namun, pendapat Atha’ ini menjadi bahan pembahasan (‘munaqasyah’) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa Ibnu Az-Zubair tidak menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur, hanya saja beliau mungkin melaksanakannya di rumah. Ada pula yang berpendapat bahwa bisa jadi Ibnu Az-Zubair telah melaksanakan shalat Jumat sebelum matahari tergelincir (zawāl), sehingga ia menggabungkan antara shalat Id dan Jumat dalam satu waktu yang berdekatan. – Disusun pada 10 Dzulhijjah 1446 H (6 Juni 2025)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagscara shalat id cara shalat idul adha cara shalat idul fitri shalat id shalat jumat
Prev     Next