Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi Posted on November 12, 2024December 30, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 201MENGAJARI DENGAN MENCONTOHI Salah satu tugas orang tua adalah mengajari anaknya. Mengetahui kapan anak perlu dicontohkan langsung dan kapan cukup diberi instruksi adalah keterampilan penting dalam mendidik anak. Keputusan ini bergantung pada usia, tingkat perkembangan, kompleksitas tugas dan pengalaman anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan anak dalam pendekatan mendidik. Simaklah hadits Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak, tanpa berwudhu lagi”. HR. Ibn Majah (no. 3179) dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy. Berikut beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari hadits di atas: 1. Mengajarkan dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyuruh anak itu memperbaiki caranya, tetapi memberikan contoh langsung. Hal ini membantu anak untuk melihat detail dan langkah-langkah yang mungkin sulit dimengerti dengan instruksi verbal. Suatu tugas atau keterampilan baru kerap membutuhkan tahapan yang jelas. Seperti cara bersikap dalam situasi tertentu atau keterampilan teknis seperti menulis, memasak atau cara beribadah. Dalam hal-hal itu, memberikan contoh akan memperlihatkan detail dan urutan yang benar. 2. Membimbing dengan Kasih Sayang dan Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lembut meminta anak itu untuk memperhatikan, tanpa kritik kasar atau nada merendahkan. Beliau bahkan berkata, “Kutunjukkan caranya”. Ketika seorang anak merasa didukung; dia akan lebih percaya diri dan terdorong untuk mencoba kembali tanpa takut salah. Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik bisa disimpulkan dari perhatian yang diberikannya saat itu. Di mana beliau sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju ke masjid untuk mengimami jama’ah. Yang tentunya beliau sudah mengenakan pakaian terbaik. Pun demikian beliau tetap meluangkan waktu untuk mengajari dan membimbing anak itu. 3. Memberi Kesempatan untuk Melakukan Sendiri dengan Bimbingan Setelah menunjukkan caranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilakan anak itu untuk mencoba sendiri dengan berkata, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Ini memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri, tetapi tetap dengan arahan yang jelas. Mengajari dengan memberi contoh sambil membiarkan anak melakukan sendiri; memungkinkan mereka untuk mempraktikkan keterampilan tersebut dan membangun rasa percaya diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat anak itu merasa dilibatkan dan dihargai. Ini merupakan kunci penting dalam pembelajaran efektif. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 9 Jumadal Ula 1446 / 11 Nopember 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 200 – Bijak Meluruskan Kekeliruan AnakKAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi Posted on November 12, 2024December 30, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 201MENGAJARI DENGAN MENCONTOHI Salah satu tugas orang tua adalah mengajari anaknya. Mengetahui kapan anak perlu dicontohkan langsung dan kapan cukup diberi instruksi adalah keterampilan penting dalam mendidik anak. Keputusan ini bergantung pada usia, tingkat perkembangan, kompleksitas tugas dan pengalaman anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan anak dalam pendekatan mendidik. Simaklah hadits Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak, tanpa berwudhu lagi”. HR. Ibn Majah (no. 3179) dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy. Berikut beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari hadits di atas: 1. Mengajarkan dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyuruh anak itu memperbaiki caranya, tetapi memberikan contoh langsung. Hal ini membantu anak untuk melihat detail dan langkah-langkah yang mungkin sulit dimengerti dengan instruksi verbal. Suatu tugas atau keterampilan baru kerap membutuhkan tahapan yang jelas. Seperti cara bersikap dalam situasi tertentu atau keterampilan teknis seperti menulis, memasak atau cara beribadah. Dalam hal-hal itu, memberikan contoh akan memperlihatkan detail dan urutan yang benar. 2. Membimbing dengan Kasih Sayang dan Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lembut meminta anak itu untuk memperhatikan, tanpa kritik kasar atau nada merendahkan. Beliau bahkan berkata, “Kutunjukkan caranya”. Ketika seorang anak merasa didukung; dia akan lebih percaya diri dan terdorong untuk mencoba kembali tanpa takut salah. Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik bisa disimpulkan dari perhatian yang diberikannya saat itu. Di mana beliau sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju ke masjid untuk mengimami jama’ah. Yang tentunya beliau sudah mengenakan pakaian terbaik. Pun demikian beliau tetap meluangkan waktu untuk mengajari dan membimbing anak itu. 3. Memberi Kesempatan untuk Melakukan Sendiri dengan Bimbingan Setelah menunjukkan caranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilakan anak itu untuk mencoba sendiri dengan berkata, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Ini memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri, tetapi tetap dengan arahan yang jelas. Mengajari dengan memberi contoh sambil membiarkan anak melakukan sendiri; memungkinkan mereka untuk mempraktikkan keterampilan tersebut dan membangun rasa percaya diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat anak itu merasa dilibatkan dan dihargai. Ini merupakan kunci penting dalam pembelajaran efektif. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 9 Jumadal Ula 1446 / 11 Nopember 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 200 – Bijak Meluruskan Kekeliruan AnakKAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi Posted on November 12, 2024December 30, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 201MENGAJARI DENGAN MENCONTOHI Salah satu tugas orang tua adalah mengajari anaknya. Mengetahui kapan anak perlu dicontohkan langsung dan kapan cukup diberi instruksi adalah keterampilan penting dalam mendidik anak. Keputusan ini bergantung pada usia, tingkat perkembangan, kompleksitas tugas dan pengalaman anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan anak dalam pendekatan mendidik. Simaklah hadits Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak, tanpa berwudhu lagi”. HR. Ibn Majah (no. 3179) dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy. Berikut beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari hadits di atas: 1. Mengajarkan dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyuruh anak itu memperbaiki caranya, tetapi memberikan contoh langsung. Hal ini membantu anak untuk melihat detail dan langkah-langkah yang mungkin sulit dimengerti dengan instruksi verbal. Suatu tugas atau keterampilan baru kerap membutuhkan tahapan yang jelas. Seperti cara bersikap dalam situasi tertentu atau keterampilan teknis seperti menulis, memasak atau cara beribadah. Dalam hal-hal itu, memberikan contoh akan memperlihatkan detail dan urutan yang benar. 2. Membimbing dengan Kasih Sayang dan Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lembut meminta anak itu untuk memperhatikan, tanpa kritik kasar atau nada merendahkan. Beliau bahkan berkata, “Kutunjukkan caranya”. Ketika seorang anak merasa didukung; dia akan lebih percaya diri dan terdorong untuk mencoba kembali tanpa takut salah. Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik bisa disimpulkan dari perhatian yang diberikannya saat itu. Di mana beliau sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju ke masjid untuk mengimami jama’ah. Yang tentunya beliau sudah mengenakan pakaian terbaik. Pun demikian beliau tetap meluangkan waktu untuk mengajari dan membimbing anak itu. 3. Memberi Kesempatan untuk Melakukan Sendiri dengan Bimbingan Setelah menunjukkan caranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilakan anak itu untuk mencoba sendiri dengan berkata, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Ini memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri, tetapi tetap dengan arahan yang jelas. Mengajari dengan memberi contoh sambil membiarkan anak melakukan sendiri; memungkinkan mereka untuk mempraktikkan keterampilan tersebut dan membangun rasa percaya diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat anak itu merasa dilibatkan dan dihargai. Ini merupakan kunci penting dalam pembelajaran efektif. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 9 Jumadal Ula 1446 / 11 Nopember 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 200 – Bijak Meluruskan Kekeliruan AnakKAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan Mencontohi Posted on November 12, 2024December 30, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 201MENGAJARI DENGAN MENCONTOHI Salah satu tugas orang tua adalah mengajari anaknya. Mengetahui kapan anak perlu dicontohkan langsung dan kapan cukup diberi instruksi adalah keterampilan penting dalam mendidik anak. Keputusan ini bergantung pada usia, tingkat perkembangan, kompleksitas tugas dan pengalaman anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan anak dalam pendekatan mendidik. Simaklah hadits Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berikut: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak, tanpa berwudhu lagi”. HR. Ibn Majah (no. 3179) dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy. Berikut beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari hadits di atas: 1. Mengajarkan dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyuruh anak itu memperbaiki caranya, tetapi memberikan contoh langsung. Hal ini membantu anak untuk melihat detail dan langkah-langkah yang mungkin sulit dimengerti dengan instruksi verbal. Suatu tugas atau keterampilan baru kerap membutuhkan tahapan yang jelas. Seperti cara bersikap dalam situasi tertentu atau keterampilan teknis seperti menulis, memasak atau cara beribadah. Dalam hal-hal itu, memberikan contoh akan memperlihatkan detail dan urutan yang benar. 2. Membimbing dengan Kasih Sayang dan Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lembut meminta anak itu untuk memperhatikan, tanpa kritik kasar atau nada merendahkan. Beliau bahkan berkata, “Kutunjukkan caranya”. Ketika seorang anak merasa didukung; dia akan lebih percaya diri dan terdorong untuk mencoba kembali tanpa takut salah. Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik bisa disimpulkan dari perhatian yang diberikannya saat itu. Di mana beliau sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju ke masjid untuk mengimami jama’ah. Yang tentunya beliau sudah mengenakan pakaian terbaik. Pun demikian beliau tetap meluangkan waktu untuk mengajari dan membimbing anak itu. 3. Memberi Kesempatan untuk Melakukan Sendiri dengan Bimbingan Setelah menunjukkan caranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilakan anak itu untuk mencoba sendiri dengan berkata, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Ini memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri, tetapi tetap dengan arahan yang jelas. Mengajari dengan memberi contoh sambil membiarkan anak melakukan sendiri; memungkinkan mereka untuk mempraktikkan keterampilan tersebut dan membangun rasa percaya diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat anak itu merasa dilibatkan dan dihargai. Ini merupakan kunci penting dalam pembelajaran efektif. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 9 Jumadal Ula 1446 / 11 Nopember 2024 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 200 – Bijak Meluruskan Kekeliruan AnakKAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Harus Sabar Kalau Bisa Marah?

Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle IntermesoSabar dalam Al-Qur’anHakikat keberadaan duniaPemberian terbaik dari AllahApa itu sabar dan kenapa harus sabar? Intermeso Media sosial di Indonesia beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya geger. Pasalnya banyak rakyat yang tak puas dengan pemerintah yang sedang menjabat, mereka merasa ditipu, merasa dibodoh-bodohi, dan merasa dimanfaatkan. Bahkan, sampai pada suatu ketika lautan mahasiswa bergerak di hampir seluruh penjuru Indonesia melabrak Kantor Dewan. Kemarahan sudah tak terbendung, dan kericuhan pecah di mana-mana, meski syukurnya pada akhirnya, semua itu berhasil diredakan. Namun, kita tidak akan berbicara soal politik, demokrasi, korupsi, nepotisme, demonstrasi, dan isu-isu yang selalu hangat di Tanah Air tersebut. Sama sekali bukan tentang politik. Lantas apa? Kita akan berbicara tentang sikap. Sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap muslim, bahkan tanpa harus didikte untuk itu. Namun, semakin ke sini, semakin pudar juga sikap itu dalam realitas kehidupan umat Islam, terutamanya dalam bersosial. Apa itu? Ya, sabar. Miris rasanya melihat sikap sabar saat ini sudah dipandang sebagai sikap pesimisme dan pasrah. Miris rasanya melihat meluapkan amarah dianggap sebagai sikap yang mulia dan bermartabat. Pemerintah tak sesuai keinginannya, gelar aksi demonstrasi, bukan sabar. Sedikit saja harinya ada cobaan, mengumpat, di-upload di media sosial, bukan sabar. Hidup sudah terlalu pahit dan sulit, melarikan diri ke obat-obatan, bukan sabar. Atau juga malah memilih mati daripada harus menjalani hidup yang masih bisa dibangun untuk masa-masa cerahnya, bukan sabar. Semua itu, semua yang permasalahan yang ada di masyarakat kita, pada dasarnya adalah karena hilangnya kesabaran. Manifestasi dari kemarahan dan representasi dari nilai sabar yang luntur. Baiklah, mari kita buka pembahasan ini dengan sabda Nabi Agung, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Sungguh, perkara orang mukmin itu sangat mengagumkan! Segala urusannya baik, dan hal yang seperti ini tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Ketika ia mendapat suatu nikmat, ia bersyukur, maka jadilah itu baik baginya. Dan bilamana ia ditimpa suatu musibah, ia bersabar, dan ini pula menjadi baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999) Hadis ini dengan jelas menunjukkan betapa sabar memiliki kedudukan sentral di dalam keimanan. Karena, dalam hadis ini, Rasulullah mengaitkan dan menyandingkan sabar dengan dua hal: iman dan kebaikan. Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Sabar dalam keimanan itu ibarat kata sebuah badan dan kepala. Tidak ada keimanan bagi yang tidak bersabar.” Sabar dalam Al-Qur’an Sangking urgen dan sentralnya sabar, serta posisinya tinggi dalam keimanan, Allah menyebutkan sabar dalam banyak ayat di kitab-Nya. Imam Ahmad rahimahullah  mengatakan ada lebih dari 90 ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sabar. Baik itu dalam bentuk perintah, keutamaan, janji pahala, dan sebagainya. Berikut beberapa contoh konteks sabar yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Pertama: Allah mencintai dan membersamai orang yang sabar, Dia berfirman, وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146) وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “… dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46) Kedua: Ada kabar gembira ampunan, rahmat, serta titel “orang yang mendapat petunjuk” dari Allah bagi orang yang bersabar, sebagaimana firman-Nya yang artinya, وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِینَ ٱلَّذِینَ إِذَاۤ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِیبَةࣱ قَالُوۤا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ عَلَیۡهِمۡ صَلَوَ ٰ⁠تࣱ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةࣱۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ “… dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) Ketiga: Sabar juga adalah solusi yang terbaik, senada dengan ayat, وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ “Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126) Ayat ini mengarahkan bahwa dalam suatu masalah yang melanda kita, atau musibah yang menimpa kita, sabarlah yang terbaik. Ketika kita sabar, itu lebih baik bagi kita dibandingkan kita berontak. Hakikat keberadaan dunia Dunia ini sejatinya adalah tempat kita diuji dan diberi cobaan. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya: 35) Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sama sekali tidak mendapat ujian, cobaan, ataupun musibah. Semua pasti diuji keimanannya dengan diberi cobaan juga musibah, yang dengan itu Allah melihat bagaimana reaksi hamba-Nya, sabarkah ia? Marahkah? Atau malah mengumpat, tidak terima dan tidak rida dengan takdir dari Allah? Adapun bentuk cobaan di dunia ini sebenarnya tidak selalu soal kesulitan dan kesusahan saja, sebagaimana yang mungkin disangkakan sebagian besar orang. Akan tetapi, terkadang cobaan itu berbentuk kesulitan, terkadang juga kelancaran hidup itu sendiri adalah cobaan. Sehat jasmani pun juga adalah cobaan, bukan hanya sakit. Bahkan, kekayaan juga pasti adalah cobaan dari Allah, pun dengan kebalikannya, kefakiran dan kemiskinan. Dunia ini sendiri memang adalah tempat kita, seluruh manusia, diberi cobaan dan ujian yang datang dalam dua bentuk: kesempitan dan kelapangan, seluruhnya adalah cobaan. Akan tetapi, seorang mukmin sejati berbeda, cobaan yang ia dapat selalu bernilai baik, bahkan segala urusan dan perkaranya. Kenapa? Karena ketika menghadapi cobaan ia bersabar. Baca juga: Makna Sabar Terletak di Awal Musibah Pemberian terbaik dari Allah Sabar adalah bentuk pemberian terbaik dari Allah. Dari sekian banyak hal yang Allah berikan kepada seluruh makhluknya, sabar adalah yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan dalam hadisnya, وما أُعطِىَ أحدٌ عطاءً خيرًا وأوسَعَ من الصبْرِ “Dan tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam hadis lain juga disebutkan, والصَّبْرُ ضِياءٌ “Sabar adalah sinar (cahaya).” (HR. Muslim) Kesabaran adalah bagaikan sinar, sinar bagi orang yang bersabar dan cahaya dalam kehidupannya. Yang dengannyalah, jalan-jalan yang benar dapat dibedakan dari jalan-jalan yang salah, membuat seseorang dapat melewati segala macam rintangan hidup. Dan selama ia masih memiliki sinar ini (sabar), jalan hidupnya akan terasa lebih mudah, lebih luwes, dan lebih bisa ia nikmati jika dibandingkan jika tanpa sinar sabar ini. Dengan sabar, ia diterangi, terbimbing langkah-langkahnya, terarah segala tindak-tanduknya, juga akan senantiasa berada di jalan yang benar. Kenapa sabar bisa disebut sebagai pemberian terbaik? Karena di dunia ini, segala sesuatunya butuh kesabaran. Dalam melaksanakan ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, jika tanpa sabar, bisakah seseorang melaksanakannya dengan baik, dengan sempurna, dengan tetap sesuai syariat dan menghadirkan hati yang tulus? Soal keistikamahan di jalan yang lurus, dapatkah seseorang bertahan dan teguh di tengah huru-hara kesesatan yang dinormalisasi saat ini, jika tanpa sabar, mampukah? Dalam bersosial, bertemu banyak macam karakter manusia, dengan berbagai latar belakang dan situasi-kondisi mood setiap orang selalu berubah sepanjang waktu, tanpa sabar, bisakah seseorang berhadapan dengan puluhan, ratusan, ribuan manusia dengan segala macam permasalahan hariannya? Dalam dunia karier, jika tidak meniti dari bawah dan belajar banyak hal yang berat dan rumit, beban tanggung jawab seabrek, jika tanpa sabar, bisakah seseorang naik dan mendapatkan karier tingginya? Jika tanpa sabar, apakah seseorang bisa melawan dorongan buruk yang menjadi kecenderungan diri-diri manusia, terutamanya yang merusak tubuh, dunia, agama, dan masa depan? Bahkan, tanpa adanya kesabaran, bisakah seseorang melewati satu saja hari dalam kehidupannya? Maka, dapat kita katakan bahwa sabar punya peran penting dalam kehidupan, andil penjagaan, yaitu menjaga dua hal: Pertama: menjaga perkara dunia kita dengan sabar dalam menahan mengikuti segala hawa nafsu yang mendorong ke dalam berbagai hal buruk apa pun itu bentuknya, juga dalam melewati setiap hari-hari yang berat; dan Kedua: menjaga perkara agama kita dengan 3 macam sabarnya sebagaimana pembagian sabar oleh para ulama: sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Tentu hal ini berat dan butuh kesabaran. Buktinya tidak semua orang bisa istikamah dan benar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari bermaksiat kepada Allah, sangat berat karena melawan nafsu yang berasal dari diri kita sendiri dan sudah menjadi tabiat jiwa adalah menyuruh kepada keburukan, terlebih ketika diperkuat oleh dorongan setan, butuh kesabaran ekstra, dan sabar menghadapi takdir dan segala bentuk ketetapan Allah yang terjadi pada kita, terutamanya ketika itu adalah hal yang tidak kita sukai. Apa itu sabar dan kenapa harus sabar? Sabar tentunya bukanlah sebuah istilah ataupun sikap yang asing bagi semua orang, tetapi karena sesuatu yang sudah terlampau diketahui, terkadang kita malah jadi tidak mengetahui esensinya yang sebenarnya. Begitu pula dengan sabar ini, kita mungkin merasa sudah mengetahui artinya, tapi mungkin ternyata tidak benar, atau belum sepenuhnya. Pengertian sabar yang paling masyhur di kalangan para ulama, juga yang didefinisikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah adalah menahan diri dari amarah kegelisahan, menjaga lisan dan ucapan dari mencela dan meratap tidak puas, serta menahan tubuh kita dari melampiaskan emosi yang impulsif dan destruktif. Beberapa ulama lain juga mengartikan sabar dengan menahan nafsu diri dari melakukan larangan-larangan Allah dan menekannya untuk melaksanakan kewajiban yang diperintahkan-Nya,serta, mengendalikannya dari rasa tidak puas dan berkeluh kesah atas takdir yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Berdasarkan pengertian yang dibawakan oleh para ulama, bisa kita lihat kalau sabar bukanlah sikap lemah, pasrah, dan pesimistis seperti yang dipandang dan disangkakan oleh hampir sebagian besar masyarakat kita saat ini. Sabar bukanlah sikap pasif, bahkan justru sabar adalah sikap aktif, di mana seseorang mengatur dirinya untuk tidak berbuat gegabah dan mengikuti hawa nafsu sesaatnya. Bahkan, sabar itu sendiri adalah kekuatan. Seseorang yang sabar dapat memiliki kemampuan resiliensi pengendalian diri, serta bangkit dari kesedihan kegelisahan, kegalauan, pun dari kegagalan. Apakah sabar adalah sikap pasrah dan pesimistis? Sebaliknya, sabar justru adalah sikap optimistis yang sebenarnya. Karena apa? Bandingkan antara sikap berontak, apakah ada yang menjamin dan memastikan keadaan akan menjadi lebih baik dan berubah sesuai yang ia inginkan jika ia berontak marah dan tidak sabar? Tidak. Tetapi, berbanding terbalik dengan sabar yang sudah dilabeli dengan kebaikan, bahkan yang terbaik, juga janji dari Allah, bukankah itu semua adalah hasil pasti dan buah daripada sabar? Bukankah itu optimistis? Apakah sabar adalah tanda kelemahan? Sama sekali tidak, malah sabar itu sendiri adalah kekuatan. Tidak semua orang bisa bertahan pada suatu hal berat, dalam waktu yang lama, dan siklus yang tidak nyaman baginya, kalau bukan sabar, lalu apa? Orang yang tidak sabarlah justru yang lemah. Kalau ditanya kenapa kita harus sabar? Secara singkat semoga artikel ini sudah sedikit menjawabnya. Namun, kita sebagai muslim, tidakkah cukup bagi kita ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sabar untuk membuat kita bisa bersabar? Jikalau kita perhatikan, semua konteks ayat tentang sabar di Al-Qur’an tidak ada satu pun sama sekali yang menegasikan esensi dan hakikat serta kebermanfaatan sabar, semuanya tentang hal positif dari sabar, buah manis dari sabar, janji indah dari Allah, ganjaran atas kesabaran. Maka, dari mana datangnya persepsi kalau sikap tidak sabar lebih baik? Meluapkan emosi dan membuat kekacauan, itukah yang disebut baik? Sepertinya tidak akan pernah sekalipun sikap seperti itu (luapan emosi karena tidak adanya kesabaran) dapat menggeser kedudukan sabar sebagai sikap terbaik. Keberlangsungan hidup jasmani dan rohani, bahkan bergantung pada sabar. Kenapa orang sulit sekali disuruh untuk bersabar? Padahal, sabar itu kau hanya perlu menahan, menahan emosi, menahan hawa nafsu, menahan dorongan-dorongan dan kecenderungan negatif. Kamu menahannya apakah lebih sulit daripada melakukannya yang justru memakan waktu dan tenaga? Orang-orang bebal mungkin akan berkelit dengan alibi “Sabar juga ada batasnya!” Oke, memang ada, sabar memang ada batasnya. Apa batas sabar? Batasnya adalah 950 tahun mengajak orang-orang sesat ke jalan yang benar dan hanya sedikit yang mempercayai, bahkan selalu didebat, dihina, dicaci, dan dimaki, padahal apa yang disampaikan tidak sedikit pun mengandung kesalahan. Apakah kita sudah sampai batas itu? Jika belum, maka masih harus sabarlah kita. Selama kita masih menginginkan keberuntungan, bersabarlah. Begitulah petuah Islami dari ayat, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200) Wallahu a’lam bishawab. Waffaqonallahu wa iyyakum. Baca juga: Realisasi Sifat Sabar di Era Media Sosial *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id

Hal yang Membantu agar Mudah Melaksanakan Shalat Malam

من الأسباب المعينة على قيام الليل Oleh: Dr. Muhammad Sulaiman Hamudah النظر في حال السابقين من المؤمنين الصالحين في قيام الليل ومدى لزومهم له فقد كان السلف الصالح رضوان الله تعالى عليهم يتلذذون بقيام الليل، ويفرحون به أشد الفرح، ويجدون راحتهم، بل يجدون أنفسهم في قيام الليل، وإليك بعض أقوالهم: • قال عبدالله بن وهب: كل ملذوذ إنما له لذة واحدة، إلا العبادة، فإن لها ثلاث لذات: إذا كنت فيها، وإذا تذكرتها، وإذا أعطيت ثوابها. • وقال محمد بن المنكدر: ما بقي من لذت الدنيا إلا ثلاث: قيام الليل، ولقاء الإخوان، والصلاة في جماعة. • وقال ثابت البناني: ما شيء أجده في قلبي ألذ عندي من قيام الليل. • وقال يزيد الرقاشي: بطول التهجد تقر عيون العابدين، وبطول الظمأ تفرح قلوبهم عند لقاء الله. Di antara caranya adalah dengan mencermati keadaan orang-orang beriman dan shaleh dalam melaksanakan Shalat Malam, dan tingkat konsistensi mereka di dalamnya. Dulu para Salafus Shaleh radhiyallahu ‘anhum sangat menikmati Shalat Malam, sangat bahagia saat melaksanakannya, dan mendapatkan kedamaian mereka di dalamnya. Bahkan mereka dapat menemukan jati diri mereka di dalamnya. Berikut adalah beberapa ucapan mereka: Abdullah bin Wahb berkata, “Semua kenikmatan hanya memiliki satu rasa, kecuali ibadah, karena ia memiliki tiga rasa kenikmatan; (1) ketika kamu melaksanakannya, (2) ketika kamu mengingatnya, (3) dan ketika kamu dibalas dengan pahalanya.” Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Tidak tersisa dari kenikmatan dunia kecuali tiga; (1) Shalat Malam, (2) perjumpaan dengan saudara-saudara seiman, (3) dan shalat berjamaah.” Tsabit al-Bunani berkata, “Tidak ada apapun yang saya rasakan dalam hatiku yang lebih nikmat daripada Shalat Malam.” Yazid ar-Raqqasyi berkata, “Dengan panjangnya Shalat Tahajjud, mata para ahli ibadah menjadi teduh; dan dengan panjangnya rasa haus (puasa), hati mereka menjadi bahagia saat berjumpa dengan Allah.” • ومن أحوالهم قال مخلد بن حسين: ما انتبهت من الليل إلا أصبت إبراهيم بن أدهم يذكر الله ويصلي، فأغتم لذلك، ثم أتعزى بهذه الآية ﴿ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴾. • وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وعن القاسم بن معين قال: قام أبو حنيفة ليلة بهذه الآية ﴿ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ ﴾ يرددها ويبكي، ويتضرع حتى طلع الصبح. • وقال إبراهيم بن شماس: كنت أرى أحمد بن حنبل يحيي الليل وهو غلام. • وقال أبو بكر المروذي: كنت مع الإمام أحمد نحوًا من أربعة أشهر بالعسكر ولا يدع قيام الليل وقرآن النهار، فما علمت بختمة ختمها، وكان يسر ذلك. • وكان الإمام البخاري رحمه الله: يقوم فيتهجد من الليل عند السحر فيقرأ ما بين النصف إلى الثلث من القرآن، فيختم عند السحر في كل ثلاث ليال. • وقال العلامة ابن عبدالهادي يصف قيام شيخ الإسلام ابن تيمية وكان في ليله منفردًا عن الناس كلهم خاليًا بربه، ضارعًا مواظبًا على تلاوة القرآن، مكررًا لأنواع التعبدات الليلية والنهارية، وكان إذا دخل في الصلاة ترتعد فرائصه وأعضاؤه حتى يميل يمنه ويسرة. • وقال ابن رجب في شيخه الإمام ابن القيم: وكان ذا عبادة وتهجد وطول صلاة إلى الغاية القصوى، ولم أشاهد مثله في عبادته وعلمه بالقرآن والحديث وحقائق الإيمان. • وقال الحافظ ابن حجر يصف شيخه الحافظ العراقي: وقد لازمته، فلم أره ترك قيام الليل بل صار له كالمألوف. ترى لماذا كان هؤلاء الأفاضل كذلك؟!!! الجواب معروف وهو معرفتهم بالله، وحبهم له سبحانه وتعالى فأرادوا الأنس به. Makhlad bin Husain pernah menceritakan keadaan mereka, “Tidaklah malam berlalu kecuali aku menemukan Ibrahim bin Adham sedang berzikir kepada Allah dan mendirikan shalat; sehingga itu membuatku bersedih hati (karena tidak dapat beramal sepertinya – pen). Lalu aku menghibur diri dengan ayat, “Demikianlah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Jumuah: 4). Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Dulu Abu Hanifah memiliki sebutan (الوَتَدُ) “Pasak” karena banyaknya shalat yang beliau kerjakan. Diriwayatkan dari al-Qasim bin Ma’in bahwa ia menceritakan, ‘Abu Hanifah pernah membaca satu ayat ini (بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّ) “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 46). Dan beliau mengulang-ulangnya sambil menangis dan merendahkan diri hingga waktu subuh. Ibrahim bin Syammas berkata, “Dulu aku melihat Ahmad bin Hambal mengisi malamnya dengan ibadah, dan ketika itu dia masih kecil.” Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Dulu aku bersama Imam Ahmad sekitar 4 bulan di perkemahan, dan beliau tidak pernah meninggalkan Shalat Malam dan membaca al-Quran. Aku tidak mengetahui berapa kali beliau khatam, karena beliau merahasiakannya.” Dulu Imam al-Bukhari rahimahullah mendirikan Shalat Tahajud pada waktu sahur. Beliau membaca sekitar setengah atau sepertiga al-Quran, sehingga beliau mengkhatamkan al-Quran pada waktu sahur setiap tiga hari sekali. Ibnu Abdul Hadi menceritakan bagaimana Shalat Malam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa pada malam hari, beliau mengasingkan diri dari semua manusia dan menyendiri dengan Tuhannya serta bersimpuh kepada-Nya. Beliau senantiasa membaca al-Quran, mengulang-ulang berbagai ibadah yang dilaksanakan pada siang dan malam hari. Apabila beliau memulai shalat, beliau gemetar hingga badannya terhuyung ke kanan dan kiri. Ibnu Rajab menceritakan tentang gurunya, Imam Ibnu al-Qayyim, “Dulu beliau melaksanakan ibadah, tahajud, dan shalat yang panjang sekali. Aku belum pernah menyaksikan orang yang seperti beliau dalam ibadahnya dan ilmunya tentang al-Quran, hadits, dan hakikat-hakikat keimanan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan tentang gurunya, al-Hafizh al-Iraqi, “Aku selalu membersamai beliau; tapi aku tidak pernah melihat beliau meninggalkan Shalat Malam. Justru Shalat Malam sudah menjadi kebiasaan beliau.” Menurutmu, mengapa orang-orang mulia ini dapat melakukan itu? Jawabannya sudah diketahui, yaitu karena mereka telah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka ingin bercengkrama dengan-Nya. النوم على الجانب الأيمن: وهو من السنة الثابتة الصحيحة فقد كان سيدنا محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يرشد أمته إلى النوم على الجانب الأيمن، كما جاء في حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفضه بداخلة إزاره، فإنه لا يدري ما خلفه عليه، ثم ليضطجع على شقه الأيمن، ثم ليقل باسمك ربي وضعت جنبي وبك أرفعه إن أمسكت نفسي فارحمها وإن أرسلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصالحين”. متفق عليه وعن البراء بن عازب رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة، ثم اضطجع على شقك الأيمن”. متفق عليه وعن أم المؤمنين حفصة رضي الله عنها قالت: “كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أخذ مضجعه جعل يده اليمني تحت خده الأيمن”. رواه الطبراني، صحيح الجامع 4523. Tidur Miring ke Kanan Ini adalah salah satu sunnah yang shahih. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk tidur miring ke kanan; sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ “Apabila salah seorang dari kalian hendak tidur, hendaklah dia mengibaskan tempat tidurnya dengan kain sarungnya, karena dia tidak tahu apa yang ada di atas kasurnya saat dia pergi. Lalu hendaklah dia mengucapkan doa (BISMIKA ROBBI WADHO’TU JANBII WA BIKA ARFA-’UHU, IN AMSAKTA NAFSII FARHAMHAA WA IN ARSALTAHAA FAHFAZH-HAA BIMAA TAHFAZHU BIHI ‘IBAADAKASH SHOOLIHIIN) ‘Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku! Aku membaringkan sisi badanku dan dengan nama-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia; dan jika Engkau melepasnya kembali, maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shaleh’.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan juga dari al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ “Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. Lalu berbaringlah dengan miring ke kanan.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Hafshah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak tidur, beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan.” (HR. ath-Thabrani dalam “Shahih al-Jami” no. 4523). فائدة: قال الإمام ابن القيم رحمه الله: وفي اضطجاعه – صلى الله عليه وسلم – على شقه الأيمن سر، وهو أن القلب معلق في الجانب الأيسر، فإذا نام على شقه الأيسر استثقل نومًا، لأنه يكون في دعة واستراحة فيثقل نومه، فإذا نام على شقه الأيمن فإنه يقلق ولا يستغرق في النوم لقلق القلب وطلبه مستقره وميله إليه. Faedah: Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Cara berbaring Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memiringkan badan ke kanan ini mengandung rahasia; yaitu karena jantung tergantung di sisi kiri dada, sehingga jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kiri, tidur beliau akan pulas, karena jantung menjadi tenang dan rileks, sehingga tidurnya menjadi pulas. Namun, jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kanan, maka beliau tidak nyaman dan tidak pulas dalam tidurnya, karena jantung dalam keadaan tidak nyaman dan tetap mengharap kenyamanan. Sumber:https://www.alukah.net/social/0/56797/من-الأسباب-المعينة-على-قيام-الليل-..-النظر-في-حال-السابقين-الصالحين-في-قيام-الليل/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 881 times, 3 visit(s) today Post Views: 653 QRIS donasi Yufid

Hal yang Membantu agar Mudah Melaksanakan Shalat Malam

من الأسباب المعينة على قيام الليل Oleh: Dr. Muhammad Sulaiman Hamudah النظر في حال السابقين من المؤمنين الصالحين في قيام الليل ومدى لزومهم له فقد كان السلف الصالح رضوان الله تعالى عليهم يتلذذون بقيام الليل، ويفرحون به أشد الفرح، ويجدون راحتهم، بل يجدون أنفسهم في قيام الليل، وإليك بعض أقوالهم: • قال عبدالله بن وهب: كل ملذوذ إنما له لذة واحدة، إلا العبادة، فإن لها ثلاث لذات: إذا كنت فيها، وإذا تذكرتها، وإذا أعطيت ثوابها. • وقال محمد بن المنكدر: ما بقي من لذت الدنيا إلا ثلاث: قيام الليل، ولقاء الإخوان، والصلاة في جماعة. • وقال ثابت البناني: ما شيء أجده في قلبي ألذ عندي من قيام الليل. • وقال يزيد الرقاشي: بطول التهجد تقر عيون العابدين، وبطول الظمأ تفرح قلوبهم عند لقاء الله. Di antara caranya adalah dengan mencermati keadaan orang-orang beriman dan shaleh dalam melaksanakan Shalat Malam, dan tingkat konsistensi mereka di dalamnya. Dulu para Salafus Shaleh radhiyallahu ‘anhum sangat menikmati Shalat Malam, sangat bahagia saat melaksanakannya, dan mendapatkan kedamaian mereka di dalamnya. Bahkan mereka dapat menemukan jati diri mereka di dalamnya. Berikut adalah beberapa ucapan mereka: Abdullah bin Wahb berkata, “Semua kenikmatan hanya memiliki satu rasa, kecuali ibadah, karena ia memiliki tiga rasa kenikmatan; (1) ketika kamu melaksanakannya, (2) ketika kamu mengingatnya, (3) dan ketika kamu dibalas dengan pahalanya.” Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Tidak tersisa dari kenikmatan dunia kecuali tiga; (1) Shalat Malam, (2) perjumpaan dengan saudara-saudara seiman, (3) dan shalat berjamaah.” Tsabit al-Bunani berkata, “Tidak ada apapun yang saya rasakan dalam hatiku yang lebih nikmat daripada Shalat Malam.” Yazid ar-Raqqasyi berkata, “Dengan panjangnya Shalat Tahajjud, mata para ahli ibadah menjadi teduh; dan dengan panjangnya rasa haus (puasa), hati mereka menjadi bahagia saat berjumpa dengan Allah.” • ومن أحوالهم قال مخلد بن حسين: ما انتبهت من الليل إلا أصبت إبراهيم بن أدهم يذكر الله ويصلي، فأغتم لذلك، ثم أتعزى بهذه الآية ﴿ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴾. • وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وعن القاسم بن معين قال: قام أبو حنيفة ليلة بهذه الآية ﴿ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ ﴾ يرددها ويبكي، ويتضرع حتى طلع الصبح. • وقال إبراهيم بن شماس: كنت أرى أحمد بن حنبل يحيي الليل وهو غلام. • وقال أبو بكر المروذي: كنت مع الإمام أحمد نحوًا من أربعة أشهر بالعسكر ولا يدع قيام الليل وقرآن النهار، فما علمت بختمة ختمها، وكان يسر ذلك. • وكان الإمام البخاري رحمه الله: يقوم فيتهجد من الليل عند السحر فيقرأ ما بين النصف إلى الثلث من القرآن، فيختم عند السحر في كل ثلاث ليال. • وقال العلامة ابن عبدالهادي يصف قيام شيخ الإسلام ابن تيمية وكان في ليله منفردًا عن الناس كلهم خاليًا بربه، ضارعًا مواظبًا على تلاوة القرآن، مكررًا لأنواع التعبدات الليلية والنهارية، وكان إذا دخل في الصلاة ترتعد فرائصه وأعضاؤه حتى يميل يمنه ويسرة. • وقال ابن رجب في شيخه الإمام ابن القيم: وكان ذا عبادة وتهجد وطول صلاة إلى الغاية القصوى، ولم أشاهد مثله في عبادته وعلمه بالقرآن والحديث وحقائق الإيمان. • وقال الحافظ ابن حجر يصف شيخه الحافظ العراقي: وقد لازمته، فلم أره ترك قيام الليل بل صار له كالمألوف. ترى لماذا كان هؤلاء الأفاضل كذلك؟!!! الجواب معروف وهو معرفتهم بالله، وحبهم له سبحانه وتعالى فأرادوا الأنس به. Makhlad bin Husain pernah menceritakan keadaan mereka, “Tidaklah malam berlalu kecuali aku menemukan Ibrahim bin Adham sedang berzikir kepada Allah dan mendirikan shalat; sehingga itu membuatku bersedih hati (karena tidak dapat beramal sepertinya – pen). Lalu aku menghibur diri dengan ayat, “Demikianlah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Jumuah: 4). Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Dulu Abu Hanifah memiliki sebutan (الوَتَدُ) “Pasak” karena banyaknya shalat yang beliau kerjakan. Diriwayatkan dari al-Qasim bin Ma’in bahwa ia menceritakan, ‘Abu Hanifah pernah membaca satu ayat ini (بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّ) “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 46). Dan beliau mengulang-ulangnya sambil menangis dan merendahkan diri hingga waktu subuh. Ibrahim bin Syammas berkata, “Dulu aku melihat Ahmad bin Hambal mengisi malamnya dengan ibadah, dan ketika itu dia masih kecil.” Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Dulu aku bersama Imam Ahmad sekitar 4 bulan di perkemahan, dan beliau tidak pernah meninggalkan Shalat Malam dan membaca al-Quran. Aku tidak mengetahui berapa kali beliau khatam, karena beliau merahasiakannya.” Dulu Imam al-Bukhari rahimahullah mendirikan Shalat Tahajud pada waktu sahur. Beliau membaca sekitar setengah atau sepertiga al-Quran, sehingga beliau mengkhatamkan al-Quran pada waktu sahur setiap tiga hari sekali. Ibnu Abdul Hadi menceritakan bagaimana Shalat Malam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa pada malam hari, beliau mengasingkan diri dari semua manusia dan menyendiri dengan Tuhannya serta bersimpuh kepada-Nya. Beliau senantiasa membaca al-Quran, mengulang-ulang berbagai ibadah yang dilaksanakan pada siang dan malam hari. Apabila beliau memulai shalat, beliau gemetar hingga badannya terhuyung ke kanan dan kiri. Ibnu Rajab menceritakan tentang gurunya, Imam Ibnu al-Qayyim, “Dulu beliau melaksanakan ibadah, tahajud, dan shalat yang panjang sekali. Aku belum pernah menyaksikan orang yang seperti beliau dalam ibadahnya dan ilmunya tentang al-Quran, hadits, dan hakikat-hakikat keimanan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan tentang gurunya, al-Hafizh al-Iraqi, “Aku selalu membersamai beliau; tapi aku tidak pernah melihat beliau meninggalkan Shalat Malam. Justru Shalat Malam sudah menjadi kebiasaan beliau.” Menurutmu, mengapa orang-orang mulia ini dapat melakukan itu? Jawabannya sudah diketahui, yaitu karena mereka telah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka ingin bercengkrama dengan-Nya. النوم على الجانب الأيمن: وهو من السنة الثابتة الصحيحة فقد كان سيدنا محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يرشد أمته إلى النوم على الجانب الأيمن، كما جاء في حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفضه بداخلة إزاره، فإنه لا يدري ما خلفه عليه، ثم ليضطجع على شقه الأيمن، ثم ليقل باسمك ربي وضعت جنبي وبك أرفعه إن أمسكت نفسي فارحمها وإن أرسلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصالحين”. متفق عليه وعن البراء بن عازب رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة، ثم اضطجع على شقك الأيمن”. متفق عليه وعن أم المؤمنين حفصة رضي الله عنها قالت: “كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أخذ مضجعه جعل يده اليمني تحت خده الأيمن”. رواه الطبراني، صحيح الجامع 4523. Tidur Miring ke Kanan Ini adalah salah satu sunnah yang shahih. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk tidur miring ke kanan; sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ “Apabila salah seorang dari kalian hendak tidur, hendaklah dia mengibaskan tempat tidurnya dengan kain sarungnya, karena dia tidak tahu apa yang ada di atas kasurnya saat dia pergi. Lalu hendaklah dia mengucapkan doa (BISMIKA ROBBI WADHO’TU JANBII WA BIKA ARFA-’UHU, IN AMSAKTA NAFSII FARHAMHAA WA IN ARSALTAHAA FAHFAZH-HAA BIMAA TAHFAZHU BIHI ‘IBAADAKASH SHOOLIHIIN) ‘Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku! Aku membaringkan sisi badanku dan dengan nama-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia; dan jika Engkau melepasnya kembali, maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shaleh’.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan juga dari al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ “Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. Lalu berbaringlah dengan miring ke kanan.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Hafshah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak tidur, beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan.” (HR. ath-Thabrani dalam “Shahih al-Jami” no. 4523). فائدة: قال الإمام ابن القيم رحمه الله: وفي اضطجاعه – صلى الله عليه وسلم – على شقه الأيمن سر، وهو أن القلب معلق في الجانب الأيسر، فإذا نام على شقه الأيسر استثقل نومًا، لأنه يكون في دعة واستراحة فيثقل نومه، فإذا نام على شقه الأيمن فإنه يقلق ولا يستغرق في النوم لقلق القلب وطلبه مستقره وميله إليه. Faedah: Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Cara berbaring Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memiringkan badan ke kanan ini mengandung rahasia; yaitu karena jantung tergantung di sisi kiri dada, sehingga jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kiri, tidur beliau akan pulas, karena jantung menjadi tenang dan rileks, sehingga tidurnya menjadi pulas. Namun, jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kanan, maka beliau tidak nyaman dan tidak pulas dalam tidurnya, karena jantung dalam keadaan tidak nyaman dan tetap mengharap kenyamanan. Sumber:https://www.alukah.net/social/0/56797/من-الأسباب-المعينة-على-قيام-الليل-..-النظر-في-حال-السابقين-الصالحين-في-قيام-الليل/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 881 times, 3 visit(s) today Post Views: 653 QRIS donasi Yufid
من الأسباب المعينة على قيام الليل Oleh: Dr. Muhammad Sulaiman Hamudah النظر في حال السابقين من المؤمنين الصالحين في قيام الليل ومدى لزومهم له فقد كان السلف الصالح رضوان الله تعالى عليهم يتلذذون بقيام الليل، ويفرحون به أشد الفرح، ويجدون راحتهم، بل يجدون أنفسهم في قيام الليل، وإليك بعض أقوالهم: • قال عبدالله بن وهب: كل ملذوذ إنما له لذة واحدة، إلا العبادة، فإن لها ثلاث لذات: إذا كنت فيها، وإذا تذكرتها، وإذا أعطيت ثوابها. • وقال محمد بن المنكدر: ما بقي من لذت الدنيا إلا ثلاث: قيام الليل، ولقاء الإخوان، والصلاة في جماعة. • وقال ثابت البناني: ما شيء أجده في قلبي ألذ عندي من قيام الليل. • وقال يزيد الرقاشي: بطول التهجد تقر عيون العابدين، وبطول الظمأ تفرح قلوبهم عند لقاء الله. Di antara caranya adalah dengan mencermati keadaan orang-orang beriman dan shaleh dalam melaksanakan Shalat Malam, dan tingkat konsistensi mereka di dalamnya. Dulu para Salafus Shaleh radhiyallahu ‘anhum sangat menikmati Shalat Malam, sangat bahagia saat melaksanakannya, dan mendapatkan kedamaian mereka di dalamnya. Bahkan mereka dapat menemukan jati diri mereka di dalamnya. Berikut adalah beberapa ucapan mereka: Abdullah bin Wahb berkata, “Semua kenikmatan hanya memiliki satu rasa, kecuali ibadah, karena ia memiliki tiga rasa kenikmatan; (1) ketika kamu melaksanakannya, (2) ketika kamu mengingatnya, (3) dan ketika kamu dibalas dengan pahalanya.” Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Tidak tersisa dari kenikmatan dunia kecuali tiga; (1) Shalat Malam, (2) perjumpaan dengan saudara-saudara seiman, (3) dan shalat berjamaah.” Tsabit al-Bunani berkata, “Tidak ada apapun yang saya rasakan dalam hatiku yang lebih nikmat daripada Shalat Malam.” Yazid ar-Raqqasyi berkata, “Dengan panjangnya Shalat Tahajjud, mata para ahli ibadah menjadi teduh; dan dengan panjangnya rasa haus (puasa), hati mereka menjadi bahagia saat berjumpa dengan Allah.” • ومن أحوالهم قال مخلد بن حسين: ما انتبهت من الليل إلا أصبت إبراهيم بن أدهم يذكر الله ويصلي، فأغتم لذلك، ثم أتعزى بهذه الآية ﴿ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴾. • وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وعن القاسم بن معين قال: قام أبو حنيفة ليلة بهذه الآية ﴿ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ ﴾ يرددها ويبكي، ويتضرع حتى طلع الصبح. • وقال إبراهيم بن شماس: كنت أرى أحمد بن حنبل يحيي الليل وهو غلام. • وقال أبو بكر المروذي: كنت مع الإمام أحمد نحوًا من أربعة أشهر بالعسكر ولا يدع قيام الليل وقرآن النهار، فما علمت بختمة ختمها، وكان يسر ذلك. • وكان الإمام البخاري رحمه الله: يقوم فيتهجد من الليل عند السحر فيقرأ ما بين النصف إلى الثلث من القرآن، فيختم عند السحر في كل ثلاث ليال. • وقال العلامة ابن عبدالهادي يصف قيام شيخ الإسلام ابن تيمية وكان في ليله منفردًا عن الناس كلهم خاليًا بربه، ضارعًا مواظبًا على تلاوة القرآن، مكررًا لأنواع التعبدات الليلية والنهارية، وكان إذا دخل في الصلاة ترتعد فرائصه وأعضاؤه حتى يميل يمنه ويسرة. • وقال ابن رجب في شيخه الإمام ابن القيم: وكان ذا عبادة وتهجد وطول صلاة إلى الغاية القصوى، ولم أشاهد مثله في عبادته وعلمه بالقرآن والحديث وحقائق الإيمان. • وقال الحافظ ابن حجر يصف شيخه الحافظ العراقي: وقد لازمته، فلم أره ترك قيام الليل بل صار له كالمألوف. ترى لماذا كان هؤلاء الأفاضل كذلك؟!!! الجواب معروف وهو معرفتهم بالله، وحبهم له سبحانه وتعالى فأرادوا الأنس به. Makhlad bin Husain pernah menceritakan keadaan mereka, “Tidaklah malam berlalu kecuali aku menemukan Ibrahim bin Adham sedang berzikir kepada Allah dan mendirikan shalat; sehingga itu membuatku bersedih hati (karena tidak dapat beramal sepertinya – pen). Lalu aku menghibur diri dengan ayat, “Demikianlah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Jumuah: 4). Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Dulu Abu Hanifah memiliki sebutan (الوَتَدُ) “Pasak” karena banyaknya shalat yang beliau kerjakan. Diriwayatkan dari al-Qasim bin Ma’in bahwa ia menceritakan, ‘Abu Hanifah pernah membaca satu ayat ini (بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّ) “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 46). Dan beliau mengulang-ulangnya sambil menangis dan merendahkan diri hingga waktu subuh. Ibrahim bin Syammas berkata, “Dulu aku melihat Ahmad bin Hambal mengisi malamnya dengan ibadah, dan ketika itu dia masih kecil.” Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Dulu aku bersama Imam Ahmad sekitar 4 bulan di perkemahan, dan beliau tidak pernah meninggalkan Shalat Malam dan membaca al-Quran. Aku tidak mengetahui berapa kali beliau khatam, karena beliau merahasiakannya.” Dulu Imam al-Bukhari rahimahullah mendirikan Shalat Tahajud pada waktu sahur. Beliau membaca sekitar setengah atau sepertiga al-Quran, sehingga beliau mengkhatamkan al-Quran pada waktu sahur setiap tiga hari sekali. Ibnu Abdul Hadi menceritakan bagaimana Shalat Malam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa pada malam hari, beliau mengasingkan diri dari semua manusia dan menyendiri dengan Tuhannya serta bersimpuh kepada-Nya. Beliau senantiasa membaca al-Quran, mengulang-ulang berbagai ibadah yang dilaksanakan pada siang dan malam hari. Apabila beliau memulai shalat, beliau gemetar hingga badannya terhuyung ke kanan dan kiri. Ibnu Rajab menceritakan tentang gurunya, Imam Ibnu al-Qayyim, “Dulu beliau melaksanakan ibadah, tahajud, dan shalat yang panjang sekali. Aku belum pernah menyaksikan orang yang seperti beliau dalam ibadahnya dan ilmunya tentang al-Quran, hadits, dan hakikat-hakikat keimanan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan tentang gurunya, al-Hafizh al-Iraqi, “Aku selalu membersamai beliau; tapi aku tidak pernah melihat beliau meninggalkan Shalat Malam. Justru Shalat Malam sudah menjadi kebiasaan beliau.” Menurutmu, mengapa orang-orang mulia ini dapat melakukan itu? Jawabannya sudah diketahui, yaitu karena mereka telah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka ingin bercengkrama dengan-Nya. النوم على الجانب الأيمن: وهو من السنة الثابتة الصحيحة فقد كان سيدنا محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يرشد أمته إلى النوم على الجانب الأيمن، كما جاء في حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفضه بداخلة إزاره، فإنه لا يدري ما خلفه عليه، ثم ليضطجع على شقه الأيمن، ثم ليقل باسمك ربي وضعت جنبي وبك أرفعه إن أمسكت نفسي فارحمها وإن أرسلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصالحين”. متفق عليه وعن البراء بن عازب رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة، ثم اضطجع على شقك الأيمن”. متفق عليه وعن أم المؤمنين حفصة رضي الله عنها قالت: “كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أخذ مضجعه جعل يده اليمني تحت خده الأيمن”. رواه الطبراني، صحيح الجامع 4523. Tidur Miring ke Kanan Ini adalah salah satu sunnah yang shahih. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk tidur miring ke kanan; sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ “Apabila salah seorang dari kalian hendak tidur, hendaklah dia mengibaskan tempat tidurnya dengan kain sarungnya, karena dia tidak tahu apa yang ada di atas kasurnya saat dia pergi. Lalu hendaklah dia mengucapkan doa (BISMIKA ROBBI WADHO’TU JANBII WA BIKA ARFA-’UHU, IN AMSAKTA NAFSII FARHAMHAA WA IN ARSALTAHAA FAHFAZH-HAA BIMAA TAHFAZHU BIHI ‘IBAADAKASH SHOOLIHIIN) ‘Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku! Aku membaringkan sisi badanku dan dengan nama-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia; dan jika Engkau melepasnya kembali, maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shaleh’.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan juga dari al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ “Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. Lalu berbaringlah dengan miring ke kanan.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Hafshah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak tidur, beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan.” (HR. ath-Thabrani dalam “Shahih al-Jami” no. 4523). فائدة: قال الإمام ابن القيم رحمه الله: وفي اضطجاعه – صلى الله عليه وسلم – على شقه الأيمن سر، وهو أن القلب معلق في الجانب الأيسر، فإذا نام على شقه الأيسر استثقل نومًا، لأنه يكون في دعة واستراحة فيثقل نومه، فإذا نام على شقه الأيمن فإنه يقلق ولا يستغرق في النوم لقلق القلب وطلبه مستقره وميله إليه. Faedah: Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Cara berbaring Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memiringkan badan ke kanan ini mengandung rahasia; yaitu karena jantung tergantung di sisi kiri dada, sehingga jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kiri, tidur beliau akan pulas, karena jantung menjadi tenang dan rileks, sehingga tidurnya menjadi pulas. Namun, jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kanan, maka beliau tidak nyaman dan tidak pulas dalam tidurnya, karena jantung dalam keadaan tidak nyaman dan tetap mengharap kenyamanan. Sumber:https://www.alukah.net/social/0/56797/من-الأسباب-المعينة-على-قيام-الليل-..-النظر-في-حال-السابقين-الصالحين-في-قيام-الليل/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 881 times, 3 visit(s) today Post Views: 653 QRIS donasi Yufid


من الأسباب المعينة على قيام الليل Oleh: Dr. Muhammad Sulaiman Hamudah النظر في حال السابقين من المؤمنين الصالحين في قيام الليل ومدى لزومهم له فقد كان السلف الصالح رضوان الله تعالى عليهم يتلذذون بقيام الليل، ويفرحون به أشد الفرح، ويجدون راحتهم، بل يجدون أنفسهم في قيام الليل، وإليك بعض أقوالهم: • قال عبدالله بن وهب: كل ملذوذ إنما له لذة واحدة، إلا العبادة، فإن لها ثلاث لذات: إذا كنت فيها، وإذا تذكرتها، وإذا أعطيت ثوابها. • وقال محمد بن المنكدر: ما بقي من لذت الدنيا إلا ثلاث: قيام الليل، ولقاء الإخوان، والصلاة في جماعة. • وقال ثابت البناني: ما شيء أجده في قلبي ألذ عندي من قيام الليل. • وقال يزيد الرقاشي: بطول التهجد تقر عيون العابدين، وبطول الظمأ تفرح قلوبهم عند لقاء الله. Di antara caranya adalah dengan mencermati keadaan orang-orang beriman dan shaleh dalam melaksanakan Shalat Malam, dan tingkat konsistensi mereka di dalamnya. Dulu para Salafus Shaleh radhiyallahu ‘anhum sangat menikmati Shalat Malam, sangat bahagia saat melaksanakannya, dan mendapatkan kedamaian mereka di dalamnya. Bahkan mereka dapat menemukan jati diri mereka di dalamnya. Berikut adalah beberapa ucapan mereka: Abdullah bin Wahb berkata, “Semua kenikmatan hanya memiliki satu rasa, kecuali ibadah, karena ia memiliki tiga rasa kenikmatan; (1) ketika kamu melaksanakannya, (2) ketika kamu mengingatnya, (3) dan ketika kamu dibalas dengan pahalanya.” Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Tidak tersisa dari kenikmatan dunia kecuali tiga; (1) Shalat Malam, (2) perjumpaan dengan saudara-saudara seiman, (3) dan shalat berjamaah.” Tsabit al-Bunani berkata, “Tidak ada apapun yang saya rasakan dalam hatiku yang lebih nikmat daripada Shalat Malam.” Yazid ar-Raqqasyi berkata, “Dengan panjangnya Shalat Tahajjud, mata para ahli ibadah menjadi teduh; dan dengan panjangnya rasa haus (puasa), hati mereka menjadi bahagia saat berjumpa dengan Allah.” • ومن أحوالهم قال مخلد بن حسين: ما انتبهت من الليل إلا أصبت إبراهيم بن أدهم يذكر الله ويصلي، فأغتم لذلك، ثم أتعزى بهذه الآية ﴿ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴾. • وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وعن القاسم بن معين قال: قام أبو حنيفة ليلة بهذه الآية ﴿ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ ﴾ يرددها ويبكي، ويتضرع حتى طلع الصبح. • وقال إبراهيم بن شماس: كنت أرى أحمد بن حنبل يحيي الليل وهو غلام. • وقال أبو بكر المروذي: كنت مع الإمام أحمد نحوًا من أربعة أشهر بالعسكر ولا يدع قيام الليل وقرآن النهار، فما علمت بختمة ختمها، وكان يسر ذلك. • وكان الإمام البخاري رحمه الله: يقوم فيتهجد من الليل عند السحر فيقرأ ما بين النصف إلى الثلث من القرآن، فيختم عند السحر في كل ثلاث ليال. • وقال العلامة ابن عبدالهادي يصف قيام شيخ الإسلام ابن تيمية وكان في ليله منفردًا عن الناس كلهم خاليًا بربه، ضارعًا مواظبًا على تلاوة القرآن، مكررًا لأنواع التعبدات الليلية والنهارية، وكان إذا دخل في الصلاة ترتعد فرائصه وأعضاؤه حتى يميل يمنه ويسرة. • وقال ابن رجب في شيخه الإمام ابن القيم: وكان ذا عبادة وتهجد وطول صلاة إلى الغاية القصوى، ولم أشاهد مثله في عبادته وعلمه بالقرآن والحديث وحقائق الإيمان. • وقال الحافظ ابن حجر يصف شيخه الحافظ العراقي: وقد لازمته، فلم أره ترك قيام الليل بل صار له كالمألوف. ترى لماذا كان هؤلاء الأفاضل كذلك؟!!! الجواب معروف وهو معرفتهم بالله، وحبهم له سبحانه وتعالى فأرادوا الأنس به. Makhlad bin Husain pernah menceritakan keadaan mereka, “Tidaklah malam berlalu kecuali aku menemukan Ibrahim bin Adham sedang berzikir kepada Allah dan mendirikan shalat; sehingga itu membuatku bersedih hati (karena tidak dapat beramal sepertinya – pen). Lalu aku menghibur diri dengan ayat, “Demikianlah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Jumuah: 4). Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Dulu Abu Hanifah memiliki sebutan (الوَتَدُ) “Pasak” karena banyaknya shalat yang beliau kerjakan. Diriwayatkan dari al-Qasim bin Ma’in bahwa ia menceritakan, ‘Abu Hanifah pernah membaca satu ayat ini (بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّ) “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 46). Dan beliau mengulang-ulangnya sambil menangis dan merendahkan diri hingga waktu subuh. Ibrahim bin Syammas berkata, “Dulu aku melihat Ahmad bin Hambal mengisi malamnya dengan ibadah, dan ketika itu dia masih kecil.” Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Dulu aku bersama Imam Ahmad sekitar 4 bulan di perkemahan, dan beliau tidak pernah meninggalkan Shalat Malam dan membaca al-Quran. Aku tidak mengetahui berapa kali beliau khatam, karena beliau merahasiakannya.” Dulu Imam al-Bukhari rahimahullah mendirikan Shalat Tahajud pada waktu sahur. Beliau membaca sekitar setengah atau sepertiga al-Quran, sehingga beliau mengkhatamkan al-Quran pada waktu sahur setiap tiga hari sekali. Ibnu Abdul Hadi menceritakan bagaimana Shalat Malam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa pada malam hari, beliau mengasingkan diri dari semua manusia dan menyendiri dengan Tuhannya serta bersimpuh kepada-Nya. Beliau senantiasa membaca al-Quran, mengulang-ulang berbagai ibadah yang dilaksanakan pada siang dan malam hari. Apabila beliau memulai shalat, beliau gemetar hingga badannya terhuyung ke kanan dan kiri. Ibnu Rajab menceritakan tentang gurunya, Imam Ibnu al-Qayyim, “Dulu beliau melaksanakan ibadah, tahajud, dan shalat yang panjang sekali. Aku belum pernah menyaksikan orang yang seperti beliau dalam ibadahnya dan ilmunya tentang al-Quran, hadits, dan hakikat-hakikat keimanan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan tentang gurunya, al-Hafizh al-Iraqi, “Aku selalu membersamai beliau; tapi aku tidak pernah melihat beliau meninggalkan Shalat Malam. Justru Shalat Malam sudah menjadi kebiasaan beliau.” Menurutmu, mengapa orang-orang mulia ini dapat melakukan itu? Jawabannya sudah diketahui, yaitu karena mereka telah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka ingin bercengkrama dengan-Nya. النوم على الجانب الأيمن: وهو من السنة الثابتة الصحيحة فقد كان سيدنا محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يرشد أمته إلى النوم على الجانب الأيمن، كما جاء في حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفضه بداخلة إزاره، فإنه لا يدري ما خلفه عليه، ثم ليضطجع على شقه الأيمن، ثم ليقل باسمك ربي وضعت جنبي وبك أرفعه إن أمسكت نفسي فارحمها وإن أرسلتها فاحفظها بما تحفظ به عبادك الصالحين”. متفق عليه وعن البراء بن عازب رضي الله عنهما أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة، ثم اضطجع على شقك الأيمن”. متفق عليه وعن أم المؤمنين حفصة رضي الله عنها قالت: “كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أخذ مضجعه جعل يده اليمني تحت خده الأيمن”. رواه الطبراني، صحيح الجامع 4523. Tidur Miring ke Kanan Ini adalah salah satu sunnah yang shahih. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk tidur miring ke kanan; sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ “Apabila salah seorang dari kalian hendak tidur, hendaklah dia mengibaskan tempat tidurnya dengan kain sarungnya, karena dia tidak tahu apa yang ada di atas kasurnya saat dia pergi. Lalu hendaklah dia mengucapkan doa (BISMIKA ROBBI WADHO’TU JANBII WA BIKA ARFA-’UHU, IN AMSAKTA NAFSII FARHAMHAA WA IN ARSALTAHAA FAHFAZH-HAA BIMAA TAHFAZHU BIHI ‘IBAADAKASH SHOOLIHIIN) ‘Dengan menyebut nama-Mu, wahai Tuhanku! Aku membaringkan sisi badanku dan dengan nama-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah ia; dan jika Engkau melepasnya kembali, maka jagalah ia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shaleh’.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan juga dari al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ “Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat. Lalu berbaringlah dengan miring ke kanan.” (Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, Hafshah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak tidur, beliau meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan.” (HR. ath-Thabrani dalam “Shahih al-Jami” no. 4523). فائدة: قال الإمام ابن القيم رحمه الله: وفي اضطجاعه – صلى الله عليه وسلم – على شقه الأيمن سر، وهو أن القلب معلق في الجانب الأيسر، فإذا نام على شقه الأيسر استثقل نومًا، لأنه يكون في دعة واستراحة فيثقل نومه، فإذا نام على شقه الأيمن فإنه يقلق ولا يستغرق في النوم لقلق القلب وطلبه مستقره وميله إليه. Faedah: Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata, “Cara berbaring Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memiringkan badan ke kanan ini mengandung rahasia; yaitu karena jantung tergantung di sisi kiri dada, sehingga jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kiri, tidur beliau akan pulas, karena jantung menjadi tenang dan rileks, sehingga tidurnya menjadi pulas. Namun, jika beliau tidur dengan memiringkan badan ke kanan, maka beliau tidak nyaman dan tidak pulas dalam tidurnya, karena jantung dalam keadaan tidak nyaman dan tetap mengharap kenyamanan. Sumber:https://www.alukah.net/social/0/56797/من-الأسباب-المعينة-على-قيام-الليل-..-النظر-في-حال-السابقين-الصالحين-في-قيام-الليل/ PDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 881 times, 3 visit(s) today Post Views: 653 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Adab-Adab terhadap Orang Sakit

Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Adab-Adab terhadap Orang Sakit

Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan mendoakan orang yang sakitDoa-doa yang dianjurkanDoa agar orang sakit diberikan kesembuhanDoa untuk meminta keberkahan dan perlindunganAdab menjenguk dan mendoakan orang yang sakitMengunjungi dengan niat yang baik dan tulusTidak berlama-lamaMemberikan kata-kata yang menenangkanMenjaga kebersihan diri dan lingkunganTidak mengeluh atau menakut-nakutiHikmah di balik penyakit dan ujianPenyakit sebagai penghapus dosaPenyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada AllahMenguatkan ikatan persaudaraan Islam adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk ketika menghadapi musibah atau penyakit. Saat mengalami sakit, baik kita yang sedang sakit maupun saudara kita yang sakit, telah ada tuntunan yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu amal saleh yang dianjurkan dalam Islam adalah mendoakan orang sakit. Doa adalah salah satu bentuk tawakal kepada Allah dan usaha kita untuk mendapatkan kesembuhan atau keberkahan dari musibah yang sedang dihadapi. Di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa doa yang disunahkan ketika menjenguk atau mendoakan orang yang sakit, serta keutamaan dari mendoakan sesama. Keutamaan mendoakan orang yang sakit Menjenguk dan mendoakan orang yang sakit adalah perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menunjukkan empati dan kasih sayang kepada sesama. Salah satunya adalah dengan menjenguk orang yang sedang sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ  جَنَاهَا “Sesungguhnya seorang muslim jika menjenguk saudaranya muslim (yang sedang sakit), maka dirinya senantiasa berada di dalam khurfah surga hingga dirinya kembali.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah khurfah surga itu?” Beliau menjelaskan, “Buah-buahan surga.“ (HR. Muslim no. 2568) Keutamaan ini menunjukkan betapa besar pahala yang diberikan Allah kepada orang yang menjenguk orang sakit, terlebih lagi jika diiringi dengan doa yang tulus untuk kesembuhannya. Karena doa merupakan sarana kita untuk memohon kepada Allah agar Allah Ta’ala memberikan kesembuhan kepada hamba-Nya yang sakit, serta dengan doa pula kita memberikan dukungan moral kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Ingatlah bahwa setiap penyakit dan kesembuhan adalah mutlak atas izin Allah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dan memohon kesembuhan kepada-Nya melalui doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa-doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan banyak contoh doa yang bisa kita baca ketika menjenguk orang yang sakit. Doa-doa ini menjadi bagian dari ikhtiar utama kita dalam memperoleh kesembuhan, serta sebagai bentuk kepasrahan kita kepada Allah atas segala musibah yang terjadi. Berikut adalah beberapa doa yang disunahkan untuk dibaca: Doa agar orang sakit diberikan kesembuhan اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ وَاشْفِهِ وأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا “ALLAHUMMA RABBAN-NAS, ADZHIBIL BA’SA, WASYFIHI WA ANTA ASY-SYAFI, LA SYIFA’A ILLA SYIFA’UKA, SYIFA’AN LA YUGHADIRU SAQAMAN.” “Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah ia, Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 5311, Muslim no. 2191) Doa untuk meminta keberkahan dan perlindungan أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ “AS’ALULLAHAL ‘AZHIM, RABBAL ‘ARSYIL ‘AZHIM, AN YASYFIYAK.” “Aku memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arsy yang agung, agar Dia menyembuhkanmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Doa ini dibaca sebanyak tujuh kali, dan insyaAllah akan memberikan ketenangan serta keberkahan bagi orang yang sakit. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Adab menjenguk dan mendoakan orang yang sakit Selain membaca doa-doa yang telah dicontohkan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika kita menjenguk orang sakit. Menjenguk dan mendoakan orang sakit hendaknya dilakukan dengan adab dan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut beberapa adab yang bisa kita praktikkan: Mengunjungi dengan niat yang baik dan tulus Ketika hendak menjenguk orang sakit, niatkan dalam hati bahwa kita melakukannya semata-mata untuk mencari rida Allah. Jangan jadikan kunjungan ini sebagai sekadar formalitas sosial atau tuntutan dari lingkungan sekitar. Kunjungan yang didasari niat ikhlas untuk mendukung dan meringankan beban orang yang sedang diuji dengan penyakit akan mendatangkan pahala besar di sisi Allah. InsyaAllah, dengan niat yang tulus, kita berharap kunjungan kita membawa manfaat baik secara fisik maupun spiritual bagi saudara kita yang sedang sakit. Tidak berlama-lama Salah satu adab penting yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidak berlama-lama ketika menjenguk orang sakit. Tujuannya adalah agar kunjungan kita tidak menjadi beban bagi orang yang sedang sakit. Kondisi fisik dan mental orang sakit biasanya lebih lemah, sehingga kunjungan yang terlalu lama dapat membuat mereka merasa lelah atau tidak nyaman. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membuat kunjungan yang singkat, namun berkualitas, di mana kita hadir untuk mendoakan dan memberikan dukungan moril, tetapi juga tetap menghormati kebutuhan mereka untuk beristirahat. Sebaiknya sebelum berkunjung, kita memastikan waktu yang tepat dan menghindari waktu-waktu yang bisa mengganggu istirahat mereka. Memberikan kata-kata yang menenangkan Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan empati kepada orang yang sakit adalah dengan memberikan kata-kata yang menenangkan dan memotivasi. Dalam situasi yang berat, seperti penyakit, seseorang seringkali merasa cemas, takut, atau putus asa. Sebagai seorang muslim yang datang menjenguk, kita dianjurkan untuk menyampaikan kata-kata yang dapat menguatkan hati mereka. Sampaikan bahwa sakit adalah bentuk ujian dan rahmat dari Allah, serta dorong mereka untuk tetap bersabar dan tawakal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun seringkali menghibur orang yang sakit dengan mendoakan mereka dan mengingatkan akan janji pahala dari Allah bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah. Memberikan dorongan optimisme dengan kesembuhan yang dijanjikan Allah akan menambah ketenangan jiwa bagi mereka. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Menjaga kebersihan diri ketika menjenguk orang sakit adalah adab yang sangat penting, terutama dalam situasi pandemi atau ketika penyakit yang diderita bersifat menular. Ingatlah bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan kita dianjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan di setiap keadaan. Ketika menjenguk orang sakit, pastikan kita menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker jika diperlukan, dan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain untuk melindungi diri kita sendiri, langkah-langkah ini juga untuk menjaga keselamatan orang yang sedang sakit agar tidak tertular penyakit lain atau memperparah kondisi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita senantiasa memperhatikan kebersihan dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membahayakan orang lain. Tidak mengeluh atau menakut-nakuti Hindarilah menyampaikan keluhan tentang masalah pribadi atau membicarakan hal-hal yang dapat membuat orang yang sakit merasa cemas atau takut. Misalnya, hindari bercerita tentang pengalaman orang lain yang mengalami penyakit serupa dengan akhir yang buruk, atau menyampaikan hal-hal yang negatif. Fokuskan percakapan kita pada doa, kata-kata yang positif, serta motivasi yang dapat menguatkan hati mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk selalu membawa kebaikan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Dengan bersikap optimis dan penuh kasih sayang, kita dapat membantu meringankan beban psikologis yang dialami oleh orang yang sakit. Hikmah di balik penyakit dan ujian Penyakit bukanlah semata-mata musibah, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ujian dan rahmat dari Allah. Di balik penyakit, terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil, baik bagi orang yang sakit maupun orang di sekitarnya. Beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah: Penyakit sebagai penghapus dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ، إِلَّا حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit atau sejenisnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhâri, no. 5660 dan Muslim, no. 2571 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa seorang mukmin dapat menjadi jalan untuk pengampunan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, penyakit harus diterima dengan sabar dan ikhlas sebagai bagian dari takdir Allah. Saat menjenguk orang sakit, hendaknya kita mengingatkan akan hal ini, terutama jika kita dapati saudara kita tersebut mulai putus asa karena sakit kronis yang dideritanya. Ingatkan juga untuk terus sabar dan berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah. Penyakit mengajarkan kita untuk tawakal kepada Allah Melalui sakit, Allah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kesehatan, ada dalam genggaman-Nya. Kita diperintahkan untuk selalu bergantung kepada-Nya dan memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya kita ingatkan saudara kita yang sedang sakit untuk bertawakal hanya kepada-Nya, tentunya dengan tetap menempuh sarana-sarana mendapatkan kesembuhan yang diijinkan oleh syariat. Menguatkan ikatan persaudaraan Ketika seseorang sakit, kunjungan dan doa dari saudara seiman akan semakin mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam. Hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang yang dianjurkan dalam agama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586) Doa kepada orang sakit adalah salah satu bentuk ibadah yang penuh dengan keutamaan. Dengan berdoa, kita menunjukkan kepasrahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Melalui doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita berharap agar Allah memberikan kesembuhan dan keberkahan kepada orang yang sedang sakit. Tidak hanya itu, doa juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara sesama muslim dan menjadi sarana bagi kita untuk mengumpulkan pahala serta mendapatkan rida Allah. Wallahu a’lam Baca juga: 6 Cara Efektif Mengobati Hati yang Sakit *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Rezeki Berkah

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat

Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Rezeki Berkah

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat


Allah Ta’ala menjelaskan bahwa rezeki yang Allah jamin untuk hamba-Nya tidak akan salah alamat, bahkan ketika mereka meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan-Nya. Perintah untuk meninggalkan jual beli saat azan Jumat menjadi pengingat bahwa rezeki tetap datang, terutama bagi mereka yang bertakwa dan menjadikan Allah sebagai prioritas dalam kehidupannya.   Rezeki dan Perintah Meninggalkan Jual Beli saat Jumat Allah berfirman dalam surah Al-Jumu’ah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengandung perintah agar umat Islam meninggalkan segala bentuk jual beli ketika mendengar panggilan shalat Jum’at. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud perintah ini bukan hanya soal meninggalkan perdagangan, tetapi mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada ibadah. Menurut beliau, perintah bersegera adalah ajakan untuk menjadikan shalat sebagai puncak kesibukan saat itu, dengan segera menuju shalat tanpa terlarut dalam urusan duniawi. فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Dalam ayat ini, Allah mengizinkan hamba-Nya untuk kembali beraktivitas mencari rezeki setelah shalat selesai. Namun, mereka diingatkan agar tidak melalaikan Allah dalam proses tersebut. Syaikh As-Sa’di menekankan pentingnya mengingat Allah di setiap keadaan, karena banyak mengingat Allah merupakan kunci keberuntungan sejati. وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) Ayat ini menggambarkan kejadian ketika kaum Muslimin Madinah berbondong-bondong meninggalkan khutbah Jum’at untuk menyambut karavan dagang. Allah memperingatkan bahwa harta dunia bukanlah tujuan utama hidup. Apa yang di sisi Allah berupa pahala jauh lebih baik daripada kesenangan atau perdagangan sesaat.   Bersabar dalam Ketaatan dan Rezeki dari Arah Tak Terduga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ah Al-Fatawa menafsirkan ayat lain yang serupa: وَمَنْ يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Menurut Ibnu Taimiyah, ayat ini mengandung janji bahwa Allah akan membuka jalan keluar dan memberikan rezeki bagi orang yang bertakwa dari sumber yang tidak mereka duga. Mereka yang bertakwa akan mendapatkan rezeki yang murni dan halal tanpa campur tangan dari sumber yang haram atau kotor. Orang bertakwa tidak akan dibiarkan tanpa rezeki, meski mungkin mereka tidak diberikan kemewahan dunia yang berlebihan sebagai bentuk rahmat dari Allah. Sebaliknya, rezeki orang yang tidak bertakwa bisa diperoleh dengan cara yang sulit atau tidak berkah. Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin   Kesimpulan Penting dari Tafsir Syaikh As-Sa’di Mengenai Surah Al-Jumu’ah Ayat 9-11 Syaikh As-Sa’di menyimpulkan beberapa poin penting dari ayat-ayat di atas, yang memberikan panduan bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban shalat Jum’at dan memperlakukan dunia dengan perspektif yang benar. Berikut ringkasannya: Kewajiban Shalat Jum’at bagi Laki-Laki Mukmin Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi seluruh laki-laki mukmin. Mereka diwajibkan untuk bersegera menunaikannya dan memberikan perhatian penuh terhadap ibadah ini. Kewajiban Menghadiri Dua Khutbah Jum’at Kedua khutbah Jum’at bersifat wajib dan harus dihadiri oleh jamaah. Kata “mengingat” dalam ayat ini diartikan sebagai mendengarkan khutbah, sehingga umat Islam diperintahkan untuk segera hadir dan mendengarkan nasihat yang disampaikan. Disyariatkannya Azan pada Hari Jum’at Syariat menetapkan azan Jum’at sebagai panggilan untuk memulai rangkaian ibadah Jum’at, sebagai pengingat agar kaum muslimin bersiap-siap untuk meninggalkan urusan duniawi dan memusatkan hati pada ibadah. Larangan dan Keharaman Jual Beli Setelah Azan Jum’at Jual beli setelah azan Jum’at dikategorikan haram, karena aktivitas ini dapat melalaikan seseorang dari kewajiban utama, yaitu menghadiri dan menunaikan shalat Jum’at. Menghindari Hal-Hal Mubah yang Melalaikan dari Kewajiban Segala hal yang pada asalnya mubah, namun berpotensi melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at, menjadi terlarang dilakukan pada waktu tersebut. Kewajiban Menghadiri dan Mendengarkan Khutbah Jum’at Datang untuk mendengarkan khutbah Jum’at merupakan kewajiban, dan hal ini diperkuat dengan adanya celaan bagi mereka yang meninggalkannya. Diam Mendengarkan Khutbah Saat khutbah berlangsung, jamaah diwajibkan diam untuk menyimak nasihat yang disampaikan oleh khatib, agar makna dan hikmah khutbah dapat terserap dengan baik. Mengutamakan Ridha Allah di Atas Kepentingan Duniawi Saat seseorang hendak menghadiri shalat Jum’at, namun jiwanya tergoda oleh pekerjaan atau perdagangan, ia perlu mengingat bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hawa nafsu yang melalaikan.   Berdoa Setelah Jumatan Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ketika azan Jumat berkumandang, maka dilarang jual beli, dan saat itu diperintahkan untuk berkumpul melaksanakan shalat Jumat, maka setelah selesai shalat Jumat, mereka diperbolehkan untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari karunia Allah. ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu, jika selesai shalat Jumat, ia berhenti pada pintu masjid, lantas ia berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ ، وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ ، وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتَنِي ، فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ ، وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ “Ya Allah, aku telah memenuhi panggilan-Mu, aku telah melaksanakan shalat wajib untuk-Mu, aku telah menyebar ke muka bumi sebagaimana perintah dari-Mu, berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Baca juga: Hari Jumat itu Hari Terbaik Mengharap Rezeki Setelah Shalat Jumat   Kesimpulan Kewajiban menghadiri shalat Jum’at mengajarkan bahwa kepentingan duniawi, seperti jual beli atau aktivitas lainnya, tidak boleh menghalangi seorang hamba untuk memenuhi panggilan ibadah. Shalat Jum’at merupakan ibadah yang ditinggikan, dan bagi mereka yang menjaga ketaatan ini, Allah menjamin rezeki dari arah yang tak terduga. Bagi orang yang bertakwa, rezeki akan datang dengan keberkahan dan kemurnian, sedangkan mereka yang mengejar dunia tanpa memedulikan ketaatan hanya akan mendapatkan harta yang fana tanpa keberuntungan di akhirat. – Selesai ditulis pada 8 Jumadal Ula 1446 H, 10 November 2024 @ UTY Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan jumat aturan jual beli jual beli keutamaan shalat jumat shalat jumat

Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya

Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.

Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya

Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.
Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.


Daftar Isi Toggle Hukum menjual khamrTeladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkanStatus harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Sebetulnya, hukum permasalahan ini sudah jelas, meskipun bagi orang-orang awam sekalipun. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi harta haram. Juga karena semakin maraknya peredaran atau jual beli khamr (minuman keras) di sebagian wilayah di negeri kita. Hukum menjual khamr Para ulama sepakat bahwa membuat (memproduksi), memperjualbelikan, dan meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengatakan bahwa khamr termasuk kotoran (rijsun) dan perbuatan setan, sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, menjual khamr sama saja dengan menjual kotoran dan merupakan perbuatan setan. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan haramnya menjual khamr ketika penaklukan kota Makkah, إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan patung (berhala).” (HR. Bukhari no. 2236, 4296 dan Muslim no. 1581) Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, لَمَّا أُنْزِلَتِ الآيَاتُ مِنْ سُورَةِ البَقَرَةِ فِي الرِّبَا، خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ، ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الخَمْرِ “Ketika ayat-ayat tentang riba dari surah Al-Baqarah diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke masjid dan membacakan ayat-ayat tersebut kepada orang-orang. Kemudian beliau melarang perdagangan khamr (minuman keras).” (HR. Muslim no. 459) Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ “Allah melaknat khamr (minuman keras), (juga melaknat) orang yang meminum, yang menuangkan, yang menjual, yang membeli, yang memeras (memproduksi), yang meminta untuk diperas (diproduksi), yang membawa (mengantarkan atau mendistribusikan), dan orang yang meminta untuk dibawakan (diantarkan) khamr kepadanya.” (HR. Abu Dawud no. 3674, dinilai sahih oleh Al-Albani) Dari Yahya Abi Umar An-Nakha’i, beliau berkata, سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ الْخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقَالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا “Suatu kaum bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang hukum menjual dan membeli khamr serta berdagang dengannya. Maka beliau berkata, ‘Apakah kalian muslim?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya tidak diperbolehkan menjualnya, membelinya, atau berdagang dengannya.’” (HR. Muslim no. 2004) Dalil-dalil di atas sangat tegas dan jelas menunjukkan haramnya jual beli khamr. Baca juga: Mari Membendung Peredaran Miras Teladan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika khamr diharamkan Teladan terbaik dalam masalah khamr ini adalah yang ditunjukkan oleh para sahabat ketika Allah Ta’ala mengharamkan khamr. Para sahabat tidak ragu untuk membuang dan menumpahkan khamr tersebut di jalan-jalan kota Madinah. Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah di Madinah, يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ، وَلَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan peringatan tentang khamr, dan mungkin Allah akan menurunkan hukum (larangan) mengenai hal itu. Maka, siapa saja yang memiliki sesuatu darinya (khamr), hendaklah ia menjualnya, dan mengambil manfaat darinya (sebelum pelarangan diturunkan).” Abu Sa’id berkata, “Rasulullah diam sesaat kemudian bersabda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ، فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الْآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَا يَشْرَبْ، وَلَا يَبِعْ “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan khamr. Maka, siapa saja yang mendapatkan ayat ini dan masih memiliki sesuatu darinya, janganlah ia meminumnya dan jangan pula menjualnya.” Abu Sa’id kemudian menceritakan, فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمَدِينَةِ فَسَفَكُوهَا “Maka orang-orang pun menyambut perintah tersebut dengan membuang khamr yang mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah, lalu mereka menumpahkannya.” (HR. Muslim no. 1578) Demikianlah ketaatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ketika khamr pada akhirnya diharamkan (setelah tahap-tahap pelarangan tertentu), diharamkan juga menjual khamr, mereka pun tunduk dan patuh, lalu mereka menumpahkan khamr yang masih mereka miliki di jalan-jalan kota Madinah. Status harta (uang) yang diperoleh dari menjual khamr Ketika status khamr hukumnya haram, maka status uang (harta) yang diperoleh seseorang dari hasil menjual khamr adalah harta haram, sehingga wajib bertobat darinya dengan berhenti menjual khamr. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ “Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu atas suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan uang (keuntungan) dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh Al-Albani) Meskipun demikian jelas bahwa uang hasil menjual khamr adalah harta haram, namun sebagian orang tidak peduli. Apalagi saat hidup di era modern saat ini, ada dorongan dan tuntutan dalam diri sebagian orang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan jalan yang relatif mudah. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana ia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Kita pun khawatir ketika peredaran harta-harta haram tersebut telah merajalela di suatu wilayah, maka Allah pun akan menurunkan azab dan hukumannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله “Apabila zina dan riba telah muncul merajalela di suatu kampung, sungguh mereka telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2: 43. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini sahih) Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua dari hal ini. Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras *** @Fall, 5 Jumadil awal 1446/ 7 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Referensi: Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA; cetakan ke-6, Desember 2013, penerbit Berkat Mulia Insani.

Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.
Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.


Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital
Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital


Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.


Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub
Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub


Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim
Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim


Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Prev     Next