Khutbah Jumat: 6 Adab Menghadiri Shalat Jumat

Apa saja adab yang mesti diperhatikan ketika menghadiri shalat Jumat? Perhatikan khutbah Jumat kali ini.   Daftar Isi tutup 1. PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT” 2. Khutbah Pertama 3. Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. 4. Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. 5. Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. 6. Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. 7. Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. 8. Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at 9. Khutbah Kedua     PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT”   Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah …  Di hari Jumat yang penuh berkah ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kita. Nikmat kesehatan, umur panjang, serta yang paling agung, nikmat iman dan Islam, masih Allah anugerahkan kepada kita hingga saat ini. Semoga kita senantiasa mampu memelihara rasa syukur tersebut dengan mempertebal ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam kehidupan kita, beserta keluarga beliau, para sahabat, dan semua pengikutnya yang istiqamah hingga akhir zaman. Sebagaimana kita ketahui, shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang beriman untuk menghadiri shalat Jum’at dan meninggalkan segala aktivitas duniawi, seperti jual beli, ketika panggilan azan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah menuju mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk segera memenuhi panggilan Allah dengan menghadiri shalat Jum’at, meninggalkan segala aktivitas duniawi seperti jual beli. Namun, dalam menghadiri shalat Jum’at, ada beberapa adab penting yang perlu diperhatikan agar ibadah ini tidak sia-sia dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Baca juga: Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Berkah Rezeki Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah …   Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً “Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850) Baca juga: Datang Lebih Awal untuk Shalat Jumat sebelum Khutbah Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا “Barang siapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barang siapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela).” (HR. Muslim, no. 857)  Baca juga: 16 Adab Pergi ke Masjid Disertai Dalil Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran terkait mandi dan wudhu di hari Jum’at. Beliau bersabda: مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barang siapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun, barang siapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdal.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091). Keutamaan mandi pada hari Jum’at juga dijelaskan dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَنِ اغْتَسَلَ يَومَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً  ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ كَبْشاً أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإذَا خَرَجَ الإِمَامُ ، حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat seperti mandi junub, lalu ia pergi pada saat pertama, maka seolah ia telah berkurban seekor unta. Barang siapa yang pergi pada saat kedua, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor sapi. Barang siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa yang pergi pada saat keempat, maka seolah ia telah berkurban seekor ayam. Dan barang siapa yang pergi pada saat kelima, maka seolah ia telah berkurban dengan sebutir telur. Lalu ketika imam keluar, hadirlah para malaikat untuk mendengarkan peringatan (khutbah).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850] Dua hadits ini menunjukkan betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk shalat Jum’at dengan menjaga kebersihan, termasuk mandi, serta bersegera datang ke masjid untuk meraih keutamaan yang besar sesuai waktu kedatangan. Baca juga: Cara Mandi Jumat, Bagaimana? Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851). Namun, pembicaraan satu arah masih dibolehkan seperti misalnya khatib mengingatkan jama’ah yang ribut, atau khatib mengingatkan jama’ah yang belum shalat tahiyatul masjid. Bisa pula karena jama’ah meminta sesuatu pada khatib saat khutbah. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ “Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari, no. 1029). Baca juga: Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jumat Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 930; Muslim, no. 875) Baca juga: Dalil Shalat Tahiyatul Masjid Saat Khutbah Jumat Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab, كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء “Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.” Baca juga: Larangan Duduk Memeluk Lutut Ketika Mendengar Khutbah Jumat Semoga adab-adab menghadiri Jumatan ini bisa kita amalkan dan semoga Allah menerima amalan kita di hari Jumat ini. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 14 Dzulhijjah 1437 H (16 September 2016), DIREVISI PADA 20 JUMADAL ULA 1446 H, 22 NOVEMBER 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab jumatan adab khutbah jumat adab shalat jumat khutbah jumat mandi jumat shalat jumat

Khutbah Jumat: 6 Adab Menghadiri Shalat Jumat

Apa saja adab yang mesti diperhatikan ketika menghadiri shalat Jumat? Perhatikan khutbah Jumat kali ini.   Daftar Isi tutup 1. PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT” 2. Khutbah Pertama 3. Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. 4. Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. 5. Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. 6. Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. 7. Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. 8. Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at 9. Khutbah Kedua     PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT”   Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah …  Di hari Jumat yang penuh berkah ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kita. Nikmat kesehatan, umur panjang, serta yang paling agung, nikmat iman dan Islam, masih Allah anugerahkan kepada kita hingga saat ini. Semoga kita senantiasa mampu memelihara rasa syukur tersebut dengan mempertebal ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam kehidupan kita, beserta keluarga beliau, para sahabat, dan semua pengikutnya yang istiqamah hingga akhir zaman. Sebagaimana kita ketahui, shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang beriman untuk menghadiri shalat Jum’at dan meninggalkan segala aktivitas duniawi, seperti jual beli, ketika panggilan azan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah menuju mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk segera memenuhi panggilan Allah dengan menghadiri shalat Jum’at, meninggalkan segala aktivitas duniawi seperti jual beli. Namun, dalam menghadiri shalat Jum’at, ada beberapa adab penting yang perlu diperhatikan agar ibadah ini tidak sia-sia dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Baca juga: Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Berkah Rezeki Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah …   Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً “Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850) Baca juga: Datang Lebih Awal untuk Shalat Jumat sebelum Khutbah Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا “Barang siapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barang siapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela).” (HR. Muslim, no. 857)  Baca juga: 16 Adab Pergi ke Masjid Disertai Dalil Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran terkait mandi dan wudhu di hari Jum’at. Beliau bersabda: مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barang siapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun, barang siapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdal.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091). Keutamaan mandi pada hari Jum’at juga dijelaskan dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَنِ اغْتَسَلَ يَومَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً  ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ كَبْشاً أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإذَا خَرَجَ الإِمَامُ ، حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat seperti mandi junub, lalu ia pergi pada saat pertama, maka seolah ia telah berkurban seekor unta. Barang siapa yang pergi pada saat kedua, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor sapi. Barang siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa yang pergi pada saat keempat, maka seolah ia telah berkurban seekor ayam. Dan barang siapa yang pergi pada saat kelima, maka seolah ia telah berkurban dengan sebutir telur. Lalu ketika imam keluar, hadirlah para malaikat untuk mendengarkan peringatan (khutbah).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850] Dua hadits ini menunjukkan betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk shalat Jum’at dengan menjaga kebersihan, termasuk mandi, serta bersegera datang ke masjid untuk meraih keutamaan yang besar sesuai waktu kedatangan. Baca juga: Cara Mandi Jumat, Bagaimana? Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851). Namun, pembicaraan satu arah masih dibolehkan seperti misalnya khatib mengingatkan jama’ah yang ribut, atau khatib mengingatkan jama’ah yang belum shalat tahiyatul masjid. Bisa pula karena jama’ah meminta sesuatu pada khatib saat khutbah. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ “Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari, no. 1029). Baca juga: Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jumat Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 930; Muslim, no. 875) Baca juga: Dalil Shalat Tahiyatul Masjid Saat Khutbah Jumat Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab, كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء “Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.” Baca juga: Larangan Duduk Memeluk Lutut Ketika Mendengar Khutbah Jumat Semoga adab-adab menghadiri Jumatan ini bisa kita amalkan dan semoga Allah menerima amalan kita di hari Jumat ini. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 14 Dzulhijjah 1437 H (16 September 2016), DIREVISI PADA 20 JUMADAL ULA 1446 H, 22 NOVEMBER 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab jumatan adab khutbah jumat adab shalat jumat khutbah jumat mandi jumat shalat jumat
Apa saja adab yang mesti diperhatikan ketika menghadiri shalat Jumat? Perhatikan khutbah Jumat kali ini.   Daftar Isi tutup 1. PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT” 2. Khutbah Pertama 3. Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. 4. Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. 5. Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. 6. Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. 7. Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. 8. Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at 9. Khutbah Kedua     PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT”   Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah …  Di hari Jumat yang penuh berkah ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kita. Nikmat kesehatan, umur panjang, serta yang paling agung, nikmat iman dan Islam, masih Allah anugerahkan kepada kita hingga saat ini. Semoga kita senantiasa mampu memelihara rasa syukur tersebut dengan mempertebal ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam kehidupan kita, beserta keluarga beliau, para sahabat, dan semua pengikutnya yang istiqamah hingga akhir zaman. Sebagaimana kita ketahui, shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang beriman untuk menghadiri shalat Jum’at dan meninggalkan segala aktivitas duniawi, seperti jual beli, ketika panggilan azan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah menuju mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk segera memenuhi panggilan Allah dengan menghadiri shalat Jum’at, meninggalkan segala aktivitas duniawi seperti jual beli. Namun, dalam menghadiri shalat Jum’at, ada beberapa adab penting yang perlu diperhatikan agar ibadah ini tidak sia-sia dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Baca juga: Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Berkah Rezeki Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah …   Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً “Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850) Baca juga: Datang Lebih Awal untuk Shalat Jumat sebelum Khutbah Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا “Barang siapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barang siapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela).” (HR. Muslim, no. 857)  Baca juga: 16 Adab Pergi ke Masjid Disertai Dalil Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran terkait mandi dan wudhu di hari Jum’at. Beliau bersabda: مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barang siapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun, barang siapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdal.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091). Keutamaan mandi pada hari Jum’at juga dijelaskan dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَنِ اغْتَسَلَ يَومَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً  ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ كَبْشاً أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإذَا خَرَجَ الإِمَامُ ، حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat seperti mandi junub, lalu ia pergi pada saat pertama, maka seolah ia telah berkurban seekor unta. Barang siapa yang pergi pada saat kedua, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor sapi. Barang siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa yang pergi pada saat keempat, maka seolah ia telah berkurban seekor ayam. Dan barang siapa yang pergi pada saat kelima, maka seolah ia telah berkurban dengan sebutir telur. Lalu ketika imam keluar, hadirlah para malaikat untuk mendengarkan peringatan (khutbah).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850] Dua hadits ini menunjukkan betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk shalat Jum’at dengan menjaga kebersihan, termasuk mandi, serta bersegera datang ke masjid untuk meraih keutamaan yang besar sesuai waktu kedatangan. Baca juga: Cara Mandi Jumat, Bagaimana? Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851). Namun, pembicaraan satu arah masih dibolehkan seperti misalnya khatib mengingatkan jama’ah yang ribut, atau khatib mengingatkan jama’ah yang belum shalat tahiyatul masjid. Bisa pula karena jama’ah meminta sesuatu pada khatib saat khutbah. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ “Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari, no. 1029). Baca juga: Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jumat Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 930; Muslim, no. 875) Baca juga: Dalil Shalat Tahiyatul Masjid Saat Khutbah Jumat Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab, كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء “Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.” Baca juga: Larangan Duduk Memeluk Lutut Ketika Mendengar Khutbah Jumat Semoga adab-adab menghadiri Jumatan ini bisa kita amalkan dan semoga Allah menerima amalan kita di hari Jumat ini. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 14 Dzulhijjah 1437 H (16 September 2016), DIREVISI PADA 20 JUMADAL ULA 1446 H, 22 NOVEMBER 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab jumatan adab khutbah jumat adab shalat jumat khutbah jumat mandi jumat shalat jumat


Apa saja adab yang mesti diperhatikan ketika menghadiri shalat Jumat? Perhatikan khutbah Jumat kali ini.   Daftar Isi tutup 1. PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT” 2. Khutbah Pertama 3. Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. 4. Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. 5. Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. 6. Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. 7. Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. 8. Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at 9. Khutbah Kedua     PELAJARI KHUTBAH JUMAT “ADAB MENGHADIRI SHALAT JUMAT”   Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَي مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا فَإِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَأَفْضَلُ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ َوكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ Amma ba’du. Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu diberkahi oleh Allah …  Di hari Jumat yang penuh berkah ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kita. Nikmat kesehatan, umur panjang, serta yang paling agung, nikmat iman dan Islam, masih Allah anugerahkan kepada kita hingga saat ini. Semoga kita senantiasa mampu memelihara rasa syukur tersebut dengan mempertebal ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, suri teladan dalam kehidupan kita, beserta keluarga beliau, para sahabat, dan semua pengikutnya yang istiqamah hingga akhir zaman. Sebagaimana kita ketahui, shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru orang-orang beriman untuk menghadiri shalat Jum’at dan meninggalkan segala aktivitas duniawi, seperti jual beli, ketika panggilan azan berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah menuju mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk segera memenuhi panggilan Allah dengan menghadiri shalat Jum’at, meninggalkan segala aktivitas duniawi seperti jual beli. Namun, dalam menghadiri shalat Jum’at, ada beberapa adab penting yang perlu diperhatikan agar ibadah ini tidak sia-sia dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Baca juga: Keutamaan Meninggalkan Jual Beli Saat Azan Jumat untuk Meraih Berkah Rezeki Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah …   Adab pertama: Diharapkan datang lebih awal ke masjid untuk menghadiri shalat Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً “Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850) Baca juga: Datang Lebih Awal untuk Shalat Jumat sebelum Khutbah Adab kedua: Berangkat dari rumah dalam keadaan berwudhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا “Barang siapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barang siapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela).” (HR. Muslim, no. 857)  Baca juga: 16 Adab Pergi ke Masjid Disertai Dalil Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab ketiga: Mandi jum’at dan bersih-bersih diri dari rumah. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran terkait mandi dan wudhu di hari Jum’at. Beliau bersabda: مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barang siapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun, barang siapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdal.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091). Keutamaan mandi pada hari Jum’at juga dijelaskan dalam hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَنِ اغْتَسَلَ يَومَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الأُوْلَى فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً  ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ كَبْشاً أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ ، فَكَأنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإذَا خَرَجَ الإِمَامُ ، حَضَرَتِ المَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat seperti mandi junub, lalu ia pergi pada saat pertama, maka seolah ia telah berkurban seekor unta. Barang siapa yang pergi pada saat kedua, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor sapi. Barang siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seolah ia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa yang pergi pada saat keempat, maka seolah ia telah berkurban seekor ayam. Dan barang siapa yang pergi pada saat kelima, maka seolah ia telah berkurban dengan sebutir telur. Lalu ketika imam keluar, hadirlah para malaikat untuk mendengarkan peringatan (khutbah).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 881 dan Muslim, no. 850] Dua hadits ini menunjukkan betapa pentingnya mempersiapkan diri untuk shalat Jum’at dengan menjaga kebersihan, termasuk mandi, serta bersegera datang ke masjid untuk meraih keutamaan yang besar sesuai waktu kedatangan. Baca juga: Cara Mandi Jumat, Bagaimana? Adab keempat: Dilarang berbicara dan ngobrol saat mendengar khutbah Jum’at. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851). Namun, pembicaraan satu arah masih dibolehkan seperti misalnya khatib mengingatkan jama’ah yang ribut, atau khatib mengingatkan jama’ah yang belum shalat tahiyatul masjid. Bisa pula karena jama’ah meminta sesuatu pada khatib saat khutbah. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ “Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari, no. 1029). Baca juga: Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jumat Jama’ah shalat Jum’at yang semoga selalu dirahmati oleh Allah … Adab kelima: Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 930; Muslim, no. 875) Baca juga: Dalil Shalat Tahiyatul Masjid Saat Khutbah Jumat Adab keenam: Dilarang memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab, كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء “Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.” Baca juga: Larangan Duduk Memeluk Lutut Ketika Mendengar Khutbah Jumat Semoga adab-adab menghadiri Jumatan ini bisa kita amalkan dan semoga Allah menerima amalan kita di hari Jumat ini. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 14 Dzulhijjah 1437 H (16 September 2016), DIREVISI PADA 20 JUMADAL ULA 1446 H, 22 NOVEMBER 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab jumatan adab khutbah jumat adab shalat jumat khutbah jumat mandi jumat shalat jumat

Mengenal Nama Allah “Al-Mannan”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.

Mengenal Nama Allah “Al-Mannan”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Mannan“Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“Makna bahasa dari “Al-Mannan“Makna “Al-Mannan” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hambaBeriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-NyaSeorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-NyaLarangan mengungkit sedekah Di antara tanda-tanda keagungan dan kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dia memperkenalkan diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Salah satu dari nama-nama indah-Nya adalah Al-Mannan, yang biasa diartikan dengan “Zat Yang Maha Memberi karunia”. Melalui pemahaman akan nama ini dengan benar, seorang hamba dapat menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini berasal dari Allah semata, dan bahwa tiada pemberi karunia yang sejati, kecuali Dia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nama Allah Al-Mannan ( المنَّان ) yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tersirat dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, amin. Dalil nama Allah “Al-Mannan“ Nama Al-Mannan ditetapkan berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berdoa, اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ بأنَّ لَكَ الحمدُ لا إلَهَ إلَّا أنتَ المنَّانُ بديعُ السَّمواتِ والأرضِ يا ذا الجلالِ والإِكرامِ يا حيُّ يا قيُّومُ “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena segala pujian adalah milik-Mu, tidak ada ilah selain Engkau, Yang Maha Memberi karunia (Al-Mannan), Pencipta langit dan bumi, Wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan, Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لقد دعا اللَّهَ باسمِهِ العظيمِ الَّذي إذا دعيَ بِهِ أجابَ وإذا سئلَ بِهِ أعطى “Sungguh, ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung. Jika dimohon dengan (menyebut) nama itu, Dia akan mengabulkan, dan jika diminta dengan (menyebut) nama itu, Dia akan memberi.” (HR. Ahmad, 5:349 dan Abu Dawud no. 1495. Lafaz ini miliknya. Disahihkan oleh Al-Albani). [1] Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menunjukkan sifat ini dalam banyak firman-Nya, di antaranya: لقد من الله عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164) Dan firman-Nya, بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ للإيمان “Bahkan, Allahlah yang memberi karunia kepada kalian karena telah menunjukkan kalian kepada keimanan.” (QS. Al-Hujurat: 17) [2] Kandungan makna dari nama Allah “Al-Mannan“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mannan” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Mannan“ Al-Mannan ( ‌‌المنان ) merupakan bentuk fa’al ( فعّال ), dari perkataan, مننتُ على فلان إذا اصطنعت عنده صنيعة وأحسنت أليه “Aku memberikan karunia kepada seseorang. Yakni, melakukan kebaikan dan memberikan anugerah kepadanya.” [3] Bentuk ini menunjukkan sifat yang sangat berlebihan atau intens dalam memberi kebaikan. [4] Makna lain dari kata ini adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Al-Qurthubi mengatakan, المنان من “المــنّ” وهو العطـاء دون طلب عوض. … ويكون بمعنى التفاخر بالعطية على المعطى ، وتعديد ما عليه. “Al-Mannan berasal dari kata al-mann (المنّ), yang berarti: (1) pemberian tanpa mengharapkan imbalan; dan bisa bermakna: (2) membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut.” [5] Makna “Al-Mannan” dalam konteks Allah Syekh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menjabarkan dengan sangat bagus terkait dengan pembahasan ini. Beliau mengatakan, والمنان: هو كثير العطاء، عظيم المواهب، واسع الإحسان، الذي يدر العطاء على عباده، ويوالي النعماء عليهم تفضّلا منه وإكراما، ولا منان على الإطلاق إلا الله وحده، الذي يبدأ بالنوال قبل السؤال، له المنة على عباده، ولا منة لأحد منهم عليه، تعالى الله علواً كبيراً “Al-Mannan adalah Zat yang Maha Pemberi, yang sangat besar anugerah-Nya, luas kebaikan-Nya, yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menambah nikmat kepada mereka sebagai kemurahan dan penghormatan dari-Nya. Tiada yang berhak disebut sebagai Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah semata, yang memulai pemberian sebelum adanya permintaan. Dialah pemilik segala karunia atas hamba-hamba-Nya, dan tiada seorang pun di antara mereka yang memiliki karunia atas-Nya. Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang agung.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sangat banyak bentuk nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. Dia berfirman, وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ‘Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.’ (QS. An-Nahl: 18) Dan Dia berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah.’ (QS. An-Nahl: 53) Barangsiapa ingin menyaksikan sumber-sumber karunia Allah, hendaknya ia memperhatikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan merenungi berbagai nikmat besar serta anugerah mulia yang Allah berikan di dalamnya.” Selanjutnya, beliau menyebutkan contoh-contoh karunia Allah kepada para hamba, di antaranya: 1) Karunia-Nya dalam hidayah kepada agama dan keluar dari kegelapan syirik; 2) Karunia-Nya mengutus rasul dan nabi kepada umat manusia; 3) Karunia-Nya dalam memberikan kekuatan dan kemenangan kepada para nabi dan mukminin; 4) Karunia masuk surga dan keselamatan dari neraka. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mannan” bagi hamba Penetapan nama “Al-Mannan” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Mannan, yang telah memberi berbagai bentuk kebaikan, nikmat, rezeki, dan anugerah kepada hamba-hamba-Nya Allah, dengan kemurahan-Nya, adalah Maha Pemberi tanpa batas, sebagaimana firman-Nya, يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali Imran: 37) Allah juga berfirman, وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa setiap muslim harus menyadari bahwa tidak ada yang berhak disebut Al-Mannan secara mutlak, kecuali Allah saja, yang memulai pemberian-Nya, bahkan sebelum ada permintaan dari hamba-Nya. [7] Seorang hamba harus memuji Allah atas segala nikmat dan mensyukuri keutamaan serta karunia-Nya Barangsiapa yang mengenal Rabbnya dengan nama yang agung ini, yaitu Al-Mannan, yang memiliki segala pemberian dan anugerah, maka ia wajib memuji dan mensyukuri nikmat serta keutamaan-Nya. Sebagaimana firman Allah, وقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَى وَعَلَى وَالِدَيَّ “Dan dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan melarang mereka dari sifat sebaliknya. Dia memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan balasan terbaik, serta menjadikan syukur sebagai sebab untuk tambahan nikmat dan sebagai penjaga karunia-Nya. Allah berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَبِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) [8] Larangan mengungkit sedekah Di antara makna Al-Mannan, sebagaimana disebutkan di atas, adalah membanggakan pemberian yang telah diberikan kepada orang lain dan mengungkit-ungkit kebaikan tersebut. Sifat ini adalah baik dan terpuji untuk Allah Ta’ala, dan merupakan bagian dari nama-Nya, Al-Mannan, namun sifat ini merupakan sifat tercela bagi makhluk. Allah melarang seseorang mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah diberikan. Allah berfirman, لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264) [9] Ya Allah, segala puji bagi-Mu sebagai rasa syukur, segala karunia-Mu adalah keutamaan. Segala puji bagi-Mu atas Islam, atas iman, atas Al-Qur’an, atas keluarga, harta, dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas setiap nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang tampak, yang khusus maupun yang umum. Segala puji bagi-Mu sebanyak-banyaknya, pujian yang baik dan penuh berkah. Ya Allah, bagi-Mu segala puji hingga Engkau rida, dan segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan kami, ketika Engkau telah rida. Amin. Baca juga: Mengenal Nama Allah “As-Salam” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadil awal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: 1) Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi. 2016. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cet. ke-1. Damaskus: Darul Faihaa. 2) Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. 3) An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334. [2] Al-Nahj Al-Asma, hal. 601. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 164. [4] Lihat Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 595. [5] Al-Kitab Al-Asna, 2: 318-319, dikutip dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 603, dengan peringkasan. Lihat juga Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 924. [6] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 334-336. [7] Lihat Al-Nahj Al-Asma, hal. 604-605. [8] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 337. [9] Al-Nahj Al-Asma, hal. 603.

Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya

Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy. Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy. Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[   Daftar Isi tutup 1. Latar Belakang Perang Hudaibiyah 2. Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah 3. PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.” Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy. Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh. Latar Belakang Perang Hudaibiyah Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu, لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭ ‬ۖ‭ ‬لَتَدْخُلُنَّ‭ ‬ٱلْمَسْجِدَ‭ ‬ٱلْحَرَامَ‭ ‬إِن‭ ‬شَآءَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬ءَامِنِينَ‭ ‬مُحَلِّقِينَ‭ ‬رُءُوسَكُمْ‭ ‬وَمُقَصِّرِينَ‭ ‬لَا‭ ‬تَخَافُونَ‭ ‬ۖ‭ ‬فَعَلِمَ‭ ‬مَا‭ ‬لَمْ‭ ‬تَعْلَمُوا۟‭ ‬فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27). Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah. Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab. Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.” Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan. Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali kepada kelompoknya, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya. Saat melintasi wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya. Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan qurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan qurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan. Namun, orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.” Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.” Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.” Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!” Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, tetapi Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka. Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian Muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan tawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan tawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan tawaf hingga kita tawaf bersamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum Muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat kecuali Jadd bin Qais. Setelah baiat selesai, muncul Utsman. Kaum Muslimin berkata kepadanya bahwa Utsman telah melakukan tawaf. Namun, Utsman membantah, “Sungguh buruk dugaan kalian. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya! Seandainya aku tinggal di sana selama satu tahun, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu. Orang-orang Quraisy memang mengajakku untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.” Kaum Muslimin pun berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling baik prasangkanya dibandingkan kita.” Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Mereka berkata, “Temuilah Muhammad dan ajaklah damai dengan syarat ia harus kembali dan meninggalkan kami tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab mengatakan bahwa ia bisa memasuki Mekah dengan paksa.” Suhail datang menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sungguh, ia telah memudahkan urusan kalian. Masyarakat Quraisy ingin berdamai dengan mengutus orang ini.” Saat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicara cukup lama untuk bernegosiasi hingga akhirnya tercapai kata sepakat. Ketika segalanya sudah final dan tinggal dituangkan dalam tulisan, Umar menemui Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar melanjutkan, “Bukankah kita umat Islam?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar kembali bertanya, “Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?” Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, jagalah logikamu! Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kita umat Islam?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah mereka kaum musyrik?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Lantas, mengapa kita merendahkan agama kita?” Nabi menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” Umar kemudian berkata, “Setelah peristiwa itu, aku sering berpuasa, bersedekah, shalat malam, dan memerdekakan budak, karena khawatir atas ucapanku dan berharap semoga menjadi kebaikan.” Baca juga: Kebaikan Menghapuskan Kejelekan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib dan berkata, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.” Suhail berkata, “Aku tidak mengenal kalimat ini. Tulislah, Bismika Allahumma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, Bismika Allahumma!” Ali pun menuliskannya. “Kemudian tulislah! Ini adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Seandainya aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah namamu dengan nama ayahmu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.” Mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan perjanjian ini. Tidak ada pencurian dan pengkhianatan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Muhammad, dipersilakan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, juga dipersilakan. Suku Khuza’ah berkata, “Kami bergabung dengan Muhammad.” Bani Bakr berkata, “Kami bergabung dengan Quraisy.” Salah satu syaratnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin diperbolehkan melakukan ibadah umrah tahun depan, dengan syarat tidak membawa senjata. Mereka diperbolehkan berada di Mekah selama tiga hari, dan baru bisa memasuki Mekah setelah kaum Quraisy mengosongkan kota itu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merampungkan isi perjanjian damai dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr muncul dalam keadaan terborgol, bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Suhail melihat anaknya, ia langsung menampar dan mencengkeramnya seraya berkata, “Ini adalah tuntutanku yang pertama padamu, Muhammad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar Suhail membiarkannya, tetapi ia menolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, يَا أَبَا جَنْدَلٍ، اصْبِرْ وَاحْتَسِبْ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ لَكَ وَلِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا، إِنَّا قَدْ عَقَدْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ صُلْحًا، وَأَعْطَيْنَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَأَعْطَوْنَا عَهْدَ اللهِ، وَإِنَّا لَا نَغْدِرُ بِهِمْ. “Bersabarlah wahai Abu Jandal, dan berharaplah kepada Allah. Sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang tertindas. Kami telah berjanji dengan kaum Quraisy dan tidak akan mengkhianati mereka.” Sikap ini menambah duka kaum Muslimin, mengingat mereka tidak bisa memasuki Mekah dan tidak dapat membantu Abu Jandal. Setelah Rasulullah selesai dengan perdamaian, beliau berkata, “Bangunlah! Sembelihlah hewan qurban dan bercukurlah!” Namun, tidak ada satu pun yang bangun. Rasulullah pun masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, jangan bicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih qurbanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar tanpa bicara kepada siapa pun hingga menyembelih seekor unta dan memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat, mereka pun bangkit menyembelih qurban dan saling mencukur. Hampir terjadi keributan karena suasana tegang. Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terhalang dari Melakukan Umrah atau Haji Padahal Sudah Berihram? Ada yang mencukur habis rambutnya dan ada yang hanya memendekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ؟ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ. “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat berkata, “Dan yang sekadar memendekkan rambutnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya, beliau menambahkan, “Dan juga kepada mereka yang sekadar memendekkan rambutnya.” (Fath Al-Baari, 3:562-564) Baca juga: Tahallul dengan Mencukur Botak  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurbannya berupa seekor unta yang di kepalanya terdapat kalung perak. Dahulunya unta ini milik Abu Jahal, tetapi kemudian menjadi ghanimah dalam perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini agar kaum musyrikin semakin merasa emosi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin para sahabat untuk kembali ke Madinah. Di tengah perjalanannya, Allah menurunkan surah Al-Fath, إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2) Lalu Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18) وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 19) وَعَدَكُمُ ٱللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِۦ وَكَفَّ أَيْدِىَ ٱلنَّاسِ عَنكُمْ وَلِتَكُونَ ءَايَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20) وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ ٱللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 21) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Bushair dari kalangan Quraisy dalam keadaan menyerah. Orang-orang Quraisy pun mengutus dua orang untuk mencarinya. Mereka berkata, “Ingat perjanjian antara kita.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan Abu Bushair kepada dua orang utusan Quraisy. Kemudian keduanya membawanya hingga sampai di Dzulhulaifah mereka istirahat sambil makan kurma. Abu Bushair berkata kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, “Demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu itu bagus.” Lalu ia menjawab, “Benar, demi Allah ini pedang bagus.” Abu Bushair berkata, “Coba perlihatkan kepadaku.” Ketika pedang itu ada di genggamannya, maka orang itu pun dibunuhnya. Sedangkan yang satunya lari hingga kembali ke Madinah lalu masuk ke dalam masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sepertinya orang ini tengah ketakutan.” Ketika ia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berkata, “Temanku telah dibunuhnya dan aku pun akan dibunuhnya.” Tiba-tiba datanglah Abu Bushair seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkanku. Engkau telah menyerahkan aku kepada mereka dan Allah menyelamatkan aku dari mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka! Ia telah menyalakan api peperangan seandainya ia punya seorang pengikut.” Mendengar ucapan tersebut, Abu Bushair menyadari bahwa beliau tetap akan mengembalikannya kepada orang-orang Quraisy, maka ia pun pergi menjauh hingga sampai di wilayah pantai. Sementara itu, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dan bergabung bersama Abu Bushair. Setiap pelarian Quraisy yang masuk Islam, pasti akan bergabung dengan Abu Bushair. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang ditakuti. Karena setiap kali mereka mendengar ada kafilah Quraisy menuju Syam, mereka pasti akan menghadangnya, merampas hartanya, dan membunuh orang-orangnya. Akhirnya orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas pertimbangan kebesaran Allah dan silaturahmi, beliau tidak perlu mengembalikan orang yang dalam pelarian, dan siapa saja yang datang kepadanya, ia akan aman, tidak dikejar-kejar lagi.   Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah Peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah adalah: Rencana Umrah: Rasulullah ﷺ bersama 1.400 sahabat berangkat ke Makkah dengan niat melaksanakan umrah. Mereka tidak membawa senjata perang, hanya membawa senjata ringan untuk perlindungan. Penghadangan oleh Quraisy: Quraisy melarang kaum Muslimin memasuki Makkah. Sebagai respons, kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyah, di pinggiran kota. Negosiasi Perdamaian: Setelah beberapa kali negosiasi, disepakati perjanjian antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu delegasi Quraisy adalah Suhail bin Amr. Isi Perjanjian: Di antara poin penting perjanjian, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah tanpa melaksanakan umrah, tetapi mereka diizinkan datang tahun berikutnya. Selain itu, gencatan senjata selama 10 tahun disepakati, serta kebebasan bagi suku-suku Arab memilih bergabung dengan Quraisy atau kaum Muslimin. Kemenangan Diplomasi: Meski tampak menguntungkan Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan diplomasi bagi kaum Muslimin karena memberi ruang bagi Islam untuk berkembang tanpa gangguan selama beberapa tahun.   PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Perang Hudaibiyah memang penuh dengan hikmah serta pelajaran berharga. Ibnul Qayyim menuliskan pelajaran tersebut dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad, sementara Muhammad bin Abdul Wahhab meringkasnya menjadi 139 poin. Berikut ini adalah sebagian ringkasannya: Pertama: Bisri bin Sufyan diutus sebagai intelijen, meskipun ia seorang musyrik. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dalam jihad, dibolehkan meminta bantuan kepada orang non-muslim yang dapat dipercaya, terutama jika kondisi mendesak. Misalnya, intel dari suku Khuza’ah—yang merupakan non-muslim—dimanfaatkan untuk informasi penting dari musuh. Ini dilakukan demi kemaslahatan dan upaya menggali informasi. Ibnu Hajar menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kebolehan meminta bantuan non-muslim dalam situasi darurat, selama tidak menunjukkan loyalitas atau kecintaan terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan, menurut beberapa ulama, strategi ini dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan musuh dan menyibukkan mereka. Namun, ini tidak berarti setiap saat boleh meminta bantuan non-muslim, melainkan hanya dalam kasus khusus dan kebutuhan mendesak. Kedua: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut ketika unta yang dikendarai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendadak mogok dan enggan melanjutkan perjalanan. Mereka pun berkata, “Qashwa (nama unta) mogok dan tidak mau berjalan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menegur mereka dengan berkata, “Qashwa tidak mogok karena kebiasaannya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa ini kita belajar untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu yang buruk, bahkan terhadap makhluk yang tidak dibebani kewajiban (bukan mukallaf). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan penjelasan terkait alasan unta tersebut berhenti. Allah-lah yang menghentikan unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Dia yang dahulu menghentikan pasukan bergajah Abrahah saat mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan tanda bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menahan kita, yang bisa jadi merupakan peringatan atau ujian dari Allah. Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk menghormati makhluk, baik yang mukallaf (manusia) maupun yang bukan, seperti hewan. Dengan tidak mengucapkan hal buruk pada hewan, kita terhindar dari ucapan yang mungkin berbalik pada diri kita sendiri. Catatan:  Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”). Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi, لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud, no. 4982 dan Ahmad 5:95. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Tips Ketika dalam Perjalanan Mudik Lebaran Ketiga: Shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang) yang dilakukan Rasulullah di Usfan menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun dalam kondisi yang penuh risiko. Rasulullah tetap mengutamakan shalat berjamaah, menunjukkan kepada umatnya bahwa shalat berjamaah adalah bagian penting dari syiar Islam. Walaupun dalam kondisi perang, beliau tetap memimpin shalat dengan mengatur agar sebagian muslim menjaga shalat berjamaah di masjid. Keempat: Abu Bakar mengatakan kepada Urwah, “Isaplah kemaluan Latta!” Hal ini dinyatakan sebagai bentuk tegas untuk menolak ajakan Urwah yang tidak pantas. Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam konteks ini, ucapan Abu Bakar bukanlah ucapan yang tercela, namun merupakan respons tegas terhadap ancaman atau celaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyatakan bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan kotor dalam situasi tersebut, melainkan sebuah bentuk teguran Kelima: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tindakan Mughirah yang berdiri di dekat Nabi sambil membawa pedang mengajarkan kebolehan berdiri di hadapan pemimpin demi menjaga keamanan, terutama dari ancaman musuh. Namun, hal ini dilakukan bukan untuk mengagungkan atau pamer, melainkan untuk tujuan yang jelas dan dibutuhkan. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menambahkan bahwa berdiri di hadapan seseorang hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, seperti dalam situasi darurat yang mengharuskan kehati-hatian terhadap potensi serangan. Catatan: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Baca juga: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya Keenam: Cintanya sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatannya yang sangat luar biasa. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Para sahabat belum pernah bersikap berlebihan dalam menghormati Rasulullah. Mereka selalu menjaga keselamatan beliau, membelanya dengan perkataan dan tindakan terhadap siapa pun yang bersikap kasar padanya, serta mencari berkah dari setiap hal yang dilakukan oleh Nabi.” (Fath Al-Bari, 5:342) Ketujuh: Dalam proses negosiasi, para sahabat melakukan hal yang tidak biasanya mereka lakukan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang ludah, mereka mengambilnya lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Padahal hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada utusan orang kafir tentang sikap para sahabat terhadap Nabinya. Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan amarah musuh dan memperlihatkan penghormatan sahabat terhadap Rasulullah. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:261) Kedelapan: Pentingnya teladan dalam perilaku serta pengaruhnya yang lebih besar daripada ucapan. Urwah yang sejak awal berkata kepada Rasulullah tentang para sahabat, “Aku melihat orang-orang yang seandainya mereka mengetahui besok tentang kamu (mereka akan tinggalkan kamu).” Ternyata dugaan Urwah meleset ketika ia duduk bersama sahabat dan melihat bagaimana perlakuan sahabat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatan serta pengagungan mereka kepada beliau. Sehingga ketika ia kembali kepada orang-orang Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Aku pernah bertemu Kaisar, Raja Romawi, dan juga Najasyi dalam istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang dimuliakan seperti Muhammad di tengah sahabatnya. Sungguh aku melihat mereka tidak akan pernah menyerahkannya untuk apa pun selamanya! Tinjau ulang kembali pendapat kalian!” Orang akan merasa aneh bagaimana sampai keluar kata-kata seperti itu hanya dari satu orang. Namun, ketika masalahnya sudah jelas, maka ia akan mengetahui betapa pengaruh perilaku dan sikap pada seseorang akan lebih besar ketimbang kalimat yang panjang. Kesembilan: Ketika Utsman datang terlambat, sebagian kaum muslimin menduga bahwa ia sedang melakukan thawaf di Kabah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangggah pendapat mereka tersebut dan berkata, “Aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu, karena kita masih tidak dibolehkan masuk ke Baitul Haram.” Ternyata dugaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar. Begitulah seharusnya seorang muslim untuk selalu berbaik sangka kepada saudaranya, bukan berburuk sangka. Allah berfirman, لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.” (QS. An-Nuur: 12) Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kamu berburuk sangka dari perkataan yang keluar dari seorang muslim, padahal kamu dapat berbaik sangka kepadanya.” (Sumber: Ibnu Qayyim, Taarikh Umar bin Al Khaththab, Hal. 203) Kesepuluh: Dalam situasi yang genting, biasanya musuh akan berusaha untuk menebarkan fitnah dan isu. Oleh karena itu, seorang muslim harus waspada terhadap berbagai isu. Jangan mudah menerimanya dan membenarkannya, atau ikut-ikutan dalam menyebarkannya dan terpengaruh olehnya. Hendaknya ia memastikan lebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menerimanya. Kesebelas: Menyikapi isu dengan benar merupakan suatu yang sangat penting. Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi isu dengan tindakan yang tidak diperhitungkan musuh. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam. Namun, kenyataannya justru sebaliknya yaitu terjadinya bai’atur ridwan.  Bai’atul Ridwan terjadi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk menunaikan umrah ke Mekah, tetapi dihalangi oleh kaum Quraisy di Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap desas-desus bahwa Utsman bin Affan, yang diutus untuk bernegosiasi dengan Quraisy, telah dibunuh. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk berbai’at (bersumpah setia) di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji untuk tetap mendukung Nabi dan siap bertarung jika diperlukan. Bai’at ini disebut Bai’atul Ridwan karena Allah menyatakan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang berpartisipasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Al-Fath: 18). Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah Bai’atul Ridwan. Setelah adanya ketegangan antara kaum Muslimin dan Quraisy, negosiasi akhirnya berhasil dicapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan selama 10 tahun, dan kaum Muslim tidak diperbolehkan memasuki Mekah tahun itu, tetapi mereka diperbolehkan kembali tahun berikutnya untuk menunaikan umrah. Perjanjian ini juga berisi beberapa syarat lain, seperti pengembalian orang-orang yang melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan adanya kebebasan bagi berbagai suku untuk bergabung dengan pihak manapun. Perbedaan utama antara keduanya adalah: Bai’atul Ridwan adalah sumpah setia dari para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang terjadi sebelum perjanjian tersebut. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah ketegangan dan negosiasi antara umat Islam dan Quraisy. Kedua belas: Ketika Suhail bin Amr datang lalu Rasulullah melihatnya dan berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian.” Hal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap optimis. Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, meskipun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan: “Seandainya aku melakukan ini atau itu.” Namun, katakanlah: “Ini sudah menjadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sebab, perkataan “seandainya” dapat membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim, no. 2664) Baca juga: Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat Ketiga belas: Sikap beberapa sahabat yang belum bisa menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran tentang pentingnya menomorduakan akal jika terdapat teks-teks syariat yang telah menerangkan dengan jelas. Kita mendukung ucapan Abu Bakar kepada Umar, “Berpegang teguhlah dengan keputusannya sesungguhnya dia itu utusan Allah.” Bukan sebaliknya, dengan menghantam teks syariat dengan akal dan pendapat kita. Umar berkata, “Wahai manusia, abaikanlah akal di hadapan agama. Aku pernah menyanggah pendapat Rasulullah dengan ijtihad akalku, demi Allah tidak menemui kebenaran, yaitu pada peristiwa Abu Jandal (perjanjian Hudaibiyah).” Kita harus hati-hati bersikap mendahulukan syariat dengan akal kita. Bahkan kita harus mengabaikan akal dan mendahulukan teks Al Qur’an dan As-Sunnah, tunduk dan patuh kepada syariat dan tidak berpendapat dengan akal kita. Pada hakikatnya, syariat itu luas dan sempurna sedangkan akal kitalah yang masih terbatas. Kadang kita menduga sebaliknya. Berikut adalah beberapa contoh dalam syariat yang menunjukkan pentingnya mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal: Keimanan kepada Hal Gaib Allah memerintahkan kita untuk beriman kepada hal-hal yang gaib, seperti adanya malaikat, hari akhir, dan surga serta neraka. Meskipun akal mungkin tidak dapat menjangkau atau membuktikan keberadaan hal-hal tersebut, Al-Qur’an dan hadits mengajarkan kita untuk mempercayainya. Hukum tentang Riba Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang riba (bunga) meskipun akal mungkin berpendapat bahwa riba menguntungkan atau mempercepat perputaran ekonomi. Syariat mendahulukan larangan ini karena riba dapat menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam jangka panjang. Tata Cara Shalat Cara melaksanakan shalat, mulai dari berdiri, rukuk, sujud, hingga duduk, diatur secara rinci dalam hadits. Meskipun akal mungkin menganggap cara lain lebih praktis, umat Islam mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi sebagai bentuk ibadah yang diterima Allah. Pembagian Waris Dalam Al-Qur’an, pembagian harta warisan diatur secara rinci dan tetap, meskipun mungkin akal menilai pembagian tertentu lebih adil dalam konteks tertentu. Namun, umat Islam tetap mendahulukan aturan pembagian waris sesuai yang diajarkan dalam syariat. Pelarangan Daging Babi Al-Qur’an dengan jelas melarang daging babi, meskipun secara akal beberapa orang mungkin berpendapat bahwa daging ini bisa bergizi. Syariat mengajarkan untuk menghindari babi karena ini adalah perintah Allah yang tidak perlu diperdebatkan dengan akal. Kewajiban Berhijab bagi Wanita Al-Qur’an memerintahkan wanita untuk menutup aurat, dan As-Sunnah menjelaskan tata cara berhijab yang benar. Meski akal manusia terkadang mempertanyakan relevansi atau kebutuhan berhijab dalam kehidupan modern, syariat mengajarkan untuk mendahulukan perintah Allah atas pertimbangan akal. Keempat belas: Ucapan Umar Radhiyallahu Anhu, “Aku harus tetap berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak untuk menebus pada saat itu. Aku mengharap agar itu menjadi amal kebaikan.” Berdasarkan hal ini, semakin jelaslah karunia Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Allah berfirman, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114). Kelima belas: Penyerahan kembali Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada kaum musyrikin ketika ia datang untuk bergabung kepada kaum muslimin karena terikat dengan perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan dua pelajaran:  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat menetapi janji sekalipun terasa sulit untuk dilakukan.  • Pentingnya seorang muslim menepati janji, baik dalam keadaan mudah atau sulit, baik demi kepentingan dirinya maupun bagi orang lain. Sebab, Allah memuji kaum mukminin yang menepati janji. Firman-Nya, الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ “(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’du: 20). Keenam belas: Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk memotong rambut dan menyembelih qurban, mereka tidak langsung melaksanakannya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dan menemui istrinya, Ummu Salamah. Lalu istrinya menyarankan, “Temui kembali mereka, panggil tukang cukur untuk mencukurmu dan sembelihlah qurbanmu.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan saran tersebut, para sahabat pun bergegas untuk memotong rambut mereka dan menyembelih kurbannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya keteladanan yang baik dan hal tersebut dapat memberikan efek pengaruh yang kuat dibandingkan sekadar ucapan. Seorang ayah di rumahnya adalah teladan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian terpengaruh oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi pengaruh kuat terhadap murid-muridnya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah, seorang da’i harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai modal dakwah dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Ketujuh belas: Metode motivasi dalam berdakwah. Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan mencukur plontos daripada mencukur pendek saja, dengan mengulang-ulang doa agar mendapatkan curahan rahmat bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali. Sementara yang memendekkan saja hanya mendapatkan satu kali dari doa beliau. Ini artinya anjuran untuk mencukur plontos bagi orang yang tengah berhaji saat bertahallul. Kedelapan belas: Rasulullah mengiringi hewan kurbannya berupa unta yang dahulunya milik Abu Jahal karena di hidungnya terdapat anting dari perak adalah untuk membangkitkan amarah kaum musyrikin. Ibnu Qayyim berkata, “Dari sini terdapat suatu pelajaran yang dapat dipetik yaitu dianjurkannya untuk menimbulkan amarah musuh Allah. Karena Nabi mengiringi unta kurbannya yang dahulunya milik Abu Jahal dengan tanda di hidungnya sebagai tanda pembangkitan amarah kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sifat Nabi dan sahabat, مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “…dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath: 29). Kesembilan belas: Kita mendapatkan hikmah di balik suatu persoalan. Bisa jadi seorang muslim tidak menyukai sesuatu yang ternyata membawa kebaikan. Sebagian sahabat tidak menyukai perjanjian Hudaibiyah dan persyaratan-persyaratan yang ada di dalamnya. Ternyata justru membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata tentang kemenangan ini, “Secara zhahir memang merendahkan kaum muslimin, tetapi di balik itu adalah sebuah kemuliaan bagi mereka.” Untuk itulah, seorang muslim tidak boleh salah dalam menilai sesuatu yang terlihat secara lahiriah saja. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar selalu diberikan hidayah dengan ketentuan Allah. Kedua puluh: Berdasarkan perjanjian ini, ada beberapa hasil positif yang dapat kami kemukakan sebagiannya secara singkat:  • Hilangnya kewibawaan Quraisy. Hal ini ditandai dengan bergabungnya suku Khuza’ah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu singkat tanpa rasa takut kepada Quraisy.  • Pengakuan Quraisy terhadap eksistensi kaum muslimin. Semenjak munculnya dakwah Islam, Quraisy menganggap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hanyalah serpihan-serpihan yang tidak bermakna dan bereksistensi. Namun, pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah, mereka mengakui eksistensinya, duduk bersama sebagai lawan.  • Berbaurnya kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Sehingga dapat memberikan pengaruh positif, memperdengarkan Islam, dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata, “Peristiwa Hudaibiyah adalah sebagai mukadimah kemenangan bagi kaum muslimin.” Kedua puluh satu: Setelah perjanjian damai Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memiliki musuh bebuyutan sehingga beliau dapat melakukan aktivitas lainnya seperti menyerang pusat kekuatan Yahudi di Madinah dalam waktu singkat setelah Hudaibiyah dan dilanjutkan dengan penyerangan Khaibar serta merebutnya. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menyurati para raja dan penguasa dunia saat itu. Mengirim utusan untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia. Kedua puluh dua: Tentang keutamaan Hudaibiyah. Peristiwa ini perlu dibandingkan dengan perang Badar dalam hal keutamaannya, mengingat dalam peristiwa tersebut diperolehnya kemuliaan dan kemenangan bagi Islam serta kehinaan, kekalahan bagi orang-orang kafir dan munafik. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamai perang Badar atau mendekatinya dalam hal keutamaan, kecuali peristiwa Hudaibiyah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Sedangkan kaum mutakallimin (teolog) dari Kelompok Asy‘ariyah berpendapat adalah perang Uhud lebih mulia daripada perang Hudaibiyah. Mereka berpendapat perang Uhud lebih mulia setelah Badar. Namun, menurut kami, pendapat pertama lebih baik. Wallahu a‘lam. Dari Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian menganggap bahwa kemenangan itu adalah pembebasan kota Mekah. Benar! Pembebasan kota Mekah adalah kemenangan. Namun, kami juga menganggap Bai‘atur Ridwan juga kemenangan yaitu pada saat perjanjian Hudaibiyah.” Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Belum pernah terjadi kemenangan dalam Islam sehebat perang Hudaibiyah. Pada umumnya dalam perang terjadi pertempuran, tetapi ketika perjanjian Hudaibiyah justru api peperangan padam. Manusia merasa aman untuk saling bertemu dan berbicara serta berdiskusi. Tidak ada orang yang berbicara tentang Islam kepada orang lain, melainkan ia pasti masuk Islam. Orang-orang yang masuk Islam dalam waktu dua tahun jauh lebih banyak dari sebelumnya.” Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Bukti dari kebenaran ucapan Az-Zuhri adalah bahwa Rasulullah ketika keluar menuju Hudaibiyah bersama 1.400 sahabat. Sedangkan menurut Jabir bin Abdullah, bahkan ketika beliau keluar pada saat pembebasan kota Mekah dua tahun kemudian bersama 10.000 sahabat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah berkata kepada kami pada saat Hudaibiyah, ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk muka bumi.’ Ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Seandainya aku dapat melihat hari ini, niscaya akan aku tunjukkan kepada kalian di mana letak pohon itu.” Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ummu Mubasyir menginformasikan padaku bahwa ia mendengar Nabi berkata kepada Hafshah, ‘Tidak akan masuk neraka—insya Allah—seorang pun dari orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan).’ Hafshah berkata, ‘Demikiankah ya Rasulullah?’ Lalu Nabi menegurnya. Kemudian Hafshah membaca ‘Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali akan melintasinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh Allah telah berfirman, ‘Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa dan Kami biarkan orang zalim berlutut di dalam neraka.’”   Walhamdulillah selesai.   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Direvisi pada Jumat sore, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi hudaibiyah jihad peperangan di masa Rasulullah sirah nabi

Faedah Sirah Nabi: Apa yang Terjadi pada Peristiwa Hudaibiyah dan Pelajaran di Dalamnya

Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy. Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy. Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[   Daftar Isi tutup 1. Latar Belakang Perang Hudaibiyah 2. Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah 3. PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.” Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy. Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh. Latar Belakang Perang Hudaibiyah Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu, لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭ ‬ۖ‭ ‬لَتَدْخُلُنَّ‭ ‬ٱلْمَسْجِدَ‭ ‬ٱلْحَرَامَ‭ ‬إِن‭ ‬شَآءَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬ءَامِنِينَ‭ ‬مُحَلِّقِينَ‭ ‬رُءُوسَكُمْ‭ ‬وَمُقَصِّرِينَ‭ ‬لَا‭ ‬تَخَافُونَ‭ ‬ۖ‭ ‬فَعَلِمَ‭ ‬مَا‭ ‬لَمْ‭ ‬تَعْلَمُوا۟‭ ‬فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27). Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah. Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab. Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.” Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan. Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali kepada kelompoknya, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya. Saat melintasi wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya. Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan qurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan qurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan. Namun, orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.” Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.” Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.” Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!” Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, tetapi Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka. Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian Muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan tawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan tawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan tawaf hingga kita tawaf bersamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum Muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat kecuali Jadd bin Qais. Setelah baiat selesai, muncul Utsman. Kaum Muslimin berkata kepadanya bahwa Utsman telah melakukan tawaf. Namun, Utsman membantah, “Sungguh buruk dugaan kalian. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya! Seandainya aku tinggal di sana selama satu tahun, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu. Orang-orang Quraisy memang mengajakku untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.” Kaum Muslimin pun berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling baik prasangkanya dibandingkan kita.” Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Mereka berkata, “Temuilah Muhammad dan ajaklah damai dengan syarat ia harus kembali dan meninggalkan kami tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab mengatakan bahwa ia bisa memasuki Mekah dengan paksa.” Suhail datang menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sungguh, ia telah memudahkan urusan kalian. Masyarakat Quraisy ingin berdamai dengan mengutus orang ini.” Saat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicara cukup lama untuk bernegosiasi hingga akhirnya tercapai kata sepakat. Ketika segalanya sudah final dan tinggal dituangkan dalam tulisan, Umar menemui Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar melanjutkan, “Bukankah kita umat Islam?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar kembali bertanya, “Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?” Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, jagalah logikamu! Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kita umat Islam?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah mereka kaum musyrik?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Lantas, mengapa kita merendahkan agama kita?” Nabi menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” Umar kemudian berkata, “Setelah peristiwa itu, aku sering berpuasa, bersedekah, shalat malam, dan memerdekakan budak, karena khawatir atas ucapanku dan berharap semoga menjadi kebaikan.” Baca juga: Kebaikan Menghapuskan Kejelekan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib dan berkata, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.” Suhail berkata, “Aku tidak mengenal kalimat ini. Tulislah, Bismika Allahumma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, Bismika Allahumma!” Ali pun menuliskannya. “Kemudian tulislah! Ini adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Seandainya aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah namamu dengan nama ayahmu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.” Mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan perjanjian ini. Tidak ada pencurian dan pengkhianatan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Muhammad, dipersilakan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, juga dipersilakan. Suku Khuza’ah berkata, “Kami bergabung dengan Muhammad.” Bani Bakr berkata, “Kami bergabung dengan Quraisy.” Salah satu syaratnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin diperbolehkan melakukan ibadah umrah tahun depan, dengan syarat tidak membawa senjata. Mereka diperbolehkan berada di Mekah selama tiga hari, dan baru bisa memasuki Mekah setelah kaum Quraisy mengosongkan kota itu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merampungkan isi perjanjian damai dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr muncul dalam keadaan terborgol, bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Suhail melihat anaknya, ia langsung menampar dan mencengkeramnya seraya berkata, “Ini adalah tuntutanku yang pertama padamu, Muhammad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar Suhail membiarkannya, tetapi ia menolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, يَا أَبَا جَنْدَلٍ، اصْبِرْ وَاحْتَسِبْ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ لَكَ وَلِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا، إِنَّا قَدْ عَقَدْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ صُلْحًا، وَأَعْطَيْنَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَأَعْطَوْنَا عَهْدَ اللهِ، وَإِنَّا لَا نَغْدِرُ بِهِمْ. “Bersabarlah wahai Abu Jandal, dan berharaplah kepada Allah. Sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang tertindas. Kami telah berjanji dengan kaum Quraisy dan tidak akan mengkhianati mereka.” Sikap ini menambah duka kaum Muslimin, mengingat mereka tidak bisa memasuki Mekah dan tidak dapat membantu Abu Jandal. Setelah Rasulullah selesai dengan perdamaian, beliau berkata, “Bangunlah! Sembelihlah hewan qurban dan bercukurlah!” Namun, tidak ada satu pun yang bangun. Rasulullah pun masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, jangan bicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih qurbanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar tanpa bicara kepada siapa pun hingga menyembelih seekor unta dan memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat, mereka pun bangkit menyembelih qurban dan saling mencukur. Hampir terjadi keributan karena suasana tegang. Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terhalang dari Melakukan Umrah atau Haji Padahal Sudah Berihram? Ada yang mencukur habis rambutnya dan ada yang hanya memendekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ؟ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ. “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat berkata, “Dan yang sekadar memendekkan rambutnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya, beliau menambahkan, “Dan juga kepada mereka yang sekadar memendekkan rambutnya.” (Fath Al-Baari, 3:562-564) Baca juga: Tahallul dengan Mencukur Botak  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurbannya berupa seekor unta yang di kepalanya terdapat kalung perak. Dahulunya unta ini milik Abu Jahal, tetapi kemudian menjadi ghanimah dalam perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini agar kaum musyrikin semakin merasa emosi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin para sahabat untuk kembali ke Madinah. Di tengah perjalanannya, Allah menurunkan surah Al-Fath, إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2) Lalu Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18) وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 19) وَعَدَكُمُ ٱللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِۦ وَكَفَّ أَيْدِىَ ٱلنَّاسِ عَنكُمْ وَلِتَكُونَ ءَايَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20) وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ ٱللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 21) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Bushair dari kalangan Quraisy dalam keadaan menyerah. Orang-orang Quraisy pun mengutus dua orang untuk mencarinya. Mereka berkata, “Ingat perjanjian antara kita.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan Abu Bushair kepada dua orang utusan Quraisy. Kemudian keduanya membawanya hingga sampai di Dzulhulaifah mereka istirahat sambil makan kurma. Abu Bushair berkata kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, “Demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu itu bagus.” Lalu ia menjawab, “Benar, demi Allah ini pedang bagus.” Abu Bushair berkata, “Coba perlihatkan kepadaku.” Ketika pedang itu ada di genggamannya, maka orang itu pun dibunuhnya. Sedangkan yang satunya lari hingga kembali ke Madinah lalu masuk ke dalam masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sepertinya orang ini tengah ketakutan.” Ketika ia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berkata, “Temanku telah dibunuhnya dan aku pun akan dibunuhnya.” Tiba-tiba datanglah Abu Bushair seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkanku. Engkau telah menyerahkan aku kepada mereka dan Allah menyelamatkan aku dari mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka! Ia telah menyalakan api peperangan seandainya ia punya seorang pengikut.” Mendengar ucapan tersebut, Abu Bushair menyadari bahwa beliau tetap akan mengembalikannya kepada orang-orang Quraisy, maka ia pun pergi menjauh hingga sampai di wilayah pantai. Sementara itu, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dan bergabung bersama Abu Bushair. Setiap pelarian Quraisy yang masuk Islam, pasti akan bergabung dengan Abu Bushair. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang ditakuti. Karena setiap kali mereka mendengar ada kafilah Quraisy menuju Syam, mereka pasti akan menghadangnya, merampas hartanya, dan membunuh orang-orangnya. Akhirnya orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas pertimbangan kebesaran Allah dan silaturahmi, beliau tidak perlu mengembalikan orang yang dalam pelarian, dan siapa saja yang datang kepadanya, ia akan aman, tidak dikejar-kejar lagi.   Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah Peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah adalah: Rencana Umrah: Rasulullah ﷺ bersama 1.400 sahabat berangkat ke Makkah dengan niat melaksanakan umrah. Mereka tidak membawa senjata perang, hanya membawa senjata ringan untuk perlindungan. Penghadangan oleh Quraisy: Quraisy melarang kaum Muslimin memasuki Makkah. Sebagai respons, kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyah, di pinggiran kota. Negosiasi Perdamaian: Setelah beberapa kali negosiasi, disepakati perjanjian antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu delegasi Quraisy adalah Suhail bin Amr. Isi Perjanjian: Di antara poin penting perjanjian, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah tanpa melaksanakan umrah, tetapi mereka diizinkan datang tahun berikutnya. Selain itu, gencatan senjata selama 10 tahun disepakati, serta kebebasan bagi suku-suku Arab memilih bergabung dengan Quraisy atau kaum Muslimin. Kemenangan Diplomasi: Meski tampak menguntungkan Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan diplomasi bagi kaum Muslimin karena memberi ruang bagi Islam untuk berkembang tanpa gangguan selama beberapa tahun.   PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Perang Hudaibiyah memang penuh dengan hikmah serta pelajaran berharga. Ibnul Qayyim menuliskan pelajaran tersebut dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad, sementara Muhammad bin Abdul Wahhab meringkasnya menjadi 139 poin. Berikut ini adalah sebagian ringkasannya: Pertama: Bisri bin Sufyan diutus sebagai intelijen, meskipun ia seorang musyrik. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dalam jihad, dibolehkan meminta bantuan kepada orang non-muslim yang dapat dipercaya, terutama jika kondisi mendesak. Misalnya, intel dari suku Khuza’ah—yang merupakan non-muslim—dimanfaatkan untuk informasi penting dari musuh. Ini dilakukan demi kemaslahatan dan upaya menggali informasi. Ibnu Hajar menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kebolehan meminta bantuan non-muslim dalam situasi darurat, selama tidak menunjukkan loyalitas atau kecintaan terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan, menurut beberapa ulama, strategi ini dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan musuh dan menyibukkan mereka. Namun, ini tidak berarti setiap saat boleh meminta bantuan non-muslim, melainkan hanya dalam kasus khusus dan kebutuhan mendesak. Kedua: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut ketika unta yang dikendarai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendadak mogok dan enggan melanjutkan perjalanan. Mereka pun berkata, “Qashwa (nama unta) mogok dan tidak mau berjalan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menegur mereka dengan berkata, “Qashwa tidak mogok karena kebiasaannya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa ini kita belajar untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu yang buruk, bahkan terhadap makhluk yang tidak dibebani kewajiban (bukan mukallaf). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan penjelasan terkait alasan unta tersebut berhenti. Allah-lah yang menghentikan unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Dia yang dahulu menghentikan pasukan bergajah Abrahah saat mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan tanda bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menahan kita, yang bisa jadi merupakan peringatan atau ujian dari Allah. Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk menghormati makhluk, baik yang mukallaf (manusia) maupun yang bukan, seperti hewan. Dengan tidak mengucapkan hal buruk pada hewan, kita terhindar dari ucapan yang mungkin berbalik pada diri kita sendiri. Catatan:  Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”). Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi, لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud, no. 4982 dan Ahmad 5:95. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Tips Ketika dalam Perjalanan Mudik Lebaran Ketiga: Shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang) yang dilakukan Rasulullah di Usfan menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun dalam kondisi yang penuh risiko. Rasulullah tetap mengutamakan shalat berjamaah, menunjukkan kepada umatnya bahwa shalat berjamaah adalah bagian penting dari syiar Islam. Walaupun dalam kondisi perang, beliau tetap memimpin shalat dengan mengatur agar sebagian muslim menjaga shalat berjamaah di masjid. Keempat: Abu Bakar mengatakan kepada Urwah, “Isaplah kemaluan Latta!” Hal ini dinyatakan sebagai bentuk tegas untuk menolak ajakan Urwah yang tidak pantas. Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam konteks ini, ucapan Abu Bakar bukanlah ucapan yang tercela, namun merupakan respons tegas terhadap ancaman atau celaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyatakan bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan kotor dalam situasi tersebut, melainkan sebuah bentuk teguran Kelima: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tindakan Mughirah yang berdiri di dekat Nabi sambil membawa pedang mengajarkan kebolehan berdiri di hadapan pemimpin demi menjaga keamanan, terutama dari ancaman musuh. Namun, hal ini dilakukan bukan untuk mengagungkan atau pamer, melainkan untuk tujuan yang jelas dan dibutuhkan. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menambahkan bahwa berdiri di hadapan seseorang hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, seperti dalam situasi darurat yang mengharuskan kehati-hatian terhadap potensi serangan. Catatan: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Baca juga: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya Keenam: Cintanya sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatannya yang sangat luar biasa. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Para sahabat belum pernah bersikap berlebihan dalam menghormati Rasulullah. Mereka selalu menjaga keselamatan beliau, membelanya dengan perkataan dan tindakan terhadap siapa pun yang bersikap kasar padanya, serta mencari berkah dari setiap hal yang dilakukan oleh Nabi.” (Fath Al-Bari, 5:342) Ketujuh: Dalam proses negosiasi, para sahabat melakukan hal yang tidak biasanya mereka lakukan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang ludah, mereka mengambilnya lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Padahal hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada utusan orang kafir tentang sikap para sahabat terhadap Nabinya. Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan amarah musuh dan memperlihatkan penghormatan sahabat terhadap Rasulullah. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:261) Kedelapan: Pentingnya teladan dalam perilaku serta pengaruhnya yang lebih besar daripada ucapan. Urwah yang sejak awal berkata kepada Rasulullah tentang para sahabat, “Aku melihat orang-orang yang seandainya mereka mengetahui besok tentang kamu (mereka akan tinggalkan kamu).” Ternyata dugaan Urwah meleset ketika ia duduk bersama sahabat dan melihat bagaimana perlakuan sahabat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatan serta pengagungan mereka kepada beliau. Sehingga ketika ia kembali kepada orang-orang Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Aku pernah bertemu Kaisar, Raja Romawi, dan juga Najasyi dalam istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang dimuliakan seperti Muhammad di tengah sahabatnya. Sungguh aku melihat mereka tidak akan pernah menyerahkannya untuk apa pun selamanya! Tinjau ulang kembali pendapat kalian!” Orang akan merasa aneh bagaimana sampai keluar kata-kata seperti itu hanya dari satu orang. Namun, ketika masalahnya sudah jelas, maka ia akan mengetahui betapa pengaruh perilaku dan sikap pada seseorang akan lebih besar ketimbang kalimat yang panjang. Kesembilan: Ketika Utsman datang terlambat, sebagian kaum muslimin menduga bahwa ia sedang melakukan thawaf di Kabah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangggah pendapat mereka tersebut dan berkata, “Aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu, karena kita masih tidak dibolehkan masuk ke Baitul Haram.” Ternyata dugaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar. Begitulah seharusnya seorang muslim untuk selalu berbaik sangka kepada saudaranya, bukan berburuk sangka. Allah berfirman, لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.” (QS. An-Nuur: 12) Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kamu berburuk sangka dari perkataan yang keluar dari seorang muslim, padahal kamu dapat berbaik sangka kepadanya.” (Sumber: Ibnu Qayyim, Taarikh Umar bin Al Khaththab, Hal. 203) Kesepuluh: Dalam situasi yang genting, biasanya musuh akan berusaha untuk menebarkan fitnah dan isu. Oleh karena itu, seorang muslim harus waspada terhadap berbagai isu. Jangan mudah menerimanya dan membenarkannya, atau ikut-ikutan dalam menyebarkannya dan terpengaruh olehnya. Hendaknya ia memastikan lebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menerimanya. Kesebelas: Menyikapi isu dengan benar merupakan suatu yang sangat penting. Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi isu dengan tindakan yang tidak diperhitungkan musuh. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam. Namun, kenyataannya justru sebaliknya yaitu terjadinya bai’atur ridwan.  Bai’atul Ridwan terjadi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk menunaikan umrah ke Mekah, tetapi dihalangi oleh kaum Quraisy di Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap desas-desus bahwa Utsman bin Affan, yang diutus untuk bernegosiasi dengan Quraisy, telah dibunuh. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk berbai’at (bersumpah setia) di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji untuk tetap mendukung Nabi dan siap bertarung jika diperlukan. Bai’at ini disebut Bai’atul Ridwan karena Allah menyatakan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang berpartisipasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Al-Fath: 18). Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah Bai’atul Ridwan. Setelah adanya ketegangan antara kaum Muslimin dan Quraisy, negosiasi akhirnya berhasil dicapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan selama 10 tahun, dan kaum Muslim tidak diperbolehkan memasuki Mekah tahun itu, tetapi mereka diperbolehkan kembali tahun berikutnya untuk menunaikan umrah. Perjanjian ini juga berisi beberapa syarat lain, seperti pengembalian orang-orang yang melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan adanya kebebasan bagi berbagai suku untuk bergabung dengan pihak manapun. Perbedaan utama antara keduanya adalah: Bai’atul Ridwan adalah sumpah setia dari para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang terjadi sebelum perjanjian tersebut. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah ketegangan dan negosiasi antara umat Islam dan Quraisy. Kedua belas: Ketika Suhail bin Amr datang lalu Rasulullah melihatnya dan berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian.” Hal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap optimis. Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, meskipun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan: “Seandainya aku melakukan ini atau itu.” Namun, katakanlah: “Ini sudah menjadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sebab, perkataan “seandainya” dapat membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim, no. 2664) Baca juga: Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat Ketiga belas: Sikap beberapa sahabat yang belum bisa menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran tentang pentingnya menomorduakan akal jika terdapat teks-teks syariat yang telah menerangkan dengan jelas. Kita mendukung ucapan Abu Bakar kepada Umar, “Berpegang teguhlah dengan keputusannya sesungguhnya dia itu utusan Allah.” Bukan sebaliknya, dengan menghantam teks syariat dengan akal dan pendapat kita. Umar berkata, “Wahai manusia, abaikanlah akal di hadapan agama. Aku pernah menyanggah pendapat Rasulullah dengan ijtihad akalku, demi Allah tidak menemui kebenaran, yaitu pada peristiwa Abu Jandal (perjanjian Hudaibiyah).” Kita harus hati-hati bersikap mendahulukan syariat dengan akal kita. Bahkan kita harus mengabaikan akal dan mendahulukan teks Al Qur’an dan As-Sunnah, tunduk dan patuh kepada syariat dan tidak berpendapat dengan akal kita. Pada hakikatnya, syariat itu luas dan sempurna sedangkan akal kitalah yang masih terbatas. Kadang kita menduga sebaliknya. Berikut adalah beberapa contoh dalam syariat yang menunjukkan pentingnya mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal: Keimanan kepada Hal Gaib Allah memerintahkan kita untuk beriman kepada hal-hal yang gaib, seperti adanya malaikat, hari akhir, dan surga serta neraka. Meskipun akal mungkin tidak dapat menjangkau atau membuktikan keberadaan hal-hal tersebut, Al-Qur’an dan hadits mengajarkan kita untuk mempercayainya. Hukum tentang Riba Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang riba (bunga) meskipun akal mungkin berpendapat bahwa riba menguntungkan atau mempercepat perputaran ekonomi. Syariat mendahulukan larangan ini karena riba dapat menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam jangka panjang. Tata Cara Shalat Cara melaksanakan shalat, mulai dari berdiri, rukuk, sujud, hingga duduk, diatur secara rinci dalam hadits. Meskipun akal mungkin menganggap cara lain lebih praktis, umat Islam mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi sebagai bentuk ibadah yang diterima Allah. Pembagian Waris Dalam Al-Qur’an, pembagian harta warisan diatur secara rinci dan tetap, meskipun mungkin akal menilai pembagian tertentu lebih adil dalam konteks tertentu. Namun, umat Islam tetap mendahulukan aturan pembagian waris sesuai yang diajarkan dalam syariat. Pelarangan Daging Babi Al-Qur’an dengan jelas melarang daging babi, meskipun secara akal beberapa orang mungkin berpendapat bahwa daging ini bisa bergizi. Syariat mengajarkan untuk menghindari babi karena ini adalah perintah Allah yang tidak perlu diperdebatkan dengan akal. Kewajiban Berhijab bagi Wanita Al-Qur’an memerintahkan wanita untuk menutup aurat, dan As-Sunnah menjelaskan tata cara berhijab yang benar. Meski akal manusia terkadang mempertanyakan relevansi atau kebutuhan berhijab dalam kehidupan modern, syariat mengajarkan untuk mendahulukan perintah Allah atas pertimbangan akal. Keempat belas: Ucapan Umar Radhiyallahu Anhu, “Aku harus tetap berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak untuk menebus pada saat itu. Aku mengharap agar itu menjadi amal kebaikan.” Berdasarkan hal ini, semakin jelaslah karunia Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Allah berfirman, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114). Kelima belas: Penyerahan kembali Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada kaum musyrikin ketika ia datang untuk bergabung kepada kaum muslimin karena terikat dengan perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan dua pelajaran:  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat menetapi janji sekalipun terasa sulit untuk dilakukan.  • Pentingnya seorang muslim menepati janji, baik dalam keadaan mudah atau sulit, baik demi kepentingan dirinya maupun bagi orang lain. Sebab, Allah memuji kaum mukminin yang menepati janji. Firman-Nya, الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ “(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’du: 20). Keenam belas: Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk memotong rambut dan menyembelih qurban, mereka tidak langsung melaksanakannya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dan menemui istrinya, Ummu Salamah. Lalu istrinya menyarankan, “Temui kembali mereka, panggil tukang cukur untuk mencukurmu dan sembelihlah qurbanmu.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan saran tersebut, para sahabat pun bergegas untuk memotong rambut mereka dan menyembelih kurbannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya keteladanan yang baik dan hal tersebut dapat memberikan efek pengaruh yang kuat dibandingkan sekadar ucapan. Seorang ayah di rumahnya adalah teladan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian terpengaruh oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi pengaruh kuat terhadap murid-muridnya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah, seorang da’i harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai modal dakwah dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Ketujuh belas: Metode motivasi dalam berdakwah. Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan mencukur plontos daripada mencukur pendek saja, dengan mengulang-ulang doa agar mendapatkan curahan rahmat bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali. Sementara yang memendekkan saja hanya mendapatkan satu kali dari doa beliau. Ini artinya anjuran untuk mencukur plontos bagi orang yang tengah berhaji saat bertahallul. Kedelapan belas: Rasulullah mengiringi hewan kurbannya berupa unta yang dahulunya milik Abu Jahal karena di hidungnya terdapat anting dari perak adalah untuk membangkitkan amarah kaum musyrikin. Ibnu Qayyim berkata, “Dari sini terdapat suatu pelajaran yang dapat dipetik yaitu dianjurkannya untuk menimbulkan amarah musuh Allah. Karena Nabi mengiringi unta kurbannya yang dahulunya milik Abu Jahal dengan tanda di hidungnya sebagai tanda pembangkitan amarah kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sifat Nabi dan sahabat, مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “…dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath: 29). Kesembilan belas: Kita mendapatkan hikmah di balik suatu persoalan. Bisa jadi seorang muslim tidak menyukai sesuatu yang ternyata membawa kebaikan. Sebagian sahabat tidak menyukai perjanjian Hudaibiyah dan persyaratan-persyaratan yang ada di dalamnya. Ternyata justru membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata tentang kemenangan ini, “Secara zhahir memang merendahkan kaum muslimin, tetapi di balik itu adalah sebuah kemuliaan bagi mereka.” Untuk itulah, seorang muslim tidak boleh salah dalam menilai sesuatu yang terlihat secara lahiriah saja. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar selalu diberikan hidayah dengan ketentuan Allah. Kedua puluh: Berdasarkan perjanjian ini, ada beberapa hasil positif yang dapat kami kemukakan sebagiannya secara singkat:  • Hilangnya kewibawaan Quraisy. Hal ini ditandai dengan bergabungnya suku Khuza’ah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu singkat tanpa rasa takut kepada Quraisy.  • Pengakuan Quraisy terhadap eksistensi kaum muslimin. Semenjak munculnya dakwah Islam, Quraisy menganggap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hanyalah serpihan-serpihan yang tidak bermakna dan bereksistensi. Namun, pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah, mereka mengakui eksistensinya, duduk bersama sebagai lawan.  • Berbaurnya kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Sehingga dapat memberikan pengaruh positif, memperdengarkan Islam, dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata, “Peristiwa Hudaibiyah adalah sebagai mukadimah kemenangan bagi kaum muslimin.” Kedua puluh satu: Setelah perjanjian damai Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memiliki musuh bebuyutan sehingga beliau dapat melakukan aktivitas lainnya seperti menyerang pusat kekuatan Yahudi di Madinah dalam waktu singkat setelah Hudaibiyah dan dilanjutkan dengan penyerangan Khaibar serta merebutnya. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menyurati para raja dan penguasa dunia saat itu. Mengirim utusan untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia. Kedua puluh dua: Tentang keutamaan Hudaibiyah. Peristiwa ini perlu dibandingkan dengan perang Badar dalam hal keutamaannya, mengingat dalam peristiwa tersebut diperolehnya kemuliaan dan kemenangan bagi Islam serta kehinaan, kekalahan bagi orang-orang kafir dan munafik. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamai perang Badar atau mendekatinya dalam hal keutamaan, kecuali peristiwa Hudaibiyah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Sedangkan kaum mutakallimin (teolog) dari Kelompok Asy‘ariyah berpendapat adalah perang Uhud lebih mulia daripada perang Hudaibiyah. Mereka berpendapat perang Uhud lebih mulia setelah Badar. Namun, menurut kami, pendapat pertama lebih baik. Wallahu a‘lam. Dari Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian menganggap bahwa kemenangan itu adalah pembebasan kota Mekah. Benar! Pembebasan kota Mekah adalah kemenangan. Namun, kami juga menganggap Bai‘atur Ridwan juga kemenangan yaitu pada saat perjanjian Hudaibiyah.” Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Belum pernah terjadi kemenangan dalam Islam sehebat perang Hudaibiyah. Pada umumnya dalam perang terjadi pertempuran, tetapi ketika perjanjian Hudaibiyah justru api peperangan padam. Manusia merasa aman untuk saling bertemu dan berbicara serta berdiskusi. Tidak ada orang yang berbicara tentang Islam kepada orang lain, melainkan ia pasti masuk Islam. Orang-orang yang masuk Islam dalam waktu dua tahun jauh lebih banyak dari sebelumnya.” Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Bukti dari kebenaran ucapan Az-Zuhri adalah bahwa Rasulullah ketika keluar menuju Hudaibiyah bersama 1.400 sahabat. Sedangkan menurut Jabir bin Abdullah, bahkan ketika beliau keluar pada saat pembebasan kota Mekah dua tahun kemudian bersama 10.000 sahabat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah berkata kepada kami pada saat Hudaibiyah, ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk muka bumi.’ Ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Seandainya aku dapat melihat hari ini, niscaya akan aku tunjukkan kepada kalian di mana letak pohon itu.” Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ummu Mubasyir menginformasikan padaku bahwa ia mendengar Nabi berkata kepada Hafshah, ‘Tidak akan masuk neraka—insya Allah—seorang pun dari orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan).’ Hafshah berkata, ‘Demikiankah ya Rasulullah?’ Lalu Nabi menegurnya. Kemudian Hafshah membaca ‘Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali akan melintasinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh Allah telah berfirman, ‘Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa dan Kami biarkan orang zalim berlutut di dalam neraka.’”   Walhamdulillah selesai.   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Direvisi pada Jumat sore, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi hudaibiyah jihad peperangan di masa Rasulullah sirah nabi
Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy. Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy. Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[   Daftar Isi tutup 1. Latar Belakang Perang Hudaibiyah 2. Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah 3. PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.” Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy. Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh. Latar Belakang Perang Hudaibiyah Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu, لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭ ‬ۖ‭ ‬لَتَدْخُلُنَّ‭ ‬ٱلْمَسْجِدَ‭ ‬ٱلْحَرَامَ‭ ‬إِن‭ ‬شَآءَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬ءَامِنِينَ‭ ‬مُحَلِّقِينَ‭ ‬رُءُوسَكُمْ‭ ‬وَمُقَصِّرِينَ‭ ‬لَا‭ ‬تَخَافُونَ‭ ‬ۖ‭ ‬فَعَلِمَ‭ ‬مَا‭ ‬لَمْ‭ ‬تَعْلَمُوا۟‭ ‬فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27). Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah. Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab. Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.” Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan. Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali kepada kelompoknya, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya. Saat melintasi wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya. Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan qurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan qurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan. Namun, orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.” Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.” Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.” Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!” Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, tetapi Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka. Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian Muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan tawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan tawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan tawaf hingga kita tawaf bersamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum Muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat kecuali Jadd bin Qais. Setelah baiat selesai, muncul Utsman. Kaum Muslimin berkata kepadanya bahwa Utsman telah melakukan tawaf. Namun, Utsman membantah, “Sungguh buruk dugaan kalian. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya! Seandainya aku tinggal di sana selama satu tahun, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu. Orang-orang Quraisy memang mengajakku untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.” Kaum Muslimin pun berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling baik prasangkanya dibandingkan kita.” Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Mereka berkata, “Temuilah Muhammad dan ajaklah damai dengan syarat ia harus kembali dan meninggalkan kami tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab mengatakan bahwa ia bisa memasuki Mekah dengan paksa.” Suhail datang menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sungguh, ia telah memudahkan urusan kalian. Masyarakat Quraisy ingin berdamai dengan mengutus orang ini.” Saat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicara cukup lama untuk bernegosiasi hingga akhirnya tercapai kata sepakat. Ketika segalanya sudah final dan tinggal dituangkan dalam tulisan, Umar menemui Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar melanjutkan, “Bukankah kita umat Islam?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar kembali bertanya, “Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?” Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, jagalah logikamu! Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kita umat Islam?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah mereka kaum musyrik?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Lantas, mengapa kita merendahkan agama kita?” Nabi menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” Umar kemudian berkata, “Setelah peristiwa itu, aku sering berpuasa, bersedekah, shalat malam, dan memerdekakan budak, karena khawatir atas ucapanku dan berharap semoga menjadi kebaikan.” Baca juga: Kebaikan Menghapuskan Kejelekan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib dan berkata, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.” Suhail berkata, “Aku tidak mengenal kalimat ini. Tulislah, Bismika Allahumma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, Bismika Allahumma!” Ali pun menuliskannya. “Kemudian tulislah! Ini adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Seandainya aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah namamu dengan nama ayahmu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.” Mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan perjanjian ini. Tidak ada pencurian dan pengkhianatan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Muhammad, dipersilakan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, juga dipersilakan. Suku Khuza’ah berkata, “Kami bergabung dengan Muhammad.” Bani Bakr berkata, “Kami bergabung dengan Quraisy.” Salah satu syaratnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin diperbolehkan melakukan ibadah umrah tahun depan, dengan syarat tidak membawa senjata. Mereka diperbolehkan berada di Mekah selama tiga hari, dan baru bisa memasuki Mekah setelah kaum Quraisy mengosongkan kota itu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merampungkan isi perjanjian damai dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr muncul dalam keadaan terborgol, bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Suhail melihat anaknya, ia langsung menampar dan mencengkeramnya seraya berkata, “Ini adalah tuntutanku yang pertama padamu, Muhammad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar Suhail membiarkannya, tetapi ia menolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, يَا أَبَا جَنْدَلٍ، اصْبِرْ وَاحْتَسِبْ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ لَكَ وَلِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا، إِنَّا قَدْ عَقَدْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ صُلْحًا، وَأَعْطَيْنَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَأَعْطَوْنَا عَهْدَ اللهِ، وَإِنَّا لَا نَغْدِرُ بِهِمْ. “Bersabarlah wahai Abu Jandal, dan berharaplah kepada Allah. Sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang tertindas. Kami telah berjanji dengan kaum Quraisy dan tidak akan mengkhianati mereka.” Sikap ini menambah duka kaum Muslimin, mengingat mereka tidak bisa memasuki Mekah dan tidak dapat membantu Abu Jandal. Setelah Rasulullah selesai dengan perdamaian, beliau berkata, “Bangunlah! Sembelihlah hewan qurban dan bercukurlah!” Namun, tidak ada satu pun yang bangun. Rasulullah pun masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, jangan bicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih qurbanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar tanpa bicara kepada siapa pun hingga menyembelih seekor unta dan memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat, mereka pun bangkit menyembelih qurban dan saling mencukur. Hampir terjadi keributan karena suasana tegang. Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terhalang dari Melakukan Umrah atau Haji Padahal Sudah Berihram? Ada yang mencukur habis rambutnya dan ada yang hanya memendekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ؟ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ. “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat berkata, “Dan yang sekadar memendekkan rambutnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya, beliau menambahkan, “Dan juga kepada mereka yang sekadar memendekkan rambutnya.” (Fath Al-Baari, 3:562-564) Baca juga: Tahallul dengan Mencukur Botak  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurbannya berupa seekor unta yang di kepalanya terdapat kalung perak. Dahulunya unta ini milik Abu Jahal, tetapi kemudian menjadi ghanimah dalam perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini agar kaum musyrikin semakin merasa emosi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin para sahabat untuk kembali ke Madinah. Di tengah perjalanannya, Allah menurunkan surah Al-Fath, إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2) Lalu Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18) وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 19) وَعَدَكُمُ ٱللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِۦ وَكَفَّ أَيْدِىَ ٱلنَّاسِ عَنكُمْ وَلِتَكُونَ ءَايَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20) وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ ٱللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 21) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Bushair dari kalangan Quraisy dalam keadaan menyerah. Orang-orang Quraisy pun mengutus dua orang untuk mencarinya. Mereka berkata, “Ingat perjanjian antara kita.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan Abu Bushair kepada dua orang utusan Quraisy. Kemudian keduanya membawanya hingga sampai di Dzulhulaifah mereka istirahat sambil makan kurma. Abu Bushair berkata kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, “Demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu itu bagus.” Lalu ia menjawab, “Benar, demi Allah ini pedang bagus.” Abu Bushair berkata, “Coba perlihatkan kepadaku.” Ketika pedang itu ada di genggamannya, maka orang itu pun dibunuhnya. Sedangkan yang satunya lari hingga kembali ke Madinah lalu masuk ke dalam masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sepertinya orang ini tengah ketakutan.” Ketika ia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berkata, “Temanku telah dibunuhnya dan aku pun akan dibunuhnya.” Tiba-tiba datanglah Abu Bushair seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkanku. Engkau telah menyerahkan aku kepada mereka dan Allah menyelamatkan aku dari mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka! Ia telah menyalakan api peperangan seandainya ia punya seorang pengikut.” Mendengar ucapan tersebut, Abu Bushair menyadari bahwa beliau tetap akan mengembalikannya kepada orang-orang Quraisy, maka ia pun pergi menjauh hingga sampai di wilayah pantai. Sementara itu, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dan bergabung bersama Abu Bushair. Setiap pelarian Quraisy yang masuk Islam, pasti akan bergabung dengan Abu Bushair. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang ditakuti. Karena setiap kali mereka mendengar ada kafilah Quraisy menuju Syam, mereka pasti akan menghadangnya, merampas hartanya, dan membunuh orang-orangnya. Akhirnya orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas pertimbangan kebesaran Allah dan silaturahmi, beliau tidak perlu mengembalikan orang yang dalam pelarian, dan siapa saja yang datang kepadanya, ia akan aman, tidak dikejar-kejar lagi.   Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah Peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah adalah: Rencana Umrah: Rasulullah ﷺ bersama 1.400 sahabat berangkat ke Makkah dengan niat melaksanakan umrah. Mereka tidak membawa senjata perang, hanya membawa senjata ringan untuk perlindungan. Penghadangan oleh Quraisy: Quraisy melarang kaum Muslimin memasuki Makkah. Sebagai respons, kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyah, di pinggiran kota. Negosiasi Perdamaian: Setelah beberapa kali negosiasi, disepakati perjanjian antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu delegasi Quraisy adalah Suhail bin Amr. Isi Perjanjian: Di antara poin penting perjanjian, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah tanpa melaksanakan umrah, tetapi mereka diizinkan datang tahun berikutnya. Selain itu, gencatan senjata selama 10 tahun disepakati, serta kebebasan bagi suku-suku Arab memilih bergabung dengan Quraisy atau kaum Muslimin. Kemenangan Diplomasi: Meski tampak menguntungkan Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan diplomasi bagi kaum Muslimin karena memberi ruang bagi Islam untuk berkembang tanpa gangguan selama beberapa tahun.   PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Perang Hudaibiyah memang penuh dengan hikmah serta pelajaran berharga. Ibnul Qayyim menuliskan pelajaran tersebut dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad, sementara Muhammad bin Abdul Wahhab meringkasnya menjadi 139 poin. Berikut ini adalah sebagian ringkasannya: Pertama: Bisri bin Sufyan diutus sebagai intelijen, meskipun ia seorang musyrik. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dalam jihad, dibolehkan meminta bantuan kepada orang non-muslim yang dapat dipercaya, terutama jika kondisi mendesak. Misalnya, intel dari suku Khuza’ah—yang merupakan non-muslim—dimanfaatkan untuk informasi penting dari musuh. Ini dilakukan demi kemaslahatan dan upaya menggali informasi. Ibnu Hajar menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kebolehan meminta bantuan non-muslim dalam situasi darurat, selama tidak menunjukkan loyalitas atau kecintaan terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan, menurut beberapa ulama, strategi ini dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan musuh dan menyibukkan mereka. Namun, ini tidak berarti setiap saat boleh meminta bantuan non-muslim, melainkan hanya dalam kasus khusus dan kebutuhan mendesak. Kedua: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut ketika unta yang dikendarai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendadak mogok dan enggan melanjutkan perjalanan. Mereka pun berkata, “Qashwa (nama unta) mogok dan tidak mau berjalan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menegur mereka dengan berkata, “Qashwa tidak mogok karena kebiasaannya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa ini kita belajar untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu yang buruk, bahkan terhadap makhluk yang tidak dibebani kewajiban (bukan mukallaf). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan penjelasan terkait alasan unta tersebut berhenti. Allah-lah yang menghentikan unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Dia yang dahulu menghentikan pasukan bergajah Abrahah saat mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan tanda bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menahan kita, yang bisa jadi merupakan peringatan atau ujian dari Allah. Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk menghormati makhluk, baik yang mukallaf (manusia) maupun yang bukan, seperti hewan. Dengan tidak mengucapkan hal buruk pada hewan, kita terhindar dari ucapan yang mungkin berbalik pada diri kita sendiri. Catatan:  Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”). Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi, لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud, no. 4982 dan Ahmad 5:95. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Tips Ketika dalam Perjalanan Mudik Lebaran Ketiga: Shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang) yang dilakukan Rasulullah di Usfan menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun dalam kondisi yang penuh risiko. Rasulullah tetap mengutamakan shalat berjamaah, menunjukkan kepada umatnya bahwa shalat berjamaah adalah bagian penting dari syiar Islam. Walaupun dalam kondisi perang, beliau tetap memimpin shalat dengan mengatur agar sebagian muslim menjaga shalat berjamaah di masjid. Keempat: Abu Bakar mengatakan kepada Urwah, “Isaplah kemaluan Latta!” Hal ini dinyatakan sebagai bentuk tegas untuk menolak ajakan Urwah yang tidak pantas. Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam konteks ini, ucapan Abu Bakar bukanlah ucapan yang tercela, namun merupakan respons tegas terhadap ancaman atau celaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyatakan bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan kotor dalam situasi tersebut, melainkan sebuah bentuk teguran Kelima: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tindakan Mughirah yang berdiri di dekat Nabi sambil membawa pedang mengajarkan kebolehan berdiri di hadapan pemimpin demi menjaga keamanan, terutama dari ancaman musuh. Namun, hal ini dilakukan bukan untuk mengagungkan atau pamer, melainkan untuk tujuan yang jelas dan dibutuhkan. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menambahkan bahwa berdiri di hadapan seseorang hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, seperti dalam situasi darurat yang mengharuskan kehati-hatian terhadap potensi serangan. Catatan: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Baca juga: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya Keenam: Cintanya sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatannya yang sangat luar biasa. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Para sahabat belum pernah bersikap berlebihan dalam menghormati Rasulullah. Mereka selalu menjaga keselamatan beliau, membelanya dengan perkataan dan tindakan terhadap siapa pun yang bersikap kasar padanya, serta mencari berkah dari setiap hal yang dilakukan oleh Nabi.” (Fath Al-Bari, 5:342) Ketujuh: Dalam proses negosiasi, para sahabat melakukan hal yang tidak biasanya mereka lakukan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang ludah, mereka mengambilnya lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Padahal hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada utusan orang kafir tentang sikap para sahabat terhadap Nabinya. Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan amarah musuh dan memperlihatkan penghormatan sahabat terhadap Rasulullah. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:261) Kedelapan: Pentingnya teladan dalam perilaku serta pengaruhnya yang lebih besar daripada ucapan. Urwah yang sejak awal berkata kepada Rasulullah tentang para sahabat, “Aku melihat orang-orang yang seandainya mereka mengetahui besok tentang kamu (mereka akan tinggalkan kamu).” Ternyata dugaan Urwah meleset ketika ia duduk bersama sahabat dan melihat bagaimana perlakuan sahabat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatan serta pengagungan mereka kepada beliau. Sehingga ketika ia kembali kepada orang-orang Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Aku pernah bertemu Kaisar, Raja Romawi, dan juga Najasyi dalam istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang dimuliakan seperti Muhammad di tengah sahabatnya. Sungguh aku melihat mereka tidak akan pernah menyerahkannya untuk apa pun selamanya! Tinjau ulang kembali pendapat kalian!” Orang akan merasa aneh bagaimana sampai keluar kata-kata seperti itu hanya dari satu orang. Namun, ketika masalahnya sudah jelas, maka ia akan mengetahui betapa pengaruh perilaku dan sikap pada seseorang akan lebih besar ketimbang kalimat yang panjang. Kesembilan: Ketika Utsman datang terlambat, sebagian kaum muslimin menduga bahwa ia sedang melakukan thawaf di Kabah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangggah pendapat mereka tersebut dan berkata, “Aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu, karena kita masih tidak dibolehkan masuk ke Baitul Haram.” Ternyata dugaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar. Begitulah seharusnya seorang muslim untuk selalu berbaik sangka kepada saudaranya, bukan berburuk sangka. Allah berfirman, لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.” (QS. An-Nuur: 12) Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kamu berburuk sangka dari perkataan yang keluar dari seorang muslim, padahal kamu dapat berbaik sangka kepadanya.” (Sumber: Ibnu Qayyim, Taarikh Umar bin Al Khaththab, Hal. 203) Kesepuluh: Dalam situasi yang genting, biasanya musuh akan berusaha untuk menebarkan fitnah dan isu. Oleh karena itu, seorang muslim harus waspada terhadap berbagai isu. Jangan mudah menerimanya dan membenarkannya, atau ikut-ikutan dalam menyebarkannya dan terpengaruh olehnya. Hendaknya ia memastikan lebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menerimanya. Kesebelas: Menyikapi isu dengan benar merupakan suatu yang sangat penting. Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi isu dengan tindakan yang tidak diperhitungkan musuh. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam. Namun, kenyataannya justru sebaliknya yaitu terjadinya bai’atur ridwan.  Bai’atul Ridwan terjadi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk menunaikan umrah ke Mekah, tetapi dihalangi oleh kaum Quraisy di Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap desas-desus bahwa Utsman bin Affan, yang diutus untuk bernegosiasi dengan Quraisy, telah dibunuh. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk berbai’at (bersumpah setia) di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji untuk tetap mendukung Nabi dan siap bertarung jika diperlukan. Bai’at ini disebut Bai’atul Ridwan karena Allah menyatakan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang berpartisipasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Al-Fath: 18). Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah Bai’atul Ridwan. Setelah adanya ketegangan antara kaum Muslimin dan Quraisy, negosiasi akhirnya berhasil dicapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan selama 10 tahun, dan kaum Muslim tidak diperbolehkan memasuki Mekah tahun itu, tetapi mereka diperbolehkan kembali tahun berikutnya untuk menunaikan umrah. Perjanjian ini juga berisi beberapa syarat lain, seperti pengembalian orang-orang yang melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan adanya kebebasan bagi berbagai suku untuk bergabung dengan pihak manapun. Perbedaan utama antara keduanya adalah: Bai’atul Ridwan adalah sumpah setia dari para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang terjadi sebelum perjanjian tersebut. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah ketegangan dan negosiasi antara umat Islam dan Quraisy. Kedua belas: Ketika Suhail bin Amr datang lalu Rasulullah melihatnya dan berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian.” Hal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap optimis. Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, meskipun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan: “Seandainya aku melakukan ini atau itu.” Namun, katakanlah: “Ini sudah menjadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sebab, perkataan “seandainya” dapat membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim, no. 2664) Baca juga: Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat Ketiga belas: Sikap beberapa sahabat yang belum bisa menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran tentang pentingnya menomorduakan akal jika terdapat teks-teks syariat yang telah menerangkan dengan jelas. Kita mendukung ucapan Abu Bakar kepada Umar, “Berpegang teguhlah dengan keputusannya sesungguhnya dia itu utusan Allah.” Bukan sebaliknya, dengan menghantam teks syariat dengan akal dan pendapat kita. Umar berkata, “Wahai manusia, abaikanlah akal di hadapan agama. Aku pernah menyanggah pendapat Rasulullah dengan ijtihad akalku, demi Allah tidak menemui kebenaran, yaitu pada peristiwa Abu Jandal (perjanjian Hudaibiyah).” Kita harus hati-hati bersikap mendahulukan syariat dengan akal kita. Bahkan kita harus mengabaikan akal dan mendahulukan teks Al Qur’an dan As-Sunnah, tunduk dan patuh kepada syariat dan tidak berpendapat dengan akal kita. Pada hakikatnya, syariat itu luas dan sempurna sedangkan akal kitalah yang masih terbatas. Kadang kita menduga sebaliknya. Berikut adalah beberapa contoh dalam syariat yang menunjukkan pentingnya mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal: Keimanan kepada Hal Gaib Allah memerintahkan kita untuk beriman kepada hal-hal yang gaib, seperti adanya malaikat, hari akhir, dan surga serta neraka. Meskipun akal mungkin tidak dapat menjangkau atau membuktikan keberadaan hal-hal tersebut, Al-Qur’an dan hadits mengajarkan kita untuk mempercayainya. Hukum tentang Riba Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang riba (bunga) meskipun akal mungkin berpendapat bahwa riba menguntungkan atau mempercepat perputaran ekonomi. Syariat mendahulukan larangan ini karena riba dapat menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam jangka panjang. Tata Cara Shalat Cara melaksanakan shalat, mulai dari berdiri, rukuk, sujud, hingga duduk, diatur secara rinci dalam hadits. Meskipun akal mungkin menganggap cara lain lebih praktis, umat Islam mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi sebagai bentuk ibadah yang diterima Allah. Pembagian Waris Dalam Al-Qur’an, pembagian harta warisan diatur secara rinci dan tetap, meskipun mungkin akal menilai pembagian tertentu lebih adil dalam konteks tertentu. Namun, umat Islam tetap mendahulukan aturan pembagian waris sesuai yang diajarkan dalam syariat. Pelarangan Daging Babi Al-Qur’an dengan jelas melarang daging babi, meskipun secara akal beberapa orang mungkin berpendapat bahwa daging ini bisa bergizi. Syariat mengajarkan untuk menghindari babi karena ini adalah perintah Allah yang tidak perlu diperdebatkan dengan akal. Kewajiban Berhijab bagi Wanita Al-Qur’an memerintahkan wanita untuk menutup aurat, dan As-Sunnah menjelaskan tata cara berhijab yang benar. Meski akal manusia terkadang mempertanyakan relevansi atau kebutuhan berhijab dalam kehidupan modern, syariat mengajarkan untuk mendahulukan perintah Allah atas pertimbangan akal. Keempat belas: Ucapan Umar Radhiyallahu Anhu, “Aku harus tetap berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak untuk menebus pada saat itu. Aku mengharap agar itu menjadi amal kebaikan.” Berdasarkan hal ini, semakin jelaslah karunia Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Allah berfirman, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114). Kelima belas: Penyerahan kembali Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada kaum musyrikin ketika ia datang untuk bergabung kepada kaum muslimin karena terikat dengan perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan dua pelajaran:  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat menetapi janji sekalipun terasa sulit untuk dilakukan.  • Pentingnya seorang muslim menepati janji, baik dalam keadaan mudah atau sulit, baik demi kepentingan dirinya maupun bagi orang lain. Sebab, Allah memuji kaum mukminin yang menepati janji. Firman-Nya, الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ “(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’du: 20). Keenam belas: Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk memotong rambut dan menyembelih qurban, mereka tidak langsung melaksanakannya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dan menemui istrinya, Ummu Salamah. Lalu istrinya menyarankan, “Temui kembali mereka, panggil tukang cukur untuk mencukurmu dan sembelihlah qurbanmu.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan saran tersebut, para sahabat pun bergegas untuk memotong rambut mereka dan menyembelih kurbannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya keteladanan yang baik dan hal tersebut dapat memberikan efek pengaruh yang kuat dibandingkan sekadar ucapan. Seorang ayah di rumahnya adalah teladan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian terpengaruh oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi pengaruh kuat terhadap murid-muridnya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah, seorang da’i harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai modal dakwah dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Ketujuh belas: Metode motivasi dalam berdakwah. Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan mencukur plontos daripada mencukur pendek saja, dengan mengulang-ulang doa agar mendapatkan curahan rahmat bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali. Sementara yang memendekkan saja hanya mendapatkan satu kali dari doa beliau. Ini artinya anjuran untuk mencukur plontos bagi orang yang tengah berhaji saat bertahallul. Kedelapan belas: Rasulullah mengiringi hewan kurbannya berupa unta yang dahulunya milik Abu Jahal karena di hidungnya terdapat anting dari perak adalah untuk membangkitkan amarah kaum musyrikin. Ibnu Qayyim berkata, “Dari sini terdapat suatu pelajaran yang dapat dipetik yaitu dianjurkannya untuk menimbulkan amarah musuh Allah. Karena Nabi mengiringi unta kurbannya yang dahulunya milik Abu Jahal dengan tanda di hidungnya sebagai tanda pembangkitan amarah kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sifat Nabi dan sahabat, مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “…dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath: 29). Kesembilan belas: Kita mendapatkan hikmah di balik suatu persoalan. Bisa jadi seorang muslim tidak menyukai sesuatu yang ternyata membawa kebaikan. Sebagian sahabat tidak menyukai perjanjian Hudaibiyah dan persyaratan-persyaratan yang ada di dalamnya. Ternyata justru membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata tentang kemenangan ini, “Secara zhahir memang merendahkan kaum muslimin, tetapi di balik itu adalah sebuah kemuliaan bagi mereka.” Untuk itulah, seorang muslim tidak boleh salah dalam menilai sesuatu yang terlihat secara lahiriah saja. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar selalu diberikan hidayah dengan ketentuan Allah. Kedua puluh: Berdasarkan perjanjian ini, ada beberapa hasil positif yang dapat kami kemukakan sebagiannya secara singkat:  • Hilangnya kewibawaan Quraisy. Hal ini ditandai dengan bergabungnya suku Khuza’ah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu singkat tanpa rasa takut kepada Quraisy.  • Pengakuan Quraisy terhadap eksistensi kaum muslimin. Semenjak munculnya dakwah Islam, Quraisy menganggap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hanyalah serpihan-serpihan yang tidak bermakna dan bereksistensi. Namun, pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah, mereka mengakui eksistensinya, duduk bersama sebagai lawan.  • Berbaurnya kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Sehingga dapat memberikan pengaruh positif, memperdengarkan Islam, dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata, “Peristiwa Hudaibiyah adalah sebagai mukadimah kemenangan bagi kaum muslimin.” Kedua puluh satu: Setelah perjanjian damai Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memiliki musuh bebuyutan sehingga beliau dapat melakukan aktivitas lainnya seperti menyerang pusat kekuatan Yahudi di Madinah dalam waktu singkat setelah Hudaibiyah dan dilanjutkan dengan penyerangan Khaibar serta merebutnya. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menyurati para raja dan penguasa dunia saat itu. Mengirim utusan untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia. Kedua puluh dua: Tentang keutamaan Hudaibiyah. Peristiwa ini perlu dibandingkan dengan perang Badar dalam hal keutamaannya, mengingat dalam peristiwa tersebut diperolehnya kemuliaan dan kemenangan bagi Islam serta kehinaan, kekalahan bagi orang-orang kafir dan munafik. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamai perang Badar atau mendekatinya dalam hal keutamaan, kecuali peristiwa Hudaibiyah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Sedangkan kaum mutakallimin (teolog) dari Kelompok Asy‘ariyah berpendapat adalah perang Uhud lebih mulia daripada perang Hudaibiyah. Mereka berpendapat perang Uhud lebih mulia setelah Badar. Namun, menurut kami, pendapat pertama lebih baik. Wallahu a‘lam. Dari Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian menganggap bahwa kemenangan itu adalah pembebasan kota Mekah. Benar! Pembebasan kota Mekah adalah kemenangan. Namun, kami juga menganggap Bai‘atur Ridwan juga kemenangan yaitu pada saat perjanjian Hudaibiyah.” Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Belum pernah terjadi kemenangan dalam Islam sehebat perang Hudaibiyah. Pada umumnya dalam perang terjadi pertempuran, tetapi ketika perjanjian Hudaibiyah justru api peperangan padam. Manusia merasa aman untuk saling bertemu dan berbicara serta berdiskusi. Tidak ada orang yang berbicara tentang Islam kepada orang lain, melainkan ia pasti masuk Islam. Orang-orang yang masuk Islam dalam waktu dua tahun jauh lebih banyak dari sebelumnya.” Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Bukti dari kebenaran ucapan Az-Zuhri adalah bahwa Rasulullah ketika keluar menuju Hudaibiyah bersama 1.400 sahabat. Sedangkan menurut Jabir bin Abdullah, bahkan ketika beliau keluar pada saat pembebasan kota Mekah dua tahun kemudian bersama 10.000 sahabat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah berkata kepada kami pada saat Hudaibiyah, ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk muka bumi.’ Ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Seandainya aku dapat melihat hari ini, niscaya akan aku tunjukkan kepada kalian di mana letak pohon itu.” Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ummu Mubasyir menginformasikan padaku bahwa ia mendengar Nabi berkata kepada Hafshah, ‘Tidak akan masuk neraka—insya Allah—seorang pun dari orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan).’ Hafshah berkata, ‘Demikiankah ya Rasulullah?’ Lalu Nabi menegurnya. Kemudian Hafshah membaca ‘Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali akan melintasinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh Allah telah berfirman, ‘Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa dan Kami biarkan orang zalim berlutut di dalam neraka.’”   Walhamdulillah selesai.   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Direvisi pada Jumat sore, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi hudaibiyah jihad peperangan di masa Rasulullah sirah nabi


Pada perjanjian Hudaibiyah, tidak terjadi perang. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi antara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Quraisy Mekkah pada tahun 6 Hijriah (628 M). Perjanjian ini terjadi setelah kaum Muslimin dari Madinah melakukan perjalanan menuju Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah, namun mereka dicegah oleh kaum Quraisy. Meskipun ada ketegangan dan kemungkinan terjadinya konflik, perjanjian ini akhirnya tercapai tanpa peperangan. Kaum Quraisy dan kaum Muslimin sepakat untuk menandatangani perjanjian yang berisi beberapa poin penting, salah satunya adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian menjadi titik balik dalam sejarah Islam, yang memungkinkan kaum Muslimin untuk lebih leluasa menyebarkan dakwah Islam dan mendapatkan pengakuan dari kaum Quraisy. Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.[   Daftar Isi tutup 1. Latar Belakang Perang Hudaibiyah 2. Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah 3. PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Pada pembahasan terdahulu, kita telah berbicara tentang Fiqih Sirah dari sampainya Rasulullah di Madinah hingga berakhirnya Perang Ahzab dengan kembalinya pasukan gabungan dalam keadaan kalah dan hukuman tegas atas pengkhianatan Bani Quraizhah serta sabda Rasulullah, “Mereka tidak akan lagi memerangi kita, kitalah yang akan memerangi mereka.” Ini semua berarti adanya pergeseran pertarungan antara umat Islam di Madinah dan musuh-musuh mereka secara berkala. Pada tahapan tersebut disyariatkannya jihad dengan berbagai tahapannya secara berkala dan orang-orang kafir berusaha untuk menghentikan dakwah ini pada Perang Badar, Uhud, dan Ahzab. Semua itu diawali oleh musuh dari kalangan kafir Quraisy. Adapun tahapan berikut ini yang akan kita bicarakan adalah tahapan baru. Rasulullah tidak lagi bertahan, melainkan melakukan penyerangan terhadap kaum kafir langsung ke wilayah mereka, seperti pada Perang Hudaibiyah, Khaibar, dan lainnya. Kita mendapati bahwa Rasulullah-lah yang memegang tali kendali untuk memulai menyerang ke wilayah mereka guna memberikan pembelajaran terhadap musuh. Latar Belakang Perang Hudaibiyah Latar belakang perang ini adalah mimpi yang dialami oleh Rasulullah bahwa beliau dapat memasuki Baitul Haram bersama sahabat-sahabatnya, melakukan thawaf dan mencukur rambut. Kemudian, beliau menyampaikan hal tersebut kepada para sahabatnya. Kemudian mereka pun menyambut dengan suka cita. Allah berfirman setelah kejadian itu, لَّقَدْ‭ ‬صَدَقَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬رَسُولَهُ‭ ‬ٱلرُّءْيَا‭ ‬بِٱلْحَقِّ‭ ‬ۖ‭ ‬لَتَدْخُلُنَّ‭ ‬ٱلْمَسْجِدَ‭ ‬ٱلْحَرَامَ‭ ‬إِن‭ ‬شَآءَ‭ ‬ٱللَّهُ‭ ‬ءَامِنِينَ‭ ‬مُحَلِّقِينَ‭ ‬رُءُوسَكُمْ‭ ‬وَمُقَصِّرِينَ‭ ‬لَا‭ ‬تَخَافُونَ‭ ‬ۖ‭ ‬فَعَلِمَ‭ ‬مَا‭ ‬لَمْ‭ ‬تَعْلَمُوا۟‭ ‬فَجَعَلَ‭ ‬مِن‭ ‬دُونِ‭ ‬ذَٰلِكَ‭ ‬فَتْحًا‭ ‬قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 27). Rasulullah keluar (meninggalkan Madinah) di awal bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H ketika beliau meminta bantuan kepada penduduk Arab yang ada di sekitarnya untuk bergabung bersamanya karena beliau khawatir terhadap Quraisy yang akan menghalanginya dengan memeranginya atau menghalangi beliau agar tidak menginjakkan kakinya di Baitullah. Sebagian besar dari mereka lamban dalam merespons seruan Nabi, sehingga beliau berangkat hanya bersama kaum Anshar dan Muhajirin serta orang-orang yang sempat menyusul beliau dari kalangan bangsa Arab. Dengan membawa hewan hadyu, beliau akan melakukan ihram dan umrah, agar orang-orang memberikan rasa aman dan agar mereka mengetahui bahwa beliau datang hanya untuk berziarah ke Baitullah sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Beliau juga mengutus seorang mata-mata dari suku Khuza’ah agar dapat memberikan informasi tentang Quraisy. Ketika berada di Usfan, beliau bertemu dengan seorang mata-mata, Bisr bin Sufyan Al-Ka’bi. Ia segera berkata, “Ya Rasulullah, orang Quraisy telah mendengar perjalananmu. Mereka pun keluar (untuk menghadang) dengan membawa unta-unta perahan (sebagai logistik) dan memakai pakaian perang. Mereka menunggu di Dzi Thuwa dan bersumpah untuk menghalangi engkau masuk ke Mekkah selama-lamanya. Sedangkan Khalid bin Walid dengan pasukan kavaleriya telah sampai di Qura’ Ghamim.” Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, apakah kita kembali saja kepada orang-orang yang menolong mereka (orang Anshar yang menolong Muhajirin, pen.)? Atau kita tetap menuju Baitullah. Dan siapa yang menghalangi kita, akan kita bunuh.” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kita datang hanya untuk melaksanakan umrah, bukan untuk membunuh siapa pun. Namun, apabila ada yang menghalangi antara kita dan Baitullah, akan kita bunuh.” Nabi berkata, “Kalau begitu kita lanjutkan perjalanan.” Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang dapat menunjukkan jalan yang tidak dapat diketahui oleh mereka?” Seorang dari suku Aslam berkata, “Saya ya Rasulullah.” Kemudian rombongan beliau pun menapaki jalan terjal yang cukup menyulitkan kaum muslim hingga mereka sampai di jalan yang mudah dilalui, yaitu di ujung lembah. Rasulullah bersama para sahabat mengerjakan shalat khauf di Usfan. Ketika pasukan berkuda Quraisy menyadari bahwa mereka telah mengambil jalan yang berbeda, mereka kembali kepada kelompoknya, yaitu orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya. Saat melintasi wilayah Tsaniyatul Mirar, tiba-tiba untanya berhenti dan enggan berjalan. Orang-orang pun berkata, “Qashwa (nama unta Nabi) mogok berjalan.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Unta ini tidak mogok, dan itu bukanlah kebiasaannya, melainkan ia ditahan oleh Dzat yang pernah menahan pasukan bergajah.” Beliau melanjutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Jika mereka meminta kesepakatan dariku untuk mengagungkan bulan-bulan Allah, niscaya aku akan memenuhi permintaan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memecut untanya hingga bangkit dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di ujung wilayah Hudaibiyah. Di sana, sumber airnya sangat sedikit sehingga para sahabat berebutan untuk mendapatkan air. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau kemudian mengeluarkan sebuah anak panah dari tempatnya dan menyerahkannya kepada salah seorang sahabat. Anak panah tersebut ditancapkan pada dasar oase, dan tiba-tiba air mengalir deras sehingga mereka bisa meminum air tersebut dengan sepuasnya. Setelah situasi tenang, datanglah Budail bin Waraqah bersama beberapa tokoh dari suku Khuza’ah. Mereka memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedatangan mereka bukan untuk berperang, melainkan untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkan kemuliaannya. Mereka pun kembali menemui orang-orang Quraisy untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, orang-orang Quraisy tidak langsung mempercayai mereka dan mengutus Mikraz bin Hafash untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini adalah seorang penipu.” Setelah Mikraz bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang beliau katakan kepada Budail. Mikraz pun kembali dan menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Setelah itu, mereka mengutus Hulais bin Al-Qamah, seorang tokoh dari kalangan Ahabisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya datang, beliau berkata, “Orang ini berasal dari masyarakat yang beribadah kepada Tuhan! Tampilkan hewan-hewan qurban kepadanya agar ia melihatnya.” Ketika Hulais melihat hewan-hewan qurban yang terikat di lembah, ia pun segera kembali ke Quraisy tanpa bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menghormati apa yang telah dilihatnya. Sesampainya di Quraisy, ia menceritakan apa yang telah ia saksikan. Namun, orang Quraisy menghardiknya, “Duduklah! Kamu ini orang Arab dusun yang bodoh.” Kemudian mereka mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara dengannya. Urwah berkata, “Hai Muhammad, engkau mengumpulkan orang banyak lalu membawa mereka kepada keluargamu untuk dibunuh? Demi Allah, dari apa yang kulihat, pengikutmu akan meninggalkanmu besok pagi.” Mendengar ini, Abu Bakar langsung berkata, “Isap saja kemaluan tuhanmu, Lata! Apakah kamu mengira kami serendah itu?” Urwah bertanya, “Siapa orang ini, wahai Muhammad?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah putra Abu Quhafah.” Urwah berkata, “Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas.” Urwah kemudian mencoba menyentuh janggut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di dekatnya berkata, “Jangan sentuh wajah Rasulullah.” Urwah bertanya, “Siapa orang ini?” Mereka menjawab, “Dia adalah anak saudaramu, Mughirah bin Syu’bah.” Urwah pun menanggapi, “Dasar pengkhianat! Aku baru saja menutupi aibmu!” Sementara itu, Urwah sangat memperhatikan bagaimana para sahabat memperlakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau berwudhu, air bekas wudhunya selalu menjadi rebutan, begitu pula bekas ludah dan rontokan rambut beliau. Ketika Urwah kembali ke Quraisy, ia berkata, “Wahai orang Quraisy! Aku pernah bertemu dengan raja Romawi, Kaisar, dan Najasyi di kerajaan mereka. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja yang begitu dihormati seperti Muhammad dihormati oleh para sahabatnya. Aku melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau terluka sedikit pun. Pertimbangkanlah dengan matang apa yang akan kalian lakukan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Kharasy bin Umayah Al-Khuza’i dan mengutusnya kepada kaum Quraisy dengan memberikan untanya yang bernama Ats-Tsa’lab untuk menemuinya. Namun, mereka menyembelih unta tersebut dan bahkan ingin membunuh Kharasy, tetapi dicegah oleh sebagian orang sehingga ia pun dibebaskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Quraisy, tetapi Umar menolaknya dengan alasan bahwa tidak ada kaumnya yang akan melindunginya jika terjadi sesuatu. Umar menyarankan agar Rasulullah mengutus Utsman bin Affan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada Utsman, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah, dan ajaklah mereka kepada Islam.” Beliau juga memerintahkan Utsman untuk menemui orang-orang beriman di Mekkah dan menyampaikan kabar gembira akan kemenangan. Utsman pun berangkat melaksanakan tugasnya. Ia bertemu dengan kaum Quraisy di Baldah dan menyampaikan kedatangan Rasulullah kepada mereka. Usamah bin Sa’id bin Al-Ash menemani Utsman, memboncengkannya di atas kudanya dan menjamin keselamatannya. Sebagian Muslimin mengira bahwa Utsman telah mendahului mereka ke Baitullah dan melakukan tawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku yakin dia tidak akan melakukan tawaf, sementara kita tidak bersamanya.” Mereka bertanya, “Apa yang menghalanginya, ya Rasulullah, bukankah ia sudah sampai di sana?” Beliau menjawab, “Keyakinanku adalah bahwa ia tidak akan tawaf hingga kita tawaf bersamanya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Beliau pun mengajak para sahabat untuk berba’iat. Kaum Muslimin menyambut ajakan tersebut dan mereka berba’iat kepada beliau di bawah pohon. Tidak ada seorang pun yang tidak berba’iat kecuali Jadd bin Qais. Setelah baiat selesai, muncul Utsman. Kaum Muslimin berkata kepadanya bahwa Utsman telah melakukan tawaf. Namun, Utsman membantah, “Sungguh buruk dugaan kalian. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya! Seandainya aku tinggal di sana selama satu tahun, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf hingga Rasulullah tawaf terlebih dahulu. Orang-orang Quraisy memang mengajakku untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.” Kaum Muslimin pun berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling baik prasangkanya dibandingkan kita.” Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Mereka berkata, “Temuilah Muhammad dan ajaklah damai dengan syarat ia harus kembali dan meninggalkan kami tahun ini. Demi Allah, jangan sampai orang-orang Arab mengatakan bahwa ia bisa memasuki Mekah dengan paksa.” Suhail datang menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sungguh, ia telah memudahkan urusan kalian. Masyarakat Quraisy ingin berdamai dengan mengutus orang ini.” Saat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicara cukup lama untuk bernegosiasi hingga akhirnya tercapai kata sepakat. Ketika segalanya sudah final dan tinggal dituangkan dalam tulisan, Umar menemui Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar melanjutkan, “Bukankah kita umat Islam?” Abu Bakar menjawab, “Benar.” Umar kembali bertanya, “Lalu mengapa kita merendahkan agama kita?” Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, jagalah logikamu! Aku bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar berkata, “Aku juga bersaksi bahwa dia adalah utusan Allah.” Umar lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah kita umat Islam?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Bukankah mereka kaum musyrik?” Nabi menjawab, “Benar.” Umar bertanya lagi, “Lantas, mengapa kita merendahkan agama kita?” Nabi menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya! Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan aku.” Umar kemudian berkata, “Setelah peristiwa itu, aku sering berpuasa, bersedekah, shalat malam, dan memerdekakan budak, karena khawatir atas ucapanku dan berharap semoga menjadi kebaikan.” Baca juga: Kebaikan Menghapuskan Kejelekan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian memanggil Ali bin Abu Thalib dan berkata, “Tulislah, Bismillahirrahmanirrahim.” Suhail berkata, “Aku tidak mengenal kalimat ini. Tulislah, Bismika Allahumma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, Bismika Allahumma!” Ali pun menuliskannya. “Kemudian tulislah! Ini adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela, “Seandainya aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak akan memerangimu. Namun, tulislah namamu dengan nama ayahmu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tulislah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.” Mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan perjanjian ini. Tidak ada pencurian dan pengkhianatan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Muhammad, dipersilakan. Siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, juga dipersilakan. Suku Khuza’ah berkata, “Kami bergabung dengan Muhammad.” Bani Bakr berkata, “Kami bergabung dengan Quraisy.” Salah satu syaratnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin diperbolehkan melakukan ibadah umrah tahun depan, dengan syarat tidak membawa senjata. Mereka diperbolehkan berada di Mekah selama tiga hari, dan baru bisa memasuki Mekah setelah kaum Quraisy mengosongkan kota itu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merampungkan isi perjanjian damai dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr muncul dalam keadaan terborgol, bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika Suhail melihat anaknya, ia langsung menampar dan mencengkeramnya seraya berkata, “Ini adalah tuntutanku yang pertama padamu, Muhammad.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha agar Suhail membiarkannya, tetapi ia menolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, يَا أَبَا جَنْدَلٍ، اصْبِرْ وَاحْتَسِبْ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ لَكَ وَلِمَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُسْتَضْعَفِينَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا، إِنَّا قَدْ عَقَدْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ صُلْحًا، وَأَعْطَيْنَاهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَأَعْطَوْنَا عَهْدَ اللهِ، وَإِنَّا لَا نَغْدِرُ بِهِمْ. “Bersabarlah wahai Abu Jandal, dan berharaplah kepada Allah. Sungguh, Allah akan memberikan kemudahan dan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang tertindas. Kami telah berjanji dengan kaum Quraisy dan tidak akan mengkhianati mereka.” Sikap ini menambah duka kaum Muslimin, mengingat mereka tidak bisa memasuki Mekah dan tidak dapat membantu Abu Jandal. Setelah Rasulullah selesai dengan perdamaian, beliau berkata, “Bangunlah! Sembelihlah hewan qurban dan bercukurlah!” Namun, tidak ada satu pun yang bangun. Rasulullah pun masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah berkata, “Keluarlah, jangan bicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih qurbanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar tanpa bicara kepada siapa pun hingga menyembelih seekor unta dan memanggil tukang cukur. Ketika orang-orang melihat, mereka pun bangkit menyembelih qurban dan saling mencukur. Hampir terjadi keributan karena suasana tegang. Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terhalang dari Melakukan Umrah atau Haji Padahal Sudah Berihram? Ada yang mencukur habis rambutnya dan ada yang hanya memendekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ؟ قَالَ: «يَرْحَمُ اللهُ الْمُحَلِّقِينَ» ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ وَالْمُقَصِّرِينَ. “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Para sahabat berkata, “Dan yang sekadar memendekkan rambutnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur habis rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya, beliau menambahkan, “Dan juga kepada mereka yang sekadar memendekkan rambutnya.” (Fath Al-Baari, 3:562-564) Baca juga: Tahallul dengan Mencukur Botak  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurbannya berupa seekor unta yang di kepalanya terdapat kalung perak. Dahulunya unta ini milik Abu Jahal, tetapi kemudian menjadi ghanimah dalam perang Badar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini agar kaum musyrikin semakin merasa emosi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin para sahabat untuk kembali ke Madinah. Di tengah perjalanannya, Allah menurunkan surah Al-Fath, إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2) Lalu Allah Ta’ala berfirman, لَّقَدْ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَٰبَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18) وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 19) وَعَدَكُمُ ٱللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِۦ وَكَفَّ أَيْدِىَ ٱلنَّاسِ عَنكُمْ وَلِتَكُونَ ءَايَةً لِّلْمُؤْمِنِينَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَٰطًا مُّسْتَقِيمًا “Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20) وَأُخْرَىٰ لَمْ تَقْدِرُوا۟ عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ ٱللَّهُ بِهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرًا “Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Fath: 21) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Bushair dari kalangan Quraisy dalam keadaan menyerah. Orang-orang Quraisy pun mengutus dua orang untuk mencarinya. Mereka berkata, “Ingat perjanjian antara kita.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan Abu Bushair kepada dua orang utusan Quraisy. Kemudian keduanya membawanya hingga sampai di Dzulhulaifah mereka istirahat sambil makan kurma. Abu Bushair berkata kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, “Demi Allah, sungguh aku melihat pedangmu itu bagus.” Lalu ia menjawab, “Benar, demi Allah ini pedang bagus.” Abu Bushair berkata, “Coba perlihatkan kepadaku.” Ketika pedang itu ada di genggamannya, maka orang itu pun dibunuhnya. Sedangkan yang satunya lari hingga kembali ke Madinah lalu masuk ke dalam masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata, “Sepertinya orang ini tengah ketakutan.” Ketika ia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berkata, “Temanku telah dibunuhnya dan aku pun akan dibunuhnya.” Tiba-tiba datanglah Abu Bushair seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkanku. Engkau telah menyerahkan aku kepada mereka dan Allah menyelamatkan aku dari mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka! Ia telah menyalakan api peperangan seandainya ia punya seorang pengikut.” Mendengar ucapan tersebut, Abu Bushair menyadari bahwa beliau tetap akan mengembalikannya kepada orang-orang Quraisy, maka ia pun pergi menjauh hingga sampai di wilayah pantai. Sementara itu, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dan bergabung bersama Abu Bushair. Setiap pelarian Quraisy yang masuk Islam, pasti akan bergabung dengan Abu Bushair. Sehingga mereka menjadi kekuatan yang ditakuti. Karena setiap kali mereka mendengar ada kafilah Quraisy menuju Syam, mereka pasti akan menghadangnya, merampas hartanya, dan membunuh orang-orangnya. Akhirnya orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas pertimbangan kebesaran Allah dan silaturahmi, beliau tidak perlu mengembalikan orang yang dalam pelarian, dan siapa saja yang datang kepadanya, ia akan aman, tidak dikejar-kejar lagi.   Peristiwa Penting dalam Perjanjian Hudaibiyah Peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam. Beberapa peristiwa penting dalam perjanjian Hudaibiyah adalah: Rencana Umrah: Rasulullah ﷺ bersama 1.400 sahabat berangkat ke Makkah dengan niat melaksanakan umrah. Mereka tidak membawa senjata perang, hanya membawa senjata ringan untuk perlindungan. Penghadangan oleh Quraisy: Quraisy melarang kaum Muslimin memasuki Makkah. Sebagai respons, kaum Muslimin berhenti di Hudaibiyah, di pinggiran kota. Negosiasi Perdamaian: Setelah beberapa kali negosiasi, disepakati perjanjian antara Rasulullah ﷺ dan Quraisy yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu delegasi Quraisy adalah Suhail bin Amr. Isi Perjanjian: Di antara poin penting perjanjian, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah tanpa melaksanakan umrah, tetapi mereka diizinkan datang tahun berikutnya. Selain itu, gencatan senjata selama 10 tahun disepakati, serta kebebasan bagi suku-suku Arab memilih bergabung dengan Quraisy atau kaum Muslimin. Kemenangan Diplomasi: Meski tampak menguntungkan Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah adalah kemenangan diplomasi bagi kaum Muslimin karena memberi ruang bagi Islam untuk berkembang tanpa gangguan selama beberapa tahun.   PELAJARAN DARI PERJANJIAN HUDAIBIYAH Perang Hudaibiyah memang penuh dengan hikmah serta pelajaran berharga. Ibnul Qayyim menuliskan pelajaran tersebut dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad, sementara Muhammad bin Abdul Wahhab meringkasnya menjadi 139 poin. Berikut ini adalah sebagian ringkasannya: Pertama: Bisri bin Sufyan diutus sebagai intelijen, meskipun ia seorang musyrik. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa dalam jihad, dibolehkan meminta bantuan kepada orang non-muslim yang dapat dipercaya, terutama jika kondisi mendesak. Misalnya, intel dari suku Khuza’ah—yang merupakan non-muslim—dimanfaatkan untuk informasi penting dari musuh. Ini dilakukan demi kemaslahatan dan upaya menggali informasi. Ibnu Hajar menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kebolehan meminta bantuan non-muslim dalam situasi darurat, selama tidak menunjukkan loyalitas atau kecintaan terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan, menurut beberapa ulama, strategi ini dimaksudkan untuk memperlemah kekuatan musuh dan menyibukkan mereka. Namun, ini tidak berarti setiap saat boleh meminta bantuan non-muslim, melainkan hanya dalam kasus khusus dan kebutuhan mendesak. Kedua: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut ketika unta yang dikendarai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendadak mogok dan enggan melanjutkan perjalanan. Mereka pun berkata, “Qashwa (nama unta) mogok dan tidak mau berjalan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menegur mereka dengan berkata, “Qashwa tidak mogok karena kebiasaannya.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa ini kita belajar untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu yang buruk, bahkan terhadap makhluk yang tidak dibebani kewajiban (bukan mukallaf). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan penjelasan terkait alasan unta tersebut berhenti. Allah-lah yang menghentikan unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Dia yang dahulu menghentikan pasukan bergajah Abrahah saat mereka hendak menghancurkan Ka’bah. Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan tanda bahwa terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menahan kita, yang bisa jadi merupakan peringatan atau ujian dari Allah. Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk menghormati makhluk, baik yang mukallaf (manusia) maupun yang bukan, seperti hewan. Dengan tidak mengucapkan hal buruk pada hewan, kita terhindar dari ucapan yang mungkin berbalik pada diri kita sendiri. Catatan:  Jika kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”). Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah ucapanku tadi, لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ “Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud, no. 4982 dan Ahmad 5:95. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Tips Ketika dalam Perjalanan Mudik Lebaran Ketiga: Shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang) yang dilakukan Rasulullah di Usfan menunjukkan betapa pentingnya melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun dalam kondisi yang penuh risiko. Rasulullah tetap mengutamakan shalat berjamaah, menunjukkan kepada umatnya bahwa shalat berjamaah adalah bagian penting dari syiar Islam. Walaupun dalam kondisi perang, beliau tetap memimpin shalat dengan mengatur agar sebagian muslim menjaga shalat berjamaah di masjid. Keempat: Abu Bakar mengatakan kepada Urwah, “Isaplah kemaluan Latta!” Hal ini dinyatakan sebagai bentuk tegas untuk menolak ajakan Urwah yang tidak pantas. Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam konteks ini, ucapan Abu Bakar bukanlah ucapan yang tercela, namun merupakan respons tegas terhadap ancaman atau celaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyatakan bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan kotor dalam situasi tersebut, melainkan sebuah bentuk teguran Kelima: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tindakan Mughirah yang berdiri di dekat Nabi sambil membawa pedang mengajarkan kebolehan berdiri di hadapan pemimpin demi menjaga keamanan, terutama dari ancaman musuh. Namun, hal ini dilakukan bukan untuk mengagungkan atau pamer, melainkan untuk tujuan yang jelas dan dibutuhkan. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menambahkan bahwa berdiri di hadapan seseorang hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, seperti dalam situasi darurat yang mengharuskan kehati-hatian terhadap potensi serangan. Catatan: Kita perlu membedakan antara “berdiri untuk seseorang (qiyam ila asy-syakhsh),” “berdiri karena seseorang (qiyam li asy-syakhsh),” dan “berdiri atas seseorang (qiyam ‘ala asy-syakhsh).” Berdiri untuk seseorang adalah ketika kita menyambut kedatangannya atau memberikan ucapan selamat. Berdiri karena seseorang adalah situasi di mana seseorang diperintahkan untuk menghormati seseorang dengan tetap berdiri di tempat, tidak bergerak. Tindakan ini jelas dilarang. Berdiri atas seseorang (yakni berdiri di dekat kepala seseorang yang sedang duduk sebagai bentuk penghormatan) dilarang, kecuali dalam dua kondisi: Jika diperlukan untuk menjaga keselamatan orang tersebut. Jika berdiri sebagai penghormatan sekaligus penghinaan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Mughirah bin Syu’bah saat perjanjian Hudaibiyah. Ada tiga jenis berdiri yang perlu dibedakan: berdiri untuk seseorang adalah berdiri menyambut atau memberi selamat dan diperbolehkan; berdiri karena seseorang adalah berdiri di tempat sebagai penghormatan dan dilarang; sedangkan berdiri atas seseorang adalah berdiri di dekat orang yang duduk sebagai bentuk penghormatan, yang juga dilarang kecuali dalam situasi tertentu seperti menjaga keselamatan. Baca juga: Perang Bani Quraizhah dan Pelajaran di Dalamnya Keenam: Cintanya sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatannya yang sangat luar biasa. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Para sahabat belum pernah bersikap berlebihan dalam menghormati Rasulullah. Mereka selalu menjaga keselamatan beliau, membelanya dengan perkataan dan tindakan terhadap siapa pun yang bersikap kasar padanya, serta mencari berkah dari setiap hal yang dilakukan oleh Nabi.” (Fath Al-Bari, 5:342) Ketujuh: Dalam proses negosiasi, para sahabat melakukan hal yang tidak biasanya mereka lakukan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang ludah, mereka mengambilnya lalu mengusapkannya ke wajah dan dada mereka. Padahal hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada utusan orang kafir tentang sikap para sahabat terhadap Nabinya. Tujuan dari semua itu adalah untuk membangkitkan amarah musuh dan memperlihatkan penghormatan sahabat terhadap Rasulullah. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:261) Kedelapan: Pentingnya teladan dalam perilaku serta pengaruhnya yang lebih besar daripada ucapan. Urwah yang sejak awal berkata kepada Rasulullah tentang para sahabat, “Aku melihat orang-orang yang seandainya mereka mengetahui besok tentang kamu (mereka akan tinggalkan kamu).” Ternyata dugaan Urwah meleset ketika ia duduk bersama sahabat dan melihat bagaimana perlakuan sahabat terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghormatan serta pengagungan mereka kepada beliau. Sehingga ketika ia kembali kepada orang-orang Quraisy, ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Aku pernah bertemu Kaisar, Raja Romawi, dan juga Najasyi dalam istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang raja di tengah kaumnya yang dimuliakan seperti Muhammad di tengah sahabatnya. Sungguh aku melihat mereka tidak akan pernah menyerahkannya untuk apa pun selamanya! Tinjau ulang kembali pendapat kalian!” Orang akan merasa aneh bagaimana sampai keluar kata-kata seperti itu hanya dari satu orang. Namun, ketika masalahnya sudah jelas, maka ia akan mengetahui betapa pengaruh perilaku dan sikap pada seseorang akan lebih besar ketimbang kalimat yang panjang. Kesembilan: Ketika Utsman datang terlambat, sebagian kaum muslimin menduga bahwa ia sedang melakukan thawaf di Kabah. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangggah pendapat mereka tersebut dan berkata, “Aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu, karena kita masih tidak dibolehkan masuk ke Baitul Haram.” Ternyata dugaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar. Begitulah seharusnya seorang muslim untuk selalu berbaik sangka kepada saudaranya, bukan berburuk sangka. Allah berfirman, لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.” (QS. An-Nuur: 12) Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kamu berburuk sangka dari perkataan yang keluar dari seorang muslim, padahal kamu dapat berbaik sangka kepadanya.” (Sumber: Ibnu Qayyim, Taarikh Umar bin Al Khaththab, Hal. 203) Kesepuluh: Dalam situasi yang genting, biasanya musuh akan berusaha untuk menebarkan fitnah dan isu. Oleh karena itu, seorang muslim harus waspada terhadap berbagai isu. Jangan mudah menerimanya dan membenarkannya, atau ikut-ikutan dalam menyebarkannya dan terpengaruh olehnya. Hendaknya ia memastikan lebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menerimanya. Kesebelas: Menyikapi isu dengan benar merupakan suatu yang sangat penting. Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi isu dengan tindakan yang tidak diperhitungkan musuh. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan umat Islam. Namun, kenyataannya justru sebaliknya yaitu terjadinya bai’atur ridwan.  Bai’atul Ridwan terjadi ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sedang dalam perjalanan untuk menunaikan umrah ke Mekah, tetapi dihalangi oleh kaum Quraisy di Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap desas-desus bahwa Utsman bin Affan, yang diutus untuk bernegosiasi dengan Quraisy, telah dibunuh. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk berbai’at (bersumpah setia) di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji untuk tetap mendukung Nabi dan siap bertarung jika diperlukan. Bai’at ini disebut Bai’atul Ridwan karena Allah menyatakan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang berpartisipasi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Al-Fath: 18). Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah Bai’atul Ridwan. Setelah adanya ketegangan antara kaum Muslimin dan Quraisy, negosiasi akhirnya berhasil dicapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan selama 10 tahun, dan kaum Muslim tidak diperbolehkan memasuki Mekah tahun itu, tetapi mereka diperbolehkan kembali tahun berikutnya untuk menunaikan umrah. Perjanjian ini juga berisi beberapa syarat lain, seperti pengembalian orang-orang yang melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan adanya kebebasan bagi berbagai suku untuk bergabung dengan pihak manapun. Perbedaan utama antara keduanya adalah: Bai’atul Ridwan adalah sumpah setia dari para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang terjadi sebelum perjanjian tersebut. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan damai yang terjadi setelah ketegangan dan negosiasi antara umat Islam dan Quraisy. Kedua belas: Ketika Suhail bin Amr datang lalu Rasulullah melihatnya dan berkata, “Dia telah memudahkan urusan kalian.” Hal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap optimis. Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, meskipun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah. Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan: “Seandainya aku melakukan ini atau itu.” Namun, katakanlah: “Ini sudah menjadi takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sebab, perkataan “seandainya” dapat membuka pintu bagi setan.” (HR. Muslim, no. 2664) Baca juga: Tetap Semangat dalam Hal yang Bermanfaat Ketiga belas: Sikap beberapa sahabat yang belum bisa menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan suatu pelajaran tentang pentingnya menomorduakan akal jika terdapat teks-teks syariat yang telah menerangkan dengan jelas. Kita mendukung ucapan Abu Bakar kepada Umar, “Berpegang teguhlah dengan keputusannya sesungguhnya dia itu utusan Allah.” Bukan sebaliknya, dengan menghantam teks syariat dengan akal dan pendapat kita. Umar berkata, “Wahai manusia, abaikanlah akal di hadapan agama. Aku pernah menyanggah pendapat Rasulullah dengan ijtihad akalku, demi Allah tidak menemui kebenaran, yaitu pada peristiwa Abu Jandal (perjanjian Hudaibiyah).” Kita harus hati-hati bersikap mendahulukan syariat dengan akal kita. Bahkan kita harus mengabaikan akal dan mendahulukan teks Al Qur’an dan As-Sunnah, tunduk dan patuh kepada syariat dan tidak berpendapat dengan akal kita. Pada hakikatnya, syariat itu luas dan sempurna sedangkan akal kitalah yang masih terbatas. Kadang kita menduga sebaliknya. Berikut adalah beberapa contoh dalam syariat yang menunjukkan pentingnya mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal: Keimanan kepada Hal Gaib Allah memerintahkan kita untuk beriman kepada hal-hal yang gaib, seperti adanya malaikat, hari akhir, dan surga serta neraka. Meskipun akal mungkin tidak dapat menjangkau atau membuktikan keberadaan hal-hal tersebut, Al-Qur’an dan hadits mengajarkan kita untuk mempercayainya. Hukum tentang Riba Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang riba (bunga) meskipun akal mungkin berpendapat bahwa riba menguntungkan atau mempercepat perputaran ekonomi. Syariat mendahulukan larangan ini karena riba dapat menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam jangka panjang. Tata Cara Shalat Cara melaksanakan shalat, mulai dari berdiri, rukuk, sujud, hingga duduk, diatur secara rinci dalam hadits. Meskipun akal mungkin menganggap cara lain lebih praktis, umat Islam mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi sebagai bentuk ibadah yang diterima Allah. Pembagian Waris Dalam Al-Qur’an, pembagian harta warisan diatur secara rinci dan tetap, meskipun mungkin akal menilai pembagian tertentu lebih adil dalam konteks tertentu. Namun, umat Islam tetap mendahulukan aturan pembagian waris sesuai yang diajarkan dalam syariat. Pelarangan Daging Babi Al-Qur’an dengan jelas melarang daging babi, meskipun secara akal beberapa orang mungkin berpendapat bahwa daging ini bisa bergizi. Syariat mengajarkan untuk menghindari babi karena ini adalah perintah Allah yang tidak perlu diperdebatkan dengan akal. Kewajiban Berhijab bagi Wanita Al-Qur’an memerintahkan wanita untuk menutup aurat, dan As-Sunnah menjelaskan tata cara berhijab yang benar. Meski akal manusia terkadang mempertanyakan relevansi atau kebutuhan berhijab dalam kehidupan modern, syariat mengajarkan untuk mendahulukan perintah Allah atas pertimbangan akal. Keempat belas: Ucapan Umar Radhiyallahu Anhu, “Aku harus tetap berpuasa, bersedekah, shalat, dan memerdekakan budak untuk menebus pada saat itu. Aku mengharap agar itu menjadi amal kebaikan.” Berdasarkan hal ini, semakin jelaslah karunia Allah dan betapa luas rahmat-Nya. Allah berfirman, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114). Kelima belas: Penyerahan kembali Abu Jandal bin Suhail bin Amr kepada kaum musyrikin ketika ia datang untuk bergabung kepada kaum muslimin karena terikat dengan perjanjian Hudaibiyah. Dalam hal ini, kita mendapatkan dua pelajaran:  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat menetapi janji sekalipun terasa sulit untuk dilakukan.  • Pentingnya seorang muslim menepati janji, baik dalam keadaan mudah atau sulit, baik demi kepentingan dirinya maupun bagi orang lain. Sebab, Allah memuji kaum mukminin yang menepati janji. Firman-Nya, الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ “(Yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” (QS. Ar-Ra’du: 20). Keenam belas: Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk memotong rambut dan menyembelih qurban, mereka tidak langsung melaksanakannya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dan menemui istrinya, Ummu Salamah. Lalu istrinya menyarankan, “Temui kembali mereka, panggil tukang cukur untuk mencukurmu dan sembelihlah qurbanmu.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan saran tersebut, para sahabat pun bergegas untuk memotong rambut mereka dan menyembelih kurbannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya keteladanan yang baik dan hal tersebut dapat memberikan efek pengaruh yang kuat dibandingkan sekadar ucapan. Seorang ayah di rumahnya adalah teladan bagi anak-anaknya. Mereka akan melihat kemudian terpengaruh oleh perilaku ayah mereka. Begitu pula seorang guru, perilakunya akan memberi pengaruh kuat terhadap murid-muridnya dibandingkan ucapannya. Untuk itulah, seorang da’i harus memperhatikan perilakunya dan menjadikannya sebagai modal dakwah dalam rangka memberikan keteladanan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Ketujuh belas: Metode motivasi dalam berdakwah. Rasulullah menjelaskan tentang keutamaan mencukur plontos daripada mencukur pendek saja, dengan mengulang-ulang doa agar mendapatkan curahan rahmat bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali. Sementara yang memendekkan saja hanya mendapatkan satu kali dari doa beliau. Ini artinya anjuran untuk mencukur plontos bagi orang yang tengah berhaji saat bertahallul. Kedelapan belas: Rasulullah mengiringi hewan kurbannya berupa unta yang dahulunya milik Abu Jahal karena di hidungnya terdapat anting dari perak adalah untuk membangkitkan amarah kaum musyrikin. Ibnu Qayyim berkata, “Dari sini terdapat suatu pelajaran yang dapat dipetik yaitu dianjurkannya untuk menimbulkan amarah musuh Allah. Karena Nabi mengiringi unta kurbannya yang dahulunya milik Abu Jahal dengan tanda di hidungnya sebagai tanda pembangkitan amarah kaum musyrikin. Allah berfirman tentang sifat Nabi dan sahabat, مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “…dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath: 29). Kesembilan belas: Kita mendapatkan hikmah di balik suatu persoalan. Bisa jadi seorang muslim tidak menyukai sesuatu yang ternyata membawa kebaikan. Sebagian sahabat tidak menyukai perjanjian Hudaibiyah dan persyaratan-persyaratan yang ada di dalamnya. Ternyata justru membawa kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata tentang kemenangan ini, “Secara zhahir memang merendahkan kaum muslimin, tetapi di balik itu adalah sebuah kemuliaan bagi mereka.” Untuk itulah, seorang muslim tidak boleh salah dalam menilai sesuatu yang terlihat secara lahiriah saja. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar selalu diberikan hidayah dengan ketentuan Allah. Kedua puluh: Berdasarkan perjanjian ini, ada beberapa hasil positif yang dapat kami kemukakan sebagiannya secara singkat:  • Hilangnya kewibawaan Quraisy. Hal ini ditandai dengan bergabungnya suku Khuza’ah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu singkat tanpa rasa takut kepada Quraisy.  • Pengakuan Quraisy terhadap eksistensi kaum muslimin. Semenjak munculnya dakwah Islam, Quraisy menganggap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya hanyalah serpihan-serpihan yang tidak bermakna dan bereksistensi. Namun, pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah, mereka mengakui eksistensinya, duduk bersama sebagai lawan.  • Berbaurnya kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Sehingga dapat memberikan pengaruh positif, memperdengarkan Islam, dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan kaum muslimin. Ibnu Hajar berkata, “Peristiwa Hudaibiyah adalah sebagai mukadimah kemenangan bagi kaum muslimin.” Kedua puluh satu: Setelah perjanjian damai Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memiliki musuh bebuyutan sehingga beliau dapat melakukan aktivitas lainnya seperti menyerang pusat kekuatan Yahudi di Madinah dalam waktu singkat setelah Hudaibiyah dan dilanjutkan dengan penyerangan Khaibar serta merebutnya. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menyurati para raja dan penguasa dunia saat itu. Mengirim utusan untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia. Kedua puluh dua: Tentang keutamaan Hudaibiyah. Peristiwa ini perlu dibandingkan dengan perang Badar dalam hal keutamaannya, mengingat dalam peristiwa tersebut diperolehnya kemuliaan dan kemenangan bagi Islam serta kehinaan, kekalahan bagi orang-orang kafir dan munafik. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Tidak ada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyamai perang Badar atau mendekatinya dalam hal keutamaan, kecuali peristiwa Hudaibiyah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Sedangkan kaum mutakallimin (teolog) dari Kelompok Asy‘ariyah berpendapat adalah perang Uhud lebih mulia daripada perang Hudaibiyah. Mereka berpendapat perang Uhud lebih mulia setelah Badar. Namun, menurut kami, pendapat pertama lebih baik. Wallahu a‘lam. Dari Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian menganggap bahwa kemenangan itu adalah pembebasan kota Mekah. Benar! Pembebasan kota Mekah adalah kemenangan. Namun, kami juga menganggap Bai‘atur Ridwan juga kemenangan yaitu pada saat perjanjian Hudaibiyah.” Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Belum pernah terjadi kemenangan dalam Islam sehebat perang Hudaibiyah. Pada umumnya dalam perang terjadi pertempuran, tetapi ketika perjanjian Hudaibiyah justru api peperangan padam. Manusia merasa aman untuk saling bertemu dan berbicara serta berdiskusi. Tidak ada orang yang berbicara tentang Islam kepada orang lain, melainkan ia pasti masuk Islam. Orang-orang yang masuk Islam dalam waktu dua tahun jauh lebih banyak dari sebelumnya.” Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Bukti dari kebenaran ucapan Az-Zuhri adalah bahwa Rasulullah ketika keluar menuju Hudaibiyah bersama 1.400 sahabat. Sedangkan menurut Jabir bin Abdullah, bahkan ketika beliau keluar pada saat pembebasan kota Mekah dua tahun kemudian bersama 10.000 sahabat.” Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah berkata kepada kami pada saat Hudaibiyah, ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk muka bumi.’ Ketika itu jumlah kami 1.400 orang. Seandainya aku dapat melihat hari ini, niscaya akan aku tunjukkan kepada kalian di mana letak pohon itu.” Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ummu Mubasyir menginformasikan padaku bahwa ia mendengar Nabi berkata kepada Hafshah, ‘Tidak akan masuk neraka—insya Allah—seorang pun dari orang-orang yang berba’iat di bawah pohon (Baiatur Ridhwan).’ Hafshah berkata, ‘Demikiankah ya Rasulullah?’ Lalu Nabi menegurnya. Kemudian Hafshah membaca ‘Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali akan melintasinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh Allah telah berfirman, ‘Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa dan Kami biarkan orang zalim berlutut di dalam neraka.’”   Walhamdulillah selesai.   Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.   –   Direvisi pada Jumat sore, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi hudaibiyah jihad peperangan di masa Rasulullah sirah nabi

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.
Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.


Daftar Isi Toggle Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺSifat zuhud beliauBanyak bersedekah dan ikhlasWafatnya Abdurrahman bin Auf Khidmat Abdurrahman kepada keluarga Rasulullah ﷺ Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman sering membantu keluarga Rasulullah ﷺ dalam berbagai situasi. Salah satu bentuk khidmat Abdurrahman bin Auf kepada keluarga Rasulullah ﷺ adalah pengawalan beliau terhadap para istri Nabi saat melaksanakan haji. Pada tahun 23 H, Umar bin Al-Khattab meminta Abdurrahman bin Auf menjadi pemandu haji tahun itu. Haji itu adalah haji terakhir yang dilaksanakan Umar sebelum beliau wafat. Tahun itu, Umar mengizinkan para istri Rasulullah ﷺ untuk melaksanakan haji. Mereka berhaji dengan menaiki unta yang diberi haudah, semacam pelana dengan kemah kecil di atasnya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf sebagai pemimpin rombongan haji. Utsman berada di depan rombongan dengan kendaraannya, sedangkan Abdurrahman berada di belakang. Mereka berdua menjaga para istri Nabi ﷺ dan tidak membiarkan siapa pun mendekati mereka. Jika mereka memasuki suatu jalan, mereka turun dari unta. Utsman dan Abdurrahman berjaga di penghujung jalan agar jalan tidak dilewati oleh siapa pun selain para istri Nabi. [1] Selain bantuan secara tenaga, Abdurrahman bin Auf juga sering memberikan bantuan finansial kepada kaum muslimin, terutama keluarga Nabi ﷺ. Karena setelah Nabi ﷺ wafat, beliau tidak meninggalkan warisan apa pun. Sebagaimana sabda beliau, إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، إنما ورثوا العلم، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر “Para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, dinilai sahih oleh Al-Albani) Oleh karenanya, beliau menyampaikan bahwa sepeninggal beliau, akan ada orang yang sabar dan tulus membantu keluarga beliau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada para istri beliau, “إن أمرَكُنَّ ممَّا يهمُّني مِن بعدي وليس يصبِرُ عليكنَّ إلَّا الصَّابرونَ الصِّدِّيقونَ  ‘Sesungguhnya keadaan kalian adalah salah satu hal yang aku khawatirkan setelah kematianku. Dan tidak ada orang yang sabar terhadap (kondisi) kalian, kecuali mereka yang benar-benar penyabar dan jujur (mencari rida Allah).’ “ ثمَّ قالت لأبي سلمةَ بنِ عبدِ الرَّحمنِ سقَى اللَّهُ أباكَ من سلسبيلِ الجنَّةِ وكان ابنُ عَوفٍ قد تصدَّقَ على أمَّهاتِ المؤمنينَ بأرضٍ بيعت بأربعينَ ألفًا وقال أبو سلَمةَ بنُ عبدِ الرَّحمنِ بنِ عَوفٍ أوصَى عبدُ الرَّحمنِ بنُ عُوفٍ بحديقةٍ لأمِّهاتِ المؤمنينَ بيعت بأربعمائةِ ألفٍ” Lalu, Aisyah berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberi minum ayahmu dari mata air Salsabil di surga. Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah kepada Ummahatul Mu’minin sepetak tanah seharga 4000 dinar.” Abu Salamah berkata, “Abdurrahman bin Auf berwasiat untuk memberi Ummahatul Mu`minin sebuah kebun seharga 400 ribu dinar.” (HR. At-Tirmizi no. 3749 dan Ahmad no. 24485, hasan) Nabi ﷺ merasa khawatir terhadap kebutuhan keluarga setelah beliau wafat. Namun, para istri beliau adalah wanita terhormat dan salehah yang mementingkan urusan akhirat dibandingkan urusan dunia. Mereka tidak meminta-minta kepada siapa pun. Meski begitu, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa sepeninggal beliau, tidak ada orang yang sanggup bersabar untuk membantu para istri beliau, kecuali orang yang sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersabar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kebutuhan orang lain. Orang tersebut adalah Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, سمِعْتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقولُ لأزْواجِه: إنَّ الَّذي يَحْنو عَليكُنَّ بَعْدي هو الصَّادِقُ البارُّ، اللَّهمَّ اسْقِ عَبدَ الرَّحمَنِ بنَ عَوفٍ مِن سَلسَبيلِ الجنَّةِ. “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda kepada para istrinya, ‘Sesungguhnya orang yang berbelas kasih kepada kalian setelahku adalah As-Shadiq Al-Barr (orang yang jujur dan baik).’ Ya Allah, berilah minum Abdurrahman bin Auf dari mata air Salsabil di surga.” (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain no. 5449, sahih) Sifat zuhud beliau Meskipun Abdurrahman adalah orang yang sangat kaya, ia tetap bersikap rendah hati dan sederhana. Ia khawatir bahwa banyaknya harta dapat mendatangkan musibah di akhirat. Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, أنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْه، أُتِيَ بطَعَامٍ وكانَ صَائِمًا، فَقالَ: قُتِلَ مُصْعَبُ بنُ عُمَيْرٍ وهو خَيْرٌ مِنِّي، كُفِّنَ في بُرْدَةٍ، إنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ، بَدَتْ رِجْلَاهُ، وإنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ – وأُرَاهُ قالَ: وقُتِلَ حَمْزَةُ وهو خَيْرٌ مِنِّي – ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا ما بُسِطَ – أَوْ قالَ: أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا ما أُعْطِينَا – وقدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ. Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dibawakan makanan, padahal saat itu beliau sedang berpuasa. Beliau berkata, “Mus‘ab bin ‘Umair terbunuh sedangkan ia lebih baik dariku. Ia dikafani dengan kain burdah. Jika kepalanya tertutup, kedua kakinya terlihat. Jika kedua kakinya tertutup, kepalanya terbuka.” Lalu, aku (Ibrahim) juga mendengar beliau berkata, “Hamzah (bin Abdul Muttalib) terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Kemudian dunia pun terbentang seperti sekarang ini. Dan kita khawatir, (balasan) kebaikan kita disegerakan di dunia ini.” Beliau pun mulai menangis dan meninggalkan makanan tersebut. (HR. Bukhari no. 1275) Banyak bersedekah dan ikhlas Salah satu keistimewaan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu adalah diberi taufik dan kelapangan untuk bersedekah. Namun, bukan hanya terkenal banyak bersedekah, beliau juga selalu mengiringinya dengan niat yang tulus dan semangat yang tinggi untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Di antara riwayat yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudri, beliau bercerita, كانَ بيْنَ خَالِدِ بنِ الوَلِيدِ، وبيْنَ عبدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ شيءٌ، فَسَبَّهُ خَالِدٌ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: لا تَسُبُّوا أَحَدًا مِن أَصْحَابِي، فإنَّ أَحَدَكُمْ لو أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ. “Suatu hari, pernah terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu, Khalid pun mencelanya. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Janganlah kalian mencela salah seorang sahabatku. Karena apabila salah seorang kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, itu tidak akan setara dengan seukuran satu mudd atau bahkan setengah mudd harta yang mereka infakkan.’ ” (HR. Bukhari no. 3673) Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya ketakwaan dan keimanan di kalangan para sahabat Nabi ﷺ bertingkat-tingkat. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi ﷺ yang menegaskan, “Janganlah kalian mencela sahabatku,” kepada sahabat-sahabat beliau yang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa sahabat yang lebih utama dibandingkan yang lainnya. Dalam hal ini, Abdurrahman bin Auf termasuk ke dalam golongan sahabat yang paling utama. Sebab, bukan hanya dari segi kuantitas sedekah yang beliau keluarkan, tetapi dari segi keikhlasan niat karena Allah Ta‘ala. Nabi ﷺ memisalkan seandainya pun Abdurrahman bin Auf tidak memiliki banyak harta dan hanya bersedekah seukuran genggaman tangan atau setengahnya, itu jauh lebih berat timbangannya dibandingkan sedekah seukuran gunung sahabat yang lainnya. Padahal, mendapat gelar sahabat Nabi ﷺ sudah merupakan suatu keutamaan, maka bagaimana lagi dengan sedekah orang-orang setelahnya dan bagaimana lagi dengan sedekah kita yang sedikit dan terkadang tidak diiringi niat yang tulus karena Allah Ta‘ala. Nas’alullah at-taufiq. Wafatnya Abdurrahman bin Auf Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu wafat pada tahun 32 H pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan pada usia 72 tahun. Beliau disalatkan oleh Utsman bin Affan. Ada pula riwayat yang mengatakan disalatkan oleh Az-Zubair bin Awwam dan dikuburkan di pemakaman Baqi‘. [2] Semoga Allah meridainya dan memberinya rahmat kepadanya, kepada kita serta semua kaum muslimin. Amin. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmai‘in. Walhamdulillahi Rabbil-‘alamin. [Selesai] Kembali ke bagian 2 Mulai dari bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Ath-Thabaqat Al-Kubra, 3: 99, cet. Dar Al-Ilmiyyah. [2] Mausu’ah Hayatis-Sahabah min Kutub At-Turats, hal. 2204.

Dengarkan Nasihat Ini Wahai Pemuda yang Baik – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ

Dengarkan Nasihat Ini Wahai Pemuda yang Baik – Syaikh Ibnu Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ
Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ


Pertanyaan: Aku seorang pemuda berumur 22 tahun. Alhamdulillah aku juga teguh memegang ajaran agama. Namun, aku masih berteman dengan teman-teman yang tidak mengerjakan shalat. Aku telah menasihati mereka berkali-kali, tapi tetap tidak ada gunanya bagi mereka. Nasihatku hanya menambah kebebalan mereka dalam bermaksiat. Aku telah berusaha menjauhi mereka, tapi aku tidak bisa, karena mereka adalah teman-temanku sejak kecil. Lagi pula aku tidak suka bergaul dengan pemuda lain kecuali dengan mereka. Aku mengalami guncangan mental akibat ucapan yang aku dengar dari orang-orang, karena mereka berkata, “Bagaimana orang sepertimu bergaul dengan orang-orang seperti mereka!” Aku berharap agar Anda menasihatiku, ya Syaikh! Bagaimana aku harus berbuat? Jazakumullahu khairan. Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah memberimu hidayah dan taufik untuk melakukan hal yang Dia ridhai –Maha Suci Dia– dan memberimu rezeki berupa keistiqamahan di atas agama-Nya. Maka pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya atas kebaikan besar ini. Kami menasihatimu untuk berhati-hati dari teman-teman yang tidak menjalankan shalat. Karena berteman dengan mereka dapat membahayakanmu dari sisi agama, dunia, dan nama baikmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan jauhi mereka; dan kamu insya Allah akan mendapatkan teman lain yang lebih baik dari mereka. Carilah orang-orang dan teman-teman yang baik, karena mereka akan membantumu dalam kebaikan dan menuntunmu menuju hal-hal yang dapat menyelamatkanmu. Sedangkan teman-teman yang buruk, maka itu buruk bagimu dan membahayakanmu dari sisi agama dan duniawimu; tinggalkanlah mereka dan jauhi pergaulan dengan mereka. Selagi mereka tidak mendengarkan nasihat, hati-hati terhadap mereka, tinggalkan dan jauhi mereka, dan mintalah petunjuk kepada Allah bagi mereka. Semoga Allah memberi mereka petunjuk dan menjauhkanmu dari keburukan mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, selama mereka masih berada dalam keadaan mereka yang buruk. Dan carilah teman-teman yang baik, lalu bergembiralah dengan kabar baik. Allah akan menolongmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan memudahkan urusannya.” (QS. ath-Thalaq: 4). “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. at-Talaq: 2 – 3). Jadi, konsistenlah di atas perintah Allah dan jagalah ketaatan kepada-Nya. Mintalah kepada Tuhanmu taufik dan pertolongan. Dan menjauhlah dari orang-orang yang buruk sejauh-jauhnya, agar kamu dapat selamat dari keburukan mereka; dan Allah akan menggantikan untukmu teman yang lebih baik dari mereka. ==== أَنَا شَابٌّ فِي الثَّانِيَةِ وَالْعِشْرِينَ مِنْ عُمْرِي مُتَدَيِّنٌ وَالْحَمْدُ لِلَّه وَلَكِنِّي أُجَالِسُ أَصْحَابًا لِي لَا يُصَلُّونَ نَصَحْتُهُمْ مِرَارًا وَتِكْرَارًا وَلَكِنْ دُونَ جَدْوَى وَلَمْ يَزِدْهُمْ نُصْحِي إِلَّا إِصْرَارًا عَلَى الْمَعَاصِي حَاوَلْتُ هَجْرَهُمْ وَلَكِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُمْ أَصْحَابٌ لِي مُنْذُ الصِّغَرِ وَلَا أُحِبُّ سِوَاهُمْ مِنَ الشَّبَابِ حَصَلَتْ لِي اضْطِرَابَاتٌ نَفْسِيَّةٌ بِسَبَبِ مَا أَسْمَعُهُ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ يَقُولُونَ كَيْفَ وَاحِدٌ مِثْلُكَ يُمَاشِي مِثْلَ هَؤُلَاءِ أَرَى أَنْ تَنْصَحُونِي سَمَاحَةَ الشَّيْخِ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَاكَ وَوَفَّقَكَ لِمَا فِيهِ رِضَاهُ سُبْحَانَهُ وَرَزَقَكَ الِاسْتِقَامَةَ عَلَى دِينِهِ فَاحْمَدِ اللَّهَ عَلَى هَذَا الْخَيْرِ الْعَظِيمِ وَاشْكُرِ اللَّهَ وَنُوْصِيْكَ بِالْحَذَرِ مِنْ هَؤُلَاءِ الْأَصْحَابِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّوْنَ فَإِنَّ صُحْبَتَهُمْ تَضُرُّكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ وَسُمْعَتِكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَاحْذَرْهُمْ وَسَوْفَ تَجِدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ فَالْتَمِسْ الْأَخْيَارَ وَالزُّمَلَاءَ الطَّيِّبِيْنَ فَإِنَّهُمْ يُعِينُونَكَ عَلَى الْخَيْرِ وَيُرْشِدُونَكَ إِلَى أَسْبَابِ النَّجَاةِ أَمَّا الْأَشْرَارُ فَهُمْ شَرٌّ عَلَيْكَ وَضَرَرٌ عَلَيْكَ فِي دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَاحْذَرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنِ صُحْبَتِهِمْ مَا دَامُوا لَمْ يَنْتَفِعُوا بِالنَّصِيحَةِ فَاحْذَرْهُمْ وَاهْجُرْهُمْ وَابْتَعِدْ عَنْهُمْ وَاسْأَلِ اللَّهَ لَهُمُ الْهِدَايَةَ نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَهُمْ وَأَنْ يَكْفِيَكَ شَرَّهُمْ فَالْحَذَرَ الْحَذَرَ مِنْهُمْ مَا دَامُوا عَلَى حَالِهِمُ الرَّدِيئَةِ وَالْتَمِسِ الْأَصْحَابَ الطَّيِّبِيْنَ وَأَبْشِرُوا بِالْخَيْرِ وَاللهُ يُعِينُكَ كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ فَاسْتَقِمْ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ وَحَافِظْ عَلَى طَاعَتِهِ وَسَلْ رَبَّكَ التَّوْفِيقَ وَالْإِعَانَةَ وَابْتَعِدْ عَنِ الْأَشْرَارِ غَايَةَ الْبُعْدِ لَعَلَّكَ تَنْجُو مِنْ شَرِّهِمْ وَسَوْفَ يُعَوِّضُكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُمْ

Keajaiban Ayat Kursi: Pelajaran dari Kisah Abu Hurairah dan Setan

Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi

Keajaiban Ayat Kursi: Pelajaran dari Kisah Abu Hurairah dan Setan

Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi
Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi


Kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berinteraksi dengan seorang pencuri mengungkap keutamaan Ayat Kursi sebagai pelindung dari gangguan setan. Melalui peristiwa ini, kita belajar pentingnya mengamalkan Ayat Kursi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari Allah Ta’ala.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1020 2. Faedah Hadits 2.1. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1020 ١٠٢٠ – وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: وَكَّلَنِي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَام، فَأخَذْتُهُ فقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَليَّ عِيَالٌ، وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «أمَا إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ»فَعَرَفْتُ أنَّهُ سَيَعُودُ، لقولِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فَرَصَدْتُهُ، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: دَعْنِي فَإنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ لَا أعُودُ، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ، فَأصْبَحْتُ فَقَالَ لي رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «يَا أَبَا هُريرة، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، شَكَا حَاجَةً وَعِيَالًا، فَرحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ. فَقَالَ: «إنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ» فَرَصَدْتُهُ الثَّالثَة، فَجاء يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأخَذْتُهُ،فَقُلتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا آخِرُ ثلاثِ مَرَّاتٍ أنَّكَ تَزْعُمُ أنَّكَ لَا تَعُودُ! فَقَالَ:دَعْنِي فَإنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، فَإنَّهُ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأصْبَحْتُ، فَقَالَ لي رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم: «مَا فَعَلَ أسِيرُكَ البَارِحَةَ؟» قُلْتُ: يَا رسول الله، زَعَمَ أنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِي اللهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبيلَهُ،قَالَ: «مَا هِيَ؟» قُلْتُ: قَالَ لي: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَة الكُرْسِيِّ مِنْ أوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ الآية: {اللهُ لَا إلَهَ إِلَاّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ} وقال لِي: لَا يَزَالُ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلَنْ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَقَالَ النبيُّ – صلى الله عليه وسلم:«أمَا إنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟» قُلْتُ: لَا. قَالَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ». رواه البخاري. (١) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menugaskannya untuk menjaga zakat Ramadan. Suatu malam, datanglah seseorang yang berusaha mengambil makanan. Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkap orang tersebut dan berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu pun memohon, “Sungguh, aku sangat membutuhkan makanan ini, karena aku memiliki keluarga yang banyak untuk dinafkahi.” Merasa iba, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengadukan kondisi keluarganya yang banyak dan kebutuhannya yang mendesak, sehingga aku merasa iba dan membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah berdusta, dan dia akan kembali lagi.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu pun yakin bahwa orang itu akan datang lagi, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Malam berikutnya, orang itu kembali untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menangkapnya lagi. Ia berkata, “Aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Namun, orang itu kembali memohon, “Lepaskan aku! Aku sangat membutuhkan makanan ini untuk keluargaku. Aku bersumpah tidak akan kembali lagi.” Merasa iba, Abu Hurairah melepaskannya untuk kedua kalinya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia memohon belas kasihanku dengan alasan yang sama, dan aku merasa iba sehingga membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Ia telah membohongimu, dan dia pasti akan kembali.” Pada malam ketiga, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu kembali berjaga dengan lebih waspada. Orang itu pun datang lagi untuk mengambil makanan, dan Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu langsung menangkapnya. Ia berkata, “Ini adalah kali ketiga kamu berjanji tidak akan kembali, tetapi nyatanya kamu melanggar janjimu. Kali ini aku akan benar-benar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Orang itu kemudian berkata, “Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat yang bermanfaat bagimu.” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bertanya, “Apa itu?” Orang itu menjawab, “Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Dengan membaca ayat ini, Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Mendengar itu, Abu Hurairah pun melepaskannya. Keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia mengajarkan beberapa kalimat yang katanya bermanfaat bagiku, sehingga aku membebaskannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat itu?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Ia berkata: Apabila engkau hendak tidur, bacalah Ayat Kursi—dari awal hingga akhir—’Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum,‘ maka Allah akan melindungimu, dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kali ini ia berkata benar, meskipun ia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu menjawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam  berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 2311] Baca juga: Keutamaan dan Tafsir Ayat Kursi   Faedah Hadits Setan terkadang mengetahui hal yang bermanfaat bagi orang Mukmin. Orang fajir (ahli maksiat) terkadang mendapatkan hikmah tetapi tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan terkadang diambil darinya hikmah yang bermanfaat untuk orang lain. Seseorang ada kalanya mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak mau mengamalkannya. Orang kafir terkadang berbuat jujur sebagaimana orang Mukmin berbuat jujur, tetapi tidak menjadikannya Mukmin. Tukang dusta terkadang berkata jujur. Setan selalu berkata dusta. Setan dapat mengubah bentuk sehingga dapat terlihat. Orang yang ditugasi menjaga sesuatu disebut wakil. Jin dapat memakan makanan manusia. Jin dapat berbicara dengan bahasa manusia. Jin suka mencuri dan menipu. Keutamaan ayat Kursi dan surah Al-Baqarah. Jin mengambil makanan yang tidak disebut padanya nama Allah. Seorang pencuri tidak boleh dipotong tangannya jika sebabnya adalah kelaparan. Barang curian yang tidak sampai nishab-nya tidak membolehkan memotong tangan pencurinya. Oleh karena itu, Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu melepaskannya sebelum melaporkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengumpulkan zakat fitrah sebelum malam Idulfitri. Boleh menerima uzur dan menutupi aib orang yang diperkirakan berbuat jujur. Pengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan Abu Hurairah dan persetujuannya untuk melepaskannya menunjukkan kefaqihan Abu Hurairah. Seorang Mukmin selalu mengasihi dan menyayangi orang yang banyak tanggungannya dan membutuhkan bantuan. Seorang Mukmin selalu mencari hikmah yang merupakan barang cariannya, dan seorang Mukmin senantiasa menuntut ilmu yang merupakan kebutuhannya. Hendaknya setiap orang bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, sekaligus berani menolak kebatilan, tanpa memandang siapa yang menyampaikan. Oleh karenanya para ulama memberikan nasihat: الرِّجَالُ يُعْرَفُونَ بِالْحَقِّ وَلَا يُعْرَفُ الْحَقُّ بِالرِّجَالِ “Orang-orang dikenal karena kebenaran, tetapi kebenaran tidak dinilai berdasarkan orang-orang.” Makna kalimat ini menekankan bahwa ukuran kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, bukan berdasarkan siapa yang mengatakannya. Dengan kata lain, seseorang dinilai benar jika mengikuti kebenaran, bukan kebenaran yang diukur berdasarkan seseorang. Ini sering dijadikan prinsip dalam penilaian argumen atau pendapat dalam Islam, agar tidak mengandalkan figur tertentu sebagai tolok ukur tanpa memverifikasi apakah pendapat tersebut benar. 22. Hikmah atau ilmu bisa saja diperoleh dari orang yang bodoh. Baca juga: Kisah Setan yang Mengajarkan Ayat Kursi pada Abu Hurairah   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:219-220. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Penerbit Daar Kunuz Isybiliya. Jilid ketiga belas.   – Diselesaikan pada 19 Jumadal Ula 1446 H, 21 November 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat kursi keutamaan ayat keutamaan ayat kursi keutamaan surah al baqarah keutamaan surat riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail tafsir ayat kursi

Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat

Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.

Menyikapi Pergeseran Arti “Syirik” dan “Munafik” di Masyarakat

Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.
Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.


Daftar Isi Toggle Antara syirik dan iri hatiMenyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?Kembali mengenal inti hidup Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.  Antara syirik dan iri hati Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu: Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki. Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan. Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik. Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi. Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48) Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala. Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar? Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik? Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat. Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik. Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل أمتي معافى إلا المجاهرين “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6] Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa? Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut: Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah. Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik. Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat. Kembali mengenal inti hidup Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Baca juga: Enggan Sedekah Adalah Ciri Kemunafikan *** Penulis: Reza Mahendra Artikel Muslim.or.id   Referensi: [1] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [2] At-Tauhid Al-Muyassar, hal. 20. [3] Tafsir Ibnu ‘Utsaimin, Surah An-Nisa ayat 54. [4] At-Tanbihat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Wajibat, hal. 127. [5] Al-Mufid fi Muhimmat At-Tauhid, hal. 191. [6] HR. Bukhari no. 6069.

Ketika Maksiat Menggodamu, Ucapkan Doa Nabi Yusuf Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Ketika Maksiat Menggodamu, Ucapkan Doa Nabi Yusuf Ini – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


Di antara faedah yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf adalah ketika peluang melakukan maksiat tersedia bagi seseorang, terlebih lagi jika dibarengi dengan dorongan dan godaan yang kuat. Hendaklah dia mengucapkan doa yang diucapkan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). “Aku berlindung kepada Allah! Sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.” Sebab, ketika itu segala sumber fitnah dan godaan telah tersedia bagi Nabi Yusuf. Pertama, beliau sebagai orang asing (di negeri Mesir), dan orang asing biasanya tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan penduduk asli negeri itu. Kedua, beliau sebagai budak, dan budak biasanya juga tidak takut melakukan aib sebagaimana yang ditakutkan orang yang merdeka. Ketiga, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah majikannya. Keempat, orang yang mengajak berbuat keji itu adalah ratu di istana itu. Ratu itulah yang punya kuasa memerintah dan melarang di sana. Kelima, wanita yang merayunya itu termasuk wanita yang paling cantik. Keenam, wanita itu – di samping kecantikannya – juga berdandan untuk Nabi Yusuf dengan dandanan yang paling menarik. Ketujuh, wanita itu telah menutup semua pintu, sehingga wanita itu dan Nabi Yusuf berada di tempat sepi, dan pintu-pintu sudah tertutup. Betapa itu adalah momen yang membutuhkan kesabaran besar! Dan Nabi Yusuf ‘alaihis shalatu wassalam mampu bersabar menghadapinya. Momen itu adalah momen kesabaran, yang Allah Ta’ala catat sebagai kisah yang terus diingat, peningkat derajat, dan pujian baginya. Jadi, setiap kali sebab-sebab kemaksiatan, godaan, dan fitnah itu tersedia bagimu, maka katakanlah seperti yang dikatakan Nabi Yusuf: MA-’AADZALLAAH (Aku berlindung kepada Allah). Lalu mintalah perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== مِنْ فَوَائِدِ قِصَّةِ يُوسُفَ أَنَّهُ عِنْدَمَا تَتَهَيَّأُ الْمَعْصِيَةُ لِلْإِنْسَانِ وَخَاصَّةً مَعَ قُوَّةِ الدَّافِعِ وَالْإِغْرَاءِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ فَإِنَّ يُوسُفَ قَدْ تَهَيَّأَتْ جَمِيعُ أَسْبَابِ الْفِتْنَةِ وَالْإِغْرَاءِ أَوَّلًا أَنَّهُ مُغْتَرِبٌ وَالْمُغْتَرِبُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى غَيْرُ المُغْتَرِب ثَانِيًا أَنَّهُ رَقِيقٌ وَالرَّقِيقُ لَا يَخْشَى مِنَ الْعَارِ كَمَا يَخْشَى الْحُرُّ ثَالِثًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ سَيِّدَتُهُ رَابِعًا أَنَّ الَّذِي دَعَاهُ لِذَلِكَ هِيَ مَلِكَةُ الْقَصْرِ وَهِيَ الْآمِرَةُ وَالنَّاهِيَةُ فِيهِ خَامِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ الَّتِي رَاوَدَتْهُ جَمِيلَةٌ مِنْ أَجْمَلِ النِّسَاءِ سَادِسًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ مَعَ جَمَالِهَا تَهَيَّأَتْ وَتَزَيَّنَتْ لَهُ بِأَبْلَغِ أَنْوَاعِ الزِّينَةِ سَابِعًا نَعَمْ ثَامِنًا أَنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ غَلَّقَتِ الأَبْوَابَ فَكَانَتْ هِيَ وَيُوسُفُ فِي الْمَكَانِ الْخَالِي وَالْأَبْوَابُ مُغْلَقَةٌ فَيَا لَهَا مِنْ لَحْظَةِ صَبْرٍ صَبَرَ يُوسُفُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَتِلْكَ اللَّحْظَةُ لَحْظَةُ الصَّبْرِ كَتَبَ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْخُلُودَ وَالرِّفْعَةَ وَالثَّنَاءَ فَكُلَّمَا تَهَيَّأَتْ أَسْبَابُ الْمَعْصِيَةِ وَالْإِغْرَاءِ وَالْفِتْنَةِ فَقُلْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ مَعَاذَ اللَّهِ وَالْتَجِئْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah
Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah


Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Apabila Mereka Sendirian, Mereka Melanggar Larangan Allah

إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 585 times, 1 visit(s) today Post Views: 585 QRIS donasi Yufid

Apabila Mereka Sendirian, Mereka Melanggar Larangan Allah

إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 585 times, 1 visit(s) today Post Views: 585 QRIS donasi Yufid
إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 585 times, 1 visit(s) today Post Views: 585 QRIS donasi Yufid


إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 585 times, 1 visit(s) today Post Views: 585 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Prev     Next