Musibah untuk Muhasabah

Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id

Musibah untuk Muhasabah

Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleApakah Allah menciptakan keburukan?Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikBerkah dalam setiap musibahPeristiwa yang terjadi di alam semesta ini datang silih berganti, seperti siang dan malam, panas dan hujan. Ada yang membuat hati berbunga-bunga, dan ada pula yang membuat mata berkaca berlinang air mataKetika kita diberi nikmat, hati terasa lapang, senyum pun mudah merekah. Kita merasa hidup sedang berpihak, dan dunia serasa indah. Namun, ketika musibah datang mengetuk, banyak di antara kita yang terdiam dalam duka, bahkan bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”Padahal kedua peristiwa atau kejadian tersebut merupakan sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ“Sesungguhnya segala sesuatu kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ“(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)Apakah Allah menciptakan keburukan? Allah memang menciptakan keburukan sebagaimana Dia menciptakan kebaikan, tetapi Dia tidak menyukai dan tidak memerintahkan kepada keburukan. Keburukan ada sebagai ujian. Memang menurut pandangan manusia itu buruk; tetapi di balik penciptaan tersebut, ada banyak hikmah kebaikan yang mungkin belum diketahui oleh manusia.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Begitu pula musibah yang terjadi di alam semesta ini adalah takdir dari Allah Ta’ala. Dengan adanya musibah ini, banyak sekali hikmah kebaikan yang akan dipetik oleh umat manusia.Musibah bukanlah azab bagi orang yang beriman, melainkan ujian. Melalui ujian itu, Allah ingin membersihkan hati, menghapus dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Betapa sering manusia lalai saat diberi nikmat, namun menjadi sadar dan kembali saat tertimpa musibah. Itulah kasih sayang Allah yang tersembunyi di balik rasa sedih yang menimpa.Baca doa ini agar musibahmu diganti dengan yang lebih baikUmmu Salamah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘INNAA LILLAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UN. ALLOHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON MINHAA’ (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik)’, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”Ketika Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut doa sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepadaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)Ganti yang lebih baik tidak mesti sifatnya dalam hal fisik. Bisa jadi ganti tersebut berupa bertambahnya kesabaran dan keimanan.Berkah dalam setiap musibahKetika seseorang sabar saat mendapatkan musibah, maka selain dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, ia juga akan mendapatkan surga yang telah dijanjikan sebagai buah atas kesabaranya.Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,ما لِعَبدِي المُؤمن عِندِي جَزَاء إِذَا قَبَضتُ صَفِيَّه مِنْ أَهلِ الدُّنيَا ثُمَّ احْتَسَبَه إِلاَّ الجنَّة“Tidak ada balasan (yang pantas) dari-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, apabila Aku mewafatkan orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian dia rida dengan musibah tersebut, melainkan (balasan) surga.” (HR. Bukhari)Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى“Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditentukan/ditakdirkan kepadanya suatu tingkatan (di surga, pent.), namun dia belum bisa meraihnya dengan sebab seluruh amalnya, maka Allah akan timpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya, atau pada anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut. Sehingga dengan sebab tersebut, Allah sampaikan dia pada tingkatan (di surga, pent.) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2686, dengan sanad yang sahih)Saat musibah datang, janganlah buru-buru berburuk sangka. Mungkin itu adalah jalan Allah untuk menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk. Atau cara-Nya mengingatkan kita yang terlalu lama lalai. Sebagaimana hujan deras bisa menyuburkan tanah yang gersang, begitu pula musibah bisa menyuburkan jiwa yang mulai kering dari iman.Musibah sejatinya adalah panggilan dari Allah, agar kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia, menundukkan diri, dan bertanya, “Sudah sejauh apa aku dari Allah?” Ia adalah alarm jiwa agar kita lebih peka untuk kembali kepada-Nya.Ketika musibah mengetuk pintu, bukalah dengan sabar. Sambutlah dengan iman. Karena bisa jadi, itu adalah cara Allah menunjukkan, “… bahwa Dia masih peduli padamu, masih menyayangimu, dan memintamu untuk kembali mendekat kepada-Nya.”Baca juga: Di Balik Musibah yang Menimpa***Penulis: Arif Muhammad N.Artikel Muslim.or.id

Doa Memohon Cinta Allah, Kekasih-Nya, dan Amal Terbaik

Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah

Doa Memohon Cinta Allah, Kekasih-Nya, dan Amal Terbaik

Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah
Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah


Setiap hamba yang beriman pasti mendambakan satu hal: dicintai oleh Allah.Karena cinta Allah adalah sumber kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi.Doa ini bukan sekadar permintaan biasa, tapi permintaan tertinggi dalam hidup seorang muslim.Ia mencakup cinta kepada Allah, cinta kepada orang-orang shalih, dan cinta kepada amal saleh.Inilah doa yang merangkum seluruh kebaikan hidup, dunia maupun akhirat.اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta kepada-Mu, cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu.”(HR. Tirmidzi no. 3235, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)🌱 Penjelasan Makna Doa:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu”▶ Ini adalah permintaan tertinggi: mendapat cinta Allah.Cinta Allah bukan sekadar perasaan, tapi mencakup keridhaan-Nya, rahmat-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.Siapa yang dicintai Allah, maka ia akan dibimbing dalam kebaikan dan dijaga dari kesesatan. وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ“dan cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu”▶ Ini mengajarkan bahwa cinta karena Allah adalah indikasi iman sejati.Mencintai orang-orang shalih, para ulama, dan orang yang taat kepada Allah menunjukkan kesucian hati. Sebaliknya, membenci mereka adalah tanda kelemahan iman. Dengan mencintai mereka, kita terdorong meneladani amal mereka dan tetap berada dalam lingkungan yang menguatkan iman.وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ“dan cinta kepada amal yang mendekatkanku kepada cinta-Mu”▶ Cinta yang benar butuh bukti dan usaha. Maka kita meminta kepada Allah agar hati kita mencintai ibadah — bukan sekadar menjalankannya karena kewajiban, tapi karena rasa cinta.Ketika seseorang mencintai amal saleh (seperti shalat, sedekah, dzikir), maka amal itu akan mengantar dirinya untuk lebih dicintai Allah. Doa untuk plural atau jamakاللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَAllāhumma innā nasʾaluk(a) ḥubbak(a), wa ḥubba man yuḥibbuk(a), wa ḥubba ʿamalin yuqarribunā ilā ḥubbik.(Ya Allah, kami memohon agar dapat mencintai-Mu, dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal yang dapat mendekatkan kami kepada cinta-Mu.)Baca Juga: 10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah Doa Nabi Daud: Meminta Cinta Allah Dr. Muhammad Abduh Tuasikal2 Muharram 1447 H @ JECArtikel Rumaysho.Com Tagsbersyukur cinta mahabbah

Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah

Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-Thahawiyah

Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleImam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKeistimewaan dan pengaruhnyaBeberapa kritik dan klarifikasiSepanjang perjalanan sejarah keilmuan Islam, banyak karya besar lahir dari para ulama yang bukan hanya menguasai satu bidang, melainkan memiliki keluasan ilmu dalam berbagai cabang, termasuk dalam urusan akidah. Salah satu karya fenomenal yang terus diajarkan hingga kini adalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, sebuah kitab ringkas, namun penuh kandungan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kitab ini menjadi referensi penting, tidak hanya bagi pelajar pemula, tapi juga bagi para pengajar dan peneliti akidah Islam.Di tengah derasnya arus pemikiran modern dan berbagai penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip akidah, penting bagi setiap muslim untuk memiliki fondasi keyakinan yang kokoh dan bersumber dari pemahaman salafus shalih. Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan itu: ringkas, padat, dan mengacu pada pemahaman generasi terbaik umat ini. Inilah yang menjadikan kitab ini relevan sepanjang zaman.Artikel ini akan mengupas tentang penulis kitab, latar belakang penulisan, keistimewaan isinya, serta beberapa catatan yang dikemukakan oleh para ulama terkait gaya dan redaksi kitab ini. Semoga menjadi awal yang berkah bagi kita untuk mendalami akidah yang sahih sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Imam Abu Ja’far ath-ThahawiKitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah dinisbahkan kepada seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi ath-Thahawi. Beliau lahir pada tahun 239 H di desa Ṭaḥā, di wilayah Mesir Hulu, dan karena itu dikenal dengan julukan “ath-Thahawi”. Beliau berasal dari keluarga yang mencintai ilmu, dan sejak kecil telah menekuni berbagai disiplin ilmu Islam.Menariknya, Imam ath-Thahawi awalnya menganut mazhab Syafi’i, namun kemudian berpindah ke mazhab Hanafi setelah berguru langsung kepada Imam Abu Ja’far al-Hakim, murid dari Imam Abu Yusuf, sahabat dekat Imam Abu Hanifah. Perpindahan mazhab ini tidak terjadi karena fanatisme, melainkan karena kedalaman pencarian ilmu dan pertimbangan istidlal (metode berdalil) yang matang.Ketokohan ath-Thahawi dalam mazhab Hanafi tidak dapat disangkal. Beliau bahkan mencapai derajat pemimpin mazhab Hanafi di Mesir, karena penguasaan yang dalam terhadap fikih dan ushulnya. Namun demikian, karya al-‘Aqidah ath-Thahawiyah menunjukkan bahwa dalam urusan akidah, beliau teguh mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan oleh para sahabat dan tabi’in.Imam ath-Thahawi wafat pada tahun 321 H. Namanya senantiasa harum dalam sejarah keilmuan Islam. Kepribadiannya dikenal tawadhu’, ilmunya luas, dan tulisannya penuh hikmah. Kitab akidah yang ia susun hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam pembelajaran akidah di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah: Ringkas tapi luasKitab ini tidak diberi nama secara langsung oleh penulisnya, namun karena dinisbahkan kepada beliau, maka dikenal dengan nama al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang disusun dalam bentuk poin-poin singkat tanpa detail panjang atau penyebutan dalil secara sistematis.Tujuan utama penyusunan kitab ini adalah untuk memberikan kerangka dasar akidah yang mudah dihafal dan diajarkan. Oleh sebab itu, Imam ath-Thahawi menyusunnya secara padat, tanpa banyak menyebutkan ayat maupun hadis. Tercatat hanya sekitar 10 kutipan Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab ini, serta beberapa hadis yang sifatnya umum.Meski begitu, isi kitab ini sejatinya dibangun di atas dalil-dalil syar’i dan warisan pemahaman sahabat. Redaksi yang digunakan jelas dan tidak bertele-tele, serta mencakup banyak aspek penting dalam akidah: tauhid, nama dan sifat Allah, iman, qadar, sikap terhadap sahabat Nabi, dan lain-lain. Ini menjadikan kitab ini sangat efektif sebagai pegangan awal dalam mempelajari akidah yang lurus.Kitab ini tidak hanya dikaji oleh ulama masa lampau. Hingga hari ini, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tetap menjadi bahan ajar resmi di banyak lembaga keilmuan Islam, termasuk di universitas-universitas Islam besar seperti Universitas Islam Madinah dan Al-Azhar. Ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh dan pentingnya kitab ini dalam penguatan pemahaman akidah.Baca juga: Biografi Abdullah bin Al-MubarakKeistimewaan dan pengaruhnyaSalah satu keistimewaan kitab ini adalah keberhasilannya merangkum prinsip-prinsip akidah dalam bentuk yang sangat ringkas, namun tidak mengurangi kedalaman isinya. Imam ath-Thahawi menyusun kitab ini tidak untuk debat, tetapi sebagai panduan keimanan yang bisa langsung dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, banyak pesantren dan lembaga pendidikan yang menjadikannya teks utama dalam pelajaran akidah.Kitab ini juga sangat dihormati oleh para ulama besar. Syekhul Islam Ibn Taymiyyah, misalnya, sering mengutip isinya dalam Bayān Talbīs al-Jahmiyyah. Ibn al-Qayyim pun merujuknya dalam karya monumental Ijtimā‘ al-Juyūsh al-Islāmiyyah. Bahkan, generasi mutakhir seperti Syekh Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdul Muhsin al-Abbad masih memberikan syarah (penjelasan) atas kitab ini dalam kuliah-kuliah mereka.Kekuatan lain dari kitab ini adalah bahwa ia mampu menyatukan kalangan Ahlus Sunnah dari berbagai mazhab fikih. Meski penulisnya seorang Hanafiy, kandungan akidahnya selaras dengan pemahaman salaf yang juga dipegang oleh para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa urusan akidah tidak semestinya terikat dengan perbedaan fikih, melainkan harus tunduk pada kebenaran wahyu.Bagi penuntut ilmu, menguasai isi al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah langkah awal yang sangat penting. Penguasaan terhadap ilmu pada isi kitab ini menjadi jembatan yang aman menuju pemahaman tauhid yang benar, dan sekaligus bekal untuk mengenal penyimpangan-penyimpangan yang lahir dari pemikiran rasionalis yang menyimpang dari nash-nash syar’i.Beberapa kritik dan klarifikasiSebagaimana kitab klasik lainnya, al-‘Aqidah ath-Thahawiyah tidak luput dari beberapa kritik. Para ulama membaginya menjadi dua jenis: kritik formal (tata penyusunan) dan kritik substansial (isi kandungan). Kritik ini tidak bertujuan merendahkan karya ulama terdahulu, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah dalam menjaga kemurnian akidah.Kritik formal mencakup tiga hal: kurangnya urutan sistematis sesuai hadits Jibril, adanya pengulangan beberapa poin, serta penggunaan gaya sajak dalam sebagian kalimat. Namun, ulama menjelaskan bahwa hal ini bukanlah kekurangan mutlak, sebab bisa dimaklumi berdasarkan konteks zaman dan tujuan penyusunan kitab.Adapun kritik substansial mencakup sekitar sepuluh poin yang dianggap menggunakan istilah atau redaksi yang terlalu global. Redaksi semacam ini bisa ditafsirkan sesuai pemahaman Ahlus Sunnah, namun juga bisa dibawa ke arah pemikiran ahli kalam (seperti Mu’tazilah atau Jahmiyyah) jika tidak dijelaskan. Oleh karena itu, syarah (penjelasan) terhadap kitab ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.Syarah terbaik yang paling populer adalah karya Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, yang menjelaskan setiap poin secara detail, lengkap dengan dalil dan bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Dengan syarah yang baik, kitab ini menjadi sangat aman dan bermanfaat untuk dipelajari. Sehingga penting bagi para pengajar untuk mengajarkan kitab ini disertai penjelasan, bukan sekadar dibaca lepas.Kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah adalah mutiara yang bersinar dalam khazanah akidah Islam. Ringkas namun padat, ringan dibaca namun berat makna, kitab ini memberikan fondasi kokoh bagi setiap muslim yang ingin memahami tauhid dan prinsip-prinsip iman sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.Wallahu Ta’ala a‘lam.Baca juga: Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id

Punya Utang tapi Gak Niat Bayar? Dengar Ini! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ

Punya Utang tapi Gak Niat Bayar? Dengar Ini! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ


Semoga Allah berbuat baik kepada Anda. Ada yang bertanya: “Adakah nasihat bagi orang yang berutang lalu meremehkan pelunasannya?” Tidak diragukan bahwa utang adalah perkara besar. Dan yang terbaik bagi seorang mukmin adalah hidup dengan punggung yang ringan dari beban utang. Kamu hidup sederhana lebih baik daripada menanggung utang demi hidup berkecukupan. Namun, jika seseorang benar-benar membutuhkan utang, maka siapa pun yang berutang dan mengambil harta orang lain, hendaklah ia berniat untuk melunasinya, niscaya Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Namun jika dia mengambil utang dari orang lain tanpa ada niat untuk membayarnya, maka kelak ia akan tertahan di kuburnya akibat utang itu, dan terancam mendapat azab. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang berutang untuk membalas kebaikan orang yang memberi utang dengan kebaikan pula. Bagaimana mungkin ia membalas kebaikan dengan keburukan?! Ketika hendak mengambil utang, wajib baginya berniat dalam hatinya untuk melunasi utangnya tersebut. Jika dalam hatinya tidak ada niat tersebut, maka hendaknya ia tidak berutang. Kemudian ia harus bersungguh-sungguh mengembalikan utang kepada pemberi utang, melebihi kesungguhannya untuk mencari uang bagi dirinya sendiri, agar dia selamat. ==== أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكُمْ يَقُولُ هَلْ مِنْ نَصِيحَةٍ لِمَنْ يَسْتَدِيْنُ الْمَالَ وَيَتَهَاوَنُ فِي سِدَادِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ الدَّيْنَ أَمْرٌ عَظِيمٌ وَأَنَّ الْخَيْرَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ خَفِيفَ الظَّهْرِ مِنْ الدَّيْنِ أَنْ تَعِيشَ فِي قِلَّةٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَتَحَمَّلَ دَيْنًا لِتَتَوَسَّعَ لَكِنْ إِذَا احْتَاجَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدَّيْنِ فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَدَانَ وَأَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَفَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ أَمَّا إِنْ أَخَذَهَا وَهُوَ لَا يُرِيدُ وَفَاءَهَا فَإِنَّهُ يُحْبَسُ فِي قَبْرِهِ بِدَيْنِهِ وَمَوْعُودٌ بِالْعَذَابِ فَالْوَاجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ إِذَا اسْتَدَانَ أَنْ يُقَابِلَ الْإِحْسَانَ بِالْإِحْسَانِ كَيْفَ يُقَابِلُ الْإِحْسَانَ بِالْإِسَاءَةِ؟ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ الدَّيْنِ أَنْ يَنْوِيَ فِي قَلْبِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ الدَّيْنَ فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ فِي قَلْبِهِ هَذِهِ النِّيَّةَ فَلْيَتْرُكْ الِاسْتِدَانَةَ ثُمَّ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَرُدَّ الدَّيْنَ إِلَى أَهْلِهِ أَكْثَرَ مِنْ حِرْصِهِ عَلَى تَحْصِيلِ الْمَالِ لِنَفْسِهِ لِيَسْلَمَ

Cuplikan Faedah Ilmu Tauhid

Daftar Isi ToggleTiga macam tauhidHakikat ajaran Nabi IbrahimSalah paham pada sebagian kalanganDakwah menuju tauhidTiga macam tauhidAllah berfirman,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu, para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dan sebagainya. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu, hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa salat, sembelihan, doa, istighatsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu, seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.Hakikat ajaran Nabi IbrahimAllah berfirman,ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, “Hendaklah kamu mengikuti millah (ajaran) Ibrahim yang hanif, dan sama sekali dia bukan termasuk kalangan orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)Di dalam ayat yang agung ini, Allah memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah, ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu ajaran tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya.Ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah agama Islam yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul. Setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Allah menyebut ajaran Nabi Ibrahim sebagai ajaran yang hanif. Para ulama juga menyebut ajaran tauhid ini dengan istilah “Al-Hanifiyyah”. Inilah hakikat dari millah (ajaran agama) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan juga para rasul yang lain. Yang demikian itu karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang hanif, yaitu yang ikhlas beribadah kepada Allah.Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Orang yang hanif adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala -sesembahan- selain-Nya. Inilah hakikat orang yang hanif, yang menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, amal, niat, dan kehendaknya seluruhnya dipersembahkan kepada Allah, dan dia berpaling dari selain-Nya.” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Allah berfirman,مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Bukanlah Ibrahim itu orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas membantah klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku sebagai pengikut ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan tidaklah berada di atas ajaran dan agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim -di antara umat akhir zaman ini- kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya yang setia. Sehingga pengakuan kaum Yahudi atau Nasrani bahwa mereka berada di atas agama Nabi Ibrahim adalah dusta belaka! Silahkan baca keterangan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat tersebut.Baca juga: Tantangan Dakwah TauhidSalah paham pada sebagian kalanganSebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu, mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).Disebutkan oleh Syekh Al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.Di antara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan semata. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu, para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.Mengesampingkan dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah membawakan perkataan salaf mengenai tafsir ayat ke-25 dari surah Al-Anbiya’. Dari Qatadah, beliau mengatakan, “Para rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid …” (Lihat Tafsir Ath-Thabari untuk ayat tersebut di tautan ini)Allah berfirman,إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir), apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, yaitu wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)Dakwah menuju tauhidAllah berfirman,قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang nyata). Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah: 1) dakwah kepada tauhid; 2) dakwah kepada agama-Nya; dan 3) dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (Lihat At-Tamhid, hal. 65)Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama atau materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u (orang yang didakwahi) dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya (metode yang hikmah). (Lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 82)Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

Cuplikan Faedah Ilmu Tauhid

Daftar Isi ToggleTiga macam tauhidHakikat ajaran Nabi IbrahimSalah paham pada sebagian kalanganDakwah menuju tauhidTiga macam tauhidAllah berfirman,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu, para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dan sebagainya. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu, hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa salat, sembelihan, doa, istighatsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu, seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.Hakikat ajaran Nabi IbrahimAllah berfirman,ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, “Hendaklah kamu mengikuti millah (ajaran) Ibrahim yang hanif, dan sama sekali dia bukan termasuk kalangan orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)Di dalam ayat yang agung ini, Allah memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah, ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu ajaran tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya.Ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah agama Islam yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul. Setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Allah menyebut ajaran Nabi Ibrahim sebagai ajaran yang hanif. Para ulama juga menyebut ajaran tauhid ini dengan istilah “Al-Hanifiyyah”. Inilah hakikat dari millah (ajaran agama) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan juga para rasul yang lain. Yang demikian itu karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang hanif, yaitu yang ikhlas beribadah kepada Allah.Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Orang yang hanif adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala -sesembahan- selain-Nya. Inilah hakikat orang yang hanif, yang menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, amal, niat, dan kehendaknya seluruhnya dipersembahkan kepada Allah, dan dia berpaling dari selain-Nya.” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Allah berfirman,مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Bukanlah Ibrahim itu orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas membantah klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku sebagai pengikut ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan tidaklah berada di atas ajaran dan agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim -di antara umat akhir zaman ini- kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya yang setia. Sehingga pengakuan kaum Yahudi atau Nasrani bahwa mereka berada di atas agama Nabi Ibrahim adalah dusta belaka! Silahkan baca keterangan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat tersebut.Baca juga: Tantangan Dakwah TauhidSalah paham pada sebagian kalanganSebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu, mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).Disebutkan oleh Syekh Al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.Di antara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan semata. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu, para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.Mengesampingkan dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah membawakan perkataan salaf mengenai tafsir ayat ke-25 dari surah Al-Anbiya’. Dari Qatadah, beliau mengatakan, “Para rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid …” (Lihat Tafsir Ath-Thabari untuk ayat tersebut di tautan ini)Allah berfirman,إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir), apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, yaitu wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)Dakwah menuju tauhidAllah berfirman,قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang nyata). Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah: 1) dakwah kepada tauhid; 2) dakwah kepada agama-Nya; dan 3) dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (Lihat At-Tamhid, hal. 65)Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama atau materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u (orang yang didakwahi) dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya (metode yang hikmah). (Lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 82)Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleTiga macam tauhidHakikat ajaran Nabi IbrahimSalah paham pada sebagian kalanganDakwah menuju tauhidTiga macam tauhidAllah berfirman,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu, para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dan sebagainya. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu, hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa salat, sembelihan, doa, istighatsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu, seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.Hakikat ajaran Nabi IbrahimAllah berfirman,ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, “Hendaklah kamu mengikuti millah (ajaran) Ibrahim yang hanif, dan sama sekali dia bukan termasuk kalangan orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)Di dalam ayat yang agung ini, Allah memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah, ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu ajaran tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya.Ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah agama Islam yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul. Setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Allah menyebut ajaran Nabi Ibrahim sebagai ajaran yang hanif. Para ulama juga menyebut ajaran tauhid ini dengan istilah “Al-Hanifiyyah”. Inilah hakikat dari millah (ajaran agama) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan juga para rasul yang lain. Yang demikian itu karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang hanif, yaitu yang ikhlas beribadah kepada Allah.Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Orang yang hanif adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala -sesembahan- selain-Nya. Inilah hakikat orang yang hanif, yang menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, amal, niat, dan kehendaknya seluruhnya dipersembahkan kepada Allah, dan dia berpaling dari selain-Nya.” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Allah berfirman,مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Bukanlah Ibrahim itu orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas membantah klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku sebagai pengikut ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan tidaklah berada di atas ajaran dan agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim -di antara umat akhir zaman ini- kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya yang setia. Sehingga pengakuan kaum Yahudi atau Nasrani bahwa mereka berada di atas agama Nabi Ibrahim adalah dusta belaka! Silahkan baca keterangan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat tersebut.Baca juga: Tantangan Dakwah TauhidSalah paham pada sebagian kalanganSebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu, mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).Disebutkan oleh Syekh Al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.Di antara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan semata. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu, para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.Mengesampingkan dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah membawakan perkataan salaf mengenai tafsir ayat ke-25 dari surah Al-Anbiya’. Dari Qatadah, beliau mengatakan, “Para rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid …” (Lihat Tafsir Ath-Thabari untuk ayat tersebut di tautan ini)Allah berfirman,إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir), apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, yaitu wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)Dakwah menuju tauhidAllah berfirman,قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang nyata). Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah: 1) dakwah kepada tauhid; 2) dakwah kepada agama-Nya; dan 3) dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (Lihat At-Tamhid, hal. 65)Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama atau materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u (orang yang didakwahi) dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya (metode yang hikmah). (Lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 82)Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleTiga macam tauhidHakikat ajaran Nabi IbrahimSalah paham pada sebagian kalanganDakwah menuju tauhidTiga macam tauhidAllah berfirman,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa makna beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya; memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.Tauhid dalam makna yang lebih luas adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; seperti mencipta, mengatur, dan menguasai alam, begitu pula keesaan Allah dalam hal ibadah dan kesempurnaan nama dan sifat-Nya. Oleh sebab itu, para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang mengaturnya, dan yang menguasai alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi rezeki, yang menurunkan hujan, yang menumbuhkan tanam-tanaman, dan sebagainya. Tauhid rububiyah ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam; karena kaum musyrikin pun telah mengakuinya dan hal itu belum membuat mereka bisa tergolong kaum muslimin.Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Yaitu, hamba menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya; apakah itu nabi, wali, atau malaikat, atau apa pun selain Allah. Segala bentuk ibadah berupa salat, sembelihan, doa, istighatsah, nadzar, hanya ditujukan kepada Allah, tidak ditujukan kepada selain-Nya. Tauhid uluhiyah atau disebut tauhid ibadah merupakan pokok ajaran Islam dan sebab diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul. Tauhid inilah yang terkandung dalam kalimat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Allah semata.Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Yaitu, seorang muslim wajib meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menolak, tanpa menyelewengkan, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalam hal tauhid asma’ wa shifat inilah muncul berbagai kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Ada kelompok yang terjerumus dalam tasybih; yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan ada pula yang terjerumus dalam ta’thil; yaitu menolak sifat-sifat Allah semacam Jahmiyah.Hakikat ajaran Nabi IbrahimAllah berfirman,ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, “Hendaklah kamu mengikuti millah (ajaran) Ibrahim yang hanif, dan sama sekali dia bukan termasuk kalangan orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)Di dalam ayat yang agung ini, Allah memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti millah, ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu ajaran tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan sesembahan selain-Nya.Ajaran Nabi Ibrahim tidak lain adalah agama Islam yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul. Setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut (sesembahan selain Allah). Allah berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)Allah menyebut ajaran Nabi Ibrahim sebagai ajaran yang hanif. Para ulama juga menyebut ajaran tauhid ini dengan istilah “Al-Hanifiyyah”. Inilah hakikat dari millah (ajaran agama) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan juga para rasul yang lain. Yang demikian itu karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang yang hanif, yaitu yang ikhlas beribadah kepada Allah.Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Orang yang hanif adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala -sesembahan- selain-Nya. Inilah hakikat orang yang hanif, yang menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, amal, niat, dan kehendaknya seluruhnya dipersembahkan kepada Allah, dan dia berpaling dari selain-Nya.” (Lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)Allah berfirman,مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Bukanlah Ibrahim itu orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas membantah klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku sebagai pengikut ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan tidaklah berada di atas ajaran dan agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim -di antara umat akhir zaman ini- kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya yang setia. Sehingga pengakuan kaum Yahudi atau Nasrani bahwa mereka berada di atas agama Nabi Ibrahim adalah dusta belaka! Silahkan baca keterangan Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat tersebut.Baca juga: Tantangan Dakwah TauhidSalah paham pada sebagian kalanganSebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu, mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).Disebutkan oleh Syekh Al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.Di antara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan semata. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu, para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.Mengesampingkan dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?Allah berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah membawakan perkataan salaf mengenai tafsir ayat ke-25 dari surah Al-Anbiya’. Dari Qatadah, beliau mengatakan, “Para rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid …” (Lihat Tafsir Ath-Thabari untuk ayat tersebut di tautan ini)Allah berfirman,إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ“Sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir), apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ mereka pun menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami demi mengikuti seorang penyair yang gila’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kandungan dan konsekuensi dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, yaitu wajibnya menyingkirkan segala bentuk syirik dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, mereka menolak dakwah tauhid. (Lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 7)Dakwah menuju tauhidAllah berfirman,قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah (ilmu yang nyata). Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku.’” (QS. Yusuf: 108)Yang dimaksud mengajak menuju Allah adalah: 1) dakwah kepada tauhid; 2) dakwah kepada agama-Nya; dan 3) dakwah yang dibangun di atas keikhlasan. Dan dalam menegakkan dakwah ini pun harus berlandaskan dengan ilmu dan keyakinan. Tidak boleh berdakwah bermodalkan kebodohan. (Lihat At-Tamhid, hal. 65)Dengan demikian, dakwah ini harus tegak di atas ilmu dan keikhlasan. Penyebab terbesar yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud ilmu di sini bukan hanya seputar hukum agama atau materi dakwahnya, tetapi ia juga mencakup pemahaman terhadap kondisi mad’u (orang yang didakwahi) dan cara yang paling tepat untuk mendakwahinya (metode yang hikmah). (Lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1: 82)Ayat-ayat di atas kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya dakwah tauhid. Karena mengingat besarnya kebutuhan manusia guna membenahi akidah mereka, dan mengajarkan tauhid ini merupakan kewajiban yang paling utama, akidah tauhid ini pula yang menjadi asas tegaknya amal saleh. Oleh sebab itu, para rasul menjadikan akidah tauhid ini sebagai prioritas utama dalam dakwahnya. Begitu pula penjelasan Allah di dalam Al-Qur’an tentang tauhid juga menempati posisi dan jatah yang paling besar. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 5-6)Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid***Penulis: Ari WahyudiArtikel Muslim.or.id

3 Waktu Saat Orang Lalai, Justru Ini Waktu Terbaik untuk Raih Pahala Besar

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Artinya, jika seseorang salat dua rakaat, maka ia menggerakkan seluruh persendiannya, sehingga terwujudlah rasa syukurnya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saja bersabda: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” (HR. Muslim) tapi apa sabda lengkapnya? “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Kapan dua rakaat ini dikerjakan? “…dua rakaat yang ia kerjakan pada waktu duha.” Mengapa di waktu duha? Agar pahala dilipatgandakan. Anda benar! Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Salah satu kaidah diagungkan dan diutamakannya suatu amalan dalam syariat: adalah amalan itu dilakukan pada waktu orang-orang sedang lalai. Sebab pada waktu duha, manusia sibuk mengejar urusan dunia mereka. Apa contoh lain pengagungan amal pada waktu lalai? Ya, Anda, silakan! Ya? Ya, di sepertiga malam terakhir. Ada yang lebih mudah daripada itu. Doa apa? Bukan, itu masih ada pembahasan! Ada amalan yang lebih mudah dari itu, disebutkan dalam hadis Ubadah bin Ash-Shamit dalam Shahih Bukhari: “Barang siapa yang terbangun di malam hari…” Maksudnya, orang yang terbangun pada malam hari dan masih ingin apa? Masih ingin kembali tidur di kasurnya, bukan karena ingin bangun untuk salat. “Barang siapa yang terbangun di malam hari lalu mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah…Wallaahu akbar wa laa ilaaha illallaah…wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Maka jika kemudian ia memohon ampun, niscaya akan diampuni dan jika ia bangun dan mendirikan salat dua rakaat, maka salat itu akan diterima.” (HR. Bukhari dibawakan Syaikh secara makna). Pahala amalan ini dijadikan lebih besar. Mengapa? Karena ia dilakukan pada waktu orang sedang lalai. Seorang perawi hadis ini mengatakan: “Aku ingin menerapkan hadis ini tapi aku tidak mampu.” Karena begitu susah dilakukan. Betapa banyak dari kita, ada yang terbangun di malam hari, terjaga, kemudian ia duduk beberapa menit, lalu kembali tidur, tetapi ia tidak mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah wallaahu akbar… hingga akhir zikir. Inilah salah satu cara syariat dalam mengutamakan amal, dan masih ada contoh-contoh lain. ==== قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ أَيْ لِأَنَّهُ إِذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ رَكْعَتَيْنِ حَرَّكَ جَمِيْعَ مَفَاصِلِهِ فَوَقَعَ الشُّكْرُ لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ قَالَ إِيشْ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ مَتَى يَرْكَعُهُمَا؟ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى لِمَاذَا؟ يُعَظَّمُ الْأَجْرُ أَحْسَنْتَ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ وَمِنْ قَوَاعِدِ تَعْظِيمِ الْعَمَلِ وَتَفْضِيلِهِ فِي الشَّرْعِ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُهُ فِي وَقْتِ غَفْلَةٍ فَالنَّاسُ فِي الضُّحَى مُقْبِلُونَ عَلَى طَلَبِ مَصَالِحِهِمْ فِي الدُّنْيَا مِثْلُ أَيْش تَعْظِيمُ الْعَمَلِ فِي وَقْتِ الْغَفْلَةِ؟ نَعَمْ إيشْ؟ أَنْتَ نَعَمْ تَفَضَّلْ نَعَمْ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ دُعَاءُ أَيْش؟ لَا فِيهِ مَقَالٌ هَذَا أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي صَحِيح الْبُخَارِيِّ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَعْنِي اسْتَيْقَظَ أَثْنَاءَ اللَّيْلِ مُرِيدًا إِيْش؟ مُرِيدًا لِلْبَقَاءِ عَلَى الْفِرَاشِ لَيْسَ مُرِيدَ الْقِيَامِ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنِ اسْتَغْفَرَ أَيْش؟ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قُبِلَتَا مِنْهُ عُظِّمَ الْعَمَلُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ وَقْتُ غَفَلَةٍ قَالَ بَعْضُ رُوَاةِ الْحَدِيثِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعْمَلَ ذَلِكَ فَلَمْ أَقْدِرْ لِمَشَقَّتِهِ قَدْ تَجِدُ كَمْ وَاحِدٌ مِنَّا مَنْ يَتَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَسْتَيْقِظُ ثُمَّ يَجْلِسُ دَقَائِقَ ثُمَّ يَرْجِعُ لَكِنْ مَا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ إِلَى آخِرِ الذِّكْرِ فَهَذَا مِنْ طَرَائِقِ الشَّرِيعَةِ فِي تَفْضِيلِ الْعَمَلِ وَلَهُ صُوَرٌ أُخْرَى

3 Waktu Saat Orang Lalai, Justru Ini Waktu Terbaik untuk Raih Pahala Besar

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Artinya, jika seseorang salat dua rakaat, maka ia menggerakkan seluruh persendiannya, sehingga terwujudlah rasa syukurnya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saja bersabda: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” (HR. Muslim) tapi apa sabda lengkapnya? “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Kapan dua rakaat ini dikerjakan? “…dua rakaat yang ia kerjakan pada waktu duha.” Mengapa di waktu duha? Agar pahala dilipatgandakan. Anda benar! Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Salah satu kaidah diagungkan dan diutamakannya suatu amalan dalam syariat: adalah amalan itu dilakukan pada waktu orang-orang sedang lalai. Sebab pada waktu duha, manusia sibuk mengejar urusan dunia mereka. Apa contoh lain pengagungan amal pada waktu lalai? Ya, Anda, silakan! Ya? Ya, di sepertiga malam terakhir. Ada yang lebih mudah daripada itu. Doa apa? Bukan, itu masih ada pembahasan! Ada amalan yang lebih mudah dari itu, disebutkan dalam hadis Ubadah bin Ash-Shamit dalam Shahih Bukhari: “Barang siapa yang terbangun di malam hari…” Maksudnya, orang yang terbangun pada malam hari dan masih ingin apa? Masih ingin kembali tidur di kasurnya, bukan karena ingin bangun untuk salat. “Barang siapa yang terbangun di malam hari lalu mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah…Wallaahu akbar wa laa ilaaha illallaah…wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Maka jika kemudian ia memohon ampun, niscaya akan diampuni dan jika ia bangun dan mendirikan salat dua rakaat, maka salat itu akan diterima.” (HR. Bukhari dibawakan Syaikh secara makna). Pahala amalan ini dijadikan lebih besar. Mengapa? Karena ia dilakukan pada waktu orang sedang lalai. Seorang perawi hadis ini mengatakan: “Aku ingin menerapkan hadis ini tapi aku tidak mampu.” Karena begitu susah dilakukan. Betapa banyak dari kita, ada yang terbangun di malam hari, terjaga, kemudian ia duduk beberapa menit, lalu kembali tidur, tetapi ia tidak mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah wallaahu akbar… hingga akhir zikir. Inilah salah satu cara syariat dalam mengutamakan amal, dan masih ada contoh-contoh lain. ==== قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ أَيْ لِأَنَّهُ إِذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ رَكْعَتَيْنِ حَرَّكَ جَمِيْعَ مَفَاصِلِهِ فَوَقَعَ الشُّكْرُ لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ قَالَ إِيشْ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ مَتَى يَرْكَعُهُمَا؟ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى لِمَاذَا؟ يُعَظَّمُ الْأَجْرُ أَحْسَنْتَ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ وَمِنْ قَوَاعِدِ تَعْظِيمِ الْعَمَلِ وَتَفْضِيلِهِ فِي الشَّرْعِ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُهُ فِي وَقْتِ غَفْلَةٍ فَالنَّاسُ فِي الضُّحَى مُقْبِلُونَ عَلَى طَلَبِ مَصَالِحِهِمْ فِي الدُّنْيَا مِثْلُ أَيْش تَعْظِيمُ الْعَمَلِ فِي وَقْتِ الْغَفْلَةِ؟ نَعَمْ إيشْ؟ أَنْتَ نَعَمْ تَفَضَّلْ نَعَمْ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ دُعَاءُ أَيْش؟ لَا فِيهِ مَقَالٌ هَذَا أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي صَحِيح الْبُخَارِيِّ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَعْنِي اسْتَيْقَظَ أَثْنَاءَ اللَّيْلِ مُرِيدًا إِيْش؟ مُرِيدًا لِلْبَقَاءِ عَلَى الْفِرَاشِ لَيْسَ مُرِيدَ الْقِيَامِ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنِ اسْتَغْفَرَ أَيْش؟ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قُبِلَتَا مِنْهُ عُظِّمَ الْعَمَلُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ وَقْتُ غَفَلَةٍ قَالَ بَعْضُ رُوَاةِ الْحَدِيثِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعْمَلَ ذَلِكَ فَلَمْ أَقْدِرْ لِمَشَقَّتِهِ قَدْ تَجِدُ كَمْ وَاحِدٌ مِنَّا مَنْ يَتَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَسْتَيْقِظُ ثُمَّ يَجْلِسُ دَقَائِقَ ثُمَّ يَرْجِعُ لَكِنْ مَا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ إِلَى آخِرِ الذِّكْرِ فَهَذَا مِنْ طَرَائِقِ الشَّرِيعَةِ فِي تَفْضِيلِ الْعَمَلِ وَلَهُ صُوَرٌ أُخْرَى
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Artinya, jika seseorang salat dua rakaat, maka ia menggerakkan seluruh persendiannya, sehingga terwujudlah rasa syukurnya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saja bersabda: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” (HR. Muslim) tapi apa sabda lengkapnya? “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Kapan dua rakaat ini dikerjakan? “…dua rakaat yang ia kerjakan pada waktu duha.” Mengapa di waktu duha? Agar pahala dilipatgandakan. Anda benar! Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Salah satu kaidah diagungkan dan diutamakannya suatu amalan dalam syariat: adalah amalan itu dilakukan pada waktu orang-orang sedang lalai. Sebab pada waktu duha, manusia sibuk mengejar urusan dunia mereka. Apa contoh lain pengagungan amal pada waktu lalai? Ya, Anda, silakan! Ya? Ya, di sepertiga malam terakhir. Ada yang lebih mudah daripada itu. Doa apa? Bukan, itu masih ada pembahasan! Ada amalan yang lebih mudah dari itu, disebutkan dalam hadis Ubadah bin Ash-Shamit dalam Shahih Bukhari: “Barang siapa yang terbangun di malam hari…” Maksudnya, orang yang terbangun pada malam hari dan masih ingin apa? Masih ingin kembali tidur di kasurnya, bukan karena ingin bangun untuk salat. “Barang siapa yang terbangun di malam hari lalu mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah…Wallaahu akbar wa laa ilaaha illallaah…wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Maka jika kemudian ia memohon ampun, niscaya akan diampuni dan jika ia bangun dan mendirikan salat dua rakaat, maka salat itu akan diterima.” (HR. Bukhari dibawakan Syaikh secara makna). Pahala amalan ini dijadikan lebih besar. Mengapa? Karena ia dilakukan pada waktu orang sedang lalai. Seorang perawi hadis ini mengatakan: “Aku ingin menerapkan hadis ini tapi aku tidak mampu.” Karena begitu susah dilakukan. Betapa banyak dari kita, ada yang terbangun di malam hari, terjaga, kemudian ia duduk beberapa menit, lalu kembali tidur, tetapi ia tidak mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah wallaahu akbar… hingga akhir zikir. Inilah salah satu cara syariat dalam mengutamakan amal, dan masih ada contoh-contoh lain. ==== قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ أَيْ لِأَنَّهُ إِذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ رَكْعَتَيْنِ حَرَّكَ جَمِيْعَ مَفَاصِلِهِ فَوَقَعَ الشُّكْرُ لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ قَالَ إِيشْ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ مَتَى يَرْكَعُهُمَا؟ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى لِمَاذَا؟ يُعَظَّمُ الْأَجْرُ أَحْسَنْتَ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ وَمِنْ قَوَاعِدِ تَعْظِيمِ الْعَمَلِ وَتَفْضِيلِهِ فِي الشَّرْعِ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُهُ فِي وَقْتِ غَفْلَةٍ فَالنَّاسُ فِي الضُّحَى مُقْبِلُونَ عَلَى طَلَبِ مَصَالِحِهِمْ فِي الدُّنْيَا مِثْلُ أَيْش تَعْظِيمُ الْعَمَلِ فِي وَقْتِ الْغَفْلَةِ؟ نَعَمْ إيشْ؟ أَنْتَ نَعَمْ تَفَضَّلْ نَعَمْ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ دُعَاءُ أَيْش؟ لَا فِيهِ مَقَالٌ هَذَا أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي صَحِيح الْبُخَارِيِّ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَعْنِي اسْتَيْقَظَ أَثْنَاءَ اللَّيْلِ مُرِيدًا إِيْش؟ مُرِيدًا لِلْبَقَاءِ عَلَى الْفِرَاشِ لَيْسَ مُرِيدَ الْقِيَامِ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنِ اسْتَغْفَرَ أَيْش؟ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قُبِلَتَا مِنْهُ عُظِّمَ الْعَمَلُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ وَقْتُ غَفَلَةٍ قَالَ بَعْضُ رُوَاةِ الْحَدِيثِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعْمَلَ ذَلِكَ فَلَمْ أَقْدِرْ لِمَشَقَّتِهِ قَدْ تَجِدُ كَمْ وَاحِدٌ مِنَّا مَنْ يَتَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَسْتَيْقِظُ ثُمَّ يَجْلِسُ دَقَائِقَ ثُمَّ يَرْجِعُ لَكِنْ مَا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ إِلَى آخِرِ الذِّكْرِ فَهَذَا مِنْ طَرَائِقِ الشَّرِيعَةِ فِي تَفْضِيلِ الْعَمَلِ وَلَهُ صُوَرٌ أُخْرَى


Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Artinya, jika seseorang salat dua rakaat, maka ia menggerakkan seluruh persendiannya, sehingga terwujudlah rasa syukurnya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saja bersabda: “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” (HR. Muslim) tapi apa sabda lengkapnya? “…dan itu cukup ditunaikan dengan salat dua rakaat…” Kapan dua rakaat ini dikerjakan? “…dua rakaat yang ia kerjakan pada waktu duha.” Mengapa di waktu duha? Agar pahala dilipatgandakan. Anda benar! Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Karena waktu duha adalah waktu orang-orang sedang lalai. Salah satu kaidah diagungkan dan diutamakannya suatu amalan dalam syariat: adalah amalan itu dilakukan pada waktu orang-orang sedang lalai. Sebab pada waktu duha, manusia sibuk mengejar urusan dunia mereka. Apa contoh lain pengagungan amal pada waktu lalai? Ya, Anda, silakan! Ya? Ya, di sepertiga malam terakhir. Ada yang lebih mudah daripada itu. Doa apa? Bukan, itu masih ada pembahasan! Ada amalan yang lebih mudah dari itu, disebutkan dalam hadis Ubadah bin Ash-Shamit dalam Shahih Bukhari: “Barang siapa yang terbangun di malam hari…” Maksudnya, orang yang terbangun pada malam hari dan masih ingin apa? Masih ingin kembali tidur di kasurnya, bukan karena ingin bangun untuk salat. “Barang siapa yang terbangun di malam hari lalu mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah…Wallaahu akbar wa laa ilaaha illallaah…wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Maka jika kemudian ia memohon ampun, niscaya akan diampuni dan jika ia bangun dan mendirikan salat dua rakaat, maka salat itu akan diterima.” (HR. Bukhari dibawakan Syaikh secara makna). Pahala amalan ini dijadikan lebih besar. Mengapa? Karena ia dilakukan pada waktu orang sedang lalai. Seorang perawi hadis ini mengatakan: “Aku ingin menerapkan hadis ini tapi aku tidak mampu.” Karena begitu susah dilakukan. Betapa banyak dari kita, ada yang terbangun di malam hari, terjaga, kemudian ia duduk beberapa menit, lalu kembali tidur, tetapi ia tidak mengucapkan: Subhanallaah walhamdulillaah wallaahu akbar… hingga akhir zikir. Inilah salah satu cara syariat dalam mengutamakan amal, dan masih ada contoh-contoh lain. ==== قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ أَيْ لِأَنَّهُ إِذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ رَكْعَتَيْنِ حَرَّكَ جَمِيْعَ مَفَاصِلِهِ فَوَقَعَ الشُّكْرُ لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ قَالَ إِيشْ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ مَتَى يَرْكَعُهُمَا؟ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى لِمَاذَا؟ يُعَظَّمُ الْأَجْرُ أَحْسَنْتَ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ لِأَنَّ وَقْتَ الضُّحَى وَقْتُ غَفْلَةٍ وَمِنْ قَوَاعِدِ تَعْظِيمِ الْعَمَلِ وَتَفْضِيلِهِ فِي الشَّرْعِ أَنْ يَكُونَ وُقُوعُهُ فِي وَقْتِ غَفْلَةٍ فَالنَّاسُ فِي الضُّحَى مُقْبِلُونَ عَلَى طَلَبِ مَصَالِحِهِمْ فِي الدُّنْيَا مِثْلُ أَيْش تَعْظِيمُ الْعَمَلِ فِي وَقْتِ الْغَفْلَةِ؟ نَعَمْ إيشْ؟ أَنْتَ نَعَمْ تَفَضَّلْ نَعَمْ الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ؟ دُعَاءُ أَيْش؟ لَا فِيهِ مَقَالٌ هَذَا أَسْهَلُ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي صَحِيح الْبُخَارِيِّ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَعْنِي اسْتَيْقَظَ أَثْنَاءَ اللَّيْلِ مُرِيدًا إِيْش؟ مُرِيدًا لِلْبَقَاءِ عَلَى الْفِرَاشِ لَيْسَ مُرِيدَ الْقِيَامِ مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنِ اسْتَغْفَرَ أَيْش؟ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قُبِلَتَا مِنْهُ عُظِّمَ الْعَمَلُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ وَقْتُ غَفَلَةٍ قَالَ بَعْضُ رُوَاةِ الْحَدِيثِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعْمَلَ ذَلِكَ فَلَمْ أَقْدِرْ لِمَشَقَّتِهِ قَدْ تَجِدُ كَمْ وَاحِدٌ مِنَّا مَنْ يَتَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ يَسْتَيْقِظُ ثُمَّ يَجْلِسُ دَقَائِقَ ثُمَّ يَرْجِعُ لَكِنْ مَا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ إِلَى آخِرِ الذِّكْرِ فَهَذَا مِنْ طَرَائِقِ الشَّرِيعَةِ فِي تَفْضِيلِ الْعَمَلِ وَلَهُ صُوَرٌ أُخْرَى

Rahasia di Balik Doa Nabi Setelah Shalat Subuh – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat rezeki yang baik dan amal yang diterima.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu setiap kali selesai Shalat Subuh, setelah salam, beliau berdoa: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA Doa ini dulu senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Shalat Subuh. Karena Shalat Subuh merupakan permulaan hari. Seorang muslim berupaya agar harinya menjadi salah satu sebab tercapainya tujuan-tujuan baik yang ia inginkan. Di antara yang terbaik dari tujuan-tujuan itu adalah meraih ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima. Seakan-akan dengan memulai harinya itu, ia mengingat tiga hal ini, agar bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadis ini juga mengisyaratkan agar seseorang menyadari pentingnya tiga perkara ini, agar menjadikannya sebagai tujuan dan target di hari itu. Dengan begitu, ia akan berupaya untuk meraihnya, dan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang memilikinya. Dari sinilah muncul tiga permintaan ini, untuk menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang untuk menghayati makna-maknanya. Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu sebab terbesar yang menjadikan manusia sukses dalam hidupnya, dan meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ketika seseorang memiliki ilmu, berarti ia terbebas dari kebodohan. Ilmu tidak akan memberikan manfaat dan memberi pengaruh yang baik, kecuali jika itu adalah ilmu yang bermanfaat. Maka, seseorang harus berusaha agar ilmunya menjadi ilmu yang bermanfaat. Karena ada ilmu yang justru membahayakan pemiliknya, seperti ilmu astrologi, sihir, dan lainnya. Ada juga ilmu yang justru menjadi sebab petaka bagi pemiliknya, dan sebab kegagalannya. Ada pula ilmu yang hanya menyibukkan, tapi tak membuahkan hasil, serta tidak bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, dipanjatkanlah doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar ilmu yang diperoleh seseorang adalah ilmu yang bermanfaat. ==== مِنْ أَدْعِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلُهُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَهَذَا الدُّعَاءُ كَانَ يَدْعُو بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَذَلِكَ أَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ بِدَايَةُ الْيَوْمِ وَالْمُسْلِمُ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ يَوْمُهُ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ تَحْصِيلِ مَا يُرِيدُهُ مِنْ مَقَاصِدَ طَيِّبَةٍ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ تِلْكَ الْمَقَاصِدِ أَنْ يَكُونَ حَاصِلًا عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالرِّزْقِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ فَكَأَنَّهُ فِي افْتِتَاحِهِ لِيَوْمِهِ يَتَذَكَّرُ هَذِهِ الْأُمُورَ الثَّلَاثَةَ حَتَّى يَنَالَ بِذَلِكَ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْأُمُورَ لِتَكُونَ هَدَفًا لَهُ فِي يَوْمِهِ وَغَايَةً لَهُ وَبِالتَّالِي يَسْعَى لِتَحْصِيلِهَا وَلِيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهَا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ جَاءَتْ هَذِهِ الْمَطَالِبُ الثَّلَاثَةُ لِتَكُونَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْمَعَانِي إِنَّ الْعِلْمَ النَّافِعَ مِنْ أَكْبَرِ الأَسْبَابِ الَّتِي تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَنْجَحُ فِي حَيَاتِهِ وَيَحْصُلُ عَلَى رِضَا رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى كَانَ عَالِمًا تَخَلَّصَ مِنَ الْجَهْلِ وَلَا يَكُونُ الْعِلْمُ مُفِيدًا وَمُؤَثِّرًا أَثَرًا جَمِيلًا إِلَّا إِذَا كَانَ عِلْمًا نَافِعًا وَمِنْ هُنَا فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ عِلْمًا نَافِعًا فَإِنَّ مِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُضِرًّا بِصَاحِبِهِ كَمَا فِي عُلُومِ التَّنْجِيمِ وَعُلُومِ السِّحْرِ وَغَيْرِهَا وَمِنَ الْعُلُومِ أَيْضًا مَا يَكُونُ سَبَبًا لِوَبَالِ صَاحِبِهِ وَعَدَمِ نَجَاحِهِ وَمِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُشْغِلًا لَا ثَمَرَةَ فِيهِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالنَّفْعِ وَلِذَا سُئِلَ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ أَنْ يَكُونَ مَا يَكْتَسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْعِلْمِ عِلْمًا نَافِعًا

Rahasia di Balik Doa Nabi Setelah Shalat Subuh – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat rezeki yang baik dan amal yang diterima.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu setiap kali selesai Shalat Subuh, setelah salam, beliau berdoa: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA Doa ini dulu senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Shalat Subuh. Karena Shalat Subuh merupakan permulaan hari. Seorang muslim berupaya agar harinya menjadi salah satu sebab tercapainya tujuan-tujuan baik yang ia inginkan. Di antara yang terbaik dari tujuan-tujuan itu adalah meraih ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima. Seakan-akan dengan memulai harinya itu, ia mengingat tiga hal ini, agar bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadis ini juga mengisyaratkan agar seseorang menyadari pentingnya tiga perkara ini, agar menjadikannya sebagai tujuan dan target di hari itu. Dengan begitu, ia akan berupaya untuk meraihnya, dan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang memilikinya. Dari sinilah muncul tiga permintaan ini, untuk menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang untuk menghayati makna-maknanya. Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu sebab terbesar yang menjadikan manusia sukses dalam hidupnya, dan meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ketika seseorang memiliki ilmu, berarti ia terbebas dari kebodohan. Ilmu tidak akan memberikan manfaat dan memberi pengaruh yang baik, kecuali jika itu adalah ilmu yang bermanfaat. Maka, seseorang harus berusaha agar ilmunya menjadi ilmu yang bermanfaat. Karena ada ilmu yang justru membahayakan pemiliknya, seperti ilmu astrologi, sihir, dan lainnya. Ada juga ilmu yang justru menjadi sebab petaka bagi pemiliknya, dan sebab kegagalannya. Ada pula ilmu yang hanya menyibukkan, tapi tak membuahkan hasil, serta tidak bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, dipanjatkanlah doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar ilmu yang diperoleh seseorang adalah ilmu yang bermanfaat. ==== مِنْ أَدْعِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلُهُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَهَذَا الدُّعَاءُ كَانَ يَدْعُو بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَذَلِكَ أَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ بِدَايَةُ الْيَوْمِ وَالْمُسْلِمُ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ يَوْمُهُ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ تَحْصِيلِ مَا يُرِيدُهُ مِنْ مَقَاصِدَ طَيِّبَةٍ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ تِلْكَ الْمَقَاصِدِ أَنْ يَكُونَ حَاصِلًا عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالرِّزْقِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ فَكَأَنَّهُ فِي افْتِتَاحِهِ لِيَوْمِهِ يَتَذَكَّرُ هَذِهِ الْأُمُورَ الثَّلَاثَةَ حَتَّى يَنَالَ بِذَلِكَ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْأُمُورَ لِتَكُونَ هَدَفًا لَهُ فِي يَوْمِهِ وَغَايَةً لَهُ وَبِالتَّالِي يَسْعَى لِتَحْصِيلِهَا وَلِيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهَا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ جَاءَتْ هَذِهِ الْمَطَالِبُ الثَّلَاثَةُ لِتَكُونَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْمَعَانِي إِنَّ الْعِلْمَ النَّافِعَ مِنْ أَكْبَرِ الأَسْبَابِ الَّتِي تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَنْجَحُ فِي حَيَاتِهِ وَيَحْصُلُ عَلَى رِضَا رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى كَانَ عَالِمًا تَخَلَّصَ مِنَ الْجَهْلِ وَلَا يَكُونُ الْعِلْمُ مُفِيدًا وَمُؤَثِّرًا أَثَرًا جَمِيلًا إِلَّا إِذَا كَانَ عِلْمًا نَافِعًا وَمِنْ هُنَا فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ عِلْمًا نَافِعًا فَإِنَّ مِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُضِرًّا بِصَاحِبِهِ كَمَا فِي عُلُومِ التَّنْجِيمِ وَعُلُومِ السِّحْرِ وَغَيْرِهَا وَمِنَ الْعُلُومِ أَيْضًا مَا يَكُونُ سَبَبًا لِوَبَالِ صَاحِبِهِ وَعَدَمِ نَجَاحِهِ وَمِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُشْغِلًا لَا ثَمَرَةَ فِيهِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالنَّفْعِ وَلِذَا سُئِلَ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ أَنْ يَكُونَ مَا يَكْتَسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْعِلْمِ عِلْمًا نَافِعًا
Salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat rezeki yang baik dan amal yang diterima.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu setiap kali selesai Shalat Subuh, setelah salam, beliau berdoa: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA Doa ini dulu senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Shalat Subuh. Karena Shalat Subuh merupakan permulaan hari. Seorang muslim berupaya agar harinya menjadi salah satu sebab tercapainya tujuan-tujuan baik yang ia inginkan. Di antara yang terbaik dari tujuan-tujuan itu adalah meraih ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima. Seakan-akan dengan memulai harinya itu, ia mengingat tiga hal ini, agar bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadis ini juga mengisyaratkan agar seseorang menyadari pentingnya tiga perkara ini, agar menjadikannya sebagai tujuan dan target di hari itu. Dengan begitu, ia akan berupaya untuk meraihnya, dan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang memilikinya. Dari sinilah muncul tiga permintaan ini, untuk menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang untuk menghayati makna-maknanya. Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu sebab terbesar yang menjadikan manusia sukses dalam hidupnya, dan meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ketika seseorang memiliki ilmu, berarti ia terbebas dari kebodohan. Ilmu tidak akan memberikan manfaat dan memberi pengaruh yang baik, kecuali jika itu adalah ilmu yang bermanfaat. Maka, seseorang harus berusaha agar ilmunya menjadi ilmu yang bermanfaat. Karena ada ilmu yang justru membahayakan pemiliknya, seperti ilmu astrologi, sihir, dan lainnya. Ada juga ilmu yang justru menjadi sebab petaka bagi pemiliknya, dan sebab kegagalannya. Ada pula ilmu yang hanya menyibukkan, tapi tak membuahkan hasil, serta tidak bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, dipanjatkanlah doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar ilmu yang diperoleh seseorang adalah ilmu yang bermanfaat. ==== مِنْ أَدْعِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلُهُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَهَذَا الدُّعَاءُ كَانَ يَدْعُو بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَذَلِكَ أَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ بِدَايَةُ الْيَوْمِ وَالْمُسْلِمُ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ يَوْمُهُ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ تَحْصِيلِ مَا يُرِيدُهُ مِنْ مَقَاصِدَ طَيِّبَةٍ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ تِلْكَ الْمَقَاصِدِ أَنْ يَكُونَ حَاصِلًا عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالرِّزْقِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ فَكَأَنَّهُ فِي افْتِتَاحِهِ لِيَوْمِهِ يَتَذَكَّرُ هَذِهِ الْأُمُورَ الثَّلَاثَةَ حَتَّى يَنَالَ بِذَلِكَ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْأُمُورَ لِتَكُونَ هَدَفًا لَهُ فِي يَوْمِهِ وَغَايَةً لَهُ وَبِالتَّالِي يَسْعَى لِتَحْصِيلِهَا وَلِيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهَا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ جَاءَتْ هَذِهِ الْمَطَالِبُ الثَّلَاثَةُ لِتَكُونَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْمَعَانِي إِنَّ الْعِلْمَ النَّافِعَ مِنْ أَكْبَرِ الأَسْبَابِ الَّتِي تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَنْجَحُ فِي حَيَاتِهِ وَيَحْصُلُ عَلَى رِضَا رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى كَانَ عَالِمًا تَخَلَّصَ مِنَ الْجَهْلِ وَلَا يَكُونُ الْعِلْمُ مُفِيدًا وَمُؤَثِّرًا أَثَرًا جَمِيلًا إِلَّا إِذَا كَانَ عِلْمًا نَافِعًا وَمِنْ هُنَا فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ عِلْمًا نَافِعًا فَإِنَّ مِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُضِرًّا بِصَاحِبِهِ كَمَا فِي عُلُومِ التَّنْجِيمِ وَعُلُومِ السِّحْرِ وَغَيْرِهَا وَمِنَ الْعُلُومِ أَيْضًا مَا يَكُونُ سَبَبًا لِوَبَالِ صَاحِبِهِ وَعَدَمِ نَجَاحِهِ وَمِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُشْغِلًا لَا ثَمَرَةَ فِيهِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالنَّفْعِ وَلِذَا سُئِلَ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ أَنْ يَكُونَ مَا يَكْتَسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْعِلْمِ عِلْمًا نَافِعًا


Salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat rezeki yang baik dan amal yang diterima.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu setiap kali selesai Shalat Subuh, setelah salam, beliau berdoa: ALLAAHUMMA INNII AS ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WARIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAA Doa ini dulu senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Shalat Subuh. Karena Shalat Subuh merupakan permulaan hari. Seorang muslim berupaya agar harinya menjadi salah satu sebab tercapainya tujuan-tujuan baik yang ia inginkan. Di antara yang terbaik dari tujuan-tujuan itu adalah meraih ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima. Seakan-akan dengan memulai harinya itu, ia mengingat tiga hal ini, agar bisa meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadis ini juga mengisyaratkan agar seseorang menyadari pentingnya tiga perkara ini, agar menjadikannya sebagai tujuan dan target di hari itu. Dengan begitu, ia akan berupaya untuk meraihnya, dan berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang memilikinya. Dari sinilah muncul tiga permintaan ini, untuk menjadi salah satu sebab yang mendorong seseorang untuk menghayati makna-maknanya. Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu sebab terbesar yang menjadikan manusia sukses dalam hidupnya, dan meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ketika seseorang memiliki ilmu, berarti ia terbebas dari kebodohan. Ilmu tidak akan memberikan manfaat dan memberi pengaruh yang baik, kecuali jika itu adalah ilmu yang bermanfaat. Maka, seseorang harus berusaha agar ilmunya menjadi ilmu yang bermanfaat. Karena ada ilmu yang justru membahayakan pemiliknya, seperti ilmu astrologi, sihir, dan lainnya. Ada juga ilmu yang justru menjadi sebab petaka bagi pemiliknya, dan sebab kegagalannya. Ada pula ilmu yang hanya menyibukkan, tapi tak membuahkan hasil, serta tidak bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, dipanjatkanlah doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar ilmu yang diperoleh seseorang adalah ilmu yang bermanfaat. ==== مِنْ أَدْعِيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلُهُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا فَهَذَا الدُّعَاءُ كَانَ يَدْعُو بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَذَلِكَ أَنَّ صَلَاةَ الْفَجْرِ بِدَايَةُ الْيَوْمِ وَالْمُسْلِمُ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ يَوْمُهُ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ تَحْصِيلِ مَا يُرِيدُهُ مِنْ مَقَاصِدَ طَيِّبَةٍ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ تِلْكَ الْمَقَاصِدِ أَنْ يَكُونَ حَاصِلًا عَلَى الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالرِّزْقِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ فَكَأَنَّهُ فِي افْتِتَاحِهِ لِيَوْمِهِ يَتَذَكَّرُ هَذِهِ الْأُمُورَ الثَّلَاثَةَ حَتَّى يَنَالَ بِذَلِكَ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْأُمُورَ لِتَكُونَ هَدَفًا لَهُ فِي يَوْمِهِ وَغَايَةً لَهُ وَبِالتَّالِي يَسْعَى لِتَحْصِيلِهَا وَلِيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِهَا وَمِنْ هَذَا الْمُنْطَلَقِ جَاءَتْ هَذِهِ الْمَطَالِبُ الثَّلَاثَةُ لِتَكُونَ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ جَعْلِ الْإِنْسَانِ يَسْتَشْعِرُ هَذِهِ الْمَعَانِي إِنَّ الْعِلْمَ النَّافِعَ مِنْ أَكْبَرِ الأَسْبَابِ الَّتِي تَجْعَلُ الْإِنْسَانَ يَنْجَحُ فِي حَيَاتِهِ وَيَحْصُلُ عَلَى رِضَا رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى كَانَ عَالِمًا تَخَلَّصَ مِنَ الْجَهْلِ وَلَا يَكُونُ الْعِلْمُ مُفِيدًا وَمُؤَثِّرًا أَثَرًا جَمِيلًا إِلَّا إِذَا كَانَ عِلْمًا نَافِعًا وَمِنْ هُنَا فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَسْعَى إِلَى أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ عِلْمًا نَافِعًا فَإِنَّ مِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُضِرًّا بِصَاحِبِهِ كَمَا فِي عُلُومِ التَّنْجِيمِ وَعُلُومِ السِّحْرِ وَغَيْرِهَا وَمِنَ الْعُلُومِ أَيْضًا مَا يَكُونُ سَبَبًا لِوَبَالِ صَاحِبِهِ وَعَدَمِ نَجَاحِهِ وَمِنَ الْعُلُومِ مَا يَكُونُ مُشْغِلًا لَا ثَمَرَةَ فِيهِ وَلَا يَعُودُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالنَّفْعِ وَلِذَا سُئِلَ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ أَنْ يَكُونَ مَا يَكْتَسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْعِلْمِ عِلْمًا نَافِعًا

Ihram dalam Haji dan Umrah

Sungguh Allâh subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:56) Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allâh subhanahu wa ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung, Allâh subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima dan salah satu sarana dan media bagi kaum Muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa. Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji yang terpenting adalah ihram yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, sehingga butuh dijelaskan tata cara dan hukum seputar hal ini. Definisi Ihram Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-Haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya. Dari sini para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. (Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal. 65 dan Asy-Syarhul Al-Mumti‘ 6/67) .  Dengan demikian jelas salah pemahaman sebagian kaum Muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram. Tata Cara Berihram Adapun tata cara berihram adalah : 1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau berkata: ‌فَخَرَجْنَا ‌مَعَهُ ‌حَتَّى ‌أَتَيْنَا ‌ذَا ‌الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ، مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ، وَأَحْرِمِي “Lalu kami keluar bersamanya lalu tatkala sampai Dzul Hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?’ maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Mandilah dan beristitsfarlah (Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat Syarah Muslim (8/404) dan berihramlah.'” (HR. Muslim no. 2941 8/404, Abu Daud no. 1905 dan no. 1909, dan Ibnu Majah no. 3074). Apabila tidak mendapatkan air maka bertayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadas. 2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: ‌كُنْتُ ‌أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ. “Aku memakaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 1189). Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لا وَلَا تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (Muttafaqun alaih). Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan: Memakainya sebelum mandi dan berihram. Ini disepakati tidak ada permasalahan.  Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يُحْرِمَ، ‌يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ. ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، بَعْدَ ذَلِكَ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepalanya dan jenggotnya setelah itu.” (HR. Muslim no. 2830 ).Dan Aisyah berkata pula:كَأَنِّي ‌أَنْظُرُ ‌إِلَى ‌وَبِيصِ ‌الْمِسْكِ فِي مَفْرِقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dan keadaan ihram.” (HR. Muslim no. 2831).Masalah: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh kebawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?Jawaban: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. (Lihat Syarah Mumti’ 6/73-74).Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia melakukannya maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai sarung tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dengan mengatakan: “tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya. Tidak perlu juga mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan.” (Syarah Mumti’ 6/74). 3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : وليُحْرِمْ أحدُكم في إزارٍ ورداءٍ ونعليْنِ “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” (HR. Ahmad no. 3488 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir dan Syu’aib al-Arnauth). dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: وَخَيْرُ ثِيَابِكُمِ ‌الْبَيَاضُ، فَالْبَسُوهَا، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ  “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya.” (HR. Ahmad no. 2478. Syuaib al-Arnauth berkata “Sanadnya kuat”) Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan, meskipun berwarna-warni.” (Dinukil dari Syarhul Mumti’  6/75). Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. 4. Disunnahkan berihram setelah salat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَتَانِي ‌اللَّيْلَةَ ‌آتٍ ‌مِنْ ‌رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ  Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Salatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan  fi hajjatin.” Dan hadis :Jabir ثُمَّ ‌رَكِبَ ‌الْقَصْوَاءَ، ‌حَتَّى ‌إِذَا ‌اسْتَوَتْ ‌بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالحَجِّ  Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di Masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di Al-Baida’ berihram untuk haji. (HR. Muslim). Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah salat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu salat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama: a. Tetap disunnahkan salat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadis Ibnu Umar: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي  (Salatlah di Wadi ini) b. Tidak disyariatkan salat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah salat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia salat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram salat yang khusus dan ini yang rajih.” Dan berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Berihram setelah salat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki salat yan khusus untuknya.” Demikianlah tidak ada salat dua rakaat khusus untuk ihram. 5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ، وَمِنَّا ‌مَنْ ‌أَهَلَّ ‌بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، وَأَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ، فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَلَمْ يَحِلُّوا حَتَّى يَوْمِ النَّحْرِ “Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Haji Wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah).” (Mutafaq alaih). Maka seorang yang bermanasik ifrad mengatakan:  لَبَّيْكَ حَجًّا  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا Dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً Dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan: لَبَّيْكَ حَجًّا  atau   لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا  Dan sunnah yang bermanasik Qiran menyatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا Dengan demikian seorang muslim sudah berihram dan setelahnya bertalbiyah dan menunaikan manasik haji atau umroh sampai bertahallul. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 222 times, 1 visit(s) today Post Views: 422 QRIS donasi Yufid

Ihram dalam Haji dan Umrah

Sungguh Allâh subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:56) Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allâh subhanahu wa ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung, Allâh subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima dan salah satu sarana dan media bagi kaum Muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa. Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji yang terpenting adalah ihram yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, sehingga butuh dijelaskan tata cara dan hukum seputar hal ini. Definisi Ihram Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-Haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya. Dari sini para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. (Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal. 65 dan Asy-Syarhul Al-Mumti‘ 6/67) .  Dengan demikian jelas salah pemahaman sebagian kaum Muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram. Tata Cara Berihram Adapun tata cara berihram adalah : 1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau berkata: ‌فَخَرَجْنَا ‌مَعَهُ ‌حَتَّى ‌أَتَيْنَا ‌ذَا ‌الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ، مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ، وَأَحْرِمِي “Lalu kami keluar bersamanya lalu tatkala sampai Dzul Hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?’ maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Mandilah dan beristitsfarlah (Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat Syarah Muslim (8/404) dan berihramlah.'” (HR. Muslim no. 2941 8/404, Abu Daud no. 1905 dan no. 1909, dan Ibnu Majah no. 3074). Apabila tidak mendapatkan air maka bertayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadas. 2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: ‌كُنْتُ ‌أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ. “Aku memakaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 1189). Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لا وَلَا تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (Muttafaqun alaih). Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan: Memakainya sebelum mandi dan berihram. Ini disepakati tidak ada permasalahan.  Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يُحْرِمَ، ‌يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ. ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، بَعْدَ ذَلِكَ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepalanya dan jenggotnya setelah itu.” (HR. Muslim no. 2830 ).Dan Aisyah berkata pula:كَأَنِّي ‌أَنْظُرُ ‌إِلَى ‌وَبِيصِ ‌الْمِسْكِ فِي مَفْرِقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dan keadaan ihram.” (HR. Muslim no. 2831).Masalah: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh kebawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?Jawaban: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. (Lihat Syarah Mumti’ 6/73-74).Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia melakukannya maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai sarung tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dengan mengatakan: “tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya. Tidak perlu juga mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan.” (Syarah Mumti’ 6/74). 3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : وليُحْرِمْ أحدُكم في إزارٍ ورداءٍ ونعليْنِ “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” (HR. Ahmad no. 3488 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir dan Syu’aib al-Arnauth). dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: وَخَيْرُ ثِيَابِكُمِ ‌الْبَيَاضُ، فَالْبَسُوهَا، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ  “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya.” (HR. Ahmad no. 2478. Syuaib al-Arnauth berkata “Sanadnya kuat”) Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan, meskipun berwarna-warni.” (Dinukil dari Syarhul Mumti’  6/75). Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. 4. Disunnahkan berihram setelah salat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَتَانِي ‌اللَّيْلَةَ ‌آتٍ ‌مِنْ ‌رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ  Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Salatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan  fi hajjatin.” Dan hadis :Jabir ثُمَّ ‌رَكِبَ ‌الْقَصْوَاءَ، ‌حَتَّى ‌إِذَا ‌اسْتَوَتْ ‌بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالحَجِّ  Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di Masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di Al-Baida’ berihram untuk haji. (HR. Muslim). Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah salat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu salat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama: a. Tetap disunnahkan salat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadis Ibnu Umar: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي  (Salatlah di Wadi ini) b. Tidak disyariatkan salat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah salat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia salat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram salat yang khusus dan ini yang rajih.” Dan berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Berihram setelah salat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki salat yan khusus untuknya.” Demikianlah tidak ada salat dua rakaat khusus untuk ihram. 5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ، وَمِنَّا ‌مَنْ ‌أَهَلَّ ‌بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، وَأَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ، فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَلَمْ يَحِلُّوا حَتَّى يَوْمِ النَّحْرِ “Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Haji Wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah).” (Mutafaq alaih). Maka seorang yang bermanasik ifrad mengatakan:  لَبَّيْكَ حَجًّا  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا Dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً Dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan: لَبَّيْكَ حَجًّا  atau   لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا  Dan sunnah yang bermanasik Qiran menyatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا Dengan demikian seorang muslim sudah berihram dan setelahnya bertalbiyah dan menunaikan manasik haji atau umroh sampai bertahallul. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 222 times, 1 visit(s) today Post Views: 422 QRIS donasi Yufid
Sungguh Allâh subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:56) Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allâh subhanahu wa ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung, Allâh subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima dan salah satu sarana dan media bagi kaum Muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa. Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji yang terpenting adalah ihram yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, sehingga butuh dijelaskan tata cara dan hukum seputar hal ini. Definisi Ihram Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-Haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya. Dari sini para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. (Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal. 65 dan Asy-Syarhul Al-Mumti‘ 6/67) .  Dengan demikian jelas salah pemahaman sebagian kaum Muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram. Tata Cara Berihram Adapun tata cara berihram adalah : 1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau berkata: ‌فَخَرَجْنَا ‌مَعَهُ ‌حَتَّى ‌أَتَيْنَا ‌ذَا ‌الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ، مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ، وَأَحْرِمِي “Lalu kami keluar bersamanya lalu tatkala sampai Dzul Hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?’ maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Mandilah dan beristitsfarlah (Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat Syarah Muslim (8/404) dan berihramlah.'” (HR. Muslim no. 2941 8/404, Abu Daud no. 1905 dan no. 1909, dan Ibnu Majah no. 3074). Apabila tidak mendapatkan air maka bertayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadas. 2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: ‌كُنْتُ ‌أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ. “Aku memakaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 1189). Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لا وَلَا تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (Muttafaqun alaih). Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan: Memakainya sebelum mandi dan berihram. Ini disepakati tidak ada permasalahan.  Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يُحْرِمَ، ‌يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ. ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، بَعْدَ ذَلِكَ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepalanya dan jenggotnya setelah itu.” (HR. Muslim no. 2830 ).Dan Aisyah berkata pula:كَأَنِّي ‌أَنْظُرُ ‌إِلَى ‌وَبِيصِ ‌الْمِسْكِ فِي مَفْرِقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dan keadaan ihram.” (HR. Muslim no. 2831).Masalah: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh kebawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?Jawaban: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. (Lihat Syarah Mumti’ 6/73-74).Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia melakukannya maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai sarung tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dengan mengatakan: “tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya. Tidak perlu juga mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan.” (Syarah Mumti’ 6/74). 3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : وليُحْرِمْ أحدُكم في إزارٍ ورداءٍ ونعليْنِ “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” (HR. Ahmad no. 3488 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir dan Syu’aib al-Arnauth). dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: وَخَيْرُ ثِيَابِكُمِ ‌الْبَيَاضُ، فَالْبَسُوهَا، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ  “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya.” (HR. Ahmad no. 2478. Syuaib al-Arnauth berkata “Sanadnya kuat”) Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan, meskipun berwarna-warni.” (Dinukil dari Syarhul Mumti’  6/75). Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. 4. Disunnahkan berihram setelah salat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَتَانِي ‌اللَّيْلَةَ ‌آتٍ ‌مِنْ ‌رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ  Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Salatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan  fi hajjatin.” Dan hadis :Jabir ثُمَّ ‌رَكِبَ ‌الْقَصْوَاءَ، ‌حَتَّى ‌إِذَا ‌اسْتَوَتْ ‌بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالحَجِّ  Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di Masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di Al-Baida’ berihram untuk haji. (HR. Muslim). Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah salat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu salat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama: a. Tetap disunnahkan salat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadis Ibnu Umar: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي  (Salatlah di Wadi ini) b. Tidak disyariatkan salat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah salat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia salat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram salat yang khusus dan ini yang rajih.” Dan berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Berihram setelah salat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki salat yan khusus untuknya.” Demikianlah tidak ada salat dua rakaat khusus untuk ihram. 5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ، وَمِنَّا ‌مَنْ ‌أَهَلَّ ‌بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، وَأَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ، فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَلَمْ يَحِلُّوا حَتَّى يَوْمِ النَّحْرِ “Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Haji Wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah).” (Mutafaq alaih). Maka seorang yang bermanasik ifrad mengatakan:  لَبَّيْكَ حَجًّا  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا Dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً Dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan: لَبَّيْكَ حَجًّا  atau   لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا  Dan sunnah yang bermanasik Qiran menyatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا Dengan demikian seorang muslim sudah berihram dan setelahnya bertalbiyah dan menunaikan manasik haji atau umroh sampai bertahallul. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 222 times, 1 visit(s) today Post Views: 422 QRIS donasi Yufid


Sungguh Allâh subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥٦ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:56) Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allâh subhanahu wa ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung, Allâh subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah Haji ke Baitullah Al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima dan salah satu sarana dan media bagi kaum Muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa. Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Salah satu bagian ibadah haji yang terpenting adalah ihram yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, sehingga butuh dijelaskan tata cara dan hukum seputar hal ini. Definisi Ihram Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-Haram yang bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya. Dari sini para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. (Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal. 65 dan Asy-Syarhul Al-Mumti‘ 6/67) .  Dengan demikian jelas salah pemahaman sebagian kaum Muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram. Tata Cara Berihram Adapun tata cara berihram adalah : 1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau berkata: ‌فَخَرَجْنَا ‌مَعَهُ ‌حَتَّى ‌أَتَيْنَا ‌ذَا ‌الْحُلَيْفَةِ، فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ، مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَثْفِرِي بِثَوْبٍ، وَأَحْرِمِي “Lalu kami keluar bersamanya lalu tatkala sampai Dzul Hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?’ maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Mandilah dan beristitsfarlah (Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita). Lihat Syarah Muslim (8/404) dan berihramlah.'” (HR. Muslim no. 2941 8/404, Abu Daud no. 1905 dan no. 1909, dan Ibnu Majah no. 3074). Apabila tidak mendapatkan air maka bertayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air maka bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadas. 2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan Aisyah: ‌كُنْتُ ‌أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ. “Aku memakaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 1539 dan Muslim no. 1189). Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لا وَلَا تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ “Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (Muttafaqun alaih). Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan: Memakainya sebelum mandi dan berihram. Ini disepakati tidak ada permasalahan.  Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌إِذَا ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يُحْرِمَ، ‌يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ. ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، بَعْدَ ذَلِكَ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepalanya dan jenggotnya setelah itu.” (HR. Muslim no. 2830 ).Dan Aisyah berkata pula:كَأَنِّي ‌أَنْظُرُ ‌إِلَى ‌وَبِيصِ ‌الْمِسْكِ فِي مَفْرِقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مُحْرِمٌ “Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dan keadaan ihram.” (HR. Muslim no. 2831).Masalah: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh kebawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?Jawaban: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. (Lihat Syarah Mumti’ 6/73-74).Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia melakukannya maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai sarung tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dengan mengatakan: “tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya. Tidak perlu juga mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan.” (Syarah Mumti’ 6/74). 3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : وليُحْرِمْ أحدُكم في إزارٍ ورداءٍ ونعليْنِ “Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” (HR. Ahmad no. 3488 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir dan Syu’aib al-Arnauth). dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: وَخَيْرُ ثِيَابِكُمِ ‌الْبَيَاضُ، فَالْبَسُوهَا، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ  “Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya.” (HR. Ahmad no. 2478. Syuaib al-Arnauth berkata “Sanadnya kuat”) Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan, meskipun berwarna-warni.” (Dinukil dari Syarhul Mumti’  6/75). Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. 4. Disunnahkan berihram setelah salat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَتَانِي ‌اللَّيْلَةَ ‌آتٍ ‌مِنْ ‌رَبِّي فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ  Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Salatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan  fi hajjatin.” Dan hadis :Jabir ثُمَّ ‌رَكِبَ ‌الْقَصْوَاءَ، ‌حَتَّى ‌إِذَا ‌اسْتَوَتْ ‌بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالحَجِّ  Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di Masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di Al-Baida’ berihram untuk haji. (HR. Muslim). Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah salat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu salat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama: a. Tetap disunnahkan salat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadis Ibnu Umar: صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي  (Salatlah di Wadi ini) b. Tidak disyariatkan salat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah salat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia salat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram salat yang khusus dan ini yang rajih.” Dan berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Berihram setelah salat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki salat yan khusus untuknya.” Demikianlah tidak ada salat dua rakaat khusus untuk ihram. 5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ، وَمِنَّا ‌مَنْ ‌أَهَلَّ ‌بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ، وَأَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ، فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ، أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَلَمْ يَحِلُّوا حَتَّى يَوْمِ النَّحْرِ “Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Haji Wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzul Hijjah).” (Mutafaq alaih). Maka seorang yang bermanasik ifrad mengatakan:  لَبَّيْكَ حَجًّا  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا Dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً  atau  لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً Dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan: لَبَّيْكَ حَجًّا  atau   لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا  Dan sunnah yang bermanasik Qiran menyatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا Dengan demikian seorang muslim sudah berihram dan setelahnya bertalbiyah dan menunaikan manasik haji atau umroh sampai bertahallul. Semoga bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 222 times, 1 visit(s) today Post Views: 422 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Bagaimana Menyembelih Hewan dengan Cara yang Ihsan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleMenajamkan alat sembelihanMemotong dengan tepatMemisahkan hewan yang disembelihMembaringkan hewan dengan baikTidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiMenyebelih hewan dengan ihsan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Hal tersebut karena Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk berbuat ihsan pada setiap hal, khususnya dalam menyembelih. Kali ini akan kita lanjutkan, bagaimana menyembelih hewan dengan cara yang ihsan.Pada artikel sebelumnya, kita sudah bahas empat syarat menyembelih hewan. Kali ini akan kita bahas bagaimana memperlakukan hewan sembelihan dengan ihsan. Di antara upaya untuk berbuat ihsan pada hewan sembelihan adalah:Menajamkan alat sembelihanDi antara hal yang perlu diperhatikan sebelum menyembelih hewan adalah ketajaman pisau. Tajamnya pisau ini merupakan salah satu bentuk ihsan ketika menyembelih hewan. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ“Jika kalian menyembelih, maka berlaku ihsanlah kalian; dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya.” (HR. Muslim)Mengapa tajamnya pisau merupakan salah satu bentuk ihsan dalam menyembelih? Karena hal tersbut mempermudah proses penyembelihan sehingga bisa selesai dengan cepat. Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan hadis tersebut,و وجوب حد السفرة لأن ذلك أسهل لذبهة“Dan wajib untuk menajamkan pisau, dikarenakan hal tersebut akan lebih mudah untuk sembelihan.”Dengan pisau yang tajam, tentu akan memudahkan penyembelih untuk memotong. Jika menyembelih dengan pisau yang tumpul, tentu akan sulit dan berlangsung lama. Hal tersebut tentunya akan menyiksa hewan sembelihan.Akan tetapi, tatkala menajamkan pisau, jangan sampai dilakukan di hadapan hewan yang akan disembelih. Ini sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada seseorang yang mengasah pisau di depan hewan sembelihannya,أفلا قبل أتريد أن تميتها“Hal ini tidak diterima, apakah engkau ingin membunuhnya berkali-kali?” (HR. Baihaqi)Setelah mengetahui pentingnya alat yang tajam, lalu bagaimana cara kita bisa mengetahui apakah pisau atau golok kita sudah cukup tajam untuk proses penyembelihan? Ada cara yang bisa digunakan, yaitu dengan tes memotong sehelai kertas HVS. Tanda sebuah pisau atau bilah sudah cukup tajam sehingga mudah digunakan untuk menyembelih adalah bilah tersebut bisa memotong sehelai kertas HVS dengan sempurna.Memotong dengan tepatSalah satu syarat penyembelihan adalah mengalirkan darah dengan memotong empat saluran yang terdapat pada leher, yaitu saluran nafas, saluran makan, dan dua pembuluh darah. Jika keempat saluran tersebut terpotong dengan sempurna, maka proses penyembelihan akan berlangsung dengan lebih cepat.Di antara upaya agar penyembelihan bisa memotong semua saluran tersebut dengan sempurna adalah dengan memotong pada bagian yang tepat. Keempat saluran tersebut pada hewan terletak berdekatan, biasanya di area sekitar bawah jakun hewan. Bukan di dekat kepala ataupun mendekatl ke badan, di mana biasanya keempat saluran tersebut mulai terpisah kecuali untuk hewan-hewan tertentu.Selain perlu memotong dengan sempurna, hal yang perlu juga untuk diperhatikan adalah jangan sampai memotong dengan berlebihan. Di antara perilaku tidak ihsan pada hewan adalah memotong berlebihan, apalagi hingga kepala hewan tersebut terputus. Penyembelihan seharusnya dicukupkan ketika empat saluran yang sudah disebutkan terpotong.Memisahkan hewan yang disembelihDi antara bentuk ihsan dalam penyembelihan hewan adalah memisahkan hewan yang disembelih dengan hewan yang lainnya (yang belum atau akan disembelih). Jelas sekali merupakan suatu kekejaman terhadap hewan ketika harus menyaksikan hewan lainnya disembelih. Ketika mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih saja merupakan hal yang tidak baik, maka apalagi dengan menyembelih hewan di hadapan hewan yang akan disembelih?Membaringkan hewan dengan baikMerupakan bentuk ihsan ketika menyembelih adalah tidak berlebihan ketika membaringkan hewan untuk disembelih atau mengikat hewan sembelihan dengan berlebihan ketika hendak menyembelih. Pengikatan cukup dilakukan secukupnya saja, dengan memposisikan hewan agar penyembelih bisa menyembelih dengan aman dan nyaman. Mengikat dan membaringkan hewan yang akan disembelih dengan berlebihan tentunya akan menyakiti hewan dan merupakan bentuk penyiksaan kepada hewan. Syekh Ibnu Utsaimin berkata,وما يفعله بعض الناس الآن من كونهم إذا أضجعوا الشاة وأرادوا الذبح بركوا عليها وأمسكوا بيديها ورجليها. فهذا تعذيب لها“Apa yang dilakukan sebagian dari orang-orang sekarang, yaitu dengan membaringkan kambing dan hendak menyembelihnya, mereka duduk di atasnya dan mengikat kedua kaki dan tangan (kaki depan) hewan tersebut. Ini merupakan bentuk penyiksaan terhadap hewan.”Hal lain yang perlu diperhatikaan ketika membaringkan hewan untuk disembelih adalah segera untuk disembelih. Jangan sampai hewan yang sudah dibaringkan malah didiamkan dalam waktu yang lama karena satu dan lain alasan. Sebaiknya, setelah hewan dibaringkan, proses penyembelihan langsung dilakukan karena akan lebih nyaman untuk hewan sembelihan. Syekh Ibnu utsaimin berkata,وجوب إراحة و ذلك بسرعة الذبح لأنه أريح لها“Wajib memberikan kenyamanan pada hewan, yaitu dengan menyembelihnya dengan cepat, karena lebih membuatnya nyaman.”Tidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiHal lain yang perlu diperhatikan tatkala menyembelih adalah tidak tergesa-gesa memproses hewan sembelihan. Kita jangan mulai menguliti dan memotong-motong hewan sebelum hewan tersebut benar-benar mati. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyiksaan terhadap hewan. Selain menyiksa hewan, potongan hewan tersebut bisa saja masuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,ما قطع من البهيمة وهي حية ، فهو ميتة“Segala hal yang terpotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah mayat (bangkai).” (HR. Ibnu Majah)Oleh karena itu, sebaiknya, kita jangan tergesa-gesa untuk memproses hewan sembelihan sebelum yakin matinya hewan tersebut. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui apakah hewan tersebut sudah mati atau belum? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengecek status kematian hewan.Hal yang pertama yang bisa dicek adalah apakah darah masih mengalir pada urat nadi yang sudah terpotong? Jika masih mengalir, maka hewan masih hidup karena jantung masih memompa darah. Lalu bisa juga melihat perut hewan, apakah masih ada gerakan pernafasan pada perut hewan tersebut.Jika darah sudah tidak mengalir dan gerakan nafas sudah tidak ada, untuk meyakinkan status kematian hewan bisa juga dengan cara lain. Bisa dengan merangsang bagian kuku kaki hewan dengan disentuh. Jika kaki bergerak, kemungkinan hewan masih hidup. Lalu bisa juga merangsang bagian mata hewan dengan disentuh bulu matanya, apakah mata hewan masih merespon atau tidak. Jika sudah tidak ada respon, maka kemungkinan hewan sudah mati.Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk berbuat ihsan ketika menyembelih hewan. Semoga bermanfaat.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Mulakhas Al-Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.Syarah Al-Arba’iina An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Bagaimana Menyembelih Hewan dengan Cara yang Ihsan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleMenajamkan alat sembelihanMemotong dengan tepatMemisahkan hewan yang disembelihMembaringkan hewan dengan baikTidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiMenyebelih hewan dengan ihsan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Hal tersebut karena Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk berbuat ihsan pada setiap hal, khususnya dalam menyembelih. Kali ini akan kita lanjutkan, bagaimana menyembelih hewan dengan cara yang ihsan.Pada artikel sebelumnya, kita sudah bahas empat syarat menyembelih hewan. Kali ini akan kita bahas bagaimana memperlakukan hewan sembelihan dengan ihsan. Di antara upaya untuk berbuat ihsan pada hewan sembelihan adalah:Menajamkan alat sembelihanDi antara hal yang perlu diperhatikan sebelum menyembelih hewan adalah ketajaman pisau. Tajamnya pisau ini merupakan salah satu bentuk ihsan ketika menyembelih hewan. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ“Jika kalian menyembelih, maka berlaku ihsanlah kalian; dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya.” (HR. Muslim)Mengapa tajamnya pisau merupakan salah satu bentuk ihsan dalam menyembelih? Karena hal tersbut mempermudah proses penyembelihan sehingga bisa selesai dengan cepat. Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan hadis tersebut,و وجوب حد السفرة لأن ذلك أسهل لذبهة“Dan wajib untuk menajamkan pisau, dikarenakan hal tersebut akan lebih mudah untuk sembelihan.”Dengan pisau yang tajam, tentu akan memudahkan penyembelih untuk memotong. Jika menyembelih dengan pisau yang tumpul, tentu akan sulit dan berlangsung lama. Hal tersebut tentunya akan menyiksa hewan sembelihan.Akan tetapi, tatkala menajamkan pisau, jangan sampai dilakukan di hadapan hewan yang akan disembelih. Ini sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada seseorang yang mengasah pisau di depan hewan sembelihannya,أفلا قبل أتريد أن تميتها“Hal ini tidak diterima, apakah engkau ingin membunuhnya berkali-kali?” (HR. Baihaqi)Setelah mengetahui pentingnya alat yang tajam, lalu bagaimana cara kita bisa mengetahui apakah pisau atau golok kita sudah cukup tajam untuk proses penyembelihan? Ada cara yang bisa digunakan, yaitu dengan tes memotong sehelai kertas HVS. Tanda sebuah pisau atau bilah sudah cukup tajam sehingga mudah digunakan untuk menyembelih adalah bilah tersebut bisa memotong sehelai kertas HVS dengan sempurna.Memotong dengan tepatSalah satu syarat penyembelihan adalah mengalirkan darah dengan memotong empat saluran yang terdapat pada leher, yaitu saluran nafas, saluran makan, dan dua pembuluh darah. Jika keempat saluran tersebut terpotong dengan sempurna, maka proses penyembelihan akan berlangsung dengan lebih cepat.Di antara upaya agar penyembelihan bisa memotong semua saluran tersebut dengan sempurna adalah dengan memotong pada bagian yang tepat. Keempat saluran tersebut pada hewan terletak berdekatan, biasanya di area sekitar bawah jakun hewan. Bukan di dekat kepala ataupun mendekatl ke badan, di mana biasanya keempat saluran tersebut mulai terpisah kecuali untuk hewan-hewan tertentu.Selain perlu memotong dengan sempurna, hal yang perlu juga untuk diperhatikan adalah jangan sampai memotong dengan berlebihan. Di antara perilaku tidak ihsan pada hewan adalah memotong berlebihan, apalagi hingga kepala hewan tersebut terputus. Penyembelihan seharusnya dicukupkan ketika empat saluran yang sudah disebutkan terpotong.Memisahkan hewan yang disembelihDi antara bentuk ihsan dalam penyembelihan hewan adalah memisahkan hewan yang disembelih dengan hewan yang lainnya (yang belum atau akan disembelih). Jelas sekali merupakan suatu kekejaman terhadap hewan ketika harus menyaksikan hewan lainnya disembelih. Ketika mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih saja merupakan hal yang tidak baik, maka apalagi dengan menyembelih hewan di hadapan hewan yang akan disembelih?Membaringkan hewan dengan baikMerupakan bentuk ihsan ketika menyembelih adalah tidak berlebihan ketika membaringkan hewan untuk disembelih atau mengikat hewan sembelihan dengan berlebihan ketika hendak menyembelih. Pengikatan cukup dilakukan secukupnya saja, dengan memposisikan hewan agar penyembelih bisa menyembelih dengan aman dan nyaman. Mengikat dan membaringkan hewan yang akan disembelih dengan berlebihan tentunya akan menyakiti hewan dan merupakan bentuk penyiksaan kepada hewan. Syekh Ibnu Utsaimin berkata,وما يفعله بعض الناس الآن من كونهم إذا أضجعوا الشاة وأرادوا الذبح بركوا عليها وأمسكوا بيديها ورجليها. فهذا تعذيب لها“Apa yang dilakukan sebagian dari orang-orang sekarang, yaitu dengan membaringkan kambing dan hendak menyembelihnya, mereka duduk di atasnya dan mengikat kedua kaki dan tangan (kaki depan) hewan tersebut. Ini merupakan bentuk penyiksaan terhadap hewan.”Hal lain yang perlu diperhatikaan ketika membaringkan hewan untuk disembelih adalah segera untuk disembelih. Jangan sampai hewan yang sudah dibaringkan malah didiamkan dalam waktu yang lama karena satu dan lain alasan. Sebaiknya, setelah hewan dibaringkan, proses penyembelihan langsung dilakukan karena akan lebih nyaman untuk hewan sembelihan. Syekh Ibnu utsaimin berkata,وجوب إراحة و ذلك بسرعة الذبح لأنه أريح لها“Wajib memberikan kenyamanan pada hewan, yaitu dengan menyembelihnya dengan cepat, karena lebih membuatnya nyaman.”Tidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiHal lain yang perlu diperhatikan tatkala menyembelih adalah tidak tergesa-gesa memproses hewan sembelihan. Kita jangan mulai menguliti dan memotong-motong hewan sebelum hewan tersebut benar-benar mati. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyiksaan terhadap hewan. Selain menyiksa hewan, potongan hewan tersebut bisa saja masuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,ما قطع من البهيمة وهي حية ، فهو ميتة“Segala hal yang terpotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah mayat (bangkai).” (HR. Ibnu Majah)Oleh karena itu, sebaiknya, kita jangan tergesa-gesa untuk memproses hewan sembelihan sebelum yakin matinya hewan tersebut. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui apakah hewan tersebut sudah mati atau belum? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengecek status kematian hewan.Hal yang pertama yang bisa dicek adalah apakah darah masih mengalir pada urat nadi yang sudah terpotong? Jika masih mengalir, maka hewan masih hidup karena jantung masih memompa darah. Lalu bisa juga melihat perut hewan, apakah masih ada gerakan pernafasan pada perut hewan tersebut.Jika darah sudah tidak mengalir dan gerakan nafas sudah tidak ada, untuk meyakinkan status kematian hewan bisa juga dengan cara lain. Bisa dengan merangsang bagian kuku kaki hewan dengan disentuh. Jika kaki bergerak, kemungkinan hewan masih hidup. Lalu bisa juga merangsang bagian mata hewan dengan disentuh bulu matanya, apakah mata hewan masih merespon atau tidak. Jika sudah tidak ada respon, maka kemungkinan hewan sudah mati.Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk berbuat ihsan ketika menyembelih hewan. Semoga bermanfaat.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Mulakhas Al-Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.Syarah Al-Arba’iina An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Daftar Isi ToggleMenajamkan alat sembelihanMemotong dengan tepatMemisahkan hewan yang disembelihMembaringkan hewan dengan baikTidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiMenyebelih hewan dengan ihsan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Hal tersebut karena Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk berbuat ihsan pada setiap hal, khususnya dalam menyembelih. Kali ini akan kita lanjutkan, bagaimana menyembelih hewan dengan cara yang ihsan.Pada artikel sebelumnya, kita sudah bahas empat syarat menyembelih hewan. Kali ini akan kita bahas bagaimana memperlakukan hewan sembelihan dengan ihsan. Di antara upaya untuk berbuat ihsan pada hewan sembelihan adalah:Menajamkan alat sembelihanDi antara hal yang perlu diperhatikan sebelum menyembelih hewan adalah ketajaman pisau. Tajamnya pisau ini merupakan salah satu bentuk ihsan ketika menyembelih hewan. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ“Jika kalian menyembelih, maka berlaku ihsanlah kalian; dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya.” (HR. Muslim)Mengapa tajamnya pisau merupakan salah satu bentuk ihsan dalam menyembelih? Karena hal tersbut mempermudah proses penyembelihan sehingga bisa selesai dengan cepat. Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan hadis tersebut,و وجوب حد السفرة لأن ذلك أسهل لذبهة“Dan wajib untuk menajamkan pisau, dikarenakan hal tersebut akan lebih mudah untuk sembelihan.”Dengan pisau yang tajam, tentu akan memudahkan penyembelih untuk memotong. Jika menyembelih dengan pisau yang tumpul, tentu akan sulit dan berlangsung lama. Hal tersebut tentunya akan menyiksa hewan sembelihan.Akan tetapi, tatkala menajamkan pisau, jangan sampai dilakukan di hadapan hewan yang akan disembelih. Ini sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada seseorang yang mengasah pisau di depan hewan sembelihannya,أفلا قبل أتريد أن تميتها“Hal ini tidak diterima, apakah engkau ingin membunuhnya berkali-kali?” (HR. Baihaqi)Setelah mengetahui pentingnya alat yang tajam, lalu bagaimana cara kita bisa mengetahui apakah pisau atau golok kita sudah cukup tajam untuk proses penyembelihan? Ada cara yang bisa digunakan, yaitu dengan tes memotong sehelai kertas HVS. Tanda sebuah pisau atau bilah sudah cukup tajam sehingga mudah digunakan untuk menyembelih adalah bilah tersebut bisa memotong sehelai kertas HVS dengan sempurna.Memotong dengan tepatSalah satu syarat penyembelihan adalah mengalirkan darah dengan memotong empat saluran yang terdapat pada leher, yaitu saluran nafas, saluran makan, dan dua pembuluh darah. Jika keempat saluran tersebut terpotong dengan sempurna, maka proses penyembelihan akan berlangsung dengan lebih cepat.Di antara upaya agar penyembelihan bisa memotong semua saluran tersebut dengan sempurna adalah dengan memotong pada bagian yang tepat. Keempat saluran tersebut pada hewan terletak berdekatan, biasanya di area sekitar bawah jakun hewan. Bukan di dekat kepala ataupun mendekatl ke badan, di mana biasanya keempat saluran tersebut mulai terpisah kecuali untuk hewan-hewan tertentu.Selain perlu memotong dengan sempurna, hal yang perlu juga untuk diperhatikan adalah jangan sampai memotong dengan berlebihan. Di antara perilaku tidak ihsan pada hewan adalah memotong berlebihan, apalagi hingga kepala hewan tersebut terputus. Penyembelihan seharusnya dicukupkan ketika empat saluran yang sudah disebutkan terpotong.Memisahkan hewan yang disembelihDi antara bentuk ihsan dalam penyembelihan hewan adalah memisahkan hewan yang disembelih dengan hewan yang lainnya (yang belum atau akan disembelih). Jelas sekali merupakan suatu kekejaman terhadap hewan ketika harus menyaksikan hewan lainnya disembelih. Ketika mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih saja merupakan hal yang tidak baik, maka apalagi dengan menyembelih hewan di hadapan hewan yang akan disembelih?Membaringkan hewan dengan baikMerupakan bentuk ihsan ketika menyembelih adalah tidak berlebihan ketika membaringkan hewan untuk disembelih atau mengikat hewan sembelihan dengan berlebihan ketika hendak menyembelih. Pengikatan cukup dilakukan secukupnya saja, dengan memposisikan hewan agar penyembelih bisa menyembelih dengan aman dan nyaman. Mengikat dan membaringkan hewan yang akan disembelih dengan berlebihan tentunya akan menyakiti hewan dan merupakan bentuk penyiksaan kepada hewan. Syekh Ibnu Utsaimin berkata,وما يفعله بعض الناس الآن من كونهم إذا أضجعوا الشاة وأرادوا الذبح بركوا عليها وأمسكوا بيديها ورجليها. فهذا تعذيب لها“Apa yang dilakukan sebagian dari orang-orang sekarang, yaitu dengan membaringkan kambing dan hendak menyembelihnya, mereka duduk di atasnya dan mengikat kedua kaki dan tangan (kaki depan) hewan tersebut. Ini merupakan bentuk penyiksaan terhadap hewan.”Hal lain yang perlu diperhatikaan ketika membaringkan hewan untuk disembelih adalah segera untuk disembelih. Jangan sampai hewan yang sudah dibaringkan malah didiamkan dalam waktu yang lama karena satu dan lain alasan. Sebaiknya, setelah hewan dibaringkan, proses penyembelihan langsung dilakukan karena akan lebih nyaman untuk hewan sembelihan. Syekh Ibnu utsaimin berkata,وجوب إراحة و ذلك بسرعة الذبح لأنه أريح لها“Wajib memberikan kenyamanan pada hewan, yaitu dengan menyembelihnya dengan cepat, karena lebih membuatnya nyaman.”Tidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiHal lain yang perlu diperhatikan tatkala menyembelih adalah tidak tergesa-gesa memproses hewan sembelihan. Kita jangan mulai menguliti dan memotong-motong hewan sebelum hewan tersebut benar-benar mati. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyiksaan terhadap hewan. Selain menyiksa hewan, potongan hewan tersebut bisa saja masuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,ما قطع من البهيمة وهي حية ، فهو ميتة“Segala hal yang terpotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah mayat (bangkai).” (HR. Ibnu Majah)Oleh karena itu, sebaiknya, kita jangan tergesa-gesa untuk memproses hewan sembelihan sebelum yakin matinya hewan tersebut. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui apakah hewan tersebut sudah mati atau belum? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengecek status kematian hewan.Hal yang pertama yang bisa dicek adalah apakah darah masih mengalir pada urat nadi yang sudah terpotong? Jika masih mengalir, maka hewan masih hidup karena jantung masih memompa darah. Lalu bisa juga melihat perut hewan, apakah masih ada gerakan pernafasan pada perut hewan tersebut.Jika darah sudah tidak mengalir dan gerakan nafas sudah tidak ada, untuk meyakinkan status kematian hewan bisa juga dengan cara lain. Bisa dengan merangsang bagian kuku kaki hewan dengan disentuh. Jika kaki bergerak, kemungkinan hewan masih hidup. Lalu bisa juga merangsang bagian mata hewan dengan disentuh bulu matanya, apakah mata hewan masih merespon atau tidak. Jika sudah tidak ada respon, maka kemungkinan hewan sudah mati.Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk berbuat ihsan ketika menyembelih hewan. Semoga bermanfaat.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Mulakhas Al-Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.Syarah Al-Arba’iina An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.


Daftar Isi ToggleMenajamkan alat sembelihanMemotong dengan tepatMemisahkan hewan yang disembelihMembaringkan hewan dengan baikTidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiMenyebelih hewan dengan ihsan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Hal tersebut karena Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk berbuat ihsan pada setiap hal, khususnya dalam menyembelih. Kali ini akan kita lanjutkan, bagaimana menyembelih hewan dengan cara yang ihsan.Pada artikel sebelumnya, kita sudah bahas empat syarat menyembelih hewan. Kali ini akan kita bahas bagaimana memperlakukan hewan sembelihan dengan ihsan. Di antara upaya untuk berbuat ihsan pada hewan sembelihan adalah:Menajamkan alat sembelihanDi antara hal yang perlu diperhatikan sebelum menyembelih hewan adalah ketajaman pisau. Tajamnya pisau ini merupakan salah satu bentuk ihsan ketika menyembelih hewan. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ“Jika kalian menyembelih, maka berlaku ihsanlah kalian; dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya.” (HR. Muslim)Mengapa tajamnya pisau merupakan salah satu bentuk ihsan dalam menyembelih? Karena hal tersbut mempermudah proses penyembelihan sehingga bisa selesai dengan cepat. Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan hadis tersebut,و وجوب حد السفرة لأن ذلك أسهل لذبهة“Dan wajib untuk menajamkan pisau, dikarenakan hal tersebut akan lebih mudah untuk sembelihan.”Dengan pisau yang tajam, tentu akan memudahkan penyembelih untuk memotong. Jika menyembelih dengan pisau yang tumpul, tentu akan sulit dan berlangsung lama. Hal tersebut tentunya akan menyiksa hewan sembelihan.Akan tetapi, tatkala menajamkan pisau, jangan sampai dilakukan di hadapan hewan yang akan disembelih. Ini sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada seseorang yang mengasah pisau di depan hewan sembelihannya,أفلا قبل أتريد أن تميتها“Hal ini tidak diterima, apakah engkau ingin membunuhnya berkali-kali?” (HR. Baihaqi)Setelah mengetahui pentingnya alat yang tajam, lalu bagaimana cara kita bisa mengetahui apakah pisau atau golok kita sudah cukup tajam untuk proses penyembelihan? Ada cara yang bisa digunakan, yaitu dengan tes memotong sehelai kertas HVS. Tanda sebuah pisau atau bilah sudah cukup tajam sehingga mudah digunakan untuk menyembelih adalah bilah tersebut bisa memotong sehelai kertas HVS dengan sempurna.Memotong dengan tepatSalah satu syarat penyembelihan adalah mengalirkan darah dengan memotong empat saluran yang terdapat pada leher, yaitu saluran nafas, saluran makan, dan dua pembuluh darah. Jika keempat saluran tersebut terpotong dengan sempurna, maka proses penyembelihan akan berlangsung dengan lebih cepat.Di antara upaya agar penyembelihan bisa memotong semua saluran tersebut dengan sempurna adalah dengan memotong pada bagian yang tepat. Keempat saluran tersebut pada hewan terletak berdekatan, biasanya di area sekitar bawah jakun hewan. Bukan di dekat kepala ataupun mendekatl ke badan, di mana biasanya keempat saluran tersebut mulai terpisah kecuali untuk hewan-hewan tertentu.Selain perlu memotong dengan sempurna, hal yang perlu juga untuk diperhatikan adalah jangan sampai memotong dengan berlebihan. Di antara perilaku tidak ihsan pada hewan adalah memotong berlebihan, apalagi hingga kepala hewan tersebut terputus. Penyembelihan seharusnya dicukupkan ketika empat saluran yang sudah disebutkan terpotong.Memisahkan hewan yang disembelihDi antara bentuk ihsan dalam penyembelihan hewan adalah memisahkan hewan yang disembelih dengan hewan yang lainnya (yang belum atau akan disembelih). Jelas sekali merupakan suatu kekejaman terhadap hewan ketika harus menyaksikan hewan lainnya disembelih. Ketika mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih saja merupakan hal yang tidak baik, maka apalagi dengan menyembelih hewan di hadapan hewan yang akan disembelih?Membaringkan hewan dengan baikMerupakan bentuk ihsan ketika menyembelih adalah tidak berlebihan ketika membaringkan hewan untuk disembelih atau mengikat hewan sembelihan dengan berlebihan ketika hendak menyembelih. Pengikatan cukup dilakukan secukupnya saja, dengan memposisikan hewan agar penyembelih bisa menyembelih dengan aman dan nyaman. Mengikat dan membaringkan hewan yang akan disembelih dengan berlebihan tentunya akan menyakiti hewan dan merupakan bentuk penyiksaan kepada hewan. Syekh Ibnu Utsaimin berkata,وما يفعله بعض الناس الآن من كونهم إذا أضجعوا الشاة وأرادوا الذبح بركوا عليها وأمسكوا بيديها ورجليها. فهذا تعذيب لها“Apa yang dilakukan sebagian dari orang-orang sekarang, yaitu dengan membaringkan kambing dan hendak menyembelihnya, mereka duduk di atasnya dan mengikat kedua kaki dan tangan (kaki depan) hewan tersebut. Ini merupakan bentuk penyiksaan terhadap hewan.”Hal lain yang perlu diperhatikaan ketika membaringkan hewan untuk disembelih adalah segera untuk disembelih. Jangan sampai hewan yang sudah dibaringkan malah didiamkan dalam waktu yang lama karena satu dan lain alasan. Sebaiknya, setelah hewan dibaringkan, proses penyembelihan langsung dilakukan karena akan lebih nyaman untuk hewan sembelihan. Syekh Ibnu utsaimin berkata,وجوب إراحة و ذلك بسرعة الذبح لأنه أريح لها“Wajib memberikan kenyamanan pada hewan, yaitu dengan menyembelihnya dengan cepat, karena lebih membuatnya nyaman.”Tidak memotong hewan sembelihan sebelum hewan tersebut matiHal lain yang perlu diperhatikan tatkala menyembelih adalah tidak tergesa-gesa memproses hewan sembelihan. Kita jangan mulai menguliti dan memotong-motong hewan sebelum hewan tersebut benar-benar mati. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyiksaan terhadap hewan. Selain menyiksa hewan, potongan hewan tersebut bisa saja masuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,ما قطع من البهيمة وهي حية ، فهو ميتة“Segala hal yang terpotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah mayat (bangkai).” (HR. Ibnu Majah)Oleh karena itu, sebaiknya, kita jangan tergesa-gesa untuk memproses hewan sembelihan sebelum yakin matinya hewan tersebut. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui apakah hewan tersebut sudah mati atau belum? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengecek status kematian hewan.Hal yang pertama yang bisa dicek adalah apakah darah masih mengalir pada urat nadi yang sudah terpotong? Jika masih mengalir, maka hewan masih hidup karena jantung masih memompa darah. Lalu bisa juga melihat perut hewan, apakah masih ada gerakan pernafasan pada perut hewan tersebut.Jika darah sudah tidak mengalir dan gerakan nafas sudah tidak ada, untuk meyakinkan status kematian hewan bisa juga dengan cara lain. Bisa dengan merangsang bagian kuku kaki hewan dengan disentuh. Jika kaki bergerak, kemungkinan hewan masih hidup. Lalu bisa juga merangsang bagian mata hewan dengan disentuh bulu matanya, apakah mata hewan masih merespon atau tidak. Jika sudah tidak ada respon, maka kemungkinan hewan sudah mati.Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk berbuat ihsan ketika menyembelih hewan. Semoga bermanfaat.[Selesai]Kembali ke bagian 1***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Mulakhas Al-Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.Syarah Al-Arba’iina An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Ternyata Rezakimu Datang dari Sebab Anak Yatim dan Difabel di Rumah! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahih. Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan orang lemah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu sebab datangnya rezeki dan kemenangan atas musuh. Keberadaan orang lemah di dalam rumah, baik ia adalah anak yatim, ataupun penyandang disabilitas, atau orang dengan kebutuhan khusus, maka kehadirannya di rumah adalah rahmat bagi kepala keluarga tersebut. Rezeki akan dilimpahkan kepadanya karena keberadaan orang lemah itu. “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Oleh karena itu, hendaknya kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga yang punya kelemahan seperti penyandang kebutuhan khusus, menyadari makna ini dengan baik. Bahwa bisa jadi ia akan mendapat rezeki yang besar dan luas karena adanya orang lemah tersebut di keluarganya. Bisa jadi Allah menghindarkan darinya berbagai musibah, keburukan, dan bencana, dikarenakan keberadaan orang lemah itu di keluarganya. Keberadaan orang lemah itu merupakan rahmat “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari). ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ؟ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ وُجُودَ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ مِنْ أَسْبَابِ الرِّزْقِ وَمِنْ أَسْبَابِ النَّصْرِ عَلَى الْأَعْدَاءِ وُجُودُ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الضَّعِيفُ يَتِيمًا أَوْ كَانَ مُعَوَّقًا أَوْ مِنْ ذَوِي الاحْتِيَاجَاتِ الْخَاصَّةِ فَهَذَا وُجُودُهُ فِي الْبَيْتِ رَحْمَةٌ لِصَاحِبِ الْبَيْتِ تُسَاقُ لَهُ الْأَرْزَاقُ بِسَبَبِه وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَحْضِرَ رَبُّ الْبَيْتِ الَّذِي فِيهِ ضَعِيفٌ مِنْ ذَوِي الاِحْتِيَاجَات الْخَاصَّةِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى وَأَنَّهُ قَدْ يُرْزَقُ رِزْقًا عَظِيمًا وَاسِعًا بِسَبَبِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ وَقَدْ يَدْفَعُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مَصَائِبَ وَشُرُورًا وَبَلَايَا بِسَبَبِ وُجُودِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ هَذَا الضَّعِيفُ وُجُودُهُ رَحْمَةٌ وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

Ternyata Rezakimu Datang dari Sebab Anak Yatim dan Difabel di Rumah! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahih. Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan orang lemah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu sebab datangnya rezeki dan kemenangan atas musuh. Keberadaan orang lemah di dalam rumah, baik ia adalah anak yatim, ataupun penyandang disabilitas, atau orang dengan kebutuhan khusus, maka kehadirannya di rumah adalah rahmat bagi kepala keluarga tersebut. Rezeki akan dilimpahkan kepadanya karena keberadaan orang lemah itu. “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Oleh karena itu, hendaknya kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga yang punya kelemahan seperti penyandang kebutuhan khusus, menyadari makna ini dengan baik. Bahwa bisa jadi ia akan mendapat rezeki yang besar dan luas karena adanya orang lemah tersebut di keluarganya. Bisa jadi Allah menghindarkan darinya berbagai musibah, keburukan, dan bencana, dikarenakan keberadaan orang lemah itu di keluarganya. Keberadaan orang lemah itu merupakan rahmat “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari). ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ؟ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ وُجُودَ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ مِنْ أَسْبَابِ الرِّزْقِ وَمِنْ أَسْبَابِ النَّصْرِ عَلَى الْأَعْدَاءِ وُجُودُ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الضَّعِيفُ يَتِيمًا أَوْ كَانَ مُعَوَّقًا أَوْ مِنْ ذَوِي الاحْتِيَاجَاتِ الْخَاصَّةِ فَهَذَا وُجُودُهُ فِي الْبَيْتِ رَحْمَةٌ لِصَاحِبِ الْبَيْتِ تُسَاقُ لَهُ الْأَرْزَاقُ بِسَبَبِه وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَحْضِرَ رَبُّ الْبَيْتِ الَّذِي فِيهِ ضَعِيفٌ مِنْ ذَوِي الاِحْتِيَاجَات الْخَاصَّةِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى وَأَنَّهُ قَدْ يُرْزَقُ رِزْقًا عَظِيمًا وَاسِعًا بِسَبَبِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ وَقَدْ يَدْفَعُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مَصَائِبَ وَشُرُورًا وَبَلَايَا بِسَبَبِ وُجُودِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ هَذَا الضَّعِيفُ وُجُودُهُ رَحْمَةٌ وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahih. Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan orang lemah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu sebab datangnya rezeki dan kemenangan atas musuh. Keberadaan orang lemah di dalam rumah, baik ia adalah anak yatim, ataupun penyandang disabilitas, atau orang dengan kebutuhan khusus, maka kehadirannya di rumah adalah rahmat bagi kepala keluarga tersebut. Rezeki akan dilimpahkan kepadanya karena keberadaan orang lemah itu. “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Oleh karena itu, hendaknya kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga yang punya kelemahan seperti penyandang kebutuhan khusus, menyadari makna ini dengan baik. Bahwa bisa jadi ia akan mendapat rezeki yang besar dan luas karena adanya orang lemah tersebut di keluarganya. Bisa jadi Allah menghindarkan darinya berbagai musibah, keburukan, dan bencana, dikarenakan keberadaan orang lemah itu di keluarganya. Keberadaan orang lemah itu merupakan rahmat “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari). ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ؟ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ وُجُودَ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ مِنْ أَسْبَابِ الرِّزْقِ وَمِنْ أَسْبَابِ النَّصْرِ عَلَى الْأَعْدَاءِ وُجُودُ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الضَّعِيفُ يَتِيمًا أَوْ كَانَ مُعَوَّقًا أَوْ مِنْ ذَوِي الاحْتِيَاجَاتِ الْخَاصَّةِ فَهَذَا وُجُودُهُ فِي الْبَيْتِ رَحْمَةٌ لِصَاحِبِ الْبَيْتِ تُسَاقُ لَهُ الْأَرْزَاقُ بِسَبَبِه وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَحْضِرَ رَبُّ الْبَيْتِ الَّذِي فِيهِ ضَعِيفٌ مِنْ ذَوِي الاِحْتِيَاجَات الْخَاصَّةِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى وَأَنَّهُ قَدْ يُرْزَقُ رِزْقًا عَظِيمًا وَاسِعًا بِسَبَبِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ وَقَدْ يَدْفَعُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مَصَائِبَ وَشُرُورًا وَبَلَايَا بِسَبَبِ وُجُودِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ هَذَا الضَّعِيفُ وُجُودُهُ رَحْمَةٌ وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shahih. Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan orang lemah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu sebab datangnya rezeki dan kemenangan atas musuh. Keberadaan orang lemah di dalam rumah, baik ia adalah anak yatim, ataupun penyandang disabilitas, atau orang dengan kebutuhan khusus, maka kehadirannya di rumah adalah rahmat bagi kepala keluarga tersebut. Rezeki akan dilimpahkan kepadanya karena keberadaan orang lemah itu. “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” Oleh karena itu, hendaknya kepala keluarga yang memiliki anggota keluarga yang punya kelemahan seperti penyandang kebutuhan khusus, menyadari makna ini dengan baik. Bahwa bisa jadi ia akan mendapat rezeki yang besar dan luas karena adanya orang lemah tersebut di keluarganya. Bisa jadi Allah menghindarkan darinya berbagai musibah, keburukan, dan bencana, dikarenakan keberadaan orang lemah itu di keluarganya. Keberadaan orang lemah itu merupakan rahmat “Bukankah kalian diberi pertolongan dan rezeki hanya karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari). ==== يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ؟ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ فِى صَحِيحِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ وُجُودَ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ مِنْ أَسْبَابِ الرِّزْقِ وَمِنْ أَسْبَابِ النَّصْرِ عَلَى الْأَعْدَاءِ وُجُودُ الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ سَوَاءٌ أَكَانَ هَذَا الضَّعِيفُ يَتِيمًا أَوْ كَانَ مُعَوَّقًا أَوْ مِنْ ذَوِي الاحْتِيَاجَاتِ الْخَاصَّةِ فَهَذَا وُجُودُهُ فِي الْبَيْتِ رَحْمَةٌ لِصَاحِبِ الْبَيْتِ تُسَاقُ لَهُ الْأَرْزَاقُ بِسَبَبِه وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَحْضِرَ رَبُّ الْبَيْتِ الَّذِي فِيهِ ضَعِيفٌ مِنْ ذَوِي الاِحْتِيَاجَات الْخَاصَّةِ أَنْ يَسْتَحْضِرَ هَذَا الْمَعْنَى وَأَنَّهُ قَدْ يُرْزَقُ رِزْقًا عَظِيمًا وَاسِعًا بِسَبَبِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ وَقَدْ يَدْفَعُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مَصَائِبَ وَشُرُورًا وَبَلَايَا بِسَبَبِ وُجُودِ هَذَا الضَّعِيفِ فِي الْبَيْتِ هَذَا الضَّعِيفُ وُجُودُهُ رَحْمَةٌ وَهَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

Doa agar Kuat Dzikir, Syukur, dan Ibadah Usai Shalat

Tidak semua doa punya kandungan yang sedalam ini. Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang paling beliau cintai. Isinya bukan sekadar permintaan, tapi kunci untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Jika kamu ingin ibadahmu lebih khusyuk dan hidupmu lebih tenang, jangan lewatkan doa ini.  Daftar Isi tutup 1. Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadah 2. Haditsnya 3. Penjelasan Doa 4. Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Dzikir itu Amalan Terbaik 6. Hendaklah Rajin Bersyukur 7. Perintah Memperbagus Ibadah Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadahاَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.Artinya: Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu. HaditsnyaDari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa: ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.”(HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Redaksi hadits yang kedua dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya (13/360, no. 7982), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan redaksi sebagai berikut,“Maukah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa? Ucapkanlah:اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ، وَذِكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ALLAHUMMA A’INNA ‘ALA SYUKRIKA, WA DZIKRIKA, WA HUSNI ‘IBADATIKA.(Ya Allah, bantulah kami untuk bersyukur kepada-Mu, mengingat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya).”(HR. Abu Daud, no. 1524; An-Nasai, no. 1303; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 690; Al-Hakim, 1:273; An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 9973. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 534)Baca juga: Penjelasan Doa Agar Rajin Berdzikir, Bersyukur, dan Rajin Ibadah Penjelasan DoaDoa ini memiliki kedudukan yang agung dan makna yang sangat mulia karena hal yang dimintanya begitu luhur. Sebab, doa yang paling bermanfaat sejatinya adalah permintaan kepada Allah agar diberi pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Dan anugerah terbaik yang bisa diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia mengabulkan permintaan itu. Sebenarnya, seluruh doa yang diajarkan dalam Islam berporos pada hal ini:memohon bantuan untuk taat kepada-Nya,memohon dijauhkan dari segala yang bertentangan dengan keridaan-Nya, sertamemohon agar kita mampu menyempurnakan ibadah itu dan dimudahkan semua sebab yang mendukungnya.Maka perhatikanlah makna ini baik-baik.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,تَأَمَّلْتُ أَنْفَعَ الدُّعَاءِ، فَإِذَا هُوَ سُؤَالُ الْعَوْنِ عَلَى مَرْضَاتِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ فِي الْفَاتِحَةِ فِي: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.“Saya merenungkan doa yang paling bermanfaat, dan ternyata itu adalah permohonan pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Lalu saya menemukan hal itu tercantum dalam Al-Fatihah,إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)(Madaarij As-Salikin, 1:75-78) Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKarena begitu pentingnya doa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada sahabat yang dicintainya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, agar jangan pernah meninggalkan doa ini setiap selesai shalat. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak umat ini secara umum untuk sungguh-sungguh dalam memanjatkan doa tersebut.Baca juga: Tiga Wasiat Nabi pada Abu Hurairah Dzikir itu Amalan TerbaikDalam doa disebutkan,اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ“Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu).”Ini adalah permintaan kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan dzikir. Sebab dzikir adalah amalan terbaik dalam Islam.Pada lafaz “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika” (Ya Allah, bantu aku untuk mengingat-Mu), terkandung permohonan kepada Allah agar diberi kemampuan dan pertolongan untuk berdzikir kepada-Nya. Sebab, dzikir adalah amal paling utama dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إنْفاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟> قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ:ذِكْرُ اللَّهِ تعالى“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan terbaik kalian? Amalan yang paling suci di sisi Rabb kalian, yang paling tinggi derajatnya, lebih baik dari menginfakkan emas dan perak, dan lebih utama dari bertemu musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?”Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”Beliau pun bersabda, “Yaitu dzikrullah (mengingat Allah Ta’ala).”(HR. Ahmad, 36:33; Tirmidzi, no. 3377; Ibnu Majah, no. 3370; Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2:295; Al-Hakim, 1:496. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Baca juga: Hukum Berdzikir bagi Wanita HaidhIni menunjukkan bahwa dzikir bukan sekadar rutinitas lisan, tetapi fondasi utama dalam ibadah dan bukti hidupnya hati seorang hamba. Maka pantas bila kita memohon agar Allah menolong kita untuk istiqamah melakukannya.Makna dzikir di sini mencakup seluruh bentuk dzikir:Membaca Al-Qur’an (yang merupakan dzikir paling utama)Tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ)Tasbih (سُبْحَانَ اللهِ)Istighfar (أَسْتَغْفِرُ اللهَ)Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDan juga doa-doa yang lain.Baca juga: 7 Catatan Mengenai Dzikir Hendaklah Rajin BersyukurDalam doa disebutkan,وَشُكْرِكَ“Dan (bantulah kami) untuk bersyukur kepada-Mu.”Yakni, mensyukuri seluruh nikmat lahir dan batin yang telah Allah berikan kepada kita—yang tidak mungkin bisa kita hitung satu per satu. Allah berfirman,وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا“Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18)Baca juga: Manfaat BersyukurBersyukur itu harus dilakukan dengan:Perbuatan, sebagaimana firman Allah kepada keluarga Nabi Daud:اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا“Beramallah kalian wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13)2. Ucapan, berupa pujian, sanjungan, dan menyebut-nyebut nikmat Allah. Allah berfirman:وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ“Ingatlah nikmat Allah atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 231)Baca juga: Apa itu Syukur? Ini Arti Secara Bahasa dan IstilahDan bentuk syukur paling agung adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Bertakwalah kepada Allah, agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 123)Namun, sungguh tak mudah untuk bersyukur secara benar. Bahkan untuk bisa bersyukur saja kita butuh nikmat lain, yaitu nikmat taufik untuk bisa bersyukur. Taufik itu juga perlu disyukuri.Baca juga: Cara Kita BersyukurIbnu Rajab rahimahullah berkata,كُلُّ نِعْمَةٍ عَلَى الْعَبْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي دِينٍ أَوْ دُنْيَا، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ عَلَيْهَا، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ عَلَيْهَا نِعْمَةٌ أُخْرَى، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ ثَانٍ، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ الثَّانِي نِعْمَةٌ أُخْرَى يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ آخَرَ، وَهَكَذَا أَبَدًا، فَلَا يَقْدِرُ الْعَبْدُ عَلَى الْقِيَامِ بِشُكْرِ النِّعَمِ، وَحَقِيقَةُ الشُّكْرِ: الِاعْتِرَافُ بِالْعَجْزِ فِي الشُّكْرِ.“Setiap nikmat yang Allah berikan kepada hamba, baik dalam urusan agama maupun dunia, itu butuh disyukuri. Kemudian ketika seseorang diberi taufik untuk bersyukur, maka itu juga merupakan nikmat lain yang butuh disyukuri lagi. Lalu jika diberi taufik lagi untuk bersyukur yang kedua, itu pun nikmat baru yang juga butuh syukur. Begitu seterusnya tanpa henti. Maka, tidak ada seorang hamba pun yang bisa benar-benar menunaikan syukur secara sempurna. Hakikat syukur adalah menyadari bahwa kita tidak mampu bersyukur dengan sempurna.”(Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur Perintah Memperbagus IbadahLanjutan doa ini,وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ“Dan (bantulah kami) agar kami bisa beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”Yakni, menjalankan ibadah kepada Allah dengan cara yang paling sempurna dan benar. Hal itu hanya akan tercapai jika terpenuhi dua syarat utama:Ikhlas kepada Allah semata—tidak ada unsur ria atau ingin dilihat manusia.Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—bukan dengan cara-cara baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).Baca juga: Inilah Dua Syarat Diterimanya Ibadah Referensi:kalamtayeb.com ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa agar dekat dengan Allah doa agar ibadah khusyuk doa dzikir dan syukur doa harian doa kepada Allah doa mengatasi problem hidup doa mu’adz bin jabal doa pendek penuh makna doa Rasulullah doa setelah shalat doa sunnah setelah shalat dzikir dan syukur dzikir harian kekuatan ibadah kumpulan doa rumaysho doa

Doa agar Kuat Dzikir, Syukur, dan Ibadah Usai Shalat

Tidak semua doa punya kandungan yang sedalam ini. Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang paling beliau cintai. Isinya bukan sekadar permintaan, tapi kunci untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Jika kamu ingin ibadahmu lebih khusyuk dan hidupmu lebih tenang, jangan lewatkan doa ini.  Daftar Isi tutup 1. Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadah 2. Haditsnya 3. Penjelasan Doa 4. Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Dzikir itu Amalan Terbaik 6. Hendaklah Rajin Bersyukur 7. Perintah Memperbagus Ibadah Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadahاَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.Artinya: Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu. HaditsnyaDari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa: ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.”(HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Redaksi hadits yang kedua dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya (13/360, no. 7982), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan redaksi sebagai berikut,“Maukah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa? Ucapkanlah:اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ، وَذِكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ALLAHUMMA A’INNA ‘ALA SYUKRIKA, WA DZIKRIKA, WA HUSNI ‘IBADATIKA.(Ya Allah, bantulah kami untuk bersyukur kepada-Mu, mengingat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya).”(HR. Abu Daud, no. 1524; An-Nasai, no. 1303; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 690; Al-Hakim, 1:273; An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 9973. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 534)Baca juga: Penjelasan Doa Agar Rajin Berdzikir, Bersyukur, dan Rajin Ibadah Penjelasan DoaDoa ini memiliki kedudukan yang agung dan makna yang sangat mulia karena hal yang dimintanya begitu luhur. Sebab, doa yang paling bermanfaat sejatinya adalah permintaan kepada Allah agar diberi pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Dan anugerah terbaik yang bisa diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia mengabulkan permintaan itu. Sebenarnya, seluruh doa yang diajarkan dalam Islam berporos pada hal ini:memohon bantuan untuk taat kepada-Nya,memohon dijauhkan dari segala yang bertentangan dengan keridaan-Nya, sertamemohon agar kita mampu menyempurnakan ibadah itu dan dimudahkan semua sebab yang mendukungnya.Maka perhatikanlah makna ini baik-baik.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,تَأَمَّلْتُ أَنْفَعَ الدُّعَاءِ، فَإِذَا هُوَ سُؤَالُ الْعَوْنِ عَلَى مَرْضَاتِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ فِي الْفَاتِحَةِ فِي: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.“Saya merenungkan doa yang paling bermanfaat, dan ternyata itu adalah permohonan pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Lalu saya menemukan hal itu tercantum dalam Al-Fatihah,إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)(Madaarij As-Salikin, 1:75-78) Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKarena begitu pentingnya doa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada sahabat yang dicintainya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, agar jangan pernah meninggalkan doa ini setiap selesai shalat. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak umat ini secara umum untuk sungguh-sungguh dalam memanjatkan doa tersebut.Baca juga: Tiga Wasiat Nabi pada Abu Hurairah Dzikir itu Amalan TerbaikDalam doa disebutkan,اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ“Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu).”Ini adalah permintaan kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan dzikir. Sebab dzikir adalah amalan terbaik dalam Islam.Pada lafaz “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika” (Ya Allah, bantu aku untuk mengingat-Mu), terkandung permohonan kepada Allah agar diberi kemampuan dan pertolongan untuk berdzikir kepada-Nya. Sebab, dzikir adalah amal paling utama dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إنْفاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟> قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ:ذِكْرُ اللَّهِ تعالى“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan terbaik kalian? Amalan yang paling suci di sisi Rabb kalian, yang paling tinggi derajatnya, lebih baik dari menginfakkan emas dan perak, dan lebih utama dari bertemu musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?”Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”Beliau pun bersabda, “Yaitu dzikrullah (mengingat Allah Ta’ala).”(HR. Ahmad, 36:33; Tirmidzi, no. 3377; Ibnu Majah, no. 3370; Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2:295; Al-Hakim, 1:496. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Baca juga: Hukum Berdzikir bagi Wanita HaidhIni menunjukkan bahwa dzikir bukan sekadar rutinitas lisan, tetapi fondasi utama dalam ibadah dan bukti hidupnya hati seorang hamba. Maka pantas bila kita memohon agar Allah menolong kita untuk istiqamah melakukannya.Makna dzikir di sini mencakup seluruh bentuk dzikir:Membaca Al-Qur’an (yang merupakan dzikir paling utama)Tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ)Tasbih (سُبْحَانَ اللهِ)Istighfar (أَسْتَغْفِرُ اللهَ)Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDan juga doa-doa yang lain.Baca juga: 7 Catatan Mengenai Dzikir Hendaklah Rajin BersyukurDalam doa disebutkan,وَشُكْرِكَ“Dan (bantulah kami) untuk bersyukur kepada-Mu.”Yakni, mensyukuri seluruh nikmat lahir dan batin yang telah Allah berikan kepada kita—yang tidak mungkin bisa kita hitung satu per satu. Allah berfirman,وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا“Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18)Baca juga: Manfaat BersyukurBersyukur itu harus dilakukan dengan:Perbuatan, sebagaimana firman Allah kepada keluarga Nabi Daud:اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا“Beramallah kalian wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13)2. Ucapan, berupa pujian, sanjungan, dan menyebut-nyebut nikmat Allah. Allah berfirman:وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ“Ingatlah nikmat Allah atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 231)Baca juga: Apa itu Syukur? Ini Arti Secara Bahasa dan IstilahDan bentuk syukur paling agung adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Bertakwalah kepada Allah, agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 123)Namun, sungguh tak mudah untuk bersyukur secara benar. Bahkan untuk bisa bersyukur saja kita butuh nikmat lain, yaitu nikmat taufik untuk bisa bersyukur. Taufik itu juga perlu disyukuri.Baca juga: Cara Kita BersyukurIbnu Rajab rahimahullah berkata,كُلُّ نِعْمَةٍ عَلَى الْعَبْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي دِينٍ أَوْ دُنْيَا، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ عَلَيْهَا، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ عَلَيْهَا نِعْمَةٌ أُخْرَى، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ ثَانٍ، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ الثَّانِي نِعْمَةٌ أُخْرَى يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ آخَرَ، وَهَكَذَا أَبَدًا، فَلَا يَقْدِرُ الْعَبْدُ عَلَى الْقِيَامِ بِشُكْرِ النِّعَمِ، وَحَقِيقَةُ الشُّكْرِ: الِاعْتِرَافُ بِالْعَجْزِ فِي الشُّكْرِ.“Setiap nikmat yang Allah berikan kepada hamba, baik dalam urusan agama maupun dunia, itu butuh disyukuri. Kemudian ketika seseorang diberi taufik untuk bersyukur, maka itu juga merupakan nikmat lain yang butuh disyukuri lagi. Lalu jika diberi taufik lagi untuk bersyukur yang kedua, itu pun nikmat baru yang juga butuh syukur. Begitu seterusnya tanpa henti. Maka, tidak ada seorang hamba pun yang bisa benar-benar menunaikan syukur secara sempurna. Hakikat syukur adalah menyadari bahwa kita tidak mampu bersyukur dengan sempurna.”(Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur Perintah Memperbagus IbadahLanjutan doa ini,وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ“Dan (bantulah kami) agar kami bisa beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”Yakni, menjalankan ibadah kepada Allah dengan cara yang paling sempurna dan benar. Hal itu hanya akan tercapai jika terpenuhi dua syarat utama:Ikhlas kepada Allah semata—tidak ada unsur ria atau ingin dilihat manusia.Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—bukan dengan cara-cara baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).Baca juga: Inilah Dua Syarat Diterimanya Ibadah Referensi:kalamtayeb.com ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa agar dekat dengan Allah doa agar ibadah khusyuk doa dzikir dan syukur doa harian doa kepada Allah doa mengatasi problem hidup doa mu’adz bin jabal doa pendek penuh makna doa Rasulullah doa setelah shalat doa sunnah setelah shalat dzikir dan syukur dzikir harian kekuatan ibadah kumpulan doa rumaysho doa
Tidak semua doa punya kandungan yang sedalam ini. Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang paling beliau cintai. Isinya bukan sekadar permintaan, tapi kunci untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Jika kamu ingin ibadahmu lebih khusyuk dan hidupmu lebih tenang, jangan lewatkan doa ini.  Daftar Isi tutup 1. Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadah 2. Haditsnya 3. Penjelasan Doa 4. Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Dzikir itu Amalan Terbaik 6. Hendaklah Rajin Bersyukur 7. Perintah Memperbagus Ibadah Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadahاَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.Artinya: Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu. HaditsnyaDari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa: ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.”(HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Redaksi hadits yang kedua dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya (13/360, no. 7982), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan redaksi sebagai berikut,“Maukah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa? Ucapkanlah:اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ، وَذِكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ALLAHUMMA A’INNA ‘ALA SYUKRIKA, WA DZIKRIKA, WA HUSNI ‘IBADATIKA.(Ya Allah, bantulah kami untuk bersyukur kepada-Mu, mengingat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya).”(HR. Abu Daud, no. 1524; An-Nasai, no. 1303; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 690; Al-Hakim, 1:273; An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 9973. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 534)Baca juga: Penjelasan Doa Agar Rajin Berdzikir, Bersyukur, dan Rajin Ibadah Penjelasan DoaDoa ini memiliki kedudukan yang agung dan makna yang sangat mulia karena hal yang dimintanya begitu luhur. Sebab, doa yang paling bermanfaat sejatinya adalah permintaan kepada Allah agar diberi pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Dan anugerah terbaik yang bisa diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia mengabulkan permintaan itu. Sebenarnya, seluruh doa yang diajarkan dalam Islam berporos pada hal ini:memohon bantuan untuk taat kepada-Nya,memohon dijauhkan dari segala yang bertentangan dengan keridaan-Nya, sertamemohon agar kita mampu menyempurnakan ibadah itu dan dimudahkan semua sebab yang mendukungnya.Maka perhatikanlah makna ini baik-baik.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,تَأَمَّلْتُ أَنْفَعَ الدُّعَاءِ، فَإِذَا هُوَ سُؤَالُ الْعَوْنِ عَلَى مَرْضَاتِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ فِي الْفَاتِحَةِ فِي: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.“Saya merenungkan doa yang paling bermanfaat, dan ternyata itu adalah permohonan pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Lalu saya menemukan hal itu tercantum dalam Al-Fatihah,إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)(Madaarij As-Salikin, 1:75-78) Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKarena begitu pentingnya doa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada sahabat yang dicintainya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, agar jangan pernah meninggalkan doa ini setiap selesai shalat. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak umat ini secara umum untuk sungguh-sungguh dalam memanjatkan doa tersebut.Baca juga: Tiga Wasiat Nabi pada Abu Hurairah Dzikir itu Amalan TerbaikDalam doa disebutkan,اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ“Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu).”Ini adalah permintaan kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan dzikir. Sebab dzikir adalah amalan terbaik dalam Islam.Pada lafaz “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika” (Ya Allah, bantu aku untuk mengingat-Mu), terkandung permohonan kepada Allah agar diberi kemampuan dan pertolongan untuk berdzikir kepada-Nya. Sebab, dzikir adalah amal paling utama dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إنْفاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟> قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ:ذِكْرُ اللَّهِ تعالى“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan terbaik kalian? Amalan yang paling suci di sisi Rabb kalian, yang paling tinggi derajatnya, lebih baik dari menginfakkan emas dan perak, dan lebih utama dari bertemu musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?”Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”Beliau pun bersabda, “Yaitu dzikrullah (mengingat Allah Ta’ala).”(HR. Ahmad, 36:33; Tirmidzi, no. 3377; Ibnu Majah, no. 3370; Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2:295; Al-Hakim, 1:496. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Baca juga: Hukum Berdzikir bagi Wanita HaidhIni menunjukkan bahwa dzikir bukan sekadar rutinitas lisan, tetapi fondasi utama dalam ibadah dan bukti hidupnya hati seorang hamba. Maka pantas bila kita memohon agar Allah menolong kita untuk istiqamah melakukannya.Makna dzikir di sini mencakup seluruh bentuk dzikir:Membaca Al-Qur’an (yang merupakan dzikir paling utama)Tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ)Tasbih (سُبْحَانَ اللهِ)Istighfar (أَسْتَغْفِرُ اللهَ)Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDan juga doa-doa yang lain.Baca juga: 7 Catatan Mengenai Dzikir Hendaklah Rajin BersyukurDalam doa disebutkan,وَشُكْرِكَ“Dan (bantulah kami) untuk bersyukur kepada-Mu.”Yakni, mensyukuri seluruh nikmat lahir dan batin yang telah Allah berikan kepada kita—yang tidak mungkin bisa kita hitung satu per satu. Allah berfirman,وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا“Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18)Baca juga: Manfaat BersyukurBersyukur itu harus dilakukan dengan:Perbuatan, sebagaimana firman Allah kepada keluarga Nabi Daud:اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا“Beramallah kalian wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13)2. Ucapan, berupa pujian, sanjungan, dan menyebut-nyebut nikmat Allah. Allah berfirman:وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ“Ingatlah nikmat Allah atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 231)Baca juga: Apa itu Syukur? Ini Arti Secara Bahasa dan IstilahDan bentuk syukur paling agung adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Bertakwalah kepada Allah, agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 123)Namun, sungguh tak mudah untuk bersyukur secara benar. Bahkan untuk bisa bersyukur saja kita butuh nikmat lain, yaitu nikmat taufik untuk bisa bersyukur. Taufik itu juga perlu disyukuri.Baca juga: Cara Kita BersyukurIbnu Rajab rahimahullah berkata,كُلُّ نِعْمَةٍ عَلَى الْعَبْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي دِينٍ أَوْ دُنْيَا، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ عَلَيْهَا، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ عَلَيْهَا نِعْمَةٌ أُخْرَى، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ ثَانٍ، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ الثَّانِي نِعْمَةٌ أُخْرَى يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ آخَرَ، وَهَكَذَا أَبَدًا، فَلَا يَقْدِرُ الْعَبْدُ عَلَى الْقِيَامِ بِشُكْرِ النِّعَمِ، وَحَقِيقَةُ الشُّكْرِ: الِاعْتِرَافُ بِالْعَجْزِ فِي الشُّكْرِ.“Setiap nikmat yang Allah berikan kepada hamba, baik dalam urusan agama maupun dunia, itu butuh disyukuri. Kemudian ketika seseorang diberi taufik untuk bersyukur, maka itu juga merupakan nikmat lain yang butuh disyukuri lagi. Lalu jika diberi taufik lagi untuk bersyukur yang kedua, itu pun nikmat baru yang juga butuh syukur. Begitu seterusnya tanpa henti. Maka, tidak ada seorang hamba pun yang bisa benar-benar menunaikan syukur secara sempurna. Hakikat syukur adalah menyadari bahwa kita tidak mampu bersyukur dengan sempurna.”(Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur Perintah Memperbagus IbadahLanjutan doa ini,وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ“Dan (bantulah kami) agar kami bisa beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”Yakni, menjalankan ibadah kepada Allah dengan cara yang paling sempurna dan benar. Hal itu hanya akan tercapai jika terpenuhi dua syarat utama:Ikhlas kepada Allah semata—tidak ada unsur ria atau ingin dilihat manusia.Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—bukan dengan cara-cara baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).Baca juga: Inilah Dua Syarat Diterimanya Ibadah Referensi:kalamtayeb.com ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa agar dekat dengan Allah doa agar ibadah khusyuk doa dzikir dan syukur doa harian doa kepada Allah doa mengatasi problem hidup doa mu’adz bin jabal doa pendek penuh makna doa Rasulullah doa setelah shalat doa sunnah setelah shalat dzikir dan syukur dzikir harian kekuatan ibadah kumpulan doa rumaysho doa


Tidak semua doa punya kandungan yang sedalam ini. Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang paling beliau cintai. Isinya bukan sekadar permintaan, tapi kunci untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah. Jika kamu ingin ibadahmu lebih khusyuk dan hidupmu lebih tenang, jangan lewatkan doa ini.  Daftar Isi tutup 1. Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadah 2. Haditsnya 3. Penjelasan Doa 4. Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 5. Dzikir itu Amalan Terbaik 6. Hendaklah Rajin Bersyukur 7. Perintah Memperbagus Ibadah Doa Supaya Kuat Berdzikir, Bersyukur, dan Ibadahاَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK.Artinya: Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu. HaditsnyaDari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tangannya lalu berkata,يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa: ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.”(HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Redaksi hadits yang kedua dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya (13/360, no. 7982), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan redaksi sebagai berikut,“Maukah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa? Ucapkanlah:اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ، وَذِكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ALLAHUMMA A’INNA ‘ALA SYUKRIKA, WA DZIKRIKA, WA HUSNI ‘IBADATIKA.(Ya Allah, bantulah kami untuk bersyukur kepada-Mu, mengingat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya).”(HR. Abu Daud, no. 1524; An-Nasai, no. 1303; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 690; Al-Hakim, 1:273; An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 9973. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 534)Baca juga: Penjelasan Doa Agar Rajin Berdzikir, Bersyukur, dan Rajin Ibadah Penjelasan DoaDoa ini memiliki kedudukan yang agung dan makna yang sangat mulia karena hal yang dimintanya begitu luhur. Sebab, doa yang paling bermanfaat sejatinya adalah permintaan kepada Allah agar diberi pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Dan anugerah terbaik yang bisa diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia mengabulkan permintaan itu. Sebenarnya, seluruh doa yang diajarkan dalam Islam berporos pada hal ini:memohon bantuan untuk taat kepada-Nya,memohon dijauhkan dari segala yang bertentangan dengan keridaan-Nya, sertamemohon agar kita mampu menyempurnakan ibadah itu dan dimudahkan semua sebab yang mendukungnya.Maka perhatikanlah makna ini baik-baik.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,تَأَمَّلْتُ أَنْفَعَ الدُّعَاءِ، فَإِذَا هُوَ سُؤَالُ الْعَوْنِ عَلَى مَرْضَاتِهِ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ فِي الْفَاتِحَةِ فِي: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”.“Saya merenungkan doa yang paling bermanfaat, dan ternyata itu adalah permohonan pertolongan untuk meraih keridaan-Nya. Lalu saya menemukan hal itu tercantum dalam Al-Fatihah,إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)(Madaarij As-Salikin, 1:75-78) Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamKarena begitu pentingnya doa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada sahabat yang dicintainya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, agar jangan pernah meninggalkan doa ini setiap selesai shalat. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak umat ini secara umum untuk sungguh-sungguh dalam memanjatkan doa tersebut.Baca juga: Tiga Wasiat Nabi pada Abu Hurairah Dzikir itu Amalan TerbaikDalam doa disebutkan,اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ“Ya Allah, bantulah kami untuk mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu).”Ini adalah permintaan kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan dzikir. Sebab dzikir adalah amalan terbaik dalam Islam.Pada lafaz “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika” (Ya Allah, bantu aku untuk mengingat-Mu), terkandung permohonan kepada Allah agar diberi kemampuan dan pertolongan untuk berdzikir kepada-Nya. Sebab, dzikir adalah amal paling utama dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إنْفاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟> قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ:ذِكْرُ اللَّهِ تعالى“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan terbaik kalian? Amalan yang paling suci di sisi Rabb kalian, yang paling tinggi derajatnya, lebih baik dari menginfakkan emas dan perak, dan lebih utama dari bertemu musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?”Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”Beliau pun bersabda, “Yaitu dzikrullah (mengingat Allah Ta’ala).”(HR. Ahmad, 36:33; Tirmidzi, no. 3377; Ibnu Majah, no. 3370; Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2:295; Al-Hakim, 1:496. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Baca juga: Hukum Berdzikir bagi Wanita HaidhIni menunjukkan bahwa dzikir bukan sekadar rutinitas lisan, tetapi fondasi utama dalam ibadah dan bukti hidupnya hati seorang hamba. Maka pantas bila kita memohon agar Allah menolong kita untuk istiqamah melakukannya.Makna dzikir di sini mencakup seluruh bentuk dzikir:Membaca Al-Qur’an (yang merupakan dzikir paling utama)Tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ)Tasbih (سُبْحَانَ اللهِ)Istighfar (أَسْتَغْفِرُ اللهَ)Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamDan juga doa-doa yang lain.Baca juga: 7 Catatan Mengenai Dzikir Hendaklah Rajin BersyukurDalam doa disebutkan,وَشُكْرِكَ“Dan (bantulah kami) untuk bersyukur kepada-Mu.”Yakni, mensyukuri seluruh nikmat lahir dan batin yang telah Allah berikan kepada kita—yang tidak mungkin bisa kita hitung satu per satu. Allah berfirman,وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا“Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. An-Nahl: 18)Baca juga: Manfaat BersyukurBersyukur itu harus dilakukan dengan:Perbuatan, sebagaimana firman Allah kepada keluarga Nabi Daud:اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا“Beramallah kalian wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13)2. Ucapan, berupa pujian, sanjungan, dan menyebut-nyebut nikmat Allah. Allah berfirman:وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ“Ingatlah nikmat Allah atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 231)Baca juga: Apa itu Syukur? Ini Arti Secara Bahasa dan IstilahDan bentuk syukur paling agung adalah takwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Bertakwalah kepada Allah, agar kalian menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 123)Namun, sungguh tak mudah untuk bersyukur secara benar. Bahkan untuk bisa bersyukur saja kita butuh nikmat lain, yaitu nikmat taufik untuk bisa bersyukur. Taufik itu juga perlu disyukuri.Baca juga: Cara Kita BersyukurIbnu Rajab rahimahullah berkata,كُلُّ نِعْمَةٍ عَلَى الْعَبْدِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي دِينٍ أَوْ دُنْيَا، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ عَلَيْهَا، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ عَلَيْهَا نِعْمَةٌ أُخْرَى، تَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ ثَانٍ، ثُمَّ التَّوْفِيقُ لِلشُّكْرِ الثَّانِي نِعْمَةٌ أُخْرَى يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ آخَرَ، وَهَكَذَا أَبَدًا، فَلَا يَقْدِرُ الْعَبْدُ عَلَى الْقِيَامِ بِشُكْرِ النِّعَمِ، وَحَقِيقَةُ الشُّكْرِ: الِاعْتِرَافُ بِالْعَجْزِ فِي الشُّكْرِ.“Setiap nikmat yang Allah berikan kepada hamba, baik dalam urusan agama maupun dunia, itu butuh disyukuri. Kemudian ketika seseorang diberi taufik untuk bersyukur, maka itu juga merupakan nikmat lain yang butuh disyukuri lagi. Lalu jika diberi taufik lagi untuk bersyukur yang kedua, itu pun nikmat baru yang juga butuh syukur. Begitu seterusnya tanpa henti. Maka, tidak ada seorang hamba pun yang bisa benar-benar menunaikan syukur secara sempurna. Hakikat syukur adalah menyadari bahwa kita tidak mampu bersyukur dengan sempurna.”(Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur Perintah Memperbagus IbadahLanjutan doa ini,وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ“Dan (bantulah kami) agar kami bisa beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya.”Yakni, menjalankan ibadah kepada Allah dengan cara yang paling sempurna dan benar. Hal itu hanya akan tercapai jika terpenuhi dua syarat utama:Ikhlas kepada Allah semata—tidak ada unsur ria atau ingin dilihat manusia.Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam—bukan dengan cara-cara baru yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).Baca juga: Inilah Dua Syarat Diterimanya Ibadah Referensi:kalamtayeb.com ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdoa agar dekat dengan Allah doa agar ibadah khusyuk doa dzikir dan syukur doa harian doa kepada Allah doa mengatasi problem hidup doa mu’adz bin jabal doa pendek penuh makna doa Rasulullah doa setelah shalat doa sunnah setelah shalat dzikir dan syukur dzikir harian kekuatan ibadah kumpulan doa rumaysho doa

Mudah Marah? Coba Resep Ini, Hidupmu akan Berubah! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa laki-laki itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu laki-laki itu pergi. Kemudian laki-laki itu kembali, ingin mendapatkan nasihat yang baru. Ia berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Pengulangan nasihat ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya nasihat tersebut. Ini adalah pokok utama dalam adab: janganlah kamu marah! Makna sebenarnya “jangan marah” adalah: Latihlah dirimu untuk bersikap sabar! Agar engkau menjadi pribadi yang penyabar. Sabar merupakan sifat yang dapat dilatih. Sebagian orang berkata, “Wahai saudaraku, aku ini buruk karena mudah marah.” Kau bisa melatih dirimu hingga menjadi orang yang penyabar. Sesungguhnya sifat sabar diperoleh dengan membiasakan diri bersabar. Latihlah dirimu untuk tidak marah, maka level amarahmu akan semakin berkurang. Namun jika kau tidak mampu mengendalikan dirimu, maka janganlah kau mengambil keputusan atau berkata-kata saat sedang marah. Seorang ulama salaf berkata dengan kalimat yang indah: “Sesungguhnya amarahku ada di sepatuku.” “Jika aku marah, aku memakai sepatuku, lalu keluar rumah.” Apa maksud kalimat ini? Ia berkata, “Aku manusia yang bisa marah, tetapi amarahku aku letakkan di sepatuku.” “Begitu aku marah, aku langsung memakai sepatu, lalu keluar rumah.” Agar ia tidak melampiaskan amarahnya. Seandainya setiap orang melakukan hal ini, niscaya ia akan hidup dengan bahagia. Betapa sering kemarahan memecah rumah tangga yang bahagia? Betapa sering amarah menimbulkan penyesalan! Bahkan sebagian orang Arab berkata, “Tak ada yang menyesal kecuali orang yang pemarah.” Tak ada yang menyesal kecuali orang pemarah. Orang yang mudah marah seringkali menyesal. Karena itu, sepatutnya seseorang berusaha memperbaiki dirinya dalam hal ini. ==== أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَجَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ يُرِيدُ فَائِدَةً جَدِيدَةً قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَتِكْرَارُ هَذِهِ الْوَصِيَّةِ يَدُلُّ عَلَى عِظَمِهَا وَعِظَمِ شَأْنِهَا وَهَذَا أَصْلٌ فِي الْأَدَبِ أَلَّا تَغْضَبَ وَمَعْنَى لَا تَغْضَبْ عَلَى التَّحْقِيقِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى الْحِلْمِ أَنْ تَكُونَ حَلِيمًا وَالْحِلْمُ صِفَةٌ تُكْتَسَبُ بَعْضُ النَّاسِ تَقُولُ قَالَ يَا أَخِي أَنَا سُوْءٌ لِأَنِّي غَضُوبٌ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُدَرِّبَ نَفْسَكَ حَتَّى تُصْبِحَ حَلِيمًا إِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى أَلَّا تَغْضَبَ سَتَقِلُّ دَرَجَةُ الْغَضَبِ عِنْدَكَ فَإِنْ لَمْ تَمْلِكْ نَفْسَكَ فَلَا تُصْدِرْ قَرَارًا وَلَا كَلَامًا وَأَنْتَ غَاضِبٌ بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ جُمْلَةً جَمِيلَةً قَالَ إِنَّمَا غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي إِذَا غَضِبْتُ لَبِسْتُهَا وَخَرَجْتُ مَا مَعْنَى هَذِهِ الْجُمْلَةِ؟ يَقُولُ أَنَا إِنْسَانٌ أَغْضَبُ لَكِنْ غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي مُجَرَّدُ مَا أَغْضَبُ لَبِسْتُ حِذَائِي وَخَرَجْتُ مِنَ الْبَيْتِ حَتَّى لَا يُنْفِذَ الْغَضَبَ وَلَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ هَذَا لَعَاشَ حَيَاةً طَيِّبَةً كَمْ كَسَرَ الْغَضَبُ مِنْ بُيُوتٍ طَيِّبَةٍ؟ وَكَمْ أَدَّى إِلَى نَدَمٍ؟ بَلْ بَعْضُ الْعَرَبِ يَقُولُونَ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ الْإِنْسَانُ الْغَضُوبُ كَثِيرُ النَّدَمِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يُعَالِجَ نَفْسَهُ فِي هَذَا الْبَابِ

Mudah Marah? Coba Resep Ini, Hidupmu akan Berubah! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa laki-laki itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu laki-laki itu pergi. Kemudian laki-laki itu kembali, ingin mendapatkan nasihat yang baru. Ia berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Pengulangan nasihat ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya nasihat tersebut. Ini adalah pokok utama dalam adab: janganlah kamu marah! Makna sebenarnya “jangan marah” adalah: Latihlah dirimu untuk bersikap sabar! Agar engkau menjadi pribadi yang penyabar. Sabar merupakan sifat yang dapat dilatih. Sebagian orang berkata, “Wahai saudaraku, aku ini buruk karena mudah marah.” Kau bisa melatih dirimu hingga menjadi orang yang penyabar. Sesungguhnya sifat sabar diperoleh dengan membiasakan diri bersabar. Latihlah dirimu untuk tidak marah, maka level amarahmu akan semakin berkurang. Namun jika kau tidak mampu mengendalikan dirimu, maka janganlah kau mengambil keputusan atau berkata-kata saat sedang marah. Seorang ulama salaf berkata dengan kalimat yang indah: “Sesungguhnya amarahku ada di sepatuku.” “Jika aku marah, aku memakai sepatuku, lalu keluar rumah.” Apa maksud kalimat ini? Ia berkata, “Aku manusia yang bisa marah, tetapi amarahku aku letakkan di sepatuku.” “Begitu aku marah, aku langsung memakai sepatu, lalu keluar rumah.” Agar ia tidak melampiaskan amarahnya. Seandainya setiap orang melakukan hal ini, niscaya ia akan hidup dengan bahagia. Betapa sering kemarahan memecah rumah tangga yang bahagia? Betapa sering amarah menimbulkan penyesalan! Bahkan sebagian orang Arab berkata, “Tak ada yang menyesal kecuali orang yang pemarah.” Tak ada yang menyesal kecuali orang pemarah. Orang yang mudah marah seringkali menyesal. Karena itu, sepatutnya seseorang berusaha memperbaiki dirinya dalam hal ini. ==== أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَجَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ يُرِيدُ فَائِدَةً جَدِيدَةً قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَتِكْرَارُ هَذِهِ الْوَصِيَّةِ يَدُلُّ عَلَى عِظَمِهَا وَعِظَمِ شَأْنِهَا وَهَذَا أَصْلٌ فِي الْأَدَبِ أَلَّا تَغْضَبَ وَمَعْنَى لَا تَغْضَبْ عَلَى التَّحْقِيقِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى الْحِلْمِ أَنْ تَكُونَ حَلِيمًا وَالْحِلْمُ صِفَةٌ تُكْتَسَبُ بَعْضُ النَّاسِ تَقُولُ قَالَ يَا أَخِي أَنَا سُوْءٌ لِأَنِّي غَضُوبٌ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُدَرِّبَ نَفْسَكَ حَتَّى تُصْبِحَ حَلِيمًا إِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى أَلَّا تَغْضَبَ سَتَقِلُّ دَرَجَةُ الْغَضَبِ عِنْدَكَ فَإِنْ لَمْ تَمْلِكْ نَفْسَكَ فَلَا تُصْدِرْ قَرَارًا وَلَا كَلَامًا وَأَنْتَ غَاضِبٌ بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ جُمْلَةً جَمِيلَةً قَالَ إِنَّمَا غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي إِذَا غَضِبْتُ لَبِسْتُهَا وَخَرَجْتُ مَا مَعْنَى هَذِهِ الْجُمْلَةِ؟ يَقُولُ أَنَا إِنْسَانٌ أَغْضَبُ لَكِنْ غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي مُجَرَّدُ مَا أَغْضَبُ لَبِسْتُ حِذَائِي وَخَرَجْتُ مِنَ الْبَيْتِ حَتَّى لَا يُنْفِذَ الْغَضَبَ وَلَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ هَذَا لَعَاشَ حَيَاةً طَيِّبَةً كَمْ كَسَرَ الْغَضَبُ مِنْ بُيُوتٍ طَيِّبَةٍ؟ وَكَمْ أَدَّى إِلَى نَدَمٍ؟ بَلْ بَعْضُ الْعَرَبِ يَقُولُونَ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ الْإِنْسَانُ الْغَضُوبُ كَثِيرُ النَّدَمِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يُعَالِجَ نَفْسَهُ فِي هَذَا الْبَابِ
Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa laki-laki itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu laki-laki itu pergi. Kemudian laki-laki itu kembali, ingin mendapatkan nasihat yang baru. Ia berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Pengulangan nasihat ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya nasihat tersebut. Ini adalah pokok utama dalam adab: janganlah kamu marah! Makna sebenarnya “jangan marah” adalah: Latihlah dirimu untuk bersikap sabar! Agar engkau menjadi pribadi yang penyabar. Sabar merupakan sifat yang dapat dilatih. Sebagian orang berkata, “Wahai saudaraku, aku ini buruk karena mudah marah.” Kau bisa melatih dirimu hingga menjadi orang yang penyabar. Sesungguhnya sifat sabar diperoleh dengan membiasakan diri bersabar. Latihlah dirimu untuk tidak marah, maka level amarahmu akan semakin berkurang. Namun jika kau tidak mampu mengendalikan dirimu, maka janganlah kau mengambil keputusan atau berkata-kata saat sedang marah. Seorang ulama salaf berkata dengan kalimat yang indah: “Sesungguhnya amarahku ada di sepatuku.” “Jika aku marah, aku memakai sepatuku, lalu keluar rumah.” Apa maksud kalimat ini? Ia berkata, “Aku manusia yang bisa marah, tetapi amarahku aku letakkan di sepatuku.” “Begitu aku marah, aku langsung memakai sepatu, lalu keluar rumah.” Agar ia tidak melampiaskan amarahnya. Seandainya setiap orang melakukan hal ini, niscaya ia akan hidup dengan bahagia. Betapa sering kemarahan memecah rumah tangga yang bahagia? Betapa sering amarah menimbulkan penyesalan! Bahkan sebagian orang Arab berkata, “Tak ada yang menyesal kecuali orang yang pemarah.” Tak ada yang menyesal kecuali orang pemarah. Orang yang mudah marah seringkali menyesal. Karena itu, sepatutnya seseorang berusaha memperbaiki dirinya dalam hal ini. ==== أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَجَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ يُرِيدُ فَائِدَةً جَدِيدَةً قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَتِكْرَارُ هَذِهِ الْوَصِيَّةِ يَدُلُّ عَلَى عِظَمِهَا وَعِظَمِ شَأْنِهَا وَهَذَا أَصْلٌ فِي الْأَدَبِ أَلَّا تَغْضَبَ وَمَعْنَى لَا تَغْضَبْ عَلَى التَّحْقِيقِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى الْحِلْمِ أَنْ تَكُونَ حَلِيمًا وَالْحِلْمُ صِفَةٌ تُكْتَسَبُ بَعْضُ النَّاسِ تَقُولُ قَالَ يَا أَخِي أَنَا سُوْءٌ لِأَنِّي غَضُوبٌ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُدَرِّبَ نَفْسَكَ حَتَّى تُصْبِحَ حَلِيمًا إِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى أَلَّا تَغْضَبَ سَتَقِلُّ دَرَجَةُ الْغَضَبِ عِنْدَكَ فَإِنْ لَمْ تَمْلِكْ نَفْسَكَ فَلَا تُصْدِرْ قَرَارًا وَلَا كَلَامًا وَأَنْتَ غَاضِبٌ بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ جُمْلَةً جَمِيلَةً قَالَ إِنَّمَا غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي إِذَا غَضِبْتُ لَبِسْتُهَا وَخَرَجْتُ مَا مَعْنَى هَذِهِ الْجُمْلَةِ؟ يَقُولُ أَنَا إِنْسَانٌ أَغْضَبُ لَكِنْ غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي مُجَرَّدُ مَا أَغْضَبُ لَبِسْتُ حِذَائِي وَخَرَجْتُ مِنَ الْبَيْتِ حَتَّى لَا يُنْفِذَ الْغَضَبَ وَلَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ هَذَا لَعَاشَ حَيَاةً طَيِّبَةً كَمْ كَسَرَ الْغَضَبُ مِنْ بُيُوتٍ طَيِّبَةٍ؟ وَكَمْ أَدَّى إِلَى نَدَمٍ؟ بَلْ بَعْضُ الْعَرَبِ يَقُولُونَ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ الْإِنْسَانُ الْغَضُوبُ كَثِيرُ النَّدَمِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يُعَالِجَ نَفْسَهُ فِي هَذَا الْبَابِ


Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Laki-laki itu berkata lagi, “Berilah aku nasihat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa laki-laki itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu laki-laki itu pergi. Kemudian laki-laki itu kembali, ingin mendapatkan nasihat yang baru. Ia berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Lalu ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata, “Berilah aku nasihat.” Nabi bersabda, “Jangan marah!” Pengulangan nasihat ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya nasihat tersebut. Ini adalah pokok utama dalam adab: janganlah kamu marah! Makna sebenarnya “jangan marah” adalah: Latihlah dirimu untuk bersikap sabar! Agar engkau menjadi pribadi yang penyabar. Sabar merupakan sifat yang dapat dilatih. Sebagian orang berkata, “Wahai saudaraku, aku ini buruk karena mudah marah.” Kau bisa melatih dirimu hingga menjadi orang yang penyabar. Sesungguhnya sifat sabar diperoleh dengan membiasakan diri bersabar. Latihlah dirimu untuk tidak marah, maka level amarahmu akan semakin berkurang. Namun jika kau tidak mampu mengendalikan dirimu, maka janganlah kau mengambil keputusan atau berkata-kata saat sedang marah. Seorang ulama salaf berkata dengan kalimat yang indah: “Sesungguhnya amarahku ada di sepatuku.” “Jika aku marah, aku memakai sepatuku, lalu keluar rumah.” Apa maksud kalimat ini? Ia berkata, “Aku manusia yang bisa marah, tetapi amarahku aku letakkan di sepatuku.” “Begitu aku marah, aku langsung memakai sepatu, lalu keluar rumah.” Agar ia tidak melampiaskan amarahnya. Seandainya setiap orang melakukan hal ini, niscaya ia akan hidup dengan bahagia. Betapa sering kemarahan memecah rumah tangga yang bahagia? Betapa sering amarah menimbulkan penyesalan! Bahkan sebagian orang Arab berkata, “Tak ada yang menyesal kecuali orang yang pemarah.” Tak ada yang menyesal kecuali orang pemarah. Orang yang mudah marah seringkali menyesal. Karena itu, sepatutnya seseorang berusaha memperbaiki dirinya dalam hal ini. ==== أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَجَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ يُرِيدُ فَائِدَةً جَدِيدَةً قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَخَرَجَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ وَتِكْرَارُ هَذِهِ الْوَصِيَّةِ يَدُلُّ عَلَى عِظَمِهَا وَعِظَمِ شَأْنِهَا وَهَذَا أَصْلٌ فِي الْأَدَبِ أَلَّا تَغْضَبَ وَمَعْنَى لَا تَغْضَبْ عَلَى التَّحْقِيقِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى الْحِلْمِ أَنْ تَكُونَ حَلِيمًا وَالْحِلْمُ صِفَةٌ تُكْتَسَبُ بَعْضُ النَّاسِ تَقُولُ قَالَ يَا أَخِي أَنَا سُوْءٌ لِأَنِّي غَضُوبٌ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُدَرِّبَ نَفْسَكَ حَتَّى تُصْبِحَ حَلِيمًا إِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ دَرِّبْ نَفْسَكَ عَلَى أَلَّا تَغْضَبَ سَتَقِلُّ دَرَجَةُ الْغَضَبِ عِنْدَكَ فَإِنْ لَمْ تَمْلِكْ نَفْسَكَ فَلَا تُصْدِرْ قَرَارًا وَلَا كَلَامًا وَأَنْتَ غَاضِبٌ بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ جُمْلَةً جَمِيلَةً قَالَ إِنَّمَا غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي إِذَا غَضِبْتُ لَبِسْتُهَا وَخَرَجْتُ مَا مَعْنَى هَذِهِ الْجُمْلَةِ؟ يَقُولُ أَنَا إِنْسَانٌ أَغْضَبُ لَكِنْ غَضَبِي عِنْدَ حِذَائِي مُجَرَّدُ مَا أَغْضَبُ لَبِسْتُ حِذَائِي وَخَرَجْتُ مِنَ الْبَيْتِ حَتَّى لَا يُنْفِذَ الْغَضَبَ وَلَوْ أَنَّ الْإِنْسَانَ فَعَلَ هَذَا لَعَاشَ حَيَاةً طَيِّبَةً كَمْ كَسَرَ الْغَضَبُ مِنْ بُيُوتٍ طَيِّبَةٍ؟ وَكَمْ أَدَّى إِلَى نَدَمٍ؟ بَلْ بَعْضُ الْعَرَبِ يَقُولُونَ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ لَا يَنْدَمُ إِلَّا غَضُوبٌ الْإِنْسَانُ الْغَضُوبُ كَثِيرُ النَّدَمِ وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يُعَالِجَ نَفْسَهُ فِي هَذَا الْبَابِ

Apa Itu Syukur? Ini Arti Syukur Menurut Bahasa dan Istilah

Setiap hari kita menerima nikmat dari Allah, dari hal besar hingga yang paling remeh. Tapi tak semua orang mampu meresponsnya dengan sikap yang benar. Di sinilah pentingnya memahami apa itu syukur. Bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi sebuah sikap hidup yang lahir dari kesadaran dan pengakuan terhadap Sang Pemberi Nikmat.  Daftar Isi tutup 1. Makna Syukur secara Bahasa 2. Makna Syukur secara Istilah 3. Hamba yang Bersyukur atau Kufur Makna Syukur secara BahasaDalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Dalam pengertian lain, syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya. Lawan kata dari syukur adalah nukrān (النُّكران), yang berarti mengingkari. Ada juga yang mengatakan bahwa kata syukur berasal dari akar kata kasyar (الكشر) yang artinya membuka atau menyingkap. Maka makna dasarnya adalah menunjukkan nikmat yang sebelumnya tersembunyi. Lawannya adalah kufur (الكفر), yakni melupakan dan menutupi nikmat.Secara lebih konkret, dalam penggunaan bahasa sehari-hari Arab, kata syukur juga digunakan untuk menggambarkan hewan ternak yang tubuhnya terlihat gemuk karena asupan pakan yang cukup. Misalnya dikatakan: syakirat ad-dābbah (شَكِرَتِ الدَّابَّة), artinya hewan itu memperlihatkan hasil dari pakan yang ia makan. Maka hewan yang disebut syakūr (شَكُور) adalah hewan yang tubuhnya memperlihatkan dengan jelas manfaat dari pemberian sang pemilik. Bahkan disebutkan bahwa makna asal syukur juga berkaitan dengan mata air yang penuh (‘ayn syakra / عَيْن شَكْرَى)—yakni penuh dan melimpah. Maka, secara kiasan, syukur berarti hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat. Makna Syukur secara IstilahPara ulama memberikan definisi syukur dalam berbagai redaksi, namun memiliki inti yang sama:قال الجَوهريُّ: (الشُّكرُ: الثَّناءُ على المحسِنِ بما أولاكَه من المعروفِ) .Imam Al-Jauhariy menyebutkan bahwa syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.وقال الكَفَويُّ: (الشُّكرُ: كُلُّ ما هو جزاءٌ للنِّعمةِ عُرفًا) .Al-Kafawiy menjelaskan bahwa syukur adalah segala bentuk balasan atas nikmat menurut kebiasaan umum.وقال الزَّجَّاجيُّ: (الشُّكرُ: مُقابلةُ المنعِمِ على فِعلِه بثناءٍ عليه، وقَبولٍ لنِعمتِه، واعترافٍ بها) .Az-Zajjājiy mendefinisikannya sebagai membalas kebaikan dengan pujian, menerima nikmat dengan lapang dada, dan mengakuinya secara tulus.وقال الجُرْجانيُّ: (الشُّكرُ: عبارةٌ عن معروفٍ يُقابِلُ النِّعمةَ، سواءٌ كان باللِّسانِ أو باليَدِ أو بالقَلبِ.Al-Jurjāniy menuliskan bahwa syukur adalah balasan atas nikmat, bisa dengan ucapan, tindakan, atau dalam hati. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pujian kepada pemberi kebaikan atas apa yang telah ia berikan.Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah syukur kepada sesama manusia atas kebaikan yang mereka berikan, bukan syukur kepada Allah yang tentunya memiliki pembahasan lebih dalam dan agung. Hamba yang Bersyukur atau KufurAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًاInnā hadaynāhu as-sabīla immā syākiran wa immā kafūra.“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa beliau bersabda,كلُّ الناسِ يَغْدو، فبائعٌ نفسَهُ فمعتقُها أو موبقُها“Setiap manusia pergi di pagi hari, lalu ia menjual dirinya: ada yang membebaskannya (dengan kebaikan), dan ada yang mencelakakannya (dengan keburukan).”(HR. Muslim)Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah,كلُّ مولودٍ يُولد على الفِطرة، حتى يُعْرِبَ عنه لسانُه، فإذا أعربَ عنه لسانُه، فإما شاكرٌ وإما كفورٌ“Setiap anak yang lahir berada di atas fitrah, hingga lisannya dapat mengungkapkan (pilihannya). Ketika ia mulai berbicara, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur.”(HR. Ahmad dan lainnya)Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, dan jauhkan kami dari kufur terhadap nikmat-Mu. Referensi:Islamweb.NetTafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu KatsirBaca Juga:Cara Kita Bersyukur: Jika Tidak Memenuhi Rukun Syukur Ini, Tidak Disebut Bersyukur Dzikir dan Syukur yang Sebenarnya ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu syukur bersyukur cara syukur fitrah manusia hadits fitrah jalan kebaikan dan keburukan kehendak bebas petunjuk Allah pilihan hidup syukur dan kufur tafsir Al-Insan tafsir Ibnu Katsir tanggung jawab manusia

Apa Itu Syukur? Ini Arti Syukur Menurut Bahasa dan Istilah

Setiap hari kita menerima nikmat dari Allah, dari hal besar hingga yang paling remeh. Tapi tak semua orang mampu meresponsnya dengan sikap yang benar. Di sinilah pentingnya memahami apa itu syukur. Bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi sebuah sikap hidup yang lahir dari kesadaran dan pengakuan terhadap Sang Pemberi Nikmat.  Daftar Isi tutup 1. Makna Syukur secara Bahasa 2. Makna Syukur secara Istilah 3. Hamba yang Bersyukur atau Kufur Makna Syukur secara BahasaDalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Dalam pengertian lain, syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya. Lawan kata dari syukur adalah nukrān (النُّكران), yang berarti mengingkari. Ada juga yang mengatakan bahwa kata syukur berasal dari akar kata kasyar (الكشر) yang artinya membuka atau menyingkap. Maka makna dasarnya adalah menunjukkan nikmat yang sebelumnya tersembunyi. Lawannya adalah kufur (الكفر), yakni melupakan dan menutupi nikmat.Secara lebih konkret, dalam penggunaan bahasa sehari-hari Arab, kata syukur juga digunakan untuk menggambarkan hewan ternak yang tubuhnya terlihat gemuk karena asupan pakan yang cukup. Misalnya dikatakan: syakirat ad-dābbah (شَكِرَتِ الدَّابَّة), artinya hewan itu memperlihatkan hasil dari pakan yang ia makan. Maka hewan yang disebut syakūr (شَكُور) adalah hewan yang tubuhnya memperlihatkan dengan jelas manfaat dari pemberian sang pemilik. Bahkan disebutkan bahwa makna asal syukur juga berkaitan dengan mata air yang penuh (‘ayn syakra / عَيْن شَكْرَى)—yakni penuh dan melimpah. Maka, secara kiasan, syukur berarti hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat. Makna Syukur secara IstilahPara ulama memberikan definisi syukur dalam berbagai redaksi, namun memiliki inti yang sama:قال الجَوهريُّ: (الشُّكرُ: الثَّناءُ على المحسِنِ بما أولاكَه من المعروفِ) .Imam Al-Jauhariy menyebutkan bahwa syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.وقال الكَفَويُّ: (الشُّكرُ: كُلُّ ما هو جزاءٌ للنِّعمةِ عُرفًا) .Al-Kafawiy menjelaskan bahwa syukur adalah segala bentuk balasan atas nikmat menurut kebiasaan umum.وقال الزَّجَّاجيُّ: (الشُّكرُ: مُقابلةُ المنعِمِ على فِعلِه بثناءٍ عليه، وقَبولٍ لنِعمتِه، واعترافٍ بها) .Az-Zajjājiy mendefinisikannya sebagai membalas kebaikan dengan pujian, menerima nikmat dengan lapang dada, dan mengakuinya secara tulus.وقال الجُرْجانيُّ: (الشُّكرُ: عبارةٌ عن معروفٍ يُقابِلُ النِّعمةَ، سواءٌ كان باللِّسانِ أو باليَدِ أو بالقَلبِ.Al-Jurjāniy menuliskan bahwa syukur adalah balasan atas nikmat, bisa dengan ucapan, tindakan, atau dalam hati. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pujian kepada pemberi kebaikan atas apa yang telah ia berikan.Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah syukur kepada sesama manusia atas kebaikan yang mereka berikan, bukan syukur kepada Allah yang tentunya memiliki pembahasan lebih dalam dan agung. Hamba yang Bersyukur atau KufurAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًاInnā hadaynāhu as-sabīla immā syākiran wa immā kafūra.“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa beliau bersabda,كلُّ الناسِ يَغْدو، فبائعٌ نفسَهُ فمعتقُها أو موبقُها“Setiap manusia pergi di pagi hari, lalu ia menjual dirinya: ada yang membebaskannya (dengan kebaikan), dan ada yang mencelakakannya (dengan keburukan).”(HR. Muslim)Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah,كلُّ مولودٍ يُولد على الفِطرة، حتى يُعْرِبَ عنه لسانُه، فإذا أعربَ عنه لسانُه، فإما شاكرٌ وإما كفورٌ“Setiap anak yang lahir berada di atas fitrah, hingga lisannya dapat mengungkapkan (pilihannya). Ketika ia mulai berbicara, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur.”(HR. Ahmad dan lainnya)Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, dan jauhkan kami dari kufur terhadap nikmat-Mu. Referensi:Islamweb.NetTafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu KatsirBaca Juga:Cara Kita Bersyukur: Jika Tidak Memenuhi Rukun Syukur Ini, Tidak Disebut Bersyukur Dzikir dan Syukur yang Sebenarnya ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu syukur bersyukur cara syukur fitrah manusia hadits fitrah jalan kebaikan dan keburukan kehendak bebas petunjuk Allah pilihan hidup syukur dan kufur tafsir Al-Insan tafsir Ibnu Katsir tanggung jawab manusia
Setiap hari kita menerima nikmat dari Allah, dari hal besar hingga yang paling remeh. Tapi tak semua orang mampu meresponsnya dengan sikap yang benar. Di sinilah pentingnya memahami apa itu syukur. Bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi sebuah sikap hidup yang lahir dari kesadaran dan pengakuan terhadap Sang Pemberi Nikmat.  Daftar Isi tutup 1. Makna Syukur secara Bahasa 2. Makna Syukur secara Istilah 3. Hamba yang Bersyukur atau Kufur Makna Syukur secara BahasaDalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Dalam pengertian lain, syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya. Lawan kata dari syukur adalah nukrān (النُّكران), yang berarti mengingkari. Ada juga yang mengatakan bahwa kata syukur berasal dari akar kata kasyar (الكشر) yang artinya membuka atau menyingkap. Maka makna dasarnya adalah menunjukkan nikmat yang sebelumnya tersembunyi. Lawannya adalah kufur (الكفر), yakni melupakan dan menutupi nikmat.Secara lebih konkret, dalam penggunaan bahasa sehari-hari Arab, kata syukur juga digunakan untuk menggambarkan hewan ternak yang tubuhnya terlihat gemuk karena asupan pakan yang cukup. Misalnya dikatakan: syakirat ad-dābbah (شَكِرَتِ الدَّابَّة), artinya hewan itu memperlihatkan hasil dari pakan yang ia makan. Maka hewan yang disebut syakūr (شَكُور) adalah hewan yang tubuhnya memperlihatkan dengan jelas manfaat dari pemberian sang pemilik. Bahkan disebutkan bahwa makna asal syukur juga berkaitan dengan mata air yang penuh (‘ayn syakra / عَيْن شَكْرَى)—yakni penuh dan melimpah. Maka, secara kiasan, syukur berarti hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat. Makna Syukur secara IstilahPara ulama memberikan definisi syukur dalam berbagai redaksi, namun memiliki inti yang sama:قال الجَوهريُّ: (الشُّكرُ: الثَّناءُ على المحسِنِ بما أولاكَه من المعروفِ) .Imam Al-Jauhariy menyebutkan bahwa syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.وقال الكَفَويُّ: (الشُّكرُ: كُلُّ ما هو جزاءٌ للنِّعمةِ عُرفًا) .Al-Kafawiy menjelaskan bahwa syukur adalah segala bentuk balasan atas nikmat menurut kebiasaan umum.وقال الزَّجَّاجيُّ: (الشُّكرُ: مُقابلةُ المنعِمِ على فِعلِه بثناءٍ عليه، وقَبولٍ لنِعمتِه، واعترافٍ بها) .Az-Zajjājiy mendefinisikannya sebagai membalas kebaikan dengan pujian, menerima nikmat dengan lapang dada, dan mengakuinya secara tulus.وقال الجُرْجانيُّ: (الشُّكرُ: عبارةٌ عن معروفٍ يُقابِلُ النِّعمةَ، سواءٌ كان باللِّسانِ أو باليَدِ أو بالقَلبِ.Al-Jurjāniy menuliskan bahwa syukur adalah balasan atas nikmat, bisa dengan ucapan, tindakan, atau dalam hati. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pujian kepada pemberi kebaikan atas apa yang telah ia berikan.Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah syukur kepada sesama manusia atas kebaikan yang mereka berikan, bukan syukur kepada Allah yang tentunya memiliki pembahasan lebih dalam dan agung. Hamba yang Bersyukur atau KufurAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًاInnā hadaynāhu as-sabīla immā syākiran wa immā kafūra.“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa beliau bersabda,كلُّ الناسِ يَغْدو، فبائعٌ نفسَهُ فمعتقُها أو موبقُها“Setiap manusia pergi di pagi hari, lalu ia menjual dirinya: ada yang membebaskannya (dengan kebaikan), dan ada yang mencelakakannya (dengan keburukan).”(HR. Muslim)Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah,كلُّ مولودٍ يُولد على الفِطرة، حتى يُعْرِبَ عنه لسانُه، فإذا أعربَ عنه لسانُه، فإما شاكرٌ وإما كفورٌ“Setiap anak yang lahir berada di atas fitrah, hingga lisannya dapat mengungkapkan (pilihannya). Ketika ia mulai berbicara, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur.”(HR. Ahmad dan lainnya)Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, dan jauhkan kami dari kufur terhadap nikmat-Mu. Referensi:Islamweb.NetTafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu KatsirBaca Juga:Cara Kita Bersyukur: Jika Tidak Memenuhi Rukun Syukur Ini, Tidak Disebut Bersyukur Dzikir dan Syukur yang Sebenarnya ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu syukur bersyukur cara syukur fitrah manusia hadits fitrah jalan kebaikan dan keburukan kehendak bebas petunjuk Allah pilihan hidup syukur dan kufur tafsir Al-Insan tafsir Ibnu Katsir tanggung jawab manusia


Setiap hari kita menerima nikmat dari Allah, dari hal besar hingga yang paling remeh. Tapi tak semua orang mampu meresponsnya dengan sikap yang benar. Di sinilah pentingnya memahami apa itu syukur. Bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi sebuah sikap hidup yang lahir dari kesadaran dan pengakuan terhadap Sang Pemberi Nikmat.  Daftar Isi tutup 1. Makna Syukur secara Bahasa 2. Makna Syukur secara Istilah 3. Hamba yang Bersyukur atau Kufur Makna Syukur secara BahasaDalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Dalam pengertian lain, syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya. Lawan kata dari syukur adalah nukrān (النُّكران), yang berarti mengingkari. Ada juga yang mengatakan bahwa kata syukur berasal dari akar kata kasyar (الكشر) yang artinya membuka atau menyingkap. Maka makna dasarnya adalah menunjukkan nikmat yang sebelumnya tersembunyi. Lawannya adalah kufur (الكفر), yakni melupakan dan menutupi nikmat.Secara lebih konkret, dalam penggunaan bahasa sehari-hari Arab, kata syukur juga digunakan untuk menggambarkan hewan ternak yang tubuhnya terlihat gemuk karena asupan pakan yang cukup. Misalnya dikatakan: syakirat ad-dābbah (شَكِرَتِ الدَّابَّة), artinya hewan itu memperlihatkan hasil dari pakan yang ia makan. Maka hewan yang disebut syakūr (شَكُور) adalah hewan yang tubuhnya memperlihatkan dengan jelas manfaat dari pemberian sang pemilik. Bahkan disebutkan bahwa makna asal syukur juga berkaitan dengan mata air yang penuh (‘ayn syakra / عَيْن شَكْرَى)—yakni penuh dan melimpah. Maka, secara kiasan, syukur berarti hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat. Makna Syukur secara IstilahPara ulama memberikan definisi syukur dalam berbagai redaksi, namun memiliki inti yang sama:قال الجَوهريُّ: (الشُّكرُ: الثَّناءُ على المحسِنِ بما أولاكَه من المعروفِ) .Imam Al-Jauhariy menyebutkan bahwa syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang telah ia berikan.وقال الكَفَويُّ: (الشُّكرُ: كُلُّ ما هو جزاءٌ للنِّعمةِ عُرفًا) .Al-Kafawiy menjelaskan bahwa syukur adalah segala bentuk balasan atas nikmat menurut kebiasaan umum.وقال الزَّجَّاجيُّ: (الشُّكرُ: مُقابلةُ المنعِمِ على فِعلِه بثناءٍ عليه، وقَبولٍ لنِعمتِه، واعترافٍ بها) .Az-Zajjājiy mendefinisikannya sebagai membalas kebaikan dengan pujian, menerima nikmat dengan lapang dada, dan mengakuinya secara tulus.وقال الجُرْجانيُّ: (الشُّكرُ: عبارةٌ عن معروفٍ يُقابِلُ النِّعمةَ، سواءٌ كان باللِّسانِ أو باليَدِ أو بالقَلبِ.Al-Jurjāniy menuliskan bahwa syukur adalah balasan atas nikmat, bisa dengan ucapan, tindakan, atau dalam hati. Ada pula yang mendefinisikan sebagai pujian kepada pemberi kebaikan atas apa yang telah ia berikan.Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah syukur kepada sesama manusia atas kebaikan yang mereka berikan, bukan syukur kepada Allah yang tentunya memiliki pembahasan lebih dalam dan agung. Hamba yang Bersyukur atau KufurAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًاInnā hadaynāhu as-sabīla immā syākiran wa immā kafūra.“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ariy, bahwa beliau bersabda,كلُّ الناسِ يَغْدو، فبائعٌ نفسَهُ فمعتقُها أو موبقُها“Setiap manusia pergi di pagi hari, lalu ia menjual dirinya: ada yang membebaskannya (dengan kebaikan), dan ada yang mencelakakannya (dengan keburukan).”(HR. Muslim)Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah,كلُّ مولودٍ يُولد على الفِطرة، حتى يُعْرِبَ عنه لسانُه، فإذا أعربَ عنه لسانُه، فإما شاكرٌ وإما كفورٌ“Setiap anak yang lahir berada di atas fitrah, hingga lisannya dapat mengungkapkan (pilihannya). Ketika ia mulai berbicara, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur atau hamba yang kufur.”(HR. Ahmad dan lainnya)Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, dan jauhkan kami dari kufur terhadap nikmat-Mu. Referensi:Islamweb.NetTafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu KatsirBaca Juga:Cara Kita Bersyukur: Jika Tidak Memenuhi Rukun Syukur Ini, Tidak Disebut Bersyukur Dzikir dan Syukur yang Sebenarnya ____ @ Pondok Pesantren Darush Sholihin – 28 Dzulhijjah 1446 H, 24 Juni 2025Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu syukur bersyukur cara syukur fitrah manusia hadits fitrah jalan kebaikan dan keburukan kehendak bebas petunjuk Allah pilihan hidup syukur dan kufur tafsir Al-Insan tafsir Ibnu Katsir tanggung jawab manusia

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 8)

Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Masih pada syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit.Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Di antara syarat dalam jual beli kredit yaitu barang harus diserahkan di awal dan bukan diberikan di akhir. Ini termasuk syarat yang sangat penting. Karena jika barang diserahkan di akhir, hal ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang.Setidaknya ada beberapa kategori dalam jual beli,DeksripsiKategoriHukumUang diberikan di awalBarang diberikan di awalJual beli pada umumnyaBolehUang diberikan di awalBarang diberikan di akhirJual beli dengan akad SalamBoleh(dengan syarat uang diberikan di awal secara tunai dan tidak boleh dicicil/utang)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di awalJual beli kreditBoleh(dengan syarat barang tidak boleh diakhirkan)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di akhirJual beli utang dengan utangTidak diperbolehkan*Maksud diberikan di awal adalah uang/barang diberikan secara kontan pada saat transaksi, sedangkan maksud diberikan di akhir adalah uang/barang ditunda pemberiannya.Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa dalam jual beli, uang dan barang tidak boleh diakhirkan. Karena ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang. Dalam transaksi akad salam misalnya, ketika sudah akad, maka uang harus diserahkan di awal oleh pembeli dan tidak boleh ditunda pembayarannya. Setelah itu, pembeli menunggu barangnya diberikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Begitupun dengan jual beli kredit, tidak boleh jika uang diberikan secara dicicil (kredit). kemudian barang pun ditunda pemberiannya. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menuturkan,لا يجوز بيع النسيئة بنسيئة بأن يقال : بعني ثوباً في ذمتك بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا، فيقول : قبلت، وهذا فاسد بلا خلاف.“Tidak diperbolehkan jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda (utang). Seperti misalnya seseorang mengatakan, ’Jual lah sehelai pakaian yang ada padamu dengan model begini dan begitu dan diserahkan pada bulan sekian, yang akan saya bayar dengan satu dinar (utang) pada waktu yang akan datang.’ Kemudian ia (pihak yang ditawari) mengatakan, ’Saya terima’. Maka transaksi ini fasid (rusak) tanpa ada perselisihan para ulama.” [2]Kembali lagi, ini termasuk jual beli utang dengan utang yang terlarang. Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,نَهَى عَنْ بَيْعِ ‌الْكَالِئِ ‌بِالْكَالِئِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya)Abu ‘Ubaid berkata, yang dimaksud dengan “Al-Kaali’ bil Kaali’” adalah menjual yang tertunda dengan pembelian yang tertunda (dicicil). [3]Hadis di atas dinilai sebagai hadis yang dha’if (lemah) oleh para ulama. Di antaranya, Imam Ahmad rahimahullah berkata,لَيْسَ فِي هَذَا حَدِيْثٌ يَصِحُّ“Tidak ada hadis sahih dalam hal ini.” [4]Kendati hadis ini adalah hadis yang dha’if, namun ijma’ (sepakat) para ulama menerima hadis ini dikarenakan maknanya adalah makna yang benar. [5] Di antara yang membenarkan makna ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. [6]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,والكالئ هو المؤخر الذي لم يقبض بالمؤخر الذي لم يقبض وهذا كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق وهو بيع كالئ بكالئ.“Al-Kaali’ adalah jual beli (barang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima dengan (uang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima. Hal ini seperti seseorang menunda penyerahan (suatu barang) dengan (uang) yang tertunda pula. Kedua-duanya tertund. Sehingga ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama. Inilah yang dinamakan jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’.” [7]Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,فإن المنهي عنه قد اشتغلت فيه الذمتان بغير فائدة، فإنه لم يتعجَّل أحدهما ما يأخذه، فينتفع بتعجُّله، وينتفع صاحب المؤخَّر بربحه، ‌بل ‌كلاهما ‌اشتغلت ذمته بغير فائدة.“Sebab sesungguhnya yang dilarang dalam (jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’) adalah dikarenakan padanya terdapat dua pihak yang terikat tanpa ada manfaat (yang segera diterima). Tidak ada di antara kedua belah pihak yang bersegera untuk mengambil manfaatnya, baik dari penerima ataupun yang menyerahkan. Sehingga keduanya dapat merasakan manfaat dari penerimaannya yang segera (di awal akad). Yang ada, keduanya sama-sama terikat tanggunannya tanpa ada manfaat yang diterima.” [8]Terdapat perselisihan para ulama dalam memahami makna Al-Kaali’ bil Kaali’ dalam riwayat di atas. Namun, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang diutarakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahumallah.Sehingga dapat diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tidak diperbolehkan barang diserahkan di akhir atau ditunda penyerahannya. Karena termasuk jual beli utang dengan utang. Jika memang barang tidak bisa diserahkan di awal akad, maka silahkan pilih opsi yang lain, yaitu dengan menggunakan akad salam, tentunya dengan syarat pembayaran harus diberikan secara cash di awal.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7  Lanjut ke bagian 9***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.Al-Mumti’ Fi Syarhil Muqni’, karya Abul Barakat Ibnul Munajja.Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy.Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syekh bin Baz rahimahullah.Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.I’laamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 134.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 135; dinukil dari Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab.[3] Al-Mumti’ fi Syarhil Muqni’, 2: 500.[4] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117; dinukil dari Naylul Author, karya Asy-Syaukani.[5] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 19: 43.[6] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117.[7] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20: 512.[8] I’laamul Muwaqqi’in, 2: 243.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 8)

Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Masih pada syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit.Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Di antara syarat dalam jual beli kredit yaitu barang harus diserahkan di awal dan bukan diberikan di akhir. Ini termasuk syarat yang sangat penting. Karena jika barang diserahkan di akhir, hal ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang.Setidaknya ada beberapa kategori dalam jual beli,DeksripsiKategoriHukumUang diberikan di awalBarang diberikan di awalJual beli pada umumnyaBolehUang diberikan di awalBarang diberikan di akhirJual beli dengan akad SalamBoleh(dengan syarat uang diberikan di awal secara tunai dan tidak boleh dicicil/utang)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di awalJual beli kreditBoleh(dengan syarat barang tidak boleh diakhirkan)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di akhirJual beli utang dengan utangTidak diperbolehkan*Maksud diberikan di awal adalah uang/barang diberikan secara kontan pada saat transaksi, sedangkan maksud diberikan di akhir adalah uang/barang ditunda pemberiannya.Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa dalam jual beli, uang dan barang tidak boleh diakhirkan. Karena ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang. Dalam transaksi akad salam misalnya, ketika sudah akad, maka uang harus diserahkan di awal oleh pembeli dan tidak boleh ditunda pembayarannya. Setelah itu, pembeli menunggu barangnya diberikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Begitupun dengan jual beli kredit, tidak boleh jika uang diberikan secara dicicil (kredit). kemudian barang pun ditunda pemberiannya. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menuturkan,لا يجوز بيع النسيئة بنسيئة بأن يقال : بعني ثوباً في ذمتك بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا، فيقول : قبلت، وهذا فاسد بلا خلاف.“Tidak diperbolehkan jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda (utang). Seperti misalnya seseorang mengatakan, ’Jual lah sehelai pakaian yang ada padamu dengan model begini dan begitu dan diserahkan pada bulan sekian, yang akan saya bayar dengan satu dinar (utang) pada waktu yang akan datang.’ Kemudian ia (pihak yang ditawari) mengatakan, ’Saya terima’. Maka transaksi ini fasid (rusak) tanpa ada perselisihan para ulama.” [2]Kembali lagi, ini termasuk jual beli utang dengan utang yang terlarang. Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,نَهَى عَنْ بَيْعِ ‌الْكَالِئِ ‌بِالْكَالِئِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya)Abu ‘Ubaid berkata, yang dimaksud dengan “Al-Kaali’ bil Kaali’” adalah menjual yang tertunda dengan pembelian yang tertunda (dicicil). [3]Hadis di atas dinilai sebagai hadis yang dha’if (lemah) oleh para ulama. Di antaranya, Imam Ahmad rahimahullah berkata,لَيْسَ فِي هَذَا حَدِيْثٌ يَصِحُّ“Tidak ada hadis sahih dalam hal ini.” [4]Kendati hadis ini adalah hadis yang dha’if, namun ijma’ (sepakat) para ulama menerima hadis ini dikarenakan maknanya adalah makna yang benar. [5] Di antara yang membenarkan makna ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. [6]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,والكالئ هو المؤخر الذي لم يقبض بالمؤخر الذي لم يقبض وهذا كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق وهو بيع كالئ بكالئ.“Al-Kaali’ adalah jual beli (barang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima dengan (uang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima. Hal ini seperti seseorang menunda penyerahan (suatu barang) dengan (uang) yang tertunda pula. Kedua-duanya tertund. Sehingga ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama. Inilah yang dinamakan jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’.” [7]Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,فإن المنهي عنه قد اشتغلت فيه الذمتان بغير فائدة، فإنه لم يتعجَّل أحدهما ما يأخذه، فينتفع بتعجُّله، وينتفع صاحب المؤخَّر بربحه، ‌بل ‌كلاهما ‌اشتغلت ذمته بغير فائدة.“Sebab sesungguhnya yang dilarang dalam (jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’) adalah dikarenakan padanya terdapat dua pihak yang terikat tanpa ada manfaat (yang segera diterima). Tidak ada di antara kedua belah pihak yang bersegera untuk mengambil manfaatnya, baik dari penerima ataupun yang menyerahkan. Sehingga keduanya dapat merasakan manfaat dari penerimaannya yang segera (di awal akad). Yang ada, keduanya sama-sama terikat tanggunannya tanpa ada manfaat yang diterima.” [8]Terdapat perselisihan para ulama dalam memahami makna Al-Kaali’ bil Kaali’ dalam riwayat di atas. Namun, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang diutarakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahumallah.Sehingga dapat diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tidak diperbolehkan barang diserahkan di akhir atau ditunda penyerahannya. Karena termasuk jual beli utang dengan utang. Jika memang barang tidak bisa diserahkan di awal akad, maka silahkan pilih opsi yang lain, yaitu dengan menggunakan akad salam, tentunya dengan syarat pembayaran harus diberikan secara cash di awal.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7  Lanjut ke bagian 9***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.Al-Mumti’ Fi Syarhil Muqni’, karya Abul Barakat Ibnul Munajja.Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy.Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syekh bin Baz rahimahullah.Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.I’laamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 134.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 135; dinukil dari Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab.[3] Al-Mumti’ fi Syarhil Muqni’, 2: 500.[4] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117; dinukil dari Naylul Author, karya Asy-Syaukani.[5] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 19: 43.[6] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117.[7] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20: 512.[8] I’laamul Muwaqqi’in, 2: 243.
Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Masih pada syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit.Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Di antara syarat dalam jual beli kredit yaitu barang harus diserahkan di awal dan bukan diberikan di akhir. Ini termasuk syarat yang sangat penting. Karena jika barang diserahkan di akhir, hal ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang.Setidaknya ada beberapa kategori dalam jual beli,DeksripsiKategoriHukumUang diberikan di awalBarang diberikan di awalJual beli pada umumnyaBolehUang diberikan di awalBarang diberikan di akhirJual beli dengan akad SalamBoleh(dengan syarat uang diberikan di awal secara tunai dan tidak boleh dicicil/utang)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di awalJual beli kreditBoleh(dengan syarat barang tidak boleh diakhirkan)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di akhirJual beli utang dengan utangTidak diperbolehkan*Maksud diberikan di awal adalah uang/barang diberikan secara kontan pada saat transaksi, sedangkan maksud diberikan di akhir adalah uang/barang ditunda pemberiannya.Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa dalam jual beli, uang dan barang tidak boleh diakhirkan. Karena ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang. Dalam transaksi akad salam misalnya, ketika sudah akad, maka uang harus diserahkan di awal oleh pembeli dan tidak boleh ditunda pembayarannya. Setelah itu, pembeli menunggu barangnya diberikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Begitupun dengan jual beli kredit, tidak boleh jika uang diberikan secara dicicil (kredit). kemudian barang pun ditunda pemberiannya. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menuturkan,لا يجوز بيع النسيئة بنسيئة بأن يقال : بعني ثوباً في ذمتك بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا، فيقول : قبلت، وهذا فاسد بلا خلاف.“Tidak diperbolehkan jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda (utang). Seperti misalnya seseorang mengatakan, ’Jual lah sehelai pakaian yang ada padamu dengan model begini dan begitu dan diserahkan pada bulan sekian, yang akan saya bayar dengan satu dinar (utang) pada waktu yang akan datang.’ Kemudian ia (pihak yang ditawari) mengatakan, ’Saya terima’. Maka transaksi ini fasid (rusak) tanpa ada perselisihan para ulama.” [2]Kembali lagi, ini termasuk jual beli utang dengan utang yang terlarang. Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,نَهَى عَنْ بَيْعِ ‌الْكَالِئِ ‌بِالْكَالِئِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya)Abu ‘Ubaid berkata, yang dimaksud dengan “Al-Kaali’ bil Kaali’” adalah menjual yang tertunda dengan pembelian yang tertunda (dicicil). [3]Hadis di atas dinilai sebagai hadis yang dha’if (lemah) oleh para ulama. Di antaranya, Imam Ahmad rahimahullah berkata,لَيْسَ فِي هَذَا حَدِيْثٌ يَصِحُّ“Tidak ada hadis sahih dalam hal ini.” [4]Kendati hadis ini adalah hadis yang dha’if, namun ijma’ (sepakat) para ulama menerima hadis ini dikarenakan maknanya adalah makna yang benar. [5] Di antara yang membenarkan makna ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. [6]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,والكالئ هو المؤخر الذي لم يقبض بالمؤخر الذي لم يقبض وهذا كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق وهو بيع كالئ بكالئ.“Al-Kaali’ adalah jual beli (barang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima dengan (uang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima. Hal ini seperti seseorang menunda penyerahan (suatu barang) dengan (uang) yang tertunda pula. Kedua-duanya tertund. Sehingga ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama. Inilah yang dinamakan jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’.” [7]Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,فإن المنهي عنه قد اشتغلت فيه الذمتان بغير فائدة، فإنه لم يتعجَّل أحدهما ما يأخذه، فينتفع بتعجُّله، وينتفع صاحب المؤخَّر بربحه، ‌بل ‌كلاهما ‌اشتغلت ذمته بغير فائدة.“Sebab sesungguhnya yang dilarang dalam (jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’) adalah dikarenakan padanya terdapat dua pihak yang terikat tanpa ada manfaat (yang segera diterima). Tidak ada di antara kedua belah pihak yang bersegera untuk mengambil manfaatnya, baik dari penerima ataupun yang menyerahkan. Sehingga keduanya dapat merasakan manfaat dari penerimaannya yang segera (di awal akad). Yang ada, keduanya sama-sama terikat tanggunannya tanpa ada manfaat yang diterima.” [8]Terdapat perselisihan para ulama dalam memahami makna Al-Kaali’ bil Kaali’ dalam riwayat di atas. Namun, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang diutarakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahumallah.Sehingga dapat diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tidak diperbolehkan barang diserahkan di akhir atau ditunda penyerahannya. Karena termasuk jual beli utang dengan utang. Jika memang barang tidak bisa diserahkan di awal akad, maka silahkan pilih opsi yang lain, yaitu dengan menggunakan akad salam, tentunya dengan syarat pembayaran harus diberikan secara cash di awal.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7  Lanjut ke bagian 9***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.Al-Mumti’ Fi Syarhil Muqni’, karya Abul Barakat Ibnul Munajja.Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy.Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syekh bin Baz rahimahullah.Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.I’laamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 134.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 135; dinukil dari Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab.[3] Al-Mumti’ fi Syarhil Muqni’, 2: 500.[4] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117; dinukil dari Naylul Author, karya Asy-Syaukani.[5] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 19: 43.[6] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117.[7] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20: 512.[8] I’laamul Muwaqqi’in, 2: 243.


Daftar Isi ToggleSyarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)Masih pada syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit.Syarat keempat: Barang harus diserahkan di awal [1]Di antara syarat dalam jual beli kredit yaitu barang harus diserahkan di awal dan bukan diberikan di akhir. Ini termasuk syarat yang sangat penting. Karena jika barang diserahkan di akhir, hal ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang.Setidaknya ada beberapa kategori dalam jual beli,DeksripsiKategoriHukumUang diberikan di awalBarang diberikan di awalJual beli pada umumnyaBolehUang diberikan di awalBarang diberikan di akhirJual beli dengan akad SalamBoleh(dengan syarat uang diberikan di awal secara tunai dan tidak boleh dicicil/utang)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di awalJual beli kreditBoleh(dengan syarat barang tidak boleh diakhirkan)Uang diberikan di akhirBarang diberikan di akhirJual beli utang dengan utangTidak diperbolehkan*Maksud diberikan di awal adalah uang/barang diberikan secara kontan pada saat transaksi, sedangkan maksud diberikan di akhir adalah uang/barang ditunda pemberiannya.Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa dalam jual beli, uang dan barang tidak boleh diakhirkan. Karena ini termasuk dalam jual beli utang dengan utang. Dalam transaksi akad salam misalnya, ketika sudah akad, maka uang harus diserahkan di awal oleh pembeli dan tidak boleh ditunda pembayarannya. Setelah itu, pembeli menunggu barangnya diberikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.Begitupun dengan jual beli kredit, tidak boleh jika uang diberikan secara dicicil (kredit). kemudian barang pun ditunda pemberiannya. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menuturkan,لا يجوز بيع النسيئة بنسيئة بأن يقال : بعني ثوباً في ذمتك بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا، فيقول : قبلت، وهذا فاسد بلا خلاف.“Tidak diperbolehkan jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda (utang). Seperti misalnya seseorang mengatakan, ’Jual lah sehelai pakaian yang ada padamu dengan model begini dan begitu dan diserahkan pada bulan sekian, yang akan saya bayar dengan satu dinar (utang) pada waktu yang akan datang.’ Kemudian ia (pihak yang ditawari) mengatakan, ’Saya terima’. Maka transaksi ini fasid (rusak) tanpa ada perselisihan para ulama.” [2]Kembali lagi, ini termasuk jual beli utang dengan utang yang terlarang. Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,نَهَى عَنْ بَيْعِ ‌الْكَالِئِ ‌بِالْكَالِئِ“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang tertunda (utang) dengan yang tertunda.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya)Abu ‘Ubaid berkata, yang dimaksud dengan “Al-Kaali’ bil Kaali’” adalah menjual yang tertunda dengan pembelian yang tertunda (dicicil). [3]Hadis di atas dinilai sebagai hadis yang dha’if (lemah) oleh para ulama. Di antaranya, Imam Ahmad rahimahullah berkata,لَيْسَ فِي هَذَا حَدِيْثٌ يَصِحُّ“Tidak ada hadis sahih dalam hal ini.” [4]Kendati hadis ini adalah hadis yang dha’if, namun ijma’ (sepakat) para ulama menerima hadis ini dikarenakan maknanya adalah makna yang benar. [5] Di antara yang membenarkan makna ini adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. [6]Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,والكالئ هو المؤخر الذي لم يقبض بالمؤخر الذي لم يقبض وهذا كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق وهو بيع كالئ بكالئ.“Al-Kaali’ adalah jual beli (barang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima dengan (uang) yang ditunda penyerahannya dan belum diterima. Hal ini seperti seseorang menunda penyerahan (suatu barang) dengan (uang) yang tertunda pula. Kedua-duanya tertund. Sehingga ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama. Inilah yang dinamakan jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’.” [7]Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,فإن المنهي عنه قد اشتغلت فيه الذمتان بغير فائدة، فإنه لم يتعجَّل أحدهما ما يأخذه، فينتفع بتعجُّله، وينتفع صاحب المؤخَّر بربحه، ‌بل ‌كلاهما ‌اشتغلت ذمته بغير فائدة.“Sebab sesungguhnya yang dilarang dalam (jual beli Al-Kaali’ bil Kaali’) adalah dikarenakan padanya terdapat dua pihak yang terikat tanpa ada manfaat (yang segera diterima). Tidak ada di antara kedua belah pihak yang bersegera untuk mengambil manfaatnya, baik dari penerima ataupun yang menyerahkan. Sehingga keduanya dapat merasakan manfaat dari penerimaannya yang segera (di awal akad). Yang ada, keduanya sama-sama terikat tanggunannya tanpa ada manfaat yang diterima.” [8]Terdapat perselisihan para ulama dalam memahami makna Al-Kaali’ bil Kaali’ dalam riwayat di atas. Namun, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang diutarakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahumallah.Sehingga dapat diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tidak diperbolehkan barang diserahkan di akhir atau ditunda penyerahannya. Karena termasuk jual beli utang dengan utang. Jika memang barang tidak bisa diserahkan di awal akad, maka silahkan pilih opsi yang lain, yaitu dengan menggunakan akad salam, tentunya dengan syarat pembayaran harus diberikan secara cash di awal.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 7  Lanjut ke bagian 9***Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.Al-Mumti’ Fi Syarhil Muqni’, karya Abul Barakat Ibnul Munajja.Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy.Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syekh bin Baz rahimahullah.Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.I’laamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Catatan kaki:[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 134.[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 135; dinukil dari Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab.[3] Al-Mumti’ fi Syarhil Muqni’, 2: 500.[4] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117; dinukil dari Naylul Author, karya Asy-Syaukani.[5] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 19: 43.[6] Majallah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy, 11: 117.[7] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20: 512.[8] I’laamul Muwaqqi’in, 2: 243.
Prev     Next