Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.

Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat
Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat


Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Diuji dengan Sihir, ‘Ain, Penyakit? Dengarkan Wasiat Penenang Hati Ini Dulu

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ

Diuji dengan Sihir, ‘Ain, Penyakit? Dengarkan Wasiat Penenang Hati Ini Dulu

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ


Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan kepada Anda. Adakah nasihat yang Anda sampaikan bagi orang yang diuji dengan sihir, ‘ain (pandangan hasad atau mata jahat), atau penyakit? Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Allah melindungi kita semua dari kejahatan para pelaku kejahatan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, serta mengangkat berbagai macam musibah dari mereka yang sedang diuji. Adapun wasiat yang saya sampaikan kepada orang yang sedang diuji dengan musibah, hendaknya ia mengetahui bahwa seluruh urusan adalah milik Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, kecuali telah diizinkan dan ditetapkan oleh Allah. Hendaknya pula ia bersabar dalam menghadapi musibah itu. Di antara hal yang membantunya untuk bersabar terhadap musibah itu, adalah menyadari bahwa yang mengujinya adalah Allah, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sementara manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Hendaknya ia mengingat bahwa dirinya adalah budaknya Allah, dan seorang tuan berhak melakukan apa yang dia kehendaki terhadap budaknya. Bagaimanakah pula jika sang tuan itu adalah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang, yang Dia tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali berdasarkan hikmah. Hendaknya ia juga menyadari bahwa Allah yang mengujinya dengan ujian ini, telah memberikan kepadanya berbagai macam nikmat. Sekiranya ia mau melihat nikmat-nikmat tersebut, niscaya ia akan melihat bahwa musibah ini tenggelam dalam lautan nikmat-nikmat itu. Hendaknya ia juga menyadari bahwa ujian Allah kepadanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Bisa jadi Allah sedang mengingatkannya dari kelalaian, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin menghapus dosa-dosanya, atau Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengangkat derajatnya. Berbagai hal ini, dengan izin Allah, akan membantunya untuk bersabar. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, saya wasiatkan kepadanya agar melakukan sebab-sebab yang disyariatkan, seperti melakukan ruqyah (bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa yang disyariatkan untuk penyembuhan), dan memperbanyak membaca (ayat-ayat Al-Qur’an) kepada dirinya sendiri, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir dan hasad (kedengkian). Tidaklah mengapa ia mengambil tujuh helai daun bidara hijau (sidr), lalu menumbuknya hingga halus dan mencampurnya ke dalam air zamzam, kemudian membaca (ayat-ayat ruqyah) di atas air tersebut dan meminumnya, lalu memakainya untuk mandi. Tidak mengapa juga ia mengumpulkan bunga-bunga liar dari padang pasir, mengumpulkan bunga-bunga liar yang tumbuh di alam bebas, lalu merendamnya dalam air, kemudian meminumnya, karena hal ini telah diriwayatkan dari para salaf, telah diriwayatkan dari salafus shalih, dan ini termasuk pengobatan indrawi (al-adwiyah al-hissiyyah), yaitu pengobatan secara fisik yang terbukti secara empiris. Hendaknya juga ia tidak tergesa-gesa dan tidak marah terhadap takdir, tetapi bersabar dan terus berusaha, serta meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya. Dengan memperbanyak doa secara sungguh-sungguh, agar Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat musibah ini darinya. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَلْ مِنْ وَصِيَّةٍ تُوْصِيْهَا لِمَنِ ابْتُلِيَ بِسِحْرٍ أَوْ عَيْنٍ أَوْ مَرَضٍ نَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَكْفِيَنَا جَمِيعًا شَرَّ الْأَشْرَارِ وَأَنْ يَشْفِيَ الْمَرْضَى وَأَنْ يَرْفَعَ الْبَلَاءَ عَنِ الْمُبْتَلَيْنَ بِأَنْوَاعِهِ وَالَّذِي أُوْصِي بِهِ مَنِ ابْتُلِيَ بِبَلَاءٍ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ وَأَنَّهُ لَا يَقَعُ فِي كَوْنِ اللَّهِ إِلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ قَدَرًا وَأَنْ يَصْبِرَ عَلَى الْبَلَاءِ وَمِمَّا يُعِينُهُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ أَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الْمُبْتَلِي هُوَ اللَّهُ الحَكِيمُ الرَّحِيمُ الَّذِي لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّهُ عَبْدٌ لِلَّهِ وَلِلسَّيِّدِ أَنْ يَفْعَلَ بِعَبْدِهِ مَا شَاءَ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ السَّيِّدُ حَكِيمًا رَحِيمًا لَا يَفْعَلُ شَيْئًا إِلَّا لِحِكْمَةٍ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ الَّذِي ابْتَلَاهُ بِهَذَا الْبَلَاءِ قَدْ أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِسَائِرِ النِّعَمِ فَلَوْ نَظَرَ إِلَى النِّعَمِ لَرَأَى أَنَّ الْبَلَاءَ مُنْغَمِرٌ فِي هَذِهِ النِّعَمِ وَأَنْ يَتَذَكَّرَ أَنَّ ابْتِلَاءَ اللَّهِ لَهُ لِنَفْعِهِ هُوَ فَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ يُذَكِّرُهُ مِنْ غَفْلَتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُكَفِّرُ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَإِمَّا أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَرْفَعُ دَرَجَتَهُ وَهَذَا يُعِينُهُ بِإِذْنِ اللَّهِ عَلَى الصَّبْرِ هَذَا مِنْ جِهَةٍ وَمِنْ جِهَةٍ أُخْرَى أُوْصِيْهِ بِفِعْلِ الْأَسْبَابِ الْمَشْرُوعَةِ مِنَ الرُّقْيَةِ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا سِيَّمَا بِآيَاتِ السِّحْرِ وَالْحَسَدِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ سَبْعَ وَرَقَاتِ سِدْرٍ خَضْرَاءَ وَيَدُقَّهَا وَيَجْعَلَهَا فِي مَاءِ زَمْزَمَ وَيَقْرَأَ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ هَذَا وَيَغْتَسِلَ بِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ يَجْمَعَ الزُّهُورَ الْبَرِّيَّةَ الَّتِي فِي الْبَرِّ وَيَضَعَهَا فِي مَاءٍ وَيَشْرَبَهَا فَإِنَّ هَذَا وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ وَارِدٌ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ وَهُوَ مِنَ الْأَدْوِيَةِ الْحِسِّيَّةِ الَّتِي تَثْبُتُ بِالتَّجْرِبَةِ وَأَنْ لَا يَسْتَعْجِلَ وَلَا يَتَسَخَّطَ بَلْ يَصْبِرُ وَيَعْمَلُ وَيُوقِنُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَا أَنْزَلَ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً مَعَ الْإِكْثَارِ الشَّدِيدِ مِنَ الدُّعَاءِ أَنْ يَرْفَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءَ

Kau Tak Akan Sendiri di Alam Kubur, Sosok Misterius Ini Akan Datang Menemanimu

Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Kau Tak Akan Sendiri di Alam Kubur, Sosok Misterius Ini Akan Datang Menemanimu

Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى


Ketika seorang hamba terus berkurang umurnya di dunia dan mendekat kepada akhirat, sementara ia masih terus-menerus hidup melampaui batas, tiada hentinya dalam dosa dan maksiat, maka dalam kondisi seperti itu, ia benar-benar berada dalam bahaya besar. Bahaya yang sangat besar. Maka wajib baginya untuk mempersiapkan bekal menghadapi hari kematiannya. Karena amal-amalnya yang telah ia kerjakan selama hidup di dunia ini, akan mendatanginya di alam kubur, dalam rupa seorang laki-laki. Jika amal-amalnya baik, maka ia akan datang dalam rupa seorang laki-laki yang saleh. Ciri-cirinya telah disebutkan dalam hadis, yaitu berwajah tampan, berpakaian indah, dan harum baunya. Amal-amalnya datang dalam rupa laki-laki saleh yang membawa kabar gembira untuknya. Namun, jika amal-amal seseorang itu buruk dan keji, maka amal itu akan mendatanginya dalam rupa laki-laki yang buruk. Buruk wajahnya, buruk pakaiannya, dan busuk aromanya. Lalu ia berkata, “Terimalah kabar buruk yang membuatmu menderita. Inilah harimu yang dulu telah diancamkan kepadamu.” Lalu si mayit bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu membawa pertanda keburukan.” Hadis ini mengandung peringatan bagi seorang hamba. Peringatan yang sangat besar. Agar ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amalnya. Karena jika amalnya baik, maka akan menjadi penenang baginya dalam kengerian alam kubur, membawakan kabar gembira untuknya, datang dalam rupa yang paling indah. Namun, jika amalnya buruk dan keji, maka ia akan datang dalam wujud yang buruk dan menjijikkan, membawakan kabar yang menyusahkan. Karena itu, wajib bagi setiap orang yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, untuk menyiapkan bekal untuk hari itu, dan hendaklah ia menyadari bahwa liang kubur ini pasti akan dimasukinya, cepat atau lambat. Boleh jadi ia mengira akan hidup dalam waktu yang lama, sedangkan ia tidak tahu, bisa jadi ia dimasukkan ke dalam liang itu esok hari. Sekalipun ia masih muda. Karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (yaitu kematian).” (HR. At-Tirmidzi). Mengingat hari itu dan semua rincian yang disebutkan dalam hadis ini maupun yang lainnya, baik yang disebutkan oleh penulis maupun yang tidak, merupakan salah satu pintu untuk memperbaiki diri seorang hamba. Hendaknya pula ia berhati-hati untuk tidak sekadar bersandar pada sangkaan baik kepada Allah, sedangkan ia terus lalai dan meremehkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ==== عِنْدَما يَكونُ الْعَبْدُ فِي انْقِطَاعِ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ وَهُوَ عَلَى الْإِسْرَافِ وَالْإِقَامَةِ عَلَى ذُنُوبِهِ وَمَعَاصِيْهِ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَكُونُ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ لِأَنَّ أَعْمَالَهُ الَّتِي قَدَّمَهَا فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ سَتَأْتِيْهِ فِي قَبْرِهِ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً جَاءَتْ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ جَاءَتْ صِفَتُهُ فِي الْحَدِيثِ بِأَنَّهُ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَتَأْتِي أَعْمَالُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ مُبَشِّرَةً لَهُ لَكِنْ إِذَا كَانَتْ أَعْمَالُ الرَّجْلِ خَبِيثَةً سَيِّئَةً فَإِنَّهُ يَأْتِيْهِ عَمَلُهُ عَلَى صُورَةِ رَجُلٍ قَبِيحٍ قَبِيحِ الْوَجْهِ قَبِيحِ الثِّيَابِ مُنْتِنِ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُوْؤُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوْعَدُ فَيَقُولُ مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ هَذَا الْحَدِيثُ فِيْهِ إِيقَاظٌ لِلْعَبْدِ إِيقَاظٌ عَظِيمٌ جِدًّا بِأَنْ يَعْمَلَ عَلَى إِصْلَاحِ عَمَلِهِ لِأَنَّ عَمَلَهُ إِنْ كَانَ صَالِحًا كَان مُؤْنِسًا لَهُ فِي وَحْشَةِ الْقَبْرِ مُبَشِّرًا لَهُ يَأْتِيهِ عَلَى أَحْسَنِ صُورَةٍ وَأَجْمَلِ هَيْئَةٍ وَإِذَا كَانَ عَمَلُهُ سَيِّئًا خَبِيثًا فَإِنَّه سَيَأْتِيْهِ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ السُّوءِ الْخُبْثِ مُبَشِّرًا بِمَا يَسُوءُ الْمَرْءَ فَوَجَبَ عَلَى كُلِّ نَاصِحٍ لِنَفْسِهِ أَنْ يُعِدَّ لِهَذَا الْيَوْمِ عُدَّتَهُ وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ هَذِهِ الْحُفْرَةَ سَيُدْرَجُ فِيهَا وَلَا بُدَّ رُبَّمَا ظَنَّ أَنَّهُ يَعِيشُ عُمُرًا طَوِيْلًا وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ سَيُدْرَجُ فِيهَا فِي الْغَدِ حَتَّى وَإِنْ كَانَ شَابًّا وَلِهَذَا قَالَ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تَذَكُّرُوا أَوْ أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ فَذِكْرُ هَذَا الْيَوْمِ وَذِكْرُ هَذِهِ التَّفَاصِيلِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي غَيْرِهِ مِمَّا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ وَمَا لَمْ يَذْكُرْ هُوَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ إِصْلَاحِ الْعَبْدِ وَأَنْ يَحْذَرَ مِنِ الِاتِّكَالِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ مُفَرِّطًا وَمُضَيِّعًا فِي جَانِبِ طَاعَةِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.
Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.


Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnyaBay’u al-ajil  (بيع الآجل)Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya Telah kami jelaskan tentang jual beli kredit pada tulisan sebelumnya, yang intinya adalah menjual suatu barang dan diberikan dengan segera (tunai), namun pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Sebagian ada yang mendefinisikan dengan definisi yang berbeda, أن يبيع التاجر السلعة مدفوعة الثمن فورًا بسعر و مؤجلة أو مقسطة الثمن بسعر اعلى. “Yaitu seorang pedagang menjual barang secara tunai dengan satu harga, dan secara tangguh atau dicicil dengan harga yang lebih tinggi.” [1] Dari definisi di atas pula, dapat diketahui bahwa bay’u at-taqsith adalah jual beli kredit atau jual beli dengan cara utang. Meskipun terdapat harga yang berbeda ketika seseorang memilih untuk mencicil. Pada jenis jual beli kredit, terdapat jual beli di sisi lain yang serupa, namun tidak sama. Artinya, model jual beli seperti ini bermacam-macam modelnya. Kita harus mengetahui model-model jual beli ini, karena dari model-model ini ada yang bentuknya halal dan ada yang bentuknya haram. Tentu kita harus mempelajarinya agar tidak terjerumus ke dalam transkasi yang haram. Untuk itu, pembahasan ini cukup penting untuk diketahui. Agar transaksi akad jual beli menjadi suatu hal yang berkah dan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Berikut ini adalah jual beli yang serupa dengan jual beli kredit. [2] Bay’u al-ajil  (بيع الآجل) Terkait dengan jual beli ini, sejatinya sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Perbedaannya dengan bay’u at-taqsith adalah jika bay’u at-taqsith membeli secara utang dan dicicil pada waktu-waktu tertentu. Adapun bay’u al-ajil adalah membeli secara utang dan dibayarkan pada satu waktu saja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga perbedaan antara kedua bentuk transaksi ini hanya ada pada penundaan utang dan cara pembayarannya. Hukumnya adalah halal dan diperbolehkan. Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’. Allah Ta’ala berfirman, يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini adalah dalil tentang bolehnya saling mengutangi satu dengan lainnya, dan secara umum menunjukkan bolehnya jual beli yang dibayar secara utang. Bay’u al-‘inah (بيع العينة) Jual beli ini adalah jual beli yang dilarang dalam syariat Islam. Dikarenakan pada jual beli ini terdapat riba yang terselubung. Gambaran sederhananya adalah seperti seseorang menjual barang miliknya dengan cara kredit dan dicicil oleh pembeli. Kemudian penjual kembali membelinya dengan harga yang lebih murah, namun secara tunai. Dengan tujuan agar peminjam atau penjual mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut. Selisih inilah yang pada hakikatnya adalah riba. Contoh: B membutuhkan uang sebesar seratus juta. Kemudian datanglah A dengan niat meminjamkan uang kepada B. Namun bagaimana caranya, A harus tetap mendapatkan keuntungan. Lalu dijuallah mobil A kepada B seharga seratus juta dengan tempo cicilan selama satu tahun. Sehingga B berkewajiban mencicil seratus juta selama satu tahun lamanya. Kemudian, setelah berjalan beberapa waktu, A kembali membeli mobilnya seharga tujuh puluh juta kepada B secara tunai. Sehingga B mendapatkan pinjaman tujuh puluh juta dari A dan B tetap wajib membayar utang dari pembelian mobilnya sejumlah seratus juta. Inilah jual beli yang dinamakan bay’u al-‘inah. Pada jual beli ini terdapat hiylah (akal-akalan atau pengelabuan) dan menjadi bentuk riba yang terselubung. Karena pada hakikatnya, A memberi utang B sebesar tujuh puluh juta, kemudian B mengembalikan sebesar seratus juta kepada A dengan cara dicicil. Praktek transaksi semacam ini sangatlah banyak, dengan berbagai macam penyebutan dan istilah yang bertujuan untuk menghalalkan praktek jual beli haram ini. Untuk meng-counter ini semua, tentunya terdapat kaidah yang telah diberikan oleh para ulama. Ingatlah kaidah ini! العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني “Yang menjadi standar dalam suatu transaksi akad jual beli adalah tujuan dan makna yang tersirat (hakikat) di dalamnya, bukan dari (sekedar) lafadz dan penamaannya saja.” [3] Kaidah ini adalah kaidah yang sangat masyhur di kalangan para ulama. Yang menunjukkan bahwa janganlah tertipu dengan pengatasnamaan sesuatu yang (seolah-olah) halal, namun setelah terbuka bungkusnya, terlihatlah akad-akad yang Allah haramkan. Karenanya dalam bay’u al-‘inah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan jual beli ini dengan peringatan yang cukup keras, إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ “Apabila kalian berjual beli dengan cara ‘īnah, dan kalian mengambil (memegang) ekor-ekor sapi (sibuk dengan dunia dan pertanian), dan kalian rida dengan pertanian, serta kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Dinilai hasan oleh Syekh al-Albani) Jumhur (mayoritas) ulama sepakat akan tidak bolehnya bay’u al-‘inah, baik disepakati di awal akad ataupun tidak. Adapun madzhab Asy-Syafi’i dan Zhahiri memperbolehkan jual beli demikian jika tidak disyaratkan di awal akad. Artinya, ketika sudah terjadi jual beli, kemudian penjual pertama membeli kembali barangnya dengan harga yang lebih murah dan tidak ada persyaratan atau kesepakatan di awal akad. Tentunya pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjatuh kepada perkara yang Allah dan Rasul-Nya telah melarangnya. Dari penjelasan di atas, tentunya jelaslah tentang perbedaan bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah. Perbedaannya adalah sebagai berikut, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-‘inah Bay’u at-taqsith Bay’u al-‘inah Hanya satu akad saja pada barang yang sama. Terdapat dua akad dalam penjualan satu barang yang sama. Mengambil untung dari jual beli murni, tidak ada kaitannya dengan pinjam meminjam atau utang. Tujuan utama untuk mengambil untung dari pinjaman dan utang (bukan jual beli). Harga sama saja. Jika terdapat perbedaan harga, maka itu terdapat pada akad atau transaksi yang berbeda. Harga pertama (kredit) lebih mahal dari pada harga kedua (cash). Barang dimanfaatkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembeli Biasanya, pada jual beli ini barang sifatnya hanya lewat. Bukan benar-benar untuk dimanfaatkan Demikian di antara perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** Depok, 20 Syawal 1446/ 18 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusariy. Dan beberapa referensi lainnya.   Catatan kaki: [1]  Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 74. [2] Pembahasan ini diambil dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy. [3] Al-Mumti’ fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 25.

Fatwa Ulama: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.

Fatwa Ulama: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan? Dan apakah boleh menundanya? Jawaban: Iya, dianjurkan untuk menyegerakan penyerahan mahar kepada pihak perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Dan tiada dosa atasmu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, التَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ “Carilah (mahar), meskipun hanya berupa cincin dari besi.” Juga berdasarkan hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, تَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْنِ بِي، قَالَ: أَعْطِهَا شَيْئًا، قُلْتُ: مَا عِنْدِي مِنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَأَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ؟ قُلْتُ: هِيَ عِنْدِي، قَالَ: فَأَعْطِهَا إِيَّاهُ “Dahulu saat saya akan menikahi Fathimah radhiyallahu ‘anha, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolong nikahkan aku dengan Fatimah.’ (Dalam riwayat lain, ketika Ali hendak menyetubuhinya.) Beliau bersabda, ‘Baik, berilah dia sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Di manakah baju zirahmu yang anti pedang itu?’ Saya menjawab, ‘Ia ada padaku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadanya.’” Selain itu, mahar itu dinilai sebagai utang pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sedangkan utang itu dianjurkan untuk segera dilunasi. Adapun apakah boleh menunda atau mengakhirkan penyerahan mahar, maka iya (diperbolehkan). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236) Ayat ini menunjukkan bahwa boleh menunda penyerahan mahar setelah akad nikah. Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ “Aku nikahkan engkau dengan wanita ini, dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang engkau miliki.” Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di Majmu’ Al-Fatawa, “Yang lebih baik adalah menyegerakan penyerahan mahar seluruhnya sebelum menyetubuhi istri jika hal itu memungkinkan. Adapun jika menyegerakan sebagian mahar dan menunda sebagian yang lain, hal itu diperbolehkan.” Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Unayzah, 14 Syawal 1446/ 12 April 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 85-86.

Anda Lagi Sakit? Ternyata Shalat Bisa Dijamak, tapi Ada Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ

Anda Lagi Sakit? Ternyata Shalat Bisa Dijamak, tapi Ada Syaratnya! – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ
Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ


Bolehkah orang sakit menjamak shalatnya? Ya, boleh bagi orang sakit untuk menjamak shalat, jika ia mendapat kesulitan besar apabila tidak menjamak shalat. Jika orang sakit tersebut akan mengalami kesulitan atau beban yang tidak biasa bila ia tidak menjamak shalat, maka tidak mengapa ia menjamak antara Shalat Zuhur dan Shalat Ashar, atau antara Shalat Maghrib dan Shalat Isya, baik dengan jamak taqdim (di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (di waktu shalat kedua). Namun, kebolehan menjamak ini dibatasi dengan syarat tersebut, yaitu bila tidak menjamak, ia akan mendapatkan kesulitan dan beban yang tidak biasa. Adapun kesulitan yang masih dalam batas normal, maka tidak disyariatkan menjamak shalat karena alasan itu. Terkadang seseorang sakit, misalnya terkena flu atau semacamnya, dan ia tidak merasa kesulitan bila tidak menjamak. Dalam kasus ini, tidak boleh baginya menjamak. Namun, bila sakitnya menyebabkan kesulitan apabila tidak menjamak, maka ia diperbolehkan menjamak dalam kondisi seperti ini. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؟ نَعَمْ يَجُوزُ لِلْمَرِيضِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فَإِذَا كَانَ هَذَا الْمَرِيضُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ لَحِقَهُ حَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَوْ مَشَقَّةٌ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِمَّا جَمْعَ تَقْدِيمٍ أَوْ جَمْعَ تَأْخِيرٍ لَكِنَّ الْجَمْعَ يَكُونُ بِهَذَا الْقَيْدِ بِأَنْ يَلْحَقَهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ وَحَرَجٌ غَيْرُ مُعْتَادٍ أَمَّا الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ الْمُعْتَادَةُ هَذِهِ لَا يُشْرَعُ لِأَجْلِهَا الْجَمْعُ فَأَحْيَانًا قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ مَرِيضًا يَعْنِي مَثَلًا مُصَابًا بِأَنْفِلُوِنْزَا مَثَلًا أَوْ نَحْوِهِ وَلَا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ هُنَا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ لَكِن الْمَرِيضُ مَرَضًا يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ لَوْ لَمْ يَجْمَعْ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ

Aku Tak Lagi Mencintaimu! Ketika Cinta Pergi, Masih Perlukah Bertahan? – Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ar

Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ

Aku Tak Lagi Mencintaimu! Ketika Cinta Pergi, Masih Perlukah Bertahan? – Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ar

Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ
Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ


Rabb kita Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan perlakukanlah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik… Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Masalah cinta dan benci adalah perkara yang bersifat relatif. Seseorang terkadang menyukai sesuatu, lalu keesokan harinya berubah menjadi membenci dan marah terhadapnya. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menikahi seorang wanita. Lalu istri pertamanya datang menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan berkata, “Saudaramu telah menikahi seorang wanita lagi, dan karena begitu besar cintanya kepada istri barunya itu, kini ia sibuk dengannya dan melalaikanku.” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendatangi saudaranya itu untuk menasihatinya, agar situasi yang terjadi bisa diperbaiki dan tidak semakin memburuk. Riwayat ini disampaikan oleh Az-Zubair bin Bakkar dalam salah satu kitabnya. Az-Zubair berkata: “Tak selang beberapa tahun setelah itu, kecintaannya kepada istri keduanya berubah menjadi kebencian.” Kecintaan itu berbalik menjadi kebencian. Kemudian istri keduanya datang menemui ‘Aisyah untuk meluapkan keluhannya, memohon agar ‘Aisyah berbicara kepada saudaranya, agar memperbaiki hubungan dengannya atau menceraikannya. Maksud dari kisah ini adalah bahwa cinta dan benci adalah perkara yang relatif. Allah ‘Azza wa Jalla bisa membolak-balikkan perasaan itu dalam sekejap waktu. Demikian pula, cinta dan benci juga bersifat relatif tergantung pada sebagian sisi seseorang. Seseorang bisa jadi membenci salah satu sifat orang lain, namun mencintai sifat yang lainnya. Ia bisa saja tidak menyukai penampilan seseorang, tapi karena melihat akhlak baiknya, ia pun mencintai akhlak tersebut. Karena itu, seorang istri bisa membuat dirinya dicintai melalui akhlaknya, perbuatannya yang mulia, pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya, dan sebab-sebab kebaikan lainnya. Oleh sebab itu, ketika sebagian orang beralasan bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta, kami katakan bahwa ucapan ini perlu penjelasan lebih lanjut. Karena cinta bukanlah syarat mutlak bagi setiap rumah tangga, sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, seorang lelaki bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mencintaiku?” Namun sang istri hanya terdiam. Lelaki itu lalu meminta dengan menyebut nama Allah agar istrinya menjawab. Maka sang istri berkata, “Karena engkau memintanya atas nama Allah, maka jawabanku: Aku tidak mencintaimu!” Lelaki itu pun mendatangi Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu dan menceritakan peristiwa tersebut. Lantas Umar memerintahkan agar istri lelaki itu dibawa menghadapnya.Setelah wanita itu menceritakan kisahnya, Umar memukulnya dengan tongkat. Lalu Umar berkata, “Apakah semua rumah tangga harus dibangun atas dasar cinta? Justru manusia hendaknya saling memperlakukan dengan cara yang baik.” Maksud dari semua ini, wahai saudara-saudara yang mulia bahwa Allah ’Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bisa jadi seorang suami membenci sesuatu dari sebagian sisi istrinya, baik dari perbuatannya, penampilannya, sifatnya, dan lain sebagainya. Namun jika ia melihat sisi-sisi lainnya, niscaya ia akan mendapati kebaikan. Oleh karena itu, ada sebuah hadis agung yang menjelaskan makna ayat ini. Sekiranya seseorang menjadikan hadis ini sebagai pelita di depan matanya, niscaya banyak permasalahan akan terselesaikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah (istrinya) jika ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia akan meridhai akhlak lainnya.” (HR. Muslim) Para ulama mengatakan bahwa manusia dalam menerapkan hadis ini terbagi menjadi tiga golongan: Dua golongan bersikap ekstrem sehingga terjatuh dalam kesalahan, dan satu golongan bersikap moderat sehingga ia berbuat dengan benar. Adapun dua golongan yang keliru, yang pertama adalah seorang lelaki yang hanya melihat sisi-sisi buruk saja. Siapa yang hanya memandang keburukan dan melupakan kebaikan, maka lelaki tersebut tidak akan merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Kehidupannya pun tidak akan tenang.Bahkan seluruh hidupnya akan dipenuhi dengan kesengsaraan. Bahkan hidupnya akan terus seperti itu selama pernikahannya berlangsung dan tidak terjadi perceraian. Adapun kelompok lain yang juga keliru dalam mengamalkan hadis ini, adalah kelompok yang menimbang-nimbang antara sifat-sifat baik dan buruk pasangannya. Dan ini merupakan sebuah kesalahan, namun pada hakikatnya tidak termasuk kesalahan yang fatal, karena penyimpangannya dari kebenaran lebih sedikit. Maksudnya, apabila seorang suami menimbang-nimbang antara sifat-sifat istrinya yang baik dan yang buruk, maka dia akan memperlakukan istrinya berdasarkan pertimbangannya tadi, dan ini belum termasuk sikap yang ideal. Adapun sikap yang paling baik adalah ketika seorang suami melihat sisi-sisi kebaikan yang ada pada istrinya, melihat akhlak-akhlak terpujinya, memujinya, dan berpura-pura tidak melihat kekurangan istrinya. Maka inilah golongan yang paling sempurna di antara ketiga kelompok tersebut. ==== يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَلَا وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا إِنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْكُرْهِ هِيَ مِنَ الْمَسَائِلِ النِّسْبِيَّةِ فَإِنَّ الْمَرْءَ قَدْ يَكُونُ مُحِبًّا لِشَيْءٍ ثُمَّ يُصْبِحُ فِي غَدِهِ كَارِهاً لَهُ مَاقِتاً وَقَدْ جَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَجَاءَتْ زَوْجَتُهُ الْأُولَى إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ لَهَا إِنَّ أَخَاكِ قَدْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَإِنَّهُ مِنْ حُبِّهِ لَهَا قَدِ انْقَطَعَ لَهَا وَتَرَكَنِي فَجَاءَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَهُ لِتَنْصَحَهُ لِأَنْ يَكُونَ بَعْضُ الْأَمْرِ الَّذِي يَحْدُثُ مِنْهُ أَهْوَنَ مِمَّا كَانَ قَالَ الرَّاوِي وَهُوَ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ قَالَ فَمَا دَارَ بَعْدَ ذَلِكَ بِضْعُ سِنِينَ حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لِهَذِهِ الزَّوْجَةِ بُغْضاً حَتَّى انْقَلَبَ حُبُّهُ لَهَا بُغْضًا فَجَاءَتْ الزَّوْجَةُ الثَّانِيَةُ بَعْدَ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ تَشْتَكِي لَهَا وَتَرْجُو مِنْهَا أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاهَا بِأَنْ يُحْسِنَ عِشْرَةً إِلَيْهَا أَوْ أَنْ يُفَارِقَهَا الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ الْحُبَّ وَالْبُغْضَ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ الَّتِي يَقْلِبُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَضُحَاهَا كَمَا أَنَّ مَسْأَلَةَ الْحُبِّ وَالْبُغْضِ مِنَ الْأُمُورِ النِّسْبِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الْأَبْعَاضِ فَقَدْ يَكْرَهُ الْمَرْءُ خُلُقاً وَيُحِبُّ آخَرَ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ الْمَرْءُ كَارِهًا لِهَيْئَةٍ وَلَكِنَّهُ يَرَى الْخُلُقَ فَيُحِبُّ الْخُلُقَ وَلِذَلِك فَإِنَّ الْمَرْأَةَ تُحَبِّبُ بِنَفْسِهَا بِخُلُقِهَا وَكَرِيْمِ فِعْلِهَا وَحُسْنِ تَرْبِيَتِهَا لِأَبْنَائِهَا وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ وَلِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَتَعَلَّلُ بِأَنَّ هَذَا الزَّوَاجَ لَا حُبَّ فِيهِ نَقُولُ إِنَّ هَذَا الْكَلَامَ يَحْتَاجُ إِلَى تَفْصِيلٍ وَذَلِكَ أَنَّ الْحُبَّ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِكُلِّ بَيْتٍ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا جَاءَ رَجُلٌ فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ أَتُحِبُّهُ هِي؟ فَسَكَتَتْ فَنَاشَدَهَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُجِيبَ فَلَمَّا نَاشَدَهَا اللهَ قَالَتْ أَمَّا وَقَدْ نَاشَدْتَنِي بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَخْبَرَهُ بِالْقِصَّةِ فَأَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ تَأْتِيَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ ثُمَّ عَلاَهَا بِالدُّرَّةِ لَمَّا أَخْبَرَتْهُ بِالْخَبَرِ وَقَالَ لَهَا مَا مَعْنَاهُ وَهَلْ بُنِيَتْ كُلُّ الْبُيُوتِ عَنِ الْحُبِّ إِنَّمَا يَتَعَاشَرُ النَّاسُ بِالْمَعْرُوفِ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَيُّهَا الأَكَارِمُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَرِهَ شَيْئًا مِنْ أَبْعَاضِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَفْعَالٍ أَوْ هَيْئَةٍ أَوْ وَصْفٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَكِنَّهُ إِنْ نَظَرَ إِلَى الْجَوَانِبِ الْأُخْرَى لَوَجَدَ إِحْسَانًا وَلِذَلِكَ فَإِنَّ هُنَاكَ حَدِيثًا عَظِيمًا يُفَسِّرُ مَعْنَى هَذِهِ الْآيَة وَهَذَا الْحَدِيْثُ لَوْ جَعَلَهُ الْمَرْءُ نِبْرَاساً أَمَامَ عَيْنَيْهِ لَانْحَلَّ كَثِيرٌ مِنَ الْإِشْكَالَاتِ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ آخَرَ لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ النَّاسُ فِي تَطْبِيق هَذَا الْحَدِيثِ ثَلَاثَةُ أَطْرَافٍ فَطَرَفَانِ تَطَرَّفَا فَأَخْطَآ وَطَرَفٌ تَوَسَّطَ فَأَحْسَنَ فَأَمَّا الطَّرَفَانِ الَّذَيْنِ أَخْطَآ فَرَجُلٌ يَنْظُرُ إِلَى الْمَسَاوِئِ فَقَطْ فَمَنْ نَظَرَ إِلَى الْمَسَاوِئِ وَتَنَاسَى الْمَحَاسِنَ فَإِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ لَا يَهْنَأُ بِزَوَاجٍ وَلَا تَسْتَقِرُّ لَهُ حَيَاةٌ بَلْ إِنَّ حَيَاتَهُ كُلَّهَا إِنَّمَا هِيَ فِي نَكَدٍ بَلْ إِنِ اسْتَمَرَّتْ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُنْ الفَسْخُ قَالَ وَطَرَفُ الْآخَرِ الَّذِي أَخْطَأَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ طَرَفٌ وَازَنَ بَيْنَ الصِّفَاتِ الْحَسَنَةِ وَالسَّيِّئَةِ وَهَذَا مُخْطِئٌ وَلَكِنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ لَيْسَ مُخْطِئًا كَمَالَ الْخَطَأ فَإِنَّ بُعْدَهُ عَنِ الصَّوَابِ أَقَلُّ فَهَذَا الرَّجُلُ إِذَا وَازَنَ بَيْنَ صِفَاتِهَا الْحَسَنَةِ بَيْنَ صِفَاتِ الْمَرْأَةِ الْحَسَنَةِ ِوَصِفَاتِهَا السَّيِّئَةِ فَإِنَّهُ يُعَامِلُهَا حِينَئِذٍ بِالْعَدْلِ وَهَذَا لَيْسَ بِالْحَسَنِ وَأَمَّا صِفَةُ الْكَمَالِ فَهُوَ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى صِفَاتِ الْحُسْنِ فِي زَوْجِهِ وَيَنْظُرُ إِلَى أَخْلَاقِ الْكَمَالِ عِنْدَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَغَافَلُ عَنِ الْبَاقِي فَهَذَا هُوَ أَكْمَلُ الثَّلَاثَةِ

Sedekah Tapi Malah Dapat Dosa? Ini Kesalahan yang Sering tak Disadari – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ

Sedekah Tapi Malah Dapat Dosa? Ini Kesalahan yang Sering tak Disadari – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan

Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ
Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ


Seseorang terkadang bersedekah dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla. Ia pun menyalurkan sedekah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, sedekah itu tidak Allah terima darinya. Mengapa? Karena ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima. Sesungguhnya, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima dapat membatalkan pahala sedekah sepenuhnya.Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati penerima seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya di hadapan manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264). Kemudian Allah membuat perumpamaan yang menakjubkan. “Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan deras sehingga meninggalkannya dalam keadaan bersih (tanpa bekas debu).” (QS. Al-Baqarah: 264). Bagaimana menurutmu jika ada batu licin yang di atasnya ada debu, lalu turun hujan deras? Apakah debu itu akan tetap menempel di batu tersebut? Begitulah, menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti hati penerima menghilangkan pahala sedekah sepenuhnya, sebagaimana hujan deras menghapus debu di atas batu yang licin. Oleh sebab itu, di antara hal penting ketika bersedekah kepada orang fakir adalah menjaga kehormatannya. Karena, jika kamu hendak bersedekah tetapi melukai harga dirinya, maka tidak ada kebaikan dalam sedekah semacam itu. Sebagaimana firman Allah: “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Jika kamu hendak bersedekah, tapi menyakiti kehormatan fakir miskin dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya, maka tidak usah bersedekah! Sebaliknya, ucapkanlah kata-kata yang baik padanya. Ucapkanlah padanya kalimat yang lembut. Itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hatinya. Makna menyebut-nyebut pemberian adalah ketika seseorang mengungkit-ungkit nikmat (pemberian) dan kebaikan yang telah ia berikan kepada fakir miskin. Semisal berkata, “Bukankah aku sudah memberimu ini dan itu? Bukankah aku sudah melakukan ini dan itu untukmu?” dan semacamnya. Ia mengungkit pemberian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan makna menyakiti, ialah dengan melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan penerima. Ia mengucapkan kepadanya ucapan yang tidak pantas diucapkan, yang membuat si fakir miskin terluka perasaannya, bahkan mungkin melukai harga dirinya. Oleh sebab itu, orang yang bersedekah hendaknya menjaga kehormatan fakir miskin saat memberinya. Jangan sampai ia mengiringi sedekah tersebut dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaannya. Jika nantinya ia mengiringi sedekah itu dengan menyebut-nyebut dan menyakitinya maka lebih baik ia mengucapkan kata-kata yang baik saja daripada bersedekah. “Ucapan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan menyakiti hati penerima.” (QS. Al-Baqarah: 263). Oleh sebab itu, saudara-saudara, ketika kita mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua golongan…” (HR. Bukhari & Muslim). Pertama-tama, beliau menyebutkan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menghabiskannya di jalan yang benar. Perhatikan sabda beliau: “menghabiskan”. Seolah-olah ia benar-benar menghabiskan harta itu dan memutus hubungannya dengan harta itu. Sehingga ia tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyakiti perasaan penerima. Ia bersedekah karena Allah ‘Azza wa Jalla. “Sungguh kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap wajah Allah. Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (QS. Al-Insan: 9). Adapun orang yang mengungkit-ungkit sedekahnya dan menyakiti si miskin dengan kata-kata yang tidak pantas,maka itu dapat membatalkan pahala sedekahnya. Ini termasuk celah masuknya setan ke dalam hati manusia. Sebagian orang tampak sebagai orang dermawan, suka memberi sedekah, dan ia pun ikhlas karena Allah, bukan karena ingin riya, tetapi ia memiliki akhlak tercela ini: yaitu suka mengungkit pemberian dan menyakiti perasaan penerima. Kedua perbuatan ini benar-benar membatalkan pahala sedekah seluruhnya. Inilah salah satu pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Karena itu, seorang muslim harus berhati-hati saat bersedekah. Ia harus menjaga kehormatan fakir miskin penerima sedekah, dan menjadikan ini sebagai prinsip hidupnya. Saat ia bersedekah, berbuat baik, maupun ketika memberikan bantuan secara umum, hendaknya ia menjauhi segala bentuk menyebut-nyebut dan menyakiti dalam bentuk apa pun. ==== قَدْ يَتَصَدَّقُ الْإِنْسَانُ بِصَدَقَةٍ مُخْلِصًا فِيهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُوصِلُ هَذِهِ الصَّدَقَةَ لِمُسْتَحِقِّيْهَا وَمَعَ ذَلِكَ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ هَذِهِ الصَّدَقَةُ لِمَاذَا؟ لِأَنَّهُ أَلْحَقَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَإِنَّ الْمَنَّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِيَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ثُمَّ ضَرَبَ اللَّهُ تَعَالَى مَثَلًا عَجِيبًا فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ يَعْنِي حَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ يَعْنِي مَطَرٌ غَزِيرٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا مَا ظَنُّكَ بِحَجَرٍ أَمْلَسَ عَلَيْهِ تُرَابٌ نَزَلَ عَلَيْهِ مَطَرٌ غَزِيرٌ هَلْ يَبْقَى شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ التُّرَابُ؟ هَكَذَا الْمِنَّةُ وَالْأَذَى تُذْهِبُ الْأَجْرَ تَمَامًا كَمَا يُذْهِبُ الْمَطَرُ الْغَزِيرُ التُّرَابَ عَلَى الْحَجَرِ الْأَمْلَسِ وَلِهَذَا فَمِنَ الْمُهِمِّ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى الْفَقِيرِ حِفْظُ كَرَامَتِهِ وَإِلَّا إِذَا كُنْتُ سَتَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَتَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَلَا خَيْرَ فِي هَذِهِ الصَّدَقَةِ كَمَا قَالَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى إِذَا كُنْتَ سَتَتَصَدَّقُ وَتَجْرَحُ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى فَلَا تَتَصَدَّقْ إِذًا وَإِنَّمَا قُلْ لَهُ قَوْلًا مَعْرُوفًا قُلْ لَهُ كَلَامًا حَسَنًا هَذَا خَيْرٌ مِنَ الصَّدَقَةِ الَّتِي يَتْبَعُهَا الْمَنُّ وَالْأَذَى وَالْمَنُّ أَنَّ الْإِنْسَانَ يُعَدِّدُ نِعَمَهُ وَمَعْرُوفَهُ عَلَى ذَلِكَ الْفَقِيرِ فَيَقُولُ أَلَمْ أُعْطِكَ كَذَا وَأَفْعَلْ بِكَ كَذَا وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهُوَ يَمْتَنُّ عَلَيْهِ بِطَرِيقٍ مُبَاشِرٍ أَوْ بِغَيْرِ مُبَاشِرٍ وَالْأَذَى أَنْ يُلْقِيَ عَلَيْهِ كَلَامًا جَارِحًا فَيَتَكَلَّمُ عَلَيْهِ بِكَلَامٍ غَيْرِ مُنَاسِبٍ وَبِكَلَامٍ يَتَأَلَّمُ مِنْهُ الْفَقِيرُ وَرُبَّمَا يَجْرَحُ كَرَامَتَهُ فَعَلَى الْمُتَصَدِّقِ أَنْ يَحْرِصَ عِنْدَ الصَّدَقَةِ عَلَى حِفْظِ كَرَامَةِ الْفَقِيرِ وَأَلَّا يُتْبِعَ هَذِه الصَّدَقَةَ بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى وَإِلَّا إِذَا كَانَ سَيُتْبِعُهَا بِالْمِنَّةِ وَالْأَذَى فَيَقُولُ قَوْلًا مَعْرُوفًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَلِهَذَا أَيُّهَا الإِخْوَةُ عِنْدَمَا نَتَأَمَّلُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ يَعْنِي لَا غِبْطَةَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ ذَكَرَ أَوَّلًا رَجُلًا ذَكَرَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ تَأَمَّلْ يَعْنِي قَوْلَهُ هَلَكَتِهِ يَعْنِي كَأَنَّهُ أَهْلَكَ هَذَا الْمَالَ وَانْقَطَعَتْ صِلَتُهُ بِهِ فَلَمْ يُتْبِعْهُ مَنًّا وَلَا أَذًى تَصَدَّقَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا أَمَّا الَّذِي يَمْتَنُّ عَلَى الْفَقِيرِ وَيُؤْذِيهِ بِكَلِمَاتٍ غَيْرِ مُنَاسِبَةٍ فَإِنَّ هَذَا يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَهَذِهِ مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ بَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ مُحْسِنًا وَيَبْذُلُ الصَّدَقَاتِ وَيَكُونُ مُخْلِصًا لِلَّهِ يَعْنِي لَيْسَ مُرَائِيًا لَكِنْ عِنْدَهُ هَذَا الْخُلُقُ الذَّمِيْمُ وَهُو الْمِنَّةُ وَالْأَذَى فَهَذَا الْمَنُّ وَالْأَذَى يُبْطِلُ أَجْرَ الصَّدَقَةِ تَمَامًا وَهَذَا مِنْ مَدَاخِلِ الشَّيْطَانِ عَلَى الْإِنْسَانِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ أَنْ يَحْفَظَ كَرَامَةَ الْفَقِيرِ وَأَنْ يَجْعَلَ هَذَا مَبْدَأً لَهُ عِنْدَمَا يَتَصَدَّقُ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْخَيْرَ وَعِنْدَمَا يَبْذُلُ الْمَعْرُوفَ عُمُومًا يَبْتَعِدُ عَنْ صُوَرِ الْمِنَّةِ وَالْأَذَى بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ

Umur Terus Berkurang, Hawa Nafsu Semakin Kuat: Begini Cara Para Salaf Menghancurkannya

Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Umur Terus Berkurang, Hawa Nafsu Semakin Kuat: Begini Cara Para Salaf Menghancurkannya

Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى


Muhasabah (introspeksi diri), wahai saudara-saudara, adalah prinsip yang agung. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dan memerintahkannya dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18) Para ulama berkata bahwa ayat ini adalah landasan dalam melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri. “…dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara, orang yang tidak mengintrospeksi diri akan terus larut dalam senda gurau dan kelalaian. Ia terus-menerus dalam keadaan yang sama. Keadaannya tidak berubah. Musim demi musim berlalu, tetapi keadaannya tetap begitu-begitu saja. Sedangkan orang yang senantiasa mengintrospeksi diri, jiwanya terus tumbuh dan berkembang. Keadaannya setiap tahun akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Maka, tidak ada jalan lain, wahai saudara-saudara, kita harus mengintrospeksi diri. Kita harus meneladani Salafus Shalih. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad yang sahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya sendiri dan berkata, “Inilah yang telah menjerumuskan aku ke dalam malapetaka.” Ini beliau lakukan karena begitu ketat introspeksi dirinya. Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila malam telah larut, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat, seraya berkata, “Wahai jiwa, apa yang telah engkau lakukan hari ini? Wahai jiwa, apa yang telah engkau persiapkan untuk hari esok?” Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, jika matahari telah terbenam, beliau berkata, “Ini adalah hari yang mataharinya telah terbenam. Umurku telah berkurang karenanya dan ajalku kian mendekat.” Demikianlah, wahai saudara-saudara, kita dapati Salafus Shalih dulu punya perhatian besar pada urusan introspeksi ini. Maka, sudah semestinya setiap muslim memiliki perhatian besar terhadap introspeksi diri. Terutama ketika datangnya musim-musim kebaikan seperti musim mulia ini. Karena jiwa manusia, wahai saudara-saudara, secara tabiat cenderung mengikuti hawa nafsu dan perlu untuk dikendalikan. Sebagaimana firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla: وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ“Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat: 40). Renungkanlah firman-Nya: “…dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). Jiwa itu butuh dikendalikan karena secara naluri ia mudah terseret oleh hawa nafsu. Jiwa membutuhkan ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan dari pemiliknya. Jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang: seperti anak kecil. “Jiwa itu seperti anak kecil. Jika engkau biarkan, ia akan tumbuh dengan tetap menyusu, tetapi jika engkau sapih, ia akan berhenti.” Tidakkah engkau lihat, anak kecil jika dibiarkan menyusu, ia akan terus menyusu? Namun jika disapih dari air susu, ia akan menangis dan merasa sakit satu atau dua hari, lalu setelah itu ia pun berhasil disapih. Persis seperti itulah jiwa manusia. Jika ia melihat padamu ketegasan, kemauan kuat, dan kekuatan, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia melihat padamu keragu-raguan dan kemalasan, maka ia akan menyeretmu ke dalam hawa nafsu. Oleh karena itu, renungkanlah ayat ini: “Adapun orang yang takut akan kedudukan Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat: 40-41). ==== وَالْمُحَاسَبَةُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَصْلٌ عَظِيمٌ ذَكَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَرَ بِهِ فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ تَجِدُونَ أَنَّ الْإِنْسَانَ الَّذِي تَنْعَدِمُ عِنْدَهُ الْمُحَاسَبَةُ مُسْتَمِرٌّ فِي لَهْوٍ فِي غَفْلَةٍ وَمُسْتَمِرٌّ فِي مَا هُوَ فِيهِ يَعْنِي لَا تَتَغَيَّرُ أَحْوَالُهُ تَجِدُ أَنَّهُ تَمُرُّ عَلَيْهِ الْمَوَاسِمُ تِلْوَ الْمَوَاسِمِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ بَيْنَمَا الْإِنْسَانُ الَّذِي عِنْدَهُ جَانِبُ الْمُحَاسَبَةِ تَجِدُ أَنَّ نَفْسَهُ تَزْكُو وَتَسْمُو وَتَجِدُ أَنَّ حَالَهُ كُلَّ عَامٍ أَحْسَنُ مِنَ الْعَامِ الَّذِي قَبْلَهُ فَلَا بُدَّ أَيُّهَا الإِخْوَةُ إِذًا مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ وَلْنَقْتَدِ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ فَقَدْ أَخْرَجَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ عَنْهُ كَانَ يُمْسِكُ بِلِسَانِهِ وَيَقُولُ هَذَا الَّذِي أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ يَعْنِي مِنْ شِدَّةِ مُحَاسَبَتِهِ لِنَفْسِهِ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ ضَرَبَ قَدَمَيْهِ بِالدُّرَّةِ وَقَالَ يَا نَفْسُ مَاذَا عَمِلْتِ الْيَوْمَ؟ يَا نَفْسُ مَاذَا قَدَّمْتِ لِغَدٍ؟ وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ هَذَا يَوْمٌ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ بِهِ عُمُرِي وَاقْتَرَبَ بِهِ أَجَلِي وَهَكَذَا نَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا عَلَى عِنَايَةٍ كَبِيرَةٍ بِهَذَا الْجَانِبِ فَلَا بُدَّ إِذًا أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِ جَانِبٌ كَبِيرٌ مِنْ مُحَاسَبَةِ النَّفْسِ خَاصَّةً مَعَ تَجَدُّدِ الْمَوَاسِمِ مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاسِمِ الْفَاضِلَةِ لِأَنَّ النَّفْسَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ النَّفْسَ بِطَبْعِهَا تَمِيلُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ كَمَا قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى فَالنَّفْسُ تَحْتَاجُ إِلَى نَهْيٍ لِأَنَّهَا بِطَبْعِهَا تَنْجَرِفُ لِلْهَوَى تَحْتَاجُ مِنَ الْإِنْسَانِ إِلَى حَزْمٍ وَعَزْمٍ وَقُوَّةٍ وَهِيَ كَمَا يَقُولُ الْقَائِلُ كَالطِّفْلِ النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمْ أَرَأَيْتَ الطِّفْلَ عِنْدَمَا يُتْرَكُ يَرْضَعُ يَسْتَمِرُّ فِي الرَّضَاعِ عِنْدَمَا يُفْطَمُ عَنِ الرَّضَاعِ يَبْكِي وَيَتَأَلَّمُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَنْفَطِمُ هَكَذَا النَّفْسُ تَمَامًا فَالنَّفْسُ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ حَزْمًا وَعَزْمًا وَقُوَّةً فَإِنَّهَا تَنْقَادُ لَكَ لَكِنْ إِذَا رَأَتْ مِنْكَ تَرَدُّدًا وَتَكَاسُلًا فَإِنَّهَا تَقُودُ الْإِنْسَانَ إِلَى الْهَوَى وَلِذَلِك تَأَمَّلُوا هَذِهِ الْآيَةَ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawafHadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaHadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺKeutamaan salat dua rakaat tawafSarana mendekatkan diri kepada AllahPatuh terhadap perintah AllahTata cara salat dua rakaat tawafSalat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bahDisunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram MakkahTetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarangDoa dan dzikir yang dibaca Salat merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling agung dalam Islam, yang merupakan hubungan (shilah) antara hamba dengan Rabb-nya. Dalam banyak rangkaian ibadah, Allah menetapkan bentuk-bentuk salat tertentu. Salah satunya adalah salat dua rakaat tawaf yang dilaksanakan setelah mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Salat ini memiliki kedudukan khusus karena langsung dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan menjadi bagian dari manasik haji serta umrah. Dalam artikel ini, kita akan mengulas dalil-dalil yang mendasari disyariatkannya salat dua rakaat tawaf, keutamaannya, tata caranya, serta doa dan bacaan yang dianjurkan untuk dilakukan di dalamnya. Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawaf Terdapat beberapa hadis yang membahas tentang salat tawaf. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 1234), dari ‘Amr bin Dinar, ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang datang untuk umrah, lalu ia tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Apakah dia boleh menggauli istrinya?” Maka Ibnu Umar menjawab, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا. وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ. وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، سَبْعًا. وَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ. “Rasulullah ﷺ datang, lalu beliau tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dan sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1700), namun lafaz yang disebut di sini adalah lafaz dari Muslim. Hadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺ Disebutkan juga dalam hadis panjang dari Jabir mengenai sifat haji Nabi ﷺ, ia berkata, حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ، اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا. ثُمَّ نَفَذَ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عليه السلام. فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [2 / البقرة / 125] فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ. … كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون}. “Ketika kami sampai di Ka’bah bersama Nabi ﷺ, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berjalan cepat (raml) tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran. Kemudian beliau menuju Maqam Ibrahim dan membaca ayat (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Beliau pun menjadikan Maqam itu di antara dirinya dan Ka’bah (ketika salat, pent.). … Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim 1218) Keutamaan salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat tawaf memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat. Di antaranya: Sarana mendekatkan diri kepada Allah Hukum salat ini adalah wajib [1], terutama setelah menyelesaikan tawaf yang hukumnya wajib. Banyak ulama dari kalangan fuqaha yang menyatakan kewajiban salat ini, dan pendapat tersebut tergolong kuat secara dalil. Wallaahu a’lam. [2] Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، … “Sesungguhnya Allah berfirman (yang artinya), ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidak ada yang lebih Aku cintai untuk dijadikan sarana pendekatan diri oleh hamba-Ku kepada-Ku selain apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya. …” (HR. Bukhari no. 6502) Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah, termasuk di dalamnya salat tawaf. Karena itu, menjalankannya dengan kesadaran bahwa ini adalah perintah dari Allah akan memberikan pengaruh besar terhadap kualitas iman dan rasa manis dalam beribadah. Patuh terhadap perintah Allah Salat ini merupakan praktek dari firman Allah Ta’ala, وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Kita dituntut untuk menghadirkan perasaan bahwa ketika kita melakukan ibadah, kita melakukannya dalam rangka menaati perintah Allah Ta‘ala. Karena ketika seseorang menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah, maka hal itu akan menambah keimanannya dan merasakan kenikmatan dalam ibadah tersebut. [3] Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar Tata cara salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bah Salat dua rakaat tawaf dilakukan setelah seorang muslim menyelesaikan tujuh putaran tawaf mengelilingi Ka’bah. Syaikh Muhammad Umar Bazmul mengatakan, صلاة ركعتي الطواف واجبة لكل سبعة أشواط “Salat dua rakaat tawaf wajib dilakukan untuk setiap tujuh putaran tawaf.” [4] Secara umum, tidak ada perbedaan dalam bentuk pelaksanaan salat ini dibandingkan dengan salat-salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun gerakannya. Cukup membaca surah al-Fatihah dan surat pendek dalam masing-masing rakaat, namun disunahkan untuk membaca surah tertentu sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya. Disunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram Makkah Salat ini disyariatkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Namun, jika tidak memungkinkan karena penuh atau khawatir mengganggu jamaah lain, boleh dilakukan di bagian mana pun dari Masjidil Haram, bahkan di seluruh kawasan haram di Makkah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, يسن للطائف أن يصلي بعد فراغه ركعتين، ويستحب أن يركعهما خلف المقام؛ لقوله تعالى: واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى … وحيث ركعهما، ومهما قرأ فيهما، جاز؛ فإن عمر ركعهما بذي طوى “Disunahkan bagi orang yang melakukan tawaf untuk salat dua rakaat setelah menyelesaikan tawafnya, dan dianjurkan untuk melaksanakannya di belakang Maqam Ibrahim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) … Namun di mana pun ia melaksanakannya, dan apa pun yang ia baca di dalamnya, tetap sah. Karena Umar pernah melaksanakannya di Dzi Thuwa.” [5] Bahkan, jika sekiranya di belakang Maqam Ibrahim penuh berdesak-desakan untuk tawaf, maka kita dilarang mengerjakannya di tempat tersebut, karena termasuk kedzaliman terhadap saudara-saudara kita yang sedang tawaf. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang muslim wajib bertakwa kepada Allah dalam urusan dirinya, dan juga bertakwa kepada Allah dalam urusan terhadap saudara-saudaranya. Maka janganlah ia salat di belakang Maqam Ibrahim sementara orang-orang membutuhkannya untuk tawaf. Jika ia tetap melakukannya, maka ia tidak memiliki kehormatan, dan kita boleh menyingkirkannya, memutus salatnya, bahkan melangkahinya saat ia sedang sujud. Karena dialah yang berbuat aniaya dan zalim — dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.” [6] Tetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarang Seseorang diperbolehkan tawaf kapanpun dia inginkan. Demikian juga salat dua rakaat setelah tawaf ini, dilakukan kapanpun selesai melaksanakan tujuh putaran, walaupun bertepatan dengan waktu terlarangnya salat, yaitu setelah salat subuh hingga matahari meninggi, waktu matahari tepat berada di atas, dan setelah salat ashar sampai matahari benar-benar tenggelam. Ditanyakan kepada Syekh Bin Baz rahimahullah, “Apa hukum salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim — bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam — pada waktu-waktu yang dilarang untuk salat sunah?” Beliau menjawab, “Tidak ada masalah dalam hal itu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار “Wahai Bani Abdul Manaf, janganlah kalian melarang siapa pun yang telah tawaf di rumah ini (Ka’bah) untuk salat pada waktu mana pun yang ia kehendaki, siang maupun malam.” (HR. Imam Ahmad dan empat penulis kitab Sunan dengan sanad yang sahih) Karena salat tawaf termasuk salat yang memiliki sebab, maka tidak mengapa dikerjakan pada waktu-waktu terlarang, sebagaimana salat tahiyyatul masjid dan salat gerhana, berdasarkan hadis yang disebutkan dan hadis-hadis lainnya dalam bab ini, seperti sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah dan salatlah hingga keduanya kembali normal.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah, no. 1000 dan Muslim dalam Kitab al-Kusuf, no. 1522 — lafaz dari Muslim. Keduanya sepakat atas kesahihannya) Dan juga sabda Nabi ﷺ, “Apabila salah seorang dari kalian masuk ke masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu) [7] Doa dan dzikir yang dibaca Disunahkan bagi orang yang melaksanakan salat dua rakaat tawaf untuk membaca surah-surah tertentu setelah Al-Fatihah: pada rakaat pertama, disunahkan membaca surah Al-Kafirun; dan pada rakaat kedua, disunahkan membaca surah Al-Ikhlas. Hal ini berdasarkan hadis Jabir tentang sifat haji Nabi ﷺ, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون} “Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim no. 1218) [8] Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengikuti sunah Nabi-Nya ﷺ dalam setiap ibadah, termasuk dalam salat dua rakaat tawaf. Aamiin. Baca juga: Fikih Salat Tobat *** Tulang Bawang – Lampung, 6 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 151. [2] Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 29: 133. [3] Lihat https://ar.islamway.net/article/77712/ [4] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 150. [5] Al-Mughni, 3: 347. Lihat juga Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 152-153. [6] Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hal. 220, dinukil dari https://islamqa.info/ar/answers/457850/ [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Bāz, 11: 291. [8] Lihat Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 8: 49; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 153.

Fikih Salat Dua Rakaat Tawaf

Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawafHadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaHadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺKeutamaan salat dua rakaat tawafSarana mendekatkan diri kepada AllahPatuh terhadap perintah AllahTata cara salat dua rakaat tawafSalat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bahDisunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram MakkahTetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarangDoa dan dzikir yang dibaca Salat merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling agung dalam Islam, yang merupakan hubungan (shilah) antara hamba dengan Rabb-nya. Dalam banyak rangkaian ibadah, Allah menetapkan bentuk-bentuk salat tertentu. Salah satunya adalah salat dua rakaat tawaf yang dilaksanakan setelah mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Salat ini memiliki kedudukan khusus karena langsung dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan menjadi bagian dari manasik haji serta umrah. Dalam artikel ini, kita akan mengulas dalil-dalil yang mendasari disyariatkannya salat dua rakaat tawaf, keutamaannya, tata caranya, serta doa dan bacaan yang dianjurkan untuk dilakukan di dalamnya. Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawaf Terdapat beberapa hadis yang membahas tentang salat tawaf. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 1234), dari ‘Amr bin Dinar, ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang datang untuk umrah, lalu ia tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Apakah dia boleh menggauli istrinya?” Maka Ibnu Umar menjawab, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا. وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ. وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، سَبْعًا. وَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ. “Rasulullah ﷺ datang, lalu beliau tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dan sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1700), namun lafaz yang disebut di sini adalah lafaz dari Muslim. Hadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺ Disebutkan juga dalam hadis panjang dari Jabir mengenai sifat haji Nabi ﷺ, ia berkata, حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ، اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا. ثُمَّ نَفَذَ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عليه السلام. فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [2 / البقرة / 125] فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ. … كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون}. “Ketika kami sampai di Ka’bah bersama Nabi ﷺ, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berjalan cepat (raml) tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran. Kemudian beliau menuju Maqam Ibrahim dan membaca ayat (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Beliau pun menjadikan Maqam itu di antara dirinya dan Ka’bah (ketika salat, pent.). … Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim 1218) Keutamaan salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat tawaf memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat. Di antaranya: Sarana mendekatkan diri kepada Allah Hukum salat ini adalah wajib [1], terutama setelah menyelesaikan tawaf yang hukumnya wajib. Banyak ulama dari kalangan fuqaha yang menyatakan kewajiban salat ini, dan pendapat tersebut tergolong kuat secara dalil. Wallaahu a’lam. [2] Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، … “Sesungguhnya Allah berfirman (yang artinya), ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidak ada yang lebih Aku cintai untuk dijadikan sarana pendekatan diri oleh hamba-Ku kepada-Ku selain apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya. …” (HR. Bukhari no. 6502) Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah, termasuk di dalamnya salat tawaf. Karena itu, menjalankannya dengan kesadaran bahwa ini adalah perintah dari Allah akan memberikan pengaruh besar terhadap kualitas iman dan rasa manis dalam beribadah. Patuh terhadap perintah Allah Salat ini merupakan praktek dari firman Allah Ta’ala, وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Kita dituntut untuk menghadirkan perasaan bahwa ketika kita melakukan ibadah, kita melakukannya dalam rangka menaati perintah Allah Ta‘ala. Karena ketika seseorang menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah, maka hal itu akan menambah keimanannya dan merasakan kenikmatan dalam ibadah tersebut. [3] Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar Tata cara salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bah Salat dua rakaat tawaf dilakukan setelah seorang muslim menyelesaikan tujuh putaran tawaf mengelilingi Ka’bah. Syaikh Muhammad Umar Bazmul mengatakan, صلاة ركعتي الطواف واجبة لكل سبعة أشواط “Salat dua rakaat tawaf wajib dilakukan untuk setiap tujuh putaran tawaf.” [4] Secara umum, tidak ada perbedaan dalam bentuk pelaksanaan salat ini dibandingkan dengan salat-salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun gerakannya. Cukup membaca surah al-Fatihah dan surat pendek dalam masing-masing rakaat, namun disunahkan untuk membaca surah tertentu sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya. Disunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram Makkah Salat ini disyariatkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Namun, jika tidak memungkinkan karena penuh atau khawatir mengganggu jamaah lain, boleh dilakukan di bagian mana pun dari Masjidil Haram, bahkan di seluruh kawasan haram di Makkah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, يسن للطائف أن يصلي بعد فراغه ركعتين، ويستحب أن يركعهما خلف المقام؛ لقوله تعالى: واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى … وحيث ركعهما، ومهما قرأ فيهما، جاز؛ فإن عمر ركعهما بذي طوى “Disunahkan bagi orang yang melakukan tawaf untuk salat dua rakaat setelah menyelesaikan tawafnya, dan dianjurkan untuk melaksanakannya di belakang Maqam Ibrahim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) … Namun di mana pun ia melaksanakannya, dan apa pun yang ia baca di dalamnya, tetap sah. Karena Umar pernah melaksanakannya di Dzi Thuwa.” [5] Bahkan, jika sekiranya di belakang Maqam Ibrahim penuh berdesak-desakan untuk tawaf, maka kita dilarang mengerjakannya di tempat tersebut, karena termasuk kedzaliman terhadap saudara-saudara kita yang sedang tawaf. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang muslim wajib bertakwa kepada Allah dalam urusan dirinya, dan juga bertakwa kepada Allah dalam urusan terhadap saudara-saudaranya. Maka janganlah ia salat di belakang Maqam Ibrahim sementara orang-orang membutuhkannya untuk tawaf. Jika ia tetap melakukannya, maka ia tidak memiliki kehormatan, dan kita boleh menyingkirkannya, memutus salatnya, bahkan melangkahinya saat ia sedang sujud. Karena dialah yang berbuat aniaya dan zalim — dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.” [6] Tetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarang Seseorang diperbolehkan tawaf kapanpun dia inginkan. Demikian juga salat dua rakaat setelah tawaf ini, dilakukan kapanpun selesai melaksanakan tujuh putaran, walaupun bertepatan dengan waktu terlarangnya salat, yaitu setelah salat subuh hingga matahari meninggi, waktu matahari tepat berada di atas, dan setelah salat ashar sampai matahari benar-benar tenggelam. Ditanyakan kepada Syekh Bin Baz rahimahullah, “Apa hukum salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim — bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam — pada waktu-waktu yang dilarang untuk salat sunah?” Beliau menjawab, “Tidak ada masalah dalam hal itu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار “Wahai Bani Abdul Manaf, janganlah kalian melarang siapa pun yang telah tawaf di rumah ini (Ka’bah) untuk salat pada waktu mana pun yang ia kehendaki, siang maupun malam.” (HR. Imam Ahmad dan empat penulis kitab Sunan dengan sanad yang sahih) Karena salat tawaf termasuk salat yang memiliki sebab, maka tidak mengapa dikerjakan pada waktu-waktu terlarang, sebagaimana salat tahiyyatul masjid dan salat gerhana, berdasarkan hadis yang disebutkan dan hadis-hadis lainnya dalam bab ini, seperti sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah dan salatlah hingga keduanya kembali normal.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah, no. 1000 dan Muslim dalam Kitab al-Kusuf, no. 1522 — lafaz dari Muslim. Keduanya sepakat atas kesahihannya) Dan juga sabda Nabi ﷺ, “Apabila salah seorang dari kalian masuk ke masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu) [7] Doa dan dzikir yang dibaca Disunahkan bagi orang yang melaksanakan salat dua rakaat tawaf untuk membaca surah-surah tertentu setelah Al-Fatihah: pada rakaat pertama, disunahkan membaca surah Al-Kafirun; dan pada rakaat kedua, disunahkan membaca surah Al-Ikhlas. Hal ini berdasarkan hadis Jabir tentang sifat haji Nabi ﷺ, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون} “Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim no. 1218) [8] Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengikuti sunah Nabi-Nya ﷺ dalam setiap ibadah, termasuk dalam salat dua rakaat tawaf. Aamiin. Baca juga: Fikih Salat Tobat *** Tulang Bawang – Lampung, 6 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 151. [2] Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 29: 133. [3] Lihat https://ar.islamway.net/article/77712/ [4] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 150. [5] Al-Mughni, 3: 347. Lihat juga Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 152-153. [6] Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hal. 220, dinukil dari https://islamqa.info/ar/answers/457850/ [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Bāz, 11: 291. [8] Lihat Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 8: 49; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 153.
Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawafHadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaHadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺKeutamaan salat dua rakaat tawafSarana mendekatkan diri kepada AllahPatuh terhadap perintah AllahTata cara salat dua rakaat tawafSalat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bahDisunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram MakkahTetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarangDoa dan dzikir yang dibaca Salat merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling agung dalam Islam, yang merupakan hubungan (shilah) antara hamba dengan Rabb-nya. Dalam banyak rangkaian ibadah, Allah menetapkan bentuk-bentuk salat tertentu. Salah satunya adalah salat dua rakaat tawaf yang dilaksanakan setelah mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Salat ini memiliki kedudukan khusus karena langsung dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan menjadi bagian dari manasik haji serta umrah. Dalam artikel ini, kita akan mengulas dalil-dalil yang mendasari disyariatkannya salat dua rakaat tawaf, keutamaannya, tata caranya, serta doa dan bacaan yang dianjurkan untuk dilakukan di dalamnya. Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawaf Terdapat beberapa hadis yang membahas tentang salat tawaf. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 1234), dari ‘Amr bin Dinar, ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang datang untuk umrah, lalu ia tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Apakah dia boleh menggauli istrinya?” Maka Ibnu Umar menjawab, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا. وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ. وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، سَبْعًا. وَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ. “Rasulullah ﷺ datang, lalu beliau tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dan sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1700), namun lafaz yang disebut di sini adalah lafaz dari Muslim. Hadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺ Disebutkan juga dalam hadis panjang dari Jabir mengenai sifat haji Nabi ﷺ, ia berkata, حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ، اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا. ثُمَّ نَفَذَ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عليه السلام. فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [2 / البقرة / 125] فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ. … كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون}. “Ketika kami sampai di Ka’bah bersama Nabi ﷺ, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berjalan cepat (raml) tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran. Kemudian beliau menuju Maqam Ibrahim dan membaca ayat (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Beliau pun menjadikan Maqam itu di antara dirinya dan Ka’bah (ketika salat, pent.). … Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim 1218) Keutamaan salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat tawaf memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat. Di antaranya: Sarana mendekatkan diri kepada Allah Hukum salat ini adalah wajib [1], terutama setelah menyelesaikan tawaf yang hukumnya wajib. Banyak ulama dari kalangan fuqaha yang menyatakan kewajiban salat ini, dan pendapat tersebut tergolong kuat secara dalil. Wallaahu a’lam. [2] Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، … “Sesungguhnya Allah berfirman (yang artinya), ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidak ada yang lebih Aku cintai untuk dijadikan sarana pendekatan diri oleh hamba-Ku kepada-Ku selain apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya. …” (HR. Bukhari no. 6502) Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah, termasuk di dalamnya salat tawaf. Karena itu, menjalankannya dengan kesadaran bahwa ini adalah perintah dari Allah akan memberikan pengaruh besar terhadap kualitas iman dan rasa manis dalam beribadah. Patuh terhadap perintah Allah Salat ini merupakan praktek dari firman Allah Ta’ala, وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Kita dituntut untuk menghadirkan perasaan bahwa ketika kita melakukan ibadah, kita melakukannya dalam rangka menaati perintah Allah Ta‘ala. Karena ketika seseorang menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah, maka hal itu akan menambah keimanannya dan merasakan kenikmatan dalam ibadah tersebut. [3] Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar Tata cara salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bah Salat dua rakaat tawaf dilakukan setelah seorang muslim menyelesaikan tujuh putaran tawaf mengelilingi Ka’bah. Syaikh Muhammad Umar Bazmul mengatakan, صلاة ركعتي الطواف واجبة لكل سبعة أشواط “Salat dua rakaat tawaf wajib dilakukan untuk setiap tujuh putaran tawaf.” [4] Secara umum, tidak ada perbedaan dalam bentuk pelaksanaan salat ini dibandingkan dengan salat-salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun gerakannya. Cukup membaca surah al-Fatihah dan surat pendek dalam masing-masing rakaat, namun disunahkan untuk membaca surah tertentu sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya. Disunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram Makkah Salat ini disyariatkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Namun, jika tidak memungkinkan karena penuh atau khawatir mengganggu jamaah lain, boleh dilakukan di bagian mana pun dari Masjidil Haram, bahkan di seluruh kawasan haram di Makkah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, يسن للطائف أن يصلي بعد فراغه ركعتين، ويستحب أن يركعهما خلف المقام؛ لقوله تعالى: واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى … وحيث ركعهما، ومهما قرأ فيهما، جاز؛ فإن عمر ركعهما بذي طوى “Disunahkan bagi orang yang melakukan tawaf untuk salat dua rakaat setelah menyelesaikan tawafnya, dan dianjurkan untuk melaksanakannya di belakang Maqam Ibrahim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) … Namun di mana pun ia melaksanakannya, dan apa pun yang ia baca di dalamnya, tetap sah. Karena Umar pernah melaksanakannya di Dzi Thuwa.” [5] Bahkan, jika sekiranya di belakang Maqam Ibrahim penuh berdesak-desakan untuk tawaf, maka kita dilarang mengerjakannya di tempat tersebut, karena termasuk kedzaliman terhadap saudara-saudara kita yang sedang tawaf. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang muslim wajib bertakwa kepada Allah dalam urusan dirinya, dan juga bertakwa kepada Allah dalam urusan terhadap saudara-saudaranya. Maka janganlah ia salat di belakang Maqam Ibrahim sementara orang-orang membutuhkannya untuk tawaf. Jika ia tetap melakukannya, maka ia tidak memiliki kehormatan, dan kita boleh menyingkirkannya, memutus salatnya, bahkan melangkahinya saat ia sedang sujud. Karena dialah yang berbuat aniaya dan zalim — dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.” [6] Tetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarang Seseorang diperbolehkan tawaf kapanpun dia inginkan. Demikian juga salat dua rakaat setelah tawaf ini, dilakukan kapanpun selesai melaksanakan tujuh putaran, walaupun bertepatan dengan waktu terlarangnya salat, yaitu setelah salat subuh hingga matahari meninggi, waktu matahari tepat berada di atas, dan setelah salat ashar sampai matahari benar-benar tenggelam. Ditanyakan kepada Syekh Bin Baz rahimahullah, “Apa hukum salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim — bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam — pada waktu-waktu yang dilarang untuk salat sunah?” Beliau menjawab, “Tidak ada masalah dalam hal itu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار “Wahai Bani Abdul Manaf, janganlah kalian melarang siapa pun yang telah tawaf di rumah ini (Ka’bah) untuk salat pada waktu mana pun yang ia kehendaki, siang maupun malam.” (HR. Imam Ahmad dan empat penulis kitab Sunan dengan sanad yang sahih) Karena salat tawaf termasuk salat yang memiliki sebab, maka tidak mengapa dikerjakan pada waktu-waktu terlarang, sebagaimana salat tahiyyatul masjid dan salat gerhana, berdasarkan hadis yang disebutkan dan hadis-hadis lainnya dalam bab ini, seperti sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah dan salatlah hingga keduanya kembali normal.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah, no. 1000 dan Muslim dalam Kitab al-Kusuf, no. 1522 — lafaz dari Muslim. Keduanya sepakat atas kesahihannya) Dan juga sabda Nabi ﷺ, “Apabila salah seorang dari kalian masuk ke masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu) [7] Doa dan dzikir yang dibaca Disunahkan bagi orang yang melaksanakan salat dua rakaat tawaf untuk membaca surah-surah tertentu setelah Al-Fatihah: pada rakaat pertama, disunahkan membaca surah Al-Kafirun; dan pada rakaat kedua, disunahkan membaca surah Al-Ikhlas. Hal ini berdasarkan hadis Jabir tentang sifat haji Nabi ﷺ, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون} “Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim no. 1218) [8] Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengikuti sunah Nabi-Nya ﷺ dalam setiap ibadah, termasuk dalam salat dua rakaat tawaf. Aamiin. Baca juga: Fikih Salat Tobat *** Tulang Bawang – Lampung, 6 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 151. [2] Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 29: 133. [3] Lihat https://ar.islamway.net/article/77712/ [4] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 150. [5] Al-Mughni, 3: 347. Lihat juga Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 152-153. [6] Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hal. 220, dinukil dari https://islamqa.info/ar/answers/457850/ [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Bāz, 11: 291. [8] Lihat Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 8: 49; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 153.


Daftar Isi Toggle Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawafHadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaHadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺKeutamaan salat dua rakaat tawafSarana mendekatkan diri kepada AllahPatuh terhadap perintah AllahTata cara salat dua rakaat tawafSalat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bahDisunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram MakkahTetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarangDoa dan dzikir yang dibaca Salat merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling agung dalam Islam, yang merupakan hubungan (shilah) antara hamba dengan Rabb-nya. Dalam banyak rangkaian ibadah, Allah menetapkan bentuk-bentuk salat tertentu. Salah satunya adalah salat dua rakaat tawaf yang dilaksanakan setelah mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Salat ini memiliki kedudukan khusus karena langsung dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan menjadi bagian dari manasik haji serta umrah. Dalam artikel ini, kita akan mengulas dalil-dalil yang mendasari disyariatkannya salat dua rakaat tawaf, keutamaannya, tata caranya, serta doa dan bacaan yang dianjurkan untuk dilakukan di dalamnya. Hadis-hadis tentang salat dua rakaat tawaf Terdapat beberapa hadis yang membahas tentang salat tawaf. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut: Hadis Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 1234), dari ‘Amr bin Dinar, ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang datang untuk umrah, lalu ia tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi belum melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Apakah dia boleh menggauli istrinya?” Maka Ibnu Umar menjawab, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا. وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ. وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، سَبْعًا. وَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ. “Rasulullah ﷺ datang, lalu beliau tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Dan sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1700), namun lafaz yang disebut di sini adalah lafaz dari Muslim. Hadis tentang sifat (tata cara) haji Nabi ﷺ Disebutkan juga dalam hadis panjang dari Jabir mengenai sifat haji Nabi ﷺ, ia berkata, حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ، اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا. ثُمَّ نَفَذَ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عليه السلام. فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [2 / البقرة / 125] فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ. … كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون}. “Ketika kami sampai di Ka’bah bersama Nabi ﷺ, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berjalan cepat (raml) tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran. Kemudian beliau menuju Maqam Ibrahim dan membaca ayat (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Beliau pun menjadikan Maqam itu di antara dirinya dan Ka’bah (ketika salat, pent.). … Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim 1218) Keutamaan salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat tawaf memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat. Di antaranya: Sarana mendekatkan diri kepada Allah Hukum salat ini adalah wajib [1], terutama setelah menyelesaikan tawaf yang hukumnya wajib. Banyak ulama dari kalangan fuqaha yang menyatakan kewajiban salat ini, dan pendapat tersebut tergolong kuat secara dalil. Wallaahu a’lam. [2] Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، … “Sesungguhnya Allah berfirman (yang artinya), ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidak ada yang lebih Aku cintai untuk dijadikan sarana pendekatan diri oleh hamba-Ku kepada-Ku selain apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunah hingga Aku mencintainya. …” (HR. Bukhari no. 6502) Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah, termasuk di dalamnya salat tawaf. Karena itu, menjalankannya dengan kesadaran bahwa ini adalah perintah dari Allah akan memberikan pengaruh besar terhadap kualitas iman dan rasa manis dalam beribadah. Patuh terhadap perintah Allah Salat ini merupakan praktek dari firman Allah Ta’ala, وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) Kita dituntut untuk menghadirkan perasaan bahwa ketika kita melakukan ibadah, kita melakukannya dalam rangka menaati perintah Allah Ta‘ala. Karena ketika seseorang menyadari bahwa ibadah yang ia lakukan adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah, maka hal itu akan menambah keimanannya dan merasakan kenikmatan dalam ibadah tersebut. [3] Baca juga: Fikih Salat Sunah Saat Pulang dari Safar Tata cara salat dua rakaat tawaf Salat dua rakaat setelah menyelesaikan tujuh putaran (tawaf) mengelilingi Ka’bah Salat dua rakaat tawaf dilakukan setelah seorang muslim menyelesaikan tujuh putaran tawaf mengelilingi Ka’bah. Syaikh Muhammad Umar Bazmul mengatakan, صلاة ركعتي الطواف واجبة لكل سبعة أشواط “Salat dua rakaat tawaf wajib dilakukan untuk setiap tujuh putaran tawaf.” [4] Secara umum, tidak ada perbedaan dalam bentuk pelaksanaan salat ini dibandingkan dengan salat-salat sunah lainnya, baik dalam bacaan maupun gerakannya. Cukup membaca surah al-Fatihah dan surat pendek dalam masing-masing rakaat, namun disunahkan untuk membaca surah tertentu sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya. Disunahkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, dan boleh dilakukan di bagian mana pun di kawasan haram Makkah Salat ini disyariatkan dilakukan di belakang Maqam Ibrahim, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Namun, jika tidak memungkinkan karena penuh atau khawatir mengganggu jamaah lain, boleh dilakukan di bagian mana pun dari Masjidil Haram, bahkan di seluruh kawasan haram di Makkah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, يسن للطائف أن يصلي بعد فراغه ركعتين، ويستحب أن يركعهما خلف المقام؛ لقوله تعالى: واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى … وحيث ركعهما، ومهما قرأ فيهما، جاز؛ فإن عمر ركعهما بذي طوى “Disunahkan bagi orang yang melakukan tawaf untuk salat dua rakaat setelah menyelesaikan tawafnya, dan dianjurkan untuk melaksanakannya di belakang Maqam Ibrahim, berdasarkan firman Allah Ta‘ala (yang artinya), ‘Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (QS. Al-Baqarah: 125) … Namun di mana pun ia melaksanakannya, dan apa pun yang ia baca di dalamnya, tetap sah. Karena Umar pernah melaksanakannya di Dzi Thuwa.” [5] Bahkan, jika sekiranya di belakang Maqam Ibrahim penuh berdesak-desakan untuk tawaf, maka kita dilarang mengerjakannya di tempat tersebut, karena termasuk kedzaliman terhadap saudara-saudara kita yang sedang tawaf. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang muslim wajib bertakwa kepada Allah dalam urusan dirinya, dan juga bertakwa kepada Allah dalam urusan terhadap saudara-saudaranya. Maka janganlah ia salat di belakang Maqam Ibrahim sementara orang-orang membutuhkannya untuk tawaf. Jika ia tetap melakukannya, maka ia tidak memiliki kehormatan, dan kita boleh menyingkirkannya, memutus salatnya, bahkan melangkahinya saat ia sedang sujud. Karena dialah yang berbuat aniaya dan zalim — dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu.” [6] Tetap dikerjakan pada waktu-waktu terlarang Seseorang diperbolehkan tawaf kapanpun dia inginkan. Demikian juga salat dua rakaat setelah tawaf ini, dilakukan kapanpun selesai melaksanakan tujuh putaran, walaupun bertepatan dengan waktu terlarangnya salat, yaitu setelah salat subuh hingga matahari meninggi, waktu matahari tepat berada di atas, dan setelah salat ashar sampai matahari benar-benar tenggelam. Ditanyakan kepada Syekh Bin Baz rahimahullah, “Apa hukum salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim — bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam — pada waktu-waktu yang dilarang untuk salat sunah?” Beliau menjawab, “Tidak ada masalah dalam hal itu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ, لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار “Wahai Bani Abdul Manaf, janganlah kalian melarang siapa pun yang telah tawaf di rumah ini (Ka’bah) untuk salat pada waktu mana pun yang ia kehendaki, siang maupun malam.” (HR. Imam Ahmad dan empat penulis kitab Sunan dengan sanad yang sahih) Karena salat tawaf termasuk salat yang memiliki sebab, maka tidak mengapa dikerjakan pada waktu-waktu terlarang, sebagaimana salat tahiyyatul masjid dan salat gerhana, berdasarkan hadis yang disebutkan dan hadis-hadis lainnya dalam bab ini, seperti sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah dan salatlah hingga keduanya kembali normal.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jumu’ah, no. 1000 dan Muslim dalam Kitab al-Kusuf, no. 1522 — lafaz dari Muslim. Keduanya sepakat atas kesahihannya) Dan juga sabda Nabi ﷺ, “Apabila salah seorang dari kalian masuk ke masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu) [7] Doa dan dzikir yang dibaca Disunahkan bagi orang yang melaksanakan salat dua rakaat tawaf untuk membaca surah-surah tertentu setelah Al-Fatihah: pada rakaat pertama, disunahkan membaca surah Al-Kafirun; dan pada rakaat kedua, disunahkan membaca surah Al-Ikhlas. Hal ini berdasarkan hadis Jabir tentang sifat haji Nabi ﷺ, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, كَانَ يَقْرَأُ فِي الركعتين: {قل هو الله أحد} و {قل يا أيها الكافرون} “Beliau membaca dalam dua rakaat tersebut, ‘Qul huwallahu ahad’ dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun.’ … ” (HR. Muslim no. 1218) [8] Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengikuti sunah Nabi-Nya ﷺ dalam setiap ibadah, termasuk dalam salat dua rakaat tawaf. Aamiin. Baca juga: Fikih Salat Tobat *** Tulang Bawang – Lampung, 6 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Lihat Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 151. [2] Lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 29: 133. [3] Lihat https://ar.islamway.net/article/77712/ [4] Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 150. [5] Al-Mughni, 3: 347. Lihat juga Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 152-153. [6] Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hal. 220, dinukil dari https://islamqa.info/ar/answers/457850/ [7] Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Bāz, 11: 291. [8] Lihat Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 8: 49; dan Bughyatu al-Mutathawwi’, hal. 153.

Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah

Daftar Isi Toggle Redaksi hadisMakna doaHubungan rezeki halal dengan keberkahanKeutamaan mengamalkan doa iniPertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haramKedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitasKetiga: Menguatkan tawakalPraktik dalam kehidupan sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim senantiasa dihadapkan pada ujian rezeki. Tidak jarang, godaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak halal muncul, terutama ketika kesulitan menghampiri. Namun, Islam mengajarkan bahwa rezeki yang baik dan berkah hanya datang dari Allah Ta’ala. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.” (“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal, jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung pada selain-Mu.”) Redaksi hadis Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ada seorang budak mukatab (yang berutang pada tuannya ingin memerdekakan dirinya) yang mendatangi ‘Ali, ia berkata, إِنِّي عَجِزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي “Aku tidak bisa membayar utang pembebasan diriku, maka tolonglah aku.” Ali pun berkata, أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيْهِنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلٍ دَيْناً أَدَّاهُ اللهُ عَنْكَ ؟ “Maukah kuberitahukan kepadamu beberapa kalimat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkannya padaku, yaitu seandainya engkau memiliki utang sepenuh gunung, maka Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya?” Ucapkanlah doa, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ‘ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.’ (artinya: Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu).” (HR. Tirmidzi, no. 3563. Hasan menurut At-Tirmidzi. Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadis ini.) Makna doa Doa di atas mengandung tiga permintaan utama, yaitu: memohon kecukupan rezeki halal, meminta dijauhkan dari yang haram, dan memohon kekayaan hati agar tidak bergantung kepada makhluk. Ketiga permintaan ini saling terkait. Rezeki halal tidak hanya membawa manfaat secara fisik, tetapi juga menenangkan jiwa. Sementara itu, permintaan untuk dijauhkan dari yang haram mencerminkan kesadaran bahwa kehalalan rezeki adalah prinsip hidup yang tidak bisa ditawar. Terakhir, permintaan agar tidak bergantung pada selain Allah, menunjukkan tauhid yang utuh, di mana seorang hamba meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mencukupi segala kebutuhan. Doa ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Salah satu riwayat yang menjadi landasannya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ “Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syekh Al-Albani) Selain itu, Allah juga berfirman, وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6) Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah. Tugas manusia hanyalah berikhtiar secara halal dan bertawakal, serta memastikan bahwa ia berkomitmen untuk menjauhi segala potensi dosa yang dapat menjerumuskannya dalam memperoleh rezeki yang tidak halal. Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Hubungan rezeki halal dengan keberkahan Saudaraku, renungkanlah! Ketika seseorang mengonsumsi yang haram, hatinya tentu akan menjadi keras, ibadah terasa berat, dan doa sulit dikabulkan. Sebaliknya, rezeki halal akan melapangkan hati, memudahkan penerimaan amal, dan mendatangkan ketenangan. Doa dalam kalimat: اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ “ALLAHUMMAKFINI BIHALALIKA …” juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam sikap tamak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kaya bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kayanya jiwa.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, dan Ibnu Majah no. 4137) Artinya, kekayaan sejati terletak pada rasa cukup (qana’ah) dengan pemberian Allah, bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Hal inilah yang semestinya senantiasa kita sadari. Karena, kadangkala hidup di tengah-tengah lingkungan yang melulu mengejar hal yang bersifat duniawi dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bernalar tentang makna qana’ah. Maka, sadarilah bahwa kekayaan jiwa adalah yang utama dan perlu kita kedepankan tanpa mengesampingkan pula ikhtiar kita dalam aspek dunawi sesuai dengan koridor syariat. Keutamaan mengamalkan doa ini Pertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haram Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjauhi syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Mudah-mudahan dengan membaca doa ini, kita memohon perlindungan Allah dari segala bentuk syubhat yang bisa menjerumuskan dan semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita ketika dihadapkan pada perkara syubhat, serta Allah berikan kita kekuatan iman dan takwa untuk segera menghindar dari segala perkara syubhat. Kedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitas Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.’” (QS. Ibrahim: 7) Doa ini mengandung sikap syukur karena memilih rezeki halal, sehingga Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya. Memilih rezeki halal meski secara duniawi terlihat sedikit adalah contoh dari ikhtiar kita dalam memanifestasikan rasa syukur kepada Allah. Memang, terasa berat untuk konsisten dengan kebiasaan ini. Akan tetapi, ingatlah bahwa ganjarannya tidak hanya diperoleh di akhirat nanti, di dunia pun akan kita memperolehnya, yaitu berupa nikmat yang selalu bertambah. Ketiga: Menguatkan tawakal Saudaraku, ketahuilah bahwa dengan mengakui bahwa hanya Allah yang mencukupi, kita melatih diri untuk tidak bergantung pada manusia atau materi. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) Praktik dalam kehidupan sehari-hari Pertama: Selalu cek sumber penghasilan dengan memastikan pekerjaan atau bisnis yang dijalankan sesuai syariat. Hindari riba, penipuan, atau transaksi yang merugikan pihak lain. Kedua: Berdoalah di setiap pagi dan petang. Amalkan doa ini secara rutin, terutama setelah salat. Rasulullah mengajarkan bahwa waktu antara azan dan ikamah adalah saat mustajab untuk berdoa. Ketiga: Bersedekahlah untuk membersihkan harta. Karena sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga membersihkan harta dari hak orang lain yang mungkin tanpa sengaja tercampur. Doa “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA…” adalah bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Sang Pemberi rezeki. Mudah-mudahan, dengan mengamalkan doa ini, Allah akan mencukupkan kebutuhan kita dan memberikan perlindungan dari segala bentuk keputusasaan dan ketergantungan kepada selain Allah. Marilah kita jadikan doa ini sebagai bagian dari zikir harian, sembari terus berikhtiar mencari rezeki yang halal dan berkah. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Sebab-Sebab Rezeki yang Ada di Dalam Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Keutamaan Doa Memohon Rezeki Halal dan Kecukupan dari Allah

Daftar Isi Toggle Redaksi hadisMakna doaHubungan rezeki halal dengan keberkahanKeutamaan mengamalkan doa iniPertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haramKedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitasKetiga: Menguatkan tawakalPraktik dalam kehidupan sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim senantiasa dihadapkan pada ujian rezeki. Tidak jarang, godaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak halal muncul, terutama ketika kesulitan menghampiri. Namun, Islam mengajarkan bahwa rezeki yang baik dan berkah hanya datang dari Allah Ta’ala. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.” (“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal, jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung pada selain-Mu.”) Redaksi hadis Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ada seorang budak mukatab (yang berutang pada tuannya ingin memerdekakan dirinya) yang mendatangi ‘Ali, ia berkata, إِنِّي عَجِزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي “Aku tidak bisa membayar utang pembebasan diriku, maka tolonglah aku.” Ali pun berkata, أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيْهِنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلٍ دَيْناً أَدَّاهُ اللهُ عَنْكَ ؟ “Maukah kuberitahukan kepadamu beberapa kalimat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkannya padaku, yaitu seandainya engkau memiliki utang sepenuh gunung, maka Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya?” Ucapkanlah doa, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ‘ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.’ (artinya: Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu).” (HR. Tirmidzi, no. 3563. Hasan menurut At-Tirmidzi. Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadis ini.) Makna doa Doa di atas mengandung tiga permintaan utama, yaitu: memohon kecukupan rezeki halal, meminta dijauhkan dari yang haram, dan memohon kekayaan hati agar tidak bergantung kepada makhluk. Ketiga permintaan ini saling terkait. Rezeki halal tidak hanya membawa manfaat secara fisik, tetapi juga menenangkan jiwa. Sementara itu, permintaan untuk dijauhkan dari yang haram mencerminkan kesadaran bahwa kehalalan rezeki adalah prinsip hidup yang tidak bisa ditawar. Terakhir, permintaan agar tidak bergantung pada selain Allah, menunjukkan tauhid yang utuh, di mana seorang hamba meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mencukupi segala kebutuhan. Doa ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Salah satu riwayat yang menjadi landasannya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ “Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syekh Al-Albani) Selain itu, Allah juga berfirman, وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6) Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah. Tugas manusia hanyalah berikhtiar secara halal dan bertawakal, serta memastikan bahwa ia berkomitmen untuk menjauhi segala potensi dosa yang dapat menjerumuskannya dalam memperoleh rezeki yang tidak halal. Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Hubungan rezeki halal dengan keberkahan Saudaraku, renungkanlah! Ketika seseorang mengonsumsi yang haram, hatinya tentu akan menjadi keras, ibadah terasa berat, dan doa sulit dikabulkan. Sebaliknya, rezeki halal akan melapangkan hati, memudahkan penerimaan amal, dan mendatangkan ketenangan. Doa dalam kalimat: اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ “ALLAHUMMAKFINI BIHALALIKA …” juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam sikap tamak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kaya bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kayanya jiwa.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, dan Ibnu Majah no. 4137) Artinya, kekayaan sejati terletak pada rasa cukup (qana’ah) dengan pemberian Allah, bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Hal inilah yang semestinya senantiasa kita sadari. Karena, kadangkala hidup di tengah-tengah lingkungan yang melulu mengejar hal yang bersifat duniawi dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bernalar tentang makna qana’ah. Maka, sadarilah bahwa kekayaan jiwa adalah yang utama dan perlu kita kedepankan tanpa mengesampingkan pula ikhtiar kita dalam aspek dunawi sesuai dengan koridor syariat. Keutamaan mengamalkan doa ini Pertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haram Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjauhi syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Mudah-mudahan dengan membaca doa ini, kita memohon perlindungan Allah dari segala bentuk syubhat yang bisa menjerumuskan dan semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita ketika dihadapkan pada perkara syubhat, serta Allah berikan kita kekuatan iman dan takwa untuk segera menghindar dari segala perkara syubhat. Kedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitas Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.’” (QS. Ibrahim: 7) Doa ini mengandung sikap syukur karena memilih rezeki halal, sehingga Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya. Memilih rezeki halal meski secara duniawi terlihat sedikit adalah contoh dari ikhtiar kita dalam memanifestasikan rasa syukur kepada Allah. Memang, terasa berat untuk konsisten dengan kebiasaan ini. Akan tetapi, ingatlah bahwa ganjarannya tidak hanya diperoleh di akhirat nanti, di dunia pun akan kita memperolehnya, yaitu berupa nikmat yang selalu bertambah. Ketiga: Menguatkan tawakal Saudaraku, ketahuilah bahwa dengan mengakui bahwa hanya Allah yang mencukupi, kita melatih diri untuk tidak bergantung pada manusia atau materi. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) Praktik dalam kehidupan sehari-hari Pertama: Selalu cek sumber penghasilan dengan memastikan pekerjaan atau bisnis yang dijalankan sesuai syariat. Hindari riba, penipuan, atau transaksi yang merugikan pihak lain. Kedua: Berdoalah di setiap pagi dan petang. Amalkan doa ini secara rutin, terutama setelah salat. Rasulullah mengajarkan bahwa waktu antara azan dan ikamah adalah saat mustajab untuk berdoa. Ketiga: Bersedekahlah untuk membersihkan harta. Karena sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga membersihkan harta dari hak orang lain yang mungkin tanpa sengaja tercampur. Doa “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA…” adalah bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Sang Pemberi rezeki. Mudah-mudahan, dengan mengamalkan doa ini, Allah akan mencukupkan kebutuhan kita dan memberikan perlindungan dari segala bentuk keputusasaan dan ketergantungan kepada selain Allah. Marilah kita jadikan doa ini sebagai bagian dari zikir harian, sembari terus berikhtiar mencari rezeki yang halal dan berkah. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Sebab-Sebab Rezeki yang Ada di Dalam Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Redaksi hadisMakna doaHubungan rezeki halal dengan keberkahanKeutamaan mengamalkan doa iniPertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haramKedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitasKetiga: Menguatkan tawakalPraktik dalam kehidupan sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim senantiasa dihadapkan pada ujian rezeki. Tidak jarang, godaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak halal muncul, terutama ketika kesulitan menghampiri. Namun, Islam mengajarkan bahwa rezeki yang baik dan berkah hanya datang dari Allah Ta’ala. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.” (“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal, jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung pada selain-Mu.”) Redaksi hadis Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ada seorang budak mukatab (yang berutang pada tuannya ingin memerdekakan dirinya) yang mendatangi ‘Ali, ia berkata, إِنِّي عَجِزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي “Aku tidak bisa membayar utang pembebasan diriku, maka tolonglah aku.” Ali pun berkata, أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيْهِنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلٍ دَيْناً أَدَّاهُ اللهُ عَنْكَ ؟ “Maukah kuberitahukan kepadamu beberapa kalimat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkannya padaku, yaitu seandainya engkau memiliki utang sepenuh gunung, maka Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya?” Ucapkanlah doa, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ‘ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.’ (artinya: Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu).” (HR. Tirmidzi, no. 3563. Hasan menurut At-Tirmidzi. Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadis ini.) Makna doa Doa di atas mengandung tiga permintaan utama, yaitu: memohon kecukupan rezeki halal, meminta dijauhkan dari yang haram, dan memohon kekayaan hati agar tidak bergantung kepada makhluk. Ketiga permintaan ini saling terkait. Rezeki halal tidak hanya membawa manfaat secara fisik, tetapi juga menenangkan jiwa. Sementara itu, permintaan untuk dijauhkan dari yang haram mencerminkan kesadaran bahwa kehalalan rezeki adalah prinsip hidup yang tidak bisa ditawar. Terakhir, permintaan agar tidak bergantung pada selain Allah, menunjukkan tauhid yang utuh, di mana seorang hamba meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mencukupi segala kebutuhan. Doa ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Salah satu riwayat yang menjadi landasannya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ “Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syekh Al-Albani) Selain itu, Allah juga berfirman, وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6) Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah. Tugas manusia hanyalah berikhtiar secara halal dan bertawakal, serta memastikan bahwa ia berkomitmen untuk menjauhi segala potensi dosa yang dapat menjerumuskannya dalam memperoleh rezeki yang tidak halal. Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Hubungan rezeki halal dengan keberkahan Saudaraku, renungkanlah! Ketika seseorang mengonsumsi yang haram, hatinya tentu akan menjadi keras, ibadah terasa berat, dan doa sulit dikabulkan. Sebaliknya, rezeki halal akan melapangkan hati, memudahkan penerimaan amal, dan mendatangkan ketenangan. Doa dalam kalimat: اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ “ALLAHUMMAKFINI BIHALALIKA …” juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam sikap tamak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kaya bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kayanya jiwa.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, dan Ibnu Majah no. 4137) Artinya, kekayaan sejati terletak pada rasa cukup (qana’ah) dengan pemberian Allah, bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Hal inilah yang semestinya senantiasa kita sadari. Karena, kadangkala hidup di tengah-tengah lingkungan yang melulu mengejar hal yang bersifat duniawi dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bernalar tentang makna qana’ah. Maka, sadarilah bahwa kekayaan jiwa adalah yang utama dan perlu kita kedepankan tanpa mengesampingkan pula ikhtiar kita dalam aspek dunawi sesuai dengan koridor syariat. Keutamaan mengamalkan doa ini Pertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haram Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjauhi syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Mudah-mudahan dengan membaca doa ini, kita memohon perlindungan Allah dari segala bentuk syubhat yang bisa menjerumuskan dan semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita ketika dihadapkan pada perkara syubhat, serta Allah berikan kita kekuatan iman dan takwa untuk segera menghindar dari segala perkara syubhat. Kedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitas Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.’” (QS. Ibrahim: 7) Doa ini mengandung sikap syukur karena memilih rezeki halal, sehingga Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya. Memilih rezeki halal meski secara duniawi terlihat sedikit adalah contoh dari ikhtiar kita dalam memanifestasikan rasa syukur kepada Allah. Memang, terasa berat untuk konsisten dengan kebiasaan ini. Akan tetapi, ingatlah bahwa ganjarannya tidak hanya diperoleh di akhirat nanti, di dunia pun akan kita memperolehnya, yaitu berupa nikmat yang selalu bertambah. Ketiga: Menguatkan tawakal Saudaraku, ketahuilah bahwa dengan mengakui bahwa hanya Allah yang mencukupi, kita melatih diri untuk tidak bergantung pada manusia atau materi. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) Praktik dalam kehidupan sehari-hari Pertama: Selalu cek sumber penghasilan dengan memastikan pekerjaan atau bisnis yang dijalankan sesuai syariat. Hindari riba, penipuan, atau transaksi yang merugikan pihak lain. Kedua: Berdoalah di setiap pagi dan petang. Amalkan doa ini secara rutin, terutama setelah salat. Rasulullah mengajarkan bahwa waktu antara azan dan ikamah adalah saat mustajab untuk berdoa. Ketiga: Bersedekahlah untuk membersihkan harta. Karena sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga membersihkan harta dari hak orang lain yang mungkin tanpa sengaja tercampur. Doa “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA…” adalah bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Sang Pemberi rezeki. Mudah-mudahan, dengan mengamalkan doa ini, Allah akan mencukupkan kebutuhan kita dan memberikan perlindungan dari segala bentuk keputusasaan dan ketergantungan kepada selain Allah. Marilah kita jadikan doa ini sebagai bagian dari zikir harian, sembari terus berikhtiar mencari rezeki yang halal dan berkah. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Sebab-Sebab Rezeki yang Ada di Dalam Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Redaksi hadisMakna doaHubungan rezeki halal dengan keberkahanKeutamaan mengamalkan doa iniPertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haramKedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitasKetiga: Menguatkan tawakalPraktik dalam kehidupan sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim senantiasa dihadapkan pada ujian rezeki. Tidak jarang, godaan untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang tidak halal muncul, terutama ketika kesulitan menghampiri. Namun, Islam mengajarkan bahwa rezeki yang baik dan berkah hanya datang dari Allah Ta’ala. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.” (“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal, jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak bergantung pada selain-Mu.”) Redaksi hadis Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ada seorang budak mukatab (yang berutang pada tuannya ingin memerdekakan dirinya) yang mendatangi ‘Ali, ia berkata, إِنِّي عَجِزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي “Aku tidak bisa membayar utang pembebasan diriku, maka tolonglah aku.” Ali pun berkata, أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيْهِنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلٍ دَيْناً أَدَّاهُ اللهُ عَنْكَ ؟ “Maukah kuberitahukan kepadamu beberapa kalimat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkannya padaku, yaitu seandainya engkau memiliki utang sepenuh gunung, maka Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya?” Ucapkanlah doa, اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ‘ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA ’AN HARAMIK, WA AGHNINI BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAK.’ (artinya: Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu).” (HR. Tirmidzi, no. 3563. Hasan menurut At-Tirmidzi. Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadis ini.) Makna doa Doa di atas mengandung tiga permintaan utama, yaitu: memohon kecukupan rezeki halal, meminta dijauhkan dari yang haram, dan memohon kekayaan hati agar tidak bergantung kepada makhluk. Ketiga permintaan ini saling terkait. Rezeki halal tidak hanya membawa manfaat secara fisik, tetapi juga menenangkan jiwa. Sementara itu, permintaan untuk dijauhkan dari yang haram mencerminkan kesadaran bahwa kehalalan rezeki adalah prinsip hidup yang tidak bisa ditawar. Terakhir, permintaan agar tidak bergantung pada selain Allah, menunjukkan tauhid yang utuh, di mana seorang hamba meyakini bahwa hanya Allah yang mampu mencukupi segala kebutuhan. Doa ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Salah satu riwayat yang menjadi landasannya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ “Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syekh Al-Albani) Selain itu, Allah juga berfirman, وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6) Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah. Tugas manusia hanyalah berikhtiar secara halal dan bertawakal, serta memastikan bahwa ia berkomitmen untuk menjauhi segala potensi dosa yang dapat menjerumuskannya dalam memperoleh rezeki yang tidak halal. Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Hubungan rezeki halal dengan keberkahan Saudaraku, renungkanlah! Ketika seseorang mengonsumsi yang haram, hatinya tentu akan menjadi keras, ibadah terasa berat, dan doa sulit dikabulkan. Sebaliknya, rezeki halal akan melapangkan hati, memudahkan penerimaan amal, dan mendatangkan ketenangan. Doa dalam kalimat: اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ “ALLAHUMMAKFINI BIHALALIKA …” juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam sikap tamak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ “Kaya bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah kayanya jiwa.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051, Tirmidzi no. 2373, dan Ibnu Majah no. 4137) Artinya, kekayaan sejati terletak pada rasa cukup (qana’ah) dengan pemberian Allah, bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Hal inilah yang semestinya senantiasa kita sadari. Karena, kadangkala hidup di tengah-tengah lingkungan yang melulu mengejar hal yang bersifat duniawi dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bernalar tentang makna qana’ah. Maka, sadarilah bahwa kekayaan jiwa adalah yang utama dan perlu kita kedepankan tanpa mengesampingkan pula ikhtiar kita dalam aspek dunawi sesuai dengan koridor syariat. Keutamaan mengamalkan doa ini Pertama: Dijauhkan dari perkara syubhat dan haram Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjauhi syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Mudah-mudahan dengan membaca doa ini, kita memohon perlindungan Allah dari segala bentuk syubhat yang bisa menjerumuskan dan semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita ketika dihadapkan pada perkara syubhat, serta Allah berikan kita kekuatan iman dan takwa untuk segera menghindar dari segala perkara syubhat. Kedua: Mendapatkan kecukupan yang berkualitas Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.’” (QS. Ibrahim: 7) Doa ini mengandung sikap syukur karena memilih rezeki halal, sehingga Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya. Memilih rezeki halal meski secara duniawi terlihat sedikit adalah contoh dari ikhtiar kita dalam memanifestasikan rasa syukur kepada Allah. Memang, terasa berat untuk konsisten dengan kebiasaan ini. Akan tetapi, ingatlah bahwa ganjarannya tidak hanya diperoleh di akhirat nanti, di dunia pun akan kita memperolehnya, yaitu berupa nikmat yang selalu bertambah. Ketiga: Menguatkan tawakal Saudaraku, ketahuilah bahwa dengan mengakui bahwa hanya Allah yang mencukupi, kita melatih diri untuk tidak bergantung pada manusia atau materi. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3) Praktik dalam kehidupan sehari-hari Pertama: Selalu cek sumber penghasilan dengan memastikan pekerjaan atau bisnis yang dijalankan sesuai syariat. Hindari riba, penipuan, atau transaksi yang merugikan pihak lain. Kedua: Berdoalah di setiap pagi dan petang. Amalkan doa ini secara rutin, terutama setelah salat. Rasulullah mengajarkan bahwa waktu antara azan dan ikamah adalah saat mustajab untuk berdoa. Ketiga: Bersedekahlah untuk membersihkan harta. Karena sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga membersihkan harta dari hak orang lain yang mungkin tanpa sengaja tercampur. Doa “ALLAAHUMMAKFINI BIHALALIKA…” adalah bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Sang Pemberi rezeki. Mudah-mudahan, dengan mengamalkan doa ini, Allah akan mencukupkan kebutuhan kita dan memberikan perlindungan dari segala bentuk keputusasaan dan ketergantungan kepada selain Allah. Marilah kita jadikan doa ini sebagai bagian dari zikir harian, sembari terus berikhtiar mencari rezeki yang halal dan berkah. Wallahu a’lam bish-shawab. Baca juga: Sebab-Sebab Rezeki yang Ada di Dalam Al-Qur’an *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk AllahKedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Dalam aktivitas dakwah yang semakin masif dan bergerak dalam intensitas yang tinggi, dapat disaksikan bahwa kerap kali seorang pendakwah menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan dalam dakwahnya. Namun, sayangnya tidak semua metode itu adalah metode yang sesuai dan dapat menunjukkan umat kepada jalan yang benar, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari esensi dakwah yang sebenarnya. Sebut saja dakwah yang isinya justru ideologi-ideologi tertentu, ritual-ritual yang dilabeli Islami tetapi tanpa dasar syar’i, atau malah justru berdakwah untuk hal-hal duniawi dan mendakwahkannya. Hal seperti itu berpotensi menjauhkan umat dari agama dan mengaburkan esensi dakwah. Karenanya, sangat krusial bagi seorang muslim, terutama pendakwah, agar dakwahnya senantiasa hanya berpedoman dan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunah, dan selaras dengan paham salafus saleh. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa harus paham salafus saleh? Ada beberapa alasan mengapa dalam beragama dan menjalankan syariat yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara umum seorang muslim, dan secara khusus pendakwah dalam berdakwah, haruslah selaras dengan paham salafus saleh; seperti dua alasan berikut, Pertama: Karena paham para salafus saleh telah diridai dan dikonfirmasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala validitasnya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah…” (QS. At-Taubah: 100) Yang dapat termasuk ke dalam kategori “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” adalah para tabiin, pengikut tabiin, dan siapa saja yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Mereka inilah yang kemudian dinamakan oleh para ahli ilmu dengan “salafus saleh”. Konfirmasi atas validitas dan kesahihan para salafus saleh ditandai dalam ayat ini dengan rida Allah kepada mereka dalam beragama dan termasuk dalam bagaimana cara mereka mendakwahkan agama Allah. Kedua: Karena paham salafus saleh adalah paham dari generasi terbaik yang telah diafirmasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, خَيْرُ النّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533) Hadis ini sekaligus menjelaskan siapa itu salafus saleh, yang kemudian populer di kalangan para ulama dengan sebutan Al-Qurun Ats-Tsalatsah Al-Mufaddhalah (tiga generasi terbaik): 1) generasi Nabi dan sahabat yang membersamainya; 2) generasi tabi’in; dan 3) generasi tabiut tabii’n. Afirmasi dan pengakuan dari Nabi ini juga yang membuat kita tidak dapat serta merta beragama, terutama berdakwah, dengan tata cara yang tidak dilakukan oleh Nabi, dan juga para ulama di tiga generasi terbaik. Bahkan karena mereka telah diakui lah, kita mempunyai keharusan untuk melanjutkan estafet dakwah mereka yang telah menyebarkan Islam dan membawakan ajaran yang sahih dengan tetap mempertahankan orisinilitasnya, dan tidak dengan cara yang dibuat-buat sendiri. Kemudian ketika kita cermati dengan baik, dakwah para salafus saleh dan yang mengikutinya dengan sebenar-benarnya, akan ditemukan semacam benang merah kesamaan yang menunjukan konsistensi estafet dakwah, yang dapat disebut pula sebagai keistimewaan dan kekhususan dakwah salafus saleh yang membedakan dengan dakwah non-salafus saleh. Ada beberapa keistimewaan, di antaranya: Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk Allah Atau yang lebih populer dengan sebutan “ikhlas”. Ikhlas dalam berdakwah yakni dakwahnya hanya diniatkan untuk Allah dan hanya menyeru dan mendakwahkan kepada Allah. Bukan kepada guru, institusi, kelompok, atau perorangan dan perkumpulan tertentu. Melainkan hanya kepada Allah. Dampak positifnya adalah ketika bahkan ada yang salah, bahkan jika itu adalah temannya, atau gurunya, atau rekan sejawatnya, tidak segan-segan seorang pendakwah yang ikhlas akan menegurnya. Tidak terkecuali jika dirinya salah, seorang pendakwah yang ikhlas akan dengan sukarela mengakui kesalahannya, karena esensi dakwahnya adalah Allah, tidak reputasi, tidak ketenaran, tidak pula kuantitas jamaah. Hal ini adalah pengaplikasian yang sebenar-benarnya dari firman Allah Ta’ala, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ “Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin.” (QS. Yusuf: 108) Namun, tidak jarang, terutama di hari-hari ini, ketika kebenaran dan kebatilan hampir tidak dapat dibedakan, sebabnya banyak, seperti ketika seorang pendakwah sudah terafiliasi dengan ideologi tertentu, atau kelompok tertentu, sehingga dakwahnya bersifat tendensius dan cenderung hanya menyampaikan hal-hal yang menyokong dan mendukung kecenderungannya saja dan jauh dari sikap objektif. Fitnah lainnya adalah harta. Ketika seorang pendakwah sudah tergiur dengan harta, tamatlah sudah kualitas dakwahnya. Tergiur dalam harta di sini adalah ketika orientasi dakwahnya adalah harta dan bayaran, ia memasang tarif tertentu untuk panggilan dakwahnya dan tidak akan datang jika tidak sesuai tarif. Bukan hanya harta, hal-hal menggiurkan lain seperti penghormatan, jabatan, atau pengagungan tertentu juga dapat berperan sama. Yang seperti ini jelas harus dihindari semaksimal mungkin. Meskipun terkait bayaran dan upah, adalah sesuatu yang tidak mengapa selama tidak dipatok tarifnya sejak awal serta tidak mengalihkan niat dakwah yang sesungguhnya. Hal ironis lainnya adalah retorika dan keindahan dalam berbicara dan menyampaikan yang substansinya tidak menyeru kepada kecintaan dan ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya, dan justru kepada hal-hal lain, bahkan dunia. Brandingnya adalah hal yang lain dan dakwah agama hanya dijadikan sebagai kedok semata. Tentu saja hal seperti ini perlu dijauhi oleh seorang pendakwah demi menjaga keikhlasan dan kualitas dakwah. Maka hendaknya seorang pendakwah agar tetap ikhlas, dalam artian niatnya adalah diperuntukkan untuk Allah semata dan dakwahnya hanya menyeru kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya yang benar, tanpa kecenderungan akan afiliasi tertentu. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan ayat yang telah disebutkan di awal (QS. Yusuf: 108), وفيها التنبيه على الإخلاص ؛ لأن من الناس من يدعو لكنه يدعو إلى نفسه أو إلى شيخه أو إلى طريقته أو إلى حزبه أو فئته .. “Pada ayat tersebut terdapat imbauan sekaligus peringatan agar tetap ikhlas, karena di antara manusia ada yang dakwahnya justru menyeru kepada dirinya, gurunya, tarekatnya, kelompoknya, atau faksinya.” Selain itu, ikhlas dalam berdakwah juga berarti menghadirkan hati. Segala yang disampaikannya tentang agama Allah hendaknya berasal dari hati dan tidak sekadar manis di mulut saja. Karena ketika sesuatu hanya berasal dari mulut saja, seringkali tidak sampai lebih dari telinga saja, berbeda dengan yang disampaikan dengan tulus dari hati, terlebih ini adalah agama Allah, maka akan dapat menggerakkan hati untuk menghayati ajaran yang didakwahkan serta meresapi dan memaknainya. Baca juga: Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah Kedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Selain bahwa dasar yang melandasi agama secara berurutan dalam hierarki sumber syariat adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) kemudian sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam dakwah secara khusus pun ada skala prioritas dalam menyeru. Yang dimaksudkan dengan skala prioritas dakwah adalah apa yang paling pertama harus didakwahkan kepada umat, sehingga kemudian pemahaman akan agama akan terbangun secara kokoh dan benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk dan arahan dengan apa sebuah dakwah seharusnya dimulai dalam sabdanya kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman, إنك تأتي قومًا من أهلِ الكتابِ، فادعُهم إلى شهادةِ أن لا إلهَ إلا اللهُ، وأنِّي رسولُ اللهِ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمْهم أن اللهَ افترض عليهم خمسَ صلواتٍ في كلِّ يومٍ وليلةٍ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن اللهَ افترض عليهم صدقةً تُؤخَذُ من أغنيائِهم فتُرَدُّ على فقرائِهم، فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائمَ أموالِهم، واتقِ دعوةَ المظلومِ، فإنها ليس بينَها وبينَ اللهِ حجابٌ “Sesungguhnya kamu akan mendatangi orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab. Maka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasul-Nya. Jika mereka menaati ajakan itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima salat bagi mereka setiap sehari-semalam. Jika mereka menaati perintah itu, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan zakat, yang diambil dari harta orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Jika mereka juga menaati, dan waspadalah terhadap harta-harta mulia mereka, dan takutlah kamu terhadap tuntutan orang yang tertindas, sebab tidak ada penghalang antara dia dan Allah.” (HR. Muslim no. 19 dan Ibnu Abdul Barr dalam “Istidzkar”-nya, 7: 631) Hadis ini menjelaskan tentang prioritas dalam berdakwah, yang paling pertama dimulai dengan dakwah kepada mentauhidkan Allah, baik dalam pembahasan-pembahasan yang umum maupun rinci melalui pendidikan akidah yang benar dan penyebaran karya-karya yang menjadi sumber kredibel. Ini yang perlu digarisbawahi, karena ketika tidak ada tauhid benar yang tertanam, maka amalan sebanyak apapun dan sekeras apapun seseorang, tidak ada artinya. Dalam dakwah, tauhid harus menjadi yang diprioritaskan yang pertama dan utama. Dasar dari dakwah sendiri haruslah dimulai dari tauhid. Dalam konteks aktivitas dakwah di masyarakat, hal ini berarti: penanaman dan penguatan akidah yang sesuai dengan tuntunan yang dibawakan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diteruskan keteladanannya oleh para pengikutnya dari sahabat, tabiin, dan seterusnya. Karena inti dari Islam adalah tauhid kepada Allah, maka ketika ada dakwah yang tidak disertai seruan kepada kebenaran tauhid di dalamnya, maka bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan dakwah tersebut. Bahkan ketika dakwah yang tajuk utamanya adalah pembahasan ilmu lain dalam agama, tetaplah harus dikorelasikan dengan tauhid. Sehingga tauhid tidak menjadi sesuatu yang hanya lewat kemudian terlupakan, tapi termanifestasikan dalam ilmu lain dan kehidupan. Tahapan berdakwah yang dimulai dengan tauhid dan kemudian disusul perkara-perkara esensial lain dalam Islam ini merupakan pendekatan ideal yang sudah seharusnya kita teladani dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan menyeru umat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana para salafus saleh juga meneladani hal ini, dan senantiasa menjadikan hal utama dalam dakwah adalah tauhid. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disadur dari kitab “Ta’shil Al-Manhaj Al-Da’awiyah fii Dhau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah wa Fahm Al-Salaf Al-Shalih” yang merupakan pembukuan dari ceramah Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.

Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk AllahKedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Dalam aktivitas dakwah yang semakin masif dan bergerak dalam intensitas yang tinggi, dapat disaksikan bahwa kerap kali seorang pendakwah menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan dalam dakwahnya. Namun, sayangnya tidak semua metode itu adalah metode yang sesuai dan dapat menunjukkan umat kepada jalan yang benar, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari esensi dakwah yang sebenarnya. Sebut saja dakwah yang isinya justru ideologi-ideologi tertentu, ritual-ritual yang dilabeli Islami tetapi tanpa dasar syar’i, atau malah justru berdakwah untuk hal-hal duniawi dan mendakwahkannya. Hal seperti itu berpotensi menjauhkan umat dari agama dan mengaburkan esensi dakwah. Karenanya, sangat krusial bagi seorang muslim, terutama pendakwah, agar dakwahnya senantiasa hanya berpedoman dan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunah, dan selaras dengan paham salafus saleh. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa harus paham salafus saleh? Ada beberapa alasan mengapa dalam beragama dan menjalankan syariat yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara umum seorang muslim, dan secara khusus pendakwah dalam berdakwah, haruslah selaras dengan paham salafus saleh; seperti dua alasan berikut, Pertama: Karena paham para salafus saleh telah diridai dan dikonfirmasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala validitasnya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah…” (QS. At-Taubah: 100) Yang dapat termasuk ke dalam kategori “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” adalah para tabiin, pengikut tabiin, dan siapa saja yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Mereka inilah yang kemudian dinamakan oleh para ahli ilmu dengan “salafus saleh”. Konfirmasi atas validitas dan kesahihan para salafus saleh ditandai dalam ayat ini dengan rida Allah kepada mereka dalam beragama dan termasuk dalam bagaimana cara mereka mendakwahkan agama Allah. Kedua: Karena paham salafus saleh adalah paham dari generasi terbaik yang telah diafirmasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, خَيْرُ النّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533) Hadis ini sekaligus menjelaskan siapa itu salafus saleh, yang kemudian populer di kalangan para ulama dengan sebutan Al-Qurun Ats-Tsalatsah Al-Mufaddhalah (tiga generasi terbaik): 1) generasi Nabi dan sahabat yang membersamainya; 2) generasi tabi’in; dan 3) generasi tabiut tabii’n. Afirmasi dan pengakuan dari Nabi ini juga yang membuat kita tidak dapat serta merta beragama, terutama berdakwah, dengan tata cara yang tidak dilakukan oleh Nabi, dan juga para ulama di tiga generasi terbaik. Bahkan karena mereka telah diakui lah, kita mempunyai keharusan untuk melanjutkan estafet dakwah mereka yang telah menyebarkan Islam dan membawakan ajaran yang sahih dengan tetap mempertahankan orisinilitasnya, dan tidak dengan cara yang dibuat-buat sendiri. Kemudian ketika kita cermati dengan baik, dakwah para salafus saleh dan yang mengikutinya dengan sebenar-benarnya, akan ditemukan semacam benang merah kesamaan yang menunjukan konsistensi estafet dakwah, yang dapat disebut pula sebagai keistimewaan dan kekhususan dakwah salafus saleh yang membedakan dengan dakwah non-salafus saleh. Ada beberapa keistimewaan, di antaranya: Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk Allah Atau yang lebih populer dengan sebutan “ikhlas”. Ikhlas dalam berdakwah yakni dakwahnya hanya diniatkan untuk Allah dan hanya menyeru dan mendakwahkan kepada Allah. Bukan kepada guru, institusi, kelompok, atau perorangan dan perkumpulan tertentu. Melainkan hanya kepada Allah. Dampak positifnya adalah ketika bahkan ada yang salah, bahkan jika itu adalah temannya, atau gurunya, atau rekan sejawatnya, tidak segan-segan seorang pendakwah yang ikhlas akan menegurnya. Tidak terkecuali jika dirinya salah, seorang pendakwah yang ikhlas akan dengan sukarela mengakui kesalahannya, karena esensi dakwahnya adalah Allah, tidak reputasi, tidak ketenaran, tidak pula kuantitas jamaah. Hal ini adalah pengaplikasian yang sebenar-benarnya dari firman Allah Ta’ala, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ “Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin.” (QS. Yusuf: 108) Namun, tidak jarang, terutama di hari-hari ini, ketika kebenaran dan kebatilan hampir tidak dapat dibedakan, sebabnya banyak, seperti ketika seorang pendakwah sudah terafiliasi dengan ideologi tertentu, atau kelompok tertentu, sehingga dakwahnya bersifat tendensius dan cenderung hanya menyampaikan hal-hal yang menyokong dan mendukung kecenderungannya saja dan jauh dari sikap objektif. Fitnah lainnya adalah harta. Ketika seorang pendakwah sudah tergiur dengan harta, tamatlah sudah kualitas dakwahnya. Tergiur dalam harta di sini adalah ketika orientasi dakwahnya adalah harta dan bayaran, ia memasang tarif tertentu untuk panggilan dakwahnya dan tidak akan datang jika tidak sesuai tarif. Bukan hanya harta, hal-hal menggiurkan lain seperti penghormatan, jabatan, atau pengagungan tertentu juga dapat berperan sama. Yang seperti ini jelas harus dihindari semaksimal mungkin. Meskipun terkait bayaran dan upah, adalah sesuatu yang tidak mengapa selama tidak dipatok tarifnya sejak awal serta tidak mengalihkan niat dakwah yang sesungguhnya. Hal ironis lainnya adalah retorika dan keindahan dalam berbicara dan menyampaikan yang substansinya tidak menyeru kepada kecintaan dan ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya, dan justru kepada hal-hal lain, bahkan dunia. Brandingnya adalah hal yang lain dan dakwah agama hanya dijadikan sebagai kedok semata. Tentu saja hal seperti ini perlu dijauhi oleh seorang pendakwah demi menjaga keikhlasan dan kualitas dakwah. Maka hendaknya seorang pendakwah agar tetap ikhlas, dalam artian niatnya adalah diperuntukkan untuk Allah semata dan dakwahnya hanya menyeru kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya yang benar, tanpa kecenderungan akan afiliasi tertentu. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan ayat yang telah disebutkan di awal (QS. Yusuf: 108), وفيها التنبيه على الإخلاص ؛ لأن من الناس من يدعو لكنه يدعو إلى نفسه أو إلى شيخه أو إلى طريقته أو إلى حزبه أو فئته .. “Pada ayat tersebut terdapat imbauan sekaligus peringatan agar tetap ikhlas, karena di antara manusia ada yang dakwahnya justru menyeru kepada dirinya, gurunya, tarekatnya, kelompoknya, atau faksinya.” Selain itu, ikhlas dalam berdakwah juga berarti menghadirkan hati. Segala yang disampaikannya tentang agama Allah hendaknya berasal dari hati dan tidak sekadar manis di mulut saja. Karena ketika sesuatu hanya berasal dari mulut saja, seringkali tidak sampai lebih dari telinga saja, berbeda dengan yang disampaikan dengan tulus dari hati, terlebih ini adalah agama Allah, maka akan dapat menggerakkan hati untuk menghayati ajaran yang didakwahkan serta meresapi dan memaknainya. Baca juga: Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah Kedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Selain bahwa dasar yang melandasi agama secara berurutan dalam hierarki sumber syariat adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) kemudian sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam dakwah secara khusus pun ada skala prioritas dalam menyeru. Yang dimaksudkan dengan skala prioritas dakwah adalah apa yang paling pertama harus didakwahkan kepada umat, sehingga kemudian pemahaman akan agama akan terbangun secara kokoh dan benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk dan arahan dengan apa sebuah dakwah seharusnya dimulai dalam sabdanya kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman, إنك تأتي قومًا من أهلِ الكتابِ، فادعُهم إلى شهادةِ أن لا إلهَ إلا اللهُ، وأنِّي رسولُ اللهِ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمْهم أن اللهَ افترض عليهم خمسَ صلواتٍ في كلِّ يومٍ وليلةٍ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن اللهَ افترض عليهم صدقةً تُؤخَذُ من أغنيائِهم فتُرَدُّ على فقرائِهم، فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائمَ أموالِهم، واتقِ دعوةَ المظلومِ، فإنها ليس بينَها وبينَ اللهِ حجابٌ “Sesungguhnya kamu akan mendatangi orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab. Maka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasul-Nya. Jika mereka menaati ajakan itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima salat bagi mereka setiap sehari-semalam. Jika mereka menaati perintah itu, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan zakat, yang diambil dari harta orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Jika mereka juga menaati, dan waspadalah terhadap harta-harta mulia mereka, dan takutlah kamu terhadap tuntutan orang yang tertindas, sebab tidak ada penghalang antara dia dan Allah.” (HR. Muslim no. 19 dan Ibnu Abdul Barr dalam “Istidzkar”-nya, 7: 631) Hadis ini menjelaskan tentang prioritas dalam berdakwah, yang paling pertama dimulai dengan dakwah kepada mentauhidkan Allah, baik dalam pembahasan-pembahasan yang umum maupun rinci melalui pendidikan akidah yang benar dan penyebaran karya-karya yang menjadi sumber kredibel. Ini yang perlu digarisbawahi, karena ketika tidak ada tauhid benar yang tertanam, maka amalan sebanyak apapun dan sekeras apapun seseorang, tidak ada artinya. Dalam dakwah, tauhid harus menjadi yang diprioritaskan yang pertama dan utama. Dasar dari dakwah sendiri haruslah dimulai dari tauhid. Dalam konteks aktivitas dakwah di masyarakat, hal ini berarti: penanaman dan penguatan akidah yang sesuai dengan tuntunan yang dibawakan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diteruskan keteladanannya oleh para pengikutnya dari sahabat, tabiin, dan seterusnya. Karena inti dari Islam adalah tauhid kepada Allah, maka ketika ada dakwah yang tidak disertai seruan kepada kebenaran tauhid di dalamnya, maka bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan dakwah tersebut. Bahkan ketika dakwah yang tajuk utamanya adalah pembahasan ilmu lain dalam agama, tetaplah harus dikorelasikan dengan tauhid. Sehingga tauhid tidak menjadi sesuatu yang hanya lewat kemudian terlupakan, tapi termanifestasikan dalam ilmu lain dan kehidupan. Tahapan berdakwah yang dimulai dengan tauhid dan kemudian disusul perkara-perkara esensial lain dalam Islam ini merupakan pendekatan ideal yang sudah seharusnya kita teladani dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan menyeru umat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana para salafus saleh juga meneladani hal ini, dan senantiasa menjadikan hal utama dalam dakwah adalah tauhid. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disadur dari kitab “Ta’shil Al-Manhaj Al-Da’awiyah fii Dhau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah wa Fahm Al-Salaf Al-Shalih” yang merupakan pembukuan dari ceramah Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.
Daftar Isi Toggle Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk AllahKedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Dalam aktivitas dakwah yang semakin masif dan bergerak dalam intensitas yang tinggi, dapat disaksikan bahwa kerap kali seorang pendakwah menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan dalam dakwahnya. Namun, sayangnya tidak semua metode itu adalah metode yang sesuai dan dapat menunjukkan umat kepada jalan yang benar, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari esensi dakwah yang sebenarnya. Sebut saja dakwah yang isinya justru ideologi-ideologi tertentu, ritual-ritual yang dilabeli Islami tetapi tanpa dasar syar’i, atau malah justru berdakwah untuk hal-hal duniawi dan mendakwahkannya. Hal seperti itu berpotensi menjauhkan umat dari agama dan mengaburkan esensi dakwah. Karenanya, sangat krusial bagi seorang muslim, terutama pendakwah, agar dakwahnya senantiasa hanya berpedoman dan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunah, dan selaras dengan paham salafus saleh. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa harus paham salafus saleh? Ada beberapa alasan mengapa dalam beragama dan menjalankan syariat yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara umum seorang muslim, dan secara khusus pendakwah dalam berdakwah, haruslah selaras dengan paham salafus saleh; seperti dua alasan berikut, Pertama: Karena paham para salafus saleh telah diridai dan dikonfirmasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala validitasnya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah…” (QS. At-Taubah: 100) Yang dapat termasuk ke dalam kategori “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” adalah para tabiin, pengikut tabiin, dan siapa saja yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Mereka inilah yang kemudian dinamakan oleh para ahli ilmu dengan “salafus saleh”. Konfirmasi atas validitas dan kesahihan para salafus saleh ditandai dalam ayat ini dengan rida Allah kepada mereka dalam beragama dan termasuk dalam bagaimana cara mereka mendakwahkan agama Allah. Kedua: Karena paham salafus saleh adalah paham dari generasi terbaik yang telah diafirmasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, خَيْرُ النّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533) Hadis ini sekaligus menjelaskan siapa itu salafus saleh, yang kemudian populer di kalangan para ulama dengan sebutan Al-Qurun Ats-Tsalatsah Al-Mufaddhalah (tiga generasi terbaik): 1) generasi Nabi dan sahabat yang membersamainya; 2) generasi tabi’in; dan 3) generasi tabiut tabii’n. Afirmasi dan pengakuan dari Nabi ini juga yang membuat kita tidak dapat serta merta beragama, terutama berdakwah, dengan tata cara yang tidak dilakukan oleh Nabi, dan juga para ulama di tiga generasi terbaik. Bahkan karena mereka telah diakui lah, kita mempunyai keharusan untuk melanjutkan estafet dakwah mereka yang telah menyebarkan Islam dan membawakan ajaran yang sahih dengan tetap mempertahankan orisinilitasnya, dan tidak dengan cara yang dibuat-buat sendiri. Kemudian ketika kita cermati dengan baik, dakwah para salafus saleh dan yang mengikutinya dengan sebenar-benarnya, akan ditemukan semacam benang merah kesamaan yang menunjukan konsistensi estafet dakwah, yang dapat disebut pula sebagai keistimewaan dan kekhususan dakwah salafus saleh yang membedakan dengan dakwah non-salafus saleh. Ada beberapa keistimewaan, di antaranya: Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk Allah Atau yang lebih populer dengan sebutan “ikhlas”. Ikhlas dalam berdakwah yakni dakwahnya hanya diniatkan untuk Allah dan hanya menyeru dan mendakwahkan kepada Allah. Bukan kepada guru, institusi, kelompok, atau perorangan dan perkumpulan tertentu. Melainkan hanya kepada Allah. Dampak positifnya adalah ketika bahkan ada yang salah, bahkan jika itu adalah temannya, atau gurunya, atau rekan sejawatnya, tidak segan-segan seorang pendakwah yang ikhlas akan menegurnya. Tidak terkecuali jika dirinya salah, seorang pendakwah yang ikhlas akan dengan sukarela mengakui kesalahannya, karena esensi dakwahnya adalah Allah, tidak reputasi, tidak ketenaran, tidak pula kuantitas jamaah. Hal ini adalah pengaplikasian yang sebenar-benarnya dari firman Allah Ta’ala, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ “Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin.” (QS. Yusuf: 108) Namun, tidak jarang, terutama di hari-hari ini, ketika kebenaran dan kebatilan hampir tidak dapat dibedakan, sebabnya banyak, seperti ketika seorang pendakwah sudah terafiliasi dengan ideologi tertentu, atau kelompok tertentu, sehingga dakwahnya bersifat tendensius dan cenderung hanya menyampaikan hal-hal yang menyokong dan mendukung kecenderungannya saja dan jauh dari sikap objektif. Fitnah lainnya adalah harta. Ketika seorang pendakwah sudah tergiur dengan harta, tamatlah sudah kualitas dakwahnya. Tergiur dalam harta di sini adalah ketika orientasi dakwahnya adalah harta dan bayaran, ia memasang tarif tertentu untuk panggilan dakwahnya dan tidak akan datang jika tidak sesuai tarif. Bukan hanya harta, hal-hal menggiurkan lain seperti penghormatan, jabatan, atau pengagungan tertentu juga dapat berperan sama. Yang seperti ini jelas harus dihindari semaksimal mungkin. Meskipun terkait bayaran dan upah, adalah sesuatu yang tidak mengapa selama tidak dipatok tarifnya sejak awal serta tidak mengalihkan niat dakwah yang sesungguhnya. Hal ironis lainnya adalah retorika dan keindahan dalam berbicara dan menyampaikan yang substansinya tidak menyeru kepada kecintaan dan ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya, dan justru kepada hal-hal lain, bahkan dunia. Brandingnya adalah hal yang lain dan dakwah agama hanya dijadikan sebagai kedok semata. Tentu saja hal seperti ini perlu dijauhi oleh seorang pendakwah demi menjaga keikhlasan dan kualitas dakwah. Maka hendaknya seorang pendakwah agar tetap ikhlas, dalam artian niatnya adalah diperuntukkan untuk Allah semata dan dakwahnya hanya menyeru kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya yang benar, tanpa kecenderungan akan afiliasi tertentu. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan ayat yang telah disebutkan di awal (QS. Yusuf: 108), وفيها التنبيه على الإخلاص ؛ لأن من الناس من يدعو لكنه يدعو إلى نفسه أو إلى شيخه أو إلى طريقته أو إلى حزبه أو فئته .. “Pada ayat tersebut terdapat imbauan sekaligus peringatan agar tetap ikhlas, karena di antara manusia ada yang dakwahnya justru menyeru kepada dirinya, gurunya, tarekatnya, kelompoknya, atau faksinya.” Selain itu, ikhlas dalam berdakwah juga berarti menghadirkan hati. Segala yang disampaikannya tentang agama Allah hendaknya berasal dari hati dan tidak sekadar manis di mulut saja. Karena ketika sesuatu hanya berasal dari mulut saja, seringkali tidak sampai lebih dari telinga saja, berbeda dengan yang disampaikan dengan tulus dari hati, terlebih ini adalah agama Allah, maka akan dapat menggerakkan hati untuk menghayati ajaran yang didakwahkan serta meresapi dan memaknainya. Baca juga: Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah Kedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Selain bahwa dasar yang melandasi agama secara berurutan dalam hierarki sumber syariat adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) kemudian sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam dakwah secara khusus pun ada skala prioritas dalam menyeru. Yang dimaksudkan dengan skala prioritas dakwah adalah apa yang paling pertama harus didakwahkan kepada umat, sehingga kemudian pemahaman akan agama akan terbangun secara kokoh dan benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk dan arahan dengan apa sebuah dakwah seharusnya dimulai dalam sabdanya kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman, إنك تأتي قومًا من أهلِ الكتابِ، فادعُهم إلى شهادةِ أن لا إلهَ إلا اللهُ، وأنِّي رسولُ اللهِ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمْهم أن اللهَ افترض عليهم خمسَ صلواتٍ في كلِّ يومٍ وليلةٍ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن اللهَ افترض عليهم صدقةً تُؤخَذُ من أغنيائِهم فتُرَدُّ على فقرائِهم، فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائمَ أموالِهم، واتقِ دعوةَ المظلومِ، فإنها ليس بينَها وبينَ اللهِ حجابٌ “Sesungguhnya kamu akan mendatangi orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab. Maka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasul-Nya. Jika mereka menaati ajakan itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima salat bagi mereka setiap sehari-semalam. Jika mereka menaati perintah itu, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan zakat, yang diambil dari harta orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Jika mereka juga menaati, dan waspadalah terhadap harta-harta mulia mereka, dan takutlah kamu terhadap tuntutan orang yang tertindas, sebab tidak ada penghalang antara dia dan Allah.” (HR. Muslim no. 19 dan Ibnu Abdul Barr dalam “Istidzkar”-nya, 7: 631) Hadis ini menjelaskan tentang prioritas dalam berdakwah, yang paling pertama dimulai dengan dakwah kepada mentauhidkan Allah, baik dalam pembahasan-pembahasan yang umum maupun rinci melalui pendidikan akidah yang benar dan penyebaran karya-karya yang menjadi sumber kredibel. Ini yang perlu digarisbawahi, karena ketika tidak ada tauhid benar yang tertanam, maka amalan sebanyak apapun dan sekeras apapun seseorang, tidak ada artinya. Dalam dakwah, tauhid harus menjadi yang diprioritaskan yang pertama dan utama. Dasar dari dakwah sendiri haruslah dimulai dari tauhid. Dalam konteks aktivitas dakwah di masyarakat, hal ini berarti: penanaman dan penguatan akidah yang sesuai dengan tuntunan yang dibawakan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diteruskan keteladanannya oleh para pengikutnya dari sahabat, tabiin, dan seterusnya. Karena inti dari Islam adalah tauhid kepada Allah, maka ketika ada dakwah yang tidak disertai seruan kepada kebenaran tauhid di dalamnya, maka bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan dakwah tersebut. Bahkan ketika dakwah yang tajuk utamanya adalah pembahasan ilmu lain dalam agama, tetaplah harus dikorelasikan dengan tauhid. Sehingga tauhid tidak menjadi sesuatu yang hanya lewat kemudian terlupakan, tapi termanifestasikan dalam ilmu lain dan kehidupan. Tahapan berdakwah yang dimulai dengan tauhid dan kemudian disusul perkara-perkara esensial lain dalam Islam ini merupakan pendekatan ideal yang sudah seharusnya kita teladani dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan menyeru umat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana para salafus saleh juga meneladani hal ini, dan senantiasa menjadikan hal utama dalam dakwah adalah tauhid. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disadur dari kitab “Ta’shil Al-Manhaj Al-Da’awiyah fii Dhau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah wa Fahm Al-Salaf Al-Shalih” yang merupakan pembukuan dari ceramah Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.


Daftar Isi Toggle Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk AllahKedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Dalam aktivitas dakwah yang semakin masif dan bergerak dalam intensitas yang tinggi, dapat disaksikan bahwa kerap kali seorang pendakwah menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan dalam dakwahnya. Namun, sayangnya tidak semua metode itu adalah metode yang sesuai dan dapat menunjukkan umat kepada jalan yang benar, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari esensi dakwah yang sebenarnya. Sebut saja dakwah yang isinya justru ideologi-ideologi tertentu, ritual-ritual yang dilabeli Islami tetapi tanpa dasar syar’i, atau malah justru berdakwah untuk hal-hal duniawi dan mendakwahkannya. Hal seperti itu berpotensi menjauhkan umat dari agama dan mengaburkan esensi dakwah. Karenanya, sangat krusial bagi seorang muslim, terutama pendakwah, agar dakwahnya senantiasa hanya berpedoman dan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunah, dan selaras dengan paham salafus saleh. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa harus paham salafus saleh? Ada beberapa alasan mengapa dalam beragama dan menjalankan syariat yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara umum seorang muslim, dan secara khusus pendakwah dalam berdakwah, haruslah selaras dengan paham salafus saleh; seperti dua alasan berikut, Pertama: Karena paham para salafus saleh telah diridai dan dikonfirmasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala validitasnya. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya, وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah…” (QS. At-Taubah: 100) Yang dapat termasuk ke dalam kategori “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” adalah para tabiin, pengikut tabiin, dan siapa saja yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Mereka inilah yang kemudian dinamakan oleh para ahli ilmu dengan “salafus saleh”. Konfirmasi atas validitas dan kesahihan para salafus saleh ditandai dalam ayat ini dengan rida Allah kepada mereka dalam beragama dan termasuk dalam bagaimana cara mereka mendakwahkan agama Allah. Kedua: Karena paham salafus saleh adalah paham dari generasi terbaik yang telah diafirmasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, خَيْرُ النّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya lagi.” (HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533) Hadis ini sekaligus menjelaskan siapa itu salafus saleh, yang kemudian populer di kalangan para ulama dengan sebutan Al-Qurun Ats-Tsalatsah Al-Mufaddhalah (tiga generasi terbaik): 1) generasi Nabi dan sahabat yang membersamainya; 2) generasi tabi’in; dan 3) generasi tabiut tabii’n. Afirmasi dan pengakuan dari Nabi ini juga yang membuat kita tidak dapat serta merta beragama, terutama berdakwah, dengan tata cara yang tidak dilakukan oleh Nabi, dan juga para ulama di tiga generasi terbaik. Bahkan karena mereka telah diakui lah, kita mempunyai keharusan untuk melanjutkan estafet dakwah mereka yang telah menyebarkan Islam dan membawakan ajaran yang sahih dengan tetap mempertahankan orisinilitasnya, dan tidak dengan cara yang dibuat-buat sendiri. Kemudian ketika kita cermati dengan baik, dakwah para salafus saleh dan yang mengikutinya dengan sebenar-benarnya, akan ditemukan semacam benang merah kesamaan yang menunjukan konsistensi estafet dakwah, yang dapat disebut pula sebagai keistimewaan dan kekhususan dakwah salafus saleh yang membedakan dengan dakwah non-salafus saleh. Ada beberapa keistimewaan, di antaranya: Pertama: Dakwahnya hanya kepada Allah dan untuk Allah Atau yang lebih populer dengan sebutan “ikhlas”. Ikhlas dalam berdakwah yakni dakwahnya hanya diniatkan untuk Allah dan hanya menyeru dan mendakwahkan kepada Allah. Bukan kepada guru, institusi, kelompok, atau perorangan dan perkumpulan tertentu. Melainkan hanya kepada Allah. Dampak positifnya adalah ketika bahkan ada yang salah, bahkan jika itu adalah temannya, atau gurunya, atau rekan sejawatnya, tidak segan-segan seorang pendakwah yang ikhlas akan menegurnya. Tidak terkecuali jika dirinya salah, seorang pendakwah yang ikhlas akan dengan sukarela mengakui kesalahannya, karena esensi dakwahnya adalah Allah, tidak reputasi, tidak ketenaran, tidak pula kuantitas jamaah. Hal ini adalah pengaplikasian yang sebenar-benarnya dari firman Allah Ta’ala, قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ “Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin.” (QS. Yusuf: 108) Namun, tidak jarang, terutama di hari-hari ini, ketika kebenaran dan kebatilan hampir tidak dapat dibedakan, sebabnya banyak, seperti ketika seorang pendakwah sudah terafiliasi dengan ideologi tertentu, atau kelompok tertentu, sehingga dakwahnya bersifat tendensius dan cenderung hanya menyampaikan hal-hal yang menyokong dan mendukung kecenderungannya saja dan jauh dari sikap objektif. Fitnah lainnya adalah harta. Ketika seorang pendakwah sudah tergiur dengan harta, tamatlah sudah kualitas dakwahnya. Tergiur dalam harta di sini adalah ketika orientasi dakwahnya adalah harta dan bayaran, ia memasang tarif tertentu untuk panggilan dakwahnya dan tidak akan datang jika tidak sesuai tarif. Bukan hanya harta, hal-hal menggiurkan lain seperti penghormatan, jabatan, atau pengagungan tertentu juga dapat berperan sama. Yang seperti ini jelas harus dihindari semaksimal mungkin. Meskipun terkait bayaran dan upah, adalah sesuatu yang tidak mengapa selama tidak dipatok tarifnya sejak awal serta tidak mengalihkan niat dakwah yang sesungguhnya. Hal ironis lainnya adalah retorika dan keindahan dalam berbicara dan menyampaikan yang substansinya tidak menyeru kepada kecintaan dan ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya, dan justru kepada hal-hal lain, bahkan dunia. Brandingnya adalah hal yang lain dan dakwah agama hanya dijadikan sebagai kedok semata. Tentu saja hal seperti ini perlu dijauhi oleh seorang pendakwah demi menjaga keikhlasan dan kualitas dakwah. Maka hendaknya seorang pendakwah agar tetap ikhlas, dalam artian niatnya adalah diperuntukkan untuk Allah semata dan dakwahnya hanya menyeru kepada Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya yang benar, tanpa kecenderungan akan afiliasi tertentu. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuturkan ketika menjelaskan ayat yang telah disebutkan di awal (QS. Yusuf: 108), وفيها التنبيه على الإخلاص ؛ لأن من الناس من يدعو لكنه يدعو إلى نفسه أو إلى شيخه أو إلى طريقته أو إلى حزبه أو فئته .. “Pada ayat tersebut terdapat imbauan sekaligus peringatan agar tetap ikhlas, karena di antara manusia ada yang dakwahnya justru menyeru kepada dirinya, gurunya, tarekatnya, kelompoknya, atau faksinya.” Selain itu, ikhlas dalam berdakwah juga berarti menghadirkan hati. Segala yang disampaikannya tentang agama Allah hendaknya berasal dari hati dan tidak sekadar manis di mulut saja. Karena ketika sesuatu hanya berasal dari mulut saja, seringkali tidak sampai lebih dari telinga saja, berbeda dengan yang disampaikan dengan tulus dari hati, terlebih ini adalah agama Allah, maka akan dapat menggerakkan hati untuk menghayati ajaran yang didakwahkan serta meresapi dan memaknainya. Baca juga: Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah Kedua: Skala prioritas yang dibangun atas dasar wahyu Selain bahwa dasar yang melandasi agama secara berurutan dalam hierarki sumber syariat adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) kemudian sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam dakwah secara khusus pun ada skala prioritas dalam menyeru. Yang dimaksudkan dengan skala prioritas dakwah adalah apa yang paling pertama harus didakwahkan kepada umat, sehingga kemudian pemahaman akan agama akan terbangun secara kokoh dan benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk dan arahan dengan apa sebuah dakwah seharusnya dimulai dalam sabdanya kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman, إنك تأتي قومًا من أهلِ الكتابِ، فادعُهم إلى شهادةِ أن لا إلهَ إلا اللهُ، وأنِّي رسولُ اللهِ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمْهم أن اللهَ افترض عليهم خمسَ صلواتٍ في كلِّ يومٍ وليلةٍ، فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن اللهَ افترض عليهم صدقةً تُؤخَذُ من أغنيائِهم فتُرَدُّ على فقرائِهم، فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائمَ أموالِهم، واتقِ دعوةَ المظلومِ، فإنها ليس بينَها وبينَ اللهِ حجابٌ “Sesungguhnya kamu akan mendatangi orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab. Maka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasul-Nya. Jika mereka menaati ajakan itu, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima salat bagi mereka setiap sehari-semalam. Jika mereka menaati perintah itu, beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan zakat, yang diambil dari harta orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Jika mereka juga menaati, dan waspadalah terhadap harta-harta mulia mereka, dan takutlah kamu terhadap tuntutan orang yang tertindas, sebab tidak ada penghalang antara dia dan Allah.” (HR. Muslim no. 19 dan Ibnu Abdul Barr dalam “Istidzkar”-nya, 7: 631) Hadis ini menjelaskan tentang prioritas dalam berdakwah, yang paling pertama dimulai dengan dakwah kepada mentauhidkan Allah, baik dalam pembahasan-pembahasan yang umum maupun rinci melalui pendidikan akidah yang benar dan penyebaran karya-karya yang menjadi sumber kredibel. Ini yang perlu digarisbawahi, karena ketika tidak ada tauhid benar yang tertanam, maka amalan sebanyak apapun dan sekeras apapun seseorang, tidak ada artinya. Dalam dakwah, tauhid harus menjadi yang diprioritaskan yang pertama dan utama. Dasar dari dakwah sendiri haruslah dimulai dari tauhid. Dalam konteks aktivitas dakwah di masyarakat, hal ini berarti: penanaman dan penguatan akidah yang sesuai dengan tuntunan yang dibawakan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diteruskan keteladanannya oleh para pengikutnya dari sahabat, tabiin, dan seterusnya. Karena inti dari Islam adalah tauhid kepada Allah, maka ketika ada dakwah yang tidak disertai seruan kepada kebenaran tauhid di dalamnya, maka bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan dakwah tersebut. Bahkan ketika dakwah yang tajuk utamanya adalah pembahasan ilmu lain dalam agama, tetaplah harus dikorelasikan dengan tauhid. Sehingga tauhid tidak menjadi sesuatu yang hanya lewat kemudian terlupakan, tapi termanifestasikan dalam ilmu lain dan kehidupan. Tahapan berdakwah yang dimulai dengan tauhid dan kemudian disusul perkara-perkara esensial lain dalam Islam ini merupakan pendekatan ideal yang sudah seharusnya kita teladani dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan menyeru umat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana para salafus saleh juga meneladani hal ini, dan senantiasa menjadikan hal utama dalam dakwah adalah tauhid. Wallahu Ta’ala a’lam. [Bersambung] Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disadur dari kitab “Ta’shil Al-Manhaj Al-Da’awiyah fii Dhau’ Al-Kitab wa Al-Sunnah wa Fahm Al-Salaf Al-Shalih” yang merupakan pembukuan dari ceramah Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh.

Sedekah Itu Bukan Hilang Uangmu, Tapi Dipinjam Allah! Ini Rahasia Balasannya

Dalam firman Allah Ta‘ālā: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik…” (QS. Al-Baqarah: 245). Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, menganggap sedekah sebagai pinjaman untuk-Nya. Bahkan seluruh amal saleh dijadikan-Nya sebagai pinjaman. Ayat ini mengandung dorongan, ajakan, dan motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam bersedekah dan beramal saleh. Ketika engkau bersedekah, engkau bukan sekadar membuang hartamu ke tangan seorang fakir miskin lalu selesai begitu saja. Tidaklah demikian! Justru itu adalah pinjaman di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, pinjaman di sisi Zat Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, Maha Suci dan Maha Terpuji Allah. Pasti Allah akan membayarnya kepadamu secara sempurna, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Adapun balasan yang cepat di dunia, yakni melalui rezeki lainnya yang Allah berikan kepadamu. “Apa saja yang kalian infakkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39). Sedangkan balasan di akhirat adalah berupa pahala dan ganjaran di sisi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā pada hari kiamat kelak. ==== فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اعْتَبَرَ الصَّدَقَةَ قَرْضًا بَلِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ كُلَّهُ جَعَلَهُ قَرْضًا وَفِي هَذَا حَثٌّ وَحَضٌّ وَتَرْغِيبٌ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ فِي الصَّدَقَاتِ وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَصَدَّقُ لَا تَرْمِي مَالَكَ فِي يَدِ فَقِيرٍ وَيَنْتَهِي الْأَمْرُ لَا بَلْ هُوَ قَرْضٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَرْضٌ عِنْدَ الْغَنِيِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَسَيُوَفِّيْكَ إِيَّاهُ عَاجِلًا وَآجِلًا أَمَّا عَاجِلًا فَبِمَا يُخْلِفُهُ عَلَيْكَ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَآجِلًا مَا يَكُونُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ عِنْدَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sedekah Itu Bukan Hilang Uangmu, Tapi Dipinjam Allah! Ini Rahasia Balasannya

Dalam firman Allah Ta‘ālā: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik…” (QS. Al-Baqarah: 245). Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, menganggap sedekah sebagai pinjaman untuk-Nya. Bahkan seluruh amal saleh dijadikan-Nya sebagai pinjaman. Ayat ini mengandung dorongan, ajakan, dan motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam bersedekah dan beramal saleh. Ketika engkau bersedekah, engkau bukan sekadar membuang hartamu ke tangan seorang fakir miskin lalu selesai begitu saja. Tidaklah demikian! Justru itu adalah pinjaman di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, pinjaman di sisi Zat Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, Maha Suci dan Maha Terpuji Allah. Pasti Allah akan membayarnya kepadamu secara sempurna, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Adapun balasan yang cepat di dunia, yakni melalui rezeki lainnya yang Allah berikan kepadamu. “Apa saja yang kalian infakkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39). Sedangkan balasan di akhirat adalah berupa pahala dan ganjaran di sisi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā pada hari kiamat kelak. ==== فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اعْتَبَرَ الصَّدَقَةَ قَرْضًا بَلِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ كُلَّهُ جَعَلَهُ قَرْضًا وَفِي هَذَا حَثٌّ وَحَضٌّ وَتَرْغِيبٌ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ فِي الصَّدَقَاتِ وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَصَدَّقُ لَا تَرْمِي مَالَكَ فِي يَدِ فَقِيرٍ وَيَنْتَهِي الْأَمْرُ لَا بَلْ هُوَ قَرْضٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَرْضٌ عِنْدَ الْغَنِيِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَسَيُوَفِّيْكَ إِيَّاهُ عَاجِلًا وَآجِلًا أَمَّا عَاجِلًا فَبِمَا يُخْلِفُهُ عَلَيْكَ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَآجِلًا مَا يَكُونُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ عِنْدَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dalam firman Allah Ta‘ālā: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik…” (QS. Al-Baqarah: 245). Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, menganggap sedekah sebagai pinjaman untuk-Nya. Bahkan seluruh amal saleh dijadikan-Nya sebagai pinjaman. Ayat ini mengandung dorongan, ajakan, dan motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam bersedekah dan beramal saleh. Ketika engkau bersedekah, engkau bukan sekadar membuang hartamu ke tangan seorang fakir miskin lalu selesai begitu saja. Tidaklah demikian! Justru itu adalah pinjaman di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, pinjaman di sisi Zat Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, Maha Suci dan Maha Terpuji Allah. Pasti Allah akan membayarnya kepadamu secara sempurna, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Adapun balasan yang cepat di dunia, yakni melalui rezeki lainnya yang Allah berikan kepadamu. “Apa saja yang kalian infakkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39). Sedangkan balasan di akhirat adalah berupa pahala dan ganjaran di sisi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā pada hari kiamat kelak. ==== فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اعْتَبَرَ الصَّدَقَةَ قَرْضًا بَلِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ كُلَّهُ جَعَلَهُ قَرْضًا وَفِي هَذَا حَثٌّ وَحَضٌّ وَتَرْغِيبٌ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ فِي الصَّدَقَاتِ وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَصَدَّقُ لَا تَرْمِي مَالَكَ فِي يَدِ فَقِيرٍ وَيَنْتَهِي الْأَمْرُ لَا بَلْ هُوَ قَرْضٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَرْضٌ عِنْدَ الْغَنِيِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَسَيُوَفِّيْكَ إِيَّاهُ عَاجِلًا وَآجِلًا أَمَّا عَاجِلًا فَبِمَا يُخْلِفُهُ عَلَيْكَ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَآجِلًا مَا يَكُونُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ عِنْدَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Dalam firman Allah Ta‘ālā: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik…” (QS. Al-Baqarah: 245). Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, menganggap sedekah sebagai pinjaman untuk-Nya. Bahkan seluruh amal saleh dijadikan-Nya sebagai pinjaman. Ayat ini mengandung dorongan, ajakan, dan motivasi untuk bersungguh-sungguh dalam bersedekah dan beramal saleh. Ketika engkau bersedekah, engkau bukan sekadar membuang hartamu ke tangan seorang fakir miskin lalu selesai begitu saja. Tidaklah demikian! Justru itu adalah pinjaman di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, pinjaman di sisi Zat Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah, Maha Suci dan Maha Terpuji Allah. Pasti Allah akan membayarnya kepadamu secara sempurna, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Adapun balasan yang cepat di dunia, yakni melalui rezeki lainnya yang Allah berikan kepadamu. “Apa saja yang kalian infakkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39). Sedangkan balasan di akhirat adalah berupa pahala dan ganjaran di sisi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā pada hari kiamat kelak. ==== فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اعْتَبَرَ الصَّدَقَةَ قَرْضًا بَلِ الْعَمَلَ الصَّالِحَ كُلَّهُ جَعَلَهُ قَرْضًا وَفِي هَذَا حَثٌّ وَحَضٌّ وَتَرْغِيبٌ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ فِي الصَّدَقَاتِ وَفِي الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَصَدَّقُ لَا تَرْمِي مَالَكَ فِي يَدِ فَقِيرٍ وَيَنْتَهِي الْأَمْرُ لَا بَلْ هُوَ قَرْضٌ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقَرْضٌ عِنْدَ الْغَنِيِّ الْكَرِيمِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَسَيُوَفِّيْكَ إِيَّاهُ عَاجِلًا وَآجِلًا أَمَّا عَاجِلًا فَبِمَا يُخْلِفُهُ عَلَيْكَ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَآجِلًا مَا يَكُونُ الْإِنْسَانُ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ عِنْدَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Prev     Next