Sudah Rajin Baca Al-Qur’an, Tapi Gagal Jadi Ahlul Qur’an? Ini Alasannya!

Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ

Sudah Rajin Baca Al-Qur’an, Tapi Gagal Jadi Ahlul Qur’an? Ini Alasannya!

Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ
Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ


Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ

Haruskah Bertobat dari Menjual Mainan dan Memusnahkan Sisa Dagangannya?

السؤال رجل أسلم، وكان له دكان يبيع فيه ألعابا للأطفال، وفيه سيارات، وكتب لا بأس بها إن شاء الله تعالى، ومع ذلك هناك ألعاب على صورة ذوات الأرواح، وسيارات تخرج الموسيقى، وألعاب في هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية، من المفهوم أنه لا يستمر في التجارة، ولكن هل له أن يبيعها، ولو بثمن رخيص؛ لأن لها ثمن كبير؟ وأن يتلفها يحصل على خسارة كبيرة في حالته المادية، وربما سيدخل في الديون؟ Pertanyaan: Ada seorang laki-laki masuk Islam, dahulu dia mempunyai toko yang menjual mainan anak-anak. Dalam toko itu ada mobil-mobilan dan buku-buku yang tidak bermasalah —insyaallah—, tetapi ada juga mainan yang berbentuk makhluk bernyawa, mobil-mobilan yang mengeluarkan suara musik, dan mainan berbentuk tokoh-tokoh kartun yang mengandung kesyirikan. Tentu dia tidak melanjutkan memperdagangkannya, tetapi bolehkah dia menjualnya, meskipun dengan harga murah; karena memang harganya mahal-mahal? Jika dia memusnahkannya, maka dia akan menderita kerugian besar dalam kondisi keuangannya yang sekarang, yang mungkin bisa membuatnya terlilit utang. الجواب الحمد لله. نحمد الله تعالى أن هداه للإسلام، ونسأله له التوفيق والثبات. ولا يجوز بيع المحرمات، ولو كان عدم بيعها يؤدي إلى الخسارة، أو تحمل الديون. وينظر للفائدة: جواب السؤال رقم:(42564)، ورقم:(40651).  وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. Jawaban: Alhamdulillah. Kami bersyukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā yang telah membimbingnya kepada agama Islam, dan kami memohon kepada-Nya agar dia diberi taufik dan keteguhan. Tidak boleh menjual barang haram, meskipun jika tidak dijual akan menimbulkan kerugian atau membuatnya terlilit utang. Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban pertanyaan nomor (42564) dan (40651). وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. روى أبو داود (4932) عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: “قَدِمَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم مِن غَزْوَةِ تَبُوكَ أو خيبر، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّت رِيحٌ، فَكَشَفَت نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَن بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ، لُعَب. فَقَالَ: مَا هَذا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَت: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَه جَنَاحَانِ مِن رِقَاعٍ. فَقَال: مَا هَذَا الذِي أَرَى وَسطَهن؟ قَالت: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذا الذي عَليه؟ قَالَت: جَنَاحَانِ. قَالَ: فَرَسٌ لَه جَناحانِ؟! قَالَت: أَمَا سَمِعتَ أَنَّ لِسُلَيمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟! قَالَت: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيتُ نَوَاجِذَه” وصححه العراقي في ” تخريج الإحياء ” (2/ 344) والألباني في “صحيح أبو داود”. Adapun yang Anda tanyakan, maka perlu ada rincian: Menjual mainan yang berbentuk makhluk bernyawa tidaklah mengapa jika dijual untuk anak-anak, karena adanya rukhsah bolehnya mainan berupa boneka, seperti yang tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Abu Daud meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Suatu hari, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, sementara di kamar Aisyah ada tirai. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan Aisyah, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Dia pun menjawab, ‘Boneka-boneka milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap.’ Lantas beliau bertanya kepada Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apa?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ Aisyah menjawab, ’Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau.” (HR. Abu Dawud no. 4934, dan dinilai sahih oleh al-ʿIrāqi dalam Takhrīj al-Iẖyāʾ (2/ 344) dan al-Albani dalam Ṣaḥiẖ Abī Dāwūd).  وروى البخاري (6130)، ومسلم (2440) عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي”. ولمسلم: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ فِي بَيْتِهِ، وَهُنَّ اللُّعَبُ”. قالَ الحافظُ ابنُ حجر رحمه الله: ” استُدلَّ بهذا الحديثِ على جوازِ اتخاذِ صورِ البناتِ واللعب، من أجلِ لَعِبِ البناتِ بهن، وخُصَّ ذلك من عمومِ النهي عن اتخاذِ الصور، وبه جزمَ عياضٌ، ونقله عن الجمهورِ، وأنهم أجازوا بيعَ اللعبِ للبناتِ لتدريبهن من صغرِهن على أمرِ بيوتهِن وأولادهن” انتهى من “فتح الباري” (10/527). Imam Bukhari (6130) dan Muslim (2440) meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Dahulu aku sering bermain boneka di sisi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk rumah, mereka bersembunyi dari beliau, lalu beliau menyuruh mereka untuk bermain bersamaku, kemudian mereka bermain denganku.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dahulu aku sering bermain boneka di rumah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Boneka-boneka itu adalah mainanku.” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini dijadikan dalil dibolehkannya memiliki boneka dan mainan agar anak-anak perempuan bisa bermain dengannya. Hal ini adalah pengecualian dari keumuman larangan menyimpan patung. ʿIyād menegaskan hal ini dan meriwayatkannya dari jumhur ulama. Mereka (jumhur ulama) juga membolehkan menjual mainan kepada anak perempuan untuk latihan mereka mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Selesai kutipan dari Fathul Bari (10/527). ومثل ذلك: لو كانت الصورة ناقصة، أي قطع منها ما لا تبقى معه الحياة؛ لأنها حينئذ لا يتعلق بها التحريم. قال ابن قدامة رحمه الله: “فإن قطع رأس الصورة, ذهبت الكراهة. قال ابن عباس: الصورة الرأس , فإذا قطع الرأس فليس بصورة. وحكي ذلك عن عكرمة. وقد روي عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتاني جبريل، فقال: أتيتك البارحة، فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على الباب فيقطع، فيصير كهيئة الشجر، ومر بالستر فلتقطع منه وسادتان منبوذتان يوطآن، ومر بالكلب فليخرج. ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم. Seperti itu pula hukumnya jika patungnya tidak sempurna bentuknya, yakni jika ada yang bagian dipotong hingga tidak tampak hidup, karena dengan begitu hukum larangannya tidak berlaku lagi padanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika kepala patung dipotong, maka hukum makruhnya (maksudnya keharamannya, pen.) hilang. Ibnu Abbas berkata bahwa (esensi) patung adalah kepala, maka jika kepala dipotong, itu bukan lagi patung (yang terlarang, pen.). Hal ini diriwayatkan dari Ikrimah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Aku mendatangimu tadi malam, tetapi tidak ada yang menghalangi masuk kecuali karena di depan pintu ada patung, ada tirai yang bergambar (makhluk bernyawa) di rumah, dan ada anjing juga. Suruhlah seseorang untuk memotong kepala patung yang ada di depan pintu itu sehingga bentuknya menjadi seperti pohon. Lalu suruhlah seseorang memotong-motong tirai tersebut untuk dijadikan dua bantal yang letakkan di lantai dan diinjak-injak, dan suruhlah seseorang mengeluarkan anjing tersebut. Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu melakukan semua itu.” (HR. Tirmidzi no. 2806) وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه، لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. وإن كان الذاهب يبقي الحيوان بعده، كالعين واليد والرجل، فهو صورة داخلة تحت النهي. وكذلك إذا كان في ابتداء التصوير صورة بدن بلا رأس، أو رأس بلا بدن، أو جعل له رأس، وسائر بدنه صورة غير حيوان: لم يدخل في النهي؛ لأن ذلك ليس بصورة حيوان ” انتهى من “المغني” (7/216). وأما بيعها ليلعب بها الكبار، فلا يجوز إذا كانت الصورة كاملة. Jika ada sesuatu yang dipotong darinya sehingga tidak tampak ada kehidupan setelah dipotong bagian itu, seperti bagian dada atau perutnya, atau kepalanya terpisah dari badannya, maka ini sudah tidak termasuk dalam larangan, karena tidak disebut lagi patung (makhluk bernyawa) setelah bagian itu hilang, sehingga hukumnya seperti terpotong kepalanya. Adapun jika bagian yang dihilangkan membuatnya tampak masih hidup, seperti jika dihilangkan mata, tangan, atau kakinya, maka itu masih termasuk patung yang terlarang. Demikian pula jika sejak awal pembuatan sudah berbentuk badan tanpa kepala, atau kepala tanpa badan, atau ada kepalanya tapi seluruh badannya bukan berupa badan makhluk bernyawa, maka tidak termasuk dalam larangan ini, karena itu bukanlah lagi patung makhluk bernyawa. Selesai kutipan dari al-Mughni (7/216). Adapun menjualnya untuk dimainkan oleh orang dewasa, maka tidak boleh jika berbentuk patung yang lengkap. 2-لا يجوز بيع ما اشتمل على الموسيقى، لحرمة سماع الموسيقى. وينظر: جواب السؤال رقم:(555).  فإن أمكن تعطيل الموسيقى منها: جاز بيعها. Tidak boleh menjual sesuatu yang mengandung musik, karena adanya larangan mendengarkan musik. Lihat jawaban pertanyaan nomor (555). Jika musiknya dapat dihilangkan, maka boleh dijual. 3-لا يجوز بيع الألعاب التي على هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية؛ لأن هذا منكر يجب إتلافه، لا بيعه. والمخرج فيما حرم بيعه: أن يرده على بائعه الأول، لعدم صحة بيع المحرم، فإن أمكن ذلك، ولو بترك بعض الثمن، فهو حسن. ولأن الإقالة فسخ للبيع القديم، وإزالة لآثاره، وليست بيعا جديدا، عند كثير من أهل العلم، أو أكثرهم. وإلا؛ فلا يجوز بيع المحرم إلا مع إتلاف هيئته المحرمة، ومن ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه. والله أعلم. Tidak diperbolehkan menjual mainan yang berbentuk tokoh kartun yang mengandung kesyirikan, karena ini adalah kemungkaran yang harus dimusnahkan, bukan dijual.  Solusi terhadap sesuatu yang haram dijual adalah dengan mengembalikannya kepada penjual pertamanya, karena jual beli barang haram tidak sah hukumnya —jika memungkinkan— meskipun dengan mengurangi sebagian harganya. Ini adalah solusi yang baik. Selain itu, karena pengembalian barang yang dibeli dan pembatalan penjualan yang telah terjadi serta konsekuensi-konsekuensi yang berlaku bukanlah akad jual beli baru menurut banyak ulama atau sebagian besar mereka. Jika tidak demikian, maka tidak boleh menjual suatu barang haram kecuali dengan menghilangkan sisi keharamannya. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan Menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/395015/حكم-بيع-البضاىع-المحرمة-الباقية-بعد-الاسلام-والتوبةPDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 346 times, 1 visit(s) today Post Views: 311 QRIS donasi Yufid

Haruskah Bertobat dari Menjual Mainan dan Memusnahkan Sisa Dagangannya?

السؤال رجل أسلم، وكان له دكان يبيع فيه ألعابا للأطفال، وفيه سيارات، وكتب لا بأس بها إن شاء الله تعالى، ومع ذلك هناك ألعاب على صورة ذوات الأرواح، وسيارات تخرج الموسيقى، وألعاب في هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية، من المفهوم أنه لا يستمر في التجارة، ولكن هل له أن يبيعها، ولو بثمن رخيص؛ لأن لها ثمن كبير؟ وأن يتلفها يحصل على خسارة كبيرة في حالته المادية، وربما سيدخل في الديون؟ Pertanyaan: Ada seorang laki-laki masuk Islam, dahulu dia mempunyai toko yang menjual mainan anak-anak. Dalam toko itu ada mobil-mobilan dan buku-buku yang tidak bermasalah —insyaallah—, tetapi ada juga mainan yang berbentuk makhluk bernyawa, mobil-mobilan yang mengeluarkan suara musik, dan mainan berbentuk tokoh-tokoh kartun yang mengandung kesyirikan. Tentu dia tidak melanjutkan memperdagangkannya, tetapi bolehkah dia menjualnya, meskipun dengan harga murah; karena memang harganya mahal-mahal? Jika dia memusnahkannya, maka dia akan menderita kerugian besar dalam kondisi keuangannya yang sekarang, yang mungkin bisa membuatnya terlilit utang. الجواب الحمد لله. نحمد الله تعالى أن هداه للإسلام، ونسأله له التوفيق والثبات. ولا يجوز بيع المحرمات، ولو كان عدم بيعها يؤدي إلى الخسارة، أو تحمل الديون. وينظر للفائدة: جواب السؤال رقم:(42564)، ورقم:(40651).  وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. Jawaban: Alhamdulillah. Kami bersyukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā yang telah membimbingnya kepada agama Islam, dan kami memohon kepada-Nya agar dia diberi taufik dan keteguhan. Tidak boleh menjual barang haram, meskipun jika tidak dijual akan menimbulkan kerugian atau membuatnya terlilit utang. Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban pertanyaan nomor (42564) dan (40651). وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. روى أبو داود (4932) عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: “قَدِمَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم مِن غَزْوَةِ تَبُوكَ أو خيبر، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّت رِيحٌ، فَكَشَفَت نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَن بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ، لُعَب. فَقَالَ: مَا هَذا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَت: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَه جَنَاحَانِ مِن رِقَاعٍ. فَقَال: مَا هَذَا الذِي أَرَى وَسطَهن؟ قَالت: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذا الذي عَليه؟ قَالَت: جَنَاحَانِ. قَالَ: فَرَسٌ لَه جَناحانِ؟! قَالَت: أَمَا سَمِعتَ أَنَّ لِسُلَيمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟! قَالَت: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيتُ نَوَاجِذَه” وصححه العراقي في ” تخريج الإحياء ” (2/ 344) والألباني في “صحيح أبو داود”. Adapun yang Anda tanyakan, maka perlu ada rincian: Menjual mainan yang berbentuk makhluk bernyawa tidaklah mengapa jika dijual untuk anak-anak, karena adanya rukhsah bolehnya mainan berupa boneka, seperti yang tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Abu Daud meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Suatu hari, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, sementara di kamar Aisyah ada tirai. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan Aisyah, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Dia pun menjawab, ‘Boneka-boneka milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap.’ Lantas beliau bertanya kepada Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apa?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ Aisyah menjawab, ’Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau.” (HR. Abu Dawud no. 4934, dan dinilai sahih oleh al-ʿIrāqi dalam Takhrīj al-Iẖyāʾ (2/ 344) dan al-Albani dalam Ṣaḥiẖ Abī Dāwūd).  وروى البخاري (6130)، ومسلم (2440) عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي”. ولمسلم: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ فِي بَيْتِهِ، وَهُنَّ اللُّعَبُ”. قالَ الحافظُ ابنُ حجر رحمه الله: ” استُدلَّ بهذا الحديثِ على جوازِ اتخاذِ صورِ البناتِ واللعب، من أجلِ لَعِبِ البناتِ بهن، وخُصَّ ذلك من عمومِ النهي عن اتخاذِ الصور، وبه جزمَ عياضٌ، ونقله عن الجمهورِ، وأنهم أجازوا بيعَ اللعبِ للبناتِ لتدريبهن من صغرِهن على أمرِ بيوتهِن وأولادهن” انتهى من “فتح الباري” (10/527). Imam Bukhari (6130) dan Muslim (2440) meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Dahulu aku sering bermain boneka di sisi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk rumah, mereka bersembunyi dari beliau, lalu beliau menyuruh mereka untuk bermain bersamaku, kemudian mereka bermain denganku.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dahulu aku sering bermain boneka di rumah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Boneka-boneka itu adalah mainanku.” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini dijadikan dalil dibolehkannya memiliki boneka dan mainan agar anak-anak perempuan bisa bermain dengannya. Hal ini adalah pengecualian dari keumuman larangan menyimpan patung. ʿIyād menegaskan hal ini dan meriwayatkannya dari jumhur ulama. Mereka (jumhur ulama) juga membolehkan menjual mainan kepada anak perempuan untuk latihan mereka mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Selesai kutipan dari Fathul Bari (10/527). ومثل ذلك: لو كانت الصورة ناقصة، أي قطع منها ما لا تبقى معه الحياة؛ لأنها حينئذ لا يتعلق بها التحريم. قال ابن قدامة رحمه الله: “فإن قطع رأس الصورة, ذهبت الكراهة. قال ابن عباس: الصورة الرأس , فإذا قطع الرأس فليس بصورة. وحكي ذلك عن عكرمة. وقد روي عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتاني جبريل، فقال: أتيتك البارحة، فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على الباب فيقطع، فيصير كهيئة الشجر، ومر بالستر فلتقطع منه وسادتان منبوذتان يوطآن، ومر بالكلب فليخرج. ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم. Seperti itu pula hukumnya jika patungnya tidak sempurna bentuknya, yakni jika ada yang bagian dipotong hingga tidak tampak hidup, karena dengan begitu hukum larangannya tidak berlaku lagi padanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika kepala patung dipotong, maka hukum makruhnya (maksudnya keharamannya, pen.) hilang. Ibnu Abbas berkata bahwa (esensi) patung adalah kepala, maka jika kepala dipotong, itu bukan lagi patung (yang terlarang, pen.). Hal ini diriwayatkan dari Ikrimah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Aku mendatangimu tadi malam, tetapi tidak ada yang menghalangi masuk kecuali karena di depan pintu ada patung, ada tirai yang bergambar (makhluk bernyawa) di rumah, dan ada anjing juga. Suruhlah seseorang untuk memotong kepala patung yang ada di depan pintu itu sehingga bentuknya menjadi seperti pohon. Lalu suruhlah seseorang memotong-motong tirai tersebut untuk dijadikan dua bantal yang letakkan di lantai dan diinjak-injak, dan suruhlah seseorang mengeluarkan anjing tersebut. Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu melakukan semua itu.” (HR. Tirmidzi no. 2806) وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه، لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. وإن كان الذاهب يبقي الحيوان بعده، كالعين واليد والرجل، فهو صورة داخلة تحت النهي. وكذلك إذا كان في ابتداء التصوير صورة بدن بلا رأس، أو رأس بلا بدن، أو جعل له رأس، وسائر بدنه صورة غير حيوان: لم يدخل في النهي؛ لأن ذلك ليس بصورة حيوان ” انتهى من “المغني” (7/216). وأما بيعها ليلعب بها الكبار، فلا يجوز إذا كانت الصورة كاملة. Jika ada sesuatu yang dipotong darinya sehingga tidak tampak ada kehidupan setelah dipotong bagian itu, seperti bagian dada atau perutnya, atau kepalanya terpisah dari badannya, maka ini sudah tidak termasuk dalam larangan, karena tidak disebut lagi patung (makhluk bernyawa) setelah bagian itu hilang, sehingga hukumnya seperti terpotong kepalanya. Adapun jika bagian yang dihilangkan membuatnya tampak masih hidup, seperti jika dihilangkan mata, tangan, atau kakinya, maka itu masih termasuk patung yang terlarang. Demikian pula jika sejak awal pembuatan sudah berbentuk badan tanpa kepala, atau kepala tanpa badan, atau ada kepalanya tapi seluruh badannya bukan berupa badan makhluk bernyawa, maka tidak termasuk dalam larangan ini, karena itu bukanlah lagi patung makhluk bernyawa. Selesai kutipan dari al-Mughni (7/216). Adapun menjualnya untuk dimainkan oleh orang dewasa, maka tidak boleh jika berbentuk patung yang lengkap. 2-لا يجوز بيع ما اشتمل على الموسيقى، لحرمة سماع الموسيقى. وينظر: جواب السؤال رقم:(555).  فإن أمكن تعطيل الموسيقى منها: جاز بيعها. Tidak boleh menjual sesuatu yang mengandung musik, karena adanya larangan mendengarkan musik. Lihat jawaban pertanyaan nomor (555). Jika musiknya dapat dihilangkan, maka boleh dijual. 3-لا يجوز بيع الألعاب التي على هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية؛ لأن هذا منكر يجب إتلافه، لا بيعه. والمخرج فيما حرم بيعه: أن يرده على بائعه الأول، لعدم صحة بيع المحرم، فإن أمكن ذلك، ولو بترك بعض الثمن، فهو حسن. ولأن الإقالة فسخ للبيع القديم، وإزالة لآثاره، وليست بيعا جديدا، عند كثير من أهل العلم، أو أكثرهم. وإلا؛ فلا يجوز بيع المحرم إلا مع إتلاف هيئته المحرمة، ومن ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه. والله أعلم. Tidak diperbolehkan menjual mainan yang berbentuk tokoh kartun yang mengandung kesyirikan, karena ini adalah kemungkaran yang harus dimusnahkan, bukan dijual.  Solusi terhadap sesuatu yang haram dijual adalah dengan mengembalikannya kepada penjual pertamanya, karena jual beli barang haram tidak sah hukumnya —jika memungkinkan— meskipun dengan mengurangi sebagian harganya. Ini adalah solusi yang baik. Selain itu, karena pengembalian barang yang dibeli dan pembatalan penjualan yang telah terjadi serta konsekuensi-konsekuensi yang berlaku bukanlah akad jual beli baru menurut banyak ulama atau sebagian besar mereka. Jika tidak demikian, maka tidak boleh menjual suatu barang haram kecuali dengan menghilangkan sisi keharamannya. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan Menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/395015/حكم-بيع-البضاىع-المحرمة-الباقية-بعد-الاسلام-والتوبةPDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 346 times, 1 visit(s) today Post Views: 311 QRIS donasi Yufid
السؤال رجل أسلم، وكان له دكان يبيع فيه ألعابا للأطفال، وفيه سيارات، وكتب لا بأس بها إن شاء الله تعالى، ومع ذلك هناك ألعاب على صورة ذوات الأرواح، وسيارات تخرج الموسيقى، وألعاب في هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية، من المفهوم أنه لا يستمر في التجارة، ولكن هل له أن يبيعها، ولو بثمن رخيص؛ لأن لها ثمن كبير؟ وأن يتلفها يحصل على خسارة كبيرة في حالته المادية، وربما سيدخل في الديون؟ Pertanyaan: Ada seorang laki-laki masuk Islam, dahulu dia mempunyai toko yang menjual mainan anak-anak. Dalam toko itu ada mobil-mobilan dan buku-buku yang tidak bermasalah —insyaallah—, tetapi ada juga mainan yang berbentuk makhluk bernyawa, mobil-mobilan yang mengeluarkan suara musik, dan mainan berbentuk tokoh-tokoh kartun yang mengandung kesyirikan. Tentu dia tidak melanjutkan memperdagangkannya, tetapi bolehkah dia menjualnya, meskipun dengan harga murah; karena memang harganya mahal-mahal? Jika dia memusnahkannya, maka dia akan menderita kerugian besar dalam kondisi keuangannya yang sekarang, yang mungkin bisa membuatnya terlilit utang. الجواب الحمد لله. نحمد الله تعالى أن هداه للإسلام، ونسأله له التوفيق والثبات. ولا يجوز بيع المحرمات، ولو كان عدم بيعها يؤدي إلى الخسارة، أو تحمل الديون. وينظر للفائدة: جواب السؤال رقم:(42564)، ورقم:(40651).  وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. Jawaban: Alhamdulillah. Kami bersyukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā yang telah membimbingnya kepada agama Islam, dan kami memohon kepada-Nya agar dia diberi taufik dan keteguhan. Tidak boleh menjual barang haram, meskipun jika tidak dijual akan menimbulkan kerugian atau membuatnya terlilit utang. Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban pertanyaan nomor (42564) dan (40651). وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. روى أبو داود (4932) عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: “قَدِمَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم مِن غَزْوَةِ تَبُوكَ أو خيبر، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّت رِيحٌ، فَكَشَفَت نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَن بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ، لُعَب. فَقَالَ: مَا هَذا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَت: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَه جَنَاحَانِ مِن رِقَاعٍ. فَقَال: مَا هَذَا الذِي أَرَى وَسطَهن؟ قَالت: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذا الذي عَليه؟ قَالَت: جَنَاحَانِ. قَالَ: فَرَسٌ لَه جَناحانِ؟! قَالَت: أَمَا سَمِعتَ أَنَّ لِسُلَيمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟! قَالَت: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيتُ نَوَاجِذَه” وصححه العراقي في ” تخريج الإحياء ” (2/ 344) والألباني في “صحيح أبو داود”. Adapun yang Anda tanyakan, maka perlu ada rincian: Menjual mainan yang berbentuk makhluk bernyawa tidaklah mengapa jika dijual untuk anak-anak, karena adanya rukhsah bolehnya mainan berupa boneka, seperti yang tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Abu Daud meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Suatu hari, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, sementara di kamar Aisyah ada tirai. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan Aisyah, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Dia pun menjawab, ‘Boneka-boneka milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap.’ Lantas beliau bertanya kepada Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apa?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ Aisyah menjawab, ’Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau.” (HR. Abu Dawud no. 4934, dan dinilai sahih oleh al-ʿIrāqi dalam Takhrīj al-Iẖyāʾ (2/ 344) dan al-Albani dalam Ṣaḥiẖ Abī Dāwūd).  وروى البخاري (6130)، ومسلم (2440) عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي”. ولمسلم: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ فِي بَيْتِهِ، وَهُنَّ اللُّعَبُ”. قالَ الحافظُ ابنُ حجر رحمه الله: ” استُدلَّ بهذا الحديثِ على جوازِ اتخاذِ صورِ البناتِ واللعب، من أجلِ لَعِبِ البناتِ بهن، وخُصَّ ذلك من عمومِ النهي عن اتخاذِ الصور، وبه جزمَ عياضٌ، ونقله عن الجمهورِ، وأنهم أجازوا بيعَ اللعبِ للبناتِ لتدريبهن من صغرِهن على أمرِ بيوتهِن وأولادهن” انتهى من “فتح الباري” (10/527). Imam Bukhari (6130) dan Muslim (2440) meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Dahulu aku sering bermain boneka di sisi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk rumah, mereka bersembunyi dari beliau, lalu beliau menyuruh mereka untuk bermain bersamaku, kemudian mereka bermain denganku.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dahulu aku sering bermain boneka di rumah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Boneka-boneka itu adalah mainanku.” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini dijadikan dalil dibolehkannya memiliki boneka dan mainan agar anak-anak perempuan bisa bermain dengannya. Hal ini adalah pengecualian dari keumuman larangan menyimpan patung. ʿIyād menegaskan hal ini dan meriwayatkannya dari jumhur ulama. Mereka (jumhur ulama) juga membolehkan menjual mainan kepada anak perempuan untuk latihan mereka mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Selesai kutipan dari Fathul Bari (10/527). ومثل ذلك: لو كانت الصورة ناقصة، أي قطع منها ما لا تبقى معه الحياة؛ لأنها حينئذ لا يتعلق بها التحريم. قال ابن قدامة رحمه الله: “فإن قطع رأس الصورة, ذهبت الكراهة. قال ابن عباس: الصورة الرأس , فإذا قطع الرأس فليس بصورة. وحكي ذلك عن عكرمة. وقد روي عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتاني جبريل، فقال: أتيتك البارحة، فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على الباب فيقطع، فيصير كهيئة الشجر، ومر بالستر فلتقطع منه وسادتان منبوذتان يوطآن، ومر بالكلب فليخرج. ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم. Seperti itu pula hukumnya jika patungnya tidak sempurna bentuknya, yakni jika ada yang bagian dipotong hingga tidak tampak hidup, karena dengan begitu hukum larangannya tidak berlaku lagi padanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika kepala patung dipotong, maka hukum makruhnya (maksudnya keharamannya, pen.) hilang. Ibnu Abbas berkata bahwa (esensi) patung adalah kepala, maka jika kepala dipotong, itu bukan lagi patung (yang terlarang, pen.). Hal ini diriwayatkan dari Ikrimah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Aku mendatangimu tadi malam, tetapi tidak ada yang menghalangi masuk kecuali karena di depan pintu ada patung, ada tirai yang bergambar (makhluk bernyawa) di rumah, dan ada anjing juga. Suruhlah seseorang untuk memotong kepala patung yang ada di depan pintu itu sehingga bentuknya menjadi seperti pohon. Lalu suruhlah seseorang memotong-motong tirai tersebut untuk dijadikan dua bantal yang letakkan di lantai dan diinjak-injak, dan suruhlah seseorang mengeluarkan anjing tersebut. Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu melakukan semua itu.” (HR. Tirmidzi no. 2806) وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه، لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. وإن كان الذاهب يبقي الحيوان بعده، كالعين واليد والرجل، فهو صورة داخلة تحت النهي. وكذلك إذا كان في ابتداء التصوير صورة بدن بلا رأس، أو رأس بلا بدن، أو جعل له رأس، وسائر بدنه صورة غير حيوان: لم يدخل في النهي؛ لأن ذلك ليس بصورة حيوان ” انتهى من “المغني” (7/216). وأما بيعها ليلعب بها الكبار، فلا يجوز إذا كانت الصورة كاملة. Jika ada sesuatu yang dipotong darinya sehingga tidak tampak ada kehidupan setelah dipotong bagian itu, seperti bagian dada atau perutnya, atau kepalanya terpisah dari badannya, maka ini sudah tidak termasuk dalam larangan, karena tidak disebut lagi patung (makhluk bernyawa) setelah bagian itu hilang, sehingga hukumnya seperti terpotong kepalanya. Adapun jika bagian yang dihilangkan membuatnya tampak masih hidup, seperti jika dihilangkan mata, tangan, atau kakinya, maka itu masih termasuk patung yang terlarang. Demikian pula jika sejak awal pembuatan sudah berbentuk badan tanpa kepala, atau kepala tanpa badan, atau ada kepalanya tapi seluruh badannya bukan berupa badan makhluk bernyawa, maka tidak termasuk dalam larangan ini, karena itu bukanlah lagi patung makhluk bernyawa. Selesai kutipan dari al-Mughni (7/216). Adapun menjualnya untuk dimainkan oleh orang dewasa, maka tidak boleh jika berbentuk patung yang lengkap. 2-لا يجوز بيع ما اشتمل على الموسيقى، لحرمة سماع الموسيقى. وينظر: جواب السؤال رقم:(555).  فإن أمكن تعطيل الموسيقى منها: جاز بيعها. Tidak boleh menjual sesuatu yang mengandung musik, karena adanya larangan mendengarkan musik. Lihat jawaban pertanyaan nomor (555). Jika musiknya dapat dihilangkan, maka boleh dijual. 3-لا يجوز بيع الألعاب التي على هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية؛ لأن هذا منكر يجب إتلافه، لا بيعه. والمخرج فيما حرم بيعه: أن يرده على بائعه الأول، لعدم صحة بيع المحرم، فإن أمكن ذلك، ولو بترك بعض الثمن، فهو حسن. ولأن الإقالة فسخ للبيع القديم، وإزالة لآثاره، وليست بيعا جديدا، عند كثير من أهل العلم، أو أكثرهم. وإلا؛ فلا يجوز بيع المحرم إلا مع إتلاف هيئته المحرمة، ومن ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه. والله أعلم. Tidak diperbolehkan menjual mainan yang berbentuk tokoh kartun yang mengandung kesyirikan, karena ini adalah kemungkaran yang harus dimusnahkan, bukan dijual.  Solusi terhadap sesuatu yang haram dijual adalah dengan mengembalikannya kepada penjual pertamanya, karena jual beli barang haram tidak sah hukumnya —jika memungkinkan— meskipun dengan mengurangi sebagian harganya. Ini adalah solusi yang baik. Selain itu, karena pengembalian barang yang dibeli dan pembatalan penjualan yang telah terjadi serta konsekuensi-konsekuensi yang berlaku bukanlah akad jual beli baru menurut banyak ulama atau sebagian besar mereka. Jika tidak demikian, maka tidak boleh menjual suatu barang haram kecuali dengan menghilangkan sisi keharamannya. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan Menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/395015/حكم-بيع-البضاىع-المحرمة-الباقية-بعد-الاسلام-والتوبةPDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 346 times, 1 visit(s) today Post Views: 311 QRIS donasi Yufid


السؤال رجل أسلم، وكان له دكان يبيع فيه ألعابا للأطفال، وفيه سيارات، وكتب لا بأس بها إن شاء الله تعالى، ومع ذلك هناك ألعاب على صورة ذوات الأرواح، وسيارات تخرج الموسيقى، وألعاب في هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية، من المفهوم أنه لا يستمر في التجارة، ولكن هل له أن يبيعها، ولو بثمن رخيص؛ لأن لها ثمن كبير؟ وأن يتلفها يحصل على خسارة كبيرة في حالته المادية، وربما سيدخل في الديون؟ Pertanyaan: Ada seorang laki-laki masuk Islam, dahulu dia mempunyai toko yang menjual mainan anak-anak. Dalam toko itu ada mobil-mobilan dan buku-buku yang tidak bermasalah —insyaallah—, tetapi ada juga mainan yang berbentuk makhluk bernyawa, mobil-mobilan yang mengeluarkan suara musik, dan mainan berbentuk tokoh-tokoh kartun yang mengandung kesyirikan. Tentu dia tidak melanjutkan memperdagangkannya, tetapi bolehkah dia menjualnya, meskipun dengan harga murah; karena memang harganya mahal-mahal? Jika dia memusnahkannya, maka dia akan menderita kerugian besar dalam kondisi keuangannya yang sekarang, yang mungkin bisa membuatnya terlilit utang. الجواب الحمد لله. نحمد الله تعالى أن هداه للإسلام، ونسأله له التوفيق والثبات. ولا يجوز بيع المحرمات، ولو كان عدم بيعها يؤدي إلى الخسارة، أو تحمل الديون. وينظر للفائدة: جواب السؤال رقم:(42564)، ورقم:(40651).  وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. Jawaban: Alhamdulillah. Kami bersyukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā yang telah membimbingnya kepada agama Islam, dan kami memohon kepada-Nya agar dia diberi taufik dan keteguhan. Tidak boleh menjual barang haram, meskipun jika tidak dijual akan menimbulkan kerugian atau membuatnya terlilit utang. Untuk tambahan faedah, silakan lihat jawaban pertanyaan nomor (42564) dan (40651). وما سألت عنه فيه تفصيل: 1-أما بيع الألعاب التي على صورة ذوات الأرواح، فلا حرج في بيعها إذا كانت للصغار؛ لثبوت الرخصة في لعب البنات كما في حديث عائشة رضي الله عنها. روى أبو داود (4932) عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: “قَدِمَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم مِن غَزْوَةِ تَبُوكَ أو خيبر، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّت رِيحٌ، فَكَشَفَت نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَن بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ، لُعَب. فَقَالَ: مَا هَذا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَت: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَه جَنَاحَانِ مِن رِقَاعٍ. فَقَال: مَا هَذَا الذِي أَرَى وَسطَهن؟ قَالت: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذا الذي عَليه؟ قَالَت: جَنَاحَانِ. قَالَ: فَرَسٌ لَه جَناحانِ؟! قَالَت: أَمَا سَمِعتَ أَنَّ لِسُلَيمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟! قَالَت: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيتُ نَوَاجِذَه” وصححه العراقي في ” تخريج الإحياء ” (2/ 344) والألباني في “صحيح أبو داود”. Adapun yang Anda tanyakan, maka perlu ada rincian: Menjual mainan yang berbentuk makhluk bernyawa tidaklah mengapa jika dijual untuk anak-anak, karena adanya rukhsah bolehnya mainan berupa boneka, seperti yang tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya—. Abu Daud meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Suatu hari, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, sementara di kamar Aisyah ada tirai. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan Aisyah, lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Dia pun menjawab, ‘Boneka-boneka milikku.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap.’ Lantas beliau bertanya kepada Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apa?’ Aisyah menjawab, ‘Boneka kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ Aisyah menjawab, ’Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau.” (HR. Abu Dawud no. 4934, dan dinilai sahih oleh al-ʿIrāqi dalam Takhrīj al-Iẖyāʾ (2/ 344) dan al-Albani dalam Ṣaḥiẖ Abī Dāwūd).  وروى البخاري (6130)، ومسلم (2440) عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي”. ولمسلم: “كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ فِي بَيْتِهِ، وَهُنَّ اللُّعَبُ”. قالَ الحافظُ ابنُ حجر رحمه الله: ” استُدلَّ بهذا الحديثِ على جوازِ اتخاذِ صورِ البناتِ واللعب، من أجلِ لَعِبِ البناتِ بهن، وخُصَّ ذلك من عمومِ النهي عن اتخاذِ الصور، وبه جزمَ عياضٌ، ونقله عن الجمهورِ، وأنهم أجازوا بيعَ اللعبِ للبناتِ لتدريبهن من صغرِهن على أمرِ بيوتهِن وأولادهن” انتهى من “فتح الباري” (10/527). Imam Bukhari (6130) dan Muslim (2440) meriwayatkan bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Dahulu aku sering bermain boneka di sisi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam masuk rumah, mereka bersembunyi dari beliau, lalu beliau menyuruh mereka untuk bermain bersamaku, kemudian mereka bermain denganku.” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dahulu aku sering bermain boneka di rumah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Boneka-boneka itu adalah mainanku.” Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis ini dijadikan dalil dibolehkannya memiliki boneka dan mainan agar anak-anak perempuan bisa bermain dengannya. Hal ini adalah pengecualian dari keumuman larangan menyimpan patung. ʿIyād menegaskan hal ini dan meriwayatkannya dari jumhur ulama. Mereka (jumhur ulama) juga membolehkan menjual mainan kepada anak perempuan untuk latihan mereka mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Selesai kutipan dari Fathul Bari (10/527). ومثل ذلك: لو كانت الصورة ناقصة، أي قطع منها ما لا تبقى معه الحياة؛ لأنها حينئذ لا يتعلق بها التحريم. قال ابن قدامة رحمه الله: “فإن قطع رأس الصورة, ذهبت الكراهة. قال ابن عباس: الصورة الرأس , فإذا قطع الرأس فليس بصورة. وحكي ذلك عن عكرمة. وقد روي عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتاني جبريل، فقال: أتيتك البارحة، فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على الباب فيقطع، فيصير كهيئة الشجر، ومر بالستر فلتقطع منه وسادتان منبوذتان يوطآن، ومر بالكلب فليخرج. ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم. Seperti itu pula hukumnya jika patungnya tidak sempurna bentuknya, yakni jika ada yang bagian dipotong hingga tidak tampak hidup, karena dengan begitu hukum larangannya tidak berlaku lagi padanya. Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika kepala patung dipotong, maka hukum makruhnya (maksudnya keharamannya, pen.) hilang. Ibnu Abbas berkata bahwa (esensi) patung adalah kepala, maka jika kepala dipotong, itu bukan lagi patung (yang terlarang, pen.). Hal ini diriwayatkan dari Ikrimah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Aku mendatangimu tadi malam, tetapi tidak ada yang menghalangi masuk kecuali karena di depan pintu ada patung, ada tirai yang bergambar (makhluk bernyawa) di rumah, dan ada anjing juga. Suruhlah seseorang untuk memotong kepala patung yang ada di depan pintu itu sehingga bentuknya menjadi seperti pohon. Lalu suruhlah seseorang memotong-motong tirai tersebut untuk dijadikan dua bantal yang letakkan di lantai dan diinjak-injak, dan suruhlah seseorang mengeluarkan anjing tersebut. Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu melakukan semua itu.” (HR. Tirmidzi no. 2806) وإن قطع منه ما لا يبقي الحيوان بعد ذهابه، كصدره أو بطنه، أو جعل له رأس منفصل عن بدنه، لم يدخل تحت النهي، لأن الصورة لا تبقي بعد ذهابه، فهو كقطع الرأس. وإن كان الذاهب يبقي الحيوان بعده، كالعين واليد والرجل، فهو صورة داخلة تحت النهي. وكذلك إذا كان في ابتداء التصوير صورة بدن بلا رأس، أو رأس بلا بدن، أو جعل له رأس، وسائر بدنه صورة غير حيوان: لم يدخل في النهي؛ لأن ذلك ليس بصورة حيوان ” انتهى من “المغني” (7/216). وأما بيعها ليلعب بها الكبار، فلا يجوز إذا كانت الصورة كاملة. Jika ada sesuatu yang dipotong darinya sehingga tidak tampak ada kehidupan setelah dipotong bagian itu, seperti bagian dada atau perutnya, atau kepalanya terpisah dari badannya, maka ini sudah tidak termasuk dalam larangan, karena tidak disebut lagi patung (makhluk bernyawa) setelah bagian itu hilang, sehingga hukumnya seperti terpotong kepalanya. Adapun jika bagian yang dihilangkan membuatnya tampak masih hidup, seperti jika dihilangkan mata, tangan, atau kakinya, maka itu masih termasuk patung yang terlarang. Demikian pula jika sejak awal pembuatan sudah berbentuk badan tanpa kepala, atau kepala tanpa badan, atau ada kepalanya tapi seluruh badannya bukan berupa badan makhluk bernyawa, maka tidak termasuk dalam larangan ini, karena itu bukanlah lagi patung makhluk bernyawa. Selesai kutipan dari al-Mughni (7/216). Adapun menjualnya untuk dimainkan oleh orang dewasa, maka tidak boleh jika berbentuk patung yang lengkap. 2-لا يجوز بيع ما اشتمل على الموسيقى، لحرمة سماع الموسيقى. وينظر: جواب السؤال رقم:(555).  فإن أمكن تعطيل الموسيقى منها: جاز بيعها. Tidak boleh menjual sesuatu yang mengandung musik, karena adanya larangan mendengarkan musik. Lihat jawaban pertanyaan nomor (555). Jika musiknya dapat dihilangkan, maka boleh dijual. 3-لا يجوز بيع الألعاب التي على هيئة بعض الأشخاص من الكرتونيات الشركية؛ لأن هذا منكر يجب إتلافه، لا بيعه. والمخرج فيما حرم بيعه: أن يرده على بائعه الأول، لعدم صحة بيع المحرم، فإن أمكن ذلك، ولو بترك بعض الثمن، فهو حسن. ولأن الإقالة فسخ للبيع القديم، وإزالة لآثاره، وليست بيعا جديدا، عند كثير من أهل العلم، أو أكثرهم. وإلا؛ فلا يجوز بيع المحرم إلا مع إتلاف هيئته المحرمة، ومن ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه. والله أعلم. Tidak diperbolehkan menjual mainan yang berbentuk tokoh kartun yang mengandung kesyirikan, karena ini adalah kemungkaran yang harus dimusnahkan, bukan dijual.  Solusi terhadap sesuatu yang haram dijual adalah dengan mengembalikannya kepada penjual pertamanya, karena jual beli barang haram tidak sah hukumnya —jika memungkinkan— meskipun dengan mengurangi sebagian harganya. Ini adalah solusi yang baik. Selain itu, karena pengembalian barang yang dibeli dan pembatalan penjualan yang telah terjadi serta konsekuensi-konsekuensi yang berlaku bukanlah akad jual beli baru menurut banyak ulama atau sebagian besar mereka. Jika tidak demikian, maka tidak boleh menjual suatu barang haram kecuali dengan menghilangkan sisi keharamannya. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan Menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Sumber: islamqa.info/ar/answers/395015/حكم-بيع-البضاىع-المحرمة-الباقية-بعد-الاسلام-والتوبةPDF Sumber Artikel. 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 346 times, 1 visit(s) today Post Views: 311 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

4 Menit yang Bikin Kamu Paham Haid: Suami, Istri, Remaja Putri Wajib Nonton

Saya punya satu permasalahan yang sangat penting yang harus kita ketahui. Jika kita memahami permasalahan ini, akan terselesaikan sebuah permasalahan besar dalam bab ini. Yakni seluruh permasalahan yang berkaitan dengan topik ini. Kita harus mengetahui bahwa kaum wanita, dalam bab al-ḥaiḍ (haid), terbagi menjadi dua jenis sifat. Jika kita memahami dua sifat ini, baik dari sisi keberadaan atau ketiadaannya, kita akan memahami letak perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Kita katakan bahwa seorang wanita dalam masalah ini terbagi dua:[1] mumayyizah (wanita yang dapat membedakan darah haid dari selainnya), [2] mu‘taadah (wanita yang memiliki kebiasaan haid tertentu). Jadi, kita memiliki pembagian dua sifat: [1] Sifat at-tamyīz (kemampuan untuk membedakan), [2] Sifat al-‘ādah (kebiasaan). Perlu dicatat, at-tamyīz di sini bukanlah tamyīz al-ahliyyah. Tamyīz al-ahliyyah berarti usia anak telah mencapai 6 atau 7 tahun. Yang dimaksud di sini adalah tamyīz yang berbeda sama sekali. Yang dimaksud dengan tamyīz dalam konteks ini adalah kemampuan wanita membedakan darah haid dari darah lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan hal ini ketika beliau bersabda: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah hitam ya’rif.” Sebagian ulama penjelas hadis mengatakan: yu’raf. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah yang hitam”, menunjukkan kepada kita bahwa tanda pertama dari tamyīz (untuk membedakan) adalah warna. Warna itu adalah kehitaman. Saya akan membahasnya sebentar lagi secara singkat. Sabda beliau: ya’rif – berasal dari al-‘arf, yaitu dari baunya. Artinya, darah haid memiliki bau yang khas. Sifat ketiga disebutkan dalam sebagian riwayat atau dalam sebagian kitab yang meriwayatkan hadis ini dengan lafal yu‘rafu (dikenali), yaitu dikenali dengan adanya rasa sakit yang menyertainya. Jadi, seorang wanita mengetahui apakah darah yang keluar darinya itu haid atau bukan haid, jika ia mampu membedakannya melalui salah satu dari tiga sifat ini: warna, bau, atau rasa sakit yang menyertainya. Bisa juga ditambah dengan sifat-sifat lain, seperti darah menggumpal, keluarnya darah dalam jumlah banyak (volume), meski sifat jumlah ini tergolong lemah. Baiklah. Bau dan rasa sakit ini tergolong sifat yang jelas. Tinggal tersisa bagi kita satu sifat lagi, yaitu warna. Kita harus mengetahuinya. Perhatikan baik-baik! Ini adalah perkara penting bagi siapa pun yang ingin memahami bab ini dengan benar. Warna-warna darah haid ada empat, ini pendapat yang masyhur. Namun sebagian ulama menjadikannya lima, sebagian menjadikannya enam, bahkan ada yang menyebutkan tujuh warna. Sebagian mereka memasukkan al-qaṣṣah (cairan putih yang keluar di akhir masa haid). Para ulama Mālikiyyah memasukkannya sebagai bagian dari darah haid. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa al-qaṣṣah merupakan tanda suci, sehingga ia bagian dari tanda kesucian, bukan haid. Jadi, warna-warna darah haid ada empat dengan urutan berikut: [1] Yang paling kuat adalah warna hitam, yaitu merah tua. [2] merah muda cerah, [3] al-kudrah (keruh), [4] aṣ-ṣufrah (kuning). Inilah empat warna darah haid. Warna hitam yang dimaksud bukanlah hitam seperti ini (yang kita pahami secara umum), tetapi yang dimaksud dengan hitam di sini adalah merah tua. Merah tua, yang tidak mengandung sedikit pun warna hitam. Sebab orang Arab biasa menyebut setiap warna gelap dengan sebutan “hitam”. Karena itu, dalam hadis Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa, ketika seorang laki-laki hitam berdiri dari tengah masjid, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang engkau berikan kepadaku.” Ternyata ia adalah Sa’ad bin ‘Ubadah. Yang dimaksud dengan “merah” adalah warna merah muda yang cerah. Warnanya merah muda. Jadi, keempat warna ini: Warna pertama lebih kuat dari yang kedua, yang kedua lebih kuat dari yang ketiga, dan yang ketiga lebih kuat dari yang keempat. Saat kita berbicara tentang “lebih kuat”. Apa maksud membedakan berdasarkan kuatnya? Maknanya, bukan berdasarkan kuantitas, tapi berdasarkan kekuatan warna. Perhatikan baik-baik! Saat kita mengatakan “berdasarkan kuatnya,” maksudnya adalah kekuatan warnanya. Bukan kuantitas. Kuantitas bukanlah ciri (tanda). Kuantitas bukanlah ciri (tanda), tetapi hanya pertimbangan yang lemah dalam penilaian. Baik. Jadi, secara ringkas kita sudah mengetahui siapa wanita mumayyizah. Wanita mumayyizah, yaitu wanita yang mampu membedakan darah yang keluar darinya, apakah itu darah haid atau bukan. Dan ia dapat membedakannya melalui salah satu dari tiga ciri yang telah kita sebutkan tadi. Jenis wanita kedua adalah wanita mu‘taadah (yang memiliki kebiasaan haid tetap). Dialah wanita yang memiliki kebiasaan haid tetap. Wanita mu‘taadah adalah wanita yang memiliki kebiasaan haid yang teratur. Ulama membagi kebiasaan ini menjadi dua jenis, meskipun ini tidak terlalu penting. Yaitu: [1] Kebiasaan berdasarkan waktu, dan [2] kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Yang penting bagi kita adalah kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Sedangkan kebiasaan waktu yakni kebiasaan waktu datangnya haid, misalnya, seorang wanita mengalami haid di minggu pertama setiap bulan. Faktor ini memang punya pengaruh, tetapi pengaruhnya lemah dalam permasalahan fikih. Namun yang penting dan yang paling banyak dijadikan dasar penerapan adalah kebiasaan berdasarkan apa? Jumlah hari. Semisal seorang wanita mengatakan, “Kebiasaan haidku tujuh hari,” “Kebiasaan haidku 6 hari…” atau “Kebiasaan haidku 5 hari…” Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. ==== عِنْدِي مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ جِدًّا يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَهَا إِذَا فَهِمْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ انْحَلَّ عِنْدَنَا إِشْكَالٌ كَبِيرٌ جِدًّا وَهِيَ كُلُّ إِشْكَالَاتِ الْبَابِ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ أَنَّ النِّسَاءَ فِي بَابِ الْحَيْضِ فِيهَا وَصْفَانِ إِذَا عَرَفْنَا هَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وُجُودُهُمَا أَوِ انْعِدَامُهُمَا عَرَفْنَا الْخِلَافَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَنَقُولُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُمَيِّزَةً أَوْ مُعْتَادَةً إِذَنْ عِنْدَنَا وَصْفَانِ وَصْفُ التَّمْيِيزِ وَوَصْفُ الْعَادَةِ طَبْعًا التَّمْيِيزُ هُنَا غَيْرُ تَمْيِيزِ أَيْش؟ الْأَهْلِيَّةِ تَمْيِيزُ الْأَهْلِيَّةِ هُوَ بُلُوغُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سَنَوَاتٍ هُنَا لَا تَمْيِيزٌ آخَرُ مُخْتَلَفٌ تَمَامًا الْمُرَادُ بِالتَّمْيِيْزِ أَنْ تُمَيِّزَ الْمَرْأَةُ دَمَ الْحَيْضِ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ دَلَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ حِينَمَا قَالَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يَعْرِفُ وَقَالَ بَعْضُ الشُّرَّاحِ يُعْرَفُ فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ أَسْوَدُ دَلَّنَا عَلَى أَنَّ أَوَّلَ عَلَامَاتِ التَّمْيِيزِ اللَّوْنُ وَهُوَ السَّوَادُ سَأَتَكَلَّمُ عَنْهُ بَعْدَ قَلِيلٍ بِسُرْعَةٍ قَوْلُهُ يَعْرِفُ مِنَ الْعَرْفِ وَهُوَ الرَّائِحَةُ أَيْ أَنَّ لَهُ رَائِحَةً الْوَصْفُ الثَّالِثُ مَا جَاءَ فِي بَعْضِ ضَبْطِ أَوْ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ ضَبْطُ هَذَا الْحَدِيثِ يُعْرَفُ أَيُّ يُعْرَفُ بِالْأَوْجَاعِ الْمُصَاحِبَةِ لَهُ إِذًا الْمَرْأَةُ تَعْرِفُ أَنَّ الدَّمَ الَّذِي خَرَجَ مِنْهَا هُوَ حَيْضٌ أَمْ لَيْسَ بِحَيْضٍ إِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً بِوَاحِدَةٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ اللَّوْنُ الرَّائِحَةُ الْأَوْجَاعُ الْمُصَاحِبَةُ فِيهِ أَوْصَافٌ أُخْرَى مِثْلُ التَّجَلُّطُ الْكَثْرَةُ الْكَثْرَةُ طَبْعًا ضَعِيْفَةٌ طَيِّبٌ الرَّائِحَةُ وَالْأَوْجَاعُ هَذِهِ وَاضِحَةٌ يَبْقَى عِنْدَنَا اللَّوْنُ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ اُنْظُرْ هُنَا مَعِي وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَضْبِطَ هَذَا الْبَابَ أَلْوَانُ دَمِ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ هِيَ الْمَشْهُورَةُ وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا خَمْسَةً وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا سِتَّةً وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا سَبْعَةً وَيُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ يُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ الْقَصَّةُ يُدْخِلُونَهَا أَيْضًا وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْقَصَّةَ عَلَامَةُ الطُّهْرِ فَهِيَ مِنَ الطُّهْرِ أَلْوَانُ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ بِهَذَا التَّرْتِيبِ أَقْوَاهَا الْأَسْوَدُ ثُمَّ الْأَحْمَرُ ثُمَّ الْكُدْرَةُ ثُمَّ الصُّفْرَةُ هَذِه أَلْوَانُ الْحَيْضِ الْأَرْبَعَةُ الْأَسْوَدُ لَيْس الْأَسْوَدَ هَذَا وَإِنَّمَا الأَسْوَدُ يَعْنِي الأَحْمَرَ الْقَانِي الْأَحْمَرُ الْقَانِي وَلَا مَا فِيهِ شَيءٌ أَسْوَدُ وَإِنَّمَا الْعَرَبُ تُسَمِّي كُلَّ غَامِقٍ أَسْوَدَ وَلِذَلِكَ فِي حَدِيثِ مُسْنَدِ أَحْمَدَ لَمَّا قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ وَسَطِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ فَإِذَا هُوَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَالْقَصْدُ بِالْأَحْمَرِ أَيْ الزُّهْرِيُّ الْفَاتِحُ لِيَكُونَ لَوْنَ الزُّهْرِيِّ إِذًا هَذِهِ الْأَلْوَانُ الْأَرْبَعَةُ الْأَوَّلُ أَقْوَى مِنَ الثَّانِي وَالثَّانِي أَقْوَى مِنَ الثَّالِثِ وَالثَّالِثُ أَقْوَى مِنَ الرَّابِعِ عِنْدَمَا نَقُولُ بِالْقُوَّةِ التَّمْيِيزُ بِالْقُوَّةِ مَا مَعْنَاهَا؟ لَيْس بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا بِاللَّوْنِ بِقُوَّةِ اللَّوْنِ انْتَبِهْ لَمَّا نَقُولُ الْقُوَّةَ نَعْنِي بِقُوَّةٍ قُوَّةَ اللَّوْنِ لَا بِالْكَثْرَةِ الكَثْرَةُ لَيْسَ عَلَامَةً لَيْس عَلَامَةً وَإِنَّمَا هِيَ عَلامَةٌ ضَعِيفَةٌ فِي التَّرْجِيحِ طَيِّبٌ إِذًا عَرَفْنَا الْمَرْأَةَ الْمُمَيِّزَةَ عَلَى اخْتِصَارٍ هِيَ الَّتِي تَسْتَطِيعُ أَنْ تُمَيِّزَ الدَّمَ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْهَا أَهُوَ دَمُ حَيْضٍ أَمْ لَيْسَ دَمَ حَيْضٍ وَتُفَرِّقُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ ذَكَرْنَاهَا قَبْلَ قَلِيلٍ النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ النِّسَاءِ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ وَالْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الَّتِي لَهَا عَادَةٌ مُنْضَبِطَةٌ طَبْعًا وَيُقَسِّمُونَ الْعَادَةَ إِلَى نَوْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مُهِمًّا عَادَةٌ فِي الزَّمَنِ وَعَادَةٌ فِي الْعَدَدِ وَالْمُهِمُّ عِنْدَنَا فِي الْعَدَدِ عَادَةُ الزَّمَنِ الَّتِي هِيَ عَادَةُ الْوَقْتِ بِأَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ يَأْتِيهَا مَثَلًا حَيْضُهَا فِي أَوَّلِ أُسْبُوعٍ مِنَ الشَّهْرِ هَذَا لَهُ أَثَرٌ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ لَكِنَّ الْمُهِمَّ عِنْدَنَا وَهُوَ أَغْلَبُ التَّطْبِيقِ عَلَيْهِ الْعَادَةُ مِنْ حَيْثُ أَيْش؟ الْعَدَدُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ عَادَتِي سَبْعَةُ أَيَّامٍ عَادَتِي سِتَّةُ أَيَّامٍ عَادَتِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ الْعَدَدُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ

4 Menit yang Bikin Kamu Paham Haid: Suami, Istri, Remaja Putri Wajib Nonton

Saya punya satu permasalahan yang sangat penting yang harus kita ketahui. Jika kita memahami permasalahan ini, akan terselesaikan sebuah permasalahan besar dalam bab ini. Yakni seluruh permasalahan yang berkaitan dengan topik ini. Kita harus mengetahui bahwa kaum wanita, dalam bab al-ḥaiḍ (haid), terbagi menjadi dua jenis sifat. Jika kita memahami dua sifat ini, baik dari sisi keberadaan atau ketiadaannya, kita akan memahami letak perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Kita katakan bahwa seorang wanita dalam masalah ini terbagi dua:[1] mumayyizah (wanita yang dapat membedakan darah haid dari selainnya), [2] mu‘taadah (wanita yang memiliki kebiasaan haid tertentu). Jadi, kita memiliki pembagian dua sifat: [1] Sifat at-tamyīz (kemampuan untuk membedakan), [2] Sifat al-‘ādah (kebiasaan). Perlu dicatat, at-tamyīz di sini bukanlah tamyīz al-ahliyyah. Tamyīz al-ahliyyah berarti usia anak telah mencapai 6 atau 7 tahun. Yang dimaksud di sini adalah tamyīz yang berbeda sama sekali. Yang dimaksud dengan tamyīz dalam konteks ini adalah kemampuan wanita membedakan darah haid dari darah lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan hal ini ketika beliau bersabda: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah hitam ya’rif.” Sebagian ulama penjelas hadis mengatakan: yu’raf. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah yang hitam”, menunjukkan kepada kita bahwa tanda pertama dari tamyīz (untuk membedakan) adalah warna. Warna itu adalah kehitaman. Saya akan membahasnya sebentar lagi secara singkat. Sabda beliau: ya’rif – berasal dari al-‘arf, yaitu dari baunya. Artinya, darah haid memiliki bau yang khas. Sifat ketiga disebutkan dalam sebagian riwayat atau dalam sebagian kitab yang meriwayatkan hadis ini dengan lafal yu‘rafu (dikenali), yaitu dikenali dengan adanya rasa sakit yang menyertainya. Jadi, seorang wanita mengetahui apakah darah yang keluar darinya itu haid atau bukan haid, jika ia mampu membedakannya melalui salah satu dari tiga sifat ini: warna, bau, atau rasa sakit yang menyertainya. Bisa juga ditambah dengan sifat-sifat lain, seperti darah menggumpal, keluarnya darah dalam jumlah banyak (volume), meski sifat jumlah ini tergolong lemah. Baiklah. Bau dan rasa sakit ini tergolong sifat yang jelas. Tinggal tersisa bagi kita satu sifat lagi, yaitu warna. Kita harus mengetahuinya. Perhatikan baik-baik! Ini adalah perkara penting bagi siapa pun yang ingin memahami bab ini dengan benar. Warna-warna darah haid ada empat, ini pendapat yang masyhur. Namun sebagian ulama menjadikannya lima, sebagian menjadikannya enam, bahkan ada yang menyebutkan tujuh warna. Sebagian mereka memasukkan al-qaṣṣah (cairan putih yang keluar di akhir masa haid). Para ulama Mālikiyyah memasukkannya sebagai bagian dari darah haid. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa al-qaṣṣah merupakan tanda suci, sehingga ia bagian dari tanda kesucian, bukan haid. Jadi, warna-warna darah haid ada empat dengan urutan berikut: [1] Yang paling kuat adalah warna hitam, yaitu merah tua. [2] merah muda cerah, [3] al-kudrah (keruh), [4] aṣ-ṣufrah (kuning). Inilah empat warna darah haid. Warna hitam yang dimaksud bukanlah hitam seperti ini (yang kita pahami secara umum), tetapi yang dimaksud dengan hitam di sini adalah merah tua. Merah tua, yang tidak mengandung sedikit pun warna hitam. Sebab orang Arab biasa menyebut setiap warna gelap dengan sebutan “hitam”. Karena itu, dalam hadis Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa, ketika seorang laki-laki hitam berdiri dari tengah masjid, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang engkau berikan kepadaku.” Ternyata ia adalah Sa’ad bin ‘Ubadah. Yang dimaksud dengan “merah” adalah warna merah muda yang cerah. Warnanya merah muda. Jadi, keempat warna ini: Warna pertama lebih kuat dari yang kedua, yang kedua lebih kuat dari yang ketiga, dan yang ketiga lebih kuat dari yang keempat. Saat kita berbicara tentang “lebih kuat”. Apa maksud membedakan berdasarkan kuatnya? Maknanya, bukan berdasarkan kuantitas, tapi berdasarkan kekuatan warna. Perhatikan baik-baik! Saat kita mengatakan “berdasarkan kuatnya,” maksudnya adalah kekuatan warnanya. Bukan kuantitas. Kuantitas bukanlah ciri (tanda). Kuantitas bukanlah ciri (tanda), tetapi hanya pertimbangan yang lemah dalam penilaian. Baik. Jadi, secara ringkas kita sudah mengetahui siapa wanita mumayyizah. Wanita mumayyizah, yaitu wanita yang mampu membedakan darah yang keluar darinya, apakah itu darah haid atau bukan. Dan ia dapat membedakannya melalui salah satu dari tiga ciri yang telah kita sebutkan tadi. Jenis wanita kedua adalah wanita mu‘taadah (yang memiliki kebiasaan haid tetap). Dialah wanita yang memiliki kebiasaan haid tetap. Wanita mu‘taadah adalah wanita yang memiliki kebiasaan haid yang teratur. Ulama membagi kebiasaan ini menjadi dua jenis, meskipun ini tidak terlalu penting. Yaitu: [1] Kebiasaan berdasarkan waktu, dan [2] kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Yang penting bagi kita adalah kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Sedangkan kebiasaan waktu yakni kebiasaan waktu datangnya haid, misalnya, seorang wanita mengalami haid di minggu pertama setiap bulan. Faktor ini memang punya pengaruh, tetapi pengaruhnya lemah dalam permasalahan fikih. Namun yang penting dan yang paling banyak dijadikan dasar penerapan adalah kebiasaan berdasarkan apa? Jumlah hari. Semisal seorang wanita mengatakan, “Kebiasaan haidku tujuh hari,” “Kebiasaan haidku 6 hari…” atau “Kebiasaan haidku 5 hari…” Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. ==== عِنْدِي مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ جِدًّا يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَهَا إِذَا فَهِمْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ انْحَلَّ عِنْدَنَا إِشْكَالٌ كَبِيرٌ جِدًّا وَهِيَ كُلُّ إِشْكَالَاتِ الْبَابِ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ أَنَّ النِّسَاءَ فِي بَابِ الْحَيْضِ فِيهَا وَصْفَانِ إِذَا عَرَفْنَا هَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وُجُودُهُمَا أَوِ انْعِدَامُهُمَا عَرَفْنَا الْخِلَافَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَنَقُولُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُمَيِّزَةً أَوْ مُعْتَادَةً إِذَنْ عِنْدَنَا وَصْفَانِ وَصْفُ التَّمْيِيزِ وَوَصْفُ الْعَادَةِ طَبْعًا التَّمْيِيزُ هُنَا غَيْرُ تَمْيِيزِ أَيْش؟ الْأَهْلِيَّةِ تَمْيِيزُ الْأَهْلِيَّةِ هُوَ بُلُوغُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سَنَوَاتٍ هُنَا لَا تَمْيِيزٌ آخَرُ مُخْتَلَفٌ تَمَامًا الْمُرَادُ بِالتَّمْيِيْزِ أَنْ تُمَيِّزَ الْمَرْأَةُ دَمَ الْحَيْضِ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ دَلَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ حِينَمَا قَالَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يَعْرِفُ وَقَالَ بَعْضُ الشُّرَّاحِ يُعْرَفُ فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ أَسْوَدُ دَلَّنَا عَلَى أَنَّ أَوَّلَ عَلَامَاتِ التَّمْيِيزِ اللَّوْنُ وَهُوَ السَّوَادُ سَأَتَكَلَّمُ عَنْهُ بَعْدَ قَلِيلٍ بِسُرْعَةٍ قَوْلُهُ يَعْرِفُ مِنَ الْعَرْفِ وَهُوَ الرَّائِحَةُ أَيْ أَنَّ لَهُ رَائِحَةً الْوَصْفُ الثَّالِثُ مَا جَاءَ فِي بَعْضِ ضَبْطِ أَوْ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ ضَبْطُ هَذَا الْحَدِيثِ يُعْرَفُ أَيُّ يُعْرَفُ بِالْأَوْجَاعِ الْمُصَاحِبَةِ لَهُ إِذًا الْمَرْأَةُ تَعْرِفُ أَنَّ الدَّمَ الَّذِي خَرَجَ مِنْهَا هُوَ حَيْضٌ أَمْ لَيْسَ بِحَيْضٍ إِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً بِوَاحِدَةٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ اللَّوْنُ الرَّائِحَةُ الْأَوْجَاعُ الْمُصَاحِبَةُ فِيهِ أَوْصَافٌ أُخْرَى مِثْلُ التَّجَلُّطُ الْكَثْرَةُ الْكَثْرَةُ طَبْعًا ضَعِيْفَةٌ طَيِّبٌ الرَّائِحَةُ وَالْأَوْجَاعُ هَذِهِ وَاضِحَةٌ يَبْقَى عِنْدَنَا اللَّوْنُ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ اُنْظُرْ هُنَا مَعِي وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَضْبِطَ هَذَا الْبَابَ أَلْوَانُ دَمِ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ هِيَ الْمَشْهُورَةُ وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا خَمْسَةً وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا سِتَّةً وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا سَبْعَةً وَيُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ يُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ الْقَصَّةُ يُدْخِلُونَهَا أَيْضًا وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْقَصَّةَ عَلَامَةُ الطُّهْرِ فَهِيَ مِنَ الطُّهْرِ أَلْوَانُ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ بِهَذَا التَّرْتِيبِ أَقْوَاهَا الْأَسْوَدُ ثُمَّ الْأَحْمَرُ ثُمَّ الْكُدْرَةُ ثُمَّ الصُّفْرَةُ هَذِه أَلْوَانُ الْحَيْضِ الْأَرْبَعَةُ الْأَسْوَدُ لَيْس الْأَسْوَدَ هَذَا وَإِنَّمَا الأَسْوَدُ يَعْنِي الأَحْمَرَ الْقَانِي الْأَحْمَرُ الْقَانِي وَلَا مَا فِيهِ شَيءٌ أَسْوَدُ وَإِنَّمَا الْعَرَبُ تُسَمِّي كُلَّ غَامِقٍ أَسْوَدَ وَلِذَلِكَ فِي حَدِيثِ مُسْنَدِ أَحْمَدَ لَمَّا قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ وَسَطِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ فَإِذَا هُوَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَالْقَصْدُ بِالْأَحْمَرِ أَيْ الزُّهْرِيُّ الْفَاتِحُ لِيَكُونَ لَوْنَ الزُّهْرِيِّ إِذًا هَذِهِ الْأَلْوَانُ الْأَرْبَعَةُ الْأَوَّلُ أَقْوَى مِنَ الثَّانِي وَالثَّانِي أَقْوَى مِنَ الثَّالِثِ وَالثَّالِثُ أَقْوَى مِنَ الرَّابِعِ عِنْدَمَا نَقُولُ بِالْقُوَّةِ التَّمْيِيزُ بِالْقُوَّةِ مَا مَعْنَاهَا؟ لَيْس بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا بِاللَّوْنِ بِقُوَّةِ اللَّوْنِ انْتَبِهْ لَمَّا نَقُولُ الْقُوَّةَ نَعْنِي بِقُوَّةٍ قُوَّةَ اللَّوْنِ لَا بِالْكَثْرَةِ الكَثْرَةُ لَيْسَ عَلَامَةً لَيْس عَلَامَةً وَإِنَّمَا هِيَ عَلامَةٌ ضَعِيفَةٌ فِي التَّرْجِيحِ طَيِّبٌ إِذًا عَرَفْنَا الْمَرْأَةَ الْمُمَيِّزَةَ عَلَى اخْتِصَارٍ هِيَ الَّتِي تَسْتَطِيعُ أَنْ تُمَيِّزَ الدَّمَ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْهَا أَهُوَ دَمُ حَيْضٍ أَمْ لَيْسَ دَمَ حَيْضٍ وَتُفَرِّقُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ ذَكَرْنَاهَا قَبْلَ قَلِيلٍ النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ النِّسَاءِ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ وَالْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الَّتِي لَهَا عَادَةٌ مُنْضَبِطَةٌ طَبْعًا وَيُقَسِّمُونَ الْعَادَةَ إِلَى نَوْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مُهِمًّا عَادَةٌ فِي الزَّمَنِ وَعَادَةٌ فِي الْعَدَدِ وَالْمُهِمُّ عِنْدَنَا فِي الْعَدَدِ عَادَةُ الزَّمَنِ الَّتِي هِيَ عَادَةُ الْوَقْتِ بِأَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ يَأْتِيهَا مَثَلًا حَيْضُهَا فِي أَوَّلِ أُسْبُوعٍ مِنَ الشَّهْرِ هَذَا لَهُ أَثَرٌ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ لَكِنَّ الْمُهِمَّ عِنْدَنَا وَهُوَ أَغْلَبُ التَّطْبِيقِ عَلَيْهِ الْعَادَةُ مِنْ حَيْثُ أَيْش؟ الْعَدَدُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ عَادَتِي سَبْعَةُ أَيَّامٍ عَادَتِي سِتَّةُ أَيَّامٍ عَادَتِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ الْعَدَدُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ
Saya punya satu permasalahan yang sangat penting yang harus kita ketahui. Jika kita memahami permasalahan ini, akan terselesaikan sebuah permasalahan besar dalam bab ini. Yakni seluruh permasalahan yang berkaitan dengan topik ini. Kita harus mengetahui bahwa kaum wanita, dalam bab al-ḥaiḍ (haid), terbagi menjadi dua jenis sifat. Jika kita memahami dua sifat ini, baik dari sisi keberadaan atau ketiadaannya, kita akan memahami letak perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Kita katakan bahwa seorang wanita dalam masalah ini terbagi dua:[1] mumayyizah (wanita yang dapat membedakan darah haid dari selainnya), [2] mu‘taadah (wanita yang memiliki kebiasaan haid tertentu). Jadi, kita memiliki pembagian dua sifat: [1] Sifat at-tamyīz (kemampuan untuk membedakan), [2] Sifat al-‘ādah (kebiasaan). Perlu dicatat, at-tamyīz di sini bukanlah tamyīz al-ahliyyah. Tamyīz al-ahliyyah berarti usia anak telah mencapai 6 atau 7 tahun. Yang dimaksud di sini adalah tamyīz yang berbeda sama sekali. Yang dimaksud dengan tamyīz dalam konteks ini adalah kemampuan wanita membedakan darah haid dari darah lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan hal ini ketika beliau bersabda: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah hitam ya’rif.” Sebagian ulama penjelas hadis mengatakan: yu’raf. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah yang hitam”, menunjukkan kepada kita bahwa tanda pertama dari tamyīz (untuk membedakan) adalah warna. Warna itu adalah kehitaman. Saya akan membahasnya sebentar lagi secara singkat. Sabda beliau: ya’rif – berasal dari al-‘arf, yaitu dari baunya. Artinya, darah haid memiliki bau yang khas. Sifat ketiga disebutkan dalam sebagian riwayat atau dalam sebagian kitab yang meriwayatkan hadis ini dengan lafal yu‘rafu (dikenali), yaitu dikenali dengan adanya rasa sakit yang menyertainya. Jadi, seorang wanita mengetahui apakah darah yang keluar darinya itu haid atau bukan haid, jika ia mampu membedakannya melalui salah satu dari tiga sifat ini: warna, bau, atau rasa sakit yang menyertainya. Bisa juga ditambah dengan sifat-sifat lain, seperti darah menggumpal, keluarnya darah dalam jumlah banyak (volume), meski sifat jumlah ini tergolong lemah. Baiklah. Bau dan rasa sakit ini tergolong sifat yang jelas. Tinggal tersisa bagi kita satu sifat lagi, yaitu warna. Kita harus mengetahuinya. Perhatikan baik-baik! Ini adalah perkara penting bagi siapa pun yang ingin memahami bab ini dengan benar. Warna-warna darah haid ada empat, ini pendapat yang masyhur. Namun sebagian ulama menjadikannya lima, sebagian menjadikannya enam, bahkan ada yang menyebutkan tujuh warna. Sebagian mereka memasukkan al-qaṣṣah (cairan putih yang keluar di akhir masa haid). Para ulama Mālikiyyah memasukkannya sebagai bagian dari darah haid. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa al-qaṣṣah merupakan tanda suci, sehingga ia bagian dari tanda kesucian, bukan haid. Jadi, warna-warna darah haid ada empat dengan urutan berikut: [1] Yang paling kuat adalah warna hitam, yaitu merah tua. [2] merah muda cerah, [3] al-kudrah (keruh), [4] aṣ-ṣufrah (kuning). Inilah empat warna darah haid. Warna hitam yang dimaksud bukanlah hitam seperti ini (yang kita pahami secara umum), tetapi yang dimaksud dengan hitam di sini adalah merah tua. Merah tua, yang tidak mengandung sedikit pun warna hitam. Sebab orang Arab biasa menyebut setiap warna gelap dengan sebutan “hitam”. Karena itu, dalam hadis Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa, ketika seorang laki-laki hitam berdiri dari tengah masjid, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang engkau berikan kepadaku.” Ternyata ia adalah Sa’ad bin ‘Ubadah. Yang dimaksud dengan “merah” adalah warna merah muda yang cerah. Warnanya merah muda. Jadi, keempat warna ini: Warna pertama lebih kuat dari yang kedua, yang kedua lebih kuat dari yang ketiga, dan yang ketiga lebih kuat dari yang keempat. Saat kita berbicara tentang “lebih kuat”. Apa maksud membedakan berdasarkan kuatnya? Maknanya, bukan berdasarkan kuantitas, tapi berdasarkan kekuatan warna. Perhatikan baik-baik! Saat kita mengatakan “berdasarkan kuatnya,” maksudnya adalah kekuatan warnanya. Bukan kuantitas. Kuantitas bukanlah ciri (tanda). Kuantitas bukanlah ciri (tanda), tetapi hanya pertimbangan yang lemah dalam penilaian. Baik. Jadi, secara ringkas kita sudah mengetahui siapa wanita mumayyizah. Wanita mumayyizah, yaitu wanita yang mampu membedakan darah yang keluar darinya, apakah itu darah haid atau bukan. Dan ia dapat membedakannya melalui salah satu dari tiga ciri yang telah kita sebutkan tadi. Jenis wanita kedua adalah wanita mu‘taadah (yang memiliki kebiasaan haid tetap). Dialah wanita yang memiliki kebiasaan haid tetap. Wanita mu‘taadah adalah wanita yang memiliki kebiasaan haid yang teratur. Ulama membagi kebiasaan ini menjadi dua jenis, meskipun ini tidak terlalu penting. Yaitu: [1] Kebiasaan berdasarkan waktu, dan [2] kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Yang penting bagi kita adalah kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Sedangkan kebiasaan waktu yakni kebiasaan waktu datangnya haid, misalnya, seorang wanita mengalami haid di minggu pertama setiap bulan. Faktor ini memang punya pengaruh, tetapi pengaruhnya lemah dalam permasalahan fikih. Namun yang penting dan yang paling banyak dijadikan dasar penerapan adalah kebiasaan berdasarkan apa? Jumlah hari. Semisal seorang wanita mengatakan, “Kebiasaan haidku tujuh hari,” “Kebiasaan haidku 6 hari…” atau “Kebiasaan haidku 5 hari…” Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. ==== عِنْدِي مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ جِدًّا يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَهَا إِذَا فَهِمْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ انْحَلَّ عِنْدَنَا إِشْكَالٌ كَبِيرٌ جِدًّا وَهِيَ كُلُّ إِشْكَالَاتِ الْبَابِ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ أَنَّ النِّسَاءَ فِي بَابِ الْحَيْضِ فِيهَا وَصْفَانِ إِذَا عَرَفْنَا هَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وُجُودُهُمَا أَوِ انْعِدَامُهُمَا عَرَفْنَا الْخِلَافَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَنَقُولُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُمَيِّزَةً أَوْ مُعْتَادَةً إِذَنْ عِنْدَنَا وَصْفَانِ وَصْفُ التَّمْيِيزِ وَوَصْفُ الْعَادَةِ طَبْعًا التَّمْيِيزُ هُنَا غَيْرُ تَمْيِيزِ أَيْش؟ الْأَهْلِيَّةِ تَمْيِيزُ الْأَهْلِيَّةِ هُوَ بُلُوغُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سَنَوَاتٍ هُنَا لَا تَمْيِيزٌ آخَرُ مُخْتَلَفٌ تَمَامًا الْمُرَادُ بِالتَّمْيِيْزِ أَنْ تُمَيِّزَ الْمَرْأَةُ دَمَ الْحَيْضِ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ دَلَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ حِينَمَا قَالَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يَعْرِفُ وَقَالَ بَعْضُ الشُّرَّاحِ يُعْرَفُ فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ أَسْوَدُ دَلَّنَا عَلَى أَنَّ أَوَّلَ عَلَامَاتِ التَّمْيِيزِ اللَّوْنُ وَهُوَ السَّوَادُ سَأَتَكَلَّمُ عَنْهُ بَعْدَ قَلِيلٍ بِسُرْعَةٍ قَوْلُهُ يَعْرِفُ مِنَ الْعَرْفِ وَهُوَ الرَّائِحَةُ أَيْ أَنَّ لَهُ رَائِحَةً الْوَصْفُ الثَّالِثُ مَا جَاءَ فِي بَعْضِ ضَبْطِ أَوْ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ ضَبْطُ هَذَا الْحَدِيثِ يُعْرَفُ أَيُّ يُعْرَفُ بِالْأَوْجَاعِ الْمُصَاحِبَةِ لَهُ إِذًا الْمَرْأَةُ تَعْرِفُ أَنَّ الدَّمَ الَّذِي خَرَجَ مِنْهَا هُوَ حَيْضٌ أَمْ لَيْسَ بِحَيْضٍ إِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً بِوَاحِدَةٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ اللَّوْنُ الرَّائِحَةُ الْأَوْجَاعُ الْمُصَاحِبَةُ فِيهِ أَوْصَافٌ أُخْرَى مِثْلُ التَّجَلُّطُ الْكَثْرَةُ الْكَثْرَةُ طَبْعًا ضَعِيْفَةٌ طَيِّبٌ الرَّائِحَةُ وَالْأَوْجَاعُ هَذِهِ وَاضِحَةٌ يَبْقَى عِنْدَنَا اللَّوْنُ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ اُنْظُرْ هُنَا مَعِي وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَضْبِطَ هَذَا الْبَابَ أَلْوَانُ دَمِ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ هِيَ الْمَشْهُورَةُ وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا خَمْسَةً وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا سِتَّةً وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا سَبْعَةً وَيُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ يُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ الْقَصَّةُ يُدْخِلُونَهَا أَيْضًا وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْقَصَّةَ عَلَامَةُ الطُّهْرِ فَهِيَ مِنَ الطُّهْرِ أَلْوَانُ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ بِهَذَا التَّرْتِيبِ أَقْوَاهَا الْأَسْوَدُ ثُمَّ الْأَحْمَرُ ثُمَّ الْكُدْرَةُ ثُمَّ الصُّفْرَةُ هَذِه أَلْوَانُ الْحَيْضِ الْأَرْبَعَةُ الْأَسْوَدُ لَيْس الْأَسْوَدَ هَذَا وَإِنَّمَا الأَسْوَدُ يَعْنِي الأَحْمَرَ الْقَانِي الْأَحْمَرُ الْقَانِي وَلَا مَا فِيهِ شَيءٌ أَسْوَدُ وَإِنَّمَا الْعَرَبُ تُسَمِّي كُلَّ غَامِقٍ أَسْوَدَ وَلِذَلِكَ فِي حَدِيثِ مُسْنَدِ أَحْمَدَ لَمَّا قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ وَسَطِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ فَإِذَا هُوَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَالْقَصْدُ بِالْأَحْمَرِ أَيْ الزُّهْرِيُّ الْفَاتِحُ لِيَكُونَ لَوْنَ الزُّهْرِيِّ إِذًا هَذِهِ الْأَلْوَانُ الْأَرْبَعَةُ الْأَوَّلُ أَقْوَى مِنَ الثَّانِي وَالثَّانِي أَقْوَى مِنَ الثَّالِثِ وَالثَّالِثُ أَقْوَى مِنَ الرَّابِعِ عِنْدَمَا نَقُولُ بِالْقُوَّةِ التَّمْيِيزُ بِالْقُوَّةِ مَا مَعْنَاهَا؟ لَيْس بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا بِاللَّوْنِ بِقُوَّةِ اللَّوْنِ انْتَبِهْ لَمَّا نَقُولُ الْقُوَّةَ نَعْنِي بِقُوَّةٍ قُوَّةَ اللَّوْنِ لَا بِالْكَثْرَةِ الكَثْرَةُ لَيْسَ عَلَامَةً لَيْس عَلَامَةً وَإِنَّمَا هِيَ عَلامَةٌ ضَعِيفَةٌ فِي التَّرْجِيحِ طَيِّبٌ إِذًا عَرَفْنَا الْمَرْأَةَ الْمُمَيِّزَةَ عَلَى اخْتِصَارٍ هِيَ الَّتِي تَسْتَطِيعُ أَنْ تُمَيِّزَ الدَّمَ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْهَا أَهُوَ دَمُ حَيْضٍ أَمْ لَيْسَ دَمَ حَيْضٍ وَتُفَرِّقُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ ذَكَرْنَاهَا قَبْلَ قَلِيلٍ النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ النِّسَاءِ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ وَالْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الَّتِي لَهَا عَادَةٌ مُنْضَبِطَةٌ طَبْعًا وَيُقَسِّمُونَ الْعَادَةَ إِلَى نَوْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مُهِمًّا عَادَةٌ فِي الزَّمَنِ وَعَادَةٌ فِي الْعَدَدِ وَالْمُهِمُّ عِنْدَنَا فِي الْعَدَدِ عَادَةُ الزَّمَنِ الَّتِي هِيَ عَادَةُ الْوَقْتِ بِأَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ يَأْتِيهَا مَثَلًا حَيْضُهَا فِي أَوَّلِ أُسْبُوعٍ مِنَ الشَّهْرِ هَذَا لَهُ أَثَرٌ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ لَكِنَّ الْمُهِمَّ عِنْدَنَا وَهُوَ أَغْلَبُ التَّطْبِيقِ عَلَيْهِ الْعَادَةُ مِنْ حَيْثُ أَيْش؟ الْعَدَدُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ عَادَتِي سَبْعَةُ أَيَّامٍ عَادَتِي سِتَّةُ أَيَّامٍ عَادَتِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ الْعَدَدُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ


Saya punya satu permasalahan yang sangat penting yang harus kita ketahui. Jika kita memahami permasalahan ini, akan terselesaikan sebuah permasalahan besar dalam bab ini. Yakni seluruh permasalahan yang berkaitan dengan topik ini. Kita harus mengetahui bahwa kaum wanita, dalam bab al-ḥaiḍ (haid), terbagi menjadi dua jenis sifat. Jika kita memahami dua sifat ini, baik dari sisi keberadaan atau ketiadaannya, kita akan memahami letak perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Kita katakan bahwa seorang wanita dalam masalah ini terbagi dua:[1] mumayyizah (wanita yang dapat membedakan darah haid dari selainnya), [2] mu‘taadah (wanita yang memiliki kebiasaan haid tertentu). Jadi, kita memiliki pembagian dua sifat: [1] Sifat at-tamyīz (kemampuan untuk membedakan), [2] Sifat al-‘ādah (kebiasaan). Perlu dicatat, at-tamyīz di sini bukanlah tamyīz al-ahliyyah. Tamyīz al-ahliyyah berarti usia anak telah mencapai 6 atau 7 tahun. Yang dimaksud di sini adalah tamyīz yang berbeda sama sekali. Yang dimaksud dengan tamyīz dalam konteks ini adalah kemampuan wanita membedakan darah haid dari darah lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan hal ini ketika beliau bersabda: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah hitam ya’rif.” Sebagian ulama penjelas hadis mengatakan: yu’raf. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya darah haid itu adalah darah yang hitam”, menunjukkan kepada kita bahwa tanda pertama dari tamyīz (untuk membedakan) adalah warna. Warna itu adalah kehitaman. Saya akan membahasnya sebentar lagi secara singkat. Sabda beliau: ya’rif – berasal dari al-‘arf, yaitu dari baunya. Artinya, darah haid memiliki bau yang khas. Sifat ketiga disebutkan dalam sebagian riwayat atau dalam sebagian kitab yang meriwayatkan hadis ini dengan lafal yu‘rafu (dikenali), yaitu dikenali dengan adanya rasa sakit yang menyertainya. Jadi, seorang wanita mengetahui apakah darah yang keluar darinya itu haid atau bukan haid, jika ia mampu membedakannya melalui salah satu dari tiga sifat ini: warna, bau, atau rasa sakit yang menyertainya. Bisa juga ditambah dengan sifat-sifat lain, seperti darah menggumpal, keluarnya darah dalam jumlah banyak (volume), meski sifat jumlah ini tergolong lemah. Baiklah. Bau dan rasa sakit ini tergolong sifat yang jelas. Tinggal tersisa bagi kita satu sifat lagi, yaitu warna. Kita harus mengetahuinya. Perhatikan baik-baik! Ini adalah perkara penting bagi siapa pun yang ingin memahami bab ini dengan benar. Warna-warna darah haid ada empat, ini pendapat yang masyhur. Namun sebagian ulama menjadikannya lima, sebagian menjadikannya enam, bahkan ada yang menyebutkan tujuh warna. Sebagian mereka memasukkan al-qaṣṣah (cairan putih yang keluar di akhir masa haid). Para ulama Mālikiyyah memasukkannya sebagai bagian dari darah haid. Namun, pendapat yang benar adalah bahwa al-qaṣṣah merupakan tanda suci, sehingga ia bagian dari tanda kesucian, bukan haid. Jadi, warna-warna darah haid ada empat dengan urutan berikut: [1] Yang paling kuat adalah warna hitam, yaitu merah tua. [2] merah muda cerah, [3] al-kudrah (keruh), [4] aṣ-ṣufrah (kuning). Inilah empat warna darah haid. Warna hitam yang dimaksud bukanlah hitam seperti ini (yang kita pahami secara umum), tetapi yang dimaksud dengan hitam di sini adalah merah tua. Merah tua, yang tidak mengandung sedikit pun warna hitam. Sebab orang Arab biasa menyebut setiap warna gelap dengan sebutan “hitam”. Karena itu, dalam hadis Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa, ketika seorang laki-laki hitam berdiri dari tengah masjid, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang engkau berikan kepadaku.” Ternyata ia adalah Sa’ad bin ‘Ubadah. Yang dimaksud dengan “merah” adalah warna merah muda yang cerah. Warnanya merah muda. Jadi, keempat warna ini: Warna pertama lebih kuat dari yang kedua, yang kedua lebih kuat dari yang ketiga, dan yang ketiga lebih kuat dari yang keempat. Saat kita berbicara tentang “lebih kuat”. Apa maksud membedakan berdasarkan kuatnya? Maknanya, bukan berdasarkan kuantitas, tapi berdasarkan kekuatan warna. Perhatikan baik-baik! Saat kita mengatakan “berdasarkan kuatnya,” maksudnya adalah kekuatan warnanya. Bukan kuantitas. Kuantitas bukanlah ciri (tanda). Kuantitas bukanlah ciri (tanda), tetapi hanya pertimbangan yang lemah dalam penilaian. Baik. Jadi, secara ringkas kita sudah mengetahui siapa wanita mumayyizah. Wanita mumayyizah, yaitu wanita yang mampu membedakan darah yang keluar darinya, apakah itu darah haid atau bukan. Dan ia dapat membedakannya melalui salah satu dari tiga ciri yang telah kita sebutkan tadi. Jenis wanita kedua adalah wanita mu‘taadah (yang memiliki kebiasaan haid tetap). Dialah wanita yang memiliki kebiasaan haid tetap. Wanita mu‘taadah adalah wanita yang memiliki kebiasaan haid yang teratur. Ulama membagi kebiasaan ini menjadi dua jenis, meskipun ini tidak terlalu penting. Yaitu: [1] Kebiasaan berdasarkan waktu, dan [2] kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Yang penting bagi kita adalah kebiasaan berdasarkan jumlah hari. Sedangkan kebiasaan waktu yakni kebiasaan waktu datangnya haid, misalnya, seorang wanita mengalami haid di minggu pertama setiap bulan. Faktor ini memang punya pengaruh, tetapi pengaruhnya lemah dalam permasalahan fikih. Namun yang penting dan yang paling banyak dijadikan dasar penerapan adalah kebiasaan berdasarkan apa? Jumlah hari. Semisal seorang wanita mengatakan, “Kebiasaan haidku tujuh hari,” “Kebiasaan haidku 6 hari…” atau “Kebiasaan haidku 5 hari…” Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. Kebiasaan dari segi jumlah hari, bukan dari segi waktu datangnya. ==== عِنْدِي مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ جِدًّا يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَهَا إِذَا فَهِمْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ انْحَلَّ عِنْدَنَا إِشْكَالٌ كَبِيرٌ جِدًّا وَهِيَ كُلُّ إِشْكَالَاتِ الْبَابِ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ أَنَّ النِّسَاءَ فِي بَابِ الْحَيْضِ فِيهَا وَصْفَانِ إِذَا عَرَفْنَا هَذَيْنِ الْوَصْفَيْنِ وُجُودُهُمَا أَوِ انْعِدَامُهُمَا عَرَفْنَا الْخِلَافَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَنَقُولُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِمَّا أَنْ تَكُونَ مُمَيِّزَةً أَوْ مُعْتَادَةً إِذَنْ عِنْدَنَا وَصْفَانِ وَصْفُ التَّمْيِيزِ وَوَصْفُ الْعَادَةِ طَبْعًا التَّمْيِيزُ هُنَا غَيْرُ تَمْيِيزِ أَيْش؟ الْأَهْلِيَّةِ تَمْيِيزُ الْأَهْلِيَّةِ هُوَ بُلُوغُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سَنَوَاتٍ هُنَا لَا تَمْيِيزٌ آخَرُ مُخْتَلَفٌ تَمَامًا الْمُرَادُ بِالتَّمْيِيْزِ أَنْ تُمَيِّزَ الْمَرْأَةُ دَمَ الْحَيْضِ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ دَلَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ حِينَمَا قَالَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يَعْرِفُ وَقَالَ بَعْضُ الشُّرَّاحِ يُعْرَفُ فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ أَسْوَدُ دَلَّنَا عَلَى أَنَّ أَوَّلَ عَلَامَاتِ التَّمْيِيزِ اللَّوْنُ وَهُوَ السَّوَادُ سَأَتَكَلَّمُ عَنْهُ بَعْدَ قَلِيلٍ بِسُرْعَةٍ قَوْلُهُ يَعْرِفُ مِنَ الْعَرْفِ وَهُوَ الرَّائِحَةُ أَيْ أَنَّ لَهُ رَائِحَةً الْوَصْفُ الثَّالِثُ مَا جَاءَ فِي بَعْضِ ضَبْطِ أَوْ فِي بَعْضِ الْكُتُبِ ضَبْطُ هَذَا الْحَدِيثِ يُعْرَفُ أَيُّ يُعْرَفُ بِالْأَوْجَاعِ الْمُصَاحِبَةِ لَهُ إِذًا الْمَرْأَةُ تَعْرِفُ أَنَّ الدَّمَ الَّذِي خَرَجَ مِنْهَا هُوَ حَيْضٌ أَمْ لَيْسَ بِحَيْضٍ إِنْ كَانَتْ مُمَيِّزَةً بِوَاحِدَةٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ اللَّوْنُ الرَّائِحَةُ الْأَوْجَاعُ الْمُصَاحِبَةُ فِيهِ أَوْصَافٌ أُخْرَى مِثْلُ التَّجَلُّطُ الْكَثْرَةُ الْكَثْرَةُ طَبْعًا ضَعِيْفَةٌ طَيِّبٌ الرَّائِحَةُ وَالْأَوْجَاعُ هَذِهِ وَاضِحَةٌ يَبْقَى عِنْدَنَا اللَّوْنُ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ اُنْظُرْ هُنَا مَعِي وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَضْبِطَ هَذَا الْبَابَ أَلْوَانُ دَمِ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ هِيَ الْمَشْهُورَةُ وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا خَمْسَةً وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهَا سِتَّةً وَبَعْضُهُم يَجْعَلُهَا سَبْعَةً وَيُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ يُدْخِلُونَ الْقَصَّةَ الْقَصَّةُ يُدْخِلُونَهَا أَيْضًا وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْقَصَّةَ عَلَامَةُ الطُّهْرِ فَهِيَ مِنَ الطُّهْرِ أَلْوَانُ الْحَيْضِ أَرْبَعَةٌ بِهَذَا التَّرْتِيبِ أَقْوَاهَا الْأَسْوَدُ ثُمَّ الْأَحْمَرُ ثُمَّ الْكُدْرَةُ ثُمَّ الصُّفْرَةُ هَذِه أَلْوَانُ الْحَيْضِ الْأَرْبَعَةُ الْأَسْوَدُ لَيْس الْأَسْوَدَ هَذَا وَإِنَّمَا الأَسْوَدُ يَعْنِي الأَحْمَرَ الْقَانِي الْأَحْمَرُ الْقَانِي وَلَا مَا فِيهِ شَيءٌ أَسْوَدُ وَإِنَّمَا الْعَرَبُ تُسَمِّي كُلَّ غَامِقٍ أَسْوَدَ وَلِذَلِكَ فِي حَدِيثِ مُسْنَدِ أَحْمَدَ لَمَّا قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ وَسَطِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ فَإِذَا هُوَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَالْقَصْدُ بِالْأَحْمَرِ أَيْ الزُّهْرِيُّ الْفَاتِحُ لِيَكُونَ لَوْنَ الزُّهْرِيِّ إِذًا هَذِهِ الْأَلْوَانُ الْأَرْبَعَةُ الْأَوَّلُ أَقْوَى مِنَ الثَّانِي وَالثَّانِي أَقْوَى مِنَ الثَّالِثِ وَالثَّالِثُ أَقْوَى مِنَ الرَّابِعِ عِنْدَمَا نَقُولُ بِالْقُوَّةِ التَّمْيِيزُ بِالْقُوَّةِ مَا مَعْنَاهَا؟ لَيْس بِالْكَثْرَةِ وَإِنَّمَا بِاللَّوْنِ بِقُوَّةِ اللَّوْنِ انْتَبِهْ لَمَّا نَقُولُ الْقُوَّةَ نَعْنِي بِقُوَّةٍ قُوَّةَ اللَّوْنِ لَا بِالْكَثْرَةِ الكَثْرَةُ لَيْسَ عَلَامَةً لَيْس عَلَامَةً وَإِنَّمَا هِيَ عَلامَةٌ ضَعِيفَةٌ فِي التَّرْجِيحِ طَيِّبٌ إِذًا عَرَفْنَا الْمَرْأَةَ الْمُمَيِّزَةَ عَلَى اخْتِصَارٍ هِيَ الَّتِي تَسْتَطِيعُ أَنْ تُمَيِّزَ الدَّمَ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْهَا أَهُوَ دَمُ حَيْضٍ أَمْ لَيْسَ دَمَ حَيْضٍ وَتُفَرِّقُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ ذَكَرْنَاهَا قَبْلَ قَلِيلٍ النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ النِّسَاءِ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ وَالْمَرْأَةُ الْمُعْتَادَةُ هِيَ الَّتِي لَهَا عَادَةٌ مُنْضَبِطَةٌ طَبْعًا وَيُقَسِّمُونَ الْعَادَةَ إِلَى نَوْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مُهِمًّا عَادَةٌ فِي الزَّمَنِ وَعَادَةٌ فِي الْعَدَدِ وَالْمُهِمُّ عِنْدَنَا فِي الْعَدَدِ عَادَةُ الزَّمَنِ الَّتِي هِيَ عَادَةُ الْوَقْتِ بِأَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ يَأْتِيهَا مَثَلًا حَيْضُهَا فِي أَوَّلِ أُسْبُوعٍ مِنَ الشَّهْرِ هَذَا لَهُ أَثَرٌ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ لَكِنَّ الْمُهِمَّ عِنْدَنَا وَهُوَ أَغْلَبُ التَّطْبِيقِ عَلَيْهِ الْعَادَةُ مِنْ حَيْثُ أَيْش؟ الْعَدَدُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ عَادَتِي سَبْعَةُ أَيَّامٍ عَادَتِي سِتَّةُ أَيَّامٍ عَادَتِي خَمْسَةُ أَيَّامٍ الْعَدَدُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ مِنْ حَيْثُ الْعَدَدُ لَا مِنْ حَيْثُ الْوَقْتُ

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan)Bay’u at-tawarruq (بيع التورق)Hukum jual beli at-tawarruqBay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan) Kita masih melanjutkan pembahasan tentang perbedaan antara jual beli kredit dengan jual beli yang lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, sudah dibahas tentang perbedaan jual beli kredit dengan jual beli al-ajil dan jual beli al-‘inah. Masih terdapat beberapa jual beli lagi yang hampir sama bentuknya dengan jual beli kredit. Di antaranya adalah, Bay’u at-tawarruq (بيع التورق) Adalah jual beli yang sistemnya hampir sama dengan jual beli kredit. Berikut ini adalah definisi dari bay’u at-tawarruq, أن يشتري السلعة بثمن مؤجل أو مقسط ثم يبيعها لآخر بثمن معجل ليحصل على النقود. “Seseorang membeli suatu barang dengan cara dicicil atau kredit, kemudian ia jual kembali barang tersebut kepada orang lain secara tunai, bertujuan agar ia memperoleh keuntungan.” [1] Sejatinya, adanya jual beli ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap uang dalam waktu yang cepat, sehingga ia tidak butuh terhadap barang tersebut. Barang itu dibeli untuk dijual kembali agar mendapatkan uang atau harta secara cepat. Gambaran sederhananya adalah sebagaimana contoh berikut ini, A membutuhkan uang, kemudian A berinisiatif untuk membeli mobil kepada B seharga seratus juta dengan cara dicicil selama satu tahun lamanya. Setelah ia mendapatkan mobilnya, ia pun menjual mobil itu kepada C dengan harga delapan puluh juta secara cash atau tunai. Sehingga A yang pada asalnya membutuhkan uang (tidak butuh dengan mobilnya), dengan melakukan jual beli ini, maka dia berhasil untuk memperoleh uang secara cepat. Walaupun ia hanya mendapatkan delapan puluh juta dan harus mencicil sebanyak seratus juta. Demikianlah gambaran sederhana dari jual beli at-tawarruq. Hukum jual beli at-tawarruq Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara pala ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Sampai-sampai, jual beli seperti ini dikategorikan oleh ‘Umar bin Abdul Aziz dengan, هُوَ أَخِيَّة الرِّبَا “Jual beli seperti ini adalah wasilah untuk menuju riba.” [2] Dikarenakan jual beli ini hampir sama dengan jual beli ‘inah jika tidak terdapat syarat-syarat yang terpenuhi. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Di antara syaratnya ialah, Pertama: Tidak ada rekayasa jual beli atau transaksi fiktif. Seperti dengan merekayasa pembeli yang kedua. Pembeli yang kedua harus benar-benar murni ingin membeli barang tersebut dan bukan suruhan dari penjual tangan pertama. Kedua: Tidak ada kesepakatan yang tersembunyi antara penjual tangan pertama dan pembeli kedua. Yakni, pembeli kedua adalah orang yang tidak mengetahui tentang akad antara penjual kedua dan pertama; juga tidak ada kesepakatan di antara mereka berdua. Ketiga: Pembeli harus benar-benar memiliki barangnya sebelum menjual kembali. Jangan sampai barang belum diterima, kemudian langsung dijual kepada pembeli kedua. Tentunya barang harus diterima terlebih dahulu dan dipastikan dengan baik kondisinya. Keempat: Pembeli pertama tidak boleh menjual barang kepada penjual dengan harga yang lebih murah dari harga ketika membelinya. Syarat-syarat ini harus terpenuhi. Jika tidak, maka ia akan terjatuh kepada jual beli ‘inah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jual beli ini hukumnya diperbolehkan oleh para ulama, tentu dengan syarat-syarat yang begitu ketat sebagaimana telah disebutkan poin-poinnya di atas. Adapun perbedaan jual beli ini dengan jual beli kredit adalah sebagaimana tabel berikut ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u at-tawarruq Bay’u at-taqsith Bay’u at-tawarruq Tujuan utama pembeli adalah membutuhkan barang yang dibelinya. Pembeli tidak membutuhkan barang, pembeli hanya membutuhkan uang. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Dibayar secara kredit; dan setelah itu barang dijual kembali ke orang lain secara tunai. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak; penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Bay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Termasuk jual beli yang hampir mirip dengan jual beli kredit adalah bay’u al-murabahah dan jual beli ini kiranya di antara bentuk jual beli yang banyak tersebar, tidak tercuali dari masyarakat muslim. Istilah lain dari jual beli ini adalah, بيع المرابحة للآمر بالشراء “Jual beli murabahah (mengambil keuntungan) berdasarkan permintaan pembeli untuk dibelikan barang.” Definisi dari jual beli ini adalah, بيع ما ملكه الإنسان برأس ماله، مع ربح محدود معلوم “Jual beli sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dengan harga modalnya, disertai keuntungan yang terbatas dan diketahui.” [3] Gambaran sederhananya sebagaimana contoh berikut ini, A ingin membeli mobil, kemudian A datang ke B mengabarkan ingin membeli mobil dengan merk tertentu. Setelah itu, B membeli mobil tersebut dengan uangnya seharga dua ratus juta secara cash. Kemudian, B menjual mobil itu kepada A seharga dua ratus dua puluh juta dengan cara kredit. Pada contoh ini, B mengambil keuntungan dua puluh juta dari penjualan mobil tersebut. Tentunya jual beli seperti ini bukan lah hal yang tabu, mengingat sudah banyak yang mempraktekkan dan melakukannya. Namun terkait dengan jual beli ini, syarat-syaratnya harus sangat ketat. Bisa dikatakan, sangat sulit jika ingin dipraktekkan pada realita yang ada. Sehingga para ulama menimbang dengan penuh kehati-hatian, mengingat pada jual beli ini bisa terjatuh kepada jual beli yang terlarang. Seperti terdapat riba padanya, bay’ul inah, menjual yang bukan miliknya, adanya dua akad dalam satu transaksi, dan lain sebagainya. Praktek jual beli ini, biasa terjadi antara nasabah dan bank. Posisi bank sebagai pembeli pertama dan penjual. Anggaplah pada contoh ini bank sebagai penjual, mengingat posisinya sebagai penjual kepada nasabah dan nasabah sebagai pembeli barang tersebut. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat pula, di antaranya: Pertama: Penjual atau pihak pemodal harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika dalam hal ini sebagai contoh adalah bank, maka bank harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika yang dijadikan objek jual beli adalah rumah, maka bank harus benar-benar memiliki rumah tersebut. Secara status kepemilikan, nama, dan seterusnya. Kedua: Kerugian dan kerusakan pada barang ditanggung pada penjual atau pihak pemodal. Sekiranya pada barang terdapat kerusakan, kerugian, dan lain sebagainya sebelum penyerahan barang kepada nasabah, maka penjual (bank) yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah atau pembeli. Dalam hal ini, bank yang bertanggung jawab dan bukan nasabah yang bertanggung jawab. Ketiga: Bank berhak untuk menawarkan harga kepada nasabah atau pembeli dan nasabah berhak mempertimbangkannya. Artinya, setelah bank membeli suatu rumah yang sesuai dengan kriteria pembeli dengan penawaran harga yang tentu lebih tinggi, maka nasabah atau pembeli berhak untuk mempertimbangkannya. Apakah tetap ingin membeli atau tidak jadi membelinya. Keempat: Tidak boleh ada dua akad dalam satu waktu. Kelima: Margin (keuntungan) harus jelas di awal disebutkan secara rinci dan tidak boleh berubah ketika akad sudah berjalan. Keenam: Tidak boleh ada denda keterlambatan, kendati denda tersebut dibungkus dengan nama-nama yang lain. Dan masih banyak lagi ketentuan dan syarat-syarat tentang bay’u al-murabahah ini. Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca fatwa MUI berikut ini: Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Tentunya sangat jelas persamaan dan perbedaan antara jual beli kredit (taqsith) dengan jual beli al-murabahah. Kesamaannya adalah pada pembayaran yang dicicil atau dengan cara kredit dan sama-sama bisa terjadi penambahan harga. Adapun letak perbedaannya sebagaimana tabel di bawah ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-murabahah Bay’u at-taqsith Bay’u al-mubarahah Jual beli dengan pembayaran yang dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Jual beli dengan penyebutan harga pokok dan keuntungan secara jelas. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Bisa dibayar secara kredit kepada pemodal atau penjual, bisa secara cash. Tergantung akad kesepakatan kedua belah pihak. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak, yaitu penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Demikian pembahasan tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan antara jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 22 Syawal 1446/ 19 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77. [2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77; dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29: 5. [3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 78

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan)Bay’u at-tawarruq (بيع التورق)Hukum jual beli at-tawarruqBay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan) Kita masih melanjutkan pembahasan tentang perbedaan antara jual beli kredit dengan jual beli yang lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, sudah dibahas tentang perbedaan jual beli kredit dengan jual beli al-ajil dan jual beli al-‘inah. Masih terdapat beberapa jual beli lagi yang hampir sama bentuknya dengan jual beli kredit. Di antaranya adalah, Bay’u at-tawarruq (بيع التورق) Adalah jual beli yang sistemnya hampir sama dengan jual beli kredit. Berikut ini adalah definisi dari bay’u at-tawarruq, أن يشتري السلعة بثمن مؤجل أو مقسط ثم يبيعها لآخر بثمن معجل ليحصل على النقود. “Seseorang membeli suatu barang dengan cara dicicil atau kredit, kemudian ia jual kembali barang tersebut kepada orang lain secara tunai, bertujuan agar ia memperoleh keuntungan.” [1] Sejatinya, adanya jual beli ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap uang dalam waktu yang cepat, sehingga ia tidak butuh terhadap barang tersebut. Barang itu dibeli untuk dijual kembali agar mendapatkan uang atau harta secara cepat. Gambaran sederhananya adalah sebagaimana contoh berikut ini, A membutuhkan uang, kemudian A berinisiatif untuk membeli mobil kepada B seharga seratus juta dengan cara dicicil selama satu tahun lamanya. Setelah ia mendapatkan mobilnya, ia pun menjual mobil itu kepada C dengan harga delapan puluh juta secara cash atau tunai. Sehingga A yang pada asalnya membutuhkan uang (tidak butuh dengan mobilnya), dengan melakukan jual beli ini, maka dia berhasil untuk memperoleh uang secara cepat. Walaupun ia hanya mendapatkan delapan puluh juta dan harus mencicil sebanyak seratus juta. Demikianlah gambaran sederhana dari jual beli at-tawarruq. Hukum jual beli at-tawarruq Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara pala ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Sampai-sampai, jual beli seperti ini dikategorikan oleh ‘Umar bin Abdul Aziz dengan, هُوَ أَخِيَّة الرِّبَا “Jual beli seperti ini adalah wasilah untuk menuju riba.” [2] Dikarenakan jual beli ini hampir sama dengan jual beli ‘inah jika tidak terdapat syarat-syarat yang terpenuhi. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Di antara syaratnya ialah, Pertama: Tidak ada rekayasa jual beli atau transaksi fiktif. Seperti dengan merekayasa pembeli yang kedua. Pembeli yang kedua harus benar-benar murni ingin membeli barang tersebut dan bukan suruhan dari penjual tangan pertama. Kedua: Tidak ada kesepakatan yang tersembunyi antara penjual tangan pertama dan pembeli kedua. Yakni, pembeli kedua adalah orang yang tidak mengetahui tentang akad antara penjual kedua dan pertama; juga tidak ada kesepakatan di antara mereka berdua. Ketiga: Pembeli harus benar-benar memiliki barangnya sebelum menjual kembali. Jangan sampai barang belum diterima, kemudian langsung dijual kepada pembeli kedua. Tentunya barang harus diterima terlebih dahulu dan dipastikan dengan baik kondisinya. Keempat: Pembeli pertama tidak boleh menjual barang kepada penjual dengan harga yang lebih murah dari harga ketika membelinya. Syarat-syarat ini harus terpenuhi. Jika tidak, maka ia akan terjatuh kepada jual beli ‘inah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jual beli ini hukumnya diperbolehkan oleh para ulama, tentu dengan syarat-syarat yang begitu ketat sebagaimana telah disebutkan poin-poinnya di atas. Adapun perbedaan jual beli ini dengan jual beli kredit adalah sebagaimana tabel berikut ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u at-tawarruq Bay’u at-taqsith Bay’u at-tawarruq Tujuan utama pembeli adalah membutuhkan barang yang dibelinya. Pembeli tidak membutuhkan barang, pembeli hanya membutuhkan uang. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Dibayar secara kredit; dan setelah itu barang dijual kembali ke orang lain secara tunai. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak; penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Bay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Termasuk jual beli yang hampir mirip dengan jual beli kredit adalah bay’u al-murabahah dan jual beli ini kiranya di antara bentuk jual beli yang banyak tersebar, tidak tercuali dari masyarakat muslim. Istilah lain dari jual beli ini adalah, بيع المرابحة للآمر بالشراء “Jual beli murabahah (mengambil keuntungan) berdasarkan permintaan pembeli untuk dibelikan barang.” Definisi dari jual beli ini adalah, بيع ما ملكه الإنسان برأس ماله، مع ربح محدود معلوم “Jual beli sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dengan harga modalnya, disertai keuntungan yang terbatas dan diketahui.” [3] Gambaran sederhananya sebagaimana contoh berikut ini, A ingin membeli mobil, kemudian A datang ke B mengabarkan ingin membeli mobil dengan merk tertentu. Setelah itu, B membeli mobil tersebut dengan uangnya seharga dua ratus juta secara cash. Kemudian, B menjual mobil itu kepada A seharga dua ratus dua puluh juta dengan cara kredit. Pada contoh ini, B mengambil keuntungan dua puluh juta dari penjualan mobil tersebut. Tentunya jual beli seperti ini bukan lah hal yang tabu, mengingat sudah banyak yang mempraktekkan dan melakukannya. Namun terkait dengan jual beli ini, syarat-syaratnya harus sangat ketat. Bisa dikatakan, sangat sulit jika ingin dipraktekkan pada realita yang ada. Sehingga para ulama menimbang dengan penuh kehati-hatian, mengingat pada jual beli ini bisa terjatuh kepada jual beli yang terlarang. Seperti terdapat riba padanya, bay’ul inah, menjual yang bukan miliknya, adanya dua akad dalam satu transaksi, dan lain sebagainya. Praktek jual beli ini, biasa terjadi antara nasabah dan bank. Posisi bank sebagai pembeli pertama dan penjual. Anggaplah pada contoh ini bank sebagai penjual, mengingat posisinya sebagai penjual kepada nasabah dan nasabah sebagai pembeli barang tersebut. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat pula, di antaranya: Pertama: Penjual atau pihak pemodal harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika dalam hal ini sebagai contoh adalah bank, maka bank harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika yang dijadikan objek jual beli adalah rumah, maka bank harus benar-benar memiliki rumah tersebut. Secara status kepemilikan, nama, dan seterusnya. Kedua: Kerugian dan kerusakan pada barang ditanggung pada penjual atau pihak pemodal. Sekiranya pada barang terdapat kerusakan, kerugian, dan lain sebagainya sebelum penyerahan barang kepada nasabah, maka penjual (bank) yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah atau pembeli. Dalam hal ini, bank yang bertanggung jawab dan bukan nasabah yang bertanggung jawab. Ketiga: Bank berhak untuk menawarkan harga kepada nasabah atau pembeli dan nasabah berhak mempertimbangkannya. Artinya, setelah bank membeli suatu rumah yang sesuai dengan kriteria pembeli dengan penawaran harga yang tentu lebih tinggi, maka nasabah atau pembeli berhak untuk mempertimbangkannya. Apakah tetap ingin membeli atau tidak jadi membelinya. Keempat: Tidak boleh ada dua akad dalam satu waktu. Kelima: Margin (keuntungan) harus jelas di awal disebutkan secara rinci dan tidak boleh berubah ketika akad sudah berjalan. Keenam: Tidak boleh ada denda keterlambatan, kendati denda tersebut dibungkus dengan nama-nama yang lain. Dan masih banyak lagi ketentuan dan syarat-syarat tentang bay’u al-murabahah ini. Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca fatwa MUI berikut ini: Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Tentunya sangat jelas persamaan dan perbedaan antara jual beli kredit (taqsith) dengan jual beli al-murabahah. Kesamaannya adalah pada pembayaran yang dicicil atau dengan cara kredit dan sama-sama bisa terjadi penambahan harga. Adapun letak perbedaannya sebagaimana tabel di bawah ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-murabahah Bay’u at-taqsith Bay’u al-mubarahah Jual beli dengan pembayaran yang dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Jual beli dengan penyebutan harga pokok dan keuntungan secara jelas. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Bisa dibayar secara kredit kepada pemodal atau penjual, bisa secara cash. Tergantung akad kesepakatan kedua belah pihak. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak, yaitu penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Demikian pembahasan tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan antara jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 22 Syawal 1446/ 19 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77. [2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77; dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29: 5. [3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 78
Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan)Bay’u at-tawarruq (بيع التورق)Hukum jual beli at-tawarruqBay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan) Kita masih melanjutkan pembahasan tentang perbedaan antara jual beli kredit dengan jual beli yang lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, sudah dibahas tentang perbedaan jual beli kredit dengan jual beli al-ajil dan jual beli al-‘inah. Masih terdapat beberapa jual beli lagi yang hampir sama bentuknya dengan jual beli kredit. Di antaranya adalah, Bay’u at-tawarruq (بيع التورق) Adalah jual beli yang sistemnya hampir sama dengan jual beli kredit. Berikut ini adalah definisi dari bay’u at-tawarruq, أن يشتري السلعة بثمن مؤجل أو مقسط ثم يبيعها لآخر بثمن معجل ليحصل على النقود. “Seseorang membeli suatu barang dengan cara dicicil atau kredit, kemudian ia jual kembali barang tersebut kepada orang lain secara tunai, bertujuan agar ia memperoleh keuntungan.” [1] Sejatinya, adanya jual beli ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap uang dalam waktu yang cepat, sehingga ia tidak butuh terhadap barang tersebut. Barang itu dibeli untuk dijual kembali agar mendapatkan uang atau harta secara cepat. Gambaran sederhananya adalah sebagaimana contoh berikut ini, A membutuhkan uang, kemudian A berinisiatif untuk membeli mobil kepada B seharga seratus juta dengan cara dicicil selama satu tahun lamanya. Setelah ia mendapatkan mobilnya, ia pun menjual mobil itu kepada C dengan harga delapan puluh juta secara cash atau tunai. Sehingga A yang pada asalnya membutuhkan uang (tidak butuh dengan mobilnya), dengan melakukan jual beli ini, maka dia berhasil untuk memperoleh uang secara cepat. Walaupun ia hanya mendapatkan delapan puluh juta dan harus mencicil sebanyak seratus juta. Demikianlah gambaran sederhana dari jual beli at-tawarruq. Hukum jual beli at-tawarruq Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara pala ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Sampai-sampai, jual beli seperti ini dikategorikan oleh ‘Umar bin Abdul Aziz dengan, هُوَ أَخِيَّة الرِّبَا “Jual beli seperti ini adalah wasilah untuk menuju riba.” [2] Dikarenakan jual beli ini hampir sama dengan jual beli ‘inah jika tidak terdapat syarat-syarat yang terpenuhi. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Di antara syaratnya ialah, Pertama: Tidak ada rekayasa jual beli atau transaksi fiktif. Seperti dengan merekayasa pembeli yang kedua. Pembeli yang kedua harus benar-benar murni ingin membeli barang tersebut dan bukan suruhan dari penjual tangan pertama. Kedua: Tidak ada kesepakatan yang tersembunyi antara penjual tangan pertama dan pembeli kedua. Yakni, pembeli kedua adalah orang yang tidak mengetahui tentang akad antara penjual kedua dan pertama; juga tidak ada kesepakatan di antara mereka berdua. Ketiga: Pembeli harus benar-benar memiliki barangnya sebelum menjual kembali. Jangan sampai barang belum diterima, kemudian langsung dijual kepada pembeli kedua. Tentunya barang harus diterima terlebih dahulu dan dipastikan dengan baik kondisinya. Keempat: Pembeli pertama tidak boleh menjual barang kepada penjual dengan harga yang lebih murah dari harga ketika membelinya. Syarat-syarat ini harus terpenuhi. Jika tidak, maka ia akan terjatuh kepada jual beli ‘inah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jual beli ini hukumnya diperbolehkan oleh para ulama, tentu dengan syarat-syarat yang begitu ketat sebagaimana telah disebutkan poin-poinnya di atas. Adapun perbedaan jual beli ini dengan jual beli kredit adalah sebagaimana tabel berikut ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u at-tawarruq Bay’u at-taqsith Bay’u at-tawarruq Tujuan utama pembeli adalah membutuhkan barang yang dibelinya. Pembeli tidak membutuhkan barang, pembeli hanya membutuhkan uang. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Dibayar secara kredit; dan setelah itu barang dijual kembali ke orang lain secara tunai. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak; penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Bay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Termasuk jual beli yang hampir mirip dengan jual beli kredit adalah bay’u al-murabahah dan jual beli ini kiranya di antara bentuk jual beli yang banyak tersebar, tidak tercuali dari masyarakat muslim. Istilah lain dari jual beli ini adalah, بيع المرابحة للآمر بالشراء “Jual beli murabahah (mengambil keuntungan) berdasarkan permintaan pembeli untuk dibelikan barang.” Definisi dari jual beli ini adalah, بيع ما ملكه الإنسان برأس ماله، مع ربح محدود معلوم “Jual beli sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dengan harga modalnya, disertai keuntungan yang terbatas dan diketahui.” [3] Gambaran sederhananya sebagaimana contoh berikut ini, A ingin membeli mobil, kemudian A datang ke B mengabarkan ingin membeli mobil dengan merk tertentu. Setelah itu, B membeli mobil tersebut dengan uangnya seharga dua ratus juta secara cash. Kemudian, B menjual mobil itu kepada A seharga dua ratus dua puluh juta dengan cara kredit. Pada contoh ini, B mengambil keuntungan dua puluh juta dari penjualan mobil tersebut. Tentunya jual beli seperti ini bukan lah hal yang tabu, mengingat sudah banyak yang mempraktekkan dan melakukannya. Namun terkait dengan jual beli ini, syarat-syaratnya harus sangat ketat. Bisa dikatakan, sangat sulit jika ingin dipraktekkan pada realita yang ada. Sehingga para ulama menimbang dengan penuh kehati-hatian, mengingat pada jual beli ini bisa terjatuh kepada jual beli yang terlarang. Seperti terdapat riba padanya, bay’ul inah, menjual yang bukan miliknya, adanya dua akad dalam satu transaksi, dan lain sebagainya. Praktek jual beli ini, biasa terjadi antara nasabah dan bank. Posisi bank sebagai pembeli pertama dan penjual. Anggaplah pada contoh ini bank sebagai penjual, mengingat posisinya sebagai penjual kepada nasabah dan nasabah sebagai pembeli barang tersebut. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat pula, di antaranya: Pertama: Penjual atau pihak pemodal harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika dalam hal ini sebagai contoh adalah bank, maka bank harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika yang dijadikan objek jual beli adalah rumah, maka bank harus benar-benar memiliki rumah tersebut. Secara status kepemilikan, nama, dan seterusnya. Kedua: Kerugian dan kerusakan pada barang ditanggung pada penjual atau pihak pemodal. Sekiranya pada barang terdapat kerusakan, kerugian, dan lain sebagainya sebelum penyerahan barang kepada nasabah, maka penjual (bank) yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah atau pembeli. Dalam hal ini, bank yang bertanggung jawab dan bukan nasabah yang bertanggung jawab. Ketiga: Bank berhak untuk menawarkan harga kepada nasabah atau pembeli dan nasabah berhak mempertimbangkannya. Artinya, setelah bank membeli suatu rumah yang sesuai dengan kriteria pembeli dengan penawaran harga yang tentu lebih tinggi, maka nasabah atau pembeli berhak untuk mempertimbangkannya. Apakah tetap ingin membeli atau tidak jadi membelinya. Keempat: Tidak boleh ada dua akad dalam satu waktu. Kelima: Margin (keuntungan) harus jelas di awal disebutkan secara rinci dan tidak boleh berubah ketika akad sudah berjalan. Keenam: Tidak boleh ada denda keterlambatan, kendati denda tersebut dibungkus dengan nama-nama yang lain. Dan masih banyak lagi ketentuan dan syarat-syarat tentang bay’u al-murabahah ini. Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca fatwa MUI berikut ini: Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Tentunya sangat jelas persamaan dan perbedaan antara jual beli kredit (taqsith) dengan jual beli al-murabahah. Kesamaannya adalah pada pembayaran yang dicicil atau dengan cara kredit dan sama-sama bisa terjadi penambahan harga. Adapun letak perbedaannya sebagaimana tabel di bawah ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-murabahah Bay’u at-taqsith Bay’u al-mubarahah Jual beli dengan pembayaran yang dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Jual beli dengan penyebutan harga pokok dan keuntungan secara jelas. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Bisa dibayar secara kredit kepada pemodal atau penjual, bisa secara cash. Tergantung akad kesepakatan kedua belah pihak. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak, yaitu penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Demikian pembahasan tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan antara jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 22 Syawal 1446/ 19 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77. [2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77; dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29: 5. [3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 78


Daftar Isi Toggle Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan)Bay’u at-tawarruq (بيع التورق)Hukum jual beli at-tawarruqBay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Perbedaan jual beli kredit dengan jual beli lainnya (lanjutan) Kita masih melanjutkan pembahasan tentang perbedaan antara jual beli kredit dengan jual beli yang lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, sudah dibahas tentang perbedaan jual beli kredit dengan jual beli al-ajil dan jual beli al-‘inah. Masih terdapat beberapa jual beli lagi yang hampir sama bentuknya dengan jual beli kredit. Di antaranya adalah, Bay’u at-tawarruq (بيع التورق) Adalah jual beli yang sistemnya hampir sama dengan jual beli kredit. Berikut ini adalah definisi dari bay’u at-tawarruq, أن يشتري السلعة بثمن مؤجل أو مقسط ثم يبيعها لآخر بثمن معجل ليحصل على النقود. “Seseorang membeli suatu barang dengan cara dicicil atau kredit, kemudian ia jual kembali barang tersebut kepada orang lain secara tunai, bertujuan agar ia memperoleh keuntungan.” [1] Sejatinya, adanya jual beli ini disebabkan oleh kebutuhan terhadap uang dalam waktu yang cepat, sehingga ia tidak butuh terhadap barang tersebut. Barang itu dibeli untuk dijual kembali agar mendapatkan uang atau harta secara cepat. Gambaran sederhananya adalah sebagaimana contoh berikut ini, A membutuhkan uang, kemudian A berinisiatif untuk membeli mobil kepada B seharga seratus juta dengan cara dicicil selama satu tahun lamanya. Setelah ia mendapatkan mobilnya, ia pun menjual mobil itu kepada C dengan harga delapan puluh juta secara cash atau tunai. Sehingga A yang pada asalnya membutuhkan uang (tidak butuh dengan mobilnya), dengan melakukan jual beli ini, maka dia berhasil untuk memperoleh uang secara cepat. Walaupun ia hanya mendapatkan delapan puluh juta dan harus mencicil sebanyak seratus juta. Demikianlah gambaran sederhana dari jual beli at-tawarruq. Hukum jual beli at-tawarruq Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara pala ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Sampai-sampai, jual beli seperti ini dikategorikan oleh ‘Umar bin Abdul Aziz dengan, هُوَ أَخِيَّة الرِّبَا “Jual beli seperti ini adalah wasilah untuk menuju riba.” [2] Dikarenakan jual beli ini hampir sama dengan jual beli ‘inah jika tidak terdapat syarat-syarat yang terpenuhi. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Di antara syaratnya ialah, Pertama: Tidak ada rekayasa jual beli atau transaksi fiktif. Seperti dengan merekayasa pembeli yang kedua. Pembeli yang kedua harus benar-benar murni ingin membeli barang tersebut dan bukan suruhan dari penjual tangan pertama. Kedua: Tidak ada kesepakatan yang tersembunyi antara penjual tangan pertama dan pembeli kedua. Yakni, pembeli kedua adalah orang yang tidak mengetahui tentang akad antara penjual kedua dan pertama; juga tidak ada kesepakatan di antara mereka berdua. Ketiga: Pembeli harus benar-benar memiliki barangnya sebelum menjual kembali. Jangan sampai barang belum diterima, kemudian langsung dijual kepada pembeli kedua. Tentunya barang harus diterima terlebih dahulu dan dipastikan dengan baik kondisinya. Keempat: Pembeli pertama tidak boleh menjual barang kepada penjual dengan harga yang lebih murah dari harga ketika membelinya. Syarat-syarat ini harus terpenuhi. Jika tidak, maka ia akan terjatuh kepada jual beli ‘inah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jual beli ini hukumnya diperbolehkan oleh para ulama, tentu dengan syarat-syarat yang begitu ketat sebagaimana telah disebutkan poin-poinnya di atas. Adapun perbedaan jual beli ini dengan jual beli kredit adalah sebagaimana tabel berikut ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u at-tawarruq Bay’u at-taqsith Bay’u at-tawarruq Tujuan utama pembeli adalah membutuhkan barang yang dibelinya. Pembeli tidak membutuhkan barang, pembeli hanya membutuhkan uang. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Dibayar secara kredit; dan setelah itu barang dijual kembali ke orang lain secara tunai. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak; penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Bay’u al-murabahah ( بيع المرابحة) Termasuk jual beli yang hampir mirip dengan jual beli kredit adalah bay’u al-murabahah dan jual beli ini kiranya di antara bentuk jual beli yang banyak tersebar, tidak tercuali dari masyarakat muslim. Istilah lain dari jual beli ini adalah, بيع المرابحة للآمر بالشراء “Jual beli murabahah (mengambil keuntungan) berdasarkan permintaan pembeli untuk dibelikan barang.” Definisi dari jual beli ini adalah, بيع ما ملكه الإنسان برأس ماله، مع ربح محدود معلوم “Jual beli sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dengan harga modalnya, disertai keuntungan yang terbatas dan diketahui.” [3] Gambaran sederhananya sebagaimana contoh berikut ini, A ingin membeli mobil, kemudian A datang ke B mengabarkan ingin membeli mobil dengan merk tertentu. Setelah itu, B membeli mobil tersebut dengan uangnya seharga dua ratus juta secara cash. Kemudian, B menjual mobil itu kepada A seharga dua ratus dua puluh juta dengan cara kredit. Pada contoh ini, B mengambil keuntungan dua puluh juta dari penjualan mobil tersebut. Tentunya jual beli seperti ini bukan lah hal yang tabu, mengingat sudah banyak yang mempraktekkan dan melakukannya. Namun terkait dengan jual beli ini, syarat-syaratnya harus sangat ketat. Bisa dikatakan, sangat sulit jika ingin dipraktekkan pada realita yang ada. Sehingga para ulama menimbang dengan penuh kehati-hatian, mengingat pada jual beli ini bisa terjatuh kepada jual beli yang terlarang. Seperti terdapat riba padanya, bay’ul inah, menjual yang bukan miliknya, adanya dua akad dalam satu transaksi, dan lain sebagainya. Praktek jual beli ini, biasa terjadi antara nasabah dan bank. Posisi bank sebagai pembeli pertama dan penjual. Anggaplah pada contoh ini bank sebagai penjual, mengingat posisinya sebagai penjual kepada nasabah dan nasabah sebagai pembeli barang tersebut. Para ulama yang membolehkan jual beli ini memberikan syarat-syarat yang sangat ketat pula, di antaranya: Pertama: Penjual atau pihak pemodal harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika dalam hal ini sebagai contoh adalah bank, maka bank harus benar-benar memiliki barang tersebut. Jika yang dijadikan objek jual beli adalah rumah, maka bank harus benar-benar memiliki rumah tersebut. Secara status kepemilikan, nama, dan seterusnya. Kedua: Kerugian dan kerusakan pada barang ditanggung pada penjual atau pihak pemodal. Sekiranya pada barang terdapat kerusakan, kerugian, dan lain sebagainya sebelum penyerahan barang kepada nasabah, maka penjual (bank) yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah atau pembeli. Dalam hal ini, bank yang bertanggung jawab dan bukan nasabah yang bertanggung jawab. Ketiga: Bank berhak untuk menawarkan harga kepada nasabah atau pembeli dan nasabah berhak mempertimbangkannya. Artinya, setelah bank membeli suatu rumah yang sesuai dengan kriteria pembeli dengan penawaran harga yang tentu lebih tinggi, maka nasabah atau pembeli berhak untuk mempertimbangkannya. Apakah tetap ingin membeli atau tidak jadi membelinya. Keempat: Tidak boleh ada dua akad dalam satu waktu. Kelima: Margin (keuntungan) harus jelas di awal disebutkan secara rinci dan tidak boleh berubah ketika akad sudah berjalan. Keenam: Tidak boleh ada denda keterlambatan, kendati denda tersebut dibungkus dengan nama-nama yang lain. Dan masih banyak lagi ketentuan dan syarat-syarat tentang bay’u al-murabahah ini. Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca fatwa MUI berikut ini: Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Tentunya sangat jelas persamaan dan perbedaan antara jual beli kredit (taqsith) dengan jual beli al-murabahah. Kesamaannya adalah pada pembayaran yang dicicil atau dengan cara kredit dan sama-sama bisa terjadi penambahan harga. Adapun letak perbedaannya sebagaimana tabel di bawah ini, Perbedaan antara bay’u at-taqsith dan bay’u al-murabahah Bay’u at-taqsith Bay’u al-mubarahah Jual beli dengan pembayaran yang dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Jual beli dengan penyebutan harga pokok dan keuntungan secara jelas. Dibayar dengan cara kredit, tanpa ada transaksi lagi setelah itu. Bisa dibayar secara kredit kepada pemodal atau penjual, bisa secara cash. Tergantung akad kesepakatan kedua belah pihak. Hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli (kredit). Melibatkan tiga pihak, yaitu penjual pertama, pembeli pertama (sekaligus penjual kedua), dan pembeli kedua. Demikian pembahasan tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan antara jual beli kredit dengan jual beli lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** Depok, 22 Syawal 1446/ 19 Maret 2025 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Referensi: Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77. [2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 77; dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29: 5. [3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, hal. 78

Peringatan Keras: Azab Dunia & Neraka Ternyata Bersumber dari 2 Sebab Ini

Ya. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Pasal.” Adapun hukuman yang menimpa badan juga terbagi menjadi dua: hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Tingkat kesengsaraan dan lamanya hukuman itu sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa itu, baik berat maupun ringannya. Pada dasarnya, tidak ada keburukan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali berasal dari dosa dan hukumannya. Maka istilah “keburukan” itu mencakup semua itu (dosa dan hukumannya). Sumbernya adalah dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk. Keduanya adalah dua sumber utama yang senantiasa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mohon perlindungan darinya dalam khutbah beliau, dengan sabda beliau: “Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.” Keburukan amal perbuatan adalah buah dari keburukan jiwa. Maka seluruh keburukan kembali kepada keburukan jiwa. Karena amal-amal buruk itu merupakan cabang dan buah dari keburukan jiwa. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Adapun hukuman yang menimpa badan, yaitu hukuman jasmani, juga terbagi menjadi dua: satu di dunia dan satu lagi di akhirat.” Satu di dunia dan satu di akhirat. Tingkat berat dan lamanya hukuman tersebut sesuai dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dosa itu. Baik dari sisi berat maupun ringannya. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali akibat dosa dan hukumannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosa mereka.” (QS. Al-‘Ankabūt: 40) Dan firman-Nya: “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka.” (QS. Nūh: 25) Disebabkan oleh dosa-dosa mereka, yakni karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa.” “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan tobat.” Jadi, tidak ada keburukan di dunia maupun di akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman atas dosa juga adalah keburukan. Dan yang menyebabkan datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman dosa pun adalah keburukan. Dan penyebab datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Maka istilah “keburukan” mencakup semuanya itu. “Keburukan” adalah nama bagi semua itu—yakni nama bagi dosa dan nama bagi hukuman akibat dosa. Dan nama bagi hukuman atas dosa. Maka dosa itu sendiri adalah keburukan, dan apa yang ditimbulkan dosa atas pelakunya juga merupakan keburukan. Yaitu berupa hukuman di dunia maupun di akhirat. Beliau berkata, “Dan sumbernya berasal dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk.” Yang dimaksud dengan sumbernya di sini adalah sesuatu yang melahirkan maksiat dan dosa, yaitu keburukan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Keduanya adalah dua sumber utama yang dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memohon perlindungan dari keduanya dalam khutbah beliau, dengan ucapan: “Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami.” Beliau berkata: “Keburukan amal perbuatan berasal dari keburukan jiwa.” Keburukan amal berasal dari keburukan jiwa, karena jika jiwa itu buruk, maka ia akan melahirkan perbuatan-perbuatan buruk. Sebagaimana jiwa yang baik akan melahirkan amal-amal saleh. Ini sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). ==== نَعَمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ فَصْلٌ وَالَّتِي عَلَى الْأَبْدَانِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ مِنَ الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا وَالذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللَّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ فَعَادَ الشَّرُّ كُلُّهُ إِلَى شَرِّ النَّفْسِ فَإِنَّ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ مِنْ فُرُوعِهِ وَثَمَرَاتِهِ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّتِي عَلَى الْبَدَنِ يَعْنِي الْعُقُوبَةُ الَّتِي عَلَى الْبَدَنِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا أَيْ هَذِهِ العُقُوبَةُ وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ فِي الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أَيْ بِسَبَبِ خَطِيْئَاتِهِمْ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُ الذُّنُوبِ فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ الشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ أَيْ اسْمٌ لِلذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ فَإِذَنْ الذُّنُوبُ شَرٌّ هِيَ فِي نَفْسِهَا وَشَرٌّ فِيمَا تَسْتَجْلِبُهُ عَلَى فَاعِلِهَا مِنْ عُقُوبَاتٍ فِي دُنْيَاهُ وَأُخْرَاهُ قَالَ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَأَصْلُهُ يَعْنِي الَّذِي يُوَلِّدُ هَذِهِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبَ شَرُّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيْذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا قَالَ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ شَرٍّ وَلَّدَتْ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ كَمَا أَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ خَيْرٍ وَلَّدَتْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ وَهَذَا نَظِيرُ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي قَالَ فِيهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Peringatan Keras: Azab Dunia & Neraka Ternyata Bersumber dari 2 Sebab Ini

Ya. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Pasal.” Adapun hukuman yang menimpa badan juga terbagi menjadi dua: hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Tingkat kesengsaraan dan lamanya hukuman itu sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa itu, baik berat maupun ringannya. Pada dasarnya, tidak ada keburukan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali berasal dari dosa dan hukumannya. Maka istilah “keburukan” itu mencakup semua itu (dosa dan hukumannya). Sumbernya adalah dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk. Keduanya adalah dua sumber utama yang senantiasa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mohon perlindungan darinya dalam khutbah beliau, dengan sabda beliau: “Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.” Keburukan amal perbuatan adalah buah dari keburukan jiwa. Maka seluruh keburukan kembali kepada keburukan jiwa. Karena amal-amal buruk itu merupakan cabang dan buah dari keburukan jiwa. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Adapun hukuman yang menimpa badan, yaitu hukuman jasmani, juga terbagi menjadi dua: satu di dunia dan satu lagi di akhirat.” Satu di dunia dan satu di akhirat. Tingkat berat dan lamanya hukuman tersebut sesuai dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dosa itu. Baik dari sisi berat maupun ringannya. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali akibat dosa dan hukumannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosa mereka.” (QS. Al-‘Ankabūt: 40) Dan firman-Nya: “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka.” (QS. Nūh: 25) Disebabkan oleh dosa-dosa mereka, yakni karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa.” “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan tobat.” Jadi, tidak ada keburukan di dunia maupun di akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman atas dosa juga adalah keburukan. Dan yang menyebabkan datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman dosa pun adalah keburukan. Dan penyebab datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Maka istilah “keburukan” mencakup semuanya itu. “Keburukan” adalah nama bagi semua itu—yakni nama bagi dosa dan nama bagi hukuman akibat dosa. Dan nama bagi hukuman atas dosa. Maka dosa itu sendiri adalah keburukan, dan apa yang ditimbulkan dosa atas pelakunya juga merupakan keburukan. Yaitu berupa hukuman di dunia maupun di akhirat. Beliau berkata, “Dan sumbernya berasal dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk.” Yang dimaksud dengan sumbernya di sini adalah sesuatu yang melahirkan maksiat dan dosa, yaitu keburukan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Keduanya adalah dua sumber utama yang dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memohon perlindungan dari keduanya dalam khutbah beliau, dengan ucapan: “Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami.” Beliau berkata: “Keburukan amal perbuatan berasal dari keburukan jiwa.” Keburukan amal berasal dari keburukan jiwa, karena jika jiwa itu buruk, maka ia akan melahirkan perbuatan-perbuatan buruk. Sebagaimana jiwa yang baik akan melahirkan amal-amal saleh. Ini sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). ==== نَعَمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ فَصْلٌ وَالَّتِي عَلَى الْأَبْدَانِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ مِنَ الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا وَالذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللَّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ فَعَادَ الشَّرُّ كُلُّهُ إِلَى شَرِّ النَّفْسِ فَإِنَّ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ مِنْ فُرُوعِهِ وَثَمَرَاتِهِ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّتِي عَلَى الْبَدَنِ يَعْنِي الْعُقُوبَةُ الَّتِي عَلَى الْبَدَنِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا أَيْ هَذِهِ العُقُوبَةُ وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ فِي الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أَيْ بِسَبَبِ خَطِيْئَاتِهِمْ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُ الذُّنُوبِ فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ الشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ أَيْ اسْمٌ لِلذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ فَإِذَنْ الذُّنُوبُ شَرٌّ هِيَ فِي نَفْسِهَا وَشَرٌّ فِيمَا تَسْتَجْلِبُهُ عَلَى فَاعِلِهَا مِنْ عُقُوبَاتٍ فِي دُنْيَاهُ وَأُخْرَاهُ قَالَ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَأَصْلُهُ يَعْنِي الَّذِي يُوَلِّدُ هَذِهِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبَ شَرُّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيْذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا قَالَ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ شَرٍّ وَلَّدَتْ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ كَمَا أَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ خَيْرٍ وَلَّدَتْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ وَهَذَا نَظِيرُ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي قَالَ فِيهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Ya. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Pasal.” Adapun hukuman yang menimpa badan juga terbagi menjadi dua: hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Tingkat kesengsaraan dan lamanya hukuman itu sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa itu, baik berat maupun ringannya. Pada dasarnya, tidak ada keburukan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali berasal dari dosa dan hukumannya. Maka istilah “keburukan” itu mencakup semua itu (dosa dan hukumannya). Sumbernya adalah dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk. Keduanya adalah dua sumber utama yang senantiasa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mohon perlindungan darinya dalam khutbah beliau, dengan sabda beliau: “Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.” Keburukan amal perbuatan adalah buah dari keburukan jiwa. Maka seluruh keburukan kembali kepada keburukan jiwa. Karena amal-amal buruk itu merupakan cabang dan buah dari keburukan jiwa. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Adapun hukuman yang menimpa badan, yaitu hukuman jasmani, juga terbagi menjadi dua: satu di dunia dan satu lagi di akhirat.” Satu di dunia dan satu di akhirat. Tingkat berat dan lamanya hukuman tersebut sesuai dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dosa itu. Baik dari sisi berat maupun ringannya. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali akibat dosa dan hukumannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosa mereka.” (QS. Al-‘Ankabūt: 40) Dan firman-Nya: “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka.” (QS. Nūh: 25) Disebabkan oleh dosa-dosa mereka, yakni karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa.” “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan tobat.” Jadi, tidak ada keburukan di dunia maupun di akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman atas dosa juga adalah keburukan. Dan yang menyebabkan datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman dosa pun adalah keburukan. Dan penyebab datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Maka istilah “keburukan” mencakup semuanya itu. “Keburukan” adalah nama bagi semua itu—yakni nama bagi dosa dan nama bagi hukuman akibat dosa. Dan nama bagi hukuman atas dosa. Maka dosa itu sendiri adalah keburukan, dan apa yang ditimbulkan dosa atas pelakunya juga merupakan keburukan. Yaitu berupa hukuman di dunia maupun di akhirat. Beliau berkata, “Dan sumbernya berasal dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk.” Yang dimaksud dengan sumbernya di sini adalah sesuatu yang melahirkan maksiat dan dosa, yaitu keburukan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Keduanya adalah dua sumber utama yang dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memohon perlindungan dari keduanya dalam khutbah beliau, dengan ucapan: “Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami.” Beliau berkata: “Keburukan amal perbuatan berasal dari keburukan jiwa.” Keburukan amal berasal dari keburukan jiwa, karena jika jiwa itu buruk, maka ia akan melahirkan perbuatan-perbuatan buruk. Sebagaimana jiwa yang baik akan melahirkan amal-amal saleh. Ini sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). ==== نَعَمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ فَصْلٌ وَالَّتِي عَلَى الْأَبْدَانِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ مِنَ الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا وَالذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللَّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ فَعَادَ الشَّرُّ كُلُّهُ إِلَى شَرِّ النَّفْسِ فَإِنَّ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ مِنْ فُرُوعِهِ وَثَمَرَاتِهِ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّتِي عَلَى الْبَدَنِ يَعْنِي الْعُقُوبَةُ الَّتِي عَلَى الْبَدَنِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا أَيْ هَذِهِ العُقُوبَةُ وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ فِي الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أَيْ بِسَبَبِ خَطِيْئَاتِهِمْ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُ الذُّنُوبِ فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ الشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ أَيْ اسْمٌ لِلذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ فَإِذَنْ الذُّنُوبُ شَرٌّ هِيَ فِي نَفْسِهَا وَشَرٌّ فِيمَا تَسْتَجْلِبُهُ عَلَى فَاعِلِهَا مِنْ عُقُوبَاتٍ فِي دُنْيَاهُ وَأُخْرَاهُ قَالَ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَأَصْلُهُ يَعْنِي الَّذِي يُوَلِّدُ هَذِهِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبَ شَرُّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيْذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا قَالَ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ شَرٍّ وَلَّدَتْ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ كَمَا أَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ خَيْرٍ وَلَّدَتْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ وَهَذَا نَظِيرُ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي قَالَ فِيهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ


Ya. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Pasal.” Adapun hukuman yang menimpa badan juga terbagi menjadi dua: hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Tingkat kesengsaraan dan lamanya hukuman itu sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa itu, baik berat maupun ringannya. Pada dasarnya, tidak ada keburukan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali berasal dari dosa dan hukumannya. Maka istilah “keburukan” itu mencakup semua itu (dosa dan hukumannya). Sumbernya adalah dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk. Keduanya adalah dua sumber utama yang senantiasa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mohon perlindungan darinya dalam khutbah beliau, dengan sabda beliau: “Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami.” Keburukan amal perbuatan adalah buah dari keburukan jiwa. Maka seluruh keburukan kembali kepada keburukan jiwa. Karena amal-amal buruk itu merupakan cabang dan buah dari keburukan jiwa. Beliau—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Adapun hukuman yang menimpa badan, yaitu hukuman jasmani, juga terbagi menjadi dua: satu di dunia dan satu lagi di akhirat.” Satu di dunia dan satu di akhirat. Tingkat berat dan lamanya hukuman tersebut sesuai dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dosa itu. Baik dari sisi berat maupun ringannya. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali akibat dosa dan hukumannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-dosa mereka.” (QS. Al-‘Ankabūt: 40) Dan firman-Nya: “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka.” (QS. Nūh: 25) Disebabkan oleh dosa-dosa mereka, yakni karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa.” “Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan tobat.” Jadi, tidak ada keburukan di dunia maupun di akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman atas dosa juga adalah keburukan. Dan yang menyebabkan datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Tidak ada keburukan sedikit pun di dunia dan akhirat kecuali dosa dan hukumannya. Dosa adalah keburukan, dan hukuman dosa pun adalah keburukan. Dan penyebab datangnya hukuman atas dosa adalah dosa itu sendiri. Maka istilah “keburukan” mencakup semuanya itu. “Keburukan” adalah nama bagi semua itu—yakni nama bagi dosa dan nama bagi hukuman akibat dosa. Dan nama bagi hukuman atas dosa. Maka dosa itu sendiri adalah keburukan, dan apa yang ditimbulkan dosa atas pelakunya juga merupakan keburukan. Yaitu berupa hukuman di dunia maupun di akhirat. Beliau berkata, “Dan sumbernya berasal dari keburukan jiwa dan amal perbuatan yang buruk.” Yang dimaksud dengan sumbernya di sini adalah sesuatu yang melahirkan maksiat dan dosa, yaitu keburukan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Keduanya adalah dua sumber utama yang dahulu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memohon perlindungan dari keduanya dalam khutbah beliau, dengan ucapan: “Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami.” Beliau berkata: “Keburukan amal perbuatan berasal dari keburukan jiwa.” Keburukan amal berasal dari keburukan jiwa, karena jika jiwa itu buruk, maka ia akan melahirkan perbuatan-perbuatan buruk. Sebagaimana jiwa yang baik akan melahirkan amal-amal saleh. Ini sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis: “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim). ==== نَعَمْ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ فَصْلٌ وَالَّتِي عَلَى الْأَبْدَانِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ مِنَ الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا وَالذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللَّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ فَعَادَ الشَّرُّ كُلُّهُ إِلَى شَرِّ النَّفْسِ فَإِنَّ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ مِنْ فُرُوعِهِ وَثَمَرَاتِهِ قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَالَّتِي عَلَى الْبَدَنِ يَعْنِي الْعُقُوبَةُ الَّتِي عَلَى الْبَدَنِ أَيْضًا نَوْعَانِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ نَوْعٌ فِي الدُّنْيَا وَنَوْعٌ فِي الْآخِرَةِ وَشِدَّتُهَا أَيْ هَذِهِ العُقُوبَةُ وَدَوَامُهَا بِحَسَبِ مَفَاسِدِ مَا رُتِّبَتْ عَلَيْهِ فِي الشِّدَّةِ وَالْخِفَّةِ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ وَقَالَ جَلَّ وَعَلَا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أَيْ بِسَبَبِ خَطِيْئَاتِهِمْ وَلِهَذَا يَقُولُ عَلَيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُهَا فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ أَصْلًا إِلَّا الذُّنُوبُ وَعُقُوْبَاتُ الذُّنُوبِ فَالذُّنُوبُ شَرٌّ وَعُقُوبَاتُ الذُّنُوبِ شَرٌّ وَالَّذِي يَجْلِبُ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ هِيَ الذُّنُوبُ نَفْسُهَا فَالشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ الشَّرُّ اسْمٌ لِذَلِكَ كُلِّهِ أَيْ اسْمٌ لِلذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ وَاسْمٌ لِعُقُوْبَاتِ الذُّنُوبِ فَإِذَنْ الذُّنُوبُ شَرٌّ هِيَ فِي نَفْسِهَا وَشَرٌّ فِيمَا تَسْتَجْلِبُهُ عَلَى فَاعِلِهَا مِنْ عُقُوبَاتٍ فِي دُنْيَاهُ وَأُخْرَاهُ قَالَ وَأَصْلُهُ مِنْ شَرِّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ وَأَصْلُهُ يَعْنِي الَّذِي يُوَلِّدُ هَذِهِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبَ شَرُّ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ وَهُمَا الْأَصْلَانِ اللّذَانِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيْذُ مِنْهُمَا فِي خُطْبَتِهِ بِقَوْلِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا قَالَ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ وَسَيِّئَاتُ الْأَعْمَالِ مِنْ شُرُورِ النَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ شَرٍّ وَلَّدَتْ سَيِّئَاتِ الْأَعْمَالِ كَمَا أَنَّ النَّفْسَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ خَيْرٍ وَلَّدَتْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ وَهَذَا نَظِيرُ مَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي قَالَ فِيهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Bukan Sial atau Doamu yang Salah, tapi Sayang: Saat Allah Mengujimu karena Cinta

Ujian (musibah) yang Allah ‘Azza wa Jalla timpakan kepada seorang hamba. Penulis berkata, “Di antara hal yang menghapus dampak dosa adalah musibah-musibah yang menjadi penebus dosa.” Yaitu segala sesuatu yang menyakitkan, baik berupa rasa gelisah, kesedihan, maupun gangguan pada harta, kehormatan, tubuh, atau selainnya. Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan atas kehendak dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, ujian akan senantiasa menimpa hamba-Nya yang beriman, hingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak membawa satu pun dosa. Kelak pada Hari Kiamat, ketika catatan amal diperlihatkan, manusia akan berangan-angan seandainya mereka menjadi orang yang paling berat ujiannya di dunia, karena mereka melihat pada hari itu betapa musibah telah menghapus dosa dan mengangkat derajat orang-orang yang diuji di dunia. Inilah makna dari ucapan sebagian salaf dari kalangan tabi’in, seperti Abu Rafi’, bahwa mereka lebih bergembira dengan musibah dibandingkan mendapat pemberian. Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, lalu orang-orang yang semisal, dan yang semisal setelahnya. Manusia diuji sesuai kadar agamanya. Dan ujian terus menimpa seorang mukmin hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa. Tujuan dari semua ini adalah agar manusia menyadari bahwa musibah yang menimpa seseorang merupakan penghapus dosa-dosanya dan rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla untuknya. “Dan sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) “Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sementara mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut: 1-2) “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur dan mengetahui pula orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Ucapan penulis di sini dimulai dengan menyebut hamm (kegundahan hati), karena hal paling besar yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla menghapus dosa adalah rasa hamm (kegundahan hati). Dalam kitab Al-Qadar karya Abdullah bin Wahb rahimahullah Ta‘ala disebutkan, bahwa Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta‘ala berkata: “Hal yang paling besar didapati oleh seorang mukmin dalam catatan amal kebaikannya pada Hari Kiamat adalah segala rasa gundah dan kesedihan yang menimpanya di dunia.” Kegundahan hati adalah perkara yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ditimpa kegundahan yang sangat dahsyat, yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Kemudian penulis berkata, “Atau kesedihan.” Perbedaan antara hamm (kegundahan hati) dan hazn (kesedihan) adalah: hamm untuk perkara yang belum terjadi, sedangkan hazn (kesedihan) berkaitan sesuatu yang telah berlalu, seperti kehilangan orang yang dicintai, orang terdekat, harta, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Kemudian penulis berkata, “Atau gangguan pada harta atau kehormatan.” Yang dimaksud dengan gangguan pada kehormatan di sini adalah ucapan yang menyakitkan tentang dirinya dan kehormatannya. “Atau pada tubuh, atau selain itu.” Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan dari perbuatan Al-Jabbār (Allah Yang Maha Perkasa) Jalla wa ‘Ala, dan ini merupakan rahmat-Nya bagi orang yang beriman, bukan bagi selainnya. “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Itulah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar dan beriman. ==== الِابْتِلَاءُ الَّذِي يُصِيبُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ الْعَبْدَ قَالَ وَمِمَّا يُزِيْلُ مُوجِبَ الذُّنُوبِ الْمَصَائِبُ الْمُكَفِّرَةُ وَهِيَ كُلُّ مَا يُؤْلِمُ مِنْ هَمٍّ أَوْ حَزَنٍ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ بِإِرَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَقْدِيرِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِذَلِكَ لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ وَإِذَا جِيءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعُرِضَتْ صَحَائِفُ الْأَعْمَالِ جَاءَ أَنَّ النَّاسَ يَتَمَنَّوْنَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا لِمَا يَرَوْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَرِفْعَةِ الدَّرَجَاتِ لِمَنِ ابْتُلِيَ فِي الدُّنْيَا وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ بَعْضِ السَّلَفِ مِنَ التَّابِعِينَ كَأَبِي رَافِعٍ كَانُوا يَفْرَحُونَ بِالْبَلَاءِ أَشَدَّ مِنْ فَرَحِهِمْ بِالعَطَاءِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى النَّاسُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالرَّجُلِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعْرِفُ أَنَّ هَذِهِ الْبَلَاءَ الَّتِي تُصِيبُ الْمَرْءَ مُكَفِّرَاتٌ لِذُنُوبِهِ وَهِي رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ هُنَا بَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِهَمٍّ لِأَنَّ أَعْظَمَ مَا يُكَفِّرُ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الذُّنُوبَ الْهَمُّ وَقَدْ جَاءَ فِي كِتَابِ الْقَدَرِ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ أَعْظَمُ مَا يَجِدُهُ الْمُؤْمِنُ فِي صَحِيفَةِ حَسَنَاتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا أُصِيبَ بِهِ مِنْ هَمٍّ وَحَزَنٍ فِي الدُّنْيَا الْهَمُّ أَمْرُهُ عَظِيمٌ وَلِذَلِكَ أُصِيْبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَمٍّ عَظِيمٍ لَمْ يُصَبْ بِهِ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَوْ حَزَنٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ الْهَمُّ لِلْأَمْرِ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحَزَنُ عَلَى مَا مَضَى إِذَا فَقَدَ حَبِيبًا أَوْ عَزِيْزًا أَوْ مَالًا أَوْ وَظِيفَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ قَالَ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ الْعِرْضُ الْمَقْصُودُ الْكَلَامُ فِيهِ وَفِي عِرْضِهِ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنْ لَيْسَ هَذَا مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ الْجَبَّارِ جَلَّ وَعَلَا وَهُوَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ دُونَ مَنْ عَدَاهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ وَهُوَ بُشْرَى لِلصَّابِرِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ

Bukan Sial atau Doamu yang Salah, tapi Sayang: Saat Allah Mengujimu karena Cinta

Ujian (musibah) yang Allah ‘Azza wa Jalla timpakan kepada seorang hamba. Penulis berkata, “Di antara hal yang menghapus dampak dosa adalah musibah-musibah yang menjadi penebus dosa.” Yaitu segala sesuatu yang menyakitkan, baik berupa rasa gelisah, kesedihan, maupun gangguan pada harta, kehormatan, tubuh, atau selainnya. Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan atas kehendak dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, ujian akan senantiasa menimpa hamba-Nya yang beriman, hingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak membawa satu pun dosa. Kelak pada Hari Kiamat, ketika catatan amal diperlihatkan, manusia akan berangan-angan seandainya mereka menjadi orang yang paling berat ujiannya di dunia, karena mereka melihat pada hari itu betapa musibah telah menghapus dosa dan mengangkat derajat orang-orang yang diuji di dunia. Inilah makna dari ucapan sebagian salaf dari kalangan tabi’in, seperti Abu Rafi’, bahwa mereka lebih bergembira dengan musibah dibandingkan mendapat pemberian. Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, lalu orang-orang yang semisal, dan yang semisal setelahnya. Manusia diuji sesuai kadar agamanya. Dan ujian terus menimpa seorang mukmin hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa. Tujuan dari semua ini adalah agar manusia menyadari bahwa musibah yang menimpa seseorang merupakan penghapus dosa-dosanya dan rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla untuknya. “Dan sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) “Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sementara mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut: 1-2) “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur dan mengetahui pula orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Ucapan penulis di sini dimulai dengan menyebut hamm (kegundahan hati), karena hal paling besar yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla menghapus dosa adalah rasa hamm (kegundahan hati). Dalam kitab Al-Qadar karya Abdullah bin Wahb rahimahullah Ta‘ala disebutkan, bahwa Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta‘ala berkata: “Hal yang paling besar didapati oleh seorang mukmin dalam catatan amal kebaikannya pada Hari Kiamat adalah segala rasa gundah dan kesedihan yang menimpanya di dunia.” Kegundahan hati adalah perkara yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ditimpa kegundahan yang sangat dahsyat, yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Kemudian penulis berkata, “Atau kesedihan.” Perbedaan antara hamm (kegundahan hati) dan hazn (kesedihan) adalah: hamm untuk perkara yang belum terjadi, sedangkan hazn (kesedihan) berkaitan sesuatu yang telah berlalu, seperti kehilangan orang yang dicintai, orang terdekat, harta, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Kemudian penulis berkata, “Atau gangguan pada harta atau kehormatan.” Yang dimaksud dengan gangguan pada kehormatan di sini adalah ucapan yang menyakitkan tentang dirinya dan kehormatannya. “Atau pada tubuh, atau selain itu.” Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan dari perbuatan Al-Jabbār (Allah Yang Maha Perkasa) Jalla wa ‘Ala, dan ini merupakan rahmat-Nya bagi orang yang beriman, bukan bagi selainnya. “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Itulah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar dan beriman. ==== الِابْتِلَاءُ الَّذِي يُصِيبُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ الْعَبْدَ قَالَ وَمِمَّا يُزِيْلُ مُوجِبَ الذُّنُوبِ الْمَصَائِبُ الْمُكَفِّرَةُ وَهِيَ كُلُّ مَا يُؤْلِمُ مِنْ هَمٍّ أَوْ حَزَنٍ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ بِإِرَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَقْدِيرِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِذَلِكَ لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ وَإِذَا جِيءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعُرِضَتْ صَحَائِفُ الْأَعْمَالِ جَاءَ أَنَّ النَّاسَ يَتَمَنَّوْنَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا لِمَا يَرَوْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَرِفْعَةِ الدَّرَجَاتِ لِمَنِ ابْتُلِيَ فِي الدُّنْيَا وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ بَعْضِ السَّلَفِ مِنَ التَّابِعِينَ كَأَبِي رَافِعٍ كَانُوا يَفْرَحُونَ بِالْبَلَاءِ أَشَدَّ مِنْ فَرَحِهِمْ بِالعَطَاءِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى النَّاسُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالرَّجُلِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعْرِفُ أَنَّ هَذِهِ الْبَلَاءَ الَّتِي تُصِيبُ الْمَرْءَ مُكَفِّرَاتٌ لِذُنُوبِهِ وَهِي رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ هُنَا بَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِهَمٍّ لِأَنَّ أَعْظَمَ مَا يُكَفِّرُ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الذُّنُوبَ الْهَمُّ وَقَدْ جَاءَ فِي كِتَابِ الْقَدَرِ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ أَعْظَمُ مَا يَجِدُهُ الْمُؤْمِنُ فِي صَحِيفَةِ حَسَنَاتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا أُصِيبَ بِهِ مِنْ هَمٍّ وَحَزَنٍ فِي الدُّنْيَا الْهَمُّ أَمْرُهُ عَظِيمٌ وَلِذَلِكَ أُصِيْبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَمٍّ عَظِيمٍ لَمْ يُصَبْ بِهِ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَوْ حَزَنٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ الْهَمُّ لِلْأَمْرِ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحَزَنُ عَلَى مَا مَضَى إِذَا فَقَدَ حَبِيبًا أَوْ عَزِيْزًا أَوْ مَالًا أَوْ وَظِيفَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ قَالَ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ الْعِرْضُ الْمَقْصُودُ الْكَلَامُ فِيهِ وَفِي عِرْضِهِ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنْ لَيْسَ هَذَا مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ الْجَبَّارِ جَلَّ وَعَلَا وَهُوَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ دُونَ مَنْ عَدَاهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ وَهُوَ بُشْرَى لِلصَّابِرِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ
Ujian (musibah) yang Allah ‘Azza wa Jalla timpakan kepada seorang hamba. Penulis berkata, “Di antara hal yang menghapus dampak dosa adalah musibah-musibah yang menjadi penebus dosa.” Yaitu segala sesuatu yang menyakitkan, baik berupa rasa gelisah, kesedihan, maupun gangguan pada harta, kehormatan, tubuh, atau selainnya. Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan atas kehendak dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, ujian akan senantiasa menimpa hamba-Nya yang beriman, hingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak membawa satu pun dosa. Kelak pada Hari Kiamat, ketika catatan amal diperlihatkan, manusia akan berangan-angan seandainya mereka menjadi orang yang paling berat ujiannya di dunia, karena mereka melihat pada hari itu betapa musibah telah menghapus dosa dan mengangkat derajat orang-orang yang diuji di dunia. Inilah makna dari ucapan sebagian salaf dari kalangan tabi’in, seperti Abu Rafi’, bahwa mereka lebih bergembira dengan musibah dibandingkan mendapat pemberian. Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, lalu orang-orang yang semisal, dan yang semisal setelahnya. Manusia diuji sesuai kadar agamanya. Dan ujian terus menimpa seorang mukmin hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa. Tujuan dari semua ini adalah agar manusia menyadari bahwa musibah yang menimpa seseorang merupakan penghapus dosa-dosanya dan rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla untuknya. “Dan sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) “Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sementara mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut: 1-2) “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur dan mengetahui pula orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Ucapan penulis di sini dimulai dengan menyebut hamm (kegundahan hati), karena hal paling besar yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla menghapus dosa adalah rasa hamm (kegundahan hati). Dalam kitab Al-Qadar karya Abdullah bin Wahb rahimahullah Ta‘ala disebutkan, bahwa Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta‘ala berkata: “Hal yang paling besar didapati oleh seorang mukmin dalam catatan amal kebaikannya pada Hari Kiamat adalah segala rasa gundah dan kesedihan yang menimpanya di dunia.” Kegundahan hati adalah perkara yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ditimpa kegundahan yang sangat dahsyat, yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Kemudian penulis berkata, “Atau kesedihan.” Perbedaan antara hamm (kegundahan hati) dan hazn (kesedihan) adalah: hamm untuk perkara yang belum terjadi, sedangkan hazn (kesedihan) berkaitan sesuatu yang telah berlalu, seperti kehilangan orang yang dicintai, orang terdekat, harta, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Kemudian penulis berkata, “Atau gangguan pada harta atau kehormatan.” Yang dimaksud dengan gangguan pada kehormatan di sini adalah ucapan yang menyakitkan tentang dirinya dan kehormatannya. “Atau pada tubuh, atau selain itu.” Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan dari perbuatan Al-Jabbār (Allah Yang Maha Perkasa) Jalla wa ‘Ala, dan ini merupakan rahmat-Nya bagi orang yang beriman, bukan bagi selainnya. “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Itulah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar dan beriman. ==== الِابْتِلَاءُ الَّذِي يُصِيبُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ الْعَبْدَ قَالَ وَمِمَّا يُزِيْلُ مُوجِبَ الذُّنُوبِ الْمَصَائِبُ الْمُكَفِّرَةُ وَهِيَ كُلُّ مَا يُؤْلِمُ مِنْ هَمٍّ أَوْ حَزَنٍ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ بِإِرَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَقْدِيرِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِذَلِكَ لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ وَإِذَا جِيءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعُرِضَتْ صَحَائِفُ الْأَعْمَالِ جَاءَ أَنَّ النَّاسَ يَتَمَنَّوْنَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا لِمَا يَرَوْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَرِفْعَةِ الدَّرَجَاتِ لِمَنِ ابْتُلِيَ فِي الدُّنْيَا وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ بَعْضِ السَّلَفِ مِنَ التَّابِعِينَ كَأَبِي رَافِعٍ كَانُوا يَفْرَحُونَ بِالْبَلَاءِ أَشَدَّ مِنْ فَرَحِهِمْ بِالعَطَاءِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى النَّاسُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالرَّجُلِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعْرِفُ أَنَّ هَذِهِ الْبَلَاءَ الَّتِي تُصِيبُ الْمَرْءَ مُكَفِّرَاتٌ لِذُنُوبِهِ وَهِي رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ هُنَا بَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِهَمٍّ لِأَنَّ أَعْظَمَ مَا يُكَفِّرُ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الذُّنُوبَ الْهَمُّ وَقَدْ جَاءَ فِي كِتَابِ الْقَدَرِ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ أَعْظَمُ مَا يَجِدُهُ الْمُؤْمِنُ فِي صَحِيفَةِ حَسَنَاتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا أُصِيبَ بِهِ مِنْ هَمٍّ وَحَزَنٍ فِي الدُّنْيَا الْهَمُّ أَمْرُهُ عَظِيمٌ وَلِذَلِكَ أُصِيْبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَمٍّ عَظِيمٍ لَمْ يُصَبْ بِهِ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَوْ حَزَنٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ الْهَمُّ لِلْأَمْرِ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحَزَنُ عَلَى مَا مَضَى إِذَا فَقَدَ حَبِيبًا أَوْ عَزِيْزًا أَوْ مَالًا أَوْ وَظِيفَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ قَالَ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ الْعِرْضُ الْمَقْصُودُ الْكَلَامُ فِيهِ وَفِي عِرْضِهِ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنْ لَيْسَ هَذَا مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ الْجَبَّارِ جَلَّ وَعَلَا وَهُوَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ دُونَ مَنْ عَدَاهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ وَهُوَ بُشْرَى لِلصَّابِرِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ


Ujian (musibah) yang Allah ‘Azza wa Jalla timpakan kepada seorang hamba. Penulis berkata, “Di antara hal yang menghapus dampak dosa adalah musibah-musibah yang menjadi penebus dosa.” Yaitu segala sesuatu yang menyakitkan, baik berupa rasa gelisah, kesedihan, maupun gangguan pada harta, kehormatan, tubuh, atau selainnya. Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan atas kehendak dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, ujian akan senantiasa menimpa hamba-Nya yang beriman, hingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak membawa satu pun dosa. Kelak pada Hari Kiamat, ketika catatan amal diperlihatkan, manusia akan berangan-angan seandainya mereka menjadi orang yang paling berat ujiannya di dunia, karena mereka melihat pada hari itu betapa musibah telah menghapus dosa dan mengangkat derajat orang-orang yang diuji di dunia. Inilah makna dari ucapan sebagian salaf dari kalangan tabi’in, seperti Abu Rafi’, bahwa mereka lebih bergembira dengan musibah dibandingkan mendapat pemberian. Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, lalu orang-orang yang semisal, dan yang semisal setelahnya. Manusia diuji sesuai kadar agamanya. Dan ujian terus menimpa seorang mukmin hingga ia berjalan di muka bumi tanpa membawa satu pun dosa. Tujuan dari semua ini adalah agar manusia menyadari bahwa musibah yang menimpa seseorang merupakan penghapus dosa-dosanya dan rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla untuknya. “Dan sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) “Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sementara mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut: 1-2) “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang jujur dan mengetahui pula orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Ucapan penulis di sini dimulai dengan menyebut hamm (kegundahan hati), karena hal paling besar yang dengannya Allah ‘Azza wa Jalla menghapus dosa adalah rasa hamm (kegundahan hati). Dalam kitab Al-Qadar karya Abdullah bin Wahb rahimahullah Ta‘ala disebutkan, bahwa Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashri rahimahullah Ta‘ala berkata: “Hal yang paling besar didapati oleh seorang mukmin dalam catatan amal kebaikannya pada Hari Kiamat adalah segala rasa gundah dan kesedihan yang menimpanya di dunia.” Kegundahan hati adalah perkara yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ditimpa kegundahan yang sangat dahsyat, yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Kemudian penulis berkata, “Atau kesedihan.” Perbedaan antara hamm (kegundahan hati) dan hazn (kesedihan) adalah: hamm untuk perkara yang belum terjadi, sedangkan hazn (kesedihan) berkaitan sesuatu yang telah berlalu, seperti kehilangan orang yang dicintai, orang terdekat, harta, pekerjaan, atau hal-hal lainnya. Kemudian penulis berkata, “Atau gangguan pada harta atau kehormatan.” Yang dimaksud dengan gangguan pada kehormatan di sini adalah ucapan yang menyakitkan tentang dirinya dan kehormatannya. “Atau pada tubuh, atau selain itu.” Namun semua itu bukan berasal dari perbuatan hamba, melainkan dari perbuatan Al-Jabbār (Allah Yang Maha Perkasa) Jalla wa ‘Ala, dan ini merupakan rahmat-Nya bagi orang yang beriman, bukan bagi selainnya. “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Itulah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar dan beriman. ==== الِابْتِلَاءُ الَّذِي يُصِيبُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ الْعَبْدَ قَالَ وَمِمَّا يُزِيْلُ مُوجِبَ الذُّنُوبِ الْمَصَائِبُ الْمُكَفِّرَةُ وَهِيَ كُلُّ مَا يُؤْلِمُ مِنْ هَمٍّ أَوْ حَزَنٍ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ بِإِرَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَقْدِيرِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِذَلِكَ لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ وَإِذَا جِيءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعُرِضَتْ صَحَائِفُ الْأَعْمَالِ جَاءَ أَنَّ النَّاسَ يَتَمَنَّوْنَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا لِمَا يَرَوْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَرِفْعَةِ الدَّرَجَاتِ لِمَنِ ابْتُلِيَ فِي الدُّنْيَا وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ بَعْضِ السَّلَفِ مِنَ التَّابِعِينَ كَأَبِي رَافِعٍ كَانُوا يَفْرَحُونَ بِالْبَلَاءِ أَشَدَّ مِنْ فَرَحِهِمْ بِالعَطَاءِ أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى النَّاسُ عَلَى قَدْرِ دِيْنِهِ وَمَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالرَّجُلِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ الْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعْرِفُ أَنَّ هَذِهِ الْبَلَاءَ الَّتِي تُصِيبُ الْمَرْءَ مُكَفِّرَاتٌ لِذُنُوبِهِ وَهِي رَحْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ هُنَا بَدَأَ الْمُصَنِّفُ بِهَمٍّ لِأَنَّ أَعْظَمَ مَا يُكَفِّرُ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الذُّنُوبَ الْهَمُّ وَقَدْ جَاءَ فِي كِتَابِ الْقَدَرِ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْحَسَنَ بْنَ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ أَعْظَمُ مَا يَجِدُهُ الْمُؤْمِنُ فِي صَحِيفَةِ حَسَنَاتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا أُصِيبَ بِهِ مِنْ هَمٍّ وَحَزَنٍ فِي الدُّنْيَا الْهَمُّ أَمْرُهُ عَظِيمٌ وَلِذَلِكَ أُصِيْبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَمٍّ عَظِيمٍ لَمْ يُصَبْ بِهِ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَ أَوْ حَزَنٍ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ الْهَمُّ لِلْأَمْرِ الْمُسْتَقْبَلِ وَالْحَزَنُ عَلَى مَا مَضَى إِذَا فَقَدَ حَبِيبًا أَوْ عَزِيْزًا أَوْ مَالًا أَوْ وَظِيفَةً أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ قَالَ أَوْ أَذًى فِي مَالٍ أَوْ عِرْضٍ الْعِرْضُ الْمَقْصُودُ الْكَلَامُ فِيهِ وَفِي عِرْضِهِ أَوْ جَسَدٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَلَكِنْ لَيْسَ هَذَا مِنْ فِعْلِ الْعَبْدِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ الْجَبَّارِ جَلَّ وَعَلَا وَهُوَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِ دُونَ مَنْ عَدَاهُ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ وَهُوَ بُشْرَى لِلصَّابِرِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ

Hadis: Kewajiban Laki-Laki Muslim untuk Bekerja dan Larangan Meminta-Minta

Daftar Isi Toggle PendahuluanHadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiriHadis pertamaHadis keduaHadis ketigaHadis keempatHadis kelimaHadis keenamBeberapa pelajaran dan faedah dari hadisPara sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriPerintah bagi laki-laki untuk bekerjaPara Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriLarangan meminta-mintaKesimpulan Pendahuluan Kewajiban seorang laki-laki muslim adalah bekerja dari hasil usahanya sendiri sehingga terhindar dari perbuatan meminta-minta. Islam memerintahkan seorang laki-laki untuk bekerja dan melarang dari perbuatan meminta-minta. Dalam tulisan ini, akan disebutkan dalil-dalil yang disebutkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya yang akan menjadi dalil-dalil pokok dalam pembahasan ini disertai penjelasan dari para ulama mengenai pelajaran dan faedah dari hadis-hadis tersebut. Untuk melengkapi penjelasan, akan disebutkan dalil-dalil lain dari Al Qur’an dan juga hadis-hadis selain riwayat Imam Bukhari. Hadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiri Dalam Kitabul Buyu’ Shahih Imam Bukhari, terdapat sebuah bab berjudul: كسب الرجل وعمله بيده   Maksudnya adalah bab mengenai mata pencaharian seseorang dan pekerjaan dengan tagannya sendiri. Ibnu Hajar Al-Asqalany rahimahullah menjelaskan bahwa disebutkan “pekerjaan dengan tangannya sendiri” setelah kalimat “mata pencaharian” adalah penyebutan sesuatu yang sifatnya khusus setelah penyebutan yang lebih umum. Karena mata pencaharian seseorang bersifat lebih umum, mencakup pekerjaan yang murni hasil kerja tangan dan hasil kerja selain tangan. (Fathul Baari Syarh Shahiih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalany) Di dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang menjelaskan mengenai perintah bagi laki-laki untuk bekerja, yaitu: Hadis pertama Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan keadaan ayahnya setelah beliau diangkat menjadi khalifah, menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَؤُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيه “Ketika Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, ia berkata, “Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini, sedangkan dia juga bersungguh bekerja untuk urusan kaum muslimin.“ (HR. Bukhari no. 2070) Hadis kedua Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata, كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ ، وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ “Dulu sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki bau (dari keringat mereka). Kemudian dikatakan kepada mereka, “Seandainya kalian mandi terlebih dahulu.“ (HR Bukhari no. 2071) Hadis ketiga Dari Al-Miqdam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072) Hadis keempat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِه “Adalah Nabi Dawud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari no. 2073) Hadis kelima Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ “Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau tidak memberi sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2074) Hadis keenam Diriwayatkan dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR. Bukhari no. 1471, 2075). Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? Beberapa pelajaran dan faedah dari hadis Hadis-hadis di atas memberikan pelajaran dan faedah, di antaranya: Para sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Badaruddin Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan bahwa para sahabat mereka bekerja dengan tangan mereka sendiri, seperti berdagang dan bertani (Lihat ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari). Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin bekerja. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka adalah pekerja yang banyak menguras keringat. Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan orang-orang yang saleh di masa silam adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak melalaikan mereka dari amal saleh lainnya, seperti beribadah, menuntut ilmu, dan berdakwah di jalan Allah. Usaha yang halal dalam mencari rezeki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikannya dari mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang saleh, رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan dari mengingat kepada Rabb yang menciptakan dan melimpahkan rezeki kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa balasan dari Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan musnah, sedangkan balasan di sisi Allah akan kekal abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Perintah bagi laki-laki untuk bekerja Hadis di atas juga menunjukkan perintah agar kita semangat dalam  bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman Allah, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Yang dimaksud (وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ) adalah bekerja untuk mencari rezeki dan karunia dari Allah. Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly) Nabi juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah. Dalam hadis dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dia berkata, “Ada seseorang yang melewati Nabi, maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, seandainya dia lakukan itu di jalan Allah.” Maka Rasulullah bersabda, “Bila dia keluar rumah demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka dia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (HR. At-Thabarani, shahih) Syaikh Salim Al-Hilaly rahimahullah mengatakan bahwasanya hendaknya setiap muslim bersikap profesional dalam bekerja dengan kemampuannya. Karena dengan demikian, dia tidak berharap dengan orang lain dan akan menjaga dirinya untuk persiapan kebutuhan hidupnya. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.“ (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah mengabarkan bahwa apabila telah selesai menunaikan salat, silakan para hamba untuk bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari rezeki dan karunia dari Allah. (Bahjatun Nadzirin) Para Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para Nabi ‘alaihimus salaam. Disebutkan bahwa Nabi Dawud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Nabi Zakariya ‘alaihis salam bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Nabi Dawud ‘alaihis salam secara khusus, bukan Nabi yang lain. Hal ini karena Nabi Dawud adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Baari) Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa bekerja dengan melakukan suatu pekerjaan bukanlah merupakan hal yang hina dan cela, karena para Nabi melakukannya, dan yang demikian ini tidak diragukan lagi adalah jauh lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Perbuatan seperti ini adalah karakter mulia karena dia tidak merendahkan diri di hadapan orang lain, akan tetapi memakan dari hasil usahanya sendiri, baik dari usaha perdagangan, industri, ataupun pertanian. Allah Ta’ala berfirman, وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.“ (QS. Al-Muzzamil: 20) (Syarh Riyaadush Shaalihiin) Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya, ia berkata, سُئِلَ رَسُولُ اللهِ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ “Rasulullah ditanya, ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (HR. Al-Hakim, shahih) Larangan meminta-minta Adanya perintah dalam Islam untuk bekerja bagi laki-laki menunjukkan mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala, لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (QS. Al-Baqarah: 273) Bahkan terdapat ancaman secara khusus bagi orang yang sering meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Apabila seseorang meminta-minta kepada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,  مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya bukan termasuk orang fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4: 165; shahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuhkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, shahih) Hanya tiga orang yang diperkenankan boleh meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam hadis Qobishoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya; (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan (seluruh) hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim no. 1044) Kesimpulan Kesimpulannya, bahwa Islam memerintahkan laki-laki untuk bekerja dengan usahanya sendiri sehingga tidak menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain. Hal ini telah dicontohkan oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka bekerja dengan usaha dan keringat mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Islam juga melarang dari meminta-minta dan memberikan ancaman yang keras bagi orang yang suka meminta-minta tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Baca juga: Ketika Istri Bekerja *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Bahjatun Naadziriin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Fathul Baari Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalany. Shahiih Al-Bukhari, karya Imam Bukhari. Syarh Riyaadush Shaalihiin, karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Tafsiir Al-Qur’an Al ‘Adziim, karya Ibnu Katsir. ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-‘Aini.

Hadis: Kewajiban Laki-Laki Muslim untuk Bekerja dan Larangan Meminta-Minta

Daftar Isi Toggle PendahuluanHadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiriHadis pertamaHadis keduaHadis ketigaHadis keempatHadis kelimaHadis keenamBeberapa pelajaran dan faedah dari hadisPara sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriPerintah bagi laki-laki untuk bekerjaPara Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriLarangan meminta-mintaKesimpulan Pendahuluan Kewajiban seorang laki-laki muslim adalah bekerja dari hasil usahanya sendiri sehingga terhindar dari perbuatan meminta-minta. Islam memerintahkan seorang laki-laki untuk bekerja dan melarang dari perbuatan meminta-minta. Dalam tulisan ini, akan disebutkan dalil-dalil yang disebutkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya yang akan menjadi dalil-dalil pokok dalam pembahasan ini disertai penjelasan dari para ulama mengenai pelajaran dan faedah dari hadis-hadis tersebut. Untuk melengkapi penjelasan, akan disebutkan dalil-dalil lain dari Al Qur’an dan juga hadis-hadis selain riwayat Imam Bukhari. Hadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiri Dalam Kitabul Buyu’ Shahih Imam Bukhari, terdapat sebuah bab berjudul: كسب الرجل وعمله بيده   Maksudnya adalah bab mengenai mata pencaharian seseorang dan pekerjaan dengan tagannya sendiri. Ibnu Hajar Al-Asqalany rahimahullah menjelaskan bahwa disebutkan “pekerjaan dengan tangannya sendiri” setelah kalimat “mata pencaharian” adalah penyebutan sesuatu yang sifatnya khusus setelah penyebutan yang lebih umum. Karena mata pencaharian seseorang bersifat lebih umum, mencakup pekerjaan yang murni hasil kerja tangan dan hasil kerja selain tangan. (Fathul Baari Syarh Shahiih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalany) Di dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang menjelaskan mengenai perintah bagi laki-laki untuk bekerja, yaitu: Hadis pertama Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan keadaan ayahnya setelah beliau diangkat menjadi khalifah, menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَؤُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيه “Ketika Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, ia berkata, “Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini, sedangkan dia juga bersungguh bekerja untuk urusan kaum muslimin.“ (HR. Bukhari no. 2070) Hadis kedua Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata, كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ ، وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ “Dulu sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki bau (dari keringat mereka). Kemudian dikatakan kepada mereka, “Seandainya kalian mandi terlebih dahulu.“ (HR Bukhari no. 2071) Hadis ketiga Dari Al-Miqdam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072) Hadis keempat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِه “Adalah Nabi Dawud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari no. 2073) Hadis kelima Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ “Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau tidak memberi sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2074) Hadis keenam Diriwayatkan dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR. Bukhari no. 1471, 2075). Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? Beberapa pelajaran dan faedah dari hadis Hadis-hadis di atas memberikan pelajaran dan faedah, di antaranya: Para sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Badaruddin Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan bahwa para sahabat mereka bekerja dengan tangan mereka sendiri, seperti berdagang dan bertani (Lihat ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari). Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin bekerja. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka adalah pekerja yang banyak menguras keringat. Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan orang-orang yang saleh di masa silam adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak melalaikan mereka dari amal saleh lainnya, seperti beribadah, menuntut ilmu, dan berdakwah di jalan Allah. Usaha yang halal dalam mencari rezeki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikannya dari mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang saleh, رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan dari mengingat kepada Rabb yang menciptakan dan melimpahkan rezeki kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa balasan dari Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan musnah, sedangkan balasan di sisi Allah akan kekal abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Perintah bagi laki-laki untuk bekerja Hadis di atas juga menunjukkan perintah agar kita semangat dalam  bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman Allah, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Yang dimaksud (وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ) adalah bekerja untuk mencari rezeki dan karunia dari Allah. Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly) Nabi juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah. Dalam hadis dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dia berkata, “Ada seseorang yang melewati Nabi, maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, seandainya dia lakukan itu di jalan Allah.” Maka Rasulullah bersabda, “Bila dia keluar rumah demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka dia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (HR. At-Thabarani, shahih) Syaikh Salim Al-Hilaly rahimahullah mengatakan bahwasanya hendaknya setiap muslim bersikap profesional dalam bekerja dengan kemampuannya. Karena dengan demikian, dia tidak berharap dengan orang lain dan akan menjaga dirinya untuk persiapan kebutuhan hidupnya. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.“ (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah mengabarkan bahwa apabila telah selesai menunaikan salat, silakan para hamba untuk bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari rezeki dan karunia dari Allah. (Bahjatun Nadzirin) Para Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para Nabi ‘alaihimus salaam. Disebutkan bahwa Nabi Dawud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Nabi Zakariya ‘alaihis salam bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Nabi Dawud ‘alaihis salam secara khusus, bukan Nabi yang lain. Hal ini karena Nabi Dawud adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Baari) Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa bekerja dengan melakukan suatu pekerjaan bukanlah merupakan hal yang hina dan cela, karena para Nabi melakukannya, dan yang demikian ini tidak diragukan lagi adalah jauh lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Perbuatan seperti ini adalah karakter mulia karena dia tidak merendahkan diri di hadapan orang lain, akan tetapi memakan dari hasil usahanya sendiri, baik dari usaha perdagangan, industri, ataupun pertanian. Allah Ta’ala berfirman, وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.“ (QS. Al-Muzzamil: 20) (Syarh Riyaadush Shaalihiin) Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya, ia berkata, سُئِلَ رَسُولُ اللهِ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ “Rasulullah ditanya, ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (HR. Al-Hakim, shahih) Larangan meminta-minta Adanya perintah dalam Islam untuk bekerja bagi laki-laki menunjukkan mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala, لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (QS. Al-Baqarah: 273) Bahkan terdapat ancaman secara khusus bagi orang yang sering meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Apabila seseorang meminta-minta kepada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,  مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya bukan termasuk orang fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4: 165; shahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuhkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, shahih) Hanya tiga orang yang diperkenankan boleh meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam hadis Qobishoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya; (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan (seluruh) hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim no. 1044) Kesimpulan Kesimpulannya, bahwa Islam memerintahkan laki-laki untuk bekerja dengan usahanya sendiri sehingga tidak menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain. Hal ini telah dicontohkan oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka bekerja dengan usaha dan keringat mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Islam juga melarang dari meminta-minta dan memberikan ancaman yang keras bagi orang yang suka meminta-minta tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Baca juga: Ketika Istri Bekerja *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Bahjatun Naadziriin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Fathul Baari Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalany. Shahiih Al-Bukhari, karya Imam Bukhari. Syarh Riyaadush Shaalihiin, karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Tafsiir Al-Qur’an Al ‘Adziim, karya Ibnu Katsir. ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-‘Aini.
Daftar Isi Toggle PendahuluanHadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiriHadis pertamaHadis keduaHadis ketigaHadis keempatHadis kelimaHadis keenamBeberapa pelajaran dan faedah dari hadisPara sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriPerintah bagi laki-laki untuk bekerjaPara Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriLarangan meminta-mintaKesimpulan Pendahuluan Kewajiban seorang laki-laki muslim adalah bekerja dari hasil usahanya sendiri sehingga terhindar dari perbuatan meminta-minta. Islam memerintahkan seorang laki-laki untuk bekerja dan melarang dari perbuatan meminta-minta. Dalam tulisan ini, akan disebutkan dalil-dalil yang disebutkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya yang akan menjadi dalil-dalil pokok dalam pembahasan ini disertai penjelasan dari para ulama mengenai pelajaran dan faedah dari hadis-hadis tersebut. Untuk melengkapi penjelasan, akan disebutkan dalil-dalil lain dari Al Qur’an dan juga hadis-hadis selain riwayat Imam Bukhari. Hadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiri Dalam Kitabul Buyu’ Shahih Imam Bukhari, terdapat sebuah bab berjudul: كسب الرجل وعمله بيده   Maksudnya adalah bab mengenai mata pencaharian seseorang dan pekerjaan dengan tagannya sendiri. Ibnu Hajar Al-Asqalany rahimahullah menjelaskan bahwa disebutkan “pekerjaan dengan tangannya sendiri” setelah kalimat “mata pencaharian” adalah penyebutan sesuatu yang sifatnya khusus setelah penyebutan yang lebih umum. Karena mata pencaharian seseorang bersifat lebih umum, mencakup pekerjaan yang murni hasil kerja tangan dan hasil kerja selain tangan. (Fathul Baari Syarh Shahiih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalany) Di dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang menjelaskan mengenai perintah bagi laki-laki untuk bekerja, yaitu: Hadis pertama Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan keadaan ayahnya setelah beliau diangkat menjadi khalifah, menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَؤُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيه “Ketika Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, ia berkata, “Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini, sedangkan dia juga bersungguh bekerja untuk urusan kaum muslimin.“ (HR. Bukhari no. 2070) Hadis kedua Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata, كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ ، وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ “Dulu sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki bau (dari keringat mereka). Kemudian dikatakan kepada mereka, “Seandainya kalian mandi terlebih dahulu.“ (HR Bukhari no. 2071) Hadis ketiga Dari Al-Miqdam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072) Hadis keempat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِه “Adalah Nabi Dawud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari no. 2073) Hadis kelima Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ “Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau tidak memberi sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2074) Hadis keenam Diriwayatkan dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR. Bukhari no. 1471, 2075). Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? Beberapa pelajaran dan faedah dari hadis Hadis-hadis di atas memberikan pelajaran dan faedah, di antaranya: Para sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Badaruddin Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan bahwa para sahabat mereka bekerja dengan tangan mereka sendiri, seperti berdagang dan bertani (Lihat ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari). Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin bekerja. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka adalah pekerja yang banyak menguras keringat. Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan orang-orang yang saleh di masa silam adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak melalaikan mereka dari amal saleh lainnya, seperti beribadah, menuntut ilmu, dan berdakwah di jalan Allah. Usaha yang halal dalam mencari rezeki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikannya dari mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang saleh, رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan dari mengingat kepada Rabb yang menciptakan dan melimpahkan rezeki kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa balasan dari Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan musnah, sedangkan balasan di sisi Allah akan kekal abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Perintah bagi laki-laki untuk bekerja Hadis di atas juga menunjukkan perintah agar kita semangat dalam  bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman Allah, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Yang dimaksud (وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ) adalah bekerja untuk mencari rezeki dan karunia dari Allah. Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly) Nabi juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah. Dalam hadis dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dia berkata, “Ada seseorang yang melewati Nabi, maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, seandainya dia lakukan itu di jalan Allah.” Maka Rasulullah bersabda, “Bila dia keluar rumah demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka dia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (HR. At-Thabarani, shahih) Syaikh Salim Al-Hilaly rahimahullah mengatakan bahwasanya hendaknya setiap muslim bersikap profesional dalam bekerja dengan kemampuannya. Karena dengan demikian, dia tidak berharap dengan orang lain dan akan menjaga dirinya untuk persiapan kebutuhan hidupnya. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.“ (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah mengabarkan bahwa apabila telah selesai menunaikan salat, silakan para hamba untuk bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari rezeki dan karunia dari Allah. (Bahjatun Nadzirin) Para Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para Nabi ‘alaihimus salaam. Disebutkan bahwa Nabi Dawud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Nabi Zakariya ‘alaihis salam bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Nabi Dawud ‘alaihis salam secara khusus, bukan Nabi yang lain. Hal ini karena Nabi Dawud adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Baari) Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa bekerja dengan melakukan suatu pekerjaan bukanlah merupakan hal yang hina dan cela, karena para Nabi melakukannya, dan yang demikian ini tidak diragukan lagi adalah jauh lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Perbuatan seperti ini adalah karakter mulia karena dia tidak merendahkan diri di hadapan orang lain, akan tetapi memakan dari hasil usahanya sendiri, baik dari usaha perdagangan, industri, ataupun pertanian. Allah Ta’ala berfirman, وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.“ (QS. Al-Muzzamil: 20) (Syarh Riyaadush Shaalihiin) Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya, ia berkata, سُئِلَ رَسُولُ اللهِ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ “Rasulullah ditanya, ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (HR. Al-Hakim, shahih) Larangan meminta-minta Adanya perintah dalam Islam untuk bekerja bagi laki-laki menunjukkan mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala, لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (QS. Al-Baqarah: 273) Bahkan terdapat ancaman secara khusus bagi orang yang sering meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Apabila seseorang meminta-minta kepada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,  مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya bukan termasuk orang fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4: 165; shahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuhkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, shahih) Hanya tiga orang yang diperkenankan boleh meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam hadis Qobishoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya; (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan (seluruh) hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim no. 1044) Kesimpulan Kesimpulannya, bahwa Islam memerintahkan laki-laki untuk bekerja dengan usahanya sendiri sehingga tidak menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain. Hal ini telah dicontohkan oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka bekerja dengan usaha dan keringat mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Islam juga melarang dari meminta-minta dan memberikan ancaman yang keras bagi orang yang suka meminta-minta tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Baca juga: Ketika Istri Bekerja *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Bahjatun Naadziriin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Fathul Baari Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalany. Shahiih Al-Bukhari, karya Imam Bukhari. Syarh Riyaadush Shaalihiin, karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Tafsiir Al-Qur’an Al ‘Adziim, karya Ibnu Katsir. ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-‘Aini.


Daftar Isi Toggle PendahuluanHadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiriHadis pertamaHadis keduaHadis ketigaHadis keempatHadis kelimaHadis keenamBeberapa pelajaran dan faedah dari hadisPara sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriPerintah bagi laki-laki untuk bekerjaPara Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiriLarangan meminta-mintaKesimpulan Pendahuluan Kewajiban seorang laki-laki muslim adalah bekerja dari hasil usahanya sendiri sehingga terhindar dari perbuatan meminta-minta. Islam memerintahkan seorang laki-laki untuk bekerja dan melarang dari perbuatan meminta-minta. Dalam tulisan ini, akan disebutkan dalil-dalil yang disebutkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya yang akan menjadi dalil-dalil pokok dalam pembahasan ini disertai penjelasan dari para ulama mengenai pelajaran dan faedah dari hadis-hadis tersebut. Untuk melengkapi penjelasan, akan disebutkan dalil-dalil lain dari Al Qur’an dan juga hadis-hadis selain riwayat Imam Bukhari. Hadis-hadis dalam Shahih Bukhari mengenai perintah untuk bekerja dari hasil usaha sendiri Dalam Kitabul Buyu’ Shahih Imam Bukhari, terdapat sebuah bab berjudul: كسب الرجل وعمله بيده   Maksudnya adalah bab mengenai mata pencaharian seseorang dan pekerjaan dengan tagannya sendiri. Ibnu Hajar Al-Asqalany rahimahullah menjelaskan bahwa disebutkan “pekerjaan dengan tangannya sendiri” setelah kalimat “mata pencaharian” adalah penyebutan sesuatu yang sifatnya khusus setelah penyebutan yang lebih umum. Karena mata pencaharian seseorang bersifat lebih umum, mencakup pekerjaan yang murni hasil kerja tangan dan hasil kerja selain tangan. (Fathul Baari Syarh Shahiih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalany) Di dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang menjelaskan mengenai perintah bagi laki-laki untuk bekerja, yaitu: Hadis pertama Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan keadaan ayahnya setelah beliau diangkat menjadi khalifah, menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَمَّا اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَالَ لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لَمْ تَكُنْ تَعْجِزُ عَنْ مَؤُونَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أَبِي بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فِيه “Ketika Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, ia berkata, “Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku mencari nafkah tidak akan melemahkan urusanku terhadap keluargaku, sementara aku juga disibukkan dengan urusan kaum muslimin. Maka keluarga Abu Bakar akan makan dari harta yang aku usahakan ini, sedangkan dia juga bersungguh bekerja untuk urusan kaum muslimin.“ (HR. Bukhari no. 2070) Hadis kedua Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata, كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ ، وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ “Dulu sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pekerja untuk diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki bau (dari keringat mereka). Kemudian dikatakan kepada mereka, “Seandainya kalian mandi terlebih dahulu.“ (HR Bukhari no. 2071) Hadis ketiga Dari Al-Miqdam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ “Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072) Hadis keempat Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِه “Adalah Nabi Dawud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari no. 2073) Hadis kelima Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ “Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau tidak memberi sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2074) Hadis keenam Diriwayatkan dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR. Bukhari no. 1471, 2075). Baca juga: Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala? Beberapa pelajaran dan faedah dari hadis Hadis-hadis di atas memberikan pelajaran dan faedah, di antaranya: Para sahabat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Badaruddin Al-‘Aini rahimahullah menjelaskan bahwa para sahabat mereka bekerja dengan tangan mereka sendiri, seperti berdagang dan bertani (Lihat ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari). Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin bekerja. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka adalah pekerja yang banyak menguras keringat. Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan orang-orang yang saleh di masa silam adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri. Hal ini tidak melalaikan mereka dari amal saleh lainnya, seperti beribadah, menuntut ilmu, dan berdakwah di jalan Allah. Usaha yang halal dalam mencari rezeki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikannya dari mengingat Allah. Allah Ta’ala berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang saleh, رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan dari mengingat kepada Rabb yang menciptakan dan melimpahkan rezeki kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa balasan dari Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan musnah, sedangkan balasan di sisi Allah akan kekal abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir) Perintah bagi laki-laki untuk bekerja Hadis di atas juga menunjukkan perintah agar kita semangat dalam  bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam firman Allah, هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15) Yang dimaksud (وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ) adalah bekerja untuk mencari rezeki dan karunia dari Allah. Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly) Nabi juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah. Dalam hadis dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dia berkata, “Ada seseorang yang melewati Nabi, maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, seandainya dia lakukan itu di jalan Allah.” Maka Rasulullah bersabda, “Bila dia keluar rumah demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, maka dia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka dia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (HR. At-Thabarani, shahih) Syaikh Salim Al-Hilaly rahimahullah mengatakan bahwasanya hendaknya setiap muslim bersikap profesional dalam bekerja dengan kemampuannya. Karena dengan demikian, dia tidak berharap dengan orang lain dan akan menjaga dirinya untuk persiapan kebutuhan hidupnya. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.“ (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah mengabarkan bahwa apabila telah selesai menunaikan salat, silakan para hamba untuk bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari rezeki dan karunia dari Allah. (Bahjatun Nadzirin) Para Nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para Nabi ‘alaihimus salaam. Disebutkan bahwa Nabi Dawud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Nabi Zakariya ‘alaihis salam bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Nabi Dawud ‘alaihis salam secara khusus, bukan Nabi yang lain. Hal ini karena Nabi Dawud adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Baari) Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa bekerja dengan melakukan suatu pekerjaan bukanlah merupakan hal yang hina dan cela, karena para Nabi melakukannya, dan yang demikian ini tidak diragukan lagi adalah jauh lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Perbuatan seperti ini adalah karakter mulia karena dia tidak merendahkan diri di hadapan orang lain, akan tetapi memakan dari hasil usahanya sendiri, baik dari usaha perdagangan, industri, ataupun pertanian. Allah Ta’ala berfirman, وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.“ (QS. Al-Muzzamil: 20) (Syarh Riyaadush Shaalihiin) Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya, ia berkata, سُئِلَ رَسُولُ اللهِ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ “Rasulullah ditanya, ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (HR. Al-Hakim, shahih) Larangan meminta-minta Adanya perintah dalam Islam untuk bekerja bagi laki-laki menunjukkan mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala, لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (QS. Al-Baqarah: 273) Bahkan terdapat ancaman secara khusus bagi orang yang sering meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Apabila seseorang meminta-minta kepada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,  مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya bukan termasuk orang fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4: 165; shahih) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuhkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, shahih) Hanya tiga orang yang diperkenankan boleh meminta-minta sebagaimana disebutkan dalam hadis Qobishoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya; (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan (seluruh) hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim no. 1044) Kesimpulan Kesimpulannya, bahwa Islam memerintahkan laki-laki untuk bekerja dengan usahanya sendiri sehingga tidak menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain. Hal ini telah dicontohkan oleh para Nabi ‘alaihimus salam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka bekerja dengan usaha dan keringat mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Islam juga melarang dari meminta-minta dan memberikan ancaman yang keras bagi orang yang suka meminta-minta tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Baca juga: Ketika Istri Bekerja *** Penulis: Adika Mianoki Artikel Muslim.or.id   Referensi: Bahjatun Naadziriin, karya Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Fathul Baari Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalany. Shahiih Al-Bukhari, karya Imam Bukhari. Syarh Riyaadush Shaalihiin, karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Tafsiir Al-Qur’an Al ‘Adziim, karya Ibnu Katsir. ‘Umdatul Qoriy Syarh Shahiih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-‘Aini.

Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka

Daftar Isi Toggle Pertama, amal rahasiaKedua, dosa rahasiaPenutup Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada dua sisi: kebaikan dan keburukan. Menariknya, baik amal baik maupun perbuatan buruk bisa dilakukan secara rahasia. Namun, keduanya memiliki akibat yang sangat berbeda di sisi Allah Ta’ala. Merahasiakan amal saleh adalah sebuah kemuliaan, sementara merahasiakan maksiat justru bisa menjadi jalan menuju kebinasaan. Pertama, amal rahasia Amal rahasia adalah amal saleh yang kita lakukan dan hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahuinya, sedangkan orang lain tidak tahu tentangnya. Tidak sembarang orang bisa melakukan suatu amal rahasia ini, sebagaimana orang-orang munafik yang menampakkan amal ibadah dan kebaikan untuk dilihat manusia, akan tetapi hati mereka mengingkari amalan (kepercayaan) tersebut. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa: 142) Dari ayat di atas dapat kita ketahui dua ciri atau sifat orang munafik dalam melakukan amal ketaatan, yaitu malas melakukannya dan berharap sanjungan dari orang lain. Oleh karenanya, amal rahasia tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik. Amalan rahasia jumlahnya banyak, tapi secara umum bisa dikatagorikan menjadi dua: 1) amal rahasia yang tempatnya di hati (biasa disebut dengan amalan atau ibadah hati: ikhlas, tawakal, takut, syukur, rida, sabar, muhasabah, tafakkur, mahabbah, takwa, wara, khusyu’); dan 2) amal rahasia yang dilakukan oleh anggota tubuh yang asalnya bisa dilihat orang lain, tetapi ia menyembunyikannya. Amalan yang dirahasiakan ini biasanya lebih menjaga keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata: (di antaranya) seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Banyak contoh dari ulama terdahulu dalam merahasiakan dan menyembunyikan amalan. Berikut beberapa kisahnya. Al-Hafizh Hammad bin Zaid rahimahullah pernah mengisahkan, كَانَ أَيُّوْبُ فِي مَجْلِسٍ، فَجَاءتْهُ عَبْرَةٌ، فَجَعَلَ يَمْتَخِطُ وَيَقُوْلُ: مَا أَشَدَّ الزُّكَامَ! “Ayyub as-Sikhtiyani pernah berada di sebuah majelis hingga ia mulai menangis (karena suatu kalimat). Saat itu, beliau mulai nampak memperlihatkan mengeluarkan lendir dari hidung beliau, sambil menyatakan, ‘Betapa berat penyakit flu!’” –pernyataan ini tidak tergolong dusta. Karena beliau hanya menyebutkan, ‘Betapa berat penyakit flu!’; bukan, ‘Saya sedang flu.’ (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 20) Dari Ibnu Abi Adi rahimahullah menceritakan, صَامَ دَاوُدُ بنُ أَبِي هِنْدٍ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، لاَ يَعْلَمُ بِهِ أَهْلُه. كَانَ خَزَّازاً، يَحْمِلُ مَعَهُ غَدَاءهُ، فَيَتصدَّقُ بِهِ فِي الطَّرِيقِ “Dawud bin Abi Hind menjalani puasa sunah selama empat puluh tahun tanpa diketahui sama sekali oleh keluarganya. Berprofesi sebagai pedagang kain, tiap pagi beliau berangkat ke tokonya dengan membawa bekal makanan, di tengah perjalanan beliau menyedekahkannya.” (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 378) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Kedua, dosa rahasia Dosa rahasia adalah dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jauh dari pandangan manusia, dan hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah Ta’ala. Secara umum dosa rahasia bisa dikatagorikan menjadi dua: dosa yang ada di dalam hati (iri, dengki, ujub, sombong, dan lainnya) dan dosa yang dilakukan anggota tubuh. Dosa rahasia ini bisa menyebabkan pelakunya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ “Ada seseorang yang melakukan amalan penghuni surga, hingga terlihat oleh manusia menjadi penghuninya padahal ia termasuk penghuni neraka. Sebaliknya, ada seseorang yang melakukan amalan penghuni neraka hingga terlihat oleh manusia ia menjadi penghuninya, padahal ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا “Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga), sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga jarak antara di dengan neraka tinggal satu hasta. Namun dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Selain dapat menyebabkan su’ul khatimah, dosa rahasia ini juga dapat menghapuskan pahala. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka salat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245) Penutup Sesuatu yang tersembunyi itu bukan berarti selalu selamat, dan yang terlihat tidak selalu celaka. Tapi semua akan kembali pada hati — apakah ia tulus karena Allah, atau hanya sedang bermain peran di hadapan manusia. Mari kita perbaiki niat, perkuat taat, dan tinggalkan maksiat. Semoga amal tersembunyi kita menjadi cahaya yang menuntun ke surga, dan semoga Allah menutupi dosa kita hingga sempat mencucinya dengan taubat. Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id

Dua Amal Rahasia Pengantar ke Surga dan Neraka

Daftar Isi Toggle Pertama, amal rahasiaKedua, dosa rahasiaPenutup Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada dua sisi: kebaikan dan keburukan. Menariknya, baik amal baik maupun perbuatan buruk bisa dilakukan secara rahasia. Namun, keduanya memiliki akibat yang sangat berbeda di sisi Allah Ta’ala. Merahasiakan amal saleh adalah sebuah kemuliaan, sementara merahasiakan maksiat justru bisa menjadi jalan menuju kebinasaan. Pertama, amal rahasia Amal rahasia adalah amal saleh yang kita lakukan dan hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahuinya, sedangkan orang lain tidak tahu tentangnya. Tidak sembarang orang bisa melakukan suatu amal rahasia ini, sebagaimana orang-orang munafik yang menampakkan amal ibadah dan kebaikan untuk dilihat manusia, akan tetapi hati mereka mengingkari amalan (kepercayaan) tersebut. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa: 142) Dari ayat di atas dapat kita ketahui dua ciri atau sifat orang munafik dalam melakukan amal ketaatan, yaitu malas melakukannya dan berharap sanjungan dari orang lain. Oleh karenanya, amal rahasia tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik. Amalan rahasia jumlahnya banyak, tapi secara umum bisa dikatagorikan menjadi dua: 1) amal rahasia yang tempatnya di hati (biasa disebut dengan amalan atau ibadah hati: ikhlas, tawakal, takut, syukur, rida, sabar, muhasabah, tafakkur, mahabbah, takwa, wara, khusyu’); dan 2) amal rahasia yang dilakukan oleh anggota tubuh yang asalnya bisa dilihat orang lain, tetapi ia menyembunyikannya. Amalan yang dirahasiakan ini biasanya lebih menjaga keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata: (di antaranya) seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Banyak contoh dari ulama terdahulu dalam merahasiakan dan menyembunyikan amalan. Berikut beberapa kisahnya. Al-Hafizh Hammad bin Zaid rahimahullah pernah mengisahkan, كَانَ أَيُّوْبُ فِي مَجْلِسٍ، فَجَاءتْهُ عَبْرَةٌ، فَجَعَلَ يَمْتَخِطُ وَيَقُوْلُ: مَا أَشَدَّ الزُّكَامَ! “Ayyub as-Sikhtiyani pernah berada di sebuah majelis hingga ia mulai menangis (karena suatu kalimat). Saat itu, beliau mulai nampak memperlihatkan mengeluarkan lendir dari hidung beliau, sambil menyatakan, ‘Betapa berat penyakit flu!’” –pernyataan ini tidak tergolong dusta. Karena beliau hanya menyebutkan, ‘Betapa berat penyakit flu!’; bukan, ‘Saya sedang flu.’ (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 20) Dari Ibnu Abi Adi rahimahullah menceritakan, صَامَ دَاوُدُ بنُ أَبِي هِنْدٍ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، لاَ يَعْلَمُ بِهِ أَهْلُه. كَانَ خَزَّازاً، يَحْمِلُ مَعَهُ غَدَاءهُ، فَيَتصدَّقُ بِهِ فِي الطَّرِيقِ “Dawud bin Abi Hind menjalani puasa sunah selama empat puluh tahun tanpa diketahui sama sekali oleh keluarganya. Berprofesi sebagai pedagang kain, tiap pagi beliau berangkat ke tokonya dengan membawa bekal makanan, di tengah perjalanan beliau menyedekahkannya.” (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 378) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Kedua, dosa rahasia Dosa rahasia adalah dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jauh dari pandangan manusia, dan hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah Ta’ala. Secara umum dosa rahasia bisa dikatagorikan menjadi dua: dosa yang ada di dalam hati (iri, dengki, ujub, sombong, dan lainnya) dan dosa yang dilakukan anggota tubuh. Dosa rahasia ini bisa menyebabkan pelakunya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ “Ada seseorang yang melakukan amalan penghuni surga, hingga terlihat oleh manusia menjadi penghuninya padahal ia termasuk penghuni neraka. Sebaliknya, ada seseorang yang melakukan amalan penghuni neraka hingga terlihat oleh manusia ia menjadi penghuninya, padahal ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا “Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga), sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga jarak antara di dengan neraka tinggal satu hasta. Namun dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Selain dapat menyebabkan su’ul khatimah, dosa rahasia ini juga dapat menghapuskan pahala. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka salat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245) Penutup Sesuatu yang tersembunyi itu bukan berarti selalu selamat, dan yang terlihat tidak selalu celaka. Tapi semua akan kembali pada hati — apakah ia tulus karena Allah, atau hanya sedang bermain peran di hadapan manusia. Mari kita perbaiki niat, perkuat taat, dan tinggalkan maksiat. Semoga amal tersembunyi kita menjadi cahaya yang menuntun ke surga, dan semoga Allah menutupi dosa kita hingga sempat mencucinya dengan taubat. Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama, amal rahasiaKedua, dosa rahasiaPenutup Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada dua sisi: kebaikan dan keburukan. Menariknya, baik amal baik maupun perbuatan buruk bisa dilakukan secara rahasia. Namun, keduanya memiliki akibat yang sangat berbeda di sisi Allah Ta’ala. Merahasiakan amal saleh adalah sebuah kemuliaan, sementara merahasiakan maksiat justru bisa menjadi jalan menuju kebinasaan. Pertama, amal rahasia Amal rahasia adalah amal saleh yang kita lakukan dan hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahuinya, sedangkan orang lain tidak tahu tentangnya. Tidak sembarang orang bisa melakukan suatu amal rahasia ini, sebagaimana orang-orang munafik yang menampakkan amal ibadah dan kebaikan untuk dilihat manusia, akan tetapi hati mereka mengingkari amalan (kepercayaan) tersebut. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa: 142) Dari ayat di atas dapat kita ketahui dua ciri atau sifat orang munafik dalam melakukan amal ketaatan, yaitu malas melakukannya dan berharap sanjungan dari orang lain. Oleh karenanya, amal rahasia tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik. Amalan rahasia jumlahnya banyak, tapi secara umum bisa dikatagorikan menjadi dua: 1) amal rahasia yang tempatnya di hati (biasa disebut dengan amalan atau ibadah hati: ikhlas, tawakal, takut, syukur, rida, sabar, muhasabah, tafakkur, mahabbah, takwa, wara, khusyu’); dan 2) amal rahasia yang dilakukan oleh anggota tubuh yang asalnya bisa dilihat orang lain, tetapi ia menyembunyikannya. Amalan yang dirahasiakan ini biasanya lebih menjaga keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata: (di antaranya) seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Banyak contoh dari ulama terdahulu dalam merahasiakan dan menyembunyikan amalan. Berikut beberapa kisahnya. Al-Hafizh Hammad bin Zaid rahimahullah pernah mengisahkan, كَانَ أَيُّوْبُ فِي مَجْلِسٍ، فَجَاءتْهُ عَبْرَةٌ، فَجَعَلَ يَمْتَخِطُ وَيَقُوْلُ: مَا أَشَدَّ الزُّكَامَ! “Ayyub as-Sikhtiyani pernah berada di sebuah majelis hingga ia mulai menangis (karena suatu kalimat). Saat itu, beliau mulai nampak memperlihatkan mengeluarkan lendir dari hidung beliau, sambil menyatakan, ‘Betapa berat penyakit flu!’” –pernyataan ini tidak tergolong dusta. Karena beliau hanya menyebutkan, ‘Betapa berat penyakit flu!’; bukan, ‘Saya sedang flu.’ (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 20) Dari Ibnu Abi Adi rahimahullah menceritakan, صَامَ دَاوُدُ بنُ أَبِي هِنْدٍ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، لاَ يَعْلَمُ بِهِ أَهْلُه. كَانَ خَزَّازاً، يَحْمِلُ مَعَهُ غَدَاءهُ، فَيَتصدَّقُ بِهِ فِي الطَّرِيقِ “Dawud bin Abi Hind menjalani puasa sunah selama empat puluh tahun tanpa diketahui sama sekali oleh keluarganya. Berprofesi sebagai pedagang kain, tiap pagi beliau berangkat ke tokonya dengan membawa bekal makanan, di tengah perjalanan beliau menyedekahkannya.” (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 378) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Kedua, dosa rahasia Dosa rahasia adalah dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jauh dari pandangan manusia, dan hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah Ta’ala. Secara umum dosa rahasia bisa dikatagorikan menjadi dua: dosa yang ada di dalam hati (iri, dengki, ujub, sombong, dan lainnya) dan dosa yang dilakukan anggota tubuh. Dosa rahasia ini bisa menyebabkan pelakunya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ “Ada seseorang yang melakukan amalan penghuni surga, hingga terlihat oleh manusia menjadi penghuninya padahal ia termasuk penghuni neraka. Sebaliknya, ada seseorang yang melakukan amalan penghuni neraka hingga terlihat oleh manusia ia menjadi penghuninya, padahal ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا “Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga), sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga jarak antara di dengan neraka tinggal satu hasta. Namun dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Selain dapat menyebabkan su’ul khatimah, dosa rahasia ini juga dapat menghapuskan pahala. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka salat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245) Penutup Sesuatu yang tersembunyi itu bukan berarti selalu selamat, dan yang terlihat tidak selalu celaka. Tapi semua akan kembali pada hati — apakah ia tulus karena Allah, atau hanya sedang bermain peran di hadapan manusia. Mari kita perbaiki niat, perkuat taat, dan tinggalkan maksiat. Semoga amal tersembunyi kita menjadi cahaya yang menuntun ke surga, dan semoga Allah menutupi dosa kita hingga sempat mencucinya dengan taubat. Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama, amal rahasiaKedua, dosa rahasiaPenutup Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada dua sisi: kebaikan dan keburukan. Menariknya, baik amal baik maupun perbuatan buruk bisa dilakukan secara rahasia. Namun, keduanya memiliki akibat yang sangat berbeda di sisi Allah Ta’ala. Merahasiakan amal saleh adalah sebuah kemuliaan, sementara merahasiakan maksiat justru bisa menjadi jalan menuju kebinasaan. Pertama, amal rahasia Amal rahasia adalah amal saleh yang kita lakukan dan hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahuinya, sedangkan orang lain tidak tahu tentangnya. Tidak sembarang orang bisa melakukan suatu amal rahasia ini, sebagaimana orang-orang munafik yang menampakkan amal ibadah dan kebaikan untuk dilihat manusia, akan tetapi hati mereka mengingkari amalan (kepercayaan) tersebut. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa: 142) Dari ayat di atas dapat kita ketahui dua ciri atau sifat orang munafik dalam melakukan amal ketaatan, yaitu malas melakukannya dan berharap sanjungan dari orang lain. Oleh karenanya, amal rahasia tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik. Amalan rahasia jumlahnya banyak, tapi secara umum bisa dikatagorikan menjadi dua: 1) amal rahasia yang tempatnya di hati (biasa disebut dengan amalan atau ibadah hati: ikhlas, tawakal, takut, syukur, rida, sabar, muhasabah, tafakkur, mahabbah, takwa, wara, khusyu’); dan 2) amal rahasia yang dilakukan oleh anggota tubuh yang asalnya bisa dilihat orang lain, tetapi ia menyembunyikannya. Amalan yang dirahasiakan ini biasanya lebih menjaga keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman, إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata: (di antaranya) seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Banyak contoh dari ulama terdahulu dalam merahasiakan dan menyembunyikan amalan. Berikut beberapa kisahnya. Al-Hafizh Hammad bin Zaid rahimahullah pernah mengisahkan, كَانَ أَيُّوْبُ فِي مَجْلِسٍ، فَجَاءتْهُ عَبْرَةٌ، فَجَعَلَ يَمْتَخِطُ وَيَقُوْلُ: مَا أَشَدَّ الزُّكَامَ! “Ayyub as-Sikhtiyani pernah berada di sebuah majelis hingga ia mulai menangis (karena suatu kalimat). Saat itu, beliau mulai nampak memperlihatkan mengeluarkan lendir dari hidung beliau, sambil menyatakan, ‘Betapa berat penyakit flu!’” –pernyataan ini tidak tergolong dusta. Karena beliau hanya menyebutkan, ‘Betapa berat penyakit flu!’; bukan, ‘Saya sedang flu.’ (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 20) Dari Ibnu Abi Adi rahimahullah menceritakan, صَامَ دَاوُدُ بنُ أَبِي هِنْدٍ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، لاَ يَعْلَمُ بِهِ أَهْلُه. كَانَ خَزَّازاً، يَحْمِلُ مَعَهُ غَدَاءهُ، فَيَتصدَّقُ بِهِ فِي الطَّرِيقِ “Dawud bin Abi Hind menjalani puasa sunah selama empat puluh tahun tanpa diketahui sama sekali oleh keluarganya. Berprofesi sebagai pedagang kain, tiap pagi beliau berangkat ke tokonya dengan membawa bekal makanan, di tengah perjalanan beliau menyedekahkannya.” (Lihat Siyar A’lam an-Nubala’, 6: 378) Baca juga: Doa Memohon Ilmu, Rezeki, dan Amal yang Diterima Kedua, dosa rahasia Dosa rahasia adalah dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jauh dari pandangan manusia, dan hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah Ta’ala. Secara umum dosa rahasia bisa dikatagorikan menjadi dua: dosa yang ada di dalam hati (iri, dengki, ujub, sombong, dan lainnya) dan dosa yang dilakukan anggota tubuh. Dosa rahasia ini bisa menyebabkan pelakunya meninggal dalam keadaan su’ul khatimah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ “Ada seseorang yang melakukan amalan penghuni surga, hingga terlihat oleh manusia menjadi penghuninya padahal ia termasuk penghuni neraka. Sebaliknya, ada seseorang yang melakukan amalan penghuni neraka hingga terlihat oleh manusia ia menjadi penghuninya, padahal ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat yang lain, إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا “Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga), sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka, hingga jarak antara di dengan neraka tinggal satu hasta. Namun dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Selain dapat menyebabkan su’ul khatimah, dosa rahasia ini juga dapat menghapuskan pahala. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka salat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245) Penutup Sesuatu yang tersembunyi itu bukan berarti selalu selamat, dan yang terlihat tidak selalu celaka. Tapi semua akan kembali pada hati — apakah ia tulus karena Allah, atau hanya sedang bermain peran di hadapan manusia. Mari kita perbaiki niat, perkuat taat, dan tinggalkan maksiat. Semoga amal tersembunyi kita menjadi cahaya yang menuntun ke surga, dan semoga Allah menutupi dosa kita hingga sempat mencucinya dengan taubat. Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel Muslim.or.id

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi   QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   QS. Al-Kahfi ayat keenam Allah Ta’ala berfirman, فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6) Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka. Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain: لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3) Dan firman-Nya: فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ “Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8) Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman: فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6) Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka. Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun. Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah. Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat. Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56) Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata: رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25) Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan: فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ “Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22)   QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapan Allah Ta’ala berfirman, إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7) وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8) Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya. Allah berfirman: لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.” Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya. Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan. Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya.   QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12 Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9) إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا “(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10) فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11) ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12) Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa. Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua. Nama anjing mereka adalah Humron. Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563. Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566. Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ “ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139). Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama. Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah. Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di Dalamnya Semoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya.   ______   @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagi Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Biografi Abdullah bin Al-Mubarak

Daftar Isi Toggle Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmuIbnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar)Pujian para ulama kepada beliau rahimahullahGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauWafatnya beliau Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Beliau lebih dikenal dengan nama “Ibnu Al-Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi (daerah yang sekarang terletak di negeri Iran dan Uzbekistan). Beliau dilahirkan pada tahun 118 Hijriyah, di Marwa (Merv) salah satu wilayah di negeri Khurasan (terletak di negara Afghanistan dan Turkmenistan saat ini). Dan beliau dikenal dengan banyak julukan, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Dan karena usia beliau banyak dihabiskan untuk melakukan perjalanan jauh (safar), baik dalam rangka berhaji, berjihad, berdagang, dan menuntut ilmu. Beliau dikenal dengan sebutan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan). Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmu Imam Ibnu Al-Mubarak adalah seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal memiliki pengetahuan sangat luas dalam berbagai bidang, di antaranya ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, syair, sejarah, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya. Beliau juga dikenal karena kesalehannya, orang-orang banyak mengenalnya sebagai ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud, dermawan, dan pemberani. Beliau sangat dikenal juga dengan semangatnya dalam menuntut ilmu. Beliau memulai perjalanan menuntut ilmunya di usia 20 tahun. Tidak diketahui mengapa beliau terlambat dalam hal ini, bisa saja karena latar belakang keadaan keluarga beliau. Meskipun demikian, beliau sangat luas keilmuannya. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga melampaui yang lainnya. Karena yang terpenting dalam menuntut ilmu bukanlah kapan memulainya, bukan pula berapa lamanya waktu yang dihabiskan untuk menuntut ilmu, akan tetapi yang terpenting adalah keberkahan dari ilmu tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah memberikan pujiannya kepada beliau, لم يكن في زمانه أطلب للعلم منه، جمع أمرًا عظيمًا ما كان أحد أقل سقطًا منه، كان رجلًا صاحب حديث حافظ “Tidak ada seorang pun di zamannya yang lebih haus akan ilmu daripada beliau, beliau mengumpulkan banyak ilmu dan hal yang agung, dan tidak ada seorang pun yang lebih sedikit kesalahannya daripada beliau, beliau adalah seorang ahli hadis sejati dan seorang penghafal yang kuat.” (Tahdzib At-Tahdzib, 2: 415) Di dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’ (7: 376) disebutkan bahwa Ibnu Al-Mubarak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, حملت العلم عن أربعة آلاف شيخ، فرويت عن ألف شيخ “Aku mengambil ilmu dari empat ribu guru, dan meriwayatkan dari seribu guru.” Ibnu al-Mubarak berpendapat bahwa ilmu adalah kemuliaan terbesar yang seseorang tidak memerlukan kemuliaan lain selainnya. Beliau pernah berkata, عجبت لمن لم يطلب العلم، كيف تدعوه نفسه إلى مكرمة “Aku heran kepada seseorang yang tidak menuntut ilmu, bagaimana caranya jiwanya dapat mendorongnya untuk meraih kemuliaan?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Beliau rahimahullah sangat gemar membaca, mencintai buku, dan melihat bahwa dalam duduk dan berlama-lamanya beliau membersamai kitab dan buku akan mendatangkan ketenangan dan kenyamanan untuk diri beliau. Beliau juga memandang bahwa dengan berada di antara kitab dan buku, maka akan menyelamatkannya dari majelis ghibah dan tempat-tempat serta kegiatan-kegiatan yang menyia-nyiakan waktu. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Suatu hari dikatakan kepada Ibnu Al-Mubarak, “Setelah engkau selesai menunaikan salat, mengapa engkau tidak duduk-duduk bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku duduk bersama para sahabat dan tabi’in, aku amati setiap kitab-kitab dan atsar-atsar peninggalan mereka. Lalu apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian? Sedang kalian menggunjing orang?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Ibnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar) Ada satu poin penting dari kisah kehidupan beliau rahimahullah yang seharusnya diperhatikan, ditiru, dan menjadi motivasi bagi penggerak dakwah dan mereka yang bergelut dalam bidang ilmu di masa sekarang, yaitu tentang bagaimana mandirinya beliau rahimahullah dalam hal harta dan kekayaan. Beliau berdagang karena alasan yang sah yang berkaitan dengan dirinya dan orang-orang yang yang beliau cintai. Ali bin Al-Fudhail berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata kepada Ibn al-Mubarak, “Anda memerintahkan kami untuk zuhud, hidup sederhana dan hemat, tetapi kami melihat Anda membawa barang dagangan, bagaimana bisa begitu?!” Abdullah bin Al-Mubarak lalu berkata, “Wahai Abu Ali, aku melakukan ini hanya untuk menjaga kehormatan diriku, memuliakan martabat diriku, dan menggunakannya untuk membantu diriku taat kepada Tuhanku.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 409) Dan di antara orang-orang yang paling beliau cintai yang menjadi alasan beliau untuk berdagang adalah para ulama dan penuntut ilmu. Beliau sangat memuliakan mereka, menafkahi mereka dengan nafkah yang besar, mempererat hubungan dengan mereka, dan memperhatikan keadaan mereka semua. Beliau membantu mereka untuk terus belajar dan mengajar. Suatu hari, beliau pernah berkata kepada Fudhail bin ‘Iyadh, “Seandainya bukan karena dirimu dan sahabat-sahabatmu, niscaya aku tidak akan berdagang.” Dikatakan juga bahwa beliau menafkahi orang-orang fakir setiap tahunnya seratus ribu dirham. (Tahdzib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, 20: 355) Beliau rahimahullah juga memiliki kebiasaan untuk membayar biaya haji dari orang-orang terdekatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang besar apabila harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang saleh. Pujian para ulama kepada beliau rahimahullah Imam Ibnu al-Mubarak adalah salah satu ulama besar yang diakui oleh para ulama lainnya akan kedalaman ilmu beliau. Para imam dan ulama di zamannya banyak memuji beliau dan menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau. Beberapa di antaranya adalah: Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ berkata, ما أخرجت خراسان مثل هؤلاء الثلاثة: ابن المبارك، والنضر بن شميل، ويحيى بن يحيى “Khurasan tidak melahirkan orang-orang yang semisal tiga orang ini: Ibnu Al-Mubarak, An-Nadhr bin Syumail, dan Yahya bin Yahya.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 383) Abdurrahman bin Mahdi pernah mengatakan, “Mataku belum pernah melihat orang seperti empat orang ini: Aku belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadis daripada Ats-Tsauri, tidak ada yang lebih zuhud daripada Syu’bah, tidak ada yang lebih berakal daripada Malik bin Anas, dan tidak ada yang lebih memberikan nasihat kepada umat daripada Abdullah bin Al-Mubarak.” Imam Adz-Dzahabi juga mengatakan di dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Beliau (Ibnu Al-Mubarak) adalah seorang imam, tokoh Islam, ulama di zamannya, dan pemimpin orang-orang bertakwa di masanya.” Dan masih banyak sekali pujian-pujian yang dilontarkan oleh para ulama kepada beliau rahimahullah. Baca juga: Biografi Imam Al-Qurthubi Guru-guru beliau Beliau mulai mencari ilmu ketika berusia dua puluh tahun. Guru pertama yang dia temui adalah Rabi’ bin Anas Al-Khurasani. Beliau menggunakan siasat dan tipu daya untuk masuk menemui guru beliau tersebut di penjara, lalu mendengar darinya sekitar empat puluh hadis. Kemudian beliau melakukan perjalanan pada tahun seratus empat puluh satu Hijriah, dan mengambil ilmu dari sisa-sisa tabi’in yang masih hidup. Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, hingga sampai ke dua tanah suci Al-Haramain (Mekah dan Madinah), Syam, Mesir, Irak, Jazirah, dan beberapa tempat di Khurasan. Oleh kaena itu, beliau memiliki guru yang sangat banyak jumlahnya. Di antara guru beliau adalah: (1) Rabi’ bin Anas al-Khurasani merupakan guru pertamanya yang telah kita kisahkan di paragraf sebelumnya. (2) Sulaiman At-Taimi (3) Ashim Al-Ahwal (4) Humaid Ath-Thawil (5) Hisyam bin ‘Urwah, Al-Jariri (6) Ismail bin Abi Khalid (7) Khalid Al-Hadza’ (8) Barid bin Abdillah, (9) Yahya bin Sa’id al-Anshari (10) Aban bin Taghlib Dan masih banyak lagi ulama lainnya. Beliau tidak gengsi dan tidak malu untuk mengambil hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau sendiri. Murid-murid beliau Murid beliau juga sangatlah banyak, mereka tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap perjalanan safar Ibnu Al-Mubarak banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau. Bahkan di antara mereka yang mendengarkan hadis dan meriwatkan hadis dari beliau adalah guru beliau sendiri serta kawan kerabat beliau. Di antara mereka yang pernah mengambil dan meriwayatkan hadis dari beliau adalah: (1) Mu’ammar (2) Ats-Tsauri (3) Abu Ishaq Al-Fazari (4) Ibnu Wahb (5) Ibnu Mahdi (6) Imam Abu Daud (7) Abdurrazzaq bin Hammam Dan murid-murid lainnya yang sulit dihitung, dan sulit diteliti secara menyeluruh karena begitu banyaknya. Karya-karya beliau Ibnu Al-Mubarak menyadari bahwa ilmu akan tetap lestari apabila ditulis, dan nama baik seseorang akan diabadikan melalui karya tulisnya. Oleh karena itu, beliau menulis banyak karya yang sangat berharga, di antaranya: (1) Al-Arba’un (“Empat Puluh Hadis”). Beliau adalah penulis yang pertama kali menulis tema kitab Arba’un di kalangan ulama, yang kitab yang berisi hadis-hadis pilihan. (2) Al-Istidzan. Membahas tentang adab atau etika dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai cara berinteraksi dengan orang lain, di antaranya meminta izin. (3) At-Tarikh. Merupakan kitab yang tidak hanya membahas sejarah biasa, tetapi juga sumber penting bagi studi ilmu hadis dan biografi tokoh-tokoh awal Islam. (4) At-Tafsir. Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Ibnu Al-Mubarak. (5) Al-Jihad. Buku yang secara khusus, mengupas fikih berperang dan aturan-aturannya. Buku ini juga membahas tentang tata cara salat khauf (salat dalam kondisi mencekam). Penjelasan yang disampaikan dalam buku ini berbentuk pembawaan hadis yang disertai sanadnya. (6) Diwan Syair. Berisi kumpulan puisi-puisi. Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau lainnya di berbagai bidang keilmuan, menandakan luasnya ilmu beliau rahimahullah. Wafatnya beliau Setelah menjalani kehidupan yang penuh keberkahan, yang beliau habiskan untuk kebaikan; baik itu menuntut ilmu syar’i, bekerja, berjihad di jalan Allah, bersedekah, menulis dan mengajar, Imam Ibnu Al-Mubarak kembali kepada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Beliau rahimahullah wafat di kota “Hit” yang terletak di Irak, sebuah kota kecil di tepi sungai Eufrat. Beliau meninggal saat kembali dari perang melawan Romawi, pada bulan Ramadan tahun 181 Hijriah, pada usia 63 tahun. Wallahu A’lam Bisshowab. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Biografi Abdullah bin Al-Mubarak

Daftar Isi Toggle Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmuIbnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar)Pujian para ulama kepada beliau rahimahullahGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauWafatnya beliau Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Beliau lebih dikenal dengan nama “Ibnu Al-Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi (daerah yang sekarang terletak di negeri Iran dan Uzbekistan). Beliau dilahirkan pada tahun 118 Hijriyah, di Marwa (Merv) salah satu wilayah di negeri Khurasan (terletak di negara Afghanistan dan Turkmenistan saat ini). Dan beliau dikenal dengan banyak julukan, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Dan karena usia beliau banyak dihabiskan untuk melakukan perjalanan jauh (safar), baik dalam rangka berhaji, berjihad, berdagang, dan menuntut ilmu. Beliau dikenal dengan sebutan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan). Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmu Imam Ibnu Al-Mubarak adalah seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal memiliki pengetahuan sangat luas dalam berbagai bidang, di antaranya ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, syair, sejarah, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya. Beliau juga dikenal karena kesalehannya, orang-orang banyak mengenalnya sebagai ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud, dermawan, dan pemberani. Beliau sangat dikenal juga dengan semangatnya dalam menuntut ilmu. Beliau memulai perjalanan menuntut ilmunya di usia 20 tahun. Tidak diketahui mengapa beliau terlambat dalam hal ini, bisa saja karena latar belakang keadaan keluarga beliau. Meskipun demikian, beliau sangat luas keilmuannya. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga melampaui yang lainnya. Karena yang terpenting dalam menuntut ilmu bukanlah kapan memulainya, bukan pula berapa lamanya waktu yang dihabiskan untuk menuntut ilmu, akan tetapi yang terpenting adalah keberkahan dari ilmu tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah memberikan pujiannya kepada beliau, لم يكن في زمانه أطلب للعلم منه، جمع أمرًا عظيمًا ما كان أحد أقل سقطًا منه، كان رجلًا صاحب حديث حافظ “Tidak ada seorang pun di zamannya yang lebih haus akan ilmu daripada beliau, beliau mengumpulkan banyak ilmu dan hal yang agung, dan tidak ada seorang pun yang lebih sedikit kesalahannya daripada beliau, beliau adalah seorang ahli hadis sejati dan seorang penghafal yang kuat.” (Tahdzib At-Tahdzib, 2: 415) Di dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’ (7: 376) disebutkan bahwa Ibnu Al-Mubarak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, حملت العلم عن أربعة آلاف شيخ، فرويت عن ألف شيخ “Aku mengambil ilmu dari empat ribu guru, dan meriwayatkan dari seribu guru.” Ibnu al-Mubarak berpendapat bahwa ilmu adalah kemuliaan terbesar yang seseorang tidak memerlukan kemuliaan lain selainnya. Beliau pernah berkata, عجبت لمن لم يطلب العلم، كيف تدعوه نفسه إلى مكرمة “Aku heran kepada seseorang yang tidak menuntut ilmu, bagaimana caranya jiwanya dapat mendorongnya untuk meraih kemuliaan?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Beliau rahimahullah sangat gemar membaca, mencintai buku, dan melihat bahwa dalam duduk dan berlama-lamanya beliau membersamai kitab dan buku akan mendatangkan ketenangan dan kenyamanan untuk diri beliau. Beliau juga memandang bahwa dengan berada di antara kitab dan buku, maka akan menyelamatkannya dari majelis ghibah dan tempat-tempat serta kegiatan-kegiatan yang menyia-nyiakan waktu. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Suatu hari dikatakan kepada Ibnu Al-Mubarak, “Setelah engkau selesai menunaikan salat, mengapa engkau tidak duduk-duduk bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku duduk bersama para sahabat dan tabi’in, aku amati setiap kitab-kitab dan atsar-atsar peninggalan mereka. Lalu apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian? Sedang kalian menggunjing orang?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Ibnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar) Ada satu poin penting dari kisah kehidupan beliau rahimahullah yang seharusnya diperhatikan, ditiru, dan menjadi motivasi bagi penggerak dakwah dan mereka yang bergelut dalam bidang ilmu di masa sekarang, yaitu tentang bagaimana mandirinya beliau rahimahullah dalam hal harta dan kekayaan. Beliau berdagang karena alasan yang sah yang berkaitan dengan dirinya dan orang-orang yang yang beliau cintai. Ali bin Al-Fudhail berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata kepada Ibn al-Mubarak, “Anda memerintahkan kami untuk zuhud, hidup sederhana dan hemat, tetapi kami melihat Anda membawa barang dagangan, bagaimana bisa begitu?!” Abdullah bin Al-Mubarak lalu berkata, “Wahai Abu Ali, aku melakukan ini hanya untuk menjaga kehormatan diriku, memuliakan martabat diriku, dan menggunakannya untuk membantu diriku taat kepada Tuhanku.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 409) Dan di antara orang-orang yang paling beliau cintai yang menjadi alasan beliau untuk berdagang adalah para ulama dan penuntut ilmu. Beliau sangat memuliakan mereka, menafkahi mereka dengan nafkah yang besar, mempererat hubungan dengan mereka, dan memperhatikan keadaan mereka semua. Beliau membantu mereka untuk terus belajar dan mengajar. Suatu hari, beliau pernah berkata kepada Fudhail bin ‘Iyadh, “Seandainya bukan karena dirimu dan sahabat-sahabatmu, niscaya aku tidak akan berdagang.” Dikatakan juga bahwa beliau menafkahi orang-orang fakir setiap tahunnya seratus ribu dirham. (Tahdzib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, 20: 355) Beliau rahimahullah juga memiliki kebiasaan untuk membayar biaya haji dari orang-orang terdekatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang besar apabila harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang saleh. Pujian para ulama kepada beliau rahimahullah Imam Ibnu al-Mubarak adalah salah satu ulama besar yang diakui oleh para ulama lainnya akan kedalaman ilmu beliau. Para imam dan ulama di zamannya banyak memuji beliau dan menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau. Beberapa di antaranya adalah: Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ berkata, ما أخرجت خراسان مثل هؤلاء الثلاثة: ابن المبارك، والنضر بن شميل، ويحيى بن يحيى “Khurasan tidak melahirkan orang-orang yang semisal tiga orang ini: Ibnu Al-Mubarak, An-Nadhr bin Syumail, dan Yahya bin Yahya.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 383) Abdurrahman bin Mahdi pernah mengatakan, “Mataku belum pernah melihat orang seperti empat orang ini: Aku belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadis daripada Ats-Tsauri, tidak ada yang lebih zuhud daripada Syu’bah, tidak ada yang lebih berakal daripada Malik bin Anas, dan tidak ada yang lebih memberikan nasihat kepada umat daripada Abdullah bin Al-Mubarak.” Imam Adz-Dzahabi juga mengatakan di dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Beliau (Ibnu Al-Mubarak) adalah seorang imam, tokoh Islam, ulama di zamannya, dan pemimpin orang-orang bertakwa di masanya.” Dan masih banyak sekali pujian-pujian yang dilontarkan oleh para ulama kepada beliau rahimahullah. Baca juga: Biografi Imam Al-Qurthubi Guru-guru beliau Beliau mulai mencari ilmu ketika berusia dua puluh tahun. Guru pertama yang dia temui adalah Rabi’ bin Anas Al-Khurasani. Beliau menggunakan siasat dan tipu daya untuk masuk menemui guru beliau tersebut di penjara, lalu mendengar darinya sekitar empat puluh hadis. Kemudian beliau melakukan perjalanan pada tahun seratus empat puluh satu Hijriah, dan mengambil ilmu dari sisa-sisa tabi’in yang masih hidup. Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, hingga sampai ke dua tanah suci Al-Haramain (Mekah dan Madinah), Syam, Mesir, Irak, Jazirah, dan beberapa tempat di Khurasan. Oleh kaena itu, beliau memiliki guru yang sangat banyak jumlahnya. Di antara guru beliau adalah: (1) Rabi’ bin Anas al-Khurasani merupakan guru pertamanya yang telah kita kisahkan di paragraf sebelumnya. (2) Sulaiman At-Taimi (3) Ashim Al-Ahwal (4) Humaid Ath-Thawil (5) Hisyam bin ‘Urwah, Al-Jariri (6) Ismail bin Abi Khalid (7) Khalid Al-Hadza’ (8) Barid bin Abdillah, (9) Yahya bin Sa’id al-Anshari (10) Aban bin Taghlib Dan masih banyak lagi ulama lainnya. Beliau tidak gengsi dan tidak malu untuk mengambil hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau sendiri. Murid-murid beliau Murid beliau juga sangatlah banyak, mereka tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap perjalanan safar Ibnu Al-Mubarak banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau. Bahkan di antara mereka yang mendengarkan hadis dan meriwatkan hadis dari beliau adalah guru beliau sendiri serta kawan kerabat beliau. Di antara mereka yang pernah mengambil dan meriwayatkan hadis dari beliau adalah: (1) Mu’ammar (2) Ats-Tsauri (3) Abu Ishaq Al-Fazari (4) Ibnu Wahb (5) Ibnu Mahdi (6) Imam Abu Daud (7) Abdurrazzaq bin Hammam Dan murid-murid lainnya yang sulit dihitung, dan sulit diteliti secara menyeluruh karena begitu banyaknya. Karya-karya beliau Ibnu Al-Mubarak menyadari bahwa ilmu akan tetap lestari apabila ditulis, dan nama baik seseorang akan diabadikan melalui karya tulisnya. Oleh karena itu, beliau menulis banyak karya yang sangat berharga, di antaranya: (1) Al-Arba’un (“Empat Puluh Hadis”). Beliau adalah penulis yang pertama kali menulis tema kitab Arba’un di kalangan ulama, yang kitab yang berisi hadis-hadis pilihan. (2) Al-Istidzan. Membahas tentang adab atau etika dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai cara berinteraksi dengan orang lain, di antaranya meminta izin. (3) At-Tarikh. Merupakan kitab yang tidak hanya membahas sejarah biasa, tetapi juga sumber penting bagi studi ilmu hadis dan biografi tokoh-tokoh awal Islam. (4) At-Tafsir. Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Ibnu Al-Mubarak. (5) Al-Jihad. Buku yang secara khusus, mengupas fikih berperang dan aturan-aturannya. Buku ini juga membahas tentang tata cara salat khauf (salat dalam kondisi mencekam). Penjelasan yang disampaikan dalam buku ini berbentuk pembawaan hadis yang disertai sanadnya. (6) Diwan Syair. Berisi kumpulan puisi-puisi. Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau lainnya di berbagai bidang keilmuan, menandakan luasnya ilmu beliau rahimahullah. Wafatnya beliau Setelah menjalani kehidupan yang penuh keberkahan, yang beliau habiskan untuk kebaikan; baik itu menuntut ilmu syar’i, bekerja, berjihad di jalan Allah, bersedekah, menulis dan mengajar, Imam Ibnu Al-Mubarak kembali kepada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Beliau rahimahullah wafat di kota “Hit” yang terletak di Irak, sebuah kota kecil di tepi sungai Eufrat. Beliau meninggal saat kembali dari perang melawan Romawi, pada bulan Ramadan tahun 181 Hijriah, pada usia 63 tahun. Wallahu A’lam Bisshowab. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmuIbnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar)Pujian para ulama kepada beliau rahimahullahGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauWafatnya beliau Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Beliau lebih dikenal dengan nama “Ibnu Al-Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi (daerah yang sekarang terletak di negeri Iran dan Uzbekistan). Beliau dilahirkan pada tahun 118 Hijriyah, di Marwa (Merv) salah satu wilayah di negeri Khurasan (terletak di negara Afghanistan dan Turkmenistan saat ini). Dan beliau dikenal dengan banyak julukan, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Dan karena usia beliau banyak dihabiskan untuk melakukan perjalanan jauh (safar), baik dalam rangka berhaji, berjihad, berdagang, dan menuntut ilmu. Beliau dikenal dengan sebutan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan). Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmu Imam Ibnu Al-Mubarak adalah seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal memiliki pengetahuan sangat luas dalam berbagai bidang, di antaranya ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, syair, sejarah, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya. Beliau juga dikenal karena kesalehannya, orang-orang banyak mengenalnya sebagai ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud, dermawan, dan pemberani. Beliau sangat dikenal juga dengan semangatnya dalam menuntut ilmu. Beliau memulai perjalanan menuntut ilmunya di usia 20 tahun. Tidak diketahui mengapa beliau terlambat dalam hal ini, bisa saja karena latar belakang keadaan keluarga beliau. Meskipun demikian, beliau sangat luas keilmuannya. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga melampaui yang lainnya. Karena yang terpenting dalam menuntut ilmu bukanlah kapan memulainya, bukan pula berapa lamanya waktu yang dihabiskan untuk menuntut ilmu, akan tetapi yang terpenting adalah keberkahan dari ilmu tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah memberikan pujiannya kepada beliau, لم يكن في زمانه أطلب للعلم منه، جمع أمرًا عظيمًا ما كان أحد أقل سقطًا منه، كان رجلًا صاحب حديث حافظ “Tidak ada seorang pun di zamannya yang lebih haus akan ilmu daripada beliau, beliau mengumpulkan banyak ilmu dan hal yang agung, dan tidak ada seorang pun yang lebih sedikit kesalahannya daripada beliau, beliau adalah seorang ahli hadis sejati dan seorang penghafal yang kuat.” (Tahdzib At-Tahdzib, 2: 415) Di dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’ (7: 376) disebutkan bahwa Ibnu Al-Mubarak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, حملت العلم عن أربعة آلاف شيخ، فرويت عن ألف شيخ “Aku mengambil ilmu dari empat ribu guru, dan meriwayatkan dari seribu guru.” Ibnu al-Mubarak berpendapat bahwa ilmu adalah kemuliaan terbesar yang seseorang tidak memerlukan kemuliaan lain selainnya. Beliau pernah berkata, عجبت لمن لم يطلب العلم، كيف تدعوه نفسه إلى مكرمة “Aku heran kepada seseorang yang tidak menuntut ilmu, bagaimana caranya jiwanya dapat mendorongnya untuk meraih kemuliaan?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Beliau rahimahullah sangat gemar membaca, mencintai buku, dan melihat bahwa dalam duduk dan berlama-lamanya beliau membersamai kitab dan buku akan mendatangkan ketenangan dan kenyamanan untuk diri beliau. Beliau juga memandang bahwa dengan berada di antara kitab dan buku, maka akan menyelamatkannya dari majelis ghibah dan tempat-tempat serta kegiatan-kegiatan yang menyia-nyiakan waktu. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Suatu hari dikatakan kepada Ibnu Al-Mubarak, “Setelah engkau selesai menunaikan salat, mengapa engkau tidak duduk-duduk bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku duduk bersama para sahabat dan tabi’in, aku amati setiap kitab-kitab dan atsar-atsar peninggalan mereka. Lalu apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian? Sedang kalian menggunjing orang?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Ibnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar) Ada satu poin penting dari kisah kehidupan beliau rahimahullah yang seharusnya diperhatikan, ditiru, dan menjadi motivasi bagi penggerak dakwah dan mereka yang bergelut dalam bidang ilmu di masa sekarang, yaitu tentang bagaimana mandirinya beliau rahimahullah dalam hal harta dan kekayaan. Beliau berdagang karena alasan yang sah yang berkaitan dengan dirinya dan orang-orang yang yang beliau cintai. Ali bin Al-Fudhail berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata kepada Ibn al-Mubarak, “Anda memerintahkan kami untuk zuhud, hidup sederhana dan hemat, tetapi kami melihat Anda membawa barang dagangan, bagaimana bisa begitu?!” Abdullah bin Al-Mubarak lalu berkata, “Wahai Abu Ali, aku melakukan ini hanya untuk menjaga kehormatan diriku, memuliakan martabat diriku, dan menggunakannya untuk membantu diriku taat kepada Tuhanku.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 409) Dan di antara orang-orang yang paling beliau cintai yang menjadi alasan beliau untuk berdagang adalah para ulama dan penuntut ilmu. Beliau sangat memuliakan mereka, menafkahi mereka dengan nafkah yang besar, mempererat hubungan dengan mereka, dan memperhatikan keadaan mereka semua. Beliau membantu mereka untuk terus belajar dan mengajar. Suatu hari, beliau pernah berkata kepada Fudhail bin ‘Iyadh, “Seandainya bukan karena dirimu dan sahabat-sahabatmu, niscaya aku tidak akan berdagang.” Dikatakan juga bahwa beliau menafkahi orang-orang fakir setiap tahunnya seratus ribu dirham. (Tahdzib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, 20: 355) Beliau rahimahullah juga memiliki kebiasaan untuk membayar biaya haji dari orang-orang terdekatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang besar apabila harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang saleh. Pujian para ulama kepada beliau rahimahullah Imam Ibnu al-Mubarak adalah salah satu ulama besar yang diakui oleh para ulama lainnya akan kedalaman ilmu beliau. Para imam dan ulama di zamannya banyak memuji beliau dan menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau. Beberapa di antaranya adalah: Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ berkata, ما أخرجت خراسان مثل هؤلاء الثلاثة: ابن المبارك، والنضر بن شميل، ويحيى بن يحيى “Khurasan tidak melahirkan orang-orang yang semisal tiga orang ini: Ibnu Al-Mubarak, An-Nadhr bin Syumail, dan Yahya bin Yahya.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 383) Abdurrahman bin Mahdi pernah mengatakan, “Mataku belum pernah melihat orang seperti empat orang ini: Aku belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadis daripada Ats-Tsauri, tidak ada yang lebih zuhud daripada Syu’bah, tidak ada yang lebih berakal daripada Malik bin Anas, dan tidak ada yang lebih memberikan nasihat kepada umat daripada Abdullah bin Al-Mubarak.” Imam Adz-Dzahabi juga mengatakan di dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Beliau (Ibnu Al-Mubarak) adalah seorang imam, tokoh Islam, ulama di zamannya, dan pemimpin orang-orang bertakwa di masanya.” Dan masih banyak sekali pujian-pujian yang dilontarkan oleh para ulama kepada beliau rahimahullah. Baca juga: Biografi Imam Al-Qurthubi Guru-guru beliau Beliau mulai mencari ilmu ketika berusia dua puluh tahun. Guru pertama yang dia temui adalah Rabi’ bin Anas Al-Khurasani. Beliau menggunakan siasat dan tipu daya untuk masuk menemui guru beliau tersebut di penjara, lalu mendengar darinya sekitar empat puluh hadis. Kemudian beliau melakukan perjalanan pada tahun seratus empat puluh satu Hijriah, dan mengambil ilmu dari sisa-sisa tabi’in yang masih hidup. Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, hingga sampai ke dua tanah suci Al-Haramain (Mekah dan Madinah), Syam, Mesir, Irak, Jazirah, dan beberapa tempat di Khurasan. Oleh kaena itu, beliau memiliki guru yang sangat banyak jumlahnya. Di antara guru beliau adalah: (1) Rabi’ bin Anas al-Khurasani merupakan guru pertamanya yang telah kita kisahkan di paragraf sebelumnya. (2) Sulaiman At-Taimi (3) Ashim Al-Ahwal (4) Humaid Ath-Thawil (5) Hisyam bin ‘Urwah, Al-Jariri (6) Ismail bin Abi Khalid (7) Khalid Al-Hadza’ (8) Barid bin Abdillah, (9) Yahya bin Sa’id al-Anshari (10) Aban bin Taghlib Dan masih banyak lagi ulama lainnya. Beliau tidak gengsi dan tidak malu untuk mengambil hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau sendiri. Murid-murid beliau Murid beliau juga sangatlah banyak, mereka tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap perjalanan safar Ibnu Al-Mubarak banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau. Bahkan di antara mereka yang mendengarkan hadis dan meriwatkan hadis dari beliau adalah guru beliau sendiri serta kawan kerabat beliau. Di antara mereka yang pernah mengambil dan meriwayatkan hadis dari beliau adalah: (1) Mu’ammar (2) Ats-Tsauri (3) Abu Ishaq Al-Fazari (4) Ibnu Wahb (5) Ibnu Mahdi (6) Imam Abu Daud (7) Abdurrazzaq bin Hammam Dan murid-murid lainnya yang sulit dihitung, dan sulit diteliti secara menyeluruh karena begitu banyaknya. Karya-karya beliau Ibnu Al-Mubarak menyadari bahwa ilmu akan tetap lestari apabila ditulis, dan nama baik seseorang akan diabadikan melalui karya tulisnya. Oleh karena itu, beliau menulis banyak karya yang sangat berharga, di antaranya: (1) Al-Arba’un (“Empat Puluh Hadis”). Beliau adalah penulis yang pertama kali menulis tema kitab Arba’un di kalangan ulama, yang kitab yang berisi hadis-hadis pilihan. (2) Al-Istidzan. Membahas tentang adab atau etika dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai cara berinteraksi dengan orang lain, di antaranya meminta izin. (3) At-Tarikh. Merupakan kitab yang tidak hanya membahas sejarah biasa, tetapi juga sumber penting bagi studi ilmu hadis dan biografi tokoh-tokoh awal Islam. (4) At-Tafsir. Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Ibnu Al-Mubarak. (5) Al-Jihad. Buku yang secara khusus, mengupas fikih berperang dan aturan-aturannya. Buku ini juga membahas tentang tata cara salat khauf (salat dalam kondisi mencekam). Penjelasan yang disampaikan dalam buku ini berbentuk pembawaan hadis yang disertai sanadnya. (6) Diwan Syair. Berisi kumpulan puisi-puisi. Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau lainnya di berbagai bidang keilmuan, menandakan luasnya ilmu beliau rahimahullah. Wafatnya beliau Setelah menjalani kehidupan yang penuh keberkahan, yang beliau habiskan untuk kebaikan; baik itu menuntut ilmu syar’i, bekerja, berjihad di jalan Allah, bersedekah, menulis dan mengajar, Imam Ibnu Al-Mubarak kembali kepada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Beliau rahimahullah wafat di kota “Hit” yang terletak di Irak, sebuah kota kecil di tepi sungai Eufrat. Beliau meninggal saat kembali dari perang melawan Romawi, pada bulan Ramadan tahun 181 Hijriah, pada usia 63 tahun. Wallahu A’lam Bisshowab. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmuIbnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar)Pujian para ulama kepada beliau rahimahullahGuru-guru beliauMurid-murid beliauKarya-karya beliauWafatnya beliau Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Beliau lebih dikenal dengan nama “Ibnu Al-Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi (daerah yang sekarang terletak di negeri Iran dan Uzbekistan). Beliau dilahirkan pada tahun 118 Hijriyah, di Marwa (Merv) salah satu wilayah di negeri Khurasan (terletak di negara Afghanistan dan Turkmenistan saat ini). Dan beliau dikenal dengan banyak julukan, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Dan karena usia beliau banyak dihabiskan untuk melakukan perjalanan jauh (safar), baik dalam rangka berhaji, berjihad, berdagang, dan menuntut ilmu. Beliau dikenal dengan sebutan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan). Keilmuan, perangai, dan semangat beliau dalam menuntut ilmu Imam Ibnu Al-Mubarak adalah seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama yang dikenal memiliki pengetahuan sangat luas dalam berbagai bidang, di antaranya ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, syair, sejarah, dan berbagai macam bidang keilmuan lainnya. Beliau juga dikenal karena kesalehannya, orang-orang banyak mengenalnya sebagai ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud, dermawan, dan pemberani. Beliau sangat dikenal juga dengan semangatnya dalam menuntut ilmu. Beliau memulai perjalanan menuntut ilmunya di usia 20 tahun. Tidak diketahui mengapa beliau terlambat dalam hal ini, bisa saja karena latar belakang keadaan keluarga beliau. Meskipun demikian, beliau sangat luas keilmuannya. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga melampaui yang lainnya. Karena yang terpenting dalam menuntut ilmu bukanlah kapan memulainya, bukan pula berapa lamanya waktu yang dihabiskan untuk menuntut ilmu, akan tetapi yang terpenting adalah keberkahan dari ilmu tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah memberikan pujiannya kepada beliau, لم يكن في زمانه أطلب للعلم منه، جمع أمرًا عظيمًا ما كان أحد أقل سقطًا منه، كان رجلًا صاحب حديث حافظ “Tidak ada seorang pun di zamannya yang lebih haus akan ilmu daripada beliau, beliau mengumpulkan banyak ilmu dan hal yang agung, dan tidak ada seorang pun yang lebih sedikit kesalahannya daripada beliau, beliau adalah seorang ahli hadis sejati dan seorang penghafal yang kuat.” (Tahdzib At-Tahdzib, 2: 415) Di dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’ (7: 376) disebutkan bahwa Ibnu Al-Mubarak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, حملت العلم عن أربعة آلاف شيخ، فرويت عن ألف شيخ “Aku mengambil ilmu dari empat ribu guru, dan meriwayatkan dari seribu guru.” Ibnu al-Mubarak berpendapat bahwa ilmu adalah kemuliaan terbesar yang seseorang tidak memerlukan kemuliaan lain selainnya. Beliau pernah berkata, عجبت لمن لم يطلب العلم، كيف تدعوه نفسه إلى مكرمة “Aku heran kepada seseorang yang tidak menuntut ilmu, bagaimana caranya jiwanya dapat mendorongnya untuk meraih kemuliaan?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Beliau rahimahullah sangat gemar membaca, mencintai buku, dan melihat bahwa dalam duduk dan berlama-lamanya beliau membersamai kitab dan buku akan mendatangkan ketenangan dan kenyamanan untuk diri beliau. Beliau juga memandang bahwa dengan berada di antara kitab dan buku, maka akan menyelamatkannya dari majelis ghibah dan tempat-tempat serta kegiatan-kegiatan yang menyia-nyiakan waktu. Syaqiq Al-Balkhi berkata, “Suatu hari dikatakan kepada Ibnu Al-Mubarak, “Setelah engkau selesai menunaikan salat, mengapa engkau tidak duduk-duduk bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku duduk bersama para sahabat dan tabi’in, aku amati setiap kitab-kitab dan atsar-atsar peninggalan mereka. Lalu apa yang bisa aku perbuat jika bersama kalian? Sedang kalian menggunjing orang?!” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi, 8: 398) Ibnu Al-Mubarak adalah seorang pedagang (saudagar) Ada satu poin penting dari kisah kehidupan beliau rahimahullah yang seharusnya diperhatikan, ditiru, dan menjadi motivasi bagi penggerak dakwah dan mereka yang bergelut dalam bidang ilmu di masa sekarang, yaitu tentang bagaimana mandirinya beliau rahimahullah dalam hal harta dan kekayaan. Beliau berdagang karena alasan yang sah yang berkaitan dengan dirinya dan orang-orang yang yang beliau cintai. Ali bin Al-Fudhail berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata kepada Ibn al-Mubarak, “Anda memerintahkan kami untuk zuhud, hidup sederhana dan hemat, tetapi kami melihat Anda membawa barang dagangan, bagaimana bisa begitu?!” Abdullah bin Al-Mubarak lalu berkata, “Wahai Abu Ali, aku melakukan ini hanya untuk menjaga kehormatan diriku, memuliakan martabat diriku, dan menggunakannya untuk membantu diriku taat kepada Tuhanku.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 409) Dan di antara orang-orang yang paling beliau cintai yang menjadi alasan beliau untuk berdagang adalah para ulama dan penuntut ilmu. Beliau sangat memuliakan mereka, menafkahi mereka dengan nafkah yang besar, mempererat hubungan dengan mereka, dan memperhatikan keadaan mereka semua. Beliau membantu mereka untuk terus belajar dan mengajar. Suatu hari, beliau pernah berkata kepada Fudhail bin ‘Iyadh, “Seandainya bukan karena dirimu dan sahabat-sahabatmu, niscaya aku tidak akan berdagang.” Dikatakan juga bahwa beliau menafkahi orang-orang fakir setiap tahunnya seratus ribu dirham. (Tahdzib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar, 20: 355) Beliau rahimahullah juga memiliki kebiasaan untuk membayar biaya haji dari orang-orang terdekatnya. Sungguh sebuah kenikmatan yang besar apabila harta kekayaan berada di tangan orang-orang yang saleh. Pujian para ulama kepada beliau rahimahullah Imam Ibnu al-Mubarak adalah salah satu ulama besar yang diakui oleh para ulama lainnya akan kedalaman ilmu beliau. Para imam dan ulama di zamannya banyak memuji beliau dan menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau. Beberapa di antaranya adalah: Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ berkata, ما أخرجت خراسان مثل هؤلاء الثلاثة: ابن المبارك، والنضر بن شميل، ويحيى بن يحيى “Khurasan tidak melahirkan orang-orang yang semisal tiga orang ini: Ibnu Al-Mubarak, An-Nadhr bin Syumail, dan Yahya bin Yahya.” (Siyar A’lam an-Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 8: 383) Abdurrahman bin Mahdi pernah mengatakan, “Mataku belum pernah melihat orang seperti empat orang ini: Aku belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadis daripada Ats-Tsauri, tidak ada yang lebih zuhud daripada Syu’bah, tidak ada yang lebih berakal daripada Malik bin Anas, dan tidak ada yang lebih memberikan nasihat kepada umat daripada Abdullah bin Al-Mubarak.” Imam Adz-Dzahabi juga mengatakan di dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Beliau (Ibnu Al-Mubarak) adalah seorang imam, tokoh Islam, ulama di zamannya, dan pemimpin orang-orang bertakwa di masanya.” Dan masih banyak sekali pujian-pujian yang dilontarkan oleh para ulama kepada beliau rahimahullah. Baca juga: Biografi Imam Al-Qurthubi Guru-guru beliau Beliau mulai mencari ilmu ketika berusia dua puluh tahun. Guru pertama yang dia temui adalah Rabi’ bin Anas Al-Khurasani. Beliau menggunakan siasat dan tipu daya untuk masuk menemui guru beliau tersebut di penjara, lalu mendengar darinya sekitar empat puluh hadis. Kemudian beliau melakukan perjalanan pada tahun seratus empat puluh satu Hijriah, dan mengambil ilmu dari sisa-sisa tabi’in yang masih hidup. Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, hingga sampai ke dua tanah suci Al-Haramain (Mekah dan Madinah), Syam, Mesir, Irak, Jazirah, dan beberapa tempat di Khurasan. Oleh kaena itu, beliau memiliki guru yang sangat banyak jumlahnya. Di antara guru beliau adalah: (1) Rabi’ bin Anas al-Khurasani merupakan guru pertamanya yang telah kita kisahkan di paragraf sebelumnya. (2) Sulaiman At-Taimi (3) Ashim Al-Ahwal (4) Humaid Ath-Thawil (5) Hisyam bin ‘Urwah, Al-Jariri (6) Ismail bin Abi Khalid (7) Khalid Al-Hadza’ (8) Barid bin Abdillah, (9) Yahya bin Sa’id al-Anshari (10) Aban bin Taghlib Dan masih banyak lagi ulama lainnya. Beliau tidak gengsi dan tidak malu untuk mengambil hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau sendiri. Murid-murid beliau Murid beliau juga sangatlah banyak, mereka tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap perjalanan safar Ibnu Al-Mubarak banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau. Bahkan di antara mereka yang mendengarkan hadis dan meriwatkan hadis dari beliau adalah guru beliau sendiri serta kawan kerabat beliau. Di antara mereka yang pernah mengambil dan meriwayatkan hadis dari beliau adalah: (1) Mu’ammar (2) Ats-Tsauri (3) Abu Ishaq Al-Fazari (4) Ibnu Wahb (5) Ibnu Mahdi (6) Imam Abu Daud (7) Abdurrazzaq bin Hammam Dan murid-murid lainnya yang sulit dihitung, dan sulit diteliti secara menyeluruh karena begitu banyaknya. Karya-karya beliau Ibnu Al-Mubarak menyadari bahwa ilmu akan tetap lestari apabila ditulis, dan nama baik seseorang akan diabadikan melalui karya tulisnya. Oleh karena itu, beliau menulis banyak karya yang sangat berharga, di antaranya: (1) Al-Arba’un (“Empat Puluh Hadis”). Beliau adalah penulis yang pertama kali menulis tema kitab Arba’un di kalangan ulama, yang kitab yang berisi hadis-hadis pilihan. (2) Al-Istidzan. Membahas tentang adab atau etika dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengenai cara berinteraksi dengan orang lain, di antaranya meminta izin. (3) At-Tarikh. Merupakan kitab yang tidak hanya membahas sejarah biasa, tetapi juga sumber penting bagi studi ilmu hadis dan biografi tokoh-tokoh awal Islam. (4) At-Tafsir. Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh Ibnu Al-Mubarak. (5) Al-Jihad. Buku yang secara khusus, mengupas fikih berperang dan aturan-aturannya. Buku ini juga membahas tentang tata cara salat khauf (salat dalam kondisi mencekam). Penjelasan yang disampaikan dalam buku ini berbentuk pembawaan hadis yang disertai sanadnya. (6) Diwan Syair. Berisi kumpulan puisi-puisi. Dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau lainnya di berbagai bidang keilmuan, menandakan luasnya ilmu beliau rahimahullah. Wafatnya beliau Setelah menjalani kehidupan yang penuh keberkahan, yang beliau habiskan untuk kebaikan; baik itu menuntut ilmu syar’i, bekerja, berjihad di jalan Allah, bersedekah, menulis dan mengajar, Imam Ibnu Al-Mubarak kembali kepada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Beliau rahimahullah wafat di kota “Hit” yang terletak di Irak, sebuah kota kecil di tepi sungai Eufrat. Beliau meninggal saat kembali dari perang melawan Romawi, pada bulan Ramadan tahun 181 Hijriah, pada usia 63 tahun. Wallahu A’lam Bisshowab. Baca juga: Biografi Ringkas Imam Abu Hanifah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga.Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertamaٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’diSegala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka.Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan.Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut. QS. Al-Kahfi ayat keduaقَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’diFirman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka.Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya.Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna. QS. Al-Kahfi ayat ketigaمَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا“Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga:Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya.Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan:Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia. QS. Al-Kahfi ayat keempatوَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4)Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar. QS. Al-Kahfi ayat kelimaمَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)Syaikh As-Sa’di menerangankan:Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya.Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya.Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya:Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan.Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka).Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran. QS. Al-Kahfi ayat keenamAllah Ta’ala berfirman,فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6)Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka.Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3)Dan firman-Nya:فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ“Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8)Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman:فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6)Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka.Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun.Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah.Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat.Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya:إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25)Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan:فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ“Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22) QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapanAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya.Allah berfirman:لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.”Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya.Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan.Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya. QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12Allah Ta’ala berfirman,أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.Al-Kahfi adalah gua di gunung.Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam).Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua.Nama anjing mereka adalah Humron.Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di DalamnyaSemoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya. ______ @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagiPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga.Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertamaٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’diSegala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka.Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan.Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut. QS. Al-Kahfi ayat keduaقَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’diFirman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka.Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya.Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna. QS. Al-Kahfi ayat ketigaمَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا“Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga:Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya.Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan:Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia. QS. Al-Kahfi ayat keempatوَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4)Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar. QS. Al-Kahfi ayat kelimaمَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)Syaikh As-Sa’di menerangankan:Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya.Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya.Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya:Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan.Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka).Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran. QS. Al-Kahfi ayat keenamAllah Ta’ala berfirman,فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6)Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka.Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3)Dan firman-Nya:فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ“Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8)Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman:فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6)Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka.Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun.Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah.Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat.Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya:إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25)Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan:فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ“Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22) QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapanAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya.Allah berfirman:لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.”Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya.Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan.Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya. QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12Allah Ta’ala berfirman,أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.Al-Kahfi adalah gua di gunung.Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam).Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua.Nama anjing mereka adalah Humron.Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di DalamnyaSemoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya. ______ @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagiPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga.Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertamaٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’diSegala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka.Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan.Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut. QS. Al-Kahfi ayat keduaقَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’diFirman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka.Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya.Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna. QS. Al-Kahfi ayat ketigaمَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا“Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga:Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya.Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan:Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia. QS. Al-Kahfi ayat keempatوَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4)Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar. QS. Al-Kahfi ayat kelimaمَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)Syaikh As-Sa’di menerangankan:Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya.Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya.Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya:Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan.Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka).Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran. QS. Al-Kahfi ayat keenamAllah Ta’ala berfirman,فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6)Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka.Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3)Dan firman-Nya:فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ“Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8)Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman:فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6)Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka.Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun.Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah.Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat.Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya:إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25)Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan:فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ“Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22) QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapanAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya.Allah berfirman:لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.”Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya.Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan.Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya. QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12Allah Ta’ala berfirman,أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.Al-Kahfi adalah gua di gunung.Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam).Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua.Nama anjing mereka adalah Humron.Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di DalamnyaSemoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya. ______ @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagiPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga.Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertamaٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’diSegala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka.Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan.Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut. QS. Al-Kahfi ayat keduaقَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’diFirman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka.Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya.Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna. QS. Al-Kahfi ayat ketigaمَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا“Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga:Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya.Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan:Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia. QS. Al-Kahfi ayat keempatوَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4)Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar. QS. Al-Kahfi ayat kelimaمَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)Syaikh As-Sa’di menerangankan:Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya.Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya.Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya:Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan.Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka).Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran. QS. Al-Kahfi ayat keenamAllah Ta’ala berfirman,فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (QS. Al-Kahfi: 6)Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat dalam memberi hidayah kepada manusia dan sungguh-sungguh dalam hal itu dengan kesungguhan yang luar biasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasa bahagia dan gembira ketika ada orang yang mendapat hidayah. Sebaliknya, beliau bersedih dan merasa pilu atas mereka yang mendustakan dan tersesat, sebagai bentuk kasih sayang dan belas kasih beliau terhadap mereka.Namun, Allah membimbing Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak menyibukkan diri dengan kesedihan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an ini. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 3)Dan firman-Nya:فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ“Maka janganlah dirimu binasa karena menyesali (nasib) mereka.” (QS. Fāṭir: 8)Dan dalam ayat ini pula Allah berfirman:فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena bersedih atas jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada berita ini.” (QS. Al-Kahf: 6)Makna baakhi’un nafsaka adalah membinasakan dirimu sendiri karena kesedihan dan penyesalan terhadap mereka.Padahal, Allah telah menjamin pahala untukmu. Dan andai Allah mengetahui adanya kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberikan petunjuk. Namun, karena Allah tahu bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka, maka Allah tidak memberikan hidayah kepada mereka. Oleh sebab itu, menyibukkan dirimu dalam kesedihan atas mereka tidak membawa manfaat bagimu sedikit pun.Dalam ayat ini dan yang semisalnya terdapat pelajaran penting. Bahwa orang yang diperintahkan untuk berdakwah kepada manusia hendaknya fokus pada menyampaikan dan berikhtiar maksimal dalam segala sebab yang dapat mengantarkan pada hidayah, serta menutup jalan-jalan kesesatan semampunya. Semua itu disertai dengan bertawakal kepada Allah.Jika orang-orang tersebut mendapat hidayah, maka itu adalah nikmat besar. Jika tidak, maka tidak perlu bersedih dan menyesal. Sebab, kesedihan yang berlebihan akan melemahkan jiwa dan meruntuhkan semangat, padahal tidak membawa manfaat.Tugasnya adalah terus melanjutkan misi dakwah yang telah Allah perintahkan kepadanya. Selebihnya, itu di luar batas kemampuannya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja diberi peringatan oleh Allah dengan firman-Nya:إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)Dan Nabi Musa ‘alaihis salam berkata:رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku tidak menguasai (apa-apa) selain diriku sendiri dan saudaraku.” (QS. Al-Mā’idah: 25)Maka orang lain tentu lebih-lebih lagi tidak mampu. Karena itu, Allah pun menegaskan:فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ ۝ لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ“Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghāsyiyah: 21–22) QS. Al-Kahfi ayat ketujuh dan kedelapanAllah Ta’ala berfirman,إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)Allah Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh yang ada di muka bumi ini—baik makanan lezat, minuman segar, tempat tinggal yang nyaman, pepohonan rindang, sungai yang mengalir, ladang yang subur, buah-buahan yang ranum, pemandangan yang memanjakan mata, taman yang menawan, suara-suara merdu, rupa-rupa yang elok, emas, perak, kuda, unta, dan sejenisnya—semuanya dijadikan Allah sebagai perhiasan dunia ini. Semua itu adalah bentuk ujian dan cobaan dari-Nya.Allah berfirman:لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا“Agar Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya.”Yang dimaksud adalah siapa yang paling ikhlas dan paling benar amalnya.Namun demikian, semua perhiasan dunia itu akan sirna, lenyap, dan musnah. Bumi akan kembali menjadi tanah gersang, penuh debu, tak ada lagi kenikmatan, sungai-sungainya mengering, peninggalan-peninggalannya pun menghilang, dan segala kenikmatannya lenyap tak bersisa. Itulah hakikat dunia: Allah telah membuka tabirnya bagi kita seakan-akan terlihat jelas di depan mata. Allah juga memperingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlapnya, serta mengajak kita untuk mencintai negeri akhirat yang kenikmatannya abadi dan penghuninya bahagia selamanya. Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.Namun siapa yang hanya melihat dunia dari luarnya saja, tanpa memperhatikan hakikat batinnya, dialah yang tertipu oleh hiasan dan gemerlap dunia. Ia hidup bersama dunia layaknya hewan ternak: makan, minum, dan menikmati kesenangan tanpa berpikir tentang hak Rabb-nya, tanpa mengenal siapa Penciptanya. Yang menjadi tujuannya hanyalah mengikuti hawa nafsu, dari jalan mana pun kenikmatan itu datang, dan dalam keadaan apa pun. Orang seperti ini, jika datang ajalnya, ia gelisah karena kehilangan dirinya dan kesenangannya, bukan karena penyesalan atas dosa dan kelalaiannya.Adapun orang yang menatap hakikat batin dunia dan memahami tujuan dari keberadaannya, maka ia akan mengambil dari dunia hanya secukupnya—sekadar untuk membantunya dalam menggapai tujuan penciptaannya. Ia manfaatkan kesempatan hidup yang berharga untuk mengenal Rabb-nya, melaksanakan perintah-Nya, dan memperbaiki amalnya. Dunia ia jadikan sebagai tempat persinggahan, bukan sebagai tempat bersenang-senang. Ia melihat dunia sebagai perjalanan, bukan sebagai tempat tinggal. Orang seperti ini berada pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, pantas mendapatkan kemuliaan, kenikmatan, kebahagiaan, dan penghormatan.Ia melihat hakikat dunia, ketika orang yang tertipu hanya melihat permukaannya. Ia bekerja untuk akhiratnya, ketika orang yang lalai bekerja hanya untuk dunianya. Maka betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini, dan sungguh sangat besar jurang pemisah antara keduanya. QS. Al-Kahfi ayat ke-9 s.d. ke-12Allah Ta’ala berfirman,أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.Al-Kahfi adalah gua di gunung.Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam).Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat sebuah gua.Nama anjing mereka adalah Humron.Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih ‘alaihis salam. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.Ashabul Kahfi itu hidup di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka. Agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Allah tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “Beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal di dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu di mana Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh. Dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran di DalamnyaSemoga 12 ayat dari Surah Al-Kahfi ini menjadi cahaya dalam hidup kita. Mari kita hafalkan dengan hati, pahami dengan iman, dan amalkan dengan penuh harap akan rida-Nya. ______ @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 26 Syawal 1446 H, 25 April 2025, Jumat pagiPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Cara Berdoa dengan Asmaul Husna yang Banyak Orang Belum Tahu – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ

Cara Berdoa dengan Asmaul Husna yang Banyak Orang Belum Tahu – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf

Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ
Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ


Ayat yang agung ini: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180). Bagaimana cara kita berdoa kepada Allah Ta’ala dengan Asmaul Husna? Bagaimana, wahai saudara-saudara? Dengan dua jenis doa: (1) Doa permintaan: yaitu engkau bertawasul kepada Allah dengan Asmaul Husna (nama-nama-Nya yang indah). “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena Engkau Al-Ghafur (Maha Pengampun), Ar-Rahim (Maha Penyayang), At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Hakim (Maha Bijaksana) ampunilah dan rahmatilah aku.” “Aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu), Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Yang tidak ada yang setara dengan-Nya ampunilah aku, berilah taufik dan pertolongan kepadaku,” dan seterusnya. (2) Doa ibadah. Doa ibadah ini adalah jenis doa yang besar dan agung, wahai saudara-saudara! Doa ibadah: yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya tersebut. Engkau memahami nama itu, menghadirkan maknanya, dan memenuhi hatimu dengan makna tersebut. Sebagai contoh: Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua nama Allah yang agung ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana cara engkau beribadah kepada Allah dengan dua nama Allah ini? Dengan berharap kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, serta menanti datangnya jalan keluar dari-Nya dalam semua urusan. Jika engkau menghadapi suatu urusan, cobaan dunia, atau musibah, maka ingatlah bahwa Tuhanmu adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rahim (Maha Penyayang). Bersungguh-sungguhlah melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rahmat-Nya, lalu nantikanlah jalan keluar dari-Nya. Besarkanlah harapanmu kepada-Nya, dan baguskanlah keyakinanmu kepada-Nya. Nama As-Sami’ (Maha Mendengar), Al-Bashir (Maha Melihat), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Khabir (Maha Teliti), dan Al-Lathif (Maha Lembut), semua makna dari Asmaul Husna ini juga, wahai saudara-saudara, menumbuhkan apa dalam hatimu? Rasa selalu diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Bagaimana mungkin engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan Allah Ta’ala selalu mengawasimu dan melihatmu. Dia Maha Melihat tempatmu berada, dan Maha Mendengar ucapanmu, serta Maha Mengetahui rahasiamu dan yang engkau tampakkan. Demikian juga pada Asmaul Husna yang lainnya. Karena itulah para ulama berkata: “Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaan (ubudiyah).” Setiap nama Allah memiliki bentuk penghambaannya sendiri. Sehingga berdoa kepada Allah dengan nama tersebut berarti engkau beribadah kepada-Nya. Engkau berinteraksi dengan Allah melalui penghambaan dan pengamalan makna, sebagaimana yang telah disebutkan. Mengenal Allah melalui nama-nama-Nya adalah perkara yang agung, wahai saudara-saudara. Karena itu, Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barang siapa yang menghitungnya, ia akan masuk surga.” Orang awam mengira bahwa “menghitungnya” berarti hanya sekadar menghafal dan mengulang-ulangnya. Tidaklah demikian! Itu memang bagian dari makna “menghitungnya”, dan itu baru langkah awalnya. Termasuk makna “menghitungnya” adalah memahami sebisa mungkin makna Asmaul Husna. Karena engkau tidak akan mampu mengetahui seluruh maknanya secara utuh. Makna ketiga dari kata “menghitungnya”, dan ini yang paling berat, yaitu engkau beribadah kepada Allah sesuai dengan konsekuensi dari makna Asmaul Husna tersebut. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua bersama Abu Bakar, saat itu Abu Bakar bersedih atas apa yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah? “Janganlah engkau bersedih…” Sesungguhnya Allah bersama kita.” “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Selesai! Begitu juga ketika Fir’aun mengejar Bani Israil, dan bersama mereka ada Nabi Musa ‘alaihis salam, dan Fir’aun telah mengepung mereka. Fir’aun di belakang mereka, dan lautan di depan mereka. Bani Israil berkata, “Kita pasti akan terkejar.” Namun apa yang dikatakan Nabi Musa? “Tidak akan!” Mengapa Musa berkata itu? “Sesungguhnya Rabb-ku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 62).Keimanan Nabi Musa bahwa Allah bersamanya. Begitupula keimanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kehadiran makna ini dalam diri beliau (yaitu keyakinan bahwa Allah bersamanya), mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan ke dalam hati beliau. Wahai saudara-saudara, ini adalah buah dari penghayatan dan perenungan terhadap Asmaul Husna, serta keimanan dengannya. Hendaklah setiap orang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan konsekuensi dan makna yang terkandung dalam nama-nama-Nya. ==== هَذِهِ الْآيَةُ الْعَظِيمَةُ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا كَيْفَ نَدْعُوهُ تَعَالَى بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى؟ هَا يَا إِخْوَانُ؟ بِنَوْعَيِ الدُّعَاءِ إِمَّا بِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ وَذَلِكَ بِأَنْ تَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِإِنَّكَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ التَّوَّابُ الْحَكِيمُ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي وَأَنْ تُوَفِّقَنِيْ وَتُعِيْنَنِي إِلَى آخِرِهِ وَالثَّانِي دُعَاءُ أَيْش؟ الْعِبَادَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى الْكَبِيرُ الْعَظِيمُ يَا إِخْوَانُ وَمَعْنَاهُ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ تَفْهَمُ الِاسْمَ تَسْتَحْضِرُ مَعْنَاهُ تَمْلَأُ قَلْبَكَ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى خُذُوا مَثَلًا اسْمُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَانِ الاِسْمَانِ الْجَلِيْلَانِ الْمُتَضَمِّنَانِ صِفَةَ الرَّحْمَةِ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ اللَّهَ بِهَذَيْنِ الاِسْمَيْنِ؟ بِرَجَائِهِ وَحُسْنِ الظَنِّ بِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ مِنْهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي كُلِّ الْأُمُورِ إِذَا عَرَضَ لَكَ أَمْرٌ مِنْ مِحَنِ الدُّنْيَا وَمَصَائِبِهَا فَتَذَكَّرْ أَنَّ رَبَّكَ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ وَتَعَرَّضْ لِأَسْبَابِ رَحْمَتِهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَانْتَظِرْ فَرَجَهُ وَأَعْظِمِ الرَّجَاءَ فِيهِ وَأَحْسِنِ الثِّقَةَ فِيهِ سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَاسْمُ السَّمِيعِ وَالْبَصِيرِ وَالْعَلِيمِ وَالْخَبِيرِ وَاللَّطِيفِ هَذِهِ الْمَعَانِي أَيْضًا يَا إِخْوَانُ تُرَبِّي فِي قَلْبِكَ مَاذَا؟ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْف تَعْصِي اللَّهَ؟ وَاللَّهُ تَعَالَى مُطَلِّعٌ عَلَيْكَ نَاظِرٌ إِلَيْكَ يَرَى مَكَانَكَ وَيَسْمَعُ كَلَامَكَ وَيَعْلَمُ سِرَّكَ وَإِعْلَانَكَ وَهَكَذَا وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ لَهُ عُبُودِيَّةٌ كُلُّ اسْمٍ لَهُ عُبُودِيَّةٌ فَدُعَاءُ اللَّهِ بِهَذَا الْاسْمِ أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ أَنْ تَتَعَامَلَ مَعَ اللَّهِ بِهَذِهِ الْعُبُودِيَّةِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى كَمَا ذُكِرَتْ فَمَعْرِفَةُ اللَّهِ بِأَسْمَائِه عَظِيمَةٌ يَا إِخْوَانُ وَلِهَذَا قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي الحَدِيثِ الْمُخَرَّجِ عِنْدَ مُسْلِمٍ إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ يَظُنُّ الْعَامَّةُ أَنَّ إِحْصَاءَهَا أَنَّكَ تَحْفَظُهَا وَيَحْفَظُونَهَا وَيُرَدِّدُوْنَهَا لَا هَذَا مِنْ إِحْصَائِهَا وَهُوَ أَوَّلُهُ وَمِنْ إِحْصَائِهَا فَهْمُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ مَعَانِيهَا وَإِلَّا فَلَنْ تُحِيطَ عِلْمًا بِمَعَانِيهَا وَالثَّالِثُ وَأَشَدُّهَا أَنْ تَتَعَبَّدَ اللَّهَ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَا تَقْتَضِيهِ هَذِهِ الْأَسْمَاءُ وَلِهَذَا لَمَّا كَانَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَارِ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَحَزِنَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَاذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا خَلَاصٌ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا وَلَمَّا تَبِعَ فِرْعَوْنُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَمَعَهُم مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وأَحْدَقَ بِهِمْ وَصَارَ فِرْعَوْنُ وَرَاءَهُم الْبَحْرُ أَمَامَهُمْ قَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ فَمَاذَا قَالَ مُوسَى؟ كَلَّا لِمَاذَا؟ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ فَإِيمَانُهُ بِأَنَّ اللَّهَ مَعَهُ وَإِيمَانُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتِحْضَارُ هَذَا الْمَعْنَى أَوْرَثَ فِي الْقُلُوبِ سَكِينَةً وَطُمَأْنِينَةً وَرَاحَةً وَهَذِه يَا إِخْوَانُ ثَمَرَاتُ النَّظَرِ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ وَتَأَمُّلِهَا وَالإِيمَانِ بِهَا وَأَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَعَبَّدُ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا تَقْتَضِيهِ وَمَا تَدُلُّ عَلَيْهِ

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Daftar Lengkap Pembatal Shalat dan Penjelasannya

Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat
Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat


Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang memiliki syarat dan aturan yang harus dijaga. Namun, ada sejumlah hal yang bisa membatalkan shalat jika dilakukan, baik karena sengaja maupun lalai. Mempelajari pembatal shalat adalah bagian penting agar ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Allah. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata dalam Matan Taqrib, وَالَّذِي يُبْطِلُ الصَّلَاةَ أَحَدَ عَشَرَ شَيْئًا ٱلْكَلَامُ الْعَمْدُ، وَٱلْعَمَلُ ٱلْكَثِيرُ، وَٱلْحَدَثُ، وَحُدُوثُ ٱلنَّجَاسَةِ، وَٱنْكِشَافُ ٱلْعَوْرَةِ، وَتَغَيُّرُ ٱلنِّيَّةِ، وَٱسْتِدْبَارُ ٱلْقِبْلَةِ، وَٱلْأَكْلُ، وَٱلشُّرْبُ، وَٱلْقَهْقَهَةُ، وَٱلرِّدَّةُ. Ada sebelas hal yang membatalkan shalat: 1. Berbicara dengan sengaja, 2. Melakukan gerakan yang banyak, 3. Berhadats, 4. Terkena najis, 5. Terbukanya aurat, 6. Berubahnya niat, 7. Berpaling dari arah kiblat, 8. Makan, 9. Minum, 10. Tertawa terbahak, 11. Keluar dari Islam (riddah).   Penjelasan 1. Berbicara dengan sengaja Yaitu ucapan yang disengaja dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, baik berkaitan dengan kepentingan shalat maupun tidak. Dalam hadits disebutkan, كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ Dahulu, kami biasa berbicara dalam salat. Salah seorang dari kami berbincang dengan saudaranya tentang kebutuhannya. Hingga akhirnya turunlah ayat ini: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Kami lantas diperintahkan untuk diam. (HR. Bukhari, no. 4260 dan Muslim, no. 539 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu). Catatan: “qanitin” artinya adalah “dalam keadaan tunduk dan khusyuk”. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, إِنَّ هٰذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak pantas ada ucapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537) Kedua dalil ini menegaskan bahwa berbicara dengan sengaja dalam shalat termasuk perkara yang membatalkan shalat, karena shalat merupakan ibadah khusus antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak boleh dicampuri dengan urusan duniawi. Penyebutan “dengan sengaja” dalam konteks ini bermaksud mengecualikan orang yang lupa, atau orang yang belum tahu bahwa hal itu dilarang karena baru masuk Islam. Demikian pula orang yang secara spontan mengucapkan sesuatu tanpa niat dan ucapannya tidak panjang, maka shalatnya tidak batal. Begitu juga jika tertawa secara tidak terkendali, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ، وَالنِّسْيَانُ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Umatku dimaafkan ketika melakukan karena keliru, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya). Namun, jika seseorang dipaksa untuk berbicara dalam shalat, maka shalat tetap batal menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini karena kasus seperti ini jarang terjadi, dan penjelasannya telah dibahas dalam syarat-syarat sahnya shalat. 2. Melakukan gerakan yang banyak Yakni gerakan tubuh yang banyak dan berturut-turut seperti tiga langkah atau lebih, baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena lupa. Adapun gerakan yang banyak, seperti tiga langkah berturut-turut, atau pukulan yang jelas-jelas tidak ringan, maka itu membatalkan shalat. Tidak ada perbedaan antara dilakukan dengan sengaja atau karena lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi. Dasarnya adalah ijmak (kesepakatan ulama), karena gerakan yang banyak mengubah struktur shalat dan menghilangkan kekhusyukan, padahal kekhusyukan adalah inti dari ibadah shalat. Dari penjelasan para ulama, disimpulkan bahwa gerakan ringan tidak membatalkan shalat, karena gerakan kecil bisa dimaklumi dalam kondisi tertentu. Selain itu, menjaga satu keadaan terus-menerus itu berat dilakukan, berbeda dengan ucapan yang bisa ditahan, karena itu shalat bisa batal hanya dengan satu kata, tapi tidak batal hanya karena satu langkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang menyentuh kerikil saat shalat: إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةٌ “Kalau kamu memang harus melakukannya, maka sekali saja.” (HR. Muslim) Beliau juga memerintahkan untuk menyingkirkan orang yang lewat di depan (saat shalat), membunuh ular dan kalajengking, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memutar orang dari kiri ke kanan, serta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencubit kaki sahabat saat sujud, dan memberi isyarat kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu. Semua ini diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih. 3. Berhadats Jika seseorang berhadats saat shalat (hadats kecil maupun besar), maka shalatnya batal, baik sengaja maupun lupa, apakah dia sudah tahu atau belum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “Jika salah seorang dari kalian kentut saat shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulang shalatnya.” (HR. Abu Daud dan lainnya) 4. Terkena najis Jika seseorang sengaja membiarkan najis yang tidak dimaafkan mengenai dirinya, maka shalatnya batal. Namun, jika najisnya dimaafkan—seperti membunuh kutu atau serangga kecil lainnya—maka tidak membatalkan shalat karena darahnya dimaafkan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bandaniji. Jika najis mengenai dirinya dan langsung dibersihkan (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), misalnya dengan menepisnya, maka shalat tidak batal karena sulitnya menghindari hal semacam itu dan tidak ada unsur kelalaian dari pihaknya. Ini berbeda dengan hadats, karena menjaga kesucian memerlukan waktu yang cukup. 5. Terbukanya aurat Adapun jika aurat terbuka dengan sengaja, maka shalatnya batal meskipun segera ditutup kembali. Karena menutup aurat adalah syarat sah shalat, dan ketika ia membukanya dengan sengaja, maka sama saja dengan membatalkan shalat. Namun, jika aurat terbuka karena angin, lalu segera ditutup kembali (sebelum terlewat kadar minimal thumakninah), atau tali kain terlepas lalu segera dibetulkan, maka shalatnya tidak batal, sebagaimana dijelaskan dalam masalah najis tadi. 6. Berubahnya niat Yaitu ketika seseorang berniat keluar dari shalat. Hal ini membatalkan karena niat adalah pengikat utama dalam shalat. Jika niat terputus, maka terputus pula ibadahnya. Dalam masalah niat, ada beberapa rincian: Pertama, jika seseorang memutuskan niat dalam shalat—misalnya ia berniat keluar dari shalat—maka shalatnya batal secara ijmak (kesepakatan ulama). Sebab, keberlangsungan niat merupakan syarat sah shalat, dan jika niat terputus, maka hilang pula pengikatnya. Hal ini berbeda dengan puasa, yang tidak batal hanya karena niat keluar, karena puasa termasuk bentuk meninggalkan sesuatu, bukan aktivitas fisik yang terus menerus seperti shalat. Kedua, jika seseorang memindahkan niatnya dari satu shalat wajib ke shalat wajib lainnya, atau dari shalat wajib ke shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling sahih, shalatnya batal. Bahkan sebagian ulama secara tegas menyatakan batal. Ketiga, jika seseorang bertekad untuk memutus shalat, misalnya pada rakaat pertama ia sudah berniat akan menghentikan shalat pada rakaat kedua, maka shalatnya batal saat itu juga. Karena kelanjutan niat adalah bagian dari syaratnya. Keempat, jika seseorang ragu apakah akan melanjutkan shalat atau keluar darinya, maka shalatnya juga batal. Sebab, keberlangsungan niat yang menjadi cukup dalam shalat telah hilang karena keraguan ini. Imam al-Haramain mengatakan: “Aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” Namun, keraguan yang sekadar terlintas di pikiran karena waswas, seperti yang terjadi pada orang yang sering ragu-ragu, maka tidak membatalkan shalat. 7. Berpaling dari arah kiblat Jika seseorang membelakangi kiblat dalam shalat, maka shalatnya batal, sebagaimana jika ia berhadats. Karena syarat yang telah ditetapkan tidak terpenuhi. 8. Makan 9. Minum 10. Tertawa terbahak Makan dan minum, karena jika puasa saja batal karenanya, padahal puasa tidak batal karena gerakan, maka shalat—yang lebih banyak gerakannya—lebih layak batal. Juga karena makan menunjukkan sikap berpaling dari ibadah, padahal tujuan dari ibadah fisik seperti shalat adalah memperbarui keimanan dan mengarahkan hati kepada Allah. Ini jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa atau tidak tahu karena baru masuk Islam, maka tidak membatalkan, sebagaimana halnya puasa. Bila yang dimakan sangat sedikit, maka tidak membatalkan. Qadhi Husain menyebutkan: “Jika yang dimakan kurang dari sebutir wijen, tidak membatalkan shalat.” Namun jika seukuran biji wijen atau lebih, terdapat dua pendapat, yang paling sahih: batal. Minum disamakan dengan makan. Tertawa terbahak membatalkan shalat jika disengaja, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam ibadah. Ini jika suara tertawanya jelas terdengar sampai dua huruf atau lebih. Jika tidak terdengar, maka tidak membatalkan karena tidak termasuk kategori “ucapan” (kalam). 11. Keluar dari Islam (riddah) Riddah juga membatalkan shalat, karena secara otomatis membatalkan keislaman. Contoh riddah dalam shalat: Perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau matahari. Ucapan, seperti mencela Allah atau agama. Keyakinan, seperti berpikir bahwa alam ini qadim (tidak diciptakan) lalu mempercayainya, atau meyakini bahwa shalat tidak wajib—maka kufur dan shalatnya batal. Jangan anggap sepele gerakan, ucapan, atau niat saat shalat. Ketahui dan hindari hal-hal yang membatalkannya agar ibadah kita sah dan diterima. Mari jaga shalat dengan benar, penuh kekhusyukan dan ilmu.   Referensi: Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib. Cairo: Dar Dhiya’. Al-Hishni, M. b. ‘A. M. (2007). Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Jeddah: Dar al-Minhaj. Al-Kamil Hamid, H. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fi al-Fiqh asy-Syafi’i. Cairo: Dar al-Manar. ________ Ditulis pada Kamis sore, 25 Syawal 1446 H, 24 April 2025 di Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatalnya shalat cara shalat Fikih Shalat fiqih madzhab syafi’i hal yang membatalkan shalat matan taqrib matan taqrib kitab shalat panduan shalat pembatal shalat sifat shalat nabi syarat sah shalat

Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.

Fatwa Ulama: Bolehkah Seorang Non-muslim Menjadi Wali Akad Nikah?

Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.
Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.


Daftar Isi Toggle Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘AdawiPertanyaan:Jawaban: Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah orang kafir diperbolehkan menjadi wali akad nikah? Jawaban: Orang kafir tidak diperbolehkan menjadi wali akad nikah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71) Dan juga firman Allah Ta’ala, وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seorang non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.” Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang saya ketahui bersepakat atas hal ini.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla, ولا يكون الكافر وليا للمسلمة، ولا المسلم وليا للكافرة، الأب وغيره سواء، والكافر ولي للكافرة التي هي وليته ينكحها من المسلم والكافر “Seorang non-muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan muslimah, dan seorang muslim tidak bisa menjadi wali bagi perempuan non-muslim, baik itu ayah atau selainnya. Seorang non-muslim menjadi wali bagi perempuan non-muslim yang berada di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan seorang muslim atau non-muslim.” Baca juga: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 1) *** @20 Rajab 1446/ 20 Januari 2025 Penerjemah: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 101-102.
Prev     Next