Mengapa Kita Harus Taat? Ini Hikmah di Balik Perintah dan Larangan – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Syaikh berkata, “(Dialah Allah) yang telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum.” Hikmah-hikmah telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Begitu pula hukum-hukum telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Saudara-saudara sekalian, patut kita ketahui bahwa setiap hukum syariat pasti mengandung hikmah. Setiap hukum syariat mengandung hikmah. Sebagian hikmahnya yang bersifat umum telah kita ketahui. Adapun hikmah-hikmah yang bersifat khusus, sebagian kita ketahui, sebagian lagi tidak. Setiap hukum syariat memiliki hikmah, yang kita ketahui secara pasti. Yaitu cinta Allah dan ridha-Nya terhadap hukum-hukum tersebut, baik berupa perintah maupun larangan. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada kita, kecuali karena Dia mencintainya dan mencintai kita jika melakukannya. Dan tidaklah Allah melarang kita dari sesuatu, kecuali karena Dia membencinya atau memurkainya jika dilanggar. Inilah akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, terdapat pula hikmah umum dalam setiap perintah. Hikmah itu kita yakini sepenuhnya. Yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan. Begitu pula terdapat hikmah umum dalam setiap larangan. Yang kita yakini sepenuhnya, yaitu untuk mencegah kerusakan. Wahai hamba Allah! Jika datang kepadamu suatu perintah, maka ketahuilah bahwa pasti terdapat kemaslahatan dalam pelaksanaannya. Dan jika datang kepadamu suatu larangan, maka ketahuilah bahwa pasti ada kemaslahatan dalam meninggalkannya dan terdapat keburukan dalam melanggarnya. Selain itu, setiap perintah juga mengandung hikmah khusus, yang terkadang dapat kita ketahui, seperti hikmah pemberian keringanan ketika sedang safar yaitu untuk menghilangkan kesulitan. Namun, terkadang kita tidak mengetahuinya. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum-Nya, baik secara tersurat maupun tersirat. Sebagai contoh, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45). Hukum yang terkandung dalam ayat ini adalah kewajiban menunaikan shalat. Adapun hikmahnya, shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah seterusnya. ==== الشَّيْخُ قَالَ الَّذِي بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ فَالْحِكَمُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ وَالْأَحْكَامُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ يَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَ يَا إِخْوَةُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ كُلُّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُ حِكَمًا عَامَّةً مِنْهَا وَأَمَّا الْحِكَمُ الْخَاصَّةُ فَقَدْ نَعْلَمُهَا وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُهَا يَقِينًا وَهِيَ حُبُّ اللَّهِ وَرِضَاهُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا فَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ بِشَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُحِبُّ مِنَّا وُقُوعَهُ وَيُحِبُّهُ وَمَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُبْغِضُ وُقُوعَهُ أَوْ يَكْرَهُ وُقُوعَهُ هَذِهِ عَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثُمَّ هُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ أَمْرٍ نَعْتَقِدُهَا اعْتِقَادًا جَازِمًا وَهِيَ تَحْقِيقُ الْمَصْلَحَةِ وَهُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ نَهْيٍ نَعْتَقِدُهَا جَزْمًا وَهِيَ دَرْءُ المَفْسَدَةِ إِذًا يَا عَبْدَ اللَّهِ إِذَا جَاءَكَ أَمْرٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي فِعْلِهِ يَقِينًا وَإِذَا جَاءَكَ نَهْيٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِهِ وَالْمَفْسَدَةَ فِي فِعْلِهِ ثُمَّ لِكُلِّ أَمْرٍ حِكْمَةٌ خَاصَّةٌ قَدْ نَعْلَمُهَا كَالْحِكْمَةِ مَثَلًا حِكْمَةِ التَّرْخِيصِ فِي السَّفَرِ رَفْعَ الْمَشَقَّةِ وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ إِمَّا نَصًّا وَإِمَّا دَلَالَةً مَثَلًا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَالْحُكْمُ فِيهَا فَرْضِيَّةُ فِعْلِ الصَّلَاةِ وَالحِكْمَةُ أَنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ الْمُنْكَرِ وَهَكَذَا نَعَمْ

Mengapa Kita Harus Taat? Ini Hikmah di Balik Perintah dan Larangan – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Syaikh berkata, “(Dialah Allah) yang telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum.” Hikmah-hikmah telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Begitu pula hukum-hukum telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Saudara-saudara sekalian, patut kita ketahui bahwa setiap hukum syariat pasti mengandung hikmah. Setiap hukum syariat mengandung hikmah. Sebagian hikmahnya yang bersifat umum telah kita ketahui. Adapun hikmah-hikmah yang bersifat khusus, sebagian kita ketahui, sebagian lagi tidak. Setiap hukum syariat memiliki hikmah, yang kita ketahui secara pasti. Yaitu cinta Allah dan ridha-Nya terhadap hukum-hukum tersebut, baik berupa perintah maupun larangan. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada kita, kecuali karena Dia mencintainya dan mencintai kita jika melakukannya. Dan tidaklah Allah melarang kita dari sesuatu, kecuali karena Dia membencinya atau memurkainya jika dilanggar. Inilah akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, terdapat pula hikmah umum dalam setiap perintah. Hikmah itu kita yakini sepenuhnya. Yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan. Begitu pula terdapat hikmah umum dalam setiap larangan. Yang kita yakini sepenuhnya, yaitu untuk mencegah kerusakan. Wahai hamba Allah! Jika datang kepadamu suatu perintah, maka ketahuilah bahwa pasti terdapat kemaslahatan dalam pelaksanaannya. Dan jika datang kepadamu suatu larangan, maka ketahuilah bahwa pasti ada kemaslahatan dalam meninggalkannya dan terdapat keburukan dalam melanggarnya. Selain itu, setiap perintah juga mengandung hikmah khusus, yang terkadang dapat kita ketahui, seperti hikmah pemberian keringanan ketika sedang safar yaitu untuk menghilangkan kesulitan. Namun, terkadang kita tidak mengetahuinya. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum-Nya, baik secara tersurat maupun tersirat. Sebagai contoh, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45). Hukum yang terkandung dalam ayat ini adalah kewajiban menunaikan shalat. Adapun hikmahnya, shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah seterusnya. ==== الشَّيْخُ قَالَ الَّذِي بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ فَالْحِكَمُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ وَالْأَحْكَامُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ يَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَ يَا إِخْوَةُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ كُلُّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُ حِكَمًا عَامَّةً مِنْهَا وَأَمَّا الْحِكَمُ الْخَاصَّةُ فَقَدْ نَعْلَمُهَا وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُهَا يَقِينًا وَهِيَ حُبُّ اللَّهِ وَرِضَاهُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا فَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ بِشَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُحِبُّ مِنَّا وُقُوعَهُ وَيُحِبُّهُ وَمَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُبْغِضُ وُقُوعَهُ أَوْ يَكْرَهُ وُقُوعَهُ هَذِهِ عَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثُمَّ هُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ أَمْرٍ نَعْتَقِدُهَا اعْتِقَادًا جَازِمًا وَهِيَ تَحْقِيقُ الْمَصْلَحَةِ وَهُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ نَهْيٍ نَعْتَقِدُهَا جَزْمًا وَهِيَ دَرْءُ المَفْسَدَةِ إِذًا يَا عَبْدَ اللَّهِ إِذَا جَاءَكَ أَمْرٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي فِعْلِهِ يَقِينًا وَإِذَا جَاءَكَ نَهْيٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِهِ وَالْمَفْسَدَةَ فِي فِعْلِهِ ثُمَّ لِكُلِّ أَمْرٍ حِكْمَةٌ خَاصَّةٌ قَدْ نَعْلَمُهَا كَالْحِكْمَةِ مَثَلًا حِكْمَةِ التَّرْخِيصِ فِي السَّفَرِ رَفْعَ الْمَشَقَّةِ وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ إِمَّا نَصًّا وَإِمَّا دَلَالَةً مَثَلًا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَالْحُكْمُ فِيهَا فَرْضِيَّةُ فِعْلِ الصَّلَاةِ وَالحِكْمَةُ أَنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ الْمُنْكَرِ وَهَكَذَا نَعَمْ
Syaikh berkata, “(Dialah Allah) yang telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum.” Hikmah-hikmah telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Begitu pula hukum-hukum telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Saudara-saudara sekalian, patut kita ketahui bahwa setiap hukum syariat pasti mengandung hikmah. Setiap hukum syariat mengandung hikmah. Sebagian hikmahnya yang bersifat umum telah kita ketahui. Adapun hikmah-hikmah yang bersifat khusus, sebagian kita ketahui, sebagian lagi tidak. Setiap hukum syariat memiliki hikmah, yang kita ketahui secara pasti. Yaitu cinta Allah dan ridha-Nya terhadap hukum-hukum tersebut, baik berupa perintah maupun larangan. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada kita, kecuali karena Dia mencintainya dan mencintai kita jika melakukannya. Dan tidaklah Allah melarang kita dari sesuatu, kecuali karena Dia membencinya atau memurkainya jika dilanggar. Inilah akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, terdapat pula hikmah umum dalam setiap perintah. Hikmah itu kita yakini sepenuhnya. Yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan. Begitu pula terdapat hikmah umum dalam setiap larangan. Yang kita yakini sepenuhnya, yaitu untuk mencegah kerusakan. Wahai hamba Allah! Jika datang kepadamu suatu perintah, maka ketahuilah bahwa pasti terdapat kemaslahatan dalam pelaksanaannya. Dan jika datang kepadamu suatu larangan, maka ketahuilah bahwa pasti ada kemaslahatan dalam meninggalkannya dan terdapat keburukan dalam melanggarnya. Selain itu, setiap perintah juga mengandung hikmah khusus, yang terkadang dapat kita ketahui, seperti hikmah pemberian keringanan ketika sedang safar yaitu untuk menghilangkan kesulitan. Namun, terkadang kita tidak mengetahuinya. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum-Nya, baik secara tersurat maupun tersirat. Sebagai contoh, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45). Hukum yang terkandung dalam ayat ini adalah kewajiban menunaikan shalat. Adapun hikmahnya, shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah seterusnya. ==== الشَّيْخُ قَالَ الَّذِي بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ فَالْحِكَمُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ وَالْأَحْكَامُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ يَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَ يَا إِخْوَةُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ كُلُّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُ حِكَمًا عَامَّةً مِنْهَا وَأَمَّا الْحِكَمُ الْخَاصَّةُ فَقَدْ نَعْلَمُهَا وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُهَا يَقِينًا وَهِيَ حُبُّ اللَّهِ وَرِضَاهُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا فَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ بِشَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُحِبُّ مِنَّا وُقُوعَهُ وَيُحِبُّهُ وَمَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُبْغِضُ وُقُوعَهُ أَوْ يَكْرَهُ وُقُوعَهُ هَذِهِ عَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثُمَّ هُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ أَمْرٍ نَعْتَقِدُهَا اعْتِقَادًا جَازِمًا وَهِيَ تَحْقِيقُ الْمَصْلَحَةِ وَهُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ نَهْيٍ نَعْتَقِدُهَا جَزْمًا وَهِيَ دَرْءُ المَفْسَدَةِ إِذًا يَا عَبْدَ اللَّهِ إِذَا جَاءَكَ أَمْرٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي فِعْلِهِ يَقِينًا وَإِذَا جَاءَكَ نَهْيٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِهِ وَالْمَفْسَدَةَ فِي فِعْلِهِ ثُمَّ لِكُلِّ أَمْرٍ حِكْمَةٌ خَاصَّةٌ قَدْ نَعْلَمُهَا كَالْحِكْمَةِ مَثَلًا حِكْمَةِ التَّرْخِيصِ فِي السَّفَرِ رَفْعَ الْمَشَقَّةِ وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ إِمَّا نَصًّا وَإِمَّا دَلَالَةً مَثَلًا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَالْحُكْمُ فِيهَا فَرْضِيَّةُ فِعْلِ الصَّلَاةِ وَالحِكْمَةُ أَنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ الْمُنْكَرِ وَهَكَذَا نَعَمْ


Syaikh berkata, “(Dialah Allah) yang telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum.” Hikmah-hikmah telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Begitu pula hukum-hukum telah dijelaskan dalam teks-teks syariat. Saudara-saudara sekalian, patut kita ketahui bahwa setiap hukum syariat pasti mengandung hikmah. Setiap hukum syariat mengandung hikmah. Sebagian hikmahnya yang bersifat umum telah kita ketahui. Adapun hikmah-hikmah yang bersifat khusus, sebagian kita ketahui, sebagian lagi tidak. Setiap hukum syariat memiliki hikmah, yang kita ketahui secara pasti. Yaitu cinta Allah dan ridha-Nya terhadap hukum-hukum tersebut, baik berupa perintah maupun larangan. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada kita, kecuali karena Dia mencintainya dan mencintai kita jika melakukannya. Dan tidaklah Allah melarang kita dari sesuatu, kecuali karena Dia membencinya atau memurkainya jika dilanggar. Inilah akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, terdapat pula hikmah umum dalam setiap perintah. Hikmah itu kita yakini sepenuhnya. Yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan. Begitu pula terdapat hikmah umum dalam setiap larangan. Yang kita yakini sepenuhnya, yaitu untuk mencegah kerusakan. Wahai hamba Allah! Jika datang kepadamu suatu perintah, maka ketahuilah bahwa pasti terdapat kemaslahatan dalam pelaksanaannya. Dan jika datang kepadamu suatu larangan, maka ketahuilah bahwa pasti ada kemaslahatan dalam meninggalkannya dan terdapat keburukan dalam melanggarnya. Selain itu, setiap perintah juga mengandung hikmah khusus, yang terkadang dapat kita ketahui, seperti hikmah pemberian keringanan ketika sedang safar yaitu untuk menghilangkan kesulitan. Namun, terkadang kita tidak mengetahuinya. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan hikmah-hikmah dan hukum-hukum-Nya, baik secara tersurat maupun tersirat. Sebagai contoh, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45). Hukum yang terkandung dalam ayat ini adalah kewajiban menunaikan shalat. Adapun hikmahnya, shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah seterusnya. ==== الشَّيْخُ قَالَ الَّذِي بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ فَالْحِكَمُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ وَالْأَحْكَامُ مُبَيَّنَةٌ فِي النُّصُوصِ يَنْبَغِي أَنْ نَعْلَمَ يَا إِخْوَةُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ كُلُّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُ حِكَمًا عَامَّةً مِنْهَا وَأَمَّا الْحِكَمُ الْخَاصَّةُ فَقَدْ نَعْلَمُهَا وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ حِكْمَةٌ نَعْلَمُهَا يَقِينًا وَهِيَ حُبُّ اللَّهِ وَرِضَاهُ الْمُتَعَلِّقُ بِهَذِهِ الْأَحْكَامِ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا فَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ بِشَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُحِبُّ مِنَّا وُقُوعَهُ وَيُحِبُّهُ وَمَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَهُوَ يُبْغِضُ وُقُوعَهُ أَوْ يَكْرَهُ وُقُوعَهُ هَذِهِ عَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثُمَّ هُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ أَمْرٍ نَعْتَقِدُهَا اعْتِقَادًا جَازِمًا وَهِيَ تَحْقِيقُ الْمَصْلَحَةِ وَهُنَاكَ حِكْمَةٌ عَامَّةٌ فِي كُلِّ نَهْيٍ نَعْتَقِدُهَا جَزْمًا وَهِيَ دَرْءُ المَفْسَدَةِ إِذًا يَا عَبْدَ اللَّهِ إِذَا جَاءَكَ أَمْرٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي فِعْلِهِ يَقِينًا وَإِذَا جَاءَكَ نَهْيٌ فَاعْلَمْ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِهِ وَالْمَفْسَدَةَ فِي فِعْلِهِ ثُمَّ لِكُلِّ أَمْرٍ حِكْمَةٌ خَاصَّةٌ قَدْ نَعْلَمُهَا كَالْحِكْمَةِ مَثَلًا حِكْمَةِ التَّرْخِيصِ فِي السَّفَرِ رَفْعَ الْمَشَقَّةِ وَقَدْ لَا نَعْلَمُهَا وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيَّنَ الْحِكَمَ وَالْأَحْكَامَ إِمَّا نَصًّا وَإِمَّا دَلَالَةً مَثَلًا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ فَالْحُكْمُ فِيهَا فَرْضِيَّةُ فِعْلِ الصَّلَاةِ وَالحِكْمَةُ أَنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ الْمُنْكَرِ وَهَكَذَا نَعَمْ

Hukum Memberikan Hadiah dan Zakat kepada Non-Muslim

Daftar Isi TogglePendahuluanMacam–macam pemberian kepada non muslimBolehkah orang kafir menerima zakat harta?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimPendapat terpilihKesimpulanPendahuluanPemberian hadiah kepada non muslim berupa hadiah atau sedekah adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum Islam. Adapun pemberian zakat kepada non muslim, hal ini diperselisihkan oleh para ulama sejak masa silam, baik untuk zakat harta ataupun zakat fitrah. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalil yang digunakan sebagai dasar pengambilan hukum dan sudut pandang dalam memahaminya. Pada tulisan ini, akan disampaikan beberapa penjelasan ulama mengenai permasalahan zakat kepada non muslim dan pendapat yang dipilih penulis berdasarkan dalil-dalil yang ada.Macam–macam pemberian kepada non muslim Ada beberapa macam bentuk pemberian kepada non muslim. Pemberian kepada non muslim secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu pemberian zakat dan selain zakat. Dalam fatwa Lajnah Daimah dijelaskan bahwa tidak boleh memberikan zakat harta, zakat buah-buahan, dan zakat fitrah kepada non muslim, meskipun mereka termasuk orang fakir, ibnu sabil, dan memiliki hutang. Jika ada seorang muslim memberikan zakatnya kepada mereka, maka penunaian zakatnya tidak sah.Namun, diperbolehkan memberikan sedekah secara umum yang hukumnya tidak wajib kepada non muslim yang fakir. Diperbolehkan juga saling bertukar hadiah dan kebaikan dengan harapan mereka mendapatkan hidayah dengan syarat mereka tidak memusuhi kita. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) (Fatwa Lajnah Daimah)Mengenai pemberian hadiah bagi non muslim, Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa terdapat dalil dari Al-Qur’an dan hadis mengenai bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.“ (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir yang tidak akan memberikan bahaya bagi kaum muslim, seperti para wanita, anak-anak, dan orang-orang yang lemah, karena pemberian hadiah kepada mereka merupakan bentuk kebaikan kepada mereka. Adapun memeberikan hadiah kepada kafir harbi yang memerangi kaum muslimin, maka hal ini tidak diperbolehkan. Bahkan wajb untuk memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Mumtahanah: 9) (Tuhfatul Mardhiyyah fii Ahkaamil Hibah wal Hadiyyah, karya Syekh Shalih Al-Fauzan)Bolehkah orang kafir menerima zakat harta?Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa di antara golongan yang tidak boleh menerima zakat adalah orang kafir, meskipun termasuk kafir zimi. Ibnul Mundzir menukil ijmak dalam masalah ini berdasarkan hadis,فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka; diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)Pernyataan ijmak ini disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’.Dengan demikian, orang kafir hukum asalnya tidak boleh menerima zakat. Yang dimaksud orang kafir di sini adalah kafir asli ataupun orang murtad yang dahulumya seorang muslim. Seorang yang dulunya muslim namun melakukan perbuatan kekafiran, seperti melecehkan Al-Qur’an, mencela Islam, Allah, dan Rasul-Nya, maka para ulama sepakat bahwa mereka tidak boleh menerima zakat. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassar)Namun, dikecualikan di sini adalah orang kafir yang termasuk golongan “muallafatu quluubuhum.” An-Nawawi menjelaskan bahwa yang termasuk muallaftu quluubuhum ada dua golongan, yaitu dari golongan orang muslim dan orang kafir. Orang kafir ada dua kelompok, yaitu yang diharapkan kebaikannya atau dikhawatirkan keburukannya. (Lihat Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, karya An-Nawawi)Terdapat riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan zakat kepada orang-orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka agar mau menerima Islam. Seperti ketika beliau memberikan kepada Abu Suyan bin Harb, Shofwan bin Umayyah, ‘Uyainah bin Huson, Al-Aqra’ bin Hasib, dan ‘Abbas bin Murdas, di mana setiap mereka diberikan seratus ekor unta. Nabi juga pernah memberikan kepada ‘Alqomah bin ‘Alatsah dari ghanimah perang Hunain. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Namun, ulama berbeda pendapat apakah golongan “muallaftu quluubuhum“ yang non muslim boleh menerima zakat atau tidak. Sebagian ulama seperti dalam mazhab Hambali dan Maliki membolehkan memberi zakat untuk non muslim dalam rangka untuk memberikan dorongan dan semangat agar masuk Islam, karena Nabi pernah memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”, baik dari muslim maupun non muslim. Sementara ulama Hanafi dan Syafi’i berpendapat tidak boleh memberikan zakat untuk non muslim, baik dalam rangka menarik perhatian mereka ataupun tidak. Pendapat yang lebih tepat yaitu bolehnya memberikan zakat untuk “muallafatu quluubuhum” jika terdapat maslahat bagi Islam dan kaum muslimin dan juga telah ditetapkan oleh ulama di negeri tersebut. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Dalam kitab Al-Mughni dijelaskan bahwa pemberian zakat kepada muallafatu quluubuhum tidak hanya berlaku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi juga berlaku pada umatnya setelah beliau wafat. Dengan demikian, orang kafir yang termasuk muallafatu quluubuhum adalah termasuk golongan yang boleh menerima zakat.Baca juga: Bolehkah Menerima Hadiah dari Pelaku Riba?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimUlama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam beberapa pendapat berikut:Hanafiyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah sama dengan penerima zakat lainnya, akan tetapi diperbolehkan juga untuk memberikan kepada non muslim yang termasuk kafir zimi.Malikiyah berpendapat bahwa zakat ftrah hanya terbatas untuk muslim merdeka yang fakir.Syafi’iyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah delapan gologan seperti zakat harta.Hanabilah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat yang lain.Pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa tidak boleh memberi makan kecuali kepada yang berhak mendapatkan makanan. Mereka adalah orang-orang yang mengambil untuk kebutuhan hidup mereka, dan tidak boleh memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”.Pendapat yang tepat yaitu bahwasannya zakat fitrah hukum asalnya khusus hanya bagi fakir dan miskin; kecuali jika terdapat maslahat, maka boleh diberikan kepada delapan golongan lainnya yang bukan fakir dan miskin. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Sedangkan penulis kitab Shahih Fqhus Sunnah menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang berhak mendapat zakat fitrah menjadi dua pendapat:Pertama: Yang bisa menerima zakat fitrah adalah delapan golongan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisih pendapat Malikiyah.Kedua: Zakat fitrah hanya untuk dua golongan, yaitu fakir dan miskin saja. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih tepat karena sesuai dengan tujuan pensyariaatan zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa di antara tujuan zakat fitrah adalah ( وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ) yaitu memberi makan orang miskin. Selain itu, penunaian zakat fitrah mirip dengan menunaikan kafarat, dan kafarat tidak mencukupi kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerima kafarat, yaitu orang miskin. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiihu Madzaahib Al-Aimmah)Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah diberikan untuk golongan fakir kaum muslimin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,اغنوهم عن السؤال في هذا اليوم“Cegahlah mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.”Namun, mereka berselisih pendapat apakah boleh memberikan zakat fitrah kepada fakir non muslim yang termasuk kafir zimi. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:Pertama: Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak boleh.Kedua: Imam Abu Hanifah berpendapat boleh.Sebab perselisihan adalah karena mempertimbangkan alasan penunaian zakat, apakah sebabnya karena kondisi fakir saja atau fakir dan juga muslim. Bagi yang beralasan sebabnya adalah karena fakir dan muslim, maka tidak boleh memberikannya kepada kafir zimi. Sementara bagi yang berpendapat sebabnya adalah karena kondisi fakir saja, maka boleh memberikan zakat kepada orang fakir non muslim, yaitu kafir zimi.Adapun mengenai zakat harta, kaum muslimin telah sepakat bahwa zakat harta tidak boleh diberikan kepada kafir zimi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtasid)An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kepada orang kafir, inilah menurut pendapat mazhab kami -mazhab Syafi’i-. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan penyaluran semacam itu. Ibnul Mundzir berkata bahwa para ulama sepakat hal itu tidak dibolehkan, yaitu tidak boleh menyalurkan zakat harta pada kafir zimi. Namun untuk masalah zakat fitrah, para ulama berselisih pendapat. Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah disalurkan pada orang kafir. Begitu pula yang membolehkannya adalah ‘Amr bin Maimun, ‘Umar bin Syarhabil, Murroh Al-Hamdani. Sedangkan Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh disalurkan kepada orang kafir.” (Al-Majmu’  Syarhu Al-Muhadzab)Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah tidaklah disalurkan kepada orang kafir yang miskin.Pendapat terpilih Dari paparan di atas, pendapat terpilih mengenai hukum pemberian kepada non muslim baik berupa hadiah, zakat harta, maupun zakat fitrah adalah sebagai berikut:Pertama: Boleh memberikan hadiah atau sedekah non zakat kepada non muslim. Adapun kepada kafir harbi, maka tidak diperbolehkan. Demikianlah dalil-dalil Al-Qur’an menjelaskan seperti dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.Kedua: Tidak boleh memberikan zakat harta kepada non muslim kecuali golongan muallafatu quluubuhm. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah memberikan zakat kepada orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka, dan hukum ini masih berlaku hingga saat ini.ketiga: Tidak boleh memberikan zakat fitrah kepada non muslim, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa tujuan zakat fitrah adalah khusus untuk golongan fakir dan miskin dari kalangan kaum muslimin saja.KesimpulanPara ulama menjelaskan bahwa memberi hadiah kepada non muslim selain zakat diperbolehkan hukumnya asalkan bukan kepada kafir harbi. Tidak dipungkiri bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum memberikan zakat untuk non muslim. Pendapat terpilih bahwasanya zakat harta diperbolehkan untuk diberikan kepada non muslim yang termasuk golongan muallafau quluubuhum. Adapun pemberian zakat fitrah, maka khusus diberikan kepada kaum muslimin sehingga tidak boleh diberikan kepada fakir miskin non muslim.Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id

Hukum Memberikan Hadiah dan Zakat kepada Non-Muslim

Daftar Isi TogglePendahuluanMacam–macam pemberian kepada non muslimBolehkah orang kafir menerima zakat harta?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimPendapat terpilihKesimpulanPendahuluanPemberian hadiah kepada non muslim berupa hadiah atau sedekah adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum Islam. Adapun pemberian zakat kepada non muslim, hal ini diperselisihkan oleh para ulama sejak masa silam, baik untuk zakat harta ataupun zakat fitrah. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalil yang digunakan sebagai dasar pengambilan hukum dan sudut pandang dalam memahaminya. Pada tulisan ini, akan disampaikan beberapa penjelasan ulama mengenai permasalahan zakat kepada non muslim dan pendapat yang dipilih penulis berdasarkan dalil-dalil yang ada.Macam–macam pemberian kepada non muslim Ada beberapa macam bentuk pemberian kepada non muslim. Pemberian kepada non muslim secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu pemberian zakat dan selain zakat. Dalam fatwa Lajnah Daimah dijelaskan bahwa tidak boleh memberikan zakat harta, zakat buah-buahan, dan zakat fitrah kepada non muslim, meskipun mereka termasuk orang fakir, ibnu sabil, dan memiliki hutang. Jika ada seorang muslim memberikan zakatnya kepada mereka, maka penunaian zakatnya tidak sah.Namun, diperbolehkan memberikan sedekah secara umum yang hukumnya tidak wajib kepada non muslim yang fakir. Diperbolehkan juga saling bertukar hadiah dan kebaikan dengan harapan mereka mendapatkan hidayah dengan syarat mereka tidak memusuhi kita. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) (Fatwa Lajnah Daimah)Mengenai pemberian hadiah bagi non muslim, Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa terdapat dalil dari Al-Qur’an dan hadis mengenai bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.“ (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir yang tidak akan memberikan bahaya bagi kaum muslim, seperti para wanita, anak-anak, dan orang-orang yang lemah, karena pemberian hadiah kepada mereka merupakan bentuk kebaikan kepada mereka. Adapun memeberikan hadiah kepada kafir harbi yang memerangi kaum muslimin, maka hal ini tidak diperbolehkan. Bahkan wajb untuk memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Mumtahanah: 9) (Tuhfatul Mardhiyyah fii Ahkaamil Hibah wal Hadiyyah, karya Syekh Shalih Al-Fauzan)Bolehkah orang kafir menerima zakat harta?Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa di antara golongan yang tidak boleh menerima zakat adalah orang kafir, meskipun termasuk kafir zimi. Ibnul Mundzir menukil ijmak dalam masalah ini berdasarkan hadis,فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka; diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)Pernyataan ijmak ini disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’.Dengan demikian, orang kafir hukum asalnya tidak boleh menerima zakat. Yang dimaksud orang kafir di sini adalah kafir asli ataupun orang murtad yang dahulumya seorang muslim. Seorang yang dulunya muslim namun melakukan perbuatan kekafiran, seperti melecehkan Al-Qur’an, mencela Islam, Allah, dan Rasul-Nya, maka para ulama sepakat bahwa mereka tidak boleh menerima zakat. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassar)Namun, dikecualikan di sini adalah orang kafir yang termasuk golongan “muallafatu quluubuhum.” An-Nawawi menjelaskan bahwa yang termasuk muallaftu quluubuhum ada dua golongan, yaitu dari golongan orang muslim dan orang kafir. Orang kafir ada dua kelompok, yaitu yang diharapkan kebaikannya atau dikhawatirkan keburukannya. (Lihat Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, karya An-Nawawi)Terdapat riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan zakat kepada orang-orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka agar mau menerima Islam. Seperti ketika beliau memberikan kepada Abu Suyan bin Harb, Shofwan bin Umayyah, ‘Uyainah bin Huson, Al-Aqra’ bin Hasib, dan ‘Abbas bin Murdas, di mana setiap mereka diberikan seratus ekor unta. Nabi juga pernah memberikan kepada ‘Alqomah bin ‘Alatsah dari ghanimah perang Hunain. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Namun, ulama berbeda pendapat apakah golongan “muallaftu quluubuhum“ yang non muslim boleh menerima zakat atau tidak. Sebagian ulama seperti dalam mazhab Hambali dan Maliki membolehkan memberi zakat untuk non muslim dalam rangka untuk memberikan dorongan dan semangat agar masuk Islam, karena Nabi pernah memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”, baik dari muslim maupun non muslim. Sementara ulama Hanafi dan Syafi’i berpendapat tidak boleh memberikan zakat untuk non muslim, baik dalam rangka menarik perhatian mereka ataupun tidak. Pendapat yang lebih tepat yaitu bolehnya memberikan zakat untuk “muallafatu quluubuhum” jika terdapat maslahat bagi Islam dan kaum muslimin dan juga telah ditetapkan oleh ulama di negeri tersebut. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Dalam kitab Al-Mughni dijelaskan bahwa pemberian zakat kepada muallafatu quluubuhum tidak hanya berlaku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi juga berlaku pada umatnya setelah beliau wafat. Dengan demikian, orang kafir yang termasuk muallafatu quluubuhum adalah termasuk golongan yang boleh menerima zakat.Baca juga: Bolehkah Menerima Hadiah dari Pelaku Riba?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimUlama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam beberapa pendapat berikut:Hanafiyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah sama dengan penerima zakat lainnya, akan tetapi diperbolehkan juga untuk memberikan kepada non muslim yang termasuk kafir zimi.Malikiyah berpendapat bahwa zakat ftrah hanya terbatas untuk muslim merdeka yang fakir.Syafi’iyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah delapan gologan seperti zakat harta.Hanabilah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat yang lain.Pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa tidak boleh memberi makan kecuali kepada yang berhak mendapatkan makanan. Mereka adalah orang-orang yang mengambil untuk kebutuhan hidup mereka, dan tidak boleh memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”.Pendapat yang tepat yaitu bahwasannya zakat fitrah hukum asalnya khusus hanya bagi fakir dan miskin; kecuali jika terdapat maslahat, maka boleh diberikan kepada delapan golongan lainnya yang bukan fakir dan miskin. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Sedangkan penulis kitab Shahih Fqhus Sunnah menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang berhak mendapat zakat fitrah menjadi dua pendapat:Pertama: Yang bisa menerima zakat fitrah adalah delapan golongan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisih pendapat Malikiyah.Kedua: Zakat fitrah hanya untuk dua golongan, yaitu fakir dan miskin saja. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih tepat karena sesuai dengan tujuan pensyariaatan zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa di antara tujuan zakat fitrah adalah ( وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ) yaitu memberi makan orang miskin. Selain itu, penunaian zakat fitrah mirip dengan menunaikan kafarat, dan kafarat tidak mencukupi kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerima kafarat, yaitu orang miskin. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiihu Madzaahib Al-Aimmah)Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah diberikan untuk golongan fakir kaum muslimin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,اغنوهم عن السؤال في هذا اليوم“Cegahlah mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.”Namun, mereka berselisih pendapat apakah boleh memberikan zakat fitrah kepada fakir non muslim yang termasuk kafir zimi. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:Pertama: Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak boleh.Kedua: Imam Abu Hanifah berpendapat boleh.Sebab perselisihan adalah karena mempertimbangkan alasan penunaian zakat, apakah sebabnya karena kondisi fakir saja atau fakir dan juga muslim. Bagi yang beralasan sebabnya adalah karena fakir dan muslim, maka tidak boleh memberikannya kepada kafir zimi. Sementara bagi yang berpendapat sebabnya adalah karena kondisi fakir saja, maka boleh memberikan zakat kepada orang fakir non muslim, yaitu kafir zimi.Adapun mengenai zakat harta, kaum muslimin telah sepakat bahwa zakat harta tidak boleh diberikan kepada kafir zimi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtasid)An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kepada orang kafir, inilah menurut pendapat mazhab kami -mazhab Syafi’i-. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan penyaluran semacam itu. Ibnul Mundzir berkata bahwa para ulama sepakat hal itu tidak dibolehkan, yaitu tidak boleh menyalurkan zakat harta pada kafir zimi. Namun untuk masalah zakat fitrah, para ulama berselisih pendapat. Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah disalurkan pada orang kafir. Begitu pula yang membolehkannya adalah ‘Amr bin Maimun, ‘Umar bin Syarhabil, Murroh Al-Hamdani. Sedangkan Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh disalurkan kepada orang kafir.” (Al-Majmu’  Syarhu Al-Muhadzab)Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah tidaklah disalurkan kepada orang kafir yang miskin.Pendapat terpilih Dari paparan di atas, pendapat terpilih mengenai hukum pemberian kepada non muslim baik berupa hadiah, zakat harta, maupun zakat fitrah adalah sebagai berikut:Pertama: Boleh memberikan hadiah atau sedekah non zakat kepada non muslim. Adapun kepada kafir harbi, maka tidak diperbolehkan. Demikianlah dalil-dalil Al-Qur’an menjelaskan seperti dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.Kedua: Tidak boleh memberikan zakat harta kepada non muslim kecuali golongan muallafatu quluubuhm. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah memberikan zakat kepada orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka, dan hukum ini masih berlaku hingga saat ini.ketiga: Tidak boleh memberikan zakat fitrah kepada non muslim, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa tujuan zakat fitrah adalah khusus untuk golongan fakir dan miskin dari kalangan kaum muslimin saja.KesimpulanPara ulama menjelaskan bahwa memberi hadiah kepada non muslim selain zakat diperbolehkan hukumnya asalkan bukan kepada kafir harbi. Tidak dipungkiri bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum memberikan zakat untuk non muslim. Pendapat terpilih bahwasanya zakat harta diperbolehkan untuk diberikan kepada non muslim yang termasuk golongan muallafau quluubuhum. Adapun pemberian zakat fitrah, maka khusus diberikan kepada kaum muslimin sehingga tidak boleh diberikan kepada fakir miskin non muslim.Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePendahuluanMacam–macam pemberian kepada non muslimBolehkah orang kafir menerima zakat harta?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimPendapat terpilihKesimpulanPendahuluanPemberian hadiah kepada non muslim berupa hadiah atau sedekah adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum Islam. Adapun pemberian zakat kepada non muslim, hal ini diperselisihkan oleh para ulama sejak masa silam, baik untuk zakat harta ataupun zakat fitrah. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalil yang digunakan sebagai dasar pengambilan hukum dan sudut pandang dalam memahaminya. Pada tulisan ini, akan disampaikan beberapa penjelasan ulama mengenai permasalahan zakat kepada non muslim dan pendapat yang dipilih penulis berdasarkan dalil-dalil yang ada.Macam–macam pemberian kepada non muslim Ada beberapa macam bentuk pemberian kepada non muslim. Pemberian kepada non muslim secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu pemberian zakat dan selain zakat. Dalam fatwa Lajnah Daimah dijelaskan bahwa tidak boleh memberikan zakat harta, zakat buah-buahan, dan zakat fitrah kepada non muslim, meskipun mereka termasuk orang fakir, ibnu sabil, dan memiliki hutang. Jika ada seorang muslim memberikan zakatnya kepada mereka, maka penunaian zakatnya tidak sah.Namun, diperbolehkan memberikan sedekah secara umum yang hukumnya tidak wajib kepada non muslim yang fakir. Diperbolehkan juga saling bertukar hadiah dan kebaikan dengan harapan mereka mendapatkan hidayah dengan syarat mereka tidak memusuhi kita. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) (Fatwa Lajnah Daimah)Mengenai pemberian hadiah bagi non muslim, Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa terdapat dalil dari Al-Qur’an dan hadis mengenai bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.“ (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir yang tidak akan memberikan bahaya bagi kaum muslim, seperti para wanita, anak-anak, dan orang-orang yang lemah, karena pemberian hadiah kepada mereka merupakan bentuk kebaikan kepada mereka. Adapun memeberikan hadiah kepada kafir harbi yang memerangi kaum muslimin, maka hal ini tidak diperbolehkan. Bahkan wajb untuk memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Mumtahanah: 9) (Tuhfatul Mardhiyyah fii Ahkaamil Hibah wal Hadiyyah, karya Syekh Shalih Al-Fauzan)Bolehkah orang kafir menerima zakat harta?Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa di antara golongan yang tidak boleh menerima zakat adalah orang kafir, meskipun termasuk kafir zimi. Ibnul Mundzir menukil ijmak dalam masalah ini berdasarkan hadis,فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka; diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)Pernyataan ijmak ini disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’.Dengan demikian, orang kafir hukum asalnya tidak boleh menerima zakat. Yang dimaksud orang kafir di sini adalah kafir asli ataupun orang murtad yang dahulumya seorang muslim. Seorang yang dulunya muslim namun melakukan perbuatan kekafiran, seperti melecehkan Al-Qur’an, mencela Islam, Allah, dan Rasul-Nya, maka para ulama sepakat bahwa mereka tidak boleh menerima zakat. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassar)Namun, dikecualikan di sini adalah orang kafir yang termasuk golongan “muallafatu quluubuhum.” An-Nawawi menjelaskan bahwa yang termasuk muallaftu quluubuhum ada dua golongan, yaitu dari golongan orang muslim dan orang kafir. Orang kafir ada dua kelompok, yaitu yang diharapkan kebaikannya atau dikhawatirkan keburukannya. (Lihat Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, karya An-Nawawi)Terdapat riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan zakat kepada orang-orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka agar mau menerima Islam. Seperti ketika beliau memberikan kepada Abu Suyan bin Harb, Shofwan bin Umayyah, ‘Uyainah bin Huson, Al-Aqra’ bin Hasib, dan ‘Abbas bin Murdas, di mana setiap mereka diberikan seratus ekor unta. Nabi juga pernah memberikan kepada ‘Alqomah bin ‘Alatsah dari ghanimah perang Hunain. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Namun, ulama berbeda pendapat apakah golongan “muallaftu quluubuhum“ yang non muslim boleh menerima zakat atau tidak. Sebagian ulama seperti dalam mazhab Hambali dan Maliki membolehkan memberi zakat untuk non muslim dalam rangka untuk memberikan dorongan dan semangat agar masuk Islam, karena Nabi pernah memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”, baik dari muslim maupun non muslim. Sementara ulama Hanafi dan Syafi’i berpendapat tidak boleh memberikan zakat untuk non muslim, baik dalam rangka menarik perhatian mereka ataupun tidak. Pendapat yang lebih tepat yaitu bolehnya memberikan zakat untuk “muallafatu quluubuhum” jika terdapat maslahat bagi Islam dan kaum muslimin dan juga telah ditetapkan oleh ulama di negeri tersebut. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Dalam kitab Al-Mughni dijelaskan bahwa pemberian zakat kepada muallafatu quluubuhum tidak hanya berlaku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi juga berlaku pada umatnya setelah beliau wafat. Dengan demikian, orang kafir yang termasuk muallafatu quluubuhum adalah termasuk golongan yang boleh menerima zakat.Baca juga: Bolehkah Menerima Hadiah dari Pelaku Riba?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimUlama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam beberapa pendapat berikut:Hanafiyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah sama dengan penerima zakat lainnya, akan tetapi diperbolehkan juga untuk memberikan kepada non muslim yang termasuk kafir zimi.Malikiyah berpendapat bahwa zakat ftrah hanya terbatas untuk muslim merdeka yang fakir.Syafi’iyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah delapan gologan seperti zakat harta.Hanabilah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat yang lain.Pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa tidak boleh memberi makan kecuali kepada yang berhak mendapatkan makanan. Mereka adalah orang-orang yang mengambil untuk kebutuhan hidup mereka, dan tidak boleh memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”.Pendapat yang tepat yaitu bahwasannya zakat fitrah hukum asalnya khusus hanya bagi fakir dan miskin; kecuali jika terdapat maslahat, maka boleh diberikan kepada delapan golongan lainnya yang bukan fakir dan miskin. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Sedangkan penulis kitab Shahih Fqhus Sunnah menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang berhak mendapat zakat fitrah menjadi dua pendapat:Pertama: Yang bisa menerima zakat fitrah adalah delapan golongan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisih pendapat Malikiyah.Kedua: Zakat fitrah hanya untuk dua golongan, yaitu fakir dan miskin saja. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih tepat karena sesuai dengan tujuan pensyariaatan zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa di antara tujuan zakat fitrah adalah ( وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ) yaitu memberi makan orang miskin. Selain itu, penunaian zakat fitrah mirip dengan menunaikan kafarat, dan kafarat tidak mencukupi kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerima kafarat, yaitu orang miskin. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiihu Madzaahib Al-Aimmah)Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah diberikan untuk golongan fakir kaum muslimin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,اغنوهم عن السؤال في هذا اليوم“Cegahlah mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.”Namun, mereka berselisih pendapat apakah boleh memberikan zakat fitrah kepada fakir non muslim yang termasuk kafir zimi. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:Pertama: Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak boleh.Kedua: Imam Abu Hanifah berpendapat boleh.Sebab perselisihan adalah karena mempertimbangkan alasan penunaian zakat, apakah sebabnya karena kondisi fakir saja atau fakir dan juga muslim. Bagi yang beralasan sebabnya adalah karena fakir dan muslim, maka tidak boleh memberikannya kepada kafir zimi. Sementara bagi yang berpendapat sebabnya adalah karena kondisi fakir saja, maka boleh memberikan zakat kepada orang fakir non muslim, yaitu kafir zimi.Adapun mengenai zakat harta, kaum muslimin telah sepakat bahwa zakat harta tidak boleh diberikan kepada kafir zimi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtasid)An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kepada orang kafir, inilah menurut pendapat mazhab kami -mazhab Syafi’i-. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan penyaluran semacam itu. Ibnul Mundzir berkata bahwa para ulama sepakat hal itu tidak dibolehkan, yaitu tidak boleh menyalurkan zakat harta pada kafir zimi. Namun untuk masalah zakat fitrah, para ulama berselisih pendapat. Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah disalurkan pada orang kafir. Begitu pula yang membolehkannya adalah ‘Amr bin Maimun, ‘Umar bin Syarhabil, Murroh Al-Hamdani. Sedangkan Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh disalurkan kepada orang kafir.” (Al-Majmu’  Syarhu Al-Muhadzab)Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah tidaklah disalurkan kepada orang kafir yang miskin.Pendapat terpilih Dari paparan di atas, pendapat terpilih mengenai hukum pemberian kepada non muslim baik berupa hadiah, zakat harta, maupun zakat fitrah adalah sebagai berikut:Pertama: Boleh memberikan hadiah atau sedekah non zakat kepada non muslim. Adapun kepada kafir harbi, maka tidak diperbolehkan. Demikianlah dalil-dalil Al-Qur’an menjelaskan seperti dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.Kedua: Tidak boleh memberikan zakat harta kepada non muslim kecuali golongan muallafatu quluubuhm. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah memberikan zakat kepada orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka, dan hukum ini masih berlaku hingga saat ini.ketiga: Tidak boleh memberikan zakat fitrah kepada non muslim, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa tujuan zakat fitrah adalah khusus untuk golongan fakir dan miskin dari kalangan kaum muslimin saja.KesimpulanPara ulama menjelaskan bahwa memberi hadiah kepada non muslim selain zakat diperbolehkan hukumnya asalkan bukan kepada kafir harbi. Tidak dipungkiri bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum memberikan zakat untuk non muslim. Pendapat terpilih bahwasanya zakat harta diperbolehkan untuk diberikan kepada non muslim yang termasuk golongan muallafau quluubuhum. Adapun pemberian zakat fitrah, maka khusus diberikan kepada kaum muslimin sehingga tidak boleh diberikan kepada fakir miskin non muslim.Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePendahuluanMacam–macam pemberian kepada non muslimBolehkah orang kafir menerima zakat harta?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimPendapat terpilihKesimpulanPendahuluanPemberian hadiah kepada non muslim berupa hadiah atau sedekah adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum Islam. Adapun pemberian zakat kepada non muslim, hal ini diperselisihkan oleh para ulama sejak masa silam, baik untuk zakat harta ataupun zakat fitrah. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalil yang digunakan sebagai dasar pengambilan hukum dan sudut pandang dalam memahaminya. Pada tulisan ini, akan disampaikan beberapa penjelasan ulama mengenai permasalahan zakat kepada non muslim dan pendapat yang dipilih penulis berdasarkan dalil-dalil yang ada.Macam–macam pemberian kepada non muslim Ada beberapa macam bentuk pemberian kepada non muslim. Pemberian kepada non muslim secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu pemberian zakat dan selain zakat. Dalam fatwa Lajnah Daimah dijelaskan bahwa tidak boleh memberikan zakat harta, zakat buah-buahan, dan zakat fitrah kepada non muslim, meskipun mereka termasuk orang fakir, ibnu sabil, dan memiliki hutang. Jika ada seorang muslim memberikan zakatnya kepada mereka, maka penunaian zakatnya tidak sah.Namun, diperbolehkan memberikan sedekah secara umum yang hukumnya tidak wajib kepada non muslim yang fakir. Diperbolehkan juga saling bertukar hadiah dan kebaikan dengan harapan mereka mendapatkan hidayah dengan syarat mereka tidak memusuhi kita. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8) (Fatwa Lajnah Daimah)Mengenai pemberian hadiah bagi non muslim, Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa terdapat dalil dari Al-Qur’an dan hadis mengenai bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.“ (QS. Al-Mumtahanah: 8)Ayat ini menunjukkan bolehnya memberi hadiah kepada orang kafir yang tidak akan memberikan bahaya bagi kaum muslim, seperti para wanita, anak-anak, dan orang-orang yang lemah, karena pemberian hadiah kepada mereka merupakan bentuk kebaikan kepada mereka. Adapun memeberikan hadiah kepada kafir harbi yang memerangi kaum muslimin, maka hal ini tidak diperbolehkan. Bahkan wajb untuk memerangi mereka. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Mumtahanah: 9) (Tuhfatul Mardhiyyah fii Ahkaamil Hibah wal Hadiyyah, karya Syekh Shalih Al-Fauzan)Bolehkah orang kafir menerima zakat harta?Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa di antara golongan yang tidak boleh menerima zakat adalah orang kafir, meskipun termasuk kafir zimi. Ibnul Mundzir menukil ijmak dalam masalah ini berdasarkan hadis,فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka; diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19)Pernyataan ijmak ini disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’.Dengan demikian, orang kafir hukum asalnya tidak boleh menerima zakat. Yang dimaksud orang kafir di sini adalah kafir asli ataupun orang murtad yang dahulumya seorang muslim. Seorang yang dulunya muslim namun melakukan perbuatan kekafiran, seperti melecehkan Al-Qur’an, mencela Islam, Allah, dan Rasul-Nya, maka para ulama sepakat bahwa mereka tidak boleh menerima zakat. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassar)Namun, dikecualikan di sini adalah orang kafir yang termasuk golongan “muallafatu quluubuhum.” An-Nawawi menjelaskan bahwa yang termasuk muallaftu quluubuhum ada dua golongan, yaitu dari golongan orang muslim dan orang kafir. Orang kafir ada dua kelompok, yaitu yang diharapkan kebaikannya atau dikhawatirkan keburukannya. (Lihat Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, karya An-Nawawi)Terdapat riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan zakat kepada orang-orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka agar mau menerima Islam. Seperti ketika beliau memberikan kepada Abu Suyan bin Harb, Shofwan bin Umayyah, ‘Uyainah bin Huson, Al-Aqra’ bin Hasib, dan ‘Abbas bin Murdas, di mana setiap mereka diberikan seratus ekor unta. Nabi juga pernah memberikan kepada ‘Alqomah bin ‘Alatsah dari ghanimah perang Hunain. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Namun, ulama berbeda pendapat apakah golongan “muallaftu quluubuhum“ yang non muslim boleh menerima zakat atau tidak. Sebagian ulama seperti dalam mazhab Hambali dan Maliki membolehkan memberi zakat untuk non muslim dalam rangka untuk memberikan dorongan dan semangat agar masuk Islam, karena Nabi pernah memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”, baik dari muslim maupun non muslim. Sementara ulama Hanafi dan Syafi’i berpendapat tidak boleh memberikan zakat untuk non muslim, baik dalam rangka menarik perhatian mereka ataupun tidak. Pendapat yang lebih tepat yaitu bolehnya memberikan zakat untuk “muallafatu quluubuhum” jika terdapat maslahat bagi Islam dan kaum muslimin dan juga telah ditetapkan oleh ulama di negeri tersebut. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Dalam kitab Al-Mughni dijelaskan bahwa pemberian zakat kepada muallafatu quluubuhum tidak hanya berlaku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi juga berlaku pada umatnya setelah beliau wafat. Dengan demikian, orang kafir yang termasuk muallafatu quluubuhum adalah termasuk golongan yang boleh menerima zakat.Baca juga: Bolehkah Menerima Hadiah dari Pelaku Riba?Perbedaan pendapat mengenai hukum memberikan zakat fitrah kepada non muslimUlama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam beberapa pendapat berikut:Hanafiyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah sama dengan penerima zakat lainnya, akan tetapi diperbolehkan juga untuk memberikan kepada non muslim yang termasuk kafir zimi.Malikiyah berpendapat bahwa zakat ftrah hanya terbatas untuk muslim merdeka yang fakir.Syafi’iyah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah delapan gologan seperti zakat harta.Hanabilah berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah sama dengan penerima zakat yang lain.Pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa tidak boleh memberi makan kecuali kepada yang berhak mendapatkan makanan. Mereka adalah orang-orang yang mengambil untuk kebutuhan hidup mereka, dan tidak boleh memberikan kepada golongan “muallafatu quluubuhum”.Pendapat yang tepat yaitu bahwasannya zakat fitrah hukum asalnya khusus hanya bagi fakir dan miskin; kecuali jika terdapat maslahat, maka boleh diberikan kepada delapan golongan lainnya yang bukan fakir dan miskin. (Lihat Al-Fiqhu Al-Muyassaru)Sedangkan penulis kitab Shahih Fqhus Sunnah menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang berhak mendapat zakat fitrah menjadi dua pendapat:Pertama: Yang bisa menerima zakat fitrah adalah delapan golongan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisih pendapat Malikiyah.Kedua: Zakat fitrah hanya untuk dua golongan, yaitu fakir dan miskin saja. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.Syekh Abu Malik menjelaskan bahwa pendapat kedua inilah yang lebih tepat karena sesuai dengan tujuan pensyariaatan zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa di antara tujuan zakat fitrah adalah ( وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ) yaitu memberi makan orang miskin. Selain itu, penunaian zakat fitrah mirip dengan menunaikan kafarat, dan kafarat tidak mencukupi kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerima kafarat, yaitu orang miskin. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhiihu Madzaahib Al-Aimmah)Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah diberikan untuk golongan fakir kaum muslimin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,اغنوهم عن السؤال في هذا اليوم“Cegahlah mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.”Namun, mereka berselisih pendapat apakah boleh memberikan zakat fitrah kepada fakir non muslim yang termasuk kafir zimi. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:Pertama: Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak boleh.Kedua: Imam Abu Hanifah berpendapat boleh.Sebab perselisihan adalah karena mempertimbangkan alasan penunaian zakat, apakah sebabnya karena kondisi fakir saja atau fakir dan juga muslim. Bagi yang beralasan sebabnya adalah karena fakir dan muslim, maka tidak boleh memberikannya kepada kafir zimi. Sementara bagi yang berpendapat sebabnya adalah karena kondisi fakir saja, maka boleh memberikan zakat kepada orang fakir non muslim, yaitu kafir zimi.Adapun mengenai zakat harta, kaum muslimin telah sepakat bahwa zakat harta tidak boleh diberikan kepada kafir zimi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ“Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang miskin di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19) (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtasid)An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh menyalurkan zakat fitrah kepada orang kafir, inilah menurut pendapat mazhab kami -mazhab Syafi’i-. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan penyaluran semacam itu. Ibnul Mundzir berkata bahwa para ulama sepakat hal itu tidak dibolehkan, yaitu tidak boleh menyalurkan zakat harta pada kafir zimi. Namun untuk masalah zakat fitrah, para ulama berselisih pendapat. Imam Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah disalurkan pada orang kafir. Begitu pula yang membolehkannya adalah ‘Amr bin Maimun, ‘Umar bin Syarhabil, Murroh Al-Hamdani. Sedangkan Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh disalurkan kepada orang kafir.” (Al-Majmu’  Syarhu Al-Muhadzab)Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah tidaklah disalurkan kepada orang kafir yang miskin.Pendapat terpilih Dari paparan di atas, pendapat terpilih mengenai hukum pemberian kepada non muslim baik berupa hadiah, zakat harta, maupun zakat fitrah adalah sebagai berikut:Pertama: Boleh memberikan hadiah atau sedekah non zakat kepada non muslim. Adapun kepada kafir harbi, maka tidak diperbolehkan. Demikianlah dalil-dalil Al-Qur’an menjelaskan seperti dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.Kedua: Tidak boleh memberikan zakat harta kepada non muslim kecuali golongan muallafatu quluubuhm. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah memberikan zakat kepada orang kafir dalam rangka melembutkan hati mereka, dan hukum ini masih berlaku hingga saat ini.ketiga: Tidak boleh memberikan zakat fitrah kepada non muslim, karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa tujuan zakat fitrah adalah khusus untuk golongan fakir dan miskin dari kalangan kaum muslimin saja.KesimpulanPara ulama menjelaskan bahwa memberi hadiah kepada non muslim selain zakat diperbolehkan hukumnya asalkan bukan kepada kafir harbi. Tidak dipungkiri bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum memberikan zakat untuk non muslim. Pendapat terpilih bahwasanya zakat harta diperbolehkan untuk diberikan kepada non muslim yang termasuk golongan muallafau quluubuhum. Adapun pemberian zakat fitrah, maka khusus diberikan kepada kaum muslimin sehingga tidak boleh diberikan kepada fakir miskin non muslim.Baca juga: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id

Salam dalam Salat Jenazah Sekali atau Dua Kali?

Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiyallahu’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Demikian juga Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya.” (HR. Al-Baihaqi (4/43), dishahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani Rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah shahih dari 10 orang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin Al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.” (Ahkamul Janaiz hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam dalam salat yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: ‘assalamu’alaikum.’ Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku.” (HR. An-Nasa’i (3/240), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang shahih dari para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu salam satu kali.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 557 times, 1 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid

Salam dalam Salat Jenazah Sekali atau Dua Kali?

Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiyallahu’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Demikian juga Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya.” (HR. Al-Baihaqi (4/43), dishahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani Rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah shahih dari 10 orang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin Al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.” (Ahkamul Janaiz hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam dalam salat yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: ‘assalamu’alaikum.’ Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku.” (HR. An-Nasa’i (3/240), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang shahih dari para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu salam satu kali.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 557 times, 1 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiyallahu’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Demikian juga Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya.” (HR. Al-Baihaqi (4/43), dishahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani Rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah shahih dari 10 orang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin Al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.” (Ahkamul Janaiz hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam dalam salat yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: ‘assalamu’alaikum.’ Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku.” (HR. An-Nasa’i (3/240), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang shahih dari para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu salam satu kali.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 557 times, 1 visit(s) today Post Views: 583 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas Radhiyallahu’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Demikian juga Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya.” (HR. Al-Baihaqi (4/43), dishahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani Rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah shahih dari 10 orang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin Al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.” (Ahkamul Janaiz hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam dalam salat yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: ‘assalamu’alaikum.’ Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku.” (HR. An-Nasa’i (3/240), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang shahih dari para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu salam satu kali.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 557 times, 1 visit(s) today Post Views: 583 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 3): Mengetahui Hakikat Manusia dan Memaafkan

Daftar Isi ToggleSikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaWatak manusia adalah zalim dan bodohAgar tidak kecewa tatkala berselisihJangan ikut-ikutan bodohDalam medan dakwah, terjadinya perselisihan tidak mungkin terhindarkan. Sebab kebenaran tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ terangkan dalam hadisnya,إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan berkara haram itu jelas. Serta di antara keduanya adalah perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang.” (Muttafaq ‘alaih)Oleh karena itu, menjadi sunnatullah bagi seorang yang menerangkan kebenaran bahwa dia pasti akan mendapatkan tantangan. Allah ﷻ berfirman,أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ”Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabût: 2-3)Bahkan perselisihan ini tidak hanya terjadi antara pendakwah dan musuh dakwah, tetapi juga dapat terjadi di kalangan sesama penebar kebaikan. Faktor jiwa manusia dan hatinya akan sangat berpengaruh dalam perselisihan di antara umat. Dalam perkara ini, Syekh Saad Asy-Syal hafizhahullah memberikan sebuah judul bab yakni “العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل” (memaafkan, bertoleransi, dan tidak melupakan jasa atau keutamaan seseorang). Hal ini beliau tekankan kepada orang yang saling menyayangi dan mencintai, terutama pada kelompok manusia yang berkumpul atau berkolaborasi dalam ketaatan. Syekh Saad hafizhahullah menerangkan,العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل وخاصة إذا وقع الاختلاف بين من كانوا متألفين متحابين، وقد كان بينهم الجميل والمعروف، والاجتماع على طاعة الله ورضاه“Sikap memaafkan, toleransi, dan tidak melupakan jasa ditekankan apabila terjadi perselisihan di antara orang-orang yang saling menyayangi dan mencintai. Sungguh terdapat di antara mereka kebaikan dalam berkumpul di atas ketaatan kepada Allah ﷻ dan keridaan-Nya.” (Adab Al-Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 127)Sikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaAllah ﷻ berfirman,خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَـٰهِلِينَ“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)Al-‘Allamah As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam Taisir Karimir Rahman (2: 189) bahwa ayat ini telah menghimpun akhlak yang baik dalam interaksi sesama manusia. Selayaknya dalam menghadapi manusia, seseorang itu tidaklah perlu membebani orang lain dengan indikator yang berat. Karena manusia hakikatnya adalah makhluk yang tak sempurna, zalim, dan pasti mengecewakan. Oleh karena itu, seseorang didorong untuk menghiasi dirinya dengan sikap pemaaf agar kekecewaan itu tidak menumpuk dalam dirinya dan meledak dalam bentuk amarah di kemudian hari.Watak manusia adalah zalim dan bodohAllah ﷻ berfirman di akhir surah Al-Ahzab,اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ“Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)Inilah sifat yang terinstal dalam jiwa seorang manusia. Mental yang cenderung kepada kezaliman, yakni tidak menempatkan sesuatu pada haknya, serta bodoh, kecuali yang Allah ﷻ rahmati. Sifat ini tidak hanya tersemat pada orang tak berpendidikan atau kelompok kecil, tetapi ia tertanam menjadi potensi setiap manusia. Manusia yang cerdas dan berpendidikan tetap berpotensi zalim dan juga memiliki kebodohan. Karena manusia tak akan mampu menguasai semua pengetahuan dan hikmah yang ada, tetapi seringkali berlagak mengetahui segalanya. Sehingga akan menghasilkan tindakan bodoh dan juga perbuatan menzalimi orang lain.Dengan sifat yang sudah tertanam pada diri seorang manusia, masihkah kita berharap pada manusia?Agar tidak kecewa tatkala berselisihPernahkah anda kedatangan kucing liar di rumah anda? Kemudian anda rawat, beri makan, dan juga tempat tinggal. Namun, setelah dipelihara, beberapa hari kemudian kucing itu hilang dan ternyata sudah di komplek perumahan lain karena sudah mendapatkan pasangan. Kecewakah anda? Mungkin anda kecewa, tetapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap.Apa penyebabnya? Karena anda mengetahui hakikat hewan itu adalah makhluk yang tidak berakal. Anda tak mengharapkan kucing itu dapat membalas kebaikan anda sepenuhnya.Sehingga agar dapat berhenti kecewa dari manusia yang menyelisihi anda atau secara umum dalam interaksi sehari-hari, kenalilah hakikat manusia yang zalim dan bodoh tersebut. Dengan demikian, segala perselisihan yang ada tidak akan menyisakan luka yang berlarut-larut. Karena luka yang berlarut akan menghasilkan amarah, sementara amarah yang meledak tak terkendali pasti menghasilkan penyesalan. Sebagaimana para salaf berkata,الغضب أوله جنون وآخره ندم“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”Kemarahan yang menghilangkan akal bisa menjadi induk dari berbagai macam keburukan. Ungkapan “al-khamru ummul khobaa’its” (khamr sebagai induk keburukan) adalah karena khamr akan menghilangkan akal yang dapat menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan kezaliman. Maka, amarah yang menghilangkan akal akan sama bahayanya dengan orang yang mabuk-mabukan. Terlebih lagi terdapat berbagai pemicu yang dapat diobjektifikasi sebagai induk permasalahannya. Betapa banyak kasus penyerangan bahkan pembunuhan hanya karena berselisih pendapat dan dendam lama yang bertumpuk.Oleh karena itu, Allah ﷻ meminta kita untuk menghiasi diri dengan sifat pemaaf. Karena sifat pemaaf adalah obat kemarahan dan pencegah timbulnya dendam. Allah ﷻ berfirman,وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ“Dan apabila mereka marah, maka mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 37)Inilah sifat orang yang beriman, terlebih para salafus shalih, mereka menghadapi perselisihan bahkan penghianatan yang lebih menyakitkan. Bahkan di antara mereka dikhianati oleh saudara dan kerabat sendiri. Namun, keadaan semacam ini tidak membuat mereka menabung dendam, tetapi segera dan senantiasa memberi maaf. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan bahwa pemaaf telah menjadi sifat yang melekat pada sahabat, termasuk Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadinya, tetapi beliau marah ketika hak Allah ﷻ yang dilanggar.Namun, wajar juga jika seorang tidak suka diselisihi apalagi dalam rangka mempermalukan. Atau penyelisihan itu disertai dengan sikap merendahkan. Para sahabat pun demikian, tetapi mereka berusaha untuk memaafkannya.Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dalam sanad panjang hingga kepada Ibrahim,كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَذِلُّوا، وكانوا إذا قدروا عفوا“Orang-orang beriman tidak suka dipermalukan; tetapi jika mampu, mereka memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Asy-Syura: 37)Jangan ikut-ikutan bodohAl-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat QS. Al-A’raf: 199 yang menjadi pokok pembahasan ini,وَدَخَلَ فِي قَوْلِهِ: (وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) صِلَةُ الْقَاطِعِينَ، وَالْعَفْوُ عَنِ الْمُذْنِبِينَ، وَالرِّفْقُ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُطِيعِينَ“Termasuk di dalam makna, “Memerintahlah kepada kebaikan” adalah menyambung silaturahmi dengan yang telah memutus silaturahmi, memaafkan orang yang berdosa, bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman, dan ciri-ciri orang yang taat lainnya.وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ.Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil” terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kita jangan jadi ikut-ikutan bodoh karena menyikapi orang yang menyelisihi dan mempermalukan kita dengan cara tidak adil. Ketika berselisih, hendaknya kita fokus pada substansi yang diperselisihkan. Jangan salah fokus kepada pribadi orang yang menyelisihi. Lebih utama lagi jika dalam berdakwah, kemudian ada yang membantah atau merecoki, maka tetaplah berdakwah (وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ) dan berpalinglah dari mereka yang membuat keributan.Ketahuilah, jika asas ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka sedikitlah perselisihan itu. Karena ada banyak perselisihan yang memang tidak substantif. Terlebih lagi di media sosial, mungkin terjadi saling balas status faidah ilmu di antara ahli ilmu, tetapi kolom komentarnya lebih panas lagi diisi perselisihan antar penuntut ilmu atau bahkan orang awam yang tidak mengerti tradisi keilmuan. Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap sebagaimana yang diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Seorang penuntut ilmu jangan ikut-ikutan gaya orang awam yang pada akhirnya akan membuat keadaan kian keruh dan keributan kian panas.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneTafsir Al-Qurthubi via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comTafsir Ibnu Katsir via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comالأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Muhsin hafizhahullahTaisir Karimir Rahman karya Syekh As-Sa’di rahimahullah.

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 3): Mengetahui Hakikat Manusia dan Memaafkan

Daftar Isi ToggleSikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaWatak manusia adalah zalim dan bodohAgar tidak kecewa tatkala berselisihJangan ikut-ikutan bodohDalam medan dakwah, terjadinya perselisihan tidak mungkin terhindarkan. Sebab kebenaran tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ terangkan dalam hadisnya,إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan berkara haram itu jelas. Serta di antara keduanya adalah perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang.” (Muttafaq ‘alaih)Oleh karena itu, menjadi sunnatullah bagi seorang yang menerangkan kebenaran bahwa dia pasti akan mendapatkan tantangan. Allah ﷻ berfirman,أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ”Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabût: 2-3)Bahkan perselisihan ini tidak hanya terjadi antara pendakwah dan musuh dakwah, tetapi juga dapat terjadi di kalangan sesama penebar kebaikan. Faktor jiwa manusia dan hatinya akan sangat berpengaruh dalam perselisihan di antara umat. Dalam perkara ini, Syekh Saad Asy-Syal hafizhahullah memberikan sebuah judul bab yakni “العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل” (memaafkan, bertoleransi, dan tidak melupakan jasa atau keutamaan seseorang). Hal ini beliau tekankan kepada orang yang saling menyayangi dan mencintai, terutama pada kelompok manusia yang berkumpul atau berkolaborasi dalam ketaatan. Syekh Saad hafizhahullah menerangkan,العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل وخاصة إذا وقع الاختلاف بين من كانوا متألفين متحابين، وقد كان بينهم الجميل والمعروف، والاجتماع على طاعة الله ورضاه“Sikap memaafkan, toleransi, dan tidak melupakan jasa ditekankan apabila terjadi perselisihan di antara orang-orang yang saling menyayangi dan mencintai. Sungguh terdapat di antara mereka kebaikan dalam berkumpul di atas ketaatan kepada Allah ﷻ dan keridaan-Nya.” (Adab Al-Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 127)Sikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaAllah ﷻ berfirman,خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَـٰهِلِينَ“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)Al-‘Allamah As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam Taisir Karimir Rahman (2: 189) bahwa ayat ini telah menghimpun akhlak yang baik dalam interaksi sesama manusia. Selayaknya dalam menghadapi manusia, seseorang itu tidaklah perlu membebani orang lain dengan indikator yang berat. Karena manusia hakikatnya adalah makhluk yang tak sempurna, zalim, dan pasti mengecewakan. Oleh karena itu, seseorang didorong untuk menghiasi dirinya dengan sikap pemaaf agar kekecewaan itu tidak menumpuk dalam dirinya dan meledak dalam bentuk amarah di kemudian hari.Watak manusia adalah zalim dan bodohAllah ﷻ berfirman di akhir surah Al-Ahzab,اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ“Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)Inilah sifat yang terinstal dalam jiwa seorang manusia. Mental yang cenderung kepada kezaliman, yakni tidak menempatkan sesuatu pada haknya, serta bodoh, kecuali yang Allah ﷻ rahmati. Sifat ini tidak hanya tersemat pada orang tak berpendidikan atau kelompok kecil, tetapi ia tertanam menjadi potensi setiap manusia. Manusia yang cerdas dan berpendidikan tetap berpotensi zalim dan juga memiliki kebodohan. Karena manusia tak akan mampu menguasai semua pengetahuan dan hikmah yang ada, tetapi seringkali berlagak mengetahui segalanya. Sehingga akan menghasilkan tindakan bodoh dan juga perbuatan menzalimi orang lain.Dengan sifat yang sudah tertanam pada diri seorang manusia, masihkah kita berharap pada manusia?Agar tidak kecewa tatkala berselisihPernahkah anda kedatangan kucing liar di rumah anda? Kemudian anda rawat, beri makan, dan juga tempat tinggal. Namun, setelah dipelihara, beberapa hari kemudian kucing itu hilang dan ternyata sudah di komplek perumahan lain karena sudah mendapatkan pasangan. Kecewakah anda? Mungkin anda kecewa, tetapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap.Apa penyebabnya? Karena anda mengetahui hakikat hewan itu adalah makhluk yang tidak berakal. Anda tak mengharapkan kucing itu dapat membalas kebaikan anda sepenuhnya.Sehingga agar dapat berhenti kecewa dari manusia yang menyelisihi anda atau secara umum dalam interaksi sehari-hari, kenalilah hakikat manusia yang zalim dan bodoh tersebut. Dengan demikian, segala perselisihan yang ada tidak akan menyisakan luka yang berlarut-larut. Karena luka yang berlarut akan menghasilkan amarah, sementara amarah yang meledak tak terkendali pasti menghasilkan penyesalan. Sebagaimana para salaf berkata,الغضب أوله جنون وآخره ندم“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”Kemarahan yang menghilangkan akal bisa menjadi induk dari berbagai macam keburukan. Ungkapan “al-khamru ummul khobaa’its” (khamr sebagai induk keburukan) adalah karena khamr akan menghilangkan akal yang dapat menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan kezaliman. Maka, amarah yang menghilangkan akal akan sama bahayanya dengan orang yang mabuk-mabukan. Terlebih lagi terdapat berbagai pemicu yang dapat diobjektifikasi sebagai induk permasalahannya. Betapa banyak kasus penyerangan bahkan pembunuhan hanya karena berselisih pendapat dan dendam lama yang bertumpuk.Oleh karena itu, Allah ﷻ meminta kita untuk menghiasi diri dengan sifat pemaaf. Karena sifat pemaaf adalah obat kemarahan dan pencegah timbulnya dendam. Allah ﷻ berfirman,وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ“Dan apabila mereka marah, maka mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 37)Inilah sifat orang yang beriman, terlebih para salafus shalih, mereka menghadapi perselisihan bahkan penghianatan yang lebih menyakitkan. Bahkan di antara mereka dikhianati oleh saudara dan kerabat sendiri. Namun, keadaan semacam ini tidak membuat mereka menabung dendam, tetapi segera dan senantiasa memberi maaf. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan bahwa pemaaf telah menjadi sifat yang melekat pada sahabat, termasuk Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadinya, tetapi beliau marah ketika hak Allah ﷻ yang dilanggar.Namun, wajar juga jika seorang tidak suka diselisihi apalagi dalam rangka mempermalukan. Atau penyelisihan itu disertai dengan sikap merendahkan. Para sahabat pun demikian, tetapi mereka berusaha untuk memaafkannya.Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dalam sanad panjang hingga kepada Ibrahim,كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَذِلُّوا، وكانوا إذا قدروا عفوا“Orang-orang beriman tidak suka dipermalukan; tetapi jika mampu, mereka memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Asy-Syura: 37)Jangan ikut-ikutan bodohAl-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat QS. Al-A’raf: 199 yang menjadi pokok pembahasan ini,وَدَخَلَ فِي قَوْلِهِ: (وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) صِلَةُ الْقَاطِعِينَ، وَالْعَفْوُ عَنِ الْمُذْنِبِينَ، وَالرِّفْقُ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُطِيعِينَ“Termasuk di dalam makna, “Memerintahlah kepada kebaikan” adalah menyambung silaturahmi dengan yang telah memutus silaturahmi, memaafkan orang yang berdosa, bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman, dan ciri-ciri orang yang taat lainnya.وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ.Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil” terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kita jangan jadi ikut-ikutan bodoh karena menyikapi orang yang menyelisihi dan mempermalukan kita dengan cara tidak adil. Ketika berselisih, hendaknya kita fokus pada substansi yang diperselisihkan. Jangan salah fokus kepada pribadi orang yang menyelisihi. Lebih utama lagi jika dalam berdakwah, kemudian ada yang membantah atau merecoki, maka tetaplah berdakwah (وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ) dan berpalinglah dari mereka yang membuat keributan.Ketahuilah, jika asas ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka sedikitlah perselisihan itu. Karena ada banyak perselisihan yang memang tidak substantif. Terlebih lagi di media sosial, mungkin terjadi saling balas status faidah ilmu di antara ahli ilmu, tetapi kolom komentarnya lebih panas lagi diisi perselisihan antar penuntut ilmu atau bahkan orang awam yang tidak mengerti tradisi keilmuan. Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap sebagaimana yang diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Seorang penuntut ilmu jangan ikut-ikutan gaya orang awam yang pada akhirnya akan membuat keadaan kian keruh dan keributan kian panas.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneTafsir Al-Qurthubi via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comTafsir Ibnu Katsir via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comالأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Muhsin hafizhahullahTaisir Karimir Rahman karya Syekh As-Sa’di rahimahullah.
Daftar Isi ToggleSikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaWatak manusia adalah zalim dan bodohAgar tidak kecewa tatkala berselisihJangan ikut-ikutan bodohDalam medan dakwah, terjadinya perselisihan tidak mungkin terhindarkan. Sebab kebenaran tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ terangkan dalam hadisnya,إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan berkara haram itu jelas. Serta di antara keduanya adalah perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang.” (Muttafaq ‘alaih)Oleh karena itu, menjadi sunnatullah bagi seorang yang menerangkan kebenaran bahwa dia pasti akan mendapatkan tantangan. Allah ﷻ berfirman,أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ”Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabût: 2-3)Bahkan perselisihan ini tidak hanya terjadi antara pendakwah dan musuh dakwah, tetapi juga dapat terjadi di kalangan sesama penebar kebaikan. Faktor jiwa manusia dan hatinya akan sangat berpengaruh dalam perselisihan di antara umat. Dalam perkara ini, Syekh Saad Asy-Syal hafizhahullah memberikan sebuah judul bab yakni “العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل” (memaafkan, bertoleransi, dan tidak melupakan jasa atau keutamaan seseorang). Hal ini beliau tekankan kepada orang yang saling menyayangi dan mencintai, terutama pada kelompok manusia yang berkumpul atau berkolaborasi dalam ketaatan. Syekh Saad hafizhahullah menerangkan,العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل وخاصة إذا وقع الاختلاف بين من كانوا متألفين متحابين، وقد كان بينهم الجميل والمعروف، والاجتماع على طاعة الله ورضاه“Sikap memaafkan, toleransi, dan tidak melupakan jasa ditekankan apabila terjadi perselisihan di antara orang-orang yang saling menyayangi dan mencintai. Sungguh terdapat di antara mereka kebaikan dalam berkumpul di atas ketaatan kepada Allah ﷻ dan keridaan-Nya.” (Adab Al-Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 127)Sikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaAllah ﷻ berfirman,خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَـٰهِلِينَ“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)Al-‘Allamah As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam Taisir Karimir Rahman (2: 189) bahwa ayat ini telah menghimpun akhlak yang baik dalam interaksi sesama manusia. Selayaknya dalam menghadapi manusia, seseorang itu tidaklah perlu membebani orang lain dengan indikator yang berat. Karena manusia hakikatnya adalah makhluk yang tak sempurna, zalim, dan pasti mengecewakan. Oleh karena itu, seseorang didorong untuk menghiasi dirinya dengan sikap pemaaf agar kekecewaan itu tidak menumpuk dalam dirinya dan meledak dalam bentuk amarah di kemudian hari.Watak manusia adalah zalim dan bodohAllah ﷻ berfirman di akhir surah Al-Ahzab,اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ“Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)Inilah sifat yang terinstal dalam jiwa seorang manusia. Mental yang cenderung kepada kezaliman, yakni tidak menempatkan sesuatu pada haknya, serta bodoh, kecuali yang Allah ﷻ rahmati. Sifat ini tidak hanya tersemat pada orang tak berpendidikan atau kelompok kecil, tetapi ia tertanam menjadi potensi setiap manusia. Manusia yang cerdas dan berpendidikan tetap berpotensi zalim dan juga memiliki kebodohan. Karena manusia tak akan mampu menguasai semua pengetahuan dan hikmah yang ada, tetapi seringkali berlagak mengetahui segalanya. Sehingga akan menghasilkan tindakan bodoh dan juga perbuatan menzalimi orang lain.Dengan sifat yang sudah tertanam pada diri seorang manusia, masihkah kita berharap pada manusia?Agar tidak kecewa tatkala berselisihPernahkah anda kedatangan kucing liar di rumah anda? Kemudian anda rawat, beri makan, dan juga tempat tinggal. Namun, setelah dipelihara, beberapa hari kemudian kucing itu hilang dan ternyata sudah di komplek perumahan lain karena sudah mendapatkan pasangan. Kecewakah anda? Mungkin anda kecewa, tetapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap.Apa penyebabnya? Karena anda mengetahui hakikat hewan itu adalah makhluk yang tidak berakal. Anda tak mengharapkan kucing itu dapat membalas kebaikan anda sepenuhnya.Sehingga agar dapat berhenti kecewa dari manusia yang menyelisihi anda atau secara umum dalam interaksi sehari-hari, kenalilah hakikat manusia yang zalim dan bodoh tersebut. Dengan demikian, segala perselisihan yang ada tidak akan menyisakan luka yang berlarut-larut. Karena luka yang berlarut akan menghasilkan amarah, sementara amarah yang meledak tak terkendali pasti menghasilkan penyesalan. Sebagaimana para salaf berkata,الغضب أوله جنون وآخره ندم“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”Kemarahan yang menghilangkan akal bisa menjadi induk dari berbagai macam keburukan. Ungkapan “al-khamru ummul khobaa’its” (khamr sebagai induk keburukan) adalah karena khamr akan menghilangkan akal yang dapat menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan kezaliman. Maka, amarah yang menghilangkan akal akan sama bahayanya dengan orang yang mabuk-mabukan. Terlebih lagi terdapat berbagai pemicu yang dapat diobjektifikasi sebagai induk permasalahannya. Betapa banyak kasus penyerangan bahkan pembunuhan hanya karena berselisih pendapat dan dendam lama yang bertumpuk.Oleh karena itu, Allah ﷻ meminta kita untuk menghiasi diri dengan sifat pemaaf. Karena sifat pemaaf adalah obat kemarahan dan pencegah timbulnya dendam. Allah ﷻ berfirman,وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ“Dan apabila mereka marah, maka mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 37)Inilah sifat orang yang beriman, terlebih para salafus shalih, mereka menghadapi perselisihan bahkan penghianatan yang lebih menyakitkan. Bahkan di antara mereka dikhianati oleh saudara dan kerabat sendiri. Namun, keadaan semacam ini tidak membuat mereka menabung dendam, tetapi segera dan senantiasa memberi maaf. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan bahwa pemaaf telah menjadi sifat yang melekat pada sahabat, termasuk Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadinya, tetapi beliau marah ketika hak Allah ﷻ yang dilanggar.Namun, wajar juga jika seorang tidak suka diselisihi apalagi dalam rangka mempermalukan. Atau penyelisihan itu disertai dengan sikap merendahkan. Para sahabat pun demikian, tetapi mereka berusaha untuk memaafkannya.Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dalam sanad panjang hingga kepada Ibrahim,كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَذِلُّوا، وكانوا إذا قدروا عفوا“Orang-orang beriman tidak suka dipermalukan; tetapi jika mampu, mereka memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Asy-Syura: 37)Jangan ikut-ikutan bodohAl-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat QS. Al-A’raf: 199 yang menjadi pokok pembahasan ini,وَدَخَلَ فِي قَوْلِهِ: (وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) صِلَةُ الْقَاطِعِينَ، وَالْعَفْوُ عَنِ الْمُذْنِبِينَ، وَالرِّفْقُ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُطِيعِينَ“Termasuk di dalam makna, “Memerintahlah kepada kebaikan” adalah menyambung silaturahmi dengan yang telah memutus silaturahmi, memaafkan orang yang berdosa, bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman, dan ciri-ciri orang yang taat lainnya.وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ.Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil” terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kita jangan jadi ikut-ikutan bodoh karena menyikapi orang yang menyelisihi dan mempermalukan kita dengan cara tidak adil. Ketika berselisih, hendaknya kita fokus pada substansi yang diperselisihkan. Jangan salah fokus kepada pribadi orang yang menyelisihi. Lebih utama lagi jika dalam berdakwah, kemudian ada yang membantah atau merecoki, maka tetaplah berdakwah (وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ) dan berpalinglah dari mereka yang membuat keributan.Ketahuilah, jika asas ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka sedikitlah perselisihan itu. Karena ada banyak perselisihan yang memang tidak substantif. Terlebih lagi di media sosial, mungkin terjadi saling balas status faidah ilmu di antara ahli ilmu, tetapi kolom komentarnya lebih panas lagi diisi perselisihan antar penuntut ilmu atau bahkan orang awam yang tidak mengerti tradisi keilmuan. Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap sebagaimana yang diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Seorang penuntut ilmu jangan ikut-ikutan gaya orang awam yang pada akhirnya akan membuat keadaan kian keruh dan keributan kian panas.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneTafsir Al-Qurthubi via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comTafsir Ibnu Katsir via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comالأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Muhsin hafizhahullahTaisir Karimir Rahman karya Syekh As-Sa’di rahimahullah.


Daftar Isi ToggleSikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaWatak manusia adalah zalim dan bodohAgar tidak kecewa tatkala berselisihJangan ikut-ikutan bodohDalam medan dakwah, terjadinya perselisihan tidak mungkin terhindarkan. Sebab kebenaran tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ terangkan dalam hadisnya,إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan berkara haram itu jelas. Serta di antara keduanya adalah perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang.” (Muttafaq ‘alaih)Oleh karena itu, menjadi sunnatullah bagi seorang yang menerangkan kebenaran bahwa dia pasti akan mendapatkan tantangan. Allah ﷻ berfirman,أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ”Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabût: 2-3)Bahkan perselisihan ini tidak hanya terjadi antara pendakwah dan musuh dakwah, tetapi juga dapat terjadi di kalangan sesama penebar kebaikan. Faktor jiwa manusia dan hatinya akan sangat berpengaruh dalam perselisihan di antara umat. Dalam perkara ini, Syekh Saad Asy-Syal hafizhahullah memberikan sebuah judul bab yakni “العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل” (memaafkan, bertoleransi, dan tidak melupakan jasa atau keutamaan seseorang). Hal ini beliau tekankan kepada orang yang saling menyayangi dan mencintai, terutama pada kelompok manusia yang berkumpul atau berkolaborasi dalam ketaatan. Syekh Saad hafizhahullah menerangkan,العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل وخاصة إذا وقع الاختلاف بين من كانوا متألفين متحابين، وقد كان بينهم الجميل والمعروف، والاجتماع على طاعة الله ورضاه“Sikap memaafkan, toleransi, dan tidak melupakan jasa ditekankan apabila terjadi perselisihan di antara orang-orang yang saling menyayangi dan mencintai. Sungguh terdapat di antara mereka kebaikan dalam berkumpul di atas ketaatan kepada Allah ﷻ dan keridaan-Nya.” (Adab Al-Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 127)Sikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusiaAllah ﷻ berfirman,خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَـٰهِلِينَ“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)Al-‘Allamah As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam Taisir Karimir Rahman (2: 189) bahwa ayat ini telah menghimpun akhlak yang baik dalam interaksi sesama manusia. Selayaknya dalam menghadapi manusia, seseorang itu tidaklah perlu membebani orang lain dengan indikator yang berat. Karena manusia hakikatnya adalah makhluk yang tak sempurna, zalim, dan pasti mengecewakan. Oleh karena itu, seseorang didorong untuk menghiasi dirinya dengan sikap pemaaf agar kekecewaan itu tidak menumpuk dalam dirinya dan meledak dalam bentuk amarah di kemudian hari.Watak manusia adalah zalim dan bodohAllah ﷻ berfirman di akhir surah Al-Ahzab,اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ“Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)Inilah sifat yang terinstal dalam jiwa seorang manusia. Mental yang cenderung kepada kezaliman, yakni tidak menempatkan sesuatu pada haknya, serta bodoh, kecuali yang Allah ﷻ rahmati. Sifat ini tidak hanya tersemat pada orang tak berpendidikan atau kelompok kecil, tetapi ia tertanam menjadi potensi setiap manusia. Manusia yang cerdas dan berpendidikan tetap berpotensi zalim dan juga memiliki kebodohan. Karena manusia tak akan mampu menguasai semua pengetahuan dan hikmah yang ada, tetapi seringkali berlagak mengetahui segalanya. Sehingga akan menghasilkan tindakan bodoh dan juga perbuatan menzalimi orang lain.Dengan sifat yang sudah tertanam pada diri seorang manusia, masihkah kita berharap pada manusia?Agar tidak kecewa tatkala berselisihPernahkah anda kedatangan kucing liar di rumah anda? Kemudian anda rawat, beri makan, dan juga tempat tinggal. Namun, setelah dipelihara, beberapa hari kemudian kucing itu hilang dan ternyata sudah di komplek perumahan lain karena sudah mendapatkan pasangan. Kecewakah anda? Mungkin anda kecewa, tetapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap.Apa penyebabnya? Karena anda mengetahui hakikat hewan itu adalah makhluk yang tidak berakal. Anda tak mengharapkan kucing itu dapat membalas kebaikan anda sepenuhnya.Sehingga agar dapat berhenti kecewa dari manusia yang menyelisihi anda atau secara umum dalam interaksi sehari-hari, kenalilah hakikat manusia yang zalim dan bodoh tersebut. Dengan demikian, segala perselisihan yang ada tidak akan menyisakan luka yang berlarut-larut. Karena luka yang berlarut akan menghasilkan amarah, sementara amarah yang meledak tak terkendali pasti menghasilkan penyesalan. Sebagaimana para salaf berkata,الغضب أوله جنون وآخره ندم“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”Kemarahan yang menghilangkan akal bisa menjadi induk dari berbagai macam keburukan. Ungkapan “al-khamru ummul khobaa’its” (khamr sebagai induk keburukan) adalah karena khamr akan menghilangkan akal yang dapat menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan kezaliman. Maka, amarah yang menghilangkan akal akan sama bahayanya dengan orang yang mabuk-mabukan. Terlebih lagi terdapat berbagai pemicu yang dapat diobjektifikasi sebagai induk permasalahannya. Betapa banyak kasus penyerangan bahkan pembunuhan hanya karena berselisih pendapat dan dendam lama yang bertumpuk.Oleh karena itu, Allah ﷻ meminta kita untuk menghiasi diri dengan sifat pemaaf. Karena sifat pemaaf adalah obat kemarahan dan pencegah timbulnya dendam. Allah ﷻ berfirman,وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ“Dan apabila mereka marah, maka mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 37)Inilah sifat orang yang beriman, terlebih para salafus shalih, mereka menghadapi perselisihan bahkan penghianatan yang lebih menyakitkan. Bahkan di antara mereka dikhianati oleh saudara dan kerabat sendiri. Namun, keadaan semacam ini tidak membuat mereka menabung dendam, tetapi segera dan senantiasa memberi maaf. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan bahwa pemaaf telah menjadi sifat yang melekat pada sahabat, termasuk Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadinya, tetapi beliau marah ketika hak Allah ﷻ yang dilanggar.Namun, wajar juga jika seorang tidak suka diselisihi apalagi dalam rangka mempermalukan. Atau penyelisihan itu disertai dengan sikap merendahkan. Para sahabat pun demikian, tetapi mereka berusaha untuk memaafkannya.Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dalam sanad panjang hingga kepada Ibrahim,كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَذِلُّوا، وكانوا إذا قدروا عفوا“Orang-orang beriman tidak suka dipermalukan; tetapi jika mampu, mereka memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Asy-Syura: 37)Jangan ikut-ikutan bodohAl-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat QS. Al-A’raf: 199 yang menjadi pokok pembahasan ini,وَدَخَلَ فِي قَوْلِهِ: (وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) صِلَةُ الْقَاطِعِينَ، وَالْعَفْوُ عَنِ الْمُذْنِبِينَ، وَالرِّفْقُ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُطِيعِينَ“Termasuk di dalam makna, “Memerintahlah kepada kebaikan” adalah menyambung silaturahmi dengan yang telah memutus silaturahmi, memaafkan orang yang berdosa, bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman, dan ciri-ciri orang yang taat lainnya.وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ.Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil” terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kita jangan jadi ikut-ikutan bodoh karena menyikapi orang yang menyelisihi dan mempermalukan kita dengan cara tidak adil. Ketika berselisih, hendaknya kita fokus pada substansi yang diperselisihkan. Jangan salah fokus kepada pribadi orang yang menyelisihi. Lebih utama lagi jika dalam berdakwah, kemudian ada yang membantah atau merecoki, maka tetaplah berdakwah (وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ) dan berpalinglah dari mereka yang membuat keributan.Ketahuilah, jika asas ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka sedikitlah perselisihan itu. Karena ada banyak perselisihan yang memang tidak substantif. Terlebih lagi di media sosial, mungkin terjadi saling balas status faidah ilmu di antara ahli ilmu, tetapi kolom komentarnya lebih panas lagi diisi perselisihan antar penuntut ilmu atau bahkan orang awam yang tidak mengerti tradisi keilmuan. Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap sebagaimana yang diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Seorang penuntut ilmu jangan ikut-ikutan gaya orang awam yang pada akhirnya akan membuat keadaan kian keruh dan keributan kian panas.[Bersambung]Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.oneTafsir Al-Qurthubi via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comTafsir Ibnu Katsir via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.comالأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Muhsin hafizhahullahTaisir Karimir Rahman karya Syekh As-Sa’di rahimahullah.

La Tahzan! Jangan Kau Bersedih! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Takdir Allah atas kemaksiatan itu adalah kebaikan, karena itu terjadi dengan hikmah-Nya yang sempurna. Namun kemaksiatan itu sendiri adalah keburukan.Begitu pula takdir Allah atas musibah, itu adalah kebaikan. Sedangkan musibah itu sendiri adalah buruk. Jika hal ini telah kamu pahami, maka permasalahan akan selesai. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut…” Yakni sebagai takdir dari Allah, “…disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” Artinya, akibat dari perbuatan manusia sendiri. Lalu apa hikmahnya? “…agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Wahai saudara-saudaraku! Betapa banyak orang yang lari menjauh dari pintu Allah, tapi musibah justru membuatnya kembali ke pintu-Nya. Betapa banyak orang yang telah meninggalkan salat, lalu anaknya wafat, lalu ia pun menjadi orang yang senantiasa mendatangi masjid. Takdir Allah itu pasti selalu baik. Meskipun musibah itu sendiri adalah keburukan bagi manusia. Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, musibah itu tidak boleh diminta, karena hakikatnya adalah keburukan. Namun, jika musibah itu telah terjadi, hendaklah seorang hamba berharap ada kebaikan di baliknya. Berharap agar itu menjadi penghapus dosanya. Berharap agar itu membuatnya kembali kepada Rabb-nya. Berharap agar dengan musibah itu, derajatnya ditinggikan di surga. Saya berikan satu contoh yang mudah. Misalnya, wafatnya seorang anak kecil. Wafatnya anak kecil adalah musibah. Namun jika hal itu terjadi, di dalamnya ada kebaikan. Sebab, anak kecil itu akan memberi syafaat kepada orang tuanya. Bahkan anak itu akan menggandeng tangan kedua orang tuanya hingga masuk ke dalam surga. Selain itu, si anak telah beristirahat dari dunia dan dari segala musibahnya. Jika ia anak dari dua orang tua yang muslim, maka ia akan berada di surga. Perhatikanlah! Jika kamu memandangnya dengan sudut pandang ini, betapa banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya! Namun, itu adalah kebaikan yang tidak boleh diminta. Seseorang tidak disyariatkan berdoa: “Ya Allah, karuniakan anak kepadaku, lalu wafatkan dia.” Doa seperti itu tidak disyariatkan. Namun, apabila takdir itu terjadi, maka takdir Allah pasti baik. Meskipun musibah itu terasa menyakitkan, dan meskipun secara lahiriah tampak buruk. Namun dalam takdir Allah terdapat hikmah, karunia, dan kenikmatan. Oleh sebab itu, seluruh takdir Allah itu pasti selalu baik. ==== تَقْدِيرُ اللَّهِ لِلْمَعَاصِي خَيْرٌ لِأَنَّهُ عَنْ حِكْمَةٍ تَامَّةٍ وَالْمَعَاصِي نَفْسُهَا شَرٌّوَتَقْدِيْرُ الْمَصَائِبِ خَيْرٌوَالْمَصَائِبُ نَفْسُهَا شَرٌّ إِذَا عَرَفْتَ هَذَا تَنْحَلُّ لَكَ الْمَسْأَلَةُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوالَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَقْدِيرًا مِنَ اللَّهِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ بِسَبَبِ مَا اكْتَسَبَتْهُ أَيْدِي النَّاسِ مَا الْحِكْمَةُ؟ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ يَا إِخْوَةُ كَمْ مِنْ شَخْصٍ هَارِبٍ عَنْ بَابِ اللَّهِ رَدَّتْهُ الْمَصَائِبُ إِلَى بَابِ اللَّهِ كَمْ مِنْ شَخْصٍ مَا كَانَ يُصَلِّي مَاتَ وَلَدُهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الَّذِينَ يُلَازِمُونَ الْمَسْجِدَ فَتَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ ذَاتُهَا شَرًّا وَلِذَلِكَ يَا إِخْوَةُ الْمُصِيبَةُ لَا تُطْلَبُ لِكَوْنِهَا شَرًّا لَكِنَّهَا إِذَا وَقَعَتْ رَجَا الْعَبْدُ فِيهَا الْخَيْرَ رَجَا أَنْ تُكَفِّرَ ذَنْبَهُ رَجَا أَنْ تُعِيدَهُ إِلَى رَبِّهِ رَجَا أَنْ تُرْفَعَ بِهَا مَنْزِلَتُهُ فِي الْجَنَّةِ وَأَضْرِبُ مِثَالًا قَرِيبًا مَثَلًا مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مُصِيبَةٌ وَفِيه خَيْرٌ إِنْ وَقَعَ فَإِنَّ الصَّغِيرَ يَشْفَعُ لِوَالِدَيْهِ حَتَّى يَأْخُذَ بِأَيْدِيهِمَا حَتَّى يَدْخُلَا الْجَنَّةَ ثُمَّ هُوَ قَدِ ارْتَاحَ مِنَ الدُّنْيَا وَمِنْ مَصَائِبِهَا وَإِنْ كَانَ لِمُسْلِمَيْنِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ انْظُرُوا إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهِ بِهَذَا النَّظَرِ كَمْ فِيهِ مِنْ خَيْرٍ لَكِنَّهُ خَيْرٌ لَا يُطْلَبُ مَا يُشْرَعُ لِلْإِنْسَان يَقُولُ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي طِفْلًا وَأَمِتْهُ مَا يُشْرَعُ لَكِنَّهُ إِذَا وَقَعَ تَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ حَارَّةً وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ شَرًّا فَتَقْدِيرُ اللَّهِ فِيهِ حِكْمَةٌ وَفِيهِ مِنْحَةٌ وَفِيهِ نِعْمَةٌ وَلِهَذَا تَقْدِيرُ اللَّهِ كُلُّهُ خَيْرٌ

La Tahzan! Jangan Kau Bersedih! – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili #NasehatUlama

Takdir Allah atas kemaksiatan itu adalah kebaikan, karena itu terjadi dengan hikmah-Nya yang sempurna. Namun kemaksiatan itu sendiri adalah keburukan.Begitu pula takdir Allah atas musibah, itu adalah kebaikan. Sedangkan musibah itu sendiri adalah buruk. Jika hal ini telah kamu pahami, maka permasalahan akan selesai. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut…” Yakni sebagai takdir dari Allah, “…disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” Artinya, akibat dari perbuatan manusia sendiri. Lalu apa hikmahnya? “…agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Wahai saudara-saudaraku! Betapa banyak orang yang lari menjauh dari pintu Allah, tapi musibah justru membuatnya kembali ke pintu-Nya. Betapa banyak orang yang telah meninggalkan salat, lalu anaknya wafat, lalu ia pun menjadi orang yang senantiasa mendatangi masjid. Takdir Allah itu pasti selalu baik. Meskipun musibah itu sendiri adalah keburukan bagi manusia. Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, musibah itu tidak boleh diminta, karena hakikatnya adalah keburukan. Namun, jika musibah itu telah terjadi, hendaklah seorang hamba berharap ada kebaikan di baliknya. Berharap agar itu menjadi penghapus dosanya. Berharap agar itu membuatnya kembali kepada Rabb-nya. Berharap agar dengan musibah itu, derajatnya ditinggikan di surga. Saya berikan satu contoh yang mudah. Misalnya, wafatnya seorang anak kecil. Wafatnya anak kecil adalah musibah. Namun jika hal itu terjadi, di dalamnya ada kebaikan. Sebab, anak kecil itu akan memberi syafaat kepada orang tuanya. Bahkan anak itu akan menggandeng tangan kedua orang tuanya hingga masuk ke dalam surga. Selain itu, si anak telah beristirahat dari dunia dan dari segala musibahnya. Jika ia anak dari dua orang tua yang muslim, maka ia akan berada di surga. Perhatikanlah! Jika kamu memandangnya dengan sudut pandang ini, betapa banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya! Namun, itu adalah kebaikan yang tidak boleh diminta. Seseorang tidak disyariatkan berdoa: “Ya Allah, karuniakan anak kepadaku, lalu wafatkan dia.” Doa seperti itu tidak disyariatkan. Namun, apabila takdir itu terjadi, maka takdir Allah pasti baik. Meskipun musibah itu terasa menyakitkan, dan meskipun secara lahiriah tampak buruk. Namun dalam takdir Allah terdapat hikmah, karunia, dan kenikmatan. Oleh sebab itu, seluruh takdir Allah itu pasti selalu baik. ==== تَقْدِيرُ اللَّهِ لِلْمَعَاصِي خَيْرٌ لِأَنَّهُ عَنْ حِكْمَةٍ تَامَّةٍ وَالْمَعَاصِي نَفْسُهَا شَرٌّوَتَقْدِيْرُ الْمَصَائِبِ خَيْرٌوَالْمَصَائِبُ نَفْسُهَا شَرٌّ إِذَا عَرَفْتَ هَذَا تَنْحَلُّ لَكَ الْمَسْأَلَةُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوالَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَقْدِيرًا مِنَ اللَّهِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ بِسَبَبِ مَا اكْتَسَبَتْهُ أَيْدِي النَّاسِ مَا الْحِكْمَةُ؟ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ يَا إِخْوَةُ كَمْ مِنْ شَخْصٍ هَارِبٍ عَنْ بَابِ اللَّهِ رَدَّتْهُ الْمَصَائِبُ إِلَى بَابِ اللَّهِ كَمْ مِنْ شَخْصٍ مَا كَانَ يُصَلِّي مَاتَ وَلَدُهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الَّذِينَ يُلَازِمُونَ الْمَسْجِدَ فَتَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ ذَاتُهَا شَرًّا وَلِذَلِكَ يَا إِخْوَةُ الْمُصِيبَةُ لَا تُطْلَبُ لِكَوْنِهَا شَرًّا لَكِنَّهَا إِذَا وَقَعَتْ رَجَا الْعَبْدُ فِيهَا الْخَيْرَ رَجَا أَنْ تُكَفِّرَ ذَنْبَهُ رَجَا أَنْ تُعِيدَهُ إِلَى رَبِّهِ رَجَا أَنْ تُرْفَعَ بِهَا مَنْزِلَتُهُ فِي الْجَنَّةِ وَأَضْرِبُ مِثَالًا قَرِيبًا مَثَلًا مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مُصِيبَةٌ وَفِيه خَيْرٌ إِنْ وَقَعَ فَإِنَّ الصَّغِيرَ يَشْفَعُ لِوَالِدَيْهِ حَتَّى يَأْخُذَ بِأَيْدِيهِمَا حَتَّى يَدْخُلَا الْجَنَّةَ ثُمَّ هُوَ قَدِ ارْتَاحَ مِنَ الدُّنْيَا وَمِنْ مَصَائِبِهَا وَإِنْ كَانَ لِمُسْلِمَيْنِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ انْظُرُوا إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهِ بِهَذَا النَّظَرِ كَمْ فِيهِ مِنْ خَيْرٍ لَكِنَّهُ خَيْرٌ لَا يُطْلَبُ مَا يُشْرَعُ لِلْإِنْسَان يَقُولُ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي طِفْلًا وَأَمِتْهُ مَا يُشْرَعُ لَكِنَّهُ إِذَا وَقَعَ تَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ حَارَّةً وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ شَرًّا فَتَقْدِيرُ اللَّهِ فِيهِ حِكْمَةٌ وَفِيهِ مِنْحَةٌ وَفِيهِ نِعْمَةٌ وَلِهَذَا تَقْدِيرُ اللَّهِ كُلُّهُ خَيْرٌ
Takdir Allah atas kemaksiatan itu adalah kebaikan, karena itu terjadi dengan hikmah-Nya yang sempurna. Namun kemaksiatan itu sendiri adalah keburukan.Begitu pula takdir Allah atas musibah, itu adalah kebaikan. Sedangkan musibah itu sendiri adalah buruk. Jika hal ini telah kamu pahami, maka permasalahan akan selesai. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut…” Yakni sebagai takdir dari Allah, “…disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” Artinya, akibat dari perbuatan manusia sendiri. Lalu apa hikmahnya? “…agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Wahai saudara-saudaraku! Betapa banyak orang yang lari menjauh dari pintu Allah, tapi musibah justru membuatnya kembali ke pintu-Nya. Betapa banyak orang yang telah meninggalkan salat, lalu anaknya wafat, lalu ia pun menjadi orang yang senantiasa mendatangi masjid. Takdir Allah itu pasti selalu baik. Meskipun musibah itu sendiri adalah keburukan bagi manusia. Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, musibah itu tidak boleh diminta, karena hakikatnya adalah keburukan. Namun, jika musibah itu telah terjadi, hendaklah seorang hamba berharap ada kebaikan di baliknya. Berharap agar itu menjadi penghapus dosanya. Berharap agar itu membuatnya kembali kepada Rabb-nya. Berharap agar dengan musibah itu, derajatnya ditinggikan di surga. Saya berikan satu contoh yang mudah. Misalnya, wafatnya seorang anak kecil. Wafatnya anak kecil adalah musibah. Namun jika hal itu terjadi, di dalamnya ada kebaikan. Sebab, anak kecil itu akan memberi syafaat kepada orang tuanya. Bahkan anak itu akan menggandeng tangan kedua orang tuanya hingga masuk ke dalam surga. Selain itu, si anak telah beristirahat dari dunia dan dari segala musibahnya. Jika ia anak dari dua orang tua yang muslim, maka ia akan berada di surga. Perhatikanlah! Jika kamu memandangnya dengan sudut pandang ini, betapa banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya! Namun, itu adalah kebaikan yang tidak boleh diminta. Seseorang tidak disyariatkan berdoa: “Ya Allah, karuniakan anak kepadaku, lalu wafatkan dia.” Doa seperti itu tidak disyariatkan. Namun, apabila takdir itu terjadi, maka takdir Allah pasti baik. Meskipun musibah itu terasa menyakitkan, dan meskipun secara lahiriah tampak buruk. Namun dalam takdir Allah terdapat hikmah, karunia, dan kenikmatan. Oleh sebab itu, seluruh takdir Allah itu pasti selalu baik. ==== تَقْدِيرُ اللَّهِ لِلْمَعَاصِي خَيْرٌ لِأَنَّهُ عَنْ حِكْمَةٍ تَامَّةٍ وَالْمَعَاصِي نَفْسُهَا شَرٌّوَتَقْدِيْرُ الْمَصَائِبِ خَيْرٌوَالْمَصَائِبُ نَفْسُهَا شَرٌّ إِذَا عَرَفْتَ هَذَا تَنْحَلُّ لَكَ الْمَسْأَلَةُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوالَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَقْدِيرًا مِنَ اللَّهِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ بِسَبَبِ مَا اكْتَسَبَتْهُ أَيْدِي النَّاسِ مَا الْحِكْمَةُ؟ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ يَا إِخْوَةُ كَمْ مِنْ شَخْصٍ هَارِبٍ عَنْ بَابِ اللَّهِ رَدَّتْهُ الْمَصَائِبُ إِلَى بَابِ اللَّهِ كَمْ مِنْ شَخْصٍ مَا كَانَ يُصَلِّي مَاتَ وَلَدُهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الَّذِينَ يُلَازِمُونَ الْمَسْجِدَ فَتَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ ذَاتُهَا شَرًّا وَلِذَلِكَ يَا إِخْوَةُ الْمُصِيبَةُ لَا تُطْلَبُ لِكَوْنِهَا شَرًّا لَكِنَّهَا إِذَا وَقَعَتْ رَجَا الْعَبْدُ فِيهَا الْخَيْرَ رَجَا أَنْ تُكَفِّرَ ذَنْبَهُ رَجَا أَنْ تُعِيدَهُ إِلَى رَبِّهِ رَجَا أَنْ تُرْفَعَ بِهَا مَنْزِلَتُهُ فِي الْجَنَّةِ وَأَضْرِبُ مِثَالًا قَرِيبًا مَثَلًا مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مُصِيبَةٌ وَفِيه خَيْرٌ إِنْ وَقَعَ فَإِنَّ الصَّغِيرَ يَشْفَعُ لِوَالِدَيْهِ حَتَّى يَأْخُذَ بِأَيْدِيهِمَا حَتَّى يَدْخُلَا الْجَنَّةَ ثُمَّ هُوَ قَدِ ارْتَاحَ مِنَ الدُّنْيَا وَمِنْ مَصَائِبِهَا وَإِنْ كَانَ لِمُسْلِمَيْنِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ انْظُرُوا إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهِ بِهَذَا النَّظَرِ كَمْ فِيهِ مِنْ خَيْرٍ لَكِنَّهُ خَيْرٌ لَا يُطْلَبُ مَا يُشْرَعُ لِلْإِنْسَان يَقُولُ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي طِفْلًا وَأَمِتْهُ مَا يُشْرَعُ لَكِنَّهُ إِذَا وَقَعَ تَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ حَارَّةً وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ شَرًّا فَتَقْدِيرُ اللَّهِ فِيهِ حِكْمَةٌ وَفِيهِ مِنْحَةٌ وَفِيهِ نِعْمَةٌ وَلِهَذَا تَقْدِيرُ اللَّهِ كُلُّهُ خَيْرٌ


Takdir Allah atas kemaksiatan itu adalah kebaikan, karena itu terjadi dengan hikmah-Nya yang sempurna. Namun kemaksiatan itu sendiri adalah keburukan.Begitu pula takdir Allah atas musibah, itu adalah kebaikan. Sedangkan musibah itu sendiri adalah buruk. Jika hal ini telah kamu pahami, maka permasalahan akan selesai. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut…” Yakni sebagai takdir dari Allah, “…disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.” Artinya, akibat dari perbuatan manusia sendiri. Lalu apa hikmahnya? “…agar Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41) Wahai saudara-saudaraku! Betapa banyak orang yang lari menjauh dari pintu Allah, tapi musibah justru membuatnya kembali ke pintu-Nya. Betapa banyak orang yang telah meninggalkan salat, lalu anaknya wafat, lalu ia pun menjadi orang yang senantiasa mendatangi masjid. Takdir Allah itu pasti selalu baik. Meskipun musibah itu sendiri adalah keburukan bagi manusia. Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, musibah itu tidak boleh diminta, karena hakikatnya adalah keburukan. Namun, jika musibah itu telah terjadi, hendaklah seorang hamba berharap ada kebaikan di baliknya. Berharap agar itu menjadi penghapus dosanya. Berharap agar itu membuatnya kembali kepada Rabb-nya. Berharap agar dengan musibah itu, derajatnya ditinggikan di surga. Saya berikan satu contoh yang mudah. Misalnya, wafatnya seorang anak kecil. Wafatnya anak kecil adalah musibah. Namun jika hal itu terjadi, di dalamnya ada kebaikan. Sebab, anak kecil itu akan memberi syafaat kepada orang tuanya. Bahkan anak itu akan menggandeng tangan kedua orang tuanya hingga masuk ke dalam surga. Selain itu, si anak telah beristirahat dari dunia dan dari segala musibahnya. Jika ia anak dari dua orang tua yang muslim, maka ia akan berada di surga. Perhatikanlah! Jika kamu memandangnya dengan sudut pandang ini, betapa banyak kebaikan yang terkandung di dalamnya! Namun, itu adalah kebaikan yang tidak boleh diminta. Seseorang tidak disyariatkan berdoa: “Ya Allah, karuniakan anak kepadaku, lalu wafatkan dia.” Doa seperti itu tidak disyariatkan. Namun, apabila takdir itu terjadi, maka takdir Allah pasti baik. Meskipun musibah itu terasa menyakitkan, dan meskipun secara lahiriah tampak buruk. Namun dalam takdir Allah terdapat hikmah, karunia, dan kenikmatan. Oleh sebab itu, seluruh takdir Allah itu pasti selalu baik. ==== تَقْدِيرُ اللَّهِ لِلْمَعَاصِي خَيْرٌ لِأَنَّهُ عَنْ حِكْمَةٍ تَامَّةٍ وَالْمَعَاصِي نَفْسُهَا شَرٌّوَتَقْدِيْرُ الْمَصَائِبِ خَيْرٌوَالْمَصَائِبُ نَفْسُهَا شَرٌّ إِذَا عَرَفْتَ هَذَا تَنْحَلُّ لَكَ الْمَسْأَلَةُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوالَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَقْدِيرًا مِنَ اللَّهِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ بِسَبَبِ مَا اكْتَسَبَتْهُ أَيْدِي النَّاسِ مَا الْحِكْمَةُ؟ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ يَا إِخْوَةُ كَمْ مِنْ شَخْصٍ هَارِبٍ عَنْ بَابِ اللَّهِ رَدَّتْهُ الْمَصَائِبُ إِلَى بَابِ اللَّهِ كَمْ مِنْ شَخْصٍ مَا كَانَ يُصَلِّي مَاتَ وَلَدُهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الَّذِينَ يُلَازِمُونَ الْمَسْجِدَ فَتَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ ذَاتُهَا شَرًّا وَلِذَلِكَ يَا إِخْوَةُ الْمُصِيبَةُ لَا تُطْلَبُ لِكَوْنِهَا شَرًّا لَكِنَّهَا إِذَا وَقَعَتْ رَجَا الْعَبْدُ فِيهَا الْخَيْرَ رَجَا أَنْ تُكَفِّرَ ذَنْبَهُ رَجَا أَنْ تُعِيدَهُ إِلَى رَبِّهِ رَجَا أَنْ تُرْفَعَ بِهَا مَنْزِلَتُهُ فِي الْجَنَّةِ وَأَضْرِبُ مِثَالًا قَرِيبًا مَثَلًا مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مَوْتُ الطِّفْلِ الصَّغِيرِ مُصِيبَةٌ وَفِيه خَيْرٌ إِنْ وَقَعَ فَإِنَّ الصَّغِيرَ يَشْفَعُ لِوَالِدَيْهِ حَتَّى يَأْخُذَ بِأَيْدِيهِمَا حَتَّى يَدْخُلَا الْجَنَّةَ ثُمَّ هُوَ قَدِ ارْتَاحَ مِنَ الدُّنْيَا وَمِنْ مَصَائِبِهَا وَإِنْ كَانَ لِمُسْلِمَيْنِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ انْظُرُوا إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهِ بِهَذَا النَّظَرِ كَمْ فِيهِ مِنْ خَيْرٍ لَكِنَّهُ خَيْرٌ لَا يُطْلَبُ مَا يُشْرَعُ لِلْإِنْسَان يَقُولُ اللَّهُمَّ اُرْزُقْنِي طِفْلًا وَأَمِتْهُ مَا يُشْرَعُ لَكِنَّهُ إِذَا وَقَعَ تَقْدِيرُ اللَّهِ خَيْرٌ وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ حَارَّةً وَإِنْ كَانَتِ الْمُصِيبَةُ شَرًّا فَتَقْدِيرُ اللَّهِ فِيهِ حِكْمَةٌ وَفِيهِ مِنْحَةٌ وَفِيهِ نِعْمَةٌ وَلِهَذَا تَقْدِيرُ اللَّهِ كُلُّهُ خَيْرٌ

Bolehkah Tahiyatul Masjid di Waktu Terlarang? Ini Penjelasan Lengkap Ulama!

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Ini juga pertanyaan dari saudari kita. Ia berkata, “Ada seorang wanita di Masjid Nabawi yang—mohon maaf—jika ia perlu ke toilet, ia keluar, berwudhu, lalu kembali ke masjid Setelah itu, ia mendirikan Shalat Tahiyatul Masjid dan dua rakaat setelah wudhu Kami telah menasihatinya bahwa itu adalah waktu larangan shalat Namun ia berkata, ‘Ini termasuk shalat sunnah yang memiliki sebab, sehingga boleh dilakukan pada waktu larangan…’Apakah ucapannya benar? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai hukum melaksanakan shalat sunnah yang memiliki sebab di waktu-waktu terlarang. Terdapat tiga pendapat yang masyhur: [PERTAMA]Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa semua shalat sunnah yang memiliki sebab boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang secara mutlak. Di antaranya adalah Shalat Tahiyatul Masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Adapun pendapat lain menyatakan bahwa seluruh shalat sunnah yang memiliki sebab, tidak boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim). Para ulama itu berpendapat bahwa hadis ini mengandung larangan. Hadis-hadis yang melarang shalat pada waktu-waktu terlarang sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. [KETIGA]Pendapat ketiga menyatakan bahwa waktu larangan shalat terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah waktu larangan yang bersifat longgar, yaitu sejak setelah terbit fajar hingga permulaan terbit matahari, dan juga setelah Shalat Ashar hingga matahari mulai menguning. Pada waktu-waktu ini, shalat sunnah yang memiliki sebab masih boleh dilakukan. Jenis kedua adalah waktu larangan yang bersifat ketat, yaitu tiga waktu: (1) Sejak permulaan terbitnya matahari hingga matahari meninggi dan terbit sempurna. (2) Saat matahari berada tepat di tengah langit (tengah hari). (3) Ketika matahari mulai tenggelam hingga benar-benar terbenam. Pendapat ini berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir. Ia berkata, “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat atau mengubur jenazah pada waktu-waktu itu…” (HR. Muslim). Lalu beliau menyebutkan tiga waktu tersebut. Menurut kami, pendapat ketiga inilah yang paling kuat. Karena pendapat inilah yang menghimpun seluruh dalil dalam permasalahan ini. Namun, sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat, dan setiap pendapat memiliki dasar dan arah pandang masing-masing yang menjadi sandarannya. === أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَذَا أَيْضًا سُؤَالٌ مِنْ أُخْتِنَا تَقُولُ هُنَاكَ امْرَأَةٌ فِي مَسْجِدِ خَيْرِ الْخَلْقِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا احْتَاجَتْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ إِلَى دَورَةِ الْمِيَاهِ فَإِنَّهَا تَخْرُجُ وَتَتَوَضَّأُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَعُودُ وَتُؤَدِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ وَرَكْعَتَيْ الْوُضُوءِ نَصَحنَاهَا وَقُلْنَا هَذَا وَقْتُ النَّهْيِ فَقَالَتْ لَا هَذِهِ مِن الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ الَّتِي ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُؤَدَّى فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ فَمَا صِحَّةُ كَلَامِهَا؟ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هُنَا خِلَافٌ فِقْهِيٌّ فِي مَسْأَلَةِ أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَشْهُورَةٍ وَفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَةِ يَرَوْنَ أَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَمِنْهَا تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَهُنَاكَ مَنْهَجٌ آخَرَ يَقُولُ بِأَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ لَا تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَهَذَا مَذْهَبُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ يَسْتَدِلُّونَ عَلَيْهِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالُوا هَذَا حَدِيثٌ فِيهِ النَّهْيُ وَأَحَادِيثُ النَّهْىِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُتَعَدِّدَةٌ مُتَوَاتِرَةٌ وَهُنَاكَ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُوَسَّعَةُ فَتَكُونُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ فَهَذِهِ الْأَوْقَاتُ تُفْعَلُ فِيهَا ذَوَاتُ الْأَسْبَابِ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُضَيَّقَةُ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ وَهِيَ مِنْ بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى ارْتِفَاعِهَا وَاسْتِكْبَارِهَا وَوَقْتُ تَوَسُّطِ الشَّمْسِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ وَوَقْتُ تَضَيُّقِ الشَّمْسِ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ لِمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ ثَلَاثُ سَاعَاتٍ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا ثُمَّ ذَكَرَ هَذِهِ السَّاعَاتِ الثَّلَاثَ وَهَذَا الْقَوْلُ الْأَخِيرُ نَرَى أَنَّهُ أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ فِي هَذَا الْبَابِ وَكَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْمَسْأَلَةَ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الْخِلَافِ وَلِكُلِّ قَوْلٍ وِجْهَتُهُ الَّتِي يَسْتَنِدُ عَلَيْهَا

Bolehkah Tahiyatul Masjid di Waktu Terlarang? Ini Penjelasan Lengkap Ulama!

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Ini juga pertanyaan dari saudari kita. Ia berkata, “Ada seorang wanita di Masjid Nabawi yang—mohon maaf—jika ia perlu ke toilet, ia keluar, berwudhu, lalu kembali ke masjid Setelah itu, ia mendirikan Shalat Tahiyatul Masjid dan dua rakaat setelah wudhu Kami telah menasihatinya bahwa itu adalah waktu larangan shalat Namun ia berkata, ‘Ini termasuk shalat sunnah yang memiliki sebab, sehingga boleh dilakukan pada waktu larangan…’Apakah ucapannya benar? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai hukum melaksanakan shalat sunnah yang memiliki sebab di waktu-waktu terlarang. Terdapat tiga pendapat yang masyhur: [PERTAMA]Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa semua shalat sunnah yang memiliki sebab boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang secara mutlak. Di antaranya adalah Shalat Tahiyatul Masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Adapun pendapat lain menyatakan bahwa seluruh shalat sunnah yang memiliki sebab, tidak boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim). Para ulama itu berpendapat bahwa hadis ini mengandung larangan. Hadis-hadis yang melarang shalat pada waktu-waktu terlarang sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. [KETIGA]Pendapat ketiga menyatakan bahwa waktu larangan shalat terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah waktu larangan yang bersifat longgar, yaitu sejak setelah terbit fajar hingga permulaan terbit matahari, dan juga setelah Shalat Ashar hingga matahari mulai menguning. Pada waktu-waktu ini, shalat sunnah yang memiliki sebab masih boleh dilakukan. Jenis kedua adalah waktu larangan yang bersifat ketat, yaitu tiga waktu: (1) Sejak permulaan terbitnya matahari hingga matahari meninggi dan terbit sempurna. (2) Saat matahari berada tepat di tengah langit (tengah hari). (3) Ketika matahari mulai tenggelam hingga benar-benar terbenam. Pendapat ini berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir. Ia berkata, “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat atau mengubur jenazah pada waktu-waktu itu…” (HR. Muslim). Lalu beliau menyebutkan tiga waktu tersebut. Menurut kami, pendapat ketiga inilah yang paling kuat. Karena pendapat inilah yang menghimpun seluruh dalil dalam permasalahan ini. Namun, sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat, dan setiap pendapat memiliki dasar dan arah pandang masing-masing yang menjadi sandarannya. === أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَذَا أَيْضًا سُؤَالٌ مِنْ أُخْتِنَا تَقُولُ هُنَاكَ امْرَأَةٌ فِي مَسْجِدِ خَيْرِ الْخَلْقِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا احْتَاجَتْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ إِلَى دَورَةِ الْمِيَاهِ فَإِنَّهَا تَخْرُجُ وَتَتَوَضَّأُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَعُودُ وَتُؤَدِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ وَرَكْعَتَيْ الْوُضُوءِ نَصَحنَاهَا وَقُلْنَا هَذَا وَقْتُ النَّهْيِ فَقَالَتْ لَا هَذِهِ مِن الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ الَّتِي ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُؤَدَّى فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ فَمَا صِحَّةُ كَلَامِهَا؟ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هُنَا خِلَافٌ فِقْهِيٌّ فِي مَسْأَلَةِ أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَشْهُورَةٍ وَفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَةِ يَرَوْنَ أَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَمِنْهَا تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَهُنَاكَ مَنْهَجٌ آخَرَ يَقُولُ بِأَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ لَا تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَهَذَا مَذْهَبُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ يَسْتَدِلُّونَ عَلَيْهِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالُوا هَذَا حَدِيثٌ فِيهِ النَّهْيُ وَأَحَادِيثُ النَّهْىِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُتَعَدِّدَةٌ مُتَوَاتِرَةٌ وَهُنَاكَ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُوَسَّعَةُ فَتَكُونُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ فَهَذِهِ الْأَوْقَاتُ تُفْعَلُ فِيهَا ذَوَاتُ الْأَسْبَابِ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُضَيَّقَةُ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ وَهِيَ مِنْ بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى ارْتِفَاعِهَا وَاسْتِكْبَارِهَا وَوَقْتُ تَوَسُّطِ الشَّمْسِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ وَوَقْتُ تَضَيُّقِ الشَّمْسِ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ لِمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ ثَلَاثُ سَاعَاتٍ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا ثُمَّ ذَكَرَ هَذِهِ السَّاعَاتِ الثَّلَاثَ وَهَذَا الْقَوْلُ الْأَخِيرُ نَرَى أَنَّهُ أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ فِي هَذَا الْبَابِ وَكَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْمَسْأَلَةَ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الْخِلَافِ وَلِكُلِّ قَوْلٍ وِجْهَتُهُ الَّتِي يَسْتَنِدُ عَلَيْهَا
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Ini juga pertanyaan dari saudari kita. Ia berkata, “Ada seorang wanita di Masjid Nabawi yang—mohon maaf—jika ia perlu ke toilet, ia keluar, berwudhu, lalu kembali ke masjid Setelah itu, ia mendirikan Shalat Tahiyatul Masjid dan dua rakaat setelah wudhu Kami telah menasihatinya bahwa itu adalah waktu larangan shalat Namun ia berkata, ‘Ini termasuk shalat sunnah yang memiliki sebab, sehingga boleh dilakukan pada waktu larangan…’Apakah ucapannya benar? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai hukum melaksanakan shalat sunnah yang memiliki sebab di waktu-waktu terlarang. Terdapat tiga pendapat yang masyhur: [PERTAMA]Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa semua shalat sunnah yang memiliki sebab boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang secara mutlak. Di antaranya adalah Shalat Tahiyatul Masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Adapun pendapat lain menyatakan bahwa seluruh shalat sunnah yang memiliki sebab, tidak boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim). Para ulama itu berpendapat bahwa hadis ini mengandung larangan. Hadis-hadis yang melarang shalat pada waktu-waktu terlarang sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. [KETIGA]Pendapat ketiga menyatakan bahwa waktu larangan shalat terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah waktu larangan yang bersifat longgar, yaitu sejak setelah terbit fajar hingga permulaan terbit matahari, dan juga setelah Shalat Ashar hingga matahari mulai menguning. Pada waktu-waktu ini, shalat sunnah yang memiliki sebab masih boleh dilakukan. Jenis kedua adalah waktu larangan yang bersifat ketat, yaitu tiga waktu: (1) Sejak permulaan terbitnya matahari hingga matahari meninggi dan terbit sempurna. (2) Saat matahari berada tepat di tengah langit (tengah hari). (3) Ketika matahari mulai tenggelam hingga benar-benar terbenam. Pendapat ini berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir. Ia berkata, “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat atau mengubur jenazah pada waktu-waktu itu…” (HR. Muslim). Lalu beliau menyebutkan tiga waktu tersebut. Menurut kami, pendapat ketiga inilah yang paling kuat. Karena pendapat inilah yang menghimpun seluruh dalil dalam permasalahan ini. Namun, sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat, dan setiap pendapat memiliki dasar dan arah pandang masing-masing yang menjadi sandarannya. === أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَذَا أَيْضًا سُؤَالٌ مِنْ أُخْتِنَا تَقُولُ هُنَاكَ امْرَأَةٌ فِي مَسْجِدِ خَيْرِ الْخَلْقِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا احْتَاجَتْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ إِلَى دَورَةِ الْمِيَاهِ فَإِنَّهَا تَخْرُجُ وَتَتَوَضَّأُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَعُودُ وَتُؤَدِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ وَرَكْعَتَيْ الْوُضُوءِ نَصَحنَاهَا وَقُلْنَا هَذَا وَقْتُ النَّهْيِ فَقَالَتْ لَا هَذِهِ مِن الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ الَّتِي ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُؤَدَّى فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ فَمَا صِحَّةُ كَلَامِهَا؟ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هُنَا خِلَافٌ فِقْهِيٌّ فِي مَسْأَلَةِ أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَشْهُورَةٍ وَفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَةِ يَرَوْنَ أَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَمِنْهَا تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَهُنَاكَ مَنْهَجٌ آخَرَ يَقُولُ بِأَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ لَا تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَهَذَا مَذْهَبُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ يَسْتَدِلُّونَ عَلَيْهِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالُوا هَذَا حَدِيثٌ فِيهِ النَّهْيُ وَأَحَادِيثُ النَّهْىِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُتَعَدِّدَةٌ مُتَوَاتِرَةٌ وَهُنَاكَ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُوَسَّعَةُ فَتَكُونُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ فَهَذِهِ الْأَوْقَاتُ تُفْعَلُ فِيهَا ذَوَاتُ الْأَسْبَابِ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُضَيَّقَةُ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ وَهِيَ مِنْ بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى ارْتِفَاعِهَا وَاسْتِكْبَارِهَا وَوَقْتُ تَوَسُّطِ الشَّمْسِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ وَوَقْتُ تَضَيُّقِ الشَّمْسِ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ لِمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ ثَلَاثُ سَاعَاتٍ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا ثُمَّ ذَكَرَ هَذِهِ السَّاعَاتِ الثَّلَاثَ وَهَذَا الْقَوْلُ الْأَخِيرُ نَرَى أَنَّهُ أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ فِي هَذَا الْبَابِ وَكَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْمَسْأَلَةَ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الْخِلَافِ وَلِكُلِّ قَوْلٍ وِجْهَتُهُ الَّتِي يَسْتَنِدُ عَلَيْهَا


Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Ini juga pertanyaan dari saudari kita. Ia berkata, “Ada seorang wanita di Masjid Nabawi yang—mohon maaf—jika ia perlu ke toilet, ia keluar, berwudhu, lalu kembali ke masjid Setelah itu, ia mendirikan Shalat Tahiyatul Masjid dan dua rakaat setelah wudhu Kami telah menasihatinya bahwa itu adalah waktu larangan shalat Namun ia berkata, ‘Ini termasuk shalat sunnah yang memiliki sebab, sehingga boleh dilakukan pada waktu larangan…’Apakah ucapannya benar? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.” Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai hukum melaksanakan shalat sunnah yang memiliki sebab di waktu-waktu terlarang. Terdapat tiga pendapat yang masyhur: [PERTAMA]Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa semua shalat sunnah yang memiliki sebab boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang secara mutlak. Di antaranya adalah Shalat Tahiyatul Masjid. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Adapun pendapat lain menyatakan bahwa seluruh shalat sunnah yang memiliki sebab, tidak boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim). Para ulama itu berpendapat bahwa hadis ini mengandung larangan. Hadis-hadis yang melarang shalat pada waktu-waktu terlarang sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. [KETIGA]Pendapat ketiga menyatakan bahwa waktu larangan shalat terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah waktu larangan yang bersifat longgar, yaitu sejak setelah terbit fajar hingga permulaan terbit matahari, dan juga setelah Shalat Ashar hingga matahari mulai menguning. Pada waktu-waktu ini, shalat sunnah yang memiliki sebab masih boleh dilakukan. Jenis kedua adalah waktu larangan yang bersifat ketat, yaitu tiga waktu: (1) Sejak permulaan terbitnya matahari hingga matahari meninggi dan terbit sempurna. (2) Saat matahari berada tepat di tengah langit (tengah hari). (3) Ketika matahari mulai tenggelam hingga benar-benar terbenam. Pendapat ini berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir. Ia berkata, “Ada tiga waktu yang kami dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat atau mengubur jenazah pada waktu-waktu itu…” (HR. Muslim). Lalu beliau menyebutkan tiga waktu tersebut. Menurut kami, pendapat ketiga inilah yang paling kuat. Karena pendapat inilah yang menghimpun seluruh dalil dalam permasalahan ini. Namun, sebagaimana telah disampaikan bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat, dan setiap pendapat memiliki dasar dan arah pandang masing-masing yang menjadi sandarannya. === أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هَذَا أَيْضًا سُؤَالٌ مِنْ أُخْتِنَا تَقُولُ هُنَاكَ امْرَأَةٌ فِي مَسْجِدِ خَيْرِ الْخَلْقِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا احْتَاجَتْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ إِلَى دَورَةِ الْمِيَاهِ فَإِنَّهَا تَخْرُجُ وَتَتَوَضَّأُ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَعُودُ وَتُؤَدِّي تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ وَرَكْعَتَيْ الْوُضُوءِ نَصَحنَاهَا وَقُلْنَا هَذَا وَقْتُ النَّهْيِ فَقَالَتْ لَا هَذِهِ مِن الصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ الَّتِي ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُؤَدَّى فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ فَمَا صِحَّةُ كَلَامِهَا؟ أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ هُنَا خِلَافٌ فِقْهِيٌّ فِي مَسْأَلَةِ أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَشْهُورَةٍ وَفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَةِ يَرَوْنَ أَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَمِنْهَا تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَهُنَاكَ مَنْهَجٌ آخَرَ يَقُولُ بِأَنَّ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ لَا تُفْعَلُ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُطْلَقًا وَهَذَا مَذْهَبُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ يَسْتَدِلُّونَ عَلَيْهِ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالُوا هَذَا حَدِيثٌ فِيهِ النَّهْيُ وَأَحَادِيثُ النَّهْىِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي أَوْقَاتِ النَّهْيِ مُتَعَدِّدَةٌ مُتَوَاتِرَةٌ وَهُنَاكَ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّ أَوْقَاتَ النَّهْيِ عَلَى نَوْعَيْنِ النَّوْعُ الْأَوَّلُ أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُوَسَّعَةُ فَتَكُونُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ فَهَذِهِ الْأَوْقَاتُ تُفْعَلُ فِيهَا ذَوَاتُ الْأَسْبَابِ وَالنَّوْعُ الثَّانِي أَوْقَاتُ النَّهْيِ الْمُضَيَّقَةُ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَوْقَاتٍ وَهِيَ مِنْ بِدْءِ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى ارْتِفَاعِهَا وَاسْتِكْبَارِهَا وَوَقْتُ تَوَسُّطِ الشَّمْسِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ وَوَقْتُ تَضَيُّقِ الشَّمْسِ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ لِمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ ثَلَاثُ سَاعَاتٍ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا ثُمَّ ذَكَرَ هَذِهِ السَّاعَاتِ الثَّلَاثَ وَهَذَا الْقَوْلُ الْأَخِيرُ نَرَى أَنَّهُ أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ وَأَنَّهُ هُوَ الَّذِي تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ فِي هَذَا الْبَابِ وَكَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْمَسْأَلَةَ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الْخِلَافِ وَلِكُلِّ قَوْلٍ وِجْهَتُهُ الَّتِي يَسْتَنِدُ عَلَيْهَا

Tidak Ada Perkara Agama yang Remeh

Pertanyaan: Ustadz, sebagian orang jika dinasihati untuk tidak isbal, untuk tidak mencukur jenggot, mereka malah mengatakan: “Masalah begitu saja masih dipermasalahkan.” Intinya meremehkan. Bagaimana menanggapi teman yang demikian ustadz? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Tidak ada perkara yang remeh dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu (wahai Muhammad) perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5). Al-Qur’an dan semua yang dikandungnya disebutkan oleh Allah sebagai qaulan tsaqilan (perkataan yang berat). Bukan perkara remeh. Setiap perkataan dalam masalah agama itu besar tanggung jawabnya. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا “Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Bukhari no. 6478, Ibnu Majah no. 3221) Perhatikan, bagaimana masalah buang air kecil saja bisa mengakibatkan azab kubur. Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:  مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diazab di kuburnya. Beliau bersabda: ‘Keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena dosa besar (menurut mereka berdua)’, lalu Nabi bersabda: ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diazab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba).” (HR. Bukhari no. 6055, Muslim no. 703). Nah, ternyata masalah buang air kecil pun tidak remeh bukan?  Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai memberikan tuntunan-tuntunan detail kepada kita sampai perkara buang air besar sekalipun. Pernah ditanyakan kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu anhu: قِيلَ له: قدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كُلَّ شيءٍ حتَّى الخِراءَةَ قالَ: فقالَ: أجَلْ لقَدْ نَهانا أنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ لِغائِطٍ، أوْ بَوْلٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ باليَمِينِ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ بأَقَلَّ مِن ثَلاثَةِ أحْجارٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ برَجِيعٍ، أوْ بعَظْمٍ “Apakah Nabi kalian Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air? Salman menjawab: ‘Ya, Beliau melarang kami buang air besar atau buang air kecil menghadap kiblat, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga buah dan beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.’” (HR. Muslim no. 262). Ini menunjukkan perkara-perkara di atas tidak remeh. Maka tidak layak diantara kita meremehkan satu saja bagian dari syariat ini. Semisal dengan mengatakan, “cuma masalah jenggot saja”, “ah cuma isbal saja”, “kan cuma masalah celana”, atau semisalnya.  Kita tidak ingkari bahwa memang ada skala prioritas dalam syariat. Ada amalan wajib, ada amalan sunnah dan ada yang mubah. Ada yang rukun Islam dan yang bukan rukun Islam. Ada perkara yang dharuri, ada yang nazhari. Ada ayat yang muhkam ada yang mutasyabih. Dosa pun ada yang dosa besar, ada dosa kecil. Syirik ada yang syirik akbar dan ada syirik asghar. Memang ada tingkatan.  Namun semua itu tidak ada yang remeh, tidak boleh ada yang direndahkan apalagi dilecehkan. Semuanya berat karena semua itu dari Allah dan Rasul-Nya, dan akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Betapa banyak amalan yang dianggap remeh, namun besar di sisi Allah. Demikian juga betapa banyak amalan yang dianggap besar, namun menjadi kecil di sisi Allah. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 451 times, 1 visit(s) today Post Views: 552 QRIS donasi Yufid

Tidak Ada Perkara Agama yang Remeh

Pertanyaan: Ustadz, sebagian orang jika dinasihati untuk tidak isbal, untuk tidak mencukur jenggot, mereka malah mengatakan: “Masalah begitu saja masih dipermasalahkan.” Intinya meremehkan. Bagaimana menanggapi teman yang demikian ustadz? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Tidak ada perkara yang remeh dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu (wahai Muhammad) perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5). Al-Qur’an dan semua yang dikandungnya disebutkan oleh Allah sebagai qaulan tsaqilan (perkataan yang berat). Bukan perkara remeh. Setiap perkataan dalam masalah agama itu besar tanggung jawabnya. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا “Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Bukhari no. 6478, Ibnu Majah no. 3221) Perhatikan, bagaimana masalah buang air kecil saja bisa mengakibatkan azab kubur. Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:  مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diazab di kuburnya. Beliau bersabda: ‘Keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena dosa besar (menurut mereka berdua)’, lalu Nabi bersabda: ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diazab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba).” (HR. Bukhari no. 6055, Muslim no. 703). Nah, ternyata masalah buang air kecil pun tidak remeh bukan?  Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai memberikan tuntunan-tuntunan detail kepada kita sampai perkara buang air besar sekalipun. Pernah ditanyakan kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu anhu: قِيلَ له: قدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كُلَّ شيءٍ حتَّى الخِراءَةَ قالَ: فقالَ: أجَلْ لقَدْ نَهانا أنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ لِغائِطٍ، أوْ بَوْلٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ باليَمِينِ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ بأَقَلَّ مِن ثَلاثَةِ أحْجارٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ برَجِيعٍ، أوْ بعَظْمٍ “Apakah Nabi kalian Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air? Salman menjawab: ‘Ya, Beliau melarang kami buang air besar atau buang air kecil menghadap kiblat, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga buah dan beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.’” (HR. Muslim no. 262). Ini menunjukkan perkara-perkara di atas tidak remeh. Maka tidak layak diantara kita meremehkan satu saja bagian dari syariat ini. Semisal dengan mengatakan, “cuma masalah jenggot saja”, “ah cuma isbal saja”, “kan cuma masalah celana”, atau semisalnya.  Kita tidak ingkari bahwa memang ada skala prioritas dalam syariat. Ada amalan wajib, ada amalan sunnah dan ada yang mubah. Ada yang rukun Islam dan yang bukan rukun Islam. Ada perkara yang dharuri, ada yang nazhari. Ada ayat yang muhkam ada yang mutasyabih. Dosa pun ada yang dosa besar, ada dosa kecil. Syirik ada yang syirik akbar dan ada syirik asghar. Memang ada tingkatan.  Namun semua itu tidak ada yang remeh, tidak boleh ada yang direndahkan apalagi dilecehkan. Semuanya berat karena semua itu dari Allah dan Rasul-Nya, dan akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Betapa banyak amalan yang dianggap remeh, namun besar di sisi Allah. Demikian juga betapa banyak amalan yang dianggap besar, namun menjadi kecil di sisi Allah. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 451 times, 1 visit(s) today Post Views: 552 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, sebagian orang jika dinasihati untuk tidak isbal, untuk tidak mencukur jenggot, mereka malah mengatakan: “Masalah begitu saja masih dipermasalahkan.” Intinya meremehkan. Bagaimana menanggapi teman yang demikian ustadz? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Tidak ada perkara yang remeh dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu (wahai Muhammad) perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5). Al-Qur’an dan semua yang dikandungnya disebutkan oleh Allah sebagai qaulan tsaqilan (perkataan yang berat). Bukan perkara remeh. Setiap perkataan dalam masalah agama itu besar tanggung jawabnya. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا “Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Bukhari no. 6478, Ibnu Majah no. 3221) Perhatikan, bagaimana masalah buang air kecil saja bisa mengakibatkan azab kubur. Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:  مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diazab di kuburnya. Beliau bersabda: ‘Keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena dosa besar (menurut mereka berdua)’, lalu Nabi bersabda: ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diazab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba).” (HR. Bukhari no. 6055, Muslim no. 703). Nah, ternyata masalah buang air kecil pun tidak remeh bukan?  Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai memberikan tuntunan-tuntunan detail kepada kita sampai perkara buang air besar sekalipun. Pernah ditanyakan kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu anhu: قِيلَ له: قدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كُلَّ شيءٍ حتَّى الخِراءَةَ قالَ: فقالَ: أجَلْ لقَدْ نَهانا أنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ لِغائِطٍ، أوْ بَوْلٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ باليَمِينِ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ بأَقَلَّ مِن ثَلاثَةِ أحْجارٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ برَجِيعٍ، أوْ بعَظْمٍ “Apakah Nabi kalian Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air? Salman menjawab: ‘Ya, Beliau melarang kami buang air besar atau buang air kecil menghadap kiblat, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga buah dan beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.’” (HR. Muslim no. 262). Ini menunjukkan perkara-perkara di atas tidak remeh. Maka tidak layak diantara kita meremehkan satu saja bagian dari syariat ini. Semisal dengan mengatakan, “cuma masalah jenggot saja”, “ah cuma isbal saja”, “kan cuma masalah celana”, atau semisalnya.  Kita tidak ingkari bahwa memang ada skala prioritas dalam syariat. Ada amalan wajib, ada amalan sunnah dan ada yang mubah. Ada yang rukun Islam dan yang bukan rukun Islam. Ada perkara yang dharuri, ada yang nazhari. Ada ayat yang muhkam ada yang mutasyabih. Dosa pun ada yang dosa besar, ada dosa kecil. Syirik ada yang syirik akbar dan ada syirik asghar. Memang ada tingkatan.  Namun semua itu tidak ada yang remeh, tidak boleh ada yang direndahkan apalagi dilecehkan. Semuanya berat karena semua itu dari Allah dan Rasul-Nya, dan akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Betapa banyak amalan yang dianggap remeh, namun besar di sisi Allah. Demikian juga betapa banyak amalan yang dianggap besar, namun menjadi kecil di sisi Allah. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 451 times, 1 visit(s) today Post Views: 552 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, sebagian orang jika dinasihati untuk tidak isbal, untuk tidak mencukur jenggot, mereka malah mengatakan: “Masalah begitu saja masih dipermasalahkan.” Intinya meremehkan. Bagaimana menanggapi teman yang demikian ustadz? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Tidak ada perkara yang remeh dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu (wahai Muhammad) perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5). Al-Qur’an dan semua yang dikandungnya disebutkan oleh Allah sebagai qaulan tsaqilan (perkataan yang berat). Bukan perkara remeh. Setiap perkataan dalam masalah agama itu besar tanggung jawabnya. Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا “Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Bukhari no. 6478, Ibnu Majah no. 3221) Perhatikan, bagaimana masalah buang air kecil saja bisa mengakibatkan azab kubur. Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:  مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diazab di kuburnya. Beliau bersabda: ‘Keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena dosa besar (menurut mereka berdua)’, lalu Nabi bersabda: ‘Padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diazab karena tidak membersihkankan bekas kencingnya, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba).” (HR. Bukhari no. 6055, Muslim no. 703). Nah, ternyata masalah buang air kecil pun tidak remeh bukan?  Oleh karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai memberikan tuntunan-tuntunan detail kepada kita sampai perkara buang air besar sekalipun. Pernah ditanyakan kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu anhu: قِيلَ له: قدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كُلَّ شيءٍ حتَّى الخِراءَةَ قالَ: فقالَ: أجَلْ لقَدْ نَهانا أنْ نَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ لِغائِطٍ، أوْ بَوْلٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ باليَمِينِ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ بأَقَلَّ مِن ثَلاثَةِ أحْجارٍ، أوْ أنْ نَسْتَنْجِيَ برَجِيعٍ، أوْ بعَظْمٍ “Apakah Nabi kalian Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air? Salman menjawab: ‘Ya, Beliau melarang kami buang air besar atau buang air kecil menghadap kiblat, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga buah dan beristinja’ dengan kotoran binatang atau tulang.’” (HR. Muslim no. 262). Ini menunjukkan perkara-perkara di atas tidak remeh. Maka tidak layak diantara kita meremehkan satu saja bagian dari syariat ini. Semisal dengan mengatakan, “cuma masalah jenggot saja”, “ah cuma isbal saja”, “kan cuma masalah celana”, atau semisalnya.  Kita tidak ingkari bahwa memang ada skala prioritas dalam syariat. Ada amalan wajib, ada amalan sunnah dan ada yang mubah. Ada yang rukun Islam dan yang bukan rukun Islam. Ada perkara yang dharuri, ada yang nazhari. Ada ayat yang muhkam ada yang mutasyabih. Dosa pun ada yang dosa besar, ada dosa kecil. Syirik ada yang syirik akbar dan ada syirik asghar. Memang ada tingkatan.  Namun semua itu tidak ada yang remeh, tidak boleh ada yang direndahkan apalagi dilecehkan. Semuanya berat karena semua itu dari Allah dan Rasul-Nya, dan akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Betapa banyak amalan yang dianggap remeh, namun besar di sisi Allah. Demikian juga betapa banyak amalan yang dianggap besar, namun menjadi kecil di sisi Allah. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 451 times, 1 visit(s) today Post Views: 552 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Peran Ayah yang Hilang: Bahaya Fatherless bagi Generasi dalam Perspektif Islam

Fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah semakin marak di era modern. Data BPS tahun 2024 menunjukkan peningkatan jumlah keluarga dengan ibu tunggal akibat perceraian yang mencapai 516.344 kasus dalam setahun. Tidak sedikit anak-anak yang akhirnya tumbuh tanpa peran ayah. Fenomena ini melahirkan dampak serius dalam aspek psikologis, moral, dan pendidikan anak.Di media sosial, banyak anak muda yang mengaku “trauma dengan sosok ayah”, baik karena ditinggalkan, ayah yang tidak hadir secara emosional, atau akibat hubungan tidak sah yang membuat mereka tak pernah mengenal ayah kandungnya.Dalam Islam, sosok ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga qawwam (pemimpin), murobbi (pendidik), dan pelindung. Tanpa kehadirannya, keluarga sering kehilangan arah.Kisah Maryam binti ‘Imran dalam Al-Qur’an juga menjadi pelajaran penting tentang seorang ibu yang terpaksa membesarkan anak sendirian dengan izin Allah. Kisah ini akan kita gali sebagai inspirasi dan pelajaran.  Daftar Isi tutup 1. Bab 1: Ayah Sebagai Pemimpin 2. Bab 2: Peran Ayah dalam Islam 3. Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal Teladan 4. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut Islam Bab 1: Ayah Sebagai PemimpinPeran ayah dalam Islam bukan hanya sebatas pencari nafkah, tetapi juga pembimbing, pendidik, dan teladan dalam keluarga. Ayah adalah figur yang seharusnya menanamkan iman dan adab kepada anak-anaknya. Kehilangan sosok ini, atau fatherless, akan memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga.‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqān: 74)Tafsir AyatPara ulama tafsir memberikan beberapa penjelasan tentang ayat ini:Pendapat Pertama:Ayat ini adalah doa agar kita dijadikan sebagai pemimpin yang menjadi teladan dalam ketakwaan, sehingga layak untuk diikuti oleh generasi setelah kita.Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:“Maksudnya, jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diikuti dalam ketakwaan.”Hal ini sejalan dengan firman Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām:إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا“Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam (panutan) bagi seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124)Pendapat Kedua:Doa ini juga dimaknai sebagai permohonan agar kita dijadikan sebagai pengikut orang-orang bertakwa sebelum kita, sekaligus pemimpin bagi orang-orang bertakwa setelah kita. Mujāhid rahimahullāh berkata:“Jadikan kami orang-orang yang meneladani generasi terdahulu dan menjadi panutan bagi generasi berikutnya.” Relevansi dengan FatherlessFenomena fatherless dapat memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga. Ketika ayah tidak hadir atau gagal menjadi imam dalam rumah tangganya, anak-anak berisiko kehilangan figur yang dapat mendidik mereka untuk menjadi pemimpin takwa di masa depan.Ayat ini seakan menjadi pengingat bagi setiap ayah untuk berjuang agar dirinya layak diteladani, bukan hanya oleh anak-anaknya, tapi juga generasi setelahnya. Bab 2: Peran Ayah dalam IslamAllah Ta’ala menegaskan:الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34)Peran ayah sebagai qawwam mencakup tanggung jawab spiritual (pendidikan agama), emosional (membimbing keluarga), dan material (menafkahi). Rasulullah ﷺ bersabda:كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829) Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal TeladanDalam Al-Qur’an, Maryam binti ‘Imran adalah wanita suci yang diuji oleh Allah dengan mengandung Nabi ‘Isa ‘alaihis salam tanpa ayah.وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا…“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), ketika ia menjauh dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (QS. Maryam: 16)Maryam harus menanggung beban berat membesarkan anak sendirian di tengah cibiran masyarakat. Namun, ia bersandar kepada Allah dan tetap mendidik Nabi ‘Isa dengan iman yang kokoh. Ini menjadi teladan bagi para ibu single parent untuk tetap optimis. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut IslamTanpa peran ayah, anak-anak rawan:Kehilangan pembimbing agama sehingga mudah terjerumus ke pergaulan bebas.Rasa aman terganggu karena ayah adalah pelindung utama keluarga.Kemiskinan struktural, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an:وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ…“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka…” (QS. An-Nisa: 9) – Ditulis di Marriott, Jumat, 16 Muharram 1447 H, 11 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayah fatherless orang tua parenting

Peran Ayah yang Hilang: Bahaya Fatherless bagi Generasi dalam Perspektif Islam

Fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah semakin marak di era modern. Data BPS tahun 2024 menunjukkan peningkatan jumlah keluarga dengan ibu tunggal akibat perceraian yang mencapai 516.344 kasus dalam setahun. Tidak sedikit anak-anak yang akhirnya tumbuh tanpa peran ayah. Fenomena ini melahirkan dampak serius dalam aspek psikologis, moral, dan pendidikan anak.Di media sosial, banyak anak muda yang mengaku “trauma dengan sosok ayah”, baik karena ditinggalkan, ayah yang tidak hadir secara emosional, atau akibat hubungan tidak sah yang membuat mereka tak pernah mengenal ayah kandungnya.Dalam Islam, sosok ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga qawwam (pemimpin), murobbi (pendidik), dan pelindung. Tanpa kehadirannya, keluarga sering kehilangan arah.Kisah Maryam binti ‘Imran dalam Al-Qur’an juga menjadi pelajaran penting tentang seorang ibu yang terpaksa membesarkan anak sendirian dengan izin Allah. Kisah ini akan kita gali sebagai inspirasi dan pelajaran.  Daftar Isi tutup 1. Bab 1: Ayah Sebagai Pemimpin 2. Bab 2: Peran Ayah dalam Islam 3. Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal Teladan 4. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut Islam Bab 1: Ayah Sebagai PemimpinPeran ayah dalam Islam bukan hanya sebatas pencari nafkah, tetapi juga pembimbing, pendidik, dan teladan dalam keluarga. Ayah adalah figur yang seharusnya menanamkan iman dan adab kepada anak-anaknya. Kehilangan sosok ini, atau fatherless, akan memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga.‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqān: 74)Tafsir AyatPara ulama tafsir memberikan beberapa penjelasan tentang ayat ini:Pendapat Pertama:Ayat ini adalah doa agar kita dijadikan sebagai pemimpin yang menjadi teladan dalam ketakwaan, sehingga layak untuk diikuti oleh generasi setelah kita.Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:“Maksudnya, jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diikuti dalam ketakwaan.”Hal ini sejalan dengan firman Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām:إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا“Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam (panutan) bagi seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124)Pendapat Kedua:Doa ini juga dimaknai sebagai permohonan agar kita dijadikan sebagai pengikut orang-orang bertakwa sebelum kita, sekaligus pemimpin bagi orang-orang bertakwa setelah kita. Mujāhid rahimahullāh berkata:“Jadikan kami orang-orang yang meneladani generasi terdahulu dan menjadi panutan bagi generasi berikutnya.” Relevansi dengan FatherlessFenomena fatherless dapat memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga. Ketika ayah tidak hadir atau gagal menjadi imam dalam rumah tangganya, anak-anak berisiko kehilangan figur yang dapat mendidik mereka untuk menjadi pemimpin takwa di masa depan.Ayat ini seakan menjadi pengingat bagi setiap ayah untuk berjuang agar dirinya layak diteladani, bukan hanya oleh anak-anaknya, tapi juga generasi setelahnya. Bab 2: Peran Ayah dalam IslamAllah Ta’ala menegaskan:الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34)Peran ayah sebagai qawwam mencakup tanggung jawab spiritual (pendidikan agama), emosional (membimbing keluarga), dan material (menafkahi). Rasulullah ﷺ bersabda:كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829) Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal TeladanDalam Al-Qur’an, Maryam binti ‘Imran adalah wanita suci yang diuji oleh Allah dengan mengandung Nabi ‘Isa ‘alaihis salam tanpa ayah.وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا…“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), ketika ia menjauh dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (QS. Maryam: 16)Maryam harus menanggung beban berat membesarkan anak sendirian di tengah cibiran masyarakat. Namun, ia bersandar kepada Allah dan tetap mendidik Nabi ‘Isa dengan iman yang kokoh. Ini menjadi teladan bagi para ibu single parent untuk tetap optimis. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut IslamTanpa peran ayah, anak-anak rawan:Kehilangan pembimbing agama sehingga mudah terjerumus ke pergaulan bebas.Rasa aman terganggu karena ayah adalah pelindung utama keluarga.Kemiskinan struktural, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an:وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ…“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka…” (QS. An-Nisa: 9) – Ditulis di Marriott, Jumat, 16 Muharram 1447 H, 11 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayah fatherless orang tua parenting
Fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah semakin marak di era modern. Data BPS tahun 2024 menunjukkan peningkatan jumlah keluarga dengan ibu tunggal akibat perceraian yang mencapai 516.344 kasus dalam setahun. Tidak sedikit anak-anak yang akhirnya tumbuh tanpa peran ayah. Fenomena ini melahirkan dampak serius dalam aspek psikologis, moral, dan pendidikan anak.Di media sosial, banyak anak muda yang mengaku “trauma dengan sosok ayah”, baik karena ditinggalkan, ayah yang tidak hadir secara emosional, atau akibat hubungan tidak sah yang membuat mereka tak pernah mengenal ayah kandungnya.Dalam Islam, sosok ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga qawwam (pemimpin), murobbi (pendidik), dan pelindung. Tanpa kehadirannya, keluarga sering kehilangan arah.Kisah Maryam binti ‘Imran dalam Al-Qur’an juga menjadi pelajaran penting tentang seorang ibu yang terpaksa membesarkan anak sendirian dengan izin Allah. Kisah ini akan kita gali sebagai inspirasi dan pelajaran.  Daftar Isi tutup 1. Bab 1: Ayah Sebagai Pemimpin 2. Bab 2: Peran Ayah dalam Islam 3. Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal Teladan 4. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut Islam Bab 1: Ayah Sebagai PemimpinPeran ayah dalam Islam bukan hanya sebatas pencari nafkah, tetapi juga pembimbing, pendidik, dan teladan dalam keluarga. Ayah adalah figur yang seharusnya menanamkan iman dan adab kepada anak-anaknya. Kehilangan sosok ini, atau fatherless, akan memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga.‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqān: 74)Tafsir AyatPara ulama tafsir memberikan beberapa penjelasan tentang ayat ini:Pendapat Pertama:Ayat ini adalah doa agar kita dijadikan sebagai pemimpin yang menjadi teladan dalam ketakwaan, sehingga layak untuk diikuti oleh generasi setelah kita.Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:“Maksudnya, jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diikuti dalam ketakwaan.”Hal ini sejalan dengan firman Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām:إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا“Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam (panutan) bagi seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124)Pendapat Kedua:Doa ini juga dimaknai sebagai permohonan agar kita dijadikan sebagai pengikut orang-orang bertakwa sebelum kita, sekaligus pemimpin bagi orang-orang bertakwa setelah kita. Mujāhid rahimahullāh berkata:“Jadikan kami orang-orang yang meneladani generasi terdahulu dan menjadi panutan bagi generasi berikutnya.” Relevansi dengan FatherlessFenomena fatherless dapat memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga. Ketika ayah tidak hadir atau gagal menjadi imam dalam rumah tangganya, anak-anak berisiko kehilangan figur yang dapat mendidik mereka untuk menjadi pemimpin takwa di masa depan.Ayat ini seakan menjadi pengingat bagi setiap ayah untuk berjuang agar dirinya layak diteladani, bukan hanya oleh anak-anaknya, tapi juga generasi setelahnya. Bab 2: Peran Ayah dalam IslamAllah Ta’ala menegaskan:الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34)Peran ayah sebagai qawwam mencakup tanggung jawab spiritual (pendidikan agama), emosional (membimbing keluarga), dan material (menafkahi). Rasulullah ﷺ bersabda:كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829) Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal TeladanDalam Al-Qur’an, Maryam binti ‘Imran adalah wanita suci yang diuji oleh Allah dengan mengandung Nabi ‘Isa ‘alaihis salam tanpa ayah.وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا…“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), ketika ia menjauh dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (QS. Maryam: 16)Maryam harus menanggung beban berat membesarkan anak sendirian di tengah cibiran masyarakat. Namun, ia bersandar kepada Allah dan tetap mendidik Nabi ‘Isa dengan iman yang kokoh. Ini menjadi teladan bagi para ibu single parent untuk tetap optimis. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut IslamTanpa peran ayah, anak-anak rawan:Kehilangan pembimbing agama sehingga mudah terjerumus ke pergaulan bebas.Rasa aman terganggu karena ayah adalah pelindung utama keluarga.Kemiskinan struktural, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an:وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ…“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka…” (QS. An-Nisa: 9) – Ditulis di Marriott, Jumat, 16 Muharram 1447 H, 11 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayah fatherless orang tua parenting


Fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah semakin marak di era modern. Data BPS tahun 2024 menunjukkan peningkatan jumlah keluarga dengan ibu tunggal akibat perceraian yang mencapai 516.344 kasus dalam setahun. Tidak sedikit anak-anak yang akhirnya tumbuh tanpa peran ayah. Fenomena ini melahirkan dampak serius dalam aspek psikologis, moral, dan pendidikan anak.Di media sosial, banyak anak muda yang mengaku “trauma dengan sosok ayah”, baik karena ditinggalkan, ayah yang tidak hadir secara emosional, atau akibat hubungan tidak sah yang membuat mereka tak pernah mengenal ayah kandungnya.Dalam Islam, sosok ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga qawwam (pemimpin), murobbi (pendidik), dan pelindung. Tanpa kehadirannya, keluarga sering kehilangan arah.Kisah Maryam binti ‘Imran dalam Al-Qur’an juga menjadi pelajaran penting tentang seorang ibu yang terpaksa membesarkan anak sendirian dengan izin Allah. Kisah ini akan kita gali sebagai inspirasi dan pelajaran.  Daftar Isi tutup 1. Bab 1: Ayah Sebagai Pemimpin 2. Bab 2: Peran Ayah dalam Islam 3. Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal Teladan 4. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut Islam Bab 1: Ayah Sebagai PemimpinPeran ayah dalam Islam bukan hanya sebatas pencari nafkah, tetapi juga pembimbing, pendidik, dan teladan dalam keluarga. Ayah adalah figur yang seharusnya menanamkan iman dan adab kepada anak-anaknya. Kehilangan sosok ini, atau fatherless, akan memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga.‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqān: 74)Tafsir AyatPara ulama tafsir memberikan beberapa penjelasan tentang ayat ini:Pendapat Pertama:Ayat ini adalah doa agar kita dijadikan sebagai pemimpin yang menjadi teladan dalam ketakwaan, sehingga layak untuk diikuti oleh generasi setelah kita.Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā berkata:“Maksudnya, jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diikuti dalam ketakwaan.”Hal ini sejalan dengan firman Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām:إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا“Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam (panutan) bagi seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124)Pendapat Kedua:Doa ini juga dimaknai sebagai permohonan agar kita dijadikan sebagai pengikut orang-orang bertakwa sebelum kita, sekaligus pemimpin bagi orang-orang bertakwa setelah kita. Mujāhid rahimahullāh berkata:“Jadikan kami orang-orang yang meneladani generasi terdahulu dan menjadi panutan bagi generasi berikutnya.” Relevansi dengan FatherlessFenomena fatherless dapat memutus mata rantai keteladanan dalam keluarga. Ketika ayah tidak hadir atau gagal menjadi imam dalam rumah tangganya, anak-anak berisiko kehilangan figur yang dapat mendidik mereka untuk menjadi pemimpin takwa di masa depan.Ayat ini seakan menjadi pengingat bagi setiap ayah untuk berjuang agar dirinya layak diteladani, bukan hanya oleh anak-anaknya, tapi juga generasi setelahnya. Bab 2: Peran Ayah dalam IslamAllah Ta’ala menegaskan:الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34)Peran ayah sebagai qawwam mencakup tanggung jawab spiritual (pendidikan agama), emosional (membimbing keluarga), dan material (menafkahi). Rasulullah ﷺ bersabda:كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya… seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829) Bab 3: Kisah Maryam – Ibu Tunggal TeladanDalam Al-Qur’an, Maryam binti ‘Imran adalah wanita suci yang diuji oleh Allah dengan mengandung Nabi ‘Isa ‘alaihis salam tanpa ayah.وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا…“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), ketika ia menjauh dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (QS. Maryam: 16)Maryam harus menanggung beban berat membesarkan anak sendirian di tengah cibiran masyarakat. Namun, ia bersandar kepada Allah dan tetap mendidik Nabi ‘Isa dengan iman yang kokoh. Ini menjadi teladan bagi para ibu single parent untuk tetap optimis. Bab 4: Dampak Fatherless Menurut IslamTanpa peran ayah, anak-anak rawan:Kehilangan pembimbing agama sehingga mudah terjerumus ke pergaulan bebas.Rasa aman terganggu karena ayah adalah pelindung utama keluarga.Kemiskinan struktural, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an:وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ…“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka…” (QS. An-Nisa: 9) – Ditulis di Marriott, Jumat, 16 Muharram 1447 H, 11 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsayah fatherless orang tua parenting

Fatwa Ulama: Makna Umum Fa’lu sebagai Bentuk Husnuzhan kepada Allah Ta’ala

Daftar Isi ToggleFatwa Syaikh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Syekh kami – semoga Allah menjaga Anda – apakah sabda Nabi ﷺ, “Aku menyukai begini”, termasuk sifat kemanusiaan beliau ataukah menunjukkan hukum syar’i? Seperti sabda beliau ﷺ,لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial karena burung, dan lain-lain), dan aku menyukai fa’lu.”Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau menjawab,الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ“Kalimat yang baik.” [1]Dalam hadis tersebut, “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) terdiri dari dua kata yang menggunakan alif lam (definitif), ini menunjukkan makna hashr (pembatasan). Apakah kita mengatakan bahwa fa’lu hanya terbatas pada kalimat yang baik, atau mencakup hal lainnya? Baarakallah fiik.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du:Makna “yu’jibuni” (aku menyukai) dalam hadis menunjukkan bahwa Nabi ﷺ senang dengan fa’lu karena ia merupakan bentuk pengharapan kebaikan. Mengharapkan kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, sebab thiyarah (merasa sial) termasuk su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah, sedangkan fa’lu adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.Nabi ﷺ telah menjelaskan tabiat kemanusiaannya dan kecenderungan fitrah manusia yang menyukai hal-hal yang sesuai dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [2] Contohnya, kecintaan beliau ﷺ terhadap makanan manis dan madu [3], sebagaimana dalam sabdanya,حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ “Dijadikan sesuatu yang aku cintai dari dunia kalian…” (seperti wanita dan wewangian) [4]serta kegemaran beliau terhadap suara indah dalam bacaan Al-Qur’an dan azan. Singkatnya, beliau mencintai segala kesempurnaan, kebaikan, dan hal yang mengantarkan kepadanya.Adapun pembatasan (hasr) yang diungkapkan ulama ushul dengan bentuk definitif pada kedua bagian – seperti dalam hadis,تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ“Yang mengharamkannya (salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (keluar dari salat) adalah salam.” [5]Maka hasr dalam konteks ini berlaku pada berita (khabar). Maksudnya, tidak boleh masuk (memulai) salat kecuali dengan takbir, dan tidak boleh keluar darinya kecuali dengan salam. Ini pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah dan Zhahiriyah.Kaidahnya: Gaya bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan selama tidak ada dalil yang menolaknya. Jika ada dalil lain, maka (dalil lain tersebut) didahulukan. Namun, zahir hadis menunjukkan keumuman fa’lu yang mencakup segala kata (kondisi) yang mengarah pada kebaikan. Fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”, tetapi mencakup segala hal yang menyenangkan hati dan memberi harapan baik, baik berupa:Kalimat thayyibah;Nama yang baik;Bertemu orang saleh;Tempat baik yang dilalui.Semua ini termasuk husnuzhan kepada Allah Ta’ala. Inilah alasan Nabi ﷺ menyukai fa’lu, karena ia bagian dari berbaik sangka kepada-Nya.Bukti bahwa fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”:Ketika Suhail bin ‘Amr datang dalam peristiwa Hudaibiyah untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ“Urusan kalian dipermudah” (karena nama “Suhail” berarti “mudah”).” [6]Ternyata, harapan itu terwujud dengan datangnya kebaikan (perdamaian Hudaibiyah).Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-206 Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thibb, bab La ‘Adwa (no. 5776), dan Muslim dalam kitab As-Salam (no. 2224), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (3: 306).[3] Lihat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah, bab Al-Halwa’ wal ‘Asal (no. 5431), dan Muslim dalam kitab Ath-Thalaq (no. 1474), dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.[4] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, bab Hubbun Nisa’ (no. 3939), dan Al-Baihaqi – dengan lafaz miliknya – (no. 13454), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3124).[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ath-Thaharah, bab Fardhu Al-Wudhu (no. 61), At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja’a Anna Miftaha Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 3), dan Ibnu Majah dalam kitab Ath-Thaharah wa Sunanuha, bab Miftahu Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 275), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 5885).[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Asy-Syuruth (Perjanjian), bab Asy-Syuruth fi Al-Jihad wal Mushalahah ma’a Ahli Al-Harb wa Kitabati Asy-Syuruth (Syarat-syarat dalam jihad, perdamaian dengan musuh, dan penulisan perjanjian) (no. 2731), dari hadis Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma.

Fatwa Ulama: Makna Umum Fa’lu sebagai Bentuk Husnuzhan kepada Allah Ta’ala

Daftar Isi ToggleFatwa Syaikh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Syekh kami – semoga Allah menjaga Anda – apakah sabda Nabi ﷺ, “Aku menyukai begini”, termasuk sifat kemanusiaan beliau ataukah menunjukkan hukum syar’i? Seperti sabda beliau ﷺ,لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial karena burung, dan lain-lain), dan aku menyukai fa’lu.”Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau menjawab,الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ“Kalimat yang baik.” [1]Dalam hadis tersebut, “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) terdiri dari dua kata yang menggunakan alif lam (definitif), ini menunjukkan makna hashr (pembatasan). Apakah kita mengatakan bahwa fa’lu hanya terbatas pada kalimat yang baik, atau mencakup hal lainnya? Baarakallah fiik.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du:Makna “yu’jibuni” (aku menyukai) dalam hadis menunjukkan bahwa Nabi ﷺ senang dengan fa’lu karena ia merupakan bentuk pengharapan kebaikan. Mengharapkan kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, sebab thiyarah (merasa sial) termasuk su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah, sedangkan fa’lu adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.Nabi ﷺ telah menjelaskan tabiat kemanusiaannya dan kecenderungan fitrah manusia yang menyukai hal-hal yang sesuai dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [2] Contohnya, kecintaan beliau ﷺ terhadap makanan manis dan madu [3], sebagaimana dalam sabdanya,حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ “Dijadikan sesuatu yang aku cintai dari dunia kalian…” (seperti wanita dan wewangian) [4]serta kegemaran beliau terhadap suara indah dalam bacaan Al-Qur’an dan azan. Singkatnya, beliau mencintai segala kesempurnaan, kebaikan, dan hal yang mengantarkan kepadanya.Adapun pembatasan (hasr) yang diungkapkan ulama ushul dengan bentuk definitif pada kedua bagian – seperti dalam hadis,تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ“Yang mengharamkannya (salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (keluar dari salat) adalah salam.” [5]Maka hasr dalam konteks ini berlaku pada berita (khabar). Maksudnya, tidak boleh masuk (memulai) salat kecuali dengan takbir, dan tidak boleh keluar darinya kecuali dengan salam. Ini pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah dan Zhahiriyah.Kaidahnya: Gaya bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan selama tidak ada dalil yang menolaknya. Jika ada dalil lain, maka (dalil lain tersebut) didahulukan. Namun, zahir hadis menunjukkan keumuman fa’lu yang mencakup segala kata (kondisi) yang mengarah pada kebaikan. Fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”, tetapi mencakup segala hal yang menyenangkan hati dan memberi harapan baik, baik berupa:Kalimat thayyibah;Nama yang baik;Bertemu orang saleh;Tempat baik yang dilalui.Semua ini termasuk husnuzhan kepada Allah Ta’ala. Inilah alasan Nabi ﷺ menyukai fa’lu, karena ia bagian dari berbaik sangka kepada-Nya.Bukti bahwa fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”:Ketika Suhail bin ‘Amr datang dalam peristiwa Hudaibiyah untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ“Urusan kalian dipermudah” (karena nama “Suhail” berarti “mudah”).” [6]Ternyata, harapan itu terwujud dengan datangnya kebaikan (perdamaian Hudaibiyah).Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-206 Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thibb, bab La ‘Adwa (no. 5776), dan Muslim dalam kitab As-Salam (no. 2224), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (3: 306).[3] Lihat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah, bab Al-Halwa’ wal ‘Asal (no. 5431), dan Muslim dalam kitab Ath-Thalaq (no. 1474), dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.[4] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, bab Hubbun Nisa’ (no. 3939), dan Al-Baihaqi – dengan lafaz miliknya – (no. 13454), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3124).[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ath-Thaharah, bab Fardhu Al-Wudhu (no. 61), At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja’a Anna Miftaha Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 3), dan Ibnu Majah dalam kitab Ath-Thaharah wa Sunanuha, bab Miftahu Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 275), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 5885).[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Asy-Syuruth (Perjanjian), bab Asy-Syuruth fi Al-Jihad wal Mushalahah ma’a Ahli Al-Harb wa Kitabati Asy-Syuruth (Syarat-syarat dalam jihad, perdamaian dengan musuh, dan penulisan perjanjian) (no. 2731), dari hadis Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma.
Daftar Isi ToggleFatwa Syaikh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Syekh kami – semoga Allah menjaga Anda – apakah sabda Nabi ﷺ, “Aku menyukai begini”, termasuk sifat kemanusiaan beliau ataukah menunjukkan hukum syar’i? Seperti sabda beliau ﷺ,لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial karena burung, dan lain-lain), dan aku menyukai fa’lu.”Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau menjawab,الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ“Kalimat yang baik.” [1]Dalam hadis tersebut, “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) terdiri dari dua kata yang menggunakan alif lam (definitif), ini menunjukkan makna hashr (pembatasan). Apakah kita mengatakan bahwa fa’lu hanya terbatas pada kalimat yang baik, atau mencakup hal lainnya? Baarakallah fiik.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du:Makna “yu’jibuni” (aku menyukai) dalam hadis menunjukkan bahwa Nabi ﷺ senang dengan fa’lu karena ia merupakan bentuk pengharapan kebaikan. Mengharapkan kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, sebab thiyarah (merasa sial) termasuk su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah, sedangkan fa’lu adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.Nabi ﷺ telah menjelaskan tabiat kemanusiaannya dan kecenderungan fitrah manusia yang menyukai hal-hal yang sesuai dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [2] Contohnya, kecintaan beliau ﷺ terhadap makanan manis dan madu [3], sebagaimana dalam sabdanya,حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ “Dijadikan sesuatu yang aku cintai dari dunia kalian…” (seperti wanita dan wewangian) [4]serta kegemaran beliau terhadap suara indah dalam bacaan Al-Qur’an dan azan. Singkatnya, beliau mencintai segala kesempurnaan, kebaikan, dan hal yang mengantarkan kepadanya.Adapun pembatasan (hasr) yang diungkapkan ulama ushul dengan bentuk definitif pada kedua bagian – seperti dalam hadis,تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ“Yang mengharamkannya (salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (keluar dari salat) adalah salam.” [5]Maka hasr dalam konteks ini berlaku pada berita (khabar). Maksudnya, tidak boleh masuk (memulai) salat kecuali dengan takbir, dan tidak boleh keluar darinya kecuali dengan salam. Ini pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah dan Zhahiriyah.Kaidahnya: Gaya bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan selama tidak ada dalil yang menolaknya. Jika ada dalil lain, maka (dalil lain tersebut) didahulukan. Namun, zahir hadis menunjukkan keumuman fa’lu yang mencakup segala kata (kondisi) yang mengarah pada kebaikan. Fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”, tetapi mencakup segala hal yang menyenangkan hati dan memberi harapan baik, baik berupa:Kalimat thayyibah;Nama yang baik;Bertemu orang saleh;Tempat baik yang dilalui.Semua ini termasuk husnuzhan kepada Allah Ta’ala. Inilah alasan Nabi ﷺ menyukai fa’lu, karena ia bagian dari berbaik sangka kepada-Nya.Bukti bahwa fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”:Ketika Suhail bin ‘Amr datang dalam peristiwa Hudaibiyah untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ“Urusan kalian dipermudah” (karena nama “Suhail” berarti “mudah”).” [6]Ternyata, harapan itu terwujud dengan datangnya kebaikan (perdamaian Hudaibiyah).Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-206 Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thibb, bab La ‘Adwa (no. 5776), dan Muslim dalam kitab As-Salam (no. 2224), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (3: 306).[3] Lihat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah, bab Al-Halwa’ wal ‘Asal (no. 5431), dan Muslim dalam kitab Ath-Thalaq (no. 1474), dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.[4] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, bab Hubbun Nisa’ (no. 3939), dan Al-Baihaqi – dengan lafaz miliknya – (no. 13454), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3124).[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ath-Thaharah, bab Fardhu Al-Wudhu (no. 61), At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja’a Anna Miftaha Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 3), dan Ibnu Majah dalam kitab Ath-Thaharah wa Sunanuha, bab Miftahu Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 275), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 5885).[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Asy-Syuruth (Perjanjian), bab Asy-Syuruth fi Al-Jihad wal Mushalahah ma’a Ahli Al-Harb wa Kitabati Asy-Syuruth (Syarat-syarat dalam jihad, perdamaian dengan musuh, dan penulisan perjanjian) (no. 2731), dari hadis Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma.


Daftar Isi ToggleFatwa Syaikh Muhammad Ali FarkusPertanyaan:Jawaban:Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus Pertanyaan:Syekh kami – semoga Allah menjaga Anda – apakah sabda Nabi ﷺ, “Aku menyukai begini”, termasuk sifat kemanusiaan beliau ataukah menunjukkan hukum syar’i? Seperti sabda beliau ﷺ,لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial karena burung, dan lain-lain), dan aku menyukai fa’lu.”Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau menjawab,الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ“Kalimat yang baik.” [1]Dalam hadis tersebut, “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) terdiri dari dua kata yang menggunakan alif lam (definitif), ini menunjukkan makna hashr (pembatasan). Apakah kita mengatakan bahwa fa’lu hanya terbatas pada kalimat yang baik, atau mencakup hal lainnya? Baarakallah fiik.Jawaban:Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du:Makna “yu’jibuni” (aku menyukai) dalam hadis menunjukkan bahwa Nabi ﷺ senang dengan fa’lu karena ia merupakan bentuk pengharapan kebaikan. Mengharapkan kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, sebab thiyarah (merasa sial) termasuk su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah, sedangkan fa’lu adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.Nabi ﷺ telah menjelaskan tabiat kemanusiaannya dan kecenderungan fitrah manusia yang menyukai hal-hal yang sesuai dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [2] Contohnya, kecintaan beliau ﷺ terhadap makanan manis dan madu [3], sebagaimana dalam sabdanya,حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ “Dijadikan sesuatu yang aku cintai dari dunia kalian…” (seperti wanita dan wewangian) [4]serta kegemaran beliau terhadap suara indah dalam bacaan Al-Qur’an dan azan. Singkatnya, beliau mencintai segala kesempurnaan, kebaikan, dan hal yang mengantarkan kepadanya.Adapun pembatasan (hasr) yang diungkapkan ulama ushul dengan bentuk definitif pada kedua bagian – seperti dalam hadis,تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ“Yang mengharamkannya (salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (keluar dari salat) adalah salam.” [5]Maka hasr dalam konteks ini berlaku pada berita (khabar). Maksudnya, tidak boleh masuk (memulai) salat kecuali dengan takbir, dan tidak boleh keluar darinya kecuali dengan salam. Ini pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah dan Zhahiriyah.Kaidahnya: Gaya bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan selama tidak ada dalil yang menolaknya. Jika ada dalil lain, maka (dalil lain tersebut) didahulukan. Namun, zahir hadis menunjukkan keumuman fa’lu yang mencakup segala kata (kondisi) yang mengarah pada kebaikan. Fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”, tetapi mencakup segala hal yang menyenangkan hati dan memberi harapan baik, baik berupa:Kalimat thayyibah;Nama yang baik;Bertemu orang saleh;Tempat baik yang dilalui.Semua ini termasuk husnuzhan kepada Allah Ta’ala. Inilah alasan Nabi ﷺ menyukai fa’lu, karena ia bagian dari berbaik sangka kepada-Nya.Bukti bahwa fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”:Ketika Suhail bin ‘Amr datang dalam peristiwa Hudaibiyah untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ“Urusan kalian dipermudah” (karena nama “Suhail” berarti “mudah”).” [6]Ternyata, harapan itu terwujud dengan datangnya kebaikan (perdamaian Hudaibiyah).Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah***Penulis: Fauzan HidayatArtikel Muslim.or.id Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-206 Catatan kaki:[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thibb, bab La ‘Adwa (no. 5776), dan Muslim dalam kitab As-Salam (no. 2224), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.[2] Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (3: 306).[3] Lihat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah, bab Al-Halwa’ wal ‘Asal (no. 5431), dan Muslim dalam kitab Ath-Thalaq (no. 1474), dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.[4] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, bab Hubbun Nisa’ (no. 3939), dan Al-Baihaqi – dengan lafaz miliknya – (no. 13454), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3124).[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ath-Thaharah, bab Fardhu Al-Wudhu (no. 61), At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja’a Anna Miftaha Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 3), dan Ibnu Majah dalam kitab Ath-Thaharah wa Sunanuha, bab Miftahu Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 275), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 5885).[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Asy-Syuruth (Perjanjian), bab Asy-Syuruth fi Al-Jihad wal Mushalahah ma’a Ahli Al-Harb wa Kitabati Asy-Syuruth (Syarat-syarat dalam jihad, perdamaian dengan musuh, dan penulisan perjanjian) (no. 2731), dari hadis Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma.

Doa Penghilang Sedih, Gelisah, Cemas dan Galau – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Saudara Husain ingin agar Anda menunjukkan zikir untuk menghilangkan humum (sedih, gelisah, cemas, dan galau). Disebutkan dalam sejumlah hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sebagian sahabat untuk mengucapkan beberapa zikir yang—dengan izin Allah—dapat menghilangkan kegalauan yang menghimpit hati. Disebutkan dalam hadis Anas, ia berkata, “Dulu aku menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sering kali aku mendengar Nabi berdoa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL ‘AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL JUBNI WA DHOLA’ID DAINI WA GHOLABATIR RIJAALI“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan dari kelemahan dan kemalasan, dari kikir dan pengecut, dari lilitan hutang, dan dari ditindas oleh orang lain.” (HR. Bukhari & Muslim). Perlu diketahui bahwa kegalauan yang menimpa seseorang merupakan salah satu sebab penghapus dosa dan kesalahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa kegalauan, kesedihan, penyakit, atau kelelahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian kesalahannya dengan itu.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan Syaikh secara maknanya). ===== الْأَخُ حُسَيْنٌ شَيْخَنَا يُرِيدُ أَنْ تَدُلَّهُ عَلَى ذِكْرٍ لِتَفْرِيجِ الْهُمُومِ قَدْ وَرَدَ فِي عَدَدٍ مِنَ الْأَحَادِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ فِي قَوْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ الَّتِي بِإِذْنِ اللَّهِ تُذْهِبُ مَا يَكُونُ فِي صَدْرِهِ مِنَ الْهَمِّ فَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ كَثِيرًا مَا أَسْمَعُهُ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالكَسَلِ وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ وَلِيُعْلَمَ بِأَنَّ مَا يُصَابُ بِهِ الْإِنْسَانُ مِنَ الْهَمِّ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ هَمٍّ وَلَا غَمٍّ وَلَا وَصَبٍ وَلَا نَصَبٍ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِذَلِكَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

Doa Penghilang Sedih, Gelisah, Cemas dan Galau – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Saudara Husain ingin agar Anda menunjukkan zikir untuk menghilangkan humum (sedih, gelisah, cemas, dan galau). Disebutkan dalam sejumlah hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sebagian sahabat untuk mengucapkan beberapa zikir yang—dengan izin Allah—dapat menghilangkan kegalauan yang menghimpit hati. Disebutkan dalam hadis Anas, ia berkata, “Dulu aku menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sering kali aku mendengar Nabi berdoa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL ‘AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL JUBNI WA DHOLA’ID DAINI WA GHOLABATIR RIJAALI“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan dari kelemahan dan kemalasan, dari kikir dan pengecut, dari lilitan hutang, dan dari ditindas oleh orang lain.” (HR. Bukhari & Muslim). Perlu diketahui bahwa kegalauan yang menimpa seseorang merupakan salah satu sebab penghapus dosa dan kesalahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa kegalauan, kesedihan, penyakit, atau kelelahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian kesalahannya dengan itu.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan Syaikh secara maknanya). ===== الْأَخُ حُسَيْنٌ شَيْخَنَا يُرِيدُ أَنْ تَدُلَّهُ عَلَى ذِكْرٍ لِتَفْرِيجِ الْهُمُومِ قَدْ وَرَدَ فِي عَدَدٍ مِنَ الْأَحَادِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ فِي قَوْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ الَّتِي بِإِذْنِ اللَّهِ تُذْهِبُ مَا يَكُونُ فِي صَدْرِهِ مِنَ الْهَمِّ فَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ كَثِيرًا مَا أَسْمَعُهُ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالكَسَلِ وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ وَلِيُعْلَمَ بِأَنَّ مَا يُصَابُ بِهِ الْإِنْسَانُ مِنَ الْهَمِّ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ هَمٍّ وَلَا غَمٍّ وَلَا وَصَبٍ وَلَا نَصَبٍ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِذَلِكَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
Saudara Husain ingin agar Anda menunjukkan zikir untuk menghilangkan humum (sedih, gelisah, cemas, dan galau). Disebutkan dalam sejumlah hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sebagian sahabat untuk mengucapkan beberapa zikir yang—dengan izin Allah—dapat menghilangkan kegalauan yang menghimpit hati. Disebutkan dalam hadis Anas, ia berkata, “Dulu aku menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sering kali aku mendengar Nabi berdoa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL ‘AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL JUBNI WA DHOLA’ID DAINI WA GHOLABATIR RIJAALI“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan dari kelemahan dan kemalasan, dari kikir dan pengecut, dari lilitan hutang, dan dari ditindas oleh orang lain.” (HR. Bukhari & Muslim). Perlu diketahui bahwa kegalauan yang menimpa seseorang merupakan salah satu sebab penghapus dosa dan kesalahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa kegalauan, kesedihan, penyakit, atau kelelahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian kesalahannya dengan itu.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan Syaikh secara maknanya). ===== الْأَخُ حُسَيْنٌ شَيْخَنَا يُرِيدُ أَنْ تَدُلَّهُ عَلَى ذِكْرٍ لِتَفْرِيجِ الْهُمُومِ قَدْ وَرَدَ فِي عَدَدٍ مِنَ الْأَحَادِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ فِي قَوْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ الَّتِي بِإِذْنِ اللَّهِ تُذْهِبُ مَا يَكُونُ فِي صَدْرِهِ مِنَ الْهَمِّ فَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ كَثِيرًا مَا أَسْمَعُهُ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالكَسَلِ وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ وَلِيُعْلَمَ بِأَنَّ مَا يُصَابُ بِهِ الْإِنْسَانُ مِنَ الْهَمِّ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ هَمٍّ وَلَا غَمٍّ وَلَا وَصَبٍ وَلَا نَصَبٍ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِذَلِكَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ


Saudara Husain ingin agar Anda menunjukkan zikir untuk menghilangkan humum (sedih, gelisah, cemas, dan galau). Disebutkan dalam sejumlah hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sebagian sahabat untuk mengucapkan beberapa zikir yang—dengan izin Allah—dapat menghilangkan kegalauan yang menghimpit hati. Disebutkan dalam hadis Anas, ia berkata, “Dulu aku menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sering kali aku mendengar Nabi berdoa: ALLAAHUMMA INNII A-’UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL ‘AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL JUBNI WA DHOLA’ID DAINI WA GHOLABATIR RIJAALI“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan dari kelemahan dan kemalasan, dari kikir dan pengecut, dari lilitan hutang, dan dari ditindas oleh orang lain.” (HR. Bukhari & Muslim). Perlu diketahui bahwa kegalauan yang menimpa seseorang merupakan salah satu sebab penghapus dosa dan kesalahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa kegalauan, kesedihan, penyakit, atau kelelahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian kesalahannya dengan itu.” (HR. Bukhari & Muslim, dibacakan Syaikh secara maknanya). ===== الْأَخُ حُسَيْنٌ شَيْخَنَا يُرِيدُ أَنْ تَدُلَّهُ عَلَى ذِكْرٍ لِتَفْرِيجِ الْهُمُومِ قَدْ وَرَدَ فِي عَدَدٍ مِنَ الْأَحَادِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ فِي قَوْلِ بَعْضِ الْأَذْكَارِ الَّتِي بِإِذْنِ اللَّهِ تُذْهِبُ مَا يَكُونُ فِي صَدْرِهِ مِنَ الْهَمِّ فَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ كُنْتُ أَخْدِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ كَثِيرًا مَا أَسْمَعُهُ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالكَسَلِ وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ وَلِيُعْلَمَ بِأَنَّ مَا يُصَابُ بِهِ الْإِنْسَانُ مِنَ الْهَمِّ هُوَ مِنْ أَسْبَابِ تَكْفِيرِ الذُّنُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ هَمٍّ وَلَا غَمٍّ وَلَا وَصَبٍ وَلَا نَصَبٍ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِذَلِكَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

Teks Khotbah Jumat: Tutupi Aib Saudaramu, Apalagi Jika Dia Telah Bertobat!

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Pertama-tama, kami berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik kepada kita sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan, serta dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)Jemaah yang dimuliakan Allah,Allah Subhanahu wa Taa’la memerintahkan kita untuk saling menutupi aib sesama kaum muslimin terlebih lagi jika pelakunya sudah bertobat kepada Allah Ta’ala. Sungguh ini merupakan akhlak yang mulia, dengannya kehormatan saudara seiman kita terjaga, dan dengannya pula persatuan dan ukhuwwah Islamiyah di antara kita terbangun.Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya melarang orang-orang mukmin untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, karena hal ini merupakan langkah awal untuk membuka aibnya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. (Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa), dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menguatkan hal ini di dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah  akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya (HR. Muslim no. 2699)Begitu banyak juga dalil-dalil  yang menunjukkan peringatan keras serta ancaman keras bagi mereka yang suka mencari dan membuka aib orang lain. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar, lalu menyeru dengan suara keras,يا معشرَ من أسلمَ بلسانهِ ولم يُفضِ الإيمانُ إلى قلبهِ ، لا تُؤذُوا المسلمينَ ولا تُعيّروهُم ولا تَتّبعوا عوراتهِم ، فإنه من يتبِعْ عورةَ أخيهِ المسلمِ تتبعَ اللهُ عورتَهُ ، ومن يتبعِ اللهُ عورتهُ يفضحْه ولو في جوفِ رحلهِ“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya, namun tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membongkar aibnya di tengah rumahnya sendiri.” (HR. Tirmidzi no. 2032)Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, hanya saja ada satu kondisi di mana kita diperbolehkan untuk menceritakan dan membuka keburukan seseorang, yaitu apabila orang tersebut melakukan maksiat secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,كُلُّ أُمَّتي مُعافًى إلَّا المُجاهِرِينَ“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa).” (HR. Buhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)Para ulama berkata, “Adapun orang yang terang-terangan (bermaksiat) tanpa memiliki rasa malu, maka dianjurkan untuk tidak menutupi aibnya, bahkan hendaknya memperingatkan orang-orang lain agar waspada dan menjauhinya. Dan hendaknya urusannya diangkat kepada hakim agar ia menjatuhkan hukuman yang layak baginya.”Menutupi aib orang semacam ini akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak kerusakan dan kemaksiatan. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, “Jika seseorang terang-terangan melakukan kefasikan, maka tidak ada gibah baginya.”Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Tidak ada kehormatan dan ikatan hubungan bagi orang yang minum khamr dan melakukan perbuatan keji secara terang-terangan dan terbuka.”An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan penjelasan tambahan bahwa gibahnya (membicarakan aibnya) hanya pada apa yang ia lakukan secara terang-terangan saja, dan orang-orang lain diperingatkan untuk menjauhi interaksi dan urusan dengannya, baik dengan memutus hubungan, tidak berbicara dengannya, tidak mengunjunginya, atau tidak mengucapkan salam kepadanya. Sehingga menimbulkan efek jera kepadanya. (Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 1: 255)Begitu juga dibedakan antara aib pribadi yang tidak membahayakan orang lain secara umum dengan kejahatan atau kemaksiatan publik yang dampaknya merugikan masyarakat luas dan memerlukan penindakan hukum, seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib demi kemaslahatan umum. Namun niatnya tetap harus untuk mencegah kejahatan dan menegakkan keadilan, bukan untuk mempermalukan atau membuka aib.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-NyaKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi setiap muslim ketika ia mengetahui aib saudaranya,Pertama: Muhasabah, introspeksi diri, dan fokus memperbaiki aib dan kekurangan diri kita sendiri, sehingga kita tersibukkan dari menyebarluaskan aib dan kekurangan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga tidak sempat mencari aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 1539 dengan sanad yang hasan)Kedua: Menasihati saudara kita tersebut secara empat mata. Jika aib tersebut berkaitan dengan kemaksiatan atau pelanggaran syariat, hendaknya menasihati orang tersebut secara pribadi, dengan hikmah dan tanpa harus menyakiti perasaan dan menjatuhkan martabatnya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk suatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 56)Ketiga: Mendoakan kebaikan untuknya. Jika kita mendapati aib saudara kita, maka doakanlah agar orang tersebut bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Karena sejatinya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala.Keempat: Mengedapankan prasangka baik dan menjauhkan prasangka buruk. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)Hendaknya seorang muslim mencarikan kemungkinan-kemungkinan baik dan uzur bagi saudara muslim lainnya terhadap perbuatannya selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata,الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ“Seorang mukmin itu mencarikan uzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu selalu mencari-cari kesalahan saudaranya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 7: 9508)Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menutupi aib kita di dunia dan akhirat, serta menjadikan kita masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan kebaikan.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَعِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُBaca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Tutupi Aib Saudaramu, Apalagi Jika Dia Telah Bertobat!

Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Pertama-tama, kami berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik kepada kita sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan, serta dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)Jemaah yang dimuliakan Allah,Allah Subhanahu wa Taa’la memerintahkan kita untuk saling menutupi aib sesama kaum muslimin terlebih lagi jika pelakunya sudah bertobat kepada Allah Ta’ala. Sungguh ini merupakan akhlak yang mulia, dengannya kehormatan saudara seiman kita terjaga, dan dengannya pula persatuan dan ukhuwwah Islamiyah di antara kita terbangun.Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya melarang orang-orang mukmin untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, karena hal ini merupakan langkah awal untuk membuka aibnya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. (Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa), dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menguatkan hal ini di dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah  akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya (HR. Muslim no. 2699)Begitu banyak juga dalil-dalil  yang menunjukkan peringatan keras serta ancaman keras bagi mereka yang suka mencari dan membuka aib orang lain. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar, lalu menyeru dengan suara keras,يا معشرَ من أسلمَ بلسانهِ ولم يُفضِ الإيمانُ إلى قلبهِ ، لا تُؤذُوا المسلمينَ ولا تُعيّروهُم ولا تَتّبعوا عوراتهِم ، فإنه من يتبِعْ عورةَ أخيهِ المسلمِ تتبعَ اللهُ عورتَهُ ، ومن يتبعِ اللهُ عورتهُ يفضحْه ولو في جوفِ رحلهِ“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya, namun tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membongkar aibnya di tengah rumahnya sendiri.” (HR. Tirmidzi no. 2032)Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, hanya saja ada satu kondisi di mana kita diperbolehkan untuk menceritakan dan membuka keburukan seseorang, yaitu apabila orang tersebut melakukan maksiat secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,كُلُّ أُمَّتي مُعافًى إلَّا المُجاهِرِينَ“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa).” (HR. Buhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)Para ulama berkata, “Adapun orang yang terang-terangan (bermaksiat) tanpa memiliki rasa malu, maka dianjurkan untuk tidak menutupi aibnya, bahkan hendaknya memperingatkan orang-orang lain agar waspada dan menjauhinya. Dan hendaknya urusannya diangkat kepada hakim agar ia menjatuhkan hukuman yang layak baginya.”Menutupi aib orang semacam ini akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak kerusakan dan kemaksiatan. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, “Jika seseorang terang-terangan melakukan kefasikan, maka tidak ada gibah baginya.”Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Tidak ada kehormatan dan ikatan hubungan bagi orang yang minum khamr dan melakukan perbuatan keji secara terang-terangan dan terbuka.”An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan penjelasan tambahan bahwa gibahnya (membicarakan aibnya) hanya pada apa yang ia lakukan secara terang-terangan saja, dan orang-orang lain diperingatkan untuk menjauhi interaksi dan urusan dengannya, baik dengan memutus hubungan, tidak berbicara dengannya, tidak mengunjunginya, atau tidak mengucapkan salam kepadanya. Sehingga menimbulkan efek jera kepadanya. (Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 1: 255)Begitu juga dibedakan antara aib pribadi yang tidak membahayakan orang lain secara umum dengan kejahatan atau kemaksiatan publik yang dampaknya merugikan masyarakat luas dan memerlukan penindakan hukum, seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib demi kemaslahatan umum. Namun niatnya tetap harus untuk mencegah kejahatan dan menegakkan keadilan, bukan untuk mempermalukan atau membuka aib.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-NyaKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi setiap muslim ketika ia mengetahui aib saudaranya,Pertama: Muhasabah, introspeksi diri, dan fokus memperbaiki aib dan kekurangan diri kita sendiri, sehingga kita tersibukkan dari menyebarluaskan aib dan kekurangan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga tidak sempat mencari aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 1539 dengan sanad yang hasan)Kedua: Menasihati saudara kita tersebut secara empat mata. Jika aib tersebut berkaitan dengan kemaksiatan atau pelanggaran syariat, hendaknya menasihati orang tersebut secara pribadi, dengan hikmah dan tanpa harus menyakiti perasaan dan menjatuhkan martabatnya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk suatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 56)Ketiga: Mendoakan kebaikan untuknya. Jika kita mendapati aib saudara kita, maka doakanlah agar orang tersebut bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Karena sejatinya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala.Keempat: Mengedapankan prasangka baik dan menjauhkan prasangka buruk. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)Hendaknya seorang muslim mencarikan kemungkinan-kemungkinan baik dan uzur bagi saudara muslim lainnya terhadap perbuatannya selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata,الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ“Seorang mukmin itu mencarikan uzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu selalu mencari-cari kesalahan saudaranya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 7: 9508)Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menutupi aib kita di dunia dan akhirat, serta menjadikan kita masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan kebaikan.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَعِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُBaca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Pertama-tama, kami berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik kepada kita sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan, serta dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)Jemaah yang dimuliakan Allah,Allah Subhanahu wa Taa’la memerintahkan kita untuk saling menutupi aib sesama kaum muslimin terlebih lagi jika pelakunya sudah bertobat kepada Allah Ta’ala. Sungguh ini merupakan akhlak yang mulia, dengannya kehormatan saudara seiman kita terjaga, dan dengannya pula persatuan dan ukhuwwah Islamiyah di antara kita terbangun.Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya melarang orang-orang mukmin untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, karena hal ini merupakan langkah awal untuk membuka aibnya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. (Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa), dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menguatkan hal ini di dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah  akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya (HR. Muslim no. 2699)Begitu banyak juga dalil-dalil  yang menunjukkan peringatan keras serta ancaman keras bagi mereka yang suka mencari dan membuka aib orang lain. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar, lalu menyeru dengan suara keras,يا معشرَ من أسلمَ بلسانهِ ولم يُفضِ الإيمانُ إلى قلبهِ ، لا تُؤذُوا المسلمينَ ولا تُعيّروهُم ولا تَتّبعوا عوراتهِم ، فإنه من يتبِعْ عورةَ أخيهِ المسلمِ تتبعَ اللهُ عورتَهُ ، ومن يتبعِ اللهُ عورتهُ يفضحْه ولو في جوفِ رحلهِ“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya, namun tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membongkar aibnya di tengah rumahnya sendiri.” (HR. Tirmidzi no. 2032)Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, hanya saja ada satu kondisi di mana kita diperbolehkan untuk menceritakan dan membuka keburukan seseorang, yaitu apabila orang tersebut melakukan maksiat secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,كُلُّ أُمَّتي مُعافًى إلَّا المُجاهِرِينَ“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa).” (HR. Buhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)Para ulama berkata, “Adapun orang yang terang-terangan (bermaksiat) tanpa memiliki rasa malu, maka dianjurkan untuk tidak menutupi aibnya, bahkan hendaknya memperingatkan orang-orang lain agar waspada dan menjauhinya. Dan hendaknya urusannya diangkat kepada hakim agar ia menjatuhkan hukuman yang layak baginya.”Menutupi aib orang semacam ini akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak kerusakan dan kemaksiatan. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, “Jika seseorang terang-terangan melakukan kefasikan, maka tidak ada gibah baginya.”Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Tidak ada kehormatan dan ikatan hubungan bagi orang yang minum khamr dan melakukan perbuatan keji secara terang-terangan dan terbuka.”An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan penjelasan tambahan bahwa gibahnya (membicarakan aibnya) hanya pada apa yang ia lakukan secara terang-terangan saja, dan orang-orang lain diperingatkan untuk menjauhi interaksi dan urusan dengannya, baik dengan memutus hubungan, tidak berbicara dengannya, tidak mengunjunginya, atau tidak mengucapkan salam kepadanya. Sehingga menimbulkan efek jera kepadanya. (Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 1: 255)Begitu juga dibedakan antara aib pribadi yang tidak membahayakan orang lain secara umum dengan kejahatan atau kemaksiatan publik yang dampaknya merugikan masyarakat luas dan memerlukan penindakan hukum, seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib demi kemaslahatan umum. Namun niatnya tetap harus untuk mencegah kejahatan dan menegakkan keadilan, bukan untuk mempermalukan atau membuka aib.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-NyaKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi setiap muslim ketika ia mengetahui aib saudaranya,Pertama: Muhasabah, introspeksi diri, dan fokus memperbaiki aib dan kekurangan diri kita sendiri, sehingga kita tersibukkan dari menyebarluaskan aib dan kekurangan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga tidak sempat mencari aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 1539 dengan sanad yang hasan)Kedua: Menasihati saudara kita tersebut secara empat mata. Jika aib tersebut berkaitan dengan kemaksiatan atau pelanggaran syariat, hendaknya menasihati orang tersebut secara pribadi, dengan hikmah dan tanpa harus menyakiti perasaan dan menjatuhkan martabatnya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk suatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 56)Ketiga: Mendoakan kebaikan untuknya. Jika kita mendapati aib saudara kita, maka doakanlah agar orang tersebut bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Karena sejatinya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala.Keempat: Mengedapankan prasangka baik dan menjauhkan prasangka buruk. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)Hendaknya seorang muslim mencarikan kemungkinan-kemungkinan baik dan uzur bagi saudara muslim lainnya terhadap perbuatannya selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata,الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ“Seorang mukmin itu mencarikan uzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu selalu mencari-cari kesalahan saudaranya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 7: 9508)Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menutupi aib kita di dunia dan akhirat, serta menjadikan kita masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan kebaikan.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَعِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُBaca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKhotbah pertamaKhotbah keduaKhotbah pertamaالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُإِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًايَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاأَمَّا بَعْدُفَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.Pertama-tama, kami berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik kepada kita sehingga diri kita dapat membedakan kebaikan dan keburukan, serta dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)Jemaah yang dimuliakan Allah,Allah Subhanahu wa Taa’la memerintahkan kita untuk saling menutupi aib sesama kaum muslimin terlebih lagi jika pelakunya sudah bertobat kepada Allah Ta’ala. Sungguh ini merupakan akhlak yang mulia, dengannya kehormatan saudara seiman kita terjaga, dan dengannya pula persatuan dan ukhuwwah Islamiyah di antara kita terbangun.Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya melarang orang-orang mukmin untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, karena hal ini merupakan langkah awal untuk membuka aibnya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. (Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa), dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menguatkan hal ini di dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam utangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah  akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya (HR. Muslim no. 2699)Begitu banyak juga dalil-dalil  yang menunjukkan peringatan keras serta ancaman keras bagi mereka yang suka mencari dan membuka aib orang lain. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar, lalu menyeru dengan suara keras,يا معشرَ من أسلمَ بلسانهِ ولم يُفضِ الإيمانُ إلى قلبهِ ، لا تُؤذُوا المسلمينَ ولا تُعيّروهُم ولا تَتّبعوا عوراتهِم ، فإنه من يتبِعْ عورةَ أخيهِ المسلمِ تتبعَ اللهُ عورتَهُ ، ومن يتبعِ اللهُ عورتهُ يفضحْه ولو في جوفِ رحلهِ“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya, namun tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membongkar aibnya di tengah rumahnya sendiri.” (HR. Tirmidzi no. 2032)Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala, hanya saja ada satu kondisi di mana kita diperbolehkan untuk menceritakan dan membuka keburukan seseorang, yaitu apabila orang tersebut melakukan maksiat secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,كُلُّ أُمَّتي مُعافًى إلَّا المُجاهِرِينَ“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa).” (HR. Buhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)Para ulama berkata, “Adapun orang yang terang-terangan (bermaksiat) tanpa memiliki rasa malu, maka dianjurkan untuk tidak menutupi aibnya, bahkan hendaknya memperingatkan orang-orang lain agar waspada dan menjauhinya. Dan hendaknya urusannya diangkat kepada hakim agar ia menjatuhkan hukuman yang layak baginya.”Menutupi aib orang semacam ini akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak kerusakan dan kemaksiatan. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, “Jika seseorang terang-terangan melakukan kefasikan, maka tidak ada gibah baginya.”Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Tidak ada kehormatan dan ikatan hubungan bagi orang yang minum khamr dan melakukan perbuatan keji secara terang-terangan dan terbuka.”An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan penjelasan tambahan bahwa gibahnya (membicarakan aibnya) hanya pada apa yang ia lakukan secara terang-terangan saja, dan orang-orang lain diperingatkan untuk menjauhi interaksi dan urusan dengannya, baik dengan memutus hubungan, tidak berbicara dengannya, tidak mengunjunginya, atau tidak mengucapkan salam kepadanya. Sehingga menimbulkan efek jera kepadanya. (Kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 1: 255)Begitu juga dibedakan antara aib pribadi yang tidak membahayakan orang lain secara umum dengan kejahatan atau kemaksiatan publik yang dampaknya merugikan masyarakat luas dan memerlukan penindakan hukum, seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib demi kemaslahatan umum. Namun niatnya tetap harus untuk mencegah kejahatan dan menegakkan keadilan, bukan untuk mempermalukan atau membuka aib.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُBaca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-NyaKhotbah keduaاَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُJemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi setiap muslim ketika ia mengetahui aib saudaranya,Pertama: Muhasabah, introspeksi diri, dan fokus memperbaiki aib dan kekurangan diri kita sendiri, sehingga kita tersibukkan dari menyebarluaskan aib dan kekurangan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga tidak sempat mencari aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 1539 dengan sanad yang hasan)Kedua: Menasihati saudara kita tersebut secara empat mata. Jika aib tersebut berkaitan dengan kemaksiatan atau pelanggaran syariat, hendaknya menasihati orang tersebut secara pribadi, dengan hikmah dan tanpa harus menyakiti perasaan dan menjatuhkan martabatnya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk suatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy-Syafi’i, hal. 56)Ketiga: Mendoakan kebaikan untuknya. Jika kita mendapati aib saudara kita, maka doakanlah agar orang tersebut bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Karena sejatinya, hidayah hanyalah milik Allah Ta’ala.Keempat: Mengedapankan prasangka baik dan menjauhkan prasangka buruk. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)Hendaknya seorang muslim mencarikan kemungkinan-kemungkinan baik dan uzur bagi saudara muslim lainnya terhadap perbuatannya selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata,الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ“Seorang mukmin itu mencarikan uzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu selalu mencari-cari kesalahan saudaranya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 7: 9508)Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menutupi aib kita di dunia dan akhirat, serta menjadikan kita masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan kebaikan.إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًااَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِرَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَاللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَاللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِوَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَعِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُBaca juga: Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Apa yang Dimaksud dengan Takhrij Hadis?

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan takhrij hadis? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Takhrij secara bahasa dari kata خَرَّجَ – يُخَرِّجُ – تَخْرِيْخَا yang artinya: mengeluarkan. Oleh karena itu seringkali kita dapati beberapa penerjemah mengatakan “hadis ini dikeluarkan oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Maksudnya: “hadis ini di takhrij oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Karena orang yang mentakhrij hadis, ia mengeluarkan informasi-informasi dari kitab-kitab hadis tentang hadis tersebut.  Secara istilah, takhrij memiliki dua makna. Pertama, takhrij artinya merinci kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis lengkap dengan sanadnya kemudian menjelaskan kesahihan dari hadis tersebut. Kedua, takhrij artinya menyebutkan sanad suatu hadis mulai dari menyebutkan gurunya sampai kepada ujung sanad. Ujung sanad ini bisa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau sahabat Nabi, atau yang lainnya. Syaikh Abdul Qadir Al-Mahmudi dalam kitab Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil haditsin Nabawiy mengatakan: فالتخريج يطلقه المحدثون على معانٍ منها: ١ – معرفة المصنفات التي أخرجت هذا الحديث، وذكرته بالإسناد. ٢ – يطلق ويراد به مخرج الحديث ويعنون به الصحابي تحديداً، ثم بعد الوقوف على الصحابي الذي رواه يبحثون في الطرق الموصلة إليه “Takhrij menurut ulama hadis ada beberapa makna, di antaranya: 1. Mengetahui kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis dengan sanadnya. 2. Mengetahui sumber periwayatan hadis dengan mengetahui siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kemudian setelah itu mencari tahu jalan (sanad) yang sampai kepada sahabat tersebut.” (Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil hadisin Nabawiy, hal. 4). Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab mengatakan: فالتخريج لا يَقتصر على ذِكر الأسانيد، بل لا بد من بيان أمر رجال الحديث، وبيان درجته قوةً وضَعفًا، وبيان صحته أو عدمها “Takhrij (menurut ulama hadis) tidak terbatas pada menyebutkan sanad saja, namun juga menjelaskan keadaan para perawi hadis serta menjelaskan derajatnya, apakah kuat ataukah lemah. Juga menjelaskan shahih tidaknya hadis tersebut.” (At-Takhrij indal Fuqaha wal Ushuliyyin, hal. 10). Makna takhrij yang pertama ini adalah makna yang masyhur di kalangan ulama mu’ashirin (zaman sekarang). Syaikh Abu Syubhah menjelaskan: عزو الأحاديث إلى من ذكرها في كتابه من الأئمة وبيان درجتها من الصحة أو الحسن أو الضعف “Takhrij adalah menyandarkan hadis-hadis kepada para imam hadis yang menyebutkannya pada kitab-kitab mereka. Serta menjelaskan derajat hadis tersebut apakah shahih atau dhaif.” (Hasyiyah Kitab Al-Wasith fi Ulumi Musthalahil hadits, hal. 353). Contohnya, setelah menyebutkan hadis lalu disebutkan bahwa hadis tersebut riwayat Al-Bukhari nomor sekian, riwayat Muslim nomor sekian, riwayat At-Tirmidzi nomor sekian dishahihkan oleh Al-Albani, riwayat Al-Hakim juz sekian halaman sekian dishahihkan oleh Adz Dzahabi, dan semisalnya. Ini adalah takhrij hadis. Semisal, hadis dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ، إِلَّا غَفَرَ لَهُ» “Tidaklah seorang muslim berbuat dosa kemudian dia berwudhu, dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa-dosanya, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Takhrij hadisnya: “HR. Abu Daud no. 1521, At-Tirmidzi no. 406, An-Nasai no. 11078, Ahmad no. 48, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad.” Makna takhrij yang kedua, yaitu menyebutkan sanad. As-Sakhawi mengatakan: التخريج: إخراج المحدث الأحاديث من بطون الأجزاء والمشيخات والكتب ونحوها وسياقها من مرويات نفسه “Takhrij adalah seorang ahli hadis menyebutkan sanad hadis dari kitab al Ajza’, al Masyikhat dan kitab-kitab lainnya dengan menyandarkannya kepada periwayatan dirinya” (Fathul Mughits, 2/372). Contoh, ketika kita mendapati perkataan: أخرجه البخاري في صحيحه “Al-Bukhari men-takhrij hadis ini dalam Shahih-nya.” Maka maksudnya, Al-Bukhari menyebutkan sanad hadis tersebut dari gurunya sampai kepada ujung sanadnya di kitab Shahih Al-Bukhari. Adapun kitab-kitab hadis yang tidak menyebutkan sanad, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadis ini di-takhrij dalam kitab tersebut. Seperti kitab Al-Jami Ash Shaghir karya As-Suyuthi. Tidak boleh mengatakan “hadis ini diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash Shaghir.” Karena di kitab tersebut, As-Suyuthi tidak menyebutkan sanadnya. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 211 times, 1 visit(s) today Post Views: 533 QRIS donasi Yufid

Apa yang Dimaksud dengan Takhrij Hadis?

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan takhrij hadis? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Takhrij secara bahasa dari kata خَرَّجَ – يُخَرِّجُ – تَخْرِيْخَا yang artinya: mengeluarkan. Oleh karena itu seringkali kita dapati beberapa penerjemah mengatakan “hadis ini dikeluarkan oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Maksudnya: “hadis ini di takhrij oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Karena orang yang mentakhrij hadis, ia mengeluarkan informasi-informasi dari kitab-kitab hadis tentang hadis tersebut.  Secara istilah, takhrij memiliki dua makna. Pertama, takhrij artinya merinci kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis lengkap dengan sanadnya kemudian menjelaskan kesahihan dari hadis tersebut. Kedua, takhrij artinya menyebutkan sanad suatu hadis mulai dari menyebutkan gurunya sampai kepada ujung sanad. Ujung sanad ini bisa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau sahabat Nabi, atau yang lainnya. Syaikh Abdul Qadir Al-Mahmudi dalam kitab Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil haditsin Nabawiy mengatakan: فالتخريج يطلقه المحدثون على معانٍ منها: ١ – معرفة المصنفات التي أخرجت هذا الحديث، وذكرته بالإسناد. ٢ – يطلق ويراد به مخرج الحديث ويعنون به الصحابي تحديداً، ثم بعد الوقوف على الصحابي الذي رواه يبحثون في الطرق الموصلة إليه “Takhrij menurut ulama hadis ada beberapa makna, di antaranya: 1. Mengetahui kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis dengan sanadnya. 2. Mengetahui sumber periwayatan hadis dengan mengetahui siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kemudian setelah itu mencari tahu jalan (sanad) yang sampai kepada sahabat tersebut.” (Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil hadisin Nabawiy, hal. 4). Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab mengatakan: فالتخريج لا يَقتصر على ذِكر الأسانيد، بل لا بد من بيان أمر رجال الحديث، وبيان درجته قوةً وضَعفًا، وبيان صحته أو عدمها “Takhrij (menurut ulama hadis) tidak terbatas pada menyebutkan sanad saja, namun juga menjelaskan keadaan para perawi hadis serta menjelaskan derajatnya, apakah kuat ataukah lemah. Juga menjelaskan shahih tidaknya hadis tersebut.” (At-Takhrij indal Fuqaha wal Ushuliyyin, hal. 10). Makna takhrij yang pertama ini adalah makna yang masyhur di kalangan ulama mu’ashirin (zaman sekarang). Syaikh Abu Syubhah menjelaskan: عزو الأحاديث إلى من ذكرها في كتابه من الأئمة وبيان درجتها من الصحة أو الحسن أو الضعف “Takhrij adalah menyandarkan hadis-hadis kepada para imam hadis yang menyebutkannya pada kitab-kitab mereka. Serta menjelaskan derajat hadis tersebut apakah shahih atau dhaif.” (Hasyiyah Kitab Al-Wasith fi Ulumi Musthalahil hadits, hal. 353). Contohnya, setelah menyebutkan hadis lalu disebutkan bahwa hadis tersebut riwayat Al-Bukhari nomor sekian, riwayat Muslim nomor sekian, riwayat At-Tirmidzi nomor sekian dishahihkan oleh Al-Albani, riwayat Al-Hakim juz sekian halaman sekian dishahihkan oleh Adz Dzahabi, dan semisalnya. Ini adalah takhrij hadis. Semisal, hadis dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ، إِلَّا غَفَرَ لَهُ» “Tidaklah seorang muslim berbuat dosa kemudian dia berwudhu, dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa-dosanya, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Takhrij hadisnya: “HR. Abu Daud no. 1521, At-Tirmidzi no. 406, An-Nasai no. 11078, Ahmad no. 48, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad.” Makna takhrij yang kedua, yaitu menyebutkan sanad. As-Sakhawi mengatakan: التخريج: إخراج المحدث الأحاديث من بطون الأجزاء والمشيخات والكتب ونحوها وسياقها من مرويات نفسه “Takhrij adalah seorang ahli hadis menyebutkan sanad hadis dari kitab al Ajza’, al Masyikhat dan kitab-kitab lainnya dengan menyandarkannya kepada periwayatan dirinya” (Fathul Mughits, 2/372). Contoh, ketika kita mendapati perkataan: أخرجه البخاري في صحيحه “Al-Bukhari men-takhrij hadis ini dalam Shahih-nya.” Maka maksudnya, Al-Bukhari menyebutkan sanad hadis tersebut dari gurunya sampai kepada ujung sanadnya di kitab Shahih Al-Bukhari. Adapun kitab-kitab hadis yang tidak menyebutkan sanad, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadis ini di-takhrij dalam kitab tersebut. Seperti kitab Al-Jami Ash Shaghir karya As-Suyuthi. Tidak boleh mengatakan “hadis ini diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash Shaghir.” Karena di kitab tersebut, As-Suyuthi tidak menyebutkan sanadnya. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 211 times, 1 visit(s) today Post Views: 533 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan takhrij hadis? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Takhrij secara bahasa dari kata خَرَّجَ – يُخَرِّجُ – تَخْرِيْخَا yang artinya: mengeluarkan. Oleh karena itu seringkali kita dapati beberapa penerjemah mengatakan “hadis ini dikeluarkan oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Maksudnya: “hadis ini di takhrij oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Karena orang yang mentakhrij hadis, ia mengeluarkan informasi-informasi dari kitab-kitab hadis tentang hadis tersebut.  Secara istilah, takhrij memiliki dua makna. Pertama, takhrij artinya merinci kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis lengkap dengan sanadnya kemudian menjelaskan kesahihan dari hadis tersebut. Kedua, takhrij artinya menyebutkan sanad suatu hadis mulai dari menyebutkan gurunya sampai kepada ujung sanad. Ujung sanad ini bisa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau sahabat Nabi, atau yang lainnya. Syaikh Abdul Qadir Al-Mahmudi dalam kitab Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil haditsin Nabawiy mengatakan: فالتخريج يطلقه المحدثون على معانٍ منها: ١ – معرفة المصنفات التي أخرجت هذا الحديث، وذكرته بالإسناد. ٢ – يطلق ويراد به مخرج الحديث ويعنون به الصحابي تحديداً، ثم بعد الوقوف على الصحابي الذي رواه يبحثون في الطرق الموصلة إليه “Takhrij menurut ulama hadis ada beberapa makna, di antaranya: 1. Mengetahui kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis dengan sanadnya. 2. Mengetahui sumber periwayatan hadis dengan mengetahui siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kemudian setelah itu mencari tahu jalan (sanad) yang sampai kepada sahabat tersebut.” (Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil hadisin Nabawiy, hal. 4). Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab mengatakan: فالتخريج لا يَقتصر على ذِكر الأسانيد، بل لا بد من بيان أمر رجال الحديث، وبيان درجته قوةً وضَعفًا، وبيان صحته أو عدمها “Takhrij (menurut ulama hadis) tidak terbatas pada menyebutkan sanad saja, namun juga menjelaskan keadaan para perawi hadis serta menjelaskan derajatnya, apakah kuat ataukah lemah. Juga menjelaskan shahih tidaknya hadis tersebut.” (At-Takhrij indal Fuqaha wal Ushuliyyin, hal. 10). Makna takhrij yang pertama ini adalah makna yang masyhur di kalangan ulama mu’ashirin (zaman sekarang). Syaikh Abu Syubhah menjelaskan: عزو الأحاديث إلى من ذكرها في كتابه من الأئمة وبيان درجتها من الصحة أو الحسن أو الضعف “Takhrij adalah menyandarkan hadis-hadis kepada para imam hadis yang menyebutkannya pada kitab-kitab mereka. Serta menjelaskan derajat hadis tersebut apakah shahih atau dhaif.” (Hasyiyah Kitab Al-Wasith fi Ulumi Musthalahil hadits, hal. 353). Contohnya, setelah menyebutkan hadis lalu disebutkan bahwa hadis tersebut riwayat Al-Bukhari nomor sekian, riwayat Muslim nomor sekian, riwayat At-Tirmidzi nomor sekian dishahihkan oleh Al-Albani, riwayat Al-Hakim juz sekian halaman sekian dishahihkan oleh Adz Dzahabi, dan semisalnya. Ini adalah takhrij hadis. Semisal, hadis dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ، إِلَّا غَفَرَ لَهُ» “Tidaklah seorang muslim berbuat dosa kemudian dia berwudhu, dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa-dosanya, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Takhrij hadisnya: “HR. Abu Daud no. 1521, At-Tirmidzi no. 406, An-Nasai no. 11078, Ahmad no. 48, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad.” Makna takhrij yang kedua, yaitu menyebutkan sanad. As-Sakhawi mengatakan: التخريج: إخراج المحدث الأحاديث من بطون الأجزاء والمشيخات والكتب ونحوها وسياقها من مرويات نفسه “Takhrij adalah seorang ahli hadis menyebutkan sanad hadis dari kitab al Ajza’, al Masyikhat dan kitab-kitab lainnya dengan menyandarkannya kepada periwayatan dirinya” (Fathul Mughits, 2/372). Contoh, ketika kita mendapati perkataan: أخرجه البخاري في صحيحه “Al-Bukhari men-takhrij hadis ini dalam Shahih-nya.” Maka maksudnya, Al-Bukhari menyebutkan sanad hadis tersebut dari gurunya sampai kepada ujung sanadnya di kitab Shahih Al-Bukhari. Adapun kitab-kitab hadis yang tidak menyebutkan sanad, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadis ini di-takhrij dalam kitab tersebut. Seperti kitab Al-Jami Ash Shaghir karya As-Suyuthi. Tidak boleh mengatakan “hadis ini diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash Shaghir.” Karena di kitab tersebut, As-Suyuthi tidak menyebutkan sanadnya. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 211 times, 1 visit(s) today Post Views: 533 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan takhrij hadis? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Takhrij secara bahasa dari kata خَرَّجَ – يُخَرِّجُ – تَخْرِيْخَا yang artinya: mengeluarkan. Oleh karena itu seringkali kita dapati beberapa penerjemah mengatakan “hadis ini dikeluarkan oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Maksudnya: “hadis ini di takhrij oleh ulama Fulan dalam kitab A.” Karena orang yang mentakhrij hadis, ia mengeluarkan informasi-informasi dari kitab-kitab hadis tentang hadis tersebut.  Secara istilah, takhrij memiliki dua makna. Pertama, takhrij artinya merinci kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis lengkap dengan sanadnya kemudian menjelaskan kesahihan dari hadis tersebut. Kedua, takhrij artinya menyebutkan sanad suatu hadis mulai dari menyebutkan gurunya sampai kepada ujung sanad. Ujung sanad ini bisa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau sahabat Nabi, atau yang lainnya. Syaikh Abdul Qadir Al-Mahmudi dalam kitab Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil haditsin Nabawiy mengatakan: فالتخريج يطلقه المحدثون على معانٍ منها: ١ – معرفة المصنفات التي أخرجت هذا الحديث، وذكرته بالإسناد. ٢ – يطلق ويراد به مخرج الحديث ويعنون به الصحابي تحديداً، ثم بعد الوقوف على الصحابي الذي رواه يبحثون في الطرق الموصلة إليه “Takhrij menurut ulama hadis ada beberapa makna, di antaranya: 1. Mengetahui kitab-kitab hadis yang mencatat suatu hadis dengan sanadnya. 2. Mengetahui sumber periwayatan hadis dengan mengetahui siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kemudian setelah itu mencari tahu jalan (sanad) yang sampai kepada sahabat tersebut.” (Al-Muyassar fi Ilmi Takhrijil hadisin Nabawiy, hal. 4). Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab mengatakan: فالتخريج لا يَقتصر على ذِكر الأسانيد، بل لا بد من بيان أمر رجال الحديث، وبيان درجته قوةً وضَعفًا، وبيان صحته أو عدمها “Takhrij (menurut ulama hadis) tidak terbatas pada menyebutkan sanad saja, namun juga menjelaskan keadaan para perawi hadis serta menjelaskan derajatnya, apakah kuat ataukah lemah. Juga menjelaskan shahih tidaknya hadis tersebut.” (At-Takhrij indal Fuqaha wal Ushuliyyin, hal. 10). Makna takhrij yang pertama ini adalah makna yang masyhur di kalangan ulama mu’ashirin (zaman sekarang). Syaikh Abu Syubhah menjelaskan: عزو الأحاديث إلى من ذكرها في كتابه من الأئمة وبيان درجتها من الصحة أو الحسن أو الضعف “Takhrij adalah menyandarkan hadis-hadis kepada para imam hadis yang menyebutkannya pada kitab-kitab mereka. Serta menjelaskan derajat hadis tersebut apakah shahih atau dhaif.” (Hasyiyah Kitab Al-Wasith fi Ulumi Musthalahil hadits, hal. 353). Contohnya, setelah menyebutkan hadis lalu disebutkan bahwa hadis tersebut riwayat Al-Bukhari nomor sekian, riwayat Muslim nomor sekian, riwayat At-Tirmidzi nomor sekian dishahihkan oleh Al-Albani, riwayat Al-Hakim juz sekian halaman sekian dishahihkan oleh Adz Dzahabi, dan semisalnya. Ini adalah takhrij hadis. Semisal, hadis dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ، إِلَّا غَفَرَ لَهُ» “Tidaklah seorang muslim berbuat dosa kemudian dia berwudhu, dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa-dosanya, melainkan Allah pasti mengampuninya.” Takhrij hadisnya: “HR. Abu Daud no. 1521, At-Tirmidzi no. 406, An-Nasai no. 11078, Ahmad no. 48, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad.” Makna takhrij yang kedua, yaitu menyebutkan sanad. As-Sakhawi mengatakan: التخريج: إخراج المحدث الأحاديث من بطون الأجزاء والمشيخات والكتب ونحوها وسياقها من مرويات نفسه “Takhrij adalah seorang ahli hadis menyebutkan sanad hadis dari kitab al Ajza’, al Masyikhat dan kitab-kitab lainnya dengan menyandarkannya kepada periwayatan dirinya” (Fathul Mughits, 2/372). Contoh, ketika kita mendapati perkataan: أخرجه البخاري في صحيحه “Al-Bukhari men-takhrij hadis ini dalam Shahih-nya.” Maka maksudnya, Al-Bukhari menyebutkan sanad hadis tersebut dari gurunya sampai kepada ujung sanadnya di kitab Shahih Al-Bukhari. Adapun kitab-kitab hadis yang tidak menyebutkan sanad, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadis ini di-takhrij dalam kitab tersebut. Seperti kitab Al-Jami Ash Shaghir karya As-Suyuthi. Tidak boleh mengatakan “hadis ini diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash Shaghir.” Karena di kitab tersebut, As-Suyuthi tidak menyebutkan sanadnya. Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 211 times, 1 visit(s) today Post Views: 533 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Apakah Sekolah Termasuk Nafkah?

Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 321 times, 1 visit(s) today Post Views: 374 QRIS donasi Yufid

Apakah Sekolah Termasuk Nafkah?

Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 321 times, 1 visit(s) today Post Views: 374 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 321 times, 1 visit(s) today Post Views: 374 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, apakah biaya sekolah SD, SMP, SMA, sampai dengan kuliah adalah termasuk nafkah yang wajib diberikan ayah kepada anaknya? Bagaimana jika seorang ayah tidak mampu untuk membiayai pendidikan anaknya? Apakah ia berdosa? Ataukah harus berutang? Mohon pencerahannya. Jawaban: Alhamdulillaah, ash-shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillaah, wa ‘ala alihi wa man waalah, amma ba’du, Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita, karena Allah lebihkan sebagian mereka dibanding yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34). Allah Ta’ala juga berfirman: لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً . “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7). Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997). Dan wajibnya seorang ayah memberi nafkah kepada anaknya secara umum adalah kesepakatan para ulama. Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan: وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ منْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه  “Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya).” (Al-Mughni, 8/171). Definisi Nafkah Nafkah atau an-nafaqah secara syar’i artinya memberikan kecukupan berupa pakaian pokok, makanan pokok dan tempat tinggal kepada orang yang wajib ditanggung nafkahnya. Dalam kitab Majma’ Al Anhar (1/484), kitab Fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah: مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى “Sesuatu yang keberlangsungan sesuatu yang ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.” Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah, الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ “Menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung.” Dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, kitab Fiqih Syafi’i, disebutkan: هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى “Nafkah adalah makanan, pakaian dan tempat tingga.l” (dinukil dari Ar-Raddul Mukhtar, 3/572). Dalam Al-Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan: وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها “Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.” Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal: 1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, sehat dan terjaga sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer. 2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarkan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia. Apakah sekolah termasuk nafkah? Setelah kita mengetahui definisi nafkah menurut para ulama, maka jelas bahwa biaya sekolah tidak termasuk nafkah. Maka seorang ayah pada asalnya tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya. Fatwa dari Dewan Fatwa Islamweb menyatakan: فإن المصروفات الدراسية الجامعية لا تدخل ضمن النفقة الواجبة “Biaya pendidikan di universitas tidak termasuk dalam cakupan nafkah yang wajib untuk anak.” (Fatwa Islamweb no. 75270). Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar-Rifa’i mengatakan: أيتها الابنة الفاضلة لا تدخل نفقات الدراسة الجامعية ضمن النفقة الواجبة، فلا يلزم على والدك دَفْعُ مصاريف الجامعة عن إخوانك، لا سيما وقد ذكرتِ أن الوالد غير مستطيعٍ “Wahai para anak-anak perempuan, biaya pendidikan kuliah di universitas tidak termasuk dalam nafkah yang wajib bagi ayah. Maka tidak wajib bagi ayah Anda untuk menanggung biaya kuliah saudara Anda. Terlebih lagi jika ia tidak mampu.” (Fatawa Alukah, no. 104061). Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa seorang ayah wajib memberikan pendidikan agama kepada anaknya. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6). Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Rahimahullah membuat judul bab: باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan: فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, 510). Demikian juga seorang ayah wajib mendidik anaknya agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan baik. Karena inti dari pemberian nafkah adalah memberikan perkara-perkara yang membuat anaknya tetap hidup dengan baik. Termasuk di dalamnya pendidikan umum yang membuat anak-anak dapat hidup dengan baik. Dan seorang ayah kelak akan ditanya tentang perawatan dan penjagaan anaknya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya.” (HR. Al-Bukhari no. 893, Muslim no. 1829). Kesimpulannya, seorang ayah tidak wajib menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, kecuali diwajibkan oleh pemerintah. Namun yang wajib secara syar’i adalah memberikan pendidikan kepada anak. Dan pendidikan tidak identik dengan sekolah. Kemudian jika seorang ayah menyediakan atau memberikan biaya sekolah untuk anaknya, tentu ini bernilai pahala yang besar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dan andaikan seorang ayah ingin menyekolahkan anaknya maka hendaknya menyesuaikan diri dengan kemampuan dan tidak bermudah-mudahan untuk berhutang. Karena banyak sekali hadis-hadis Nabi yang mengabarkan tentang bahaya hutang. Di antaranya hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: من مات وعليه دَينٌ ، فليس ثم دينارٌ ولا درهمٌ ، ولكنها الحسناتُ والسيئاتُ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya).” (HR. Ibnu Majah no. 2414, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 437). Apalagi jika berhutang yang dimaksud adalah dengan cara riba, sedangkan riba adalah dosa besar. Maka hendaknya menyekolahkan anak harus disesuaikan dengan kemampuan.  Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. *** Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 321 times, 1 visit(s) today Post Views: 374 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912

Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912
Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912


Daftar Isi ToggleNamaKelahiranKeluarga dan masa kecilPerjalanan ilmiahGuru-gurunyaMurid-muridnyaHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahSan­jungan para ulamaKarya-karyaCobaan dan keteguhanWafatNamaBeliau adalah seorang ahli fikih, mufti, imam rabbani, dan dikenal sebagai “Syekh Islam kedua”, yaitu Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i ad-Dimasyqi yang masyhur dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Kawtsari yang mencelanya dengan sebutan “Ibnu Zafil”.KelahiranBeliau —rahimahullah— lahir pada hari ketujuh bulan Shafar tahun 691 Hijriah.Keluarga dan masa kecilIbnu Qayyim al-Jauziyah tumbuh dalam lingkungan yang ilmiah di bawah asuhan ayahnya, seorang ulama saleh, yaitu Qayyim al-Jauziyah. Beliau belajar ilmu faraidh (pembagian warisan) dari sang ayah. Buku-buku biografi menyebutkan beberapa anggota keluarganya seperti keponakannya, Abu al-Fida’ Imaduddin Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman, yang memiliki sebagian besar perpustakaan pamannya. Anak-anak beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, juga dikenal sebagai penuntut ilmu.Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– dikenal memiliki semangat yang luar biasa dalam menuntut ilmu serta ketekunan dan pengorbanan dalam penelitian sejak usia dini. Ia meriwayatkan hadits dari asy-Syihab al-‘Abir yang wafat pada tahun 697 H, dan beliau berkata, “Aku meriwayatkan darinya beberapa bagian, tetapi aku tidak sempat membaca secara mendalam karena usiaku yang masih kecil, dan ia pun wafat –rahimahullah-.”Dari sini, tampak bahwa beliau sudah mulai menuntut ilmu sejak usia tujuh tahun.Perjalanan ilmiahIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– beberapa kali mengunjungi Kairo, berdiskusi dan berdebat ilmiah di sana. Al-Maqrizi menyebutkan, “Beliau beberapa kali datang ke Kairo.”Ibnul Qayyim berkata, “Aku pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh besar di bidang kedokteran di Mesir.”Beliau juga mengatakan, “Aku pernah berdebat dengan seorang tokoh Yahudi paling terkenal dalam ilmu dan kepemimpinan.”Ia juga mengunjungi Baitul Maqdis dan memberikan pelajaran di sana. Katanya, “Aku pernah mengajar hal serupa di al-Quds.”Beliau dikenal sering menunaikan haji dan tinggal (beribadah) di Makkah sebagaimana disebutkan dalam beberapa karyanya. Ibnu Rajab berkata, “Ia sering berhaji, menetap di Makkah, dan penduduk Makkah menyebutkan tentang intensitas ibadah dan banyaknya tawaf yang dilakukannya hingga menimbulkan keheranan.”Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– sangat gemar mengumpulkan buku, yang menjadi bukti nyata semangatnya dalam mencari ilmu, baik melalui penelitian, penulisan, pembacaan, maupun pengajaran. Hal ini terlihat jelas dari keluasan ilmu dalam karya-karyanya dan kemampuannya yang luar biasa dalam mengumpulkan dalil-dalil. Meskipun begitu, beliau tetap berkata dengan kerendahan hati,“Dengan bekal yang sedikit dari buku-buku ini.”Guru-gurunyaIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya:Ayahnya sendiri, Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-.Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. Beliau sangat dekat dengannya, mempelajari fikih darinya, membaca banyak kitab di hadapannya. Kedekatan itu dimulai sejak tahun 712 H sampai wafatnya Ibnu Taimiyah dalam penjara di Benteng Damaskus pada tahun 728 H.Al-Mizzi –rahimahullah-.Murid-muridnyaIbnu Rajab al-Hanbali menyatakan bahwa Ibnul Qayyim adalah gurunya dan berkata, “Aku menghadiri majelis-majelisnya lebih dari satu tahun sebelum wafatnya. Aku mendengar darinya Qashidah Nuniyah yang panjang tentang akidah, dan beberapa karyanya yang lain.”Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku adalah salah satu orang yang paling dekat dengannya dan yang paling dicintainya.”Adz-Dzahabi –rahimahullah– menuliskan biografi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash bi Syaikhi.”Ibnu Abdil Hadi –rahimahullah-, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, “Para ulama memuliakannya dan belajar darinya, seperti Ibnu Abdil Hadi dan yang lainnya.”Al-Fairuzabadi, penulis “al-Qamus al-Muhith”, seperti yang dikatakan oleh asy-Syaukani, “Kemudian ia pergi ke Damaskus, memasukinya pada tahun 755 H, mendengar (belajar) dari Taqiyuddin as-Subki dan lebih dari seratus guru, termasuk Ibnul Qayyim.”Baca juga: Mengenal Kitab dan Penulis Akidah Ath-ThahawiyahHubungan dengan gurunya, Ibnu TaimiyahKedekatan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dimulai sejak kedatangan beliau ke Damaskus pada tahun 712 H dan berlangsung hingga wafatnya Ibnu Taimiyah pada 728 H. Jadi, selama 16 tahun, ia senantiasa dekat dengannya, menyerap ilmu yang sangat banyak, serta membaca berbagai disiplin ilmu di hadapannya.As-Safadi berkata, “Ia membaca sebagian kitab al-Muharrar karya kakeknya, al-Majd, di hadapan Ibnu Taimiyah, juga membaca sebagian dari kitab al-Mahsul, al-Ahkam karya Saif al-Amidi, sebagian dari al-Arba’in, al-Muhassal, dan banyak dari karya-karya Ibnu Taimiyah lainnya.”Kedekatan ini sangat memengaruhi Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ia ikut serta membela manhaj salaf, membawa bendera itu setelah wafat gurunya, dan membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap siapa pun selain Al-Qur’an dan sunah Rasulullah ﷺ menurut pemahaman salafus shalih.Asy-Syaukani berkata, “Ia tidak bergantung pada selain dalil. Terkadang, sangat jarang, ia condong pada mazhab tempat ia tumbuh, namun ia tidak berani menolak dalil-dalil dengan penafsiran yang lemah sebagaimana dilakukan para penganut fanatisme mazhab. Ia selalu memiliki dasar atas setiap pendapatnya. Umumnya, pembahasannya penuh keadilan dan berpihak kepada dalil, serta tidak bergantung pada kata-kata tanpa dasar. Jika ia membahas suatu topik secara mendalam, maka ia menghadirkan hal-hal yang belum pernah disampaikan oleh selainnya, dan menyampaikan argumen yang membuat hati orang-orang yang mencintai dalil merasa tenteram. Aku yakin bahwa semua ini adalah berkah dari kedekatannya dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam suka dan duka, serta karena kesetiaannya yang luar biasa.”Secara keseluruhan, ia adalah salah satu tokoh besar yang menyebarkan sunah dan menjadikannya sebagai tameng dari segala pemikiran baru yang menyimpang. Semoga Allah merahmatinya dan membalas kebaikannya terhadap umat Islam.Namun demikian, Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– bukanlah salinan dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Ia ahli dalam berbagai cabang ilmu (diakui oleh ulama terdahulu maupun belakangan) yang menunjukkan keunggulan dan kedalaman ilmunya.San­jungan para ulamaIbnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ia mendengar hadis, menekuni ilmu, dan unggul dalam berbagai disiplin, terutama tafsir dan hadits serta ushul (dasar-dasar ilmu). Ketika Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, ia selalu mendampinginya sampai sang guru wafat. Ia mengambil banyak ilmu darinya, selain dari usaha belajarnya sebelumnya. Ia pun menjadi tokoh istimewa dalam banyak bidang. Ia sangat rajin belajar, siang dan malam, banyak berdoa, bacaannya bagus, akhlaknya mulia, lemah lembut, tidak iri, tidak menyakiti orang, tidak ghibah, tidak dendam.”Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata, “Ia ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menguasainya dan memberikan fatwa. Ia selalu bersama Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah), dan menguasai berbagai ilmu Islam. Ia sangat ahli dalam tafsir dan ushuluddin, hingga menjadi rujukan dalam keduanya. Ia menguasai hadis, maknanya, fikihnya, serta sisi penggalian hukumnya. Ia unggul dalam fikih, ushul fiqih, dan bahasa Arab.”Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi –rahimahullah– berkata, “Ia menguasai banyak disiplin ilmu, terutama tafsir dan ushul, baik yang tersurat maupun tersirat.”As-Suyuthi –rahimahullah– berkata, “Ia telah menulis karya, berdiskusi, berijtihad, dan menjadi salah satu imam besar dalam bidang tafsir, hadis, fikih, ushul, dan bahasa Arab.”Karya-karyaIbnul Qayyim menguasai banyak bidang ilmu, dan hal ini tercermin dari karya-karyanya yang telah menjadi rujukan dan bermanfaat bagi orang yang sepaham maupun yang berbeda pandangan.Berikut sebagian karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah:Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah ‘ala Ghazw al-Mu’aththilah wa al-JahmiyyahAhkam Ahl adz-DzimmahI’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘AlaminIghatsat al-Lahfan min Mashayid asy-SyaithanBada’i’ al-FawaidAl-Jawab al-Kafi (dikenal dengan ad-Da’ wa ad-Dawa’)Jala’ al-Afham fi ash-Shalati wa as-Salam ‘ala Khair al-AnamHadi al-Arwah ila Bilad al-AfrahRawdat al-Muhibbin wa Nuzhat al-MusytaqinAr-RuhZad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘IbadSyifa’ al-‘Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta’lilAl-FurusiyyahAl-FawaidAl-Kafiyah asy-Syafiyah fi Intishar li al-Firqah an-Najiyah (juga dikenal sebagai Qashidah Nuniyyah)Al-Kalam ‘ala Mas’alah as-Sama’Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’inMiftah Dar as-Sa’adah wa Mansyur Wilayah Ahl al-‘Ilm wa al-IradahAl-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dha’ifHidayah al-Hayara fi Ajwibah al-Yahud wa an-NasaraAl-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim at-TayyibCobaan dan keteguhanIbnu Qayyim al-Jauziyah pernah dipenjara bersama gurunya, Ibnu Taimiyah, pada penahanan terakhir. Saat itu, ia dipisahkan dari gurunya, dihinakan, diarak di atas unta, dan dipukul dengan cambuk pada tahun 726 H. Ia baru dibebaskan setelah wafatnya gurunya pada tahun 728 H.Ia juga pernah dipenjara karena mengingkari kebiasaan menziarahi kuburan Nabi Ibrahim (di Hebron) dengan melakukan perjalanan khusus.Ibnu Rajab –rahimahullah– berkata, “Ia pernah diuji dan disakiti beberapa kali.”WafatIbnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– wafat pada malam Kamis, 23 Rajab tahun 751 H. Ia dimakamkan di Damaskus, di pemakaman Bab ash-Shaghir.Semoga Allah merahmatinya, menempatkannya di surga Firdaus, dan mengumpulkan kita bersamanya di tempat yang mulia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.Baca juga: Biografi Imam Malik bin Anas***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web https://www.al-amen.com/vb/showthread.php?t=3912
Prev     Next