Di Antara Doa Rasulullah

Doa Pertama: اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. “Allāhumma bi `ilmikal ghaib wa qudratika `alal khalqi aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati wa kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi, wa as-alukal na`īman lā yanfadu wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i wa bardal `aisyi ba`dal mauti, wa ladzdzatan naẓhari ilā wajhika wasy syauqa ilā liqā’ika wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin wa fitnatin muḍillatin allāhumma zayyinnā bizīnatil īmāni waj`alnā hudātan muhtadīn (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.” صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخفَّها ، فَكأنَّهم أنْكروها ! فقالَ: ألم أُتمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ ؟ قالوا: بلى ، قالَ أمَّا أنِّي دعوتُ فيها بدعاءٍ كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يدعو بِهِ اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas, sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu. Dia mengatakan kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Mereka berkata, “Ya.” Dia berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, (yang artinya): ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.’” الراوي: قيس بن عباد أو عبادة •الألباني •صحيح النسائي • الصفحة أو الرقم: 1305 • خلاصة حكم المحدث: صحيح Perawi: Qais bin Abbad atau Ubadah • Al-Albani • Sahih an-Nasa’i • Halaman atau nomor: 1305 • Ringkasan hukum hadis: Sahih علَّمَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم أُمَّتَه آدابَ الدُّعاءِ، ومنها الثَّناءُ على اللهِ، والتَّوسُّلُ إليه بأسمائِه وصفاتِه؛ فإنَّ هذا سببٌ مِن أسبابِ استجابةِ الدُّعاءِ. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya beberapa adab dalam berdoa, termasuk di antaranya adalah dengan menghaturkan puja-puji kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah salah satu di antara sebab-sebab terkabulnya doa. وفي هذا الحديثِ يقولُ السَّائبُ الثَّقفيُّ: “صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخَفَّها”، أي: صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ رضِيَ اللهُ عنهما صلاةً بالنَّاسِ، وكان إمامًا، فخفَّف وأوجَزَ في صلاتِه، “فكأنَّهم أنكَروها!”، أي: كأنَّ المصلِّين لَمَّا رأَوْا صلاتَه لم يَعرِفوا ولم يَعهَدوا هذه الصَّلاةَ مِن التَّخفيفِ والإيجازِ، فقال لهم عمَّارٌ: “ألم أُتِمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ؟”، أي: سألهم عمَّارٌ: أكان في هذا التَّخفيفِ والإيجازِ إخلالٌ بإتمامِ رُكوعِها وسجودِها، وما فيهما مِن طُمَأنينةٍ؟ Dalam hadis ini, disebutkan bahwa as-Sāʾib ats-Tsaqafi mengatakan, “Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas.” Artinya bahwa Ammar bin Yasir —Semoga Allah Meridainya— salat bersama orang-orang, sementara dia menjadi imamnya. Dia meringankan dan memendekkan salatnya. “Sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu!” Artinya bahwa mereka ketika melihat salatnya Ammar —Semoga Allah Meridainya—, seolah-olah mereka belum pernah melihat dan terbiasa dengan salat yang ringan dan singkat seperti itu. Oleh sebab itulah Ammar berkata kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Maknanya bahwa Ammar bertanya kepada mereka, “Apakah dengan salat yang ringan dan singkat ini ada kekurangan dalam kesempurnaan rukuk dan sujudnya serta tidak tumakninah?” قالوا: “بَلى”، أي: إنَّك أتمَمتَ ركوعَها وسجودَها، فقال عمَّارٌ: “أمَا إنِّي دعَوتُ فيها بدُعاءٍ كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَدْعو به”، أي: ومع هذا التَّخفيفِ والإيجازِ دعَوتُ في هذه الصَّلاةِ الَّتي صلَّيتُها بكم بدُعاءٍ سمعتُه مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، وهو: “اللَّهمَّ بعِلْمِك الغيبَ وقُدرَتِك على الخَلقِ”، وفي هذا ثناءٌ على اللهِ وتوسُّلٌ إليه بأسمائِه وصفاتِه، والمعنى: اللَّهمَّ إنِّي أسألُك وأتوسَّلُ إليك بما عَلِمتَه من الغيبِ، والغيبُ ما خَفِي عن الإنسانِ ولا يَعلَمُه، والغيبُ يكونُ مُطلقًا، وهو ما استأثَر به اللهُ سبحانه وتعالى، مِثلُ علمِ السَّاعةِ، وقد يكونُ نِسْبيًّا، وهو ما يَغيبُ عن البعضِ، ويَعلَمُه غيرُهم، وقد يَرتَضي اللهُ لعبادِه مِن الأنبياءِ والمرسَلين أن يُطْلِعَهم على الغَيبِ بطريقِ الوحيِ؛ لِيَكونَ دَلالةً على صِدقِ نُبوَّتِهم. Mereka berkata, “Ya.” Maknanya, “Engkau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Ammar berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, …” Maknanya, “Meskipun dengan salat yang ringan dan ringkas ini, aku tetap sempat berdoa dalam salat yang aku tegakkan bersama kalian ini dengan doa yang pernah aku dengar dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yaitu … “Allāhumma bi `ilmikal ghaibi … (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk).” Dalam kalimat ini ada pujian kepada Allah dan tawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makna doa itu adalah “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan perkara gaib yang Engkau Ketahui.” Perkara gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia. Perkara gaib ada yang sifatnya mutlak, yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā, seperti ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat. Namun, perkara gaib ada yang sifatnya nisbi, yaitu yang hanya tersembunyi bagi sebagian makhluk saja tapi diketahui oleh sebagian yang lain. Terkadang Allah Meridai sebagian hamba-hamba-Nya dari kalangan nabi dan rasul sehingga Menunjukkan kepada mereka tentang hal-hal gaib melalui wahyu untuk menjadi tanda kebenaran kenabian mereka. وقولُه صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “وقُدرَتِك على الخَلقِ”، أي: أتوسَّلُ إليك بقُدرتِك الكاملةِ النَّافذةِ على جَميعِ مَخلوقاتِك ثمَّ شرَع في طلَبِ مسألتِه مِن اللهِ تعالى، وهو “أحْيِني ما عَلِمتَ الحياةَ خيرًا لي”، أي: ارزُقني الحياةَ إذا كان في سابقِ عِلمِك أنَّ الحياةَ تكونُ زِيادةً لي في الخيرِ؛ مِن التَّزوُّدِ من الأعمالِ الصَّالحةِ، والبرِّ، ونحوِ ذلك، “وتَوفَّني إذا عَلِمتَ الوفاةَ خيرًا لي”، أي: أمِتْني إذا كُنتَ تعلَمُ أنَّ الوفاةَ فيها خيرٌ لي، “وأسألُكَ خشيتَك في الغيبِ والشَّهادةِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الخوفَ منك، والتَّعظيمَ لك في سِرِّي وخَلْوتي، إذا غِبتُ عن أعيُنِ النَّاسِ، وفي عَلانيَتي، أو كُنتُ بين النَّاسِ Dan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “wa qudratika ‘alal khalqi … (artinya: dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk),” maknanya “Aku bertawasul kepadamu dengan qudrah-Mu yang sempurna yang pasti berlaku pada seluruh makhluk-Mu.” Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mulai meminta kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī … (artinya: Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku).” Maknanya, “Berilah aku kehidupan jika berdasarkan ilmu-Mu yang azali kehidupan ini menjadi tambahan kebaikan bagiku, bekal amal saleh, kebajikan, dan kebaikan yang semisalnya. “Wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī … (artinya: atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku),” maknanya, “Matikan saja aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu lebih baik bagiku.” “Wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak),” maknanya, “Aku mohon kepada-Mu agar Engkau Berikan kepadaku rasa takut kepada-Mu dan pengagungan terhadap-Mu saat sendiri dan tidak bersama orang lain, saat aku tidak dilihat oleh orang-orang dan di keramaian, atau ketika di tengah manusia.” “وكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغَضبِ”، يَحتمِلُ أن يكونَ المعنى: أسألُك الثباتَ على كلمةِ الإخلاصِ وهي كلمةُ التَّوْحِيدُ للهِ تعالى، أو هي النَّصيحةُ الخالِصَةُ عَنِ الرِّياءِ والسُّمْعَةِ، وفي روايةٍ أخرى عندَ النَّسائيِّ أيضًا  “وأسألُك كلمةَ الحَقِّ”؛ فيكونُ المعنى: وأسألُك قولَ الحقِّ، والتَّكلُّمَ به في حالِ رِضايَ وسُروري، وفي حالِ غضَبي وانفِعالي؛ فلا أتَكلَّمُ بباطلٍ، ولا أميلُ عن الحقِّ، بحيثُ لا تُلجئني شِدَّةُ غصبي إلى النُّطقِ بخِلافِ الحقِّ، ويَحتمِلُ أنْ يكون المعنى: أسألُك قولَ الحقِّ في حالتَيْ رِضا الخَلقِ عنِّي، وغضبِهم عليَّ فيما أقولُه؛ فلا أُداهن، ولا أُنافِق، بل أكونُ مُستمِرًّا على قول الحقِّ في جَميعِ أحوالي وأوقاتِي. “Kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi … (artinya: kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka).” Ada kemungkinan bahwa maknanya adalah “Aku mohon kepada-Mu keteguhan di atas kalimat keikhlasan, yaitu kalimat tauhid kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, atau mungkin maknanya adalah nasihat yang bersih dari Riyāʾ (ingin dilihat orang) dan Sumʿah (ingin didengar orang).” Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i disebutkan: “Wa as-aluka Kalimatal haqqi… (artinya: Dan aku memohon kepada-Mu kalimat yang hak …)” sehingga maknanya, “Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar yang aku katakan saat aku sedang rida dan senang maupun saat aku murka dan emosi, sehingga aku tidak berkata perkataan yang batil dan tidak menyimpang dari kebenaran, karena kemarahanku yang memuncak biasanya mendorongku untuk berbicara sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.” Mungkin juga maknanya, “Aku meminta kepada-Mu perkataan yang hak, baik saat orang-orang suka denganku atau ketika mereka sedang marah kepadaku karena apa yang aku katakan, sehingga aku tidak harus berlagak sok baik atau menjadi munafik demi mereka, melainkan tetap mengatakan kebenaran dalam segala keadaan dan di setiap waktu.” “وأسألُك نَعيمًا لا يَنفَدُ”، أي: وأدعوك أن تَرزُقَني النَّعيمَ المقيمَ الَّذي لا يَنتهي ولا يَنقضي، ولا يَنقطِعُ، وهو نَعيمُ الجنَّةِ، “وقُرَّةَ عينٍ لا تَنقطِعُ”، وقُرَّةُ العينِ قيل: معناها بَرْدُها، وانقطاعُ بُكائِها واستِحْرارِها بالدَّمعِ؛ فإنَّ للسُّرورِ دَمعةً باردةً، وللحُزنِ دَمعةً حارَّةً، وقيل: هو مِن القرارِ: أي: رأَتْ ما كانت مُتشوِّفةً إليه، فقَرَّت ونامَت، وقيل: أقَرَّ اللهُ عينَك: أي: بلَّغَك أُمنيَّتَك حتَّى تَرضى نفسُك، وتَسكُنَ عَينُك، فلا تَستشرِفَ إلى غيرِه. “Wa as-alukal na`īman lā yanfadu … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis),” maknanya: “Aku berdoa kepada-Mu agar Engkau Menganugerahkan kepada-Ku kenikmatan yang kekal yang tidak habis dan tiada hentinya serta tidak pernah terputus, yakni kenikmatan surga.” “wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u … (artinya: kesejukan mata yang tidak terputus,).” Ada yang mengatakan bahwa Qurrata `ain berarti ‘kesejukan mata’, yang terhenti tangisannya dan terbebas dari derai air mata, karena kebahagiaan adalah air mata yang menyejukkan, sementara kesedihan adalah air mata yang menyengat. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata Qarār (ketenangan) yang maknanya adalah mata yang melihat sesuatu yang dirindukannya sehingga bisa tenang dan terlelap. Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan Mewujudkan cita-cita sehingga jiwanya tenteram, pandangannya tenang, dan tidak melihat ke yang lain lagi. وقيل: أقرَّ اللهُ عينَك: أي: صادَفْتَ ما يُرضيك، فتقَرُّ عينُك عن النَّظرِ إلى غيرِه، والمعنى: أن تَقَرَّ عينُه بطاعةِ اللهِ سبحانه وتعالى، والأُنسِ بذِكْرِه، وقيل: أن تَقَرَّ عينُه برُؤيةِ ذُرِّيَّتِه مُطيعين للهِ تعالى، “وأسألُك الرِّضاءَ بالقضاءِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الرِّضا بما قضَيتَه وقدَّرتَه، فتَلْقاه نفْسي وهي مُطمئنَّةٌ، فلا أتسَخَّطُ، ولا أتضَجَّرُ، “وبَرْدَ العيشِ بعدَ الموتِ”، أي: وأسـألُك عَيشًا يكونُ طيِّبًا لا يكونُ فيه نَكدٌ وكَدرٌ، بل يكونُ فيه انشراحٌ للصَّدرِ، وتكونُ الرُّوحُ فيه بعدَ الموتِ في مَكانةٍ عاليةٍ، ومنزِلةٍ رفيعةٍ، Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan tercapainya apa yang diinginkan, sehingga pandangan menjadi tenang karena tidak melihat ke yang lain lagi. Maknanya, jiwanya tenang dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan tenteram dengan zikir kepada-Nya. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kesejukan jiwa dengan memandang anak keturunannya yang taat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. “wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i … (artinya: dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan).” Maknanya, “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Memberikan kepadaku keridaan terhadap apa yang telah Engkau Tetapkan dan Takdirkan untukku, sehingga jiwaku menerimanya dengan lapang tanpa ada kemurkaan dan amarah. “wa bardal `aisyi ba`dal mauti … (artinya: kesejukan hidup setelah kematian)” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu kehidupan yang baik, yang tidak ada padanya keletihan dan masalah, yang di dalamnya hati menjadi lapang dan roh berada di tempat yang tinggi dan derajat yang mulia setelah kematian.” “ولَذَّةَ النَّظرِ إلى وجهِك”، أي: وأسألُك رُؤيةَ وجهِك الكريمِ، التي هي أعلى وأكبَرُ نعيمٍ في الجنَّةِ، ووصَف هذا النَّظرَ باللَّذَّةِ؛ لأنَّ النَّظرَ إلى اللهِ قد يكونُ فيه خوفٌ وإجلالٌ، وقد يكونُ نظرًا فيه رحمةٌ ولطفٌ وجمالٌ، “والشَّوقَ إلى لقائِك”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الاشتياقَ إلى مُلاقاتِك في دارِ المجازاةِ؛ فيكون قد جمَعَ في هذا الدعاءِ بين أطيبِ ما في الدُّنيا وهو الشوقُ إلى لِقاءِ اللهِ تعالَى، وأطيبِ ما في الآخرةِ، وهو النظرُ إليه سبحانَه، “Ladzdzatan naẓari ilā wajhika … (artinya: kenikmatan memandang wajah-Mu),” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar bisa melihat wajah-Mu yang mulia, yang merupakan kebahagiaan tertinggi dan terbesar di surga.” Memandang wajah ini dideskripsikan sebagai suatu kenikmatan, karena memandang Allah bisa menjadi rasa takut dan segan serta bisa jadi rahmat, kelembutan, dan keindahan, “Wasy syauqa ilā liqā’ika … (artinya: dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu), maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Menganugerahiku kerinduan untuk bertemu dengan-Mu di negeri pembalasan.” Jadi, dalam doa ini beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengumpulkan antara hal termanis di dunia, yaitu kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subẖānahu wa Taʿālā, dan hal ternikmat di akhirat, yaitu memandang-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. “وأعوذُ بِك مِن ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ”، أي: وأحتَمي بك مِن كلِّ شِدَّةٍ يكونُ فيها ضررٌ عليَّ؛ لأنَّ بعضَ الضَّرَّاءِ قد تكونُ عاقبتُها نافعةً، “وفِتْنةٍ مُضِلَّةٍ”، أي: وأحتمي بك مِن فِتنةٍ توقِعُني في حَيرةٍ، وتكونُ عاقبتُها إلى الهلاكِ، وهنا وصَف الفِتنَ بالمضلَّةِ؛ لأنَّ بعضَ الفِتنِ قد تكونُ سببًا مِن أسبابِ الهِدايةِ، أو من بابِ الوَصفِ اللَّازمِ للفتنةِ؛ والفِتنةُ التي هي سببٌ مِن أسبابِ الهِدايةِ لا يُستعاذُ منها، وهي فِتنةُ الامتحانِ والاختبارِ التي يَصبِرُ فيها العبدُ ويُوفَّقُ للهدايةِ. “Wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin … (artinya: dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala kesulitan yang membawa penderitaan yang membahayakan diriku, karena ada sebagian musibah bisa membawa akibat yang baik. “Wa fitnatin muḍillatin … (artinya: dan fitnah yang menyesatkan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah (cobaan) yang yang menjatuhkanku dalam kebingungan yang mengakibatkan kebinasaan.” Fitnah di sini dideskripsikan sebagai sesuatu yang menyesatkan, karena sebagian fitnah bisa menjadi sebab untuk mendapatkan petunjuk. Mungkin juga fitnah di sini dideskripsikan dari sisi konsekuensi dari fitnah itu, sehingga fitnah yang menjadi salah satu penyebab hidayah tidaklah dimohonkan perlindungan darinya, yaitu fitnah yang berupa ujian dan cobaan yang mana seorang hamba bisa bersabar menghadapinya dan diberi taufik untuk mendapatkan hidayah. ثُمَّ دعَا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم قائلًا: “اللَّهمَّ زَيِّـنَّا بزينَةِ الإيمانِ”، أي: يا رَبِّ أسألُك أن تُثبِّتَنا على الإيمانِ، وأن تُرسِّخَه في قُلوبِنا، وتُجمِّلَنا به، “واجعَلْنا هُداةً مهتَدِين”، أي: اجعَلْنا هادِين إلى الدِّينِ هُداةً في أنفسِنا، ثابِتين على طريقِ الهُدى، والهِدايةِ واليَقينِ، نكونُ صالِحين لأنْ نَهديَ غيرَنا. Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdoa dengan mengatakan, “Allāhumma zayyinnā bizīnatil-īmāni … (artinya: Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman),” maknanya “Wahai Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau Meneguhkan kami di atas keimanan, Menguatkan keimanan itu dalam hati kami, dan Memperindah diri kami dengannya. “Waj`alna hudātan muhtadīn … (artinya: dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk),” maknanya: “Jadikan kami orang yang memberi petunjuk kepada agama Islam dan kami sendiri mendapatkan petunjuk itu, teguh pada jalan petunjuk, hidayah, dan keyakinan, sehingga kami layak menjadi orang yang bisa memberi petunjuk kepada orang lain.”  وفي الحَديثِ: بيانُ حِرصِ الصَّحابةِ رضِيَ اللهُ عنهم على الاقتِداءِ بالنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم. وفيه: التَّوسُّلُ إلى اللهِ في الدُّعاءِ بأسمائِه وصفاته .(مصدر الشرح: الدرر السنية) Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang semangat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dalam meneladani Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bertawasul kepada Allah ketika berdoa dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Sumber penjelasan: Durar as-Saniyyah) 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 493 times, 2 visit(s) today Post Views: 461 QRIS donasi Yufid

Di Antara Doa Rasulullah

Doa Pertama: اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. “Allāhumma bi `ilmikal ghaib wa qudratika `alal khalqi aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati wa kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi, wa as-alukal na`īman lā yanfadu wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i wa bardal `aisyi ba`dal mauti, wa ladzdzatan naẓhari ilā wajhika wasy syauqa ilā liqā’ika wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin wa fitnatin muḍillatin allāhumma zayyinnā bizīnatil īmāni waj`alnā hudātan muhtadīn (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.” صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخفَّها ، فَكأنَّهم أنْكروها ! فقالَ: ألم أُتمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ ؟ قالوا: بلى ، قالَ أمَّا أنِّي دعوتُ فيها بدعاءٍ كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يدعو بِهِ اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas, sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu. Dia mengatakan kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Mereka berkata, “Ya.” Dia berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, (yang artinya): ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.’” الراوي: قيس بن عباد أو عبادة •الألباني •صحيح النسائي • الصفحة أو الرقم: 1305 • خلاصة حكم المحدث: صحيح Perawi: Qais bin Abbad atau Ubadah • Al-Albani • Sahih an-Nasa’i • Halaman atau nomor: 1305 • Ringkasan hukum hadis: Sahih علَّمَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم أُمَّتَه آدابَ الدُّعاءِ، ومنها الثَّناءُ على اللهِ، والتَّوسُّلُ إليه بأسمائِه وصفاتِه؛ فإنَّ هذا سببٌ مِن أسبابِ استجابةِ الدُّعاءِ. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya beberapa adab dalam berdoa, termasuk di antaranya adalah dengan menghaturkan puja-puji kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah salah satu di antara sebab-sebab terkabulnya doa. وفي هذا الحديثِ يقولُ السَّائبُ الثَّقفيُّ: “صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخَفَّها”، أي: صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ رضِيَ اللهُ عنهما صلاةً بالنَّاسِ، وكان إمامًا، فخفَّف وأوجَزَ في صلاتِه، “فكأنَّهم أنكَروها!”، أي: كأنَّ المصلِّين لَمَّا رأَوْا صلاتَه لم يَعرِفوا ولم يَعهَدوا هذه الصَّلاةَ مِن التَّخفيفِ والإيجازِ، فقال لهم عمَّارٌ: “ألم أُتِمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ؟”، أي: سألهم عمَّارٌ: أكان في هذا التَّخفيفِ والإيجازِ إخلالٌ بإتمامِ رُكوعِها وسجودِها، وما فيهما مِن طُمَأنينةٍ؟ Dalam hadis ini, disebutkan bahwa as-Sāʾib ats-Tsaqafi mengatakan, “Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas.” Artinya bahwa Ammar bin Yasir —Semoga Allah Meridainya— salat bersama orang-orang, sementara dia menjadi imamnya. Dia meringankan dan memendekkan salatnya. “Sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu!” Artinya bahwa mereka ketika melihat salatnya Ammar —Semoga Allah Meridainya—, seolah-olah mereka belum pernah melihat dan terbiasa dengan salat yang ringan dan singkat seperti itu. Oleh sebab itulah Ammar berkata kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Maknanya bahwa Ammar bertanya kepada mereka, “Apakah dengan salat yang ringan dan singkat ini ada kekurangan dalam kesempurnaan rukuk dan sujudnya serta tidak tumakninah?” قالوا: “بَلى”، أي: إنَّك أتمَمتَ ركوعَها وسجودَها، فقال عمَّارٌ: “أمَا إنِّي دعَوتُ فيها بدُعاءٍ كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَدْعو به”، أي: ومع هذا التَّخفيفِ والإيجازِ دعَوتُ في هذه الصَّلاةِ الَّتي صلَّيتُها بكم بدُعاءٍ سمعتُه مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، وهو: “اللَّهمَّ بعِلْمِك الغيبَ وقُدرَتِك على الخَلقِ”، وفي هذا ثناءٌ على اللهِ وتوسُّلٌ إليه بأسمائِه وصفاتِه، والمعنى: اللَّهمَّ إنِّي أسألُك وأتوسَّلُ إليك بما عَلِمتَه من الغيبِ، والغيبُ ما خَفِي عن الإنسانِ ولا يَعلَمُه، والغيبُ يكونُ مُطلقًا، وهو ما استأثَر به اللهُ سبحانه وتعالى، مِثلُ علمِ السَّاعةِ، وقد يكونُ نِسْبيًّا، وهو ما يَغيبُ عن البعضِ، ويَعلَمُه غيرُهم، وقد يَرتَضي اللهُ لعبادِه مِن الأنبياءِ والمرسَلين أن يُطْلِعَهم على الغَيبِ بطريقِ الوحيِ؛ لِيَكونَ دَلالةً على صِدقِ نُبوَّتِهم. Mereka berkata, “Ya.” Maknanya, “Engkau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Ammar berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, …” Maknanya, “Meskipun dengan salat yang ringan dan ringkas ini, aku tetap sempat berdoa dalam salat yang aku tegakkan bersama kalian ini dengan doa yang pernah aku dengar dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yaitu … “Allāhumma bi `ilmikal ghaibi … (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk).” Dalam kalimat ini ada pujian kepada Allah dan tawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makna doa itu adalah “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan perkara gaib yang Engkau Ketahui.” Perkara gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia. Perkara gaib ada yang sifatnya mutlak, yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā, seperti ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat. Namun, perkara gaib ada yang sifatnya nisbi, yaitu yang hanya tersembunyi bagi sebagian makhluk saja tapi diketahui oleh sebagian yang lain. Terkadang Allah Meridai sebagian hamba-hamba-Nya dari kalangan nabi dan rasul sehingga Menunjukkan kepada mereka tentang hal-hal gaib melalui wahyu untuk menjadi tanda kebenaran kenabian mereka. وقولُه صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “وقُدرَتِك على الخَلقِ”، أي: أتوسَّلُ إليك بقُدرتِك الكاملةِ النَّافذةِ على جَميعِ مَخلوقاتِك ثمَّ شرَع في طلَبِ مسألتِه مِن اللهِ تعالى، وهو “أحْيِني ما عَلِمتَ الحياةَ خيرًا لي”، أي: ارزُقني الحياةَ إذا كان في سابقِ عِلمِك أنَّ الحياةَ تكونُ زِيادةً لي في الخيرِ؛ مِن التَّزوُّدِ من الأعمالِ الصَّالحةِ، والبرِّ، ونحوِ ذلك، “وتَوفَّني إذا عَلِمتَ الوفاةَ خيرًا لي”، أي: أمِتْني إذا كُنتَ تعلَمُ أنَّ الوفاةَ فيها خيرٌ لي، “وأسألُكَ خشيتَك في الغيبِ والشَّهادةِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الخوفَ منك، والتَّعظيمَ لك في سِرِّي وخَلْوتي، إذا غِبتُ عن أعيُنِ النَّاسِ، وفي عَلانيَتي، أو كُنتُ بين النَّاسِ Dan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “wa qudratika ‘alal khalqi … (artinya: dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk),” maknanya “Aku bertawasul kepadamu dengan qudrah-Mu yang sempurna yang pasti berlaku pada seluruh makhluk-Mu.” Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mulai meminta kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī … (artinya: Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku).” Maknanya, “Berilah aku kehidupan jika berdasarkan ilmu-Mu yang azali kehidupan ini menjadi tambahan kebaikan bagiku, bekal amal saleh, kebajikan, dan kebaikan yang semisalnya. “Wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī … (artinya: atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku),” maknanya, “Matikan saja aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu lebih baik bagiku.” “Wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak),” maknanya, “Aku mohon kepada-Mu agar Engkau Berikan kepadaku rasa takut kepada-Mu dan pengagungan terhadap-Mu saat sendiri dan tidak bersama orang lain, saat aku tidak dilihat oleh orang-orang dan di keramaian, atau ketika di tengah manusia.” “وكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغَضبِ”، يَحتمِلُ أن يكونَ المعنى: أسألُك الثباتَ على كلمةِ الإخلاصِ وهي كلمةُ التَّوْحِيدُ للهِ تعالى، أو هي النَّصيحةُ الخالِصَةُ عَنِ الرِّياءِ والسُّمْعَةِ، وفي روايةٍ أخرى عندَ النَّسائيِّ أيضًا  “وأسألُك كلمةَ الحَقِّ”؛ فيكونُ المعنى: وأسألُك قولَ الحقِّ، والتَّكلُّمَ به في حالِ رِضايَ وسُروري، وفي حالِ غضَبي وانفِعالي؛ فلا أتَكلَّمُ بباطلٍ، ولا أميلُ عن الحقِّ، بحيثُ لا تُلجئني شِدَّةُ غصبي إلى النُّطقِ بخِلافِ الحقِّ، ويَحتمِلُ أنْ يكون المعنى: أسألُك قولَ الحقِّ في حالتَيْ رِضا الخَلقِ عنِّي، وغضبِهم عليَّ فيما أقولُه؛ فلا أُداهن، ولا أُنافِق، بل أكونُ مُستمِرًّا على قول الحقِّ في جَميعِ أحوالي وأوقاتِي. “Kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi … (artinya: kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka).” Ada kemungkinan bahwa maknanya adalah “Aku mohon kepada-Mu keteguhan di atas kalimat keikhlasan, yaitu kalimat tauhid kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, atau mungkin maknanya adalah nasihat yang bersih dari Riyāʾ (ingin dilihat orang) dan Sumʿah (ingin didengar orang).” Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i disebutkan: “Wa as-aluka Kalimatal haqqi… (artinya: Dan aku memohon kepada-Mu kalimat yang hak …)” sehingga maknanya, “Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar yang aku katakan saat aku sedang rida dan senang maupun saat aku murka dan emosi, sehingga aku tidak berkata perkataan yang batil dan tidak menyimpang dari kebenaran, karena kemarahanku yang memuncak biasanya mendorongku untuk berbicara sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.” Mungkin juga maknanya, “Aku meminta kepada-Mu perkataan yang hak, baik saat orang-orang suka denganku atau ketika mereka sedang marah kepadaku karena apa yang aku katakan, sehingga aku tidak harus berlagak sok baik atau menjadi munafik demi mereka, melainkan tetap mengatakan kebenaran dalam segala keadaan dan di setiap waktu.” “وأسألُك نَعيمًا لا يَنفَدُ”، أي: وأدعوك أن تَرزُقَني النَّعيمَ المقيمَ الَّذي لا يَنتهي ولا يَنقضي، ولا يَنقطِعُ، وهو نَعيمُ الجنَّةِ، “وقُرَّةَ عينٍ لا تَنقطِعُ”، وقُرَّةُ العينِ قيل: معناها بَرْدُها، وانقطاعُ بُكائِها واستِحْرارِها بالدَّمعِ؛ فإنَّ للسُّرورِ دَمعةً باردةً، وللحُزنِ دَمعةً حارَّةً، وقيل: هو مِن القرارِ: أي: رأَتْ ما كانت مُتشوِّفةً إليه، فقَرَّت ونامَت، وقيل: أقَرَّ اللهُ عينَك: أي: بلَّغَك أُمنيَّتَك حتَّى تَرضى نفسُك، وتَسكُنَ عَينُك، فلا تَستشرِفَ إلى غيرِه. “Wa as-alukal na`īman lā yanfadu … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis),” maknanya: “Aku berdoa kepada-Mu agar Engkau Menganugerahkan kepada-Ku kenikmatan yang kekal yang tidak habis dan tiada hentinya serta tidak pernah terputus, yakni kenikmatan surga.” “wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u … (artinya: kesejukan mata yang tidak terputus,).” Ada yang mengatakan bahwa Qurrata `ain berarti ‘kesejukan mata’, yang terhenti tangisannya dan terbebas dari derai air mata, karena kebahagiaan adalah air mata yang menyejukkan, sementara kesedihan adalah air mata yang menyengat. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata Qarār (ketenangan) yang maknanya adalah mata yang melihat sesuatu yang dirindukannya sehingga bisa tenang dan terlelap. Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan Mewujudkan cita-cita sehingga jiwanya tenteram, pandangannya tenang, dan tidak melihat ke yang lain lagi. وقيل: أقرَّ اللهُ عينَك: أي: صادَفْتَ ما يُرضيك، فتقَرُّ عينُك عن النَّظرِ إلى غيرِه، والمعنى: أن تَقَرَّ عينُه بطاعةِ اللهِ سبحانه وتعالى، والأُنسِ بذِكْرِه، وقيل: أن تَقَرَّ عينُه برُؤيةِ ذُرِّيَّتِه مُطيعين للهِ تعالى، “وأسألُك الرِّضاءَ بالقضاءِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الرِّضا بما قضَيتَه وقدَّرتَه، فتَلْقاه نفْسي وهي مُطمئنَّةٌ، فلا أتسَخَّطُ، ولا أتضَجَّرُ، “وبَرْدَ العيشِ بعدَ الموتِ”، أي: وأسـألُك عَيشًا يكونُ طيِّبًا لا يكونُ فيه نَكدٌ وكَدرٌ، بل يكونُ فيه انشراحٌ للصَّدرِ، وتكونُ الرُّوحُ فيه بعدَ الموتِ في مَكانةٍ عاليةٍ، ومنزِلةٍ رفيعةٍ، Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan tercapainya apa yang diinginkan, sehingga pandangan menjadi tenang karena tidak melihat ke yang lain lagi. Maknanya, jiwanya tenang dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan tenteram dengan zikir kepada-Nya. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kesejukan jiwa dengan memandang anak keturunannya yang taat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. “wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i … (artinya: dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan).” Maknanya, “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Memberikan kepadaku keridaan terhadap apa yang telah Engkau Tetapkan dan Takdirkan untukku, sehingga jiwaku menerimanya dengan lapang tanpa ada kemurkaan dan amarah. “wa bardal `aisyi ba`dal mauti … (artinya: kesejukan hidup setelah kematian)” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu kehidupan yang baik, yang tidak ada padanya keletihan dan masalah, yang di dalamnya hati menjadi lapang dan roh berada di tempat yang tinggi dan derajat yang mulia setelah kematian.” “ولَذَّةَ النَّظرِ إلى وجهِك”، أي: وأسألُك رُؤيةَ وجهِك الكريمِ، التي هي أعلى وأكبَرُ نعيمٍ في الجنَّةِ، ووصَف هذا النَّظرَ باللَّذَّةِ؛ لأنَّ النَّظرَ إلى اللهِ قد يكونُ فيه خوفٌ وإجلالٌ، وقد يكونُ نظرًا فيه رحمةٌ ولطفٌ وجمالٌ، “والشَّوقَ إلى لقائِك”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الاشتياقَ إلى مُلاقاتِك في دارِ المجازاةِ؛ فيكون قد جمَعَ في هذا الدعاءِ بين أطيبِ ما في الدُّنيا وهو الشوقُ إلى لِقاءِ اللهِ تعالَى، وأطيبِ ما في الآخرةِ، وهو النظرُ إليه سبحانَه، “Ladzdzatan naẓari ilā wajhika … (artinya: kenikmatan memandang wajah-Mu),” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar bisa melihat wajah-Mu yang mulia, yang merupakan kebahagiaan tertinggi dan terbesar di surga.” Memandang wajah ini dideskripsikan sebagai suatu kenikmatan, karena memandang Allah bisa menjadi rasa takut dan segan serta bisa jadi rahmat, kelembutan, dan keindahan, “Wasy syauqa ilā liqā’ika … (artinya: dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu), maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Menganugerahiku kerinduan untuk bertemu dengan-Mu di negeri pembalasan.” Jadi, dalam doa ini beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengumpulkan antara hal termanis di dunia, yaitu kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subẖānahu wa Taʿālā, dan hal ternikmat di akhirat, yaitu memandang-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. “وأعوذُ بِك مِن ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ”، أي: وأحتَمي بك مِن كلِّ شِدَّةٍ يكونُ فيها ضررٌ عليَّ؛ لأنَّ بعضَ الضَّرَّاءِ قد تكونُ عاقبتُها نافعةً، “وفِتْنةٍ مُضِلَّةٍ”، أي: وأحتمي بك مِن فِتنةٍ توقِعُني في حَيرةٍ، وتكونُ عاقبتُها إلى الهلاكِ، وهنا وصَف الفِتنَ بالمضلَّةِ؛ لأنَّ بعضَ الفِتنِ قد تكونُ سببًا مِن أسبابِ الهِدايةِ، أو من بابِ الوَصفِ اللَّازمِ للفتنةِ؛ والفِتنةُ التي هي سببٌ مِن أسبابِ الهِدايةِ لا يُستعاذُ منها، وهي فِتنةُ الامتحانِ والاختبارِ التي يَصبِرُ فيها العبدُ ويُوفَّقُ للهدايةِ. “Wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin … (artinya: dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala kesulitan yang membawa penderitaan yang membahayakan diriku, karena ada sebagian musibah bisa membawa akibat yang baik. “Wa fitnatin muḍillatin … (artinya: dan fitnah yang menyesatkan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah (cobaan) yang yang menjatuhkanku dalam kebingungan yang mengakibatkan kebinasaan.” Fitnah di sini dideskripsikan sebagai sesuatu yang menyesatkan, karena sebagian fitnah bisa menjadi sebab untuk mendapatkan petunjuk. Mungkin juga fitnah di sini dideskripsikan dari sisi konsekuensi dari fitnah itu, sehingga fitnah yang menjadi salah satu penyebab hidayah tidaklah dimohonkan perlindungan darinya, yaitu fitnah yang berupa ujian dan cobaan yang mana seorang hamba bisa bersabar menghadapinya dan diberi taufik untuk mendapatkan hidayah. ثُمَّ دعَا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم قائلًا: “اللَّهمَّ زَيِّـنَّا بزينَةِ الإيمانِ”، أي: يا رَبِّ أسألُك أن تُثبِّتَنا على الإيمانِ، وأن تُرسِّخَه في قُلوبِنا، وتُجمِّلَنا به، “واجعَلْنا هُداةً مهتَدِين”، أي: اجعَلْنا هادِين إلى الدِّينِ هُداةً في أنفسِنا، ثابِتين على طريقِ الهُدى، والهِدايةِ واليَقينِ، نكونُ صالِحين لأنْ نَهديَ غيرَنا. Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdoa dengan mengatakan, “Allāhumma zayyinnā bizīnatil-īmāni … (artinya: Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman),” maknanya “Wahai Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau Meneguhkan kami di atas keimanan, Menguatkan keimanan itu dalam hati kami, dan Memperindah diri kami dengannya. “Waj`alna hudātan muhtadīn … (artinya: dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk),” maknanya: “Jadikan kami orang yang memberi petunjuk kepada agama Islam dan kami sendiri mendapatkan petunjuk itu, teguh pada jalan petunjuk, hidayah, dan keyakinan, sehingga kami layak menjadi orang yang bisa memberi petunjuk kepada orang lain.”  وفي الحَديثِ: بيانُ حِرصِ الصَّحابةِ رضِيَ اللهُ عنهم على الاقتِداءِ بالنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم. وفيه: التَّوسُّلُ إلى اللهِ في الدُّعاءِ بأسمائِه وصفاته .(مصدر الشرح: الدرر السنية) Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang semangat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dalam meneladani Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bertawasul kepada Allah ketika berdoa dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Sumber penjelasan: Durar as-Saniyyah) 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 493 times, 2 visit(s) today Post Views: 461 QRIS donasi Yufid
Doa Pertama: اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. “Allāhumma bi `ilmikal ghaib wa qudratika `alal khalqi aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati wa kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi, wa as-alukal na`īman lā yanfadu wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i wa bardal `aisyi ba`dal mauti, wa ladzdzatan naẓhari ilā wajhika wasy syauqa ilā liqā’ika wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin wa fitnatin muḍillatin allāhumma zayyinnā bizīnatil īmāni waj`alnā hudātan muhtadīn (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.” صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخفَّها ، فَكأنَّهم أنْكروها ! فقالَ: ألم أُتمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ ؟ قالوا: بلى ، قالَ أمَّا أنِّي دعوتُ فيها بدعاءٍ كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يدعو بِهِ اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas, sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu. Dia mengatakan kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Mereka berkata, “Ya.” Dia berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, (yang artinya): ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.’” الراوي: قيس بن عباد أو عبادة •الألباني •صحيح النسائي • الصفحة أو الرقم: 1305 • خلاصة حكم المحدث: صحيح Perawi: Qais bin Abbad atau Ubadah • Al-Albani • Sahih an-Nasa’i • Halaman atau nomor: 1305 • Ringkasan hukum hadis: Sahih علَّمَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم أُمَّتَه آدابَ الدُّعاءِ، ومنها الثَّناءُ على اللهِ، والتَّوسُّلُ إليه بأسمائِه وصفاتِه؛ فإنَّ هذا سببٌ مِن أسبابِ استجابةِ الدُّعاءِ. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya beberapa adab dalam berdoa, termasuk di antaranya adalah dengan menghaturkan puja-puji kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah salah satu di antara sebab-sebab terkabulnya doa. وفي هذا الحديثِ يقولُ السَّائبُ الثَّقفيُّ: “صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخَفَّها”، أي: صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ رضِيَ اللهُ عنهما صلاةً بالنَّاسِ، وكان إمامًا، فخفَّف وأوجَزَ في صلاتِه، “فكأنَّهم أنكَروها!”، أي: كأنَّ المصلِّين لَمَّا رأَوْا صلاتَه لم يَعرِفوا ولم يَعهَدوا هذه الصَّلاةَ مِن التَّخفيفِ والإيجازِ، فقال لهم عمَّارٌ: “ألم أُتِمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ؟”، أي: سألهم عمَّارٌ: أكان في هذا التَّخفيفِ والإيجازِ إخلالٌ بإتمامِ رُكوعِها وسجودِها، وما فيهما مِن طُمَأنينةٍ؟ Dalam hadis ini, disebutkan bahwa as-Sāʾib ats-Tsaqafi mengatakan, “Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas.” Artinya bahwa Ammar bin Yasir —Semoga Allah Meridainya— salat bersama orang-orang, sementara dia menjadi imamnya. Dia meringankan dan memendekkan salatnya. “Sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu!” Artinya bahwa mereka ketika melihat salatnya Ammar —Semoga Allah Meridainya—, seolah-olah mereka belum pernah melihat dan terbiasa dengan salat yang ringan dan singkat seperti itu. Oleh sebab itulah Ammar berkata kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Maknanya bahwa Ammar bertanya kepada mereka, “Apakah dengan salat yang ringan dan singkat ini ada kekurangan dalam kesempurnaan rukuk dan sujudnya serta tidak tumakninah?” قالوا: “بَلى”، أي: إنَّك أتمَمتَ ركوعَها وسجودَها، فقال عمَّارٌ: “أمَا إنِّي دعَوتُ فيها بدُعاءٍ كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَدْعو به”، أي: ومع هذا التَّخفيفِ والإيجازِ دعَوتُ في هذه الصَّلاةِ الَّتي صلَّيتُها بكم بدُعاءٍ سمعتُه مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، وهو: “اللَّهمَّ بعِلْمِك الغيبَ وقُدرَتِك على الخَلقِ”، وفي هذا ثناءٌ على اللهِ وتوسُّلٌ إليه بأسمائِه وصفاتِه، والمعنى: اللَّهمَّ إنِّي أسألُك وأتوسَّلُ إليك بما عَلِمتَه من الغيبِ، والغيبُ ما خَفِي عن الإنسانِ ولا يَعلَمُه، والغيبُ يكونُ مُطلقًا، وهو ما استأثَر به اللهُ سبحانه وتعالى، مِثلُ علمِ السَّاعةِ، وقد يكونُ نِسْبيًّا، وهو ما يَغيبُ عن البعضِ، ويَعلَمُه غيرُهم، وقد يَرتَضي اللهُ لعبادِه مِن الأنبياءِ والمرسَلين أن يُطْلِعَهم على الغَيبِ بطريقِ الوحيِ؛ لِيَكونَ دَلالةً على صِدقِ نُبوَّتِهم. Mereka berkata, “Ya.” Maknanya, “Engkau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Ammar berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, …” Maknanya, “Meskipun dengan salat yang ringan dan ringkas ini, aku tetap sempat berdoa dalam salat yang aku tegakkan bersama kalian ini dengan doa yang pernah aku dengar dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yaitu … “Allāhumma bi `ilmikal ghaibi … (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk).” Dalam kalimat ini ada pujian kepada Allah dan tawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makna doa itu adalah “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan perkara gaib yang Engkau Ketahui.” Perkara gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia. Perkara gaib ada yang sifatnya mutlak, yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā, seperti ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat. Namun, perkara gaib ada yang sifatnya nisbi, yaitu yang hanya tersembunyi bagi sebagian makhluk saja tapi diketahui oleh sebagian yang lain. Terkadang Allah Meridai sebagian hamba-hamba-Nya dari kalangan nabi dan rasul sehingga Menunjukkan kepada mereka tentang hal-hal gaib melalui wahyu untuk menjadi tanda kebenaran kenabian mereka. وقولُه صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “وقُدرَتِك على الخَلقِ”، أي: أتوسَّلُ إليك بقُدرتِك الكاملةِ النَّافذةِ على جَميعِ مَخلوقاتِك ثمَّ شرَع في طلَبِ مسألتِه مِن اللهِ تعالى، وهو “أحْيِني ما عَلِمتَ الحياةَ خيرًا لي”، أي: ارزُقني الحياةَ إذا كان في سابقِ عِلمِك أنَّ الحياةَ تكونُ زِيادةً لي في الخيرِ؛ مِن التَّزوُّدِ من الأعمالِ الصَّالحةِ، والبرِّ، ونحوِ ذلك، “وتَوفَّني إذا عَلِمتَ الوفاةَ خيرًا لي”، أي: أمِتْني إذا كُنتَ تعلَمُ أنَّ الوفاةَ فيها خيرٌ لي، “وأسألُكَ خشيتَك في الغيبِ والشَّهادةِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الخوفَ منك، والتَّعظيمَ لك في سِرِّي وخَلْوتي، إذا غِبتُ عن أعيُنِ النَّاسِ، وفي عَلانيَتي، أو كُنتُ بين النَّاسِ Dan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “wa qudratika ‘alal khalqi … (artinya: dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk),” maknanya “Aku bertawasul kepadamu dengan qudrah-Mu yang sempurna yang pasti berlaku pada seluruh makhluk-Mu.” Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mulai meminta kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī … (artinya: Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku).” Maknanya, “Berilah aku kehidupan jika berdasarkan ilmu-Mu yang azali kehidupan ini menjadi tambahan kebaikan bagiku, bekal amal saleh, kebajikan, dan kebaikan yang semisalnya. “Wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī … (artinya: atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku),” maknanya, “Matikan saja aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu lebih baik bagiku.” “Wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak),” maknanya, “Aku mohon kepada-Mu agar Engkau Berikan kepadaku rasa takut kepada-Mu dan pengagungan terhadap-Mu saat sendiri dan tidak bersama orang lain, saat aku tidak dilihat oleh orang-orang dan di keramaian, atau ketika di tengah manusia.” “وكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغَضبِ”، يَحتمِلُ أن يكونَ المعنى: أسألُك الثباتَ على كلمةِ الإخلاصِ وهي كلمةُ التَّوْحِيدُ للهِ تعالى، أو هي النَّصيحةُ الخالِصَةُ عَنِ الرِّياءِ والسُّمْعَةِ، وفي روايةٍ أخرى عندَ النَّسائيِّ أيضًا  “وأسألُك كلمةَ الحَقِّ”؛ فيكونُ المعنى: وأسألُك قولَ الحقِّ، والتَّكلُّمَ به في حالِ رِضايَ وسُروري، وفي حالِ غضَبي وانفِعالي؛ فلا أتَكلَّمُ بباطلٍ، ولا أميلُ عن الحقِّ، بحيثُ لا تُلجئني شِدَّةُ غصبي إلى النُّطقِ بخِلافِ الحقِّ، ويَحتمِلُ أنْ يكون المعنى: أسألُك قولَ الحقِّ في حالتَيْ رِضا الخَلقِ عنِّي، وغضبِهم عليَّ فيما أقولُه؛ فلا أُداهن، ولا أُنافِق، بل أكونُ مُستمِرًّا على قول الحقِّ في جَميعِ أحوالي وأوقاتِي. “Kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi … (artinya: kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka).” Ada kemungkinan bahwa maknanya adalah “Aku mohon kepada-Mu keteguhan di atas kalimat keikhlasan, yaitu kalimat tauhid kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, atau mungkin maknanya adalah nasihat yang bersih dari Riyāʾ (ingin dilihat orang) dan Sumʿah (ingin didengar orang).” Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i disebutkan: “Wa as-aluka Kalimatal haqqi… (artinya: Dan aku memohon kepada-Mu kalimat yang hak …)” sehingga maknanya, “Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar yang aku katakan saat aku sedang rida dan senang maupun saat aku murka dan emosi, sehingga aku tidak berkata perkataan yang batil dan tidak menyimpang dari kebenaran, karena kemarahanku yang memuncak biasanya mendorongku untuk berbicara sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.” Mungkin juga maknanya, “Aku meminta kepada-Mu perkataan yang hak, baik saat orang-orang suka denganku atau ketika mereka sedang marah kepadaku karena apa yang aku katakan, sehingga aku tidak harus berlagak sok baik atau menjadi munafik demi mereka, melainkan tetap mengatakan kebenaran dalam segala keadaan dan di setiap waktu.” “وأسألُك نَعيمًا لا يَنفَدُ”، أي: وأدعوك أن تَرزُقَني النَّعيمَ المقيمَ الَّذي لا يَنتهي ولا يَنقضي، ولا يَنقطِعُ، وهو نَعيمُ الجنَّةِ، “وقُرَّةَ عينٍ لا تَنقطِعُ”، وقُرَّةُ العينِ قيل: معناها بَرْدُها، وانقطاعُ بُكائِها واستِحْرارِها بالدَّمعِ؛ فإنَّ للسُّرورِ دَمعةً باردةً، وللحُزنِ دَمعةً حارَّةً، وقيل: هو مِن القرارِ: أي: رأَتْ ما كانت مُتشوِّفةً إليه، فقَرَّت ونامَت، وقيل: أقَرَّ اللهُ عينَك: أي: بلَّغَك أُمنيَّتَك حتَّى تَرضى نفسُك، وتَسكُنَ عَينُك، فلا تَستشرِفَ إلى غيرِه. “Wa as-alukal na`īman lā yanfadu … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis),” maknanya: “Aku berdoa kepada-Mu agar Engkau Menganugerahkan kepada-Ku kenikmatan yang kekal yang tidak habis dan tiada hentinya serta tidak pernah terputus, yakni kenikmatan surga.” “wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u … (artinya: kesejukan mata yang tidak terputus,).” Ada yang mengatakan bahwa Qurrata `ain berarti ‘kesejukan mata’, yang terhenti tangisannya dan terbebas dari derai air mata, karena kebahagiaan adalah air mata yang menyejukkan, sementara kesedihan adalah air mata yang menyengat. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata Qarār (ketenangan) yang maknanya adalah mata yang melihat sesuatu yang dirindukannya sehingga bisa tenang dan terlelap. Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan Mewujudkan cita-cita sehingga jiwanya tenteram, pandangannya tenang, dan tidak melihat ke yang lain lagi. وقيل: أقرَّ اللهُ عينَك: أي: صادَفْتَ ما يُرضيك، فتقَرُّ عينُك عن النَّظرِ إلى غيرِه، والمعنى: أن تَقَرَّ عينُه بطاعةِ اللهِ سبحانه وتعالى، والأُنسِ بذِكْرِه، وقيل: أن تَقَرَّ عينُه برُؤيةِ ذُرِّيَّتِه مُطيعين للهِ تعالى، “وأسألُك الرِّضاءَ بالقضاءِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الرِّضا بما قضَيتَه وقدَّرتَه، فتَلْقاه نفْسي وهي مُطمئنَّةٌ، فلا أتسَخَّطُ، ولا أتضَجَّرُ، “وبَرْدَ العيشِ بعدَ الموتِ”، أي: وأسـألُك عَيشًا يكونُ طيِّبًا لا يكونُ فيه نَكدٌ وكَدرٌ، بل يكونُ فيه انشراحٌ للصَّدرِ، وتكونُ الرُّوحُ فيه بعدَ الموتِ في مَكانةٍ عاليةٍ، ومنزِلةٍ رفيعةٍ، Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan tercapainya apa yang diinginkan, sehingga pandangan menjadi tenang karena tidak melihat ke yang lain lagi. Maknanya, jiwanya tenang dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan tenteram dengan zikir kepada-Nya. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kesejukan jiwa dengan memandang anak keturunannya yang taat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. “wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i … (artinya: dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan).” Maknanya, “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Memberikan kepadaku keridaan terhadap apa yang telah Engkau Tetapkan dan Takdirkan untukku, sehingga jiwaku menerimanya dengan lapang tanpa ada kemurkaan dan amarah. “wa bardal `aisyi ba`dal mauti … (artinya: kesejukan hidup setelah kematian)” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu kehidupan yang baik, yang tidak ada padanya keletihan dan masalah, yang di dalamnya hati menjadi lapang dan roh berada di tempat yang tinggi dan derajat yang mulia setelah kematian.” “ولَذَّةَ النَّظرِ إلى وجهِك”، أي: وأسألُك رُؤيةَ وجهِك الكريمِ، التي هي أعلى وأكبَرُ نعيمٍ في الجنَّةِ، ووصَف هذا النَّظرَ باللَّذَّةِ؛ لأنَّ النَّظرَ إلى اللهِ قد يكونُ فيه خوفٌ وإجلالٌ، وقد يكونُ نظرًا فيه رحمةٌ ولطفٌ وجمالٌ، “والشَّوقَ إلى لقائِك”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الاشتياقَ إلى مُلاقاتِك في دارِ المجازاةِ؛ فيكون قد جمَعَ في هذا الدعاءِ بين أطيبِ ما في الدُّنيا وهو الشوقُ إلى لِقاءِ اللهِ تعالَى، وأطيبِ ما في الآخرةِ، وهو النظرُ إليه سبحانَه، “Ladzdzatan naẓari ilā wajhika … (artinya: kenikmatan memandang wajah-Mu),” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar bisa melihat wajah-Mu yang mulia, yang merupakan kebahagiaan tertinggi dan terbesar di surga.” Memandang wajah ini dideskripsikan sebagai suatu kenikmatan, karena memandang Allah bisa menjadi rasa takut dan segan serta bisa jadi rahmat, kelembutan, dan keindahan, “Wasy syauqa ilā liqā’ika … (artinya: dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu), maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Menganugerahiku kerinduan untuk bertemu dengan-Mu di negeri pembalasan.” Jadi, dalam doa ini beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengumpulkan antara hal termanis di dunia, yaitu kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subẖānahu wa Taʿālā, dan hal ternikmat di akhirat, yaitu memandang-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. “وأعوذُ بِك مِن ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ”، أي: وأحتَمي بك مِن كلِّ شِدَّةٍ يكونُ فيها ضررٌ عليَّ؛ لأنَّ بعضَ الضَّرَّاءِ قد تكونُ عاقبتُها نافعةً، “وفِتْنةٍ مُضِلَّةٍ”، أي: وأحتمي بك مِن فِتنةٍ توقِعُني في حَيرةٍ، وتكونُ عاقبتُها إلى الهلاكِ، وهنا وصَف الفِتنَ بالمضلَّةِ؛ لأنَّ بعضَ الفِتنِ قد تكونُ سببًا مِن أسبابِ الهِدايةِ، أو من بابِ الوَصفِ اللَّازمِ للفتنةِ؛ والفِتنةُ التي هي سببٌ مِن أسبابِ الهِدايةِ لا يُستعاذُ منها، وهي فِتنةُ الامتحانِ والاختبارِ التي يَصبِرُ فيها العبدُ ويُوفَّقُ للهدايةِ. “Wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin … (artinya: dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala kesulitan yang membawa penderitaan yang membahayakan diriku, karena ada sebagian musibah bisa membawa akibat yang baik. “Wa fitnatin muḍillatin … (artinya: dan fitnah yang menyesatkan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah (cobaan) yang yang menjatuhkanku dalam kebingungan yang mengakibatkan kebinasaan.” Fitnah di sini dideskripsikan sebagai sesuatu yang menyesatkan, karena sebagian fitnah bisa menjadi sebab untuk mendapatkan petunjuk. Mungkin juga fitnah di sini dideskripsikan dari sisi konsekuensi dari fitnah itu, sehingga fitnah yang menjadi salah satu penyebab hidayah tidaklah dimohonkan perlindungan darinya, yaitu fitnah yang berupa ujian dan cobaan yang mana seorang hamba bisa bersabar menghadapinya dan diberi taufik untuk mendapatkan hidayah. ثُمَّ دعَا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم قائلًا: “اللَّهمَّ زَيِّـنَّا بزينَةِ الإيمانِ”، أي: يا رَبِّ أسألُك أن تُثبِّتَنا على الإيمانِ، وأن تُرسِّخَه في قُلوبِنا، وتُجمِّلَنا به، “واجعَلْنا هُداةً مهتَدِين”، أي: اجعَلْنا هادِين إلى الدِّينِ هُداةً في أنفسِنا، ثابِتين على طريقِ الهُدى، والهِدايةِ واليَقينِ، نكونُ صالِحين لأنْ نَهديَ غيرَنا. Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdoa dengan mengatakan, “Allāhumma zayyinnā bizīnatil-īmāni … (artinya: Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman),” maknanya “Wahai Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau Meneguhkan kami di atas keimanan, Menguatkan keimanan itu dalam hati kami, dan Memperindah diri kami dengannya. “Waj`alna hudātan muhtadīn … (artinya: dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk),” maknanya: “Jadikan kami orang yang memberi petunjuk kepada agama Islam dan kami sendiri mendapatkan petunjuk itu, teguh pada jalan petunjuk, hidayah, dan keyakinan, sehingga kami layak menjadi orang yang bisa memberi petunjuk kepada orang lain.”  وفي الحَديثِ: بيانُ حِرصِ الصَّحابةِ رضِيَ اللهُ عنهم على الاقتِداءِ بالنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم. وفيه: التَّوسُّلُ إلى اللهِ في الدُّعاءِ بأسمائِه وصفاته .(مصدر الشرح: الدرر السنية) Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang semangat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dalam meneladani Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bertawasul kepada Allah ketika berdoa dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Sumber penjelasan: Durar as-Saniyyah) 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 493 times, 2 visit(s) today Post Views: 461 QRIS donasi Yufid


Doa Pertama: اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. “Allāhumma bi `ilmikal ghaib wa qudratika `alal khalqi aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati wa kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi, wa as-alukal na`īman lā yanfadu wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i wa bardal `aisyi ba`dal mauti, wa ladzdzatan naẓhari ilā wajhika wasy syauqa ilā liqā’ika wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin wa fitnatin muḍillatin allāhumma zayyinnā bizīnatil īmāni waj`alnā hudātan muhtadīn (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.” صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخفَّها ، فَكأنَّهم أنْكروها ! فقالَ: ألم أُتمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ ؟ قالوا: بلى ، قالَ أمَّا أنِّي دعوتُ فيها بدعاءٍ كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يدعو بِهِ اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين. Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas, sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu. Dia mengatakan kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Mereka berkata, “Ya.” Dia berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, (yang artinya): ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.’” الراوي: قيس بن عباد أو عبادة •الألباني •صحيح النسائي • الصفحة أو الرقم: 1305 • خلاصة حكم المحدث: صحيح Perawi: Qais bin Abbad atau Ubadah • Al-Albani • Sahih an-Nasa’i • Halaman atau nomor: 1305 • Ringkasan hukum hadis: Sahih علَّمَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم أُمَّتَه آدابَ الدُّعاءِ، ومنها الثَّناءُ على اللهِ، والتَّوسُّلُ إليه بأسمائِه وصفاتِه؛ فإنَّ هذا سببٌ مِن أسبابِ استجابةِ الدُّعاءِ. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya beberapa adab dalam berdoa, termasuk di antaranya adalah dengan menghaturkan puja-puji kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah salah satu di antara sebab-sebab terkabulnya doa. وفي هذا الحديثِ يقولُ السَّائبُ الثَّقفيُّ: “صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخَفَّها”، أي: صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ رضِيَ اللهُ عنهما صلاةً بالنَّاسِ، وكان إمامًا، فخفَّف وأوجَزَ في صلاتِه، “فكأنَّهم أنكَروها!”، أي: كأنَّ المصلِّين لَمَّا رأَوْا صلاتَه لم يَعرِفوا ولم يَعهَدوا هذه الصَّلاةَ مِن التَّخفيفِ والإيجازِ، فقال لهم عمَّارٌ: “ألم أُتِمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ؟”، أي: سألهم عمَّارٌ: أكان في هذا التَّخفيفِ والإيجازِ إخلالٌ بإتمامِ رُكوعِها وسجودِها، وما فيهما مِن طُمَأنينةٍ؟ Dalam hadis ini, disebutkan bahwa as-Sāʾib ats-Tsaqafi mengatakan, “Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas.” Artinya bahwa Ammar bin Yasir —Semoga Allah Meridainya— salat bersama orang-orang, sementara dia menjadi imamnya. Dia meringankan dan memendekkan salatnya. “Sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu!” Artinya bahwa mereka ketika melihat salatnya Ammar —Semoga Allah Meridainya—, seolah-olah mereka belum pernah melihat dan terbiasa dengan salat yang ringan dan singkat seperti itu. Oleh sebab itulah Ammar berkata kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Maknanya bahwa Ammar bertanya kepada mereka, “Apakah dengan salat yang ringan dan singkat ini ada kekurangan dalam kesempurnaan rukuk dan sujudnya serta tidak tumakninah?” قالوا: “بَلى”، أي: إنَّك أتمَمتَ ركوعَها وسجودَها، فقال عمَّارٌ: “أمَا إنِّي دعَوتُ فيها بدُعاءٍ كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَدْعو به”، أي: ومع هذا التَّخفيفِ والإيجازِ دعَوتُ في هذه الصَّلاةِ الَّتي صلَّيتُها بكم بدُعاءٍ سمعتُه مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، وهو: “اللَّهمَّ بعِلْمِك الغيبَ وقُدرَتِك على الخَلقِ”، وفي هذا ثناءٌ على اللهِ وتوسُّلٌ إليه بأسمائِه وصفاتِه، والمعنى: اللَّهمَّ إنِّي أسألُك وأتوسَّلُ إليك بما عَلِمتَه من الغيبِ، والغيبُ ما خَفِي عن الإنسانِ ولا يَعلَمُه، والغيبُ يكونُ مُطلقًا، وهو ما استأثَر به اللهُ سبحانه وتعالى، مِثلُ علمِ السَّاعةِ، وقد يكونُ نِسْبيًّا، وهو ما يَغيبُ عن البعضِ، ويَعلَمُه غيرُهم، وقد يَرتَضي اللهُ لعبادِه مِن الأنبياءِ والمرسَلين أن يُطْلِعَهم على الغَيبِ بطريقِ الوحيِ؛ لِيَكونَ دَلالةً على صِدقِ نُبوَّتِهم. Mereka berkata, “Ya.” Maknanya, “Engkau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Ammar berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, …” Maknanya, “Meskipun dengan salat yang ringan dan ringkas ini, aku tetap sempat berdoa dalam salat yang aku tegakkan bersama kalian ini dengan doa yang pernah aku dengar dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yaitu … “Allāhumma bi `ilmikal ghaibi … (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk).” Dalam kalimat ini ada pujian kepada Allah dan tawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makna doa itu adalah “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan perkara gaib yang Engkau Ketahui.” Perkara gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia. Perkara gaib ada yang sifatnya mutlak, yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā, seperti ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat. Namun, perkara gaib ada yang sifatnya nisbi, yaitu yang hanya tersembunyi bagi sebagian makhluk saja tapi diketahui oleh sebagian yang lain. Terkadang Allah Meridai sebagian hamba-hamba-Nya dari kalangan nabi dan rasul sehingga Menunjukkan kepada mereka tentang hal-hal gaib melalui wahyu untuk menjadi tanda kebenaran kenabian mereka. وقولُه صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “وقُدرَتِك على الخَلقِ”، أي: أتوسَّلُ إليك بقُدرتِك الكاملةِ النَّافذةِ على جَميعِ مَخلوقاتِك ثمَّ شرَع في طلَبِ مسألتِه مِن اللهِ تعالى، وهو “أحْيِني ما عَلِمتَ الحياةَ خيرًا لي”، أي: ارزُقني الحياةَ إذا كان في سابقِ عِلمِك أنَّ الحياةَ تكونُ زِيادةً لي في الخيرِ؛ مِن التَّزوُّدِ من الأعمالِ الصَّالحةِ، والبرِّ، ونحوِ ذلك، “وتَوفَّني إذا عَلِمتَ الوفاةَ خيرًا لي”، أي: أمِتْني إذا كُنتَ تعلَمُ أنَّ الوفاةَ فيها خيرٌ لي، “وأسألُكَ خشيتَك في الغيبِ والشَّهادةِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الخوفَ منك، والتَّعظيمَ لك في سِرِّي وخَلْوتي، إذا غِبتُ عن أعيُنِ النَّاسِ، وفي عَلانيَتي، أو كُنتُ بين النَّاسِ Dan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “wa qudratika ‘alal khalqi … (artinya: dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk),” maknanya “Aku bertawasul kepadamu dengan qudrah-Mu yang sempurna yang pasti berlaku pada seluruh makhluk-Mu.” Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mulai meminta kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī … (artinya: Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku).” Maknanya, “Berilah aku kehidupan jika berdasarkan ilmu-Mu yang azali kehidupan ini menjadi tambahan kebaikan bagiku, bekal amal saleh, kebajikan, dan kebaikan yang semisalnya. “Wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī … (artinya: atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku),” maknanya, “Matikan saja aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu lebih baik bagiku.” “Wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak),” maknanya, “Aku mohon kepada-Mu agar Engkau Berikan kepadaku rasa takut kepada-Mu dan pengagungan terhadap-Mu saat sendiri dan tidak bersama orang lain, saat aku tidak dilihat oleh orang-orang dan di keramaian, atau ketika di tengah manusia.” “وكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغَضبِ”، يَحتمِلُ أن يكونَ المعنى: أسألُك الثباتَ على كلمةِ الإخلاصِ وهي كلمةُ التَّوْحِيدُ للهِ تعالى، أو هي النَّصيحةُ الخالِصَةُ عَنِ الرِّياءِ والسُّمْعَةِ، وفي روايةٍ أخرى عندَ النَّسائيِّ أيضًا  “وأسألُك كلمةَ الحَقِّ”؛ فيكونُ المعنى: وأسألُك قولَ الحقِّ، والتَّكلُّمَ به في حالِ رِضايَ وسُروري، وفي حالِ غضَبي وانفِعالي؛ فلا أتَكلَّمُ بباطلٍ، ولا أميلُ عن الحقِّ، بحيثُ لا تُلجئني شِدَّةُ غصبي إلى النُّطقِ بخِلافِ الحقِّ، ويَحتمِلُ أنْ يكون المعنى: أسألُك قولَ الحقِّ في حالتَيْ رِضا الخَلقِ عنِّي، وغضبِهم عليَّ فيما أقولُه؛ فلا أُداهن، ولا أُنافِق، بل أكونُ مُستمِرًّا على قول الحقِّ في جَميعِ أحوالي وأوقاتِي. “Kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi … (artinya: kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka).” Ada kemungkinan bahwa maknanya adalah “Aku mohon kepada-Mu keteguhan di atas kalimat keikhlasan, yaitu kalimat tauhid kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, atau mungkin maknanya adalah nasihat yang bersih dari Riyāʾ (ingin dilihat orang) dan Sumʿah (ingin didengar orang).” Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i disebutkan: “Wa as-aluka Kalimatal haqqi… (artinya: Dan aku memohon kepada-Mu kalimat yang hak …)” sehingga maknanya, “Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar yang aku katakan saat aku sedang rida dan senang maupun saat aku murka dan emosi, sehingga aku tidak berkata perkataan yang batil dan tidak menyimpang dari kebenaran, karena kemarahanku yang memuncak biasanya mendorongku untuk berbicara sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.” Mungkin juga maknanya, “Aku meminta kepada-Mu perkataan yang hak, baik saat orang-orang suka denganku atau ketika mereka sedang marah kepadaku karena apa yang aku katakan, sehingga aku tidak harus berlagak sok baik atau menjadi munafik demi mereka, melainkan tetap mengatakan kebenaran dalam segala keadaan dan di setiap waktu.” “وأسألُك نَعيمًا لا يَنفَدُ”، أي: وأدعوك أن تَرزُقَني النَّعيمَ المقيمَ الَّذي لا يَنتهي ولا يَنقضي، ولا يَنقطِعُ، وهو نَعيمُ الجنَّةِ، “وقُرَّةَ عينٍ لا تَنقطِعُ”، وقُرَّةُ العينِ قيل: معناها بَرْدُها، وانقطاعُ بُكائِها واستِحْرارِها بالدَّمعِ؛ فإنَّ للسُّرورِ دَمعةً باردةً، وللحُزنِ دَمعةً حارَّةً، وقيل: هو مِن القرارِ: أي: رأَتْ ما كانت مُتشوِّفةً إليه، فقَرَّت ونامَت، وقيل: أقَرَّ اللهُ عينَك: أي: بلَّغَك أُمنيَّتَك حتَّى تَرضى نفسُك، وتَسكُنَ عَينُك، فلا تَستشرِفَ إلى غيرِه. “Wa as-alukal na`īman lā yanfadu … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis),” maknanya: “Aku berdoa kepada-Mu agar Engkau Menganugerahkan kepada-Ku kenikmatan yang kekal yang tidak habis dan tiada hentinya serta tidak pernah terputus, yakni kenikmatan surga.” “wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u … (artinya: kesejukan mata yang tidak terputus,).” Ada yang mengatakan bahwa Qurrata `ain berarti ‘kesejukan mata’, yang terhenti tangisannya dan terbebas dari derai air mata, karena kebahagiaan adalah air mata yang menyejukkan, sementara kesedihan adalah air mata yang menyengat. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata Qarār (ketenangan) yang maknanya adalah mata yang melihat sesuatu yang dirindukannya sehingga bisa tenang dan terlelap. Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan Mewujudkan cita-cita sehingga jiwanya tenteram, pandangannya tenang, dan tidak melihat ke yang lain lagi. وقيل: أقرَّ اللهُ عينَك: أي: صادَفْتَ ما يُرضيك، فتقَرُّ عينُك عن النَّظرِ إلى غيرِه، والمعنى: أن تَقَرَّ عينُه بطاعةِ اللهِ سبحانه وتعالى، والأُنسِ بذِكْرِه، وقيل: أن تَقَرَّ عينُه برُؤيةِ ذُرِّيَّتِه مُطيعين للهِ تعالى، “وأسألُك الرِّضاءَ بالقضاءِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الرِّضا بما قضَيتَه وقدَّرتَه، فتَلْقاه نفْسي وهي مُطمئنَّةٌ، فلا أتسَخَّطُ، ولا أتضَجَّرُ، “وبَرْدَ العيشِ بعدَ الموتِ”، أي: وأسـألُك عَيشًا يكونُ طيِّبًا لا يكونُ فيه نَكدٌ وكَدرٌ، بل يكونُ فيه انشراحٌ للصَّدرِ، وتكونُ الرُّوحُ فيه بعدَ الموتِ في مَكانةٍ عاليةٍ، ومنزِلةٍ رفيعةٍ، Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan tercapainya apa yang diinginkan, sehingga pandangan menjadi tenang karena tidak melihat ke yang lain lagi. Maknanya, jiwanya tenang dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan tenteram dengan zikir kepada-Nya. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kesejukan jiwa dengan memandang anak keturunannya yang taat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. “wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i … (artinya: dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan).” Maknanya, “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Memberikan kepadaku keridaan terhadap apa yang telah Engkau Tetapkan dan Takdirkan untukku, sehingga jiwaku menerimanya dengan lapang tanpa ada kemurkaan dan amarah. “wa bardal `aisyi ba`dal mauti … (artinya: kesejukan hidup setelah kematian)” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu kehidupan yang baik, yang tidak ada padanya keletihan dan masalah, yang di dalamnya hati menjadi lapang dan roh berada di tempat yang tinggi dan derajat yang mulia setelah kematian.” “ولَذَّةَ النَّظرِ إلى وجهِك”، أي: وأسألُك رُؤيةَ وجهِك الكريمِ، التي هي أعلى وأكبَرُ نعيمٍ في الجنَّةِ، ووصَف هذا النَّظرَ باللَّذَّةِ؛ لأنَّ النَّظرَ إلى اللهِ قد يكونُ فيه خوفٌ وإجلالٌ، وقد يكونُ نظرًا فيه رحمةٌ ولطفٌ وجمالٌ، “والشَّوقَ إلى لقائِك”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الاشتياقَ إلى مُلاقاتِك في دارِ المجازاةِ؛ فيكون قد جمَعَ في هذا الدعاءِ بين أطيبِ ما في الدُّنيا وهو الشوقُ إلى لِقاءِ اللهِ تعالَى، وأطيبِ ما في الآخرةِ، وهو النظرُ إليه سبحانَه، “Ladzdzatan naẓari ilā wajhika … (artinya: kenikmatan memandang wajah-Mu),” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar bisa melihat wajah-Mu yang mulia, yang merupakan kebahagiaan tertinggi dan terbesar di surga.” Memandang wajah ini dideskripsikan sebagai suatu kenikmatan, karena memandang Allah bisa menjadi rasa takut dan segan serta bisa jadi rahmat, kelembutan, dan keindahan, “Wasy syauqa ilā liqā’ika … (artinya: dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu), maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Menganugerahiku kerinduan untuk bertemu dengan-Mu di negeri pembalasan.” Jadi, dalam doa ini beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengumpulkan antara hal termanis di dunia, yaitu kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subẖānahu wa Taʿālā, dan hal ternikmat di akhirat, yaitu memandang-Nya Subẖānahu wa Taʿālā. “وأعوذُ بِك مِن ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ”، أي: وأحتَمي بك مِن كلِّ شِدَّةٍ يكونُ فيها ضررٌ عليَّ؛ لأنَّ بعضَ الضَّرَّاءِ قد تكونُ عاقبتُها نافعةً، “وفِتْنةٍ مُضِلَّةٍ”، أي: وأحتمي بك مِن فِتنةٍ توقِعُني في حَيرةٍ، وتكونُ عاقبتُها إلى الهلاكِ، وهنا وصَف الفِتنَ بالمضلَّةِ؛ لأنَّ بعضَ الفِتنِ قد تكونُ سببًا مِن أسبابِ الهِدايةِ، أو من بابِ الوَصفِ اللَّازمِ للفتنةِ؛ والفِتنةُ التي هي سببٌ مِن أسبابِ الهِدايةِ لا يُستعاذُ منها، وهي فِتنةُ الامتحانِ والاختبارِ التي يَصبِرُ فيها العبدُ ويُوفَّقُ للهدايةِ. “Wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin … (artinya: dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala kesulitan yang membawa penderitaan yang membahayakan diriku, karena ada sebagian musibah bisa membawa akibat yang baik. “Wa fitnatin muḍillatin … (artinya: dan fitnah yang menyesatkan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah (cobaan) yang yang menjatuhkanku dalam kebingungan yang mengakibatkan kebinasaan.” Fitnah di sini dideskripsikan sebagai sesuatu yang menyesatkan, karena sebagian fitnah bisa menjadi sebab untuk mendapatkan petunjuk. Mungkin juga fitnah di sini dideskripsikan dari sisi konsekuensi dari fitnah itu, sehingga fitnah yang menjadi salah satu penyebab hidayah tidaklah dimohonkan perlindungan darinya, yaitu fitnah yang berupa ujian dan cobaan yang mana seorang hamba bisa bersabar menghadapinya dan diberi taufik untuk mendapatkan hidayah. ثُمَّ دعَا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم قائلًا: “اللَّهمَّ زَيِّـنَّا بزينَةِ الإيمانِ”، أي: يا رَبِّ أسألُك أن تُثبِّتَنا على الإيمانِ، وأن تُرسِّخَه في قُلوبِنا، وتُجمِّلَنا به، “واجعَلْنا هُداةً مهتَدِين”، أي: اجعَلْنا هادِين إلى الدِّينِ هُداةً في أنفسِنا، ثابِتين على طريقِ الهُدى، والهِدايةِ واليَقينِ، نكونُ صالِحين لأنْ نَهديَ غيرَنا. Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdoa dengan mengatakan, “Allāhumma zayyinnā bizīnatil-īmāni … (artinya: Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman),” maknanya “Wahai Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau Meneguhkan kami di atas keimanan, Menguatkan keimanan itu dalam hati kami, dan Memperindah diri kami dengannya. “Waj`alna hudātan muhtadīn … (artinya: dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk),” maknanya: “Jadikan kami orang yang memberi petunjuk kepada agama Islam dan kami sendiri mendapatkan petunjuk itu, teguh pada jalan petunjuk, hidayah, dan keyakinan, sehingga kami layak menjadi orang yang bisa memberi petunjuk kepada orang lain.”  وفي الحَديثِ: بيانُ حِرصِ الصَّحابةِ رضِيَ اللهُ عنهم على الاقتِداءِ بالنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم. وفيه: التَّوسُّلُ إلى اللهِ في الدُّعاءِ بأسمائِه وصفاته .(مصدر الشرح: الدرر السنية) Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang semangat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dalam meneladani Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bertawasul kepada Allah ketika berdoa dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Sumber penjelasan: Durar as-Saniyyah) 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 493 times, 2 visit(s) today Post Views: 461 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kamu Pelit? Siap-Siap Dipasung Hartamu di Hari Kiamat – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #nasehatulama

“Dan milik Allah-lah segala warisan langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180). Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan berbagai perkara (dalam ayat ini). Dalam perkara-perkara tersebut, tidaklah pantas bagi manusia untuk kikir dan pelit dengan hartanya. Pertama, bahwa harta yang berada di tangannya adalah karunia dari Allah kepadanya. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 180). Maka Allahlah yang telah memberikan harta itu kepada mereka. Harta itu murni dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka. Allah telah berbuat baik terhadap mereka. Lantas, mengapa mereka tidak berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya? Sebagaimana yang dikatakan oleh kaumnya Qarun kepada Qarun, “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashas: 77). Kemudian, yang kedua: Allah berfirman, “Kelak harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180). Ini adalah ancaman yang keras bagi setiap orang yang kikir. Laa quwwata illaa billah. Kemudian, yang ketiga: Allah berfirman, “Dan milik Allah-lah warisan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 180). Bahwa harta yang engkau pelitkan dan engkau kikirkan itu pada akhirnya akan kau tinggalkan. Lalu orang lain akan mewarisinya. Dan orang yang mewarisinya juga akan meninggalkannya. Semua orang yang mewarisinya pun kelak akan meninggalkannya. Sehingga harta dan dunia seisinya akan kembali kepada siapa? Kembali kepada Sang Pewaris dan Sang Penciptanya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Kembali kepada Sang Pemiliknya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Maka, bagaimana mungkin engkau kikir terhadap sesuatu yang jika ia tidak meninggalkanmu, maka tetap saja engkau akan meninggalkannya? Betapa malangnya orang yang kikir ini! ==== وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أُمُورًا عَدِيدَةً لَا يَسُوغُ فِيهَا لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَبْخَلَ بِمَالِهِ وَيَشُحَّ بِهِ الْأَوَّلُ أَنَّ الْمَالَ الَّذِي بِيَدِهِ هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ فَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الَّذِي آتَاهُمْ إِيَّاهُ وَهَذَا مَحْضُ فَضْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَيْهِمْ وَقَدْ أَحْسَنَ عَلَيْهِمْ فَلِمَاذَا لَا يُحْسِنُونَ إِلَى عِبَادِهِ؟ كَمَا قَالَ قَوْمُ قَارُونَ لِقَارُونَ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ثُمَّ قَالَ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِكُلِّ بَخِيْلٍ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنَّ هَذَا الْمَالَ الَّذِي ضَنَنْتَ بِهِ وَبَخِلْتَ بِهِ سَوْفَ تَتْرُكُهُ وَيَرِثُهُ غَيْرُكَ وَالَّذِي يَرِثُهُ سَوْفَ يَتْرُكُهُ وَيَتْرُكُونَهُ جَمِيْعًا لِيَعُودَ الْمَالُ وَالدُّنْيَا كُلُّهَا إِلَى مَنْ؟ إِلَى وَارِثِهَا وَخَالِقِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَإِلَى مَالِكِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَكَيْف تَبْخَلُ بِشَيْءٍ إِنْ لَمْ يَتْرُكَّ مَاذَا؟ تَرَكْتَهُ مِسْكِينٌ هَذَا الْبَخِيلُ

Kamu Pelit? Siap-Siap Dipasung Hartamu di Hari Kiamat – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #nasehatulama

“Dan milik Allah-lah segala warisan langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180). Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan berbagai perkara (dalam ayat ini). Dalam perkara-perkara tersebut, tidaklah pantas bagi manusia untuk kikir dan pelit dengan hartanya. Pertama, bahwa harta yang berada di tangannya adalah karunia dari Allah kepadanya. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 180). Maka Allahlah yang telah memberikan harta itu kepada mereka. Harta itu murni dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka. Allah telah berbuat baik terhadap mereka. Lantas, mengapa mereka tidak berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya? Sebagaimana yang dikatakan oleh kaumnya Qarun kepada Qarun, “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashas: 77). Kemudian, yang kedua: Allah berfirman, “Kelak harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180). Ini adalah ancaman yang keras bagi setiap orang yang kikir. Laa quwwata illaa billah. Kemudian, yang ketiga: Allah berfirman, “Dan milik Allah-lah warisan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 180). Bahwa harta yang engkau pelitkan dan engkau kikirkan itu pada akhirnya akan kau tinggalkan. Lalu orang lain akan mewarisinya. Dan orang yang mewarisinya juga akan meninggalkannya. Semua orang yang mewarisinya pun kelak akan meninggalkannya. Sehingga harta dan dunia seisinya akan kembali kepada siapa? Kembali kepada Sang Pewaris dan Sang Penciptanya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Kembali kepada Sang Pemiliknya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Maka, bagaimana mungkin engkau kikir terhadap sesuatu yang jika ia tidak meninggalkanmu, maka tetap saja engkau akan meninggalkannya? Betapa malangnya orang yang kikir ini! ==== وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أُمُورًا عَدِيدَةً لَا يَسُوغُ فِيهَا لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَبْخَلَ بِمَالِهِ وَيَشُحَّ بِهِ الْأَوَّلُ أَنَّ الْمَالَ الَّذِي بِيَدِهِ هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ فَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الَّذِي آتَاهُمْ إِيَّاهُ وَهَذَا مَحْضُ فَضْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَيْهِمْ وَقَدْ أَحْسَنَ عَلَيْهِمْ فَلِمَاذَا لَا يُحْسِنُونَ إِلَى عِبَادِهِ؟ كَمَا قَالَ قَوْمُ قَارُونَ لِقَارُونَ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ثُمَّ قَالَ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِكُلِّ بَخِيْلٍ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنَّ هَذَا الْمَالَ الَّذِي ضَنَنْتَ بِهِ وَبَخِلْتَ بِهِ سَوْفَ تَتْرُكُهُ وَيَرِثُهُ غَيْرُكَ وَالَّذِي يَرِثُهُ سَوْفَ يَتْرُكُهُ وَيَتْرُكُونَهُ جَمِيْعًا لِيَعُودَ الْمَالُ وَالدُّنْيَا كُلُّهَا إِلَى مَنْ؟ إِلَى وَارِثِهَا وَخَالِقِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَإِلَى مَالِكِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَكَيْف تَبْخَلُ بِشَيْءٍ إِنْ لَمْ يَتْرُكَّ مَاذَا؟ تَرَكْتَهُ مِسْكِينٌ هَذَا الْبَخِيلُ
“Dan milik Allah-lah segala warisan langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180). Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan berbagai perkara (dalam ayat ini). Dalam perkara-perkara tersebut, tidaklah pantas bagi manusia untuk kikir dan pelit dengan hartanya. Pertama, bahwa harta yang berada di tangannya adalah karunia dari Allah kepadanya. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 180). Maka Allahlah yang telah memberikan harta itu kepada mereka. Harta itu murni dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka. Allah telah berbuat baik terhadap mereka. Lantas, mengapa mereka tidak berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya? Sebagaimana yang dikatakan oleh kaumnya Qarun kepada Qarun, “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashas: 77). Kemudian, yang kedua: Allah berfirman, “Kelak harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180). Ini adalah ancaman yang keras bagi setiap orang yang kikir. Laa quwwata illaa billah. Kemudian, yang ketiga: Allah berfirman, “Dan milik Allah-lah warisan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 180). Bahwa harta yang engkau pelitkan dan engkau kikirkan itu pada akhirnya akan kau tinggalkan. Lalu orang lain akan mewarisinya. Dan orang yang mewarisinya juga akan meninggalkannya. Semua orang yang mewarisinya pun kelak akan meninggalkannya. Sehingga harta dan dunia seisinya akan kembali kepada siapa? Kembali kepada Sang Pewaris dan Sang Penciptanya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Kembali kepada Sang Pemiliknya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Maka, bagaimana mungkin engkau kikir terhadap sesuatu yang jika ia tidak meninggalkanmu, maka tetap saja engkau akan meninggalkannya? Betapa malangnya orang yang kikir ini! ==== وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أُمُورًا عَدِيدَةً لَا يَسُوغُ فِيهَا لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَبْخَلَ بِمَالِهِ وَيَشُحَّ بِهِ الْأَوَّلُ أَنَّ الْمَالَ الَّذِي بِيَدِهِ هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ فَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الَّذِي آتَاهُمْ إِيَّاهُ وَهَذَا مَحْضُ فَضْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَيْهِمْ وَقَدْ أَحْسَنَ عَلَيْهِمْ فَلِمَاذَا لَا يُحْسِنُونَ إِلَى عِبَادِهِ؟ كَمَا قَالَ قَوْمُ قَارُونَ لِقَارُونَ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ثُمَّ قَالَ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِكُلِّ بَخِيْلٍ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنَّ هَذَا الْمَالَ الَّذِي ضَنَنْتَ بِهِ وَبَخِلْتَ بِهِ سَوْفَ تَتْرُكُهُ وَيَرِثُهُ غَيْرُكَ وَالَّذِي يَرِثُهُ سَوْفَ يَتْرُكُهُ وَيَتْرُكُونَهُ جَمِيْعًا لِيَعُودَ الْمَالُ وَالدُّنْيَا كُلُّهَا إِلَى مَنْ؟ إِلَى وَارِثِهَا وَخَالِقِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَإِلَى مَالِكِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَكَيْف تَبْخَلُ بِشَيْءٍ إِنْ لَمْ يَتْرُكَّ مَاذَا؟ تَرَكْتَهُ مِسْكِينٌ هَذَا الْبَخِيلُ


“Dan milik Allah-lah segala warisan langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180). Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan berbagai perkara (dalam ayat ini). Dalam perkara-perkara tersebut, tidaklah pantas bagi manusia untuk kikir dan pelit dengan hartanya. Pertama, bahwa harta yang berada di tangannya adalah karunia dari Allah kepadanya. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 180). Maka Allahlah yang telah memberikan harta itu kepada mereka. Harta itu murni dari karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka. Allah telah berbuat baik terhadap mereka. Lantas, mengapa mereka tidak berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya? Sebagaimana yang dikatakan oleh kaumnya Qarun kepada Qarun, “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashas: 77). Kemudian, yang kedua: Allah berfirman, “Kelak harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.” (QS. Ali Imran: 180). Ini adalah ancaman yang keras bagi setiap orang yang kikir. Laa quwwata illaa billah. Kemudian, yang ketiga: Allah berfirman, “Dan milik Allah-lah warisan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 180). Bahwa harta yang engkau pelitkan dan engkau kikirkan itu pada akhirnya akan kau tinggalkan. Lalu orang lain akan mewarisinya. Dan orang yang mewarisinya juga akan meninggalkannya. Semua orang yang mewarisinya pun kelak akan meninggalkannya. Sehingga harta dan dunia seisinya akan kembali kepada siapa? Kembali kepada Sang Pewaris dan Sang Penciptanya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Kembali kepada Sang Pemiliknya, Maha Suci Allah dan Maha Terpuji. Maka, bagaimana mungkin engkau kikir terhadap sesuatu yang jika ia tidak meninggalkanmu, maka tetap saja engkau akan meninggalkannya? Betapa malangnya orang yang kikir ini! ==== وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أُمُورًا عَدِيدَةً لَا يَسُوغُ فِيهَا لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَبْخَلَ بِمَالِهِ وَيَشُحَّ بِهِ الْأَوَّلُ أَنَّ الْمَالَ الَّذِي بِيَدِهِ هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ فَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الَّذِي آتَاهُمْ إِيَّاهُ وَهَذَا مَحْضُ فَضْلِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَيْهِمْ وَقَدْ أَحْسَنَ عَلَيْهِمْ فَلِمَاذَا لَا يُحْسِنُونَ إِلَى عِبَادِهِ؟ كَمَا قَالَ قَوْمُ قَارُونَ لِقَارُونَ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ثُمَّ قَالَ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ لِكُلِّ بَخِيْلٍ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنَّ هَذَا الْمَالَ الَّذِي ضَنَنْتَ بِهِ وَبَخِلْتَ بِهِ سَوْفَ تَتْرُكُهُ وَيَرِثُهُ غَيْرُكَ وَالَّذِي يَرِثُهُ سَوْفَ يَتْرُكُهُ وَيَتْرُكُونَهُ جَمِيْعًا لِيَعُودَ الْمَالُ وَالدُّنْيَا كُلُّهَا إِلَى مَنْ؟ إِلَى وَارِثِهَا وَخَالِقِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ وَإِلَى مَالِكِهَا سُبْحَانَهُ وَبِحَمْدِهِ فَكَيْف تَبْخَلُ بِشَيْءٍ إِنْ لَمْ يَتْرُكَّ مَاذَا؟ تَرَكْتَهُ مِسْكِينٌ هَذَا الْبَخِيلُ

Pokok dan Cabang Agama: Telaah Kritis terhadap Pembagian Ushul-Furu’

Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama. Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam AgamaSudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul.Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya. Ketidakteraturan dalam PembagianKalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini.Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.”Kemudian beliau menantang:“Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.”“Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.”“Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.”Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata:“Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.” Solusi: Pengaturan Ulang dan KetelitianNamun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting:Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’.Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya.Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata:“Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.”Juga dalam perkataan beliau:“Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.”Dan juga:“Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.”Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat. Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya:Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash.Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni.Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah.Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat).Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah:Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal.Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam,الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر“Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.”Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol Referensi: Islamway.net – 8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu

Pokok dan Cabang Agama: Telaah Kritis terhadap Pembagian Ushul-Furu’

Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama. Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam AgamaSudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul.Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya. Ketidakteraturan dalam PembagianKalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini.Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.”Kemudian beliau menantang:“Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.”“Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.”“Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.”Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata:“Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.” Solusi: Pengaturan Ulang dan KetelitianNamun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting:Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’.Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya.Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata:“Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.”Juga dalam perkataan beliau:“Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.”Dan juga:“Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.”Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat. Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya:Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash.Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni.Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah.Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat).Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah:Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal.Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam,الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر“Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.”Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol Referensi: Islamway.net – 8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu
Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama. Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam AgamaSudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul.Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya. Ketidakteraturan dalam PembagianKalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini.Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.”Kemudian beliau menantang:“Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.”“Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.”“Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.”Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata:“Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.” Solusi: Pengaturan Ulang dan KetelitianNamun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting:Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’.Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya.Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata:“Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.”Juga dalam perkataan beliau:“Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.”Dan juga:“Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.”Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat. Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya:Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash.Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni.Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah.Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat).Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah:Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal.Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam,الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر“Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.”Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol Referensi: Islamway.net – 8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu


Dalam kajian Islam, istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) sering digunakan untuk membedakan antara perkara yang dianggap utama dan yang bersifat turunan. Namun, pembagian ini kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan vonis kafir atau tidaknya seseorang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa yang menjadi ushul adalah perkara-perkara besar, baik dalam keyakinan maupun amalan, sedangkan yang furu’ adalah perkara-perkara yang lebih rinci. Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk lebih bijak dalam menilai setiap masalah agama, agar tidak gegabah dalam menetapkan hukum atas sesama. Mengkritisi Pembagian Ushul dan Furu’ dalam AgamaSudah menjadi kebiasaan banyak ulama untuk membedakan antara sebagian masalah dalam agama yang mereka anggap sebagai ushul (pokok-pokok agama), dan sebagian lainnya yang dianggap sebagai furu’ (cabang). Berdasarkan pembagian ini, mereka membangun hukum bolehnya seseorang dimaafkan bila keliru dalam masalah furu’, tetapi tidak bisa dimaafkan bila salah dalam ushul.Pembagian ini juga diterapkan dalam disiplin ilmu syariat: ilmu akidah dan ilmu ushul dianggap sebagai ushul, sementara ilmu fikih dianggap sebagai furu’. Hal ini menyebabkan sebagian ulama mengingkari pembagian ini dan bahkan mengkritik keras implikasinya. Ketidakteraturan dalam PembagianKalau diperhatikan, pembagian antara ushul dan furu’, baik dalam masalah agama maupun dalam cabang ilmu syar’i, ternyata tidak konsisten bahkan di kalangan mereka yang mendukungnya. Oleh karena itu, sebagian ulama menolak dan mengkritik keras pembagian ini.Di antara ulama paling tegas dalam menolak pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:“Adapun perbedaan antara jenis yang disebut sebagai masalah ushul dan jenis lain yang disebut sebagai masalah furu’, maka pembagian ini tidak memiliki dasar dari para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini justru berasal dari kaum Mu’tazilah dan sejenis mereka dari kalangan ahli bid’ah. Dari merekalah pembagian ini diambil oleh sebagian fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Padahal ini adalah pembagian yang saling bertentangan.”Kemudian beliau menantang:“Bagi yang membedakan dua jenis ini, tolong jelaskan batasan masalah ushul yang menyebabkan kekafiran jika seseorang salah di dalamnya? Dan apa pembeda yang jelas antara ushul dan furu’? Jika mereka berkata: ‘Masalah ushul adalah masalah akidah, sedangkan furu’ adalah masalah amaliah,’ maka katakan kepada mereka: Banyak perbedaan pendapat tentang apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya atau tidak, apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau sebaliknya, serta berbagai makna ayat dan keshahihan hadits – ini semua adalah masalah akidah ilmiah, tetapi para ulama sepakat tidak ada kekafiran di dalamnya.”“Sebaliknya, kewajiban shalat, zakat, puasa, serta haramnya zina dan khamar adalah masalah amaliah. Namun siapa yang mengingkarinya, maka dihukumi kafir oleh kesepakatan ulama.”“Jika mereka berkata bahwa ushul adalah masalah-masalah yang qath’i (pasti), maka dijawab: Banyak masalah amaliah yang qath’i, dan banyak masalah ilmu (akidah) yang tidak qath’i. Lagi pula, qath’i dan zhanni (dugaan) itu sifatnya relatif. Bisa jadi suatu masalah menjadi qath’i bagi seseorang karena dalilnya sangat jelas baginya, namun tidak demikian bagi orang lain yang tidak tahu dalilnya atau tidak sampai dalil tersebut kepadanya.”Ibnu Qayyim rahimahullah juga berkata:“Mereka membagi agama ke dalam masalah ilmiah dan amaliah, lalu menamainya ushul dan furu’. Mereka berkata bahwa kebenaran dalam masalah ushul itu satu, siapa yang menyelisihinya maka kafir atau fasik. Sedangkan dalam masalah furu’, tidak ada satu hukum tertentu dari Allah, bahkan setiap mujtahid pasti benar dan semua pendapat benar menurut Allah. Pembagian seperti ini, kalau hanya sekadar istilah, tidak bisa membedakan antara yang mereka namakan ushul dan furu’. Apalagi mereka menetapkan hukum-hukum berdasarkan akal dan opini mereka, seperti membolehkan menetapkan furu’ dengan khabar ahad tetapi tidak untuk ushul. Ini semua tidak ada dasarnya dalam syariat, maka wajib ditinggalkan.” Solusi: Pengaturan Ulang dan KetelitianNamun jika ditelaah lebih dalam, pembagian antara ushul dan furu’ tidak bisa ditolak sepenuhnya. Ia bisa dibenarkan bila memenuhi dua syarat penting:Membuat batasan yang benar secara syar’i dalam membedakan antara ushul dan furu’.Meneliti secara ilmiah setiap hukum yang dibangun di atas keduanya.Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri ternyata terkadang menggunakan istilah “ushuluddin” dan “furu’uddin”, tetapi tidak dalam pengertian yang digunakan oleh ahli kalam. Misalnya, beliau berkata:“Jika kamu tahu bahwa istilah ‘ushuluddin’ sebagaimana dikenal oleh para pengucapnya itu ambigu dan tidak tegas… maka yang dimaksud sebagai ushuluddin menurut Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman adalah yang diwariskan dari Rasulullah.”Juga dalam perkataan beliau:“Banyak imam mazhab dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan sufi — meskipun mereka dalam furu’ mengikuti salah satu imam — tetap berkata bahwa dalam ushul atau dalam sunnah, mereka mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.”Dan juga:“Metode Al-Qur’an dalam membahas ushul dan furu’ adalah dengan pendekatan yang paling sempurna dalam hal dalil dan isi kandungan.”Maka, selama pembagian ini memiliki batasan yang jelas dan tidak dijadikan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti takfir dan tafsiq, maka pembagian tersebut bisa diterima sebagai istilah teknis saja, bukan sebagai dasar hukum syariat. Contoh Cara Membagi: Mana Ushul, Mana Furu’Para ulama pernah mengusulkan beberapa cara untuk membedakan antara ushul dan furu’, di antaranya:Ushul adalah hal yang rasional, furu’ adalah yang berdalil nash.Ushul berdalil qath’i, furu’ berdalil zhanni.Ushul bersifat ilmiah, furu’ bersifat amaliah.Ushul adalah permintaan (thalabiyat), furu’ adalah informasi (khabariyat).Namun semua pendekatan ini menuai kritik, karena masing-masing punya kelemahan. Oleh sebab itu, pendapat yang lebih kuat adalah:Setiap hal yang besar dan mendasar adalah bagian dari ushul, sedangkan yang lebih rinci dan mendalam adalah bagian dari furu’, baik itu dalam bidang ilmu maupun amal.Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam,الحق أن الجليل من كل واحد من الصنفين – العلمي والعملي – مسائل أصول، والدقيق مسائل فروع. فالعلم بالواجبات كمباني الإسلام الخمس، وتحريم المحرمات الظاهرة المتواترة، كالعلم بأن الله على كل شيء قدير وبكل شيء عليم، وأنه سميع بصير، وأن القرآن كلام الله، ونحو ذلك من القضايا الظاهرة المتواترة، ولهذا من جحد تلك الأحكام العملية المجمع عليها كفر، كما أن من جحد هذه كفر“Yang benar, bahwa perkara-perkara besar dari kedua jenis – baik yang bersifat ilmiah (keyakinan) maupun amaliah (perbuatan) – termasuk dalam kategori ushul (pokok agama), sedangkan perkara-perkara rinci adalah furu’ (cabang). Maka pengetahuan tentang kewajiban seperti rukun Islam yang lima, dan pengharaman terhadap dosa-dosa besar yang nyata dan telah diketahui secara luas, serta keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah), dan semacamnya – semua itu termasuk perkara besar yang telah tersebar luas dan diketahui secara mutawatir. Oleh karena itu, siapa yang mengingkari hukum-hukum amaliah yang telah disepakati ini, maka ia dihukumi kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara-perkara keyakinan tersebut juga dihukumi kafir.”Baca juga: Bahaya Minuman Beralkohol Referensi: Islamway.net – 8 Dzulqa’dah 1446 H, bertepatan dengan 5 Mei 2025, @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com TagsAkidah akidah salaf ilmu ushul pentingnya akidah prinsip akidah ushul dan furu

Hukum Asuransi Sosial

Daftar Isi ToggleDefinisi asuransi sosialModel asuransi sosialAsuransi sosialAsuransi pensiunAsuransi kesehatanHukum asuransi sosialSyarat-syarat asuransi sosialDefinisi asuransi sosialTelah diketahui bahwasanya terdapat beragam bentuk atau jenis dari asuransi. Mulai dari asuransi ta’awun, asuransi sosial, asuransi komersil, asuransi kecelakaan, dan asuransi-asuransi yang lainnya. Sejatinya, asuransi yang sejalan dengan syariat Islam adalah asuransi yang dibangun di atas prinsip ta’aawun (tolong-menolong), membantu sesama, dan gotong royong. Hal ini tentunya sebagai bentuk implementasi dari firman Allah Ta’ala,وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ“… Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)Dan juga bentuk implementasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا“Orang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk saling menolong antara sesama muslim. Tentunya, sangat banyak manfaat yang diperoleh dari tolong-menolong tersebut.Asuransi sosial, yang dalam bahasa Arab disebut dengan التأمين الإجتماعي (at-ta’miin al-ijtima’i), adalah salah satu dari jenis asuransi yang berkembang dengan beragam bentuknya. Sejatinya, asuransi dengan model seperti ini tidak jauh berbeda dengan asuransi yang bersifat ta’awun.Jika dilihat dari definisi, asuransi sosial adalah,هو التأمين الذي تقوم به الدولة وتشرف عليه بغير قصد الربح“Yaitu jenis asuransi yang diselenggarakan dan diawasi oleh negara tanpa adanya tujuan untuk mengambil keuntungan.” [1]Oleh karena itu, asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat. [2]Asuransi sosial sendiri memiliki berbagai macam model dan bentuk, yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu asuransi berupa kerugian dan jiwa. Dari kedua jenis ini, terbagi lagi menjadi beberapa macam model.Model asuransi sosial Dari dua jenis di atas, model asuransi sosial menjadi beragam. Berikut di antaranya,Asuransi sosialMerupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai apabila ia mengalami kecelakaan, sakit, cacat, disabilitas, atau ketika sudah mencapai usia tua. Dengan imbalan tentunya berupa pemotongan gaji setiap bulannya, atau iuran yang dikeluarkan.Asuransi pensiunBiasanya, dana pensiun diambil dari iuran tiap bulan atau kurun waktu tertentu sebagai bentuk asuransi atas berakhirnya masa kerja, untuk di kemudian hari diberikan ketika masa kerja sudah berakhir atau setelah bekerja selama periode tertentu. Hal ini berbeda tentunya antara kebijakan satu perusahaan dengan perusahaan yang lain.Asuransi kesehatanYaitu bentuk dari salah satu asuransi sosial, di mana negara menanggung biaya pengobatan yang dibutuhkan oleh pegawai yang sakit dan pegawai membayar iuran tiap bulannya.Dan asuransi-asuransi lainnya, di mana semua asuransi ini dikelola oleh negara, bukan oleh suatu perusahaan atau atas nama pribadi. Sehingga negaralah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelolanya.Biasanya, asuransi dengan bentuk seperti ini hukumnya diwajibkan oleh suatu negara. Bahkan menjadi kebijakan utamanya, karena hal ini kembali untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan masyarakat pada suatu negara.Dalam pembayaran asuransi ini, pekerja, pemberi kerja, dan negara umumnya ikut berkontribusi untuk keberlangsungan asuransi sosial ini. Bahkan negara memberikan lebih dari porsi yang seharusnya dibandingkan pihak yang dijaminkannya.Hukum asuransi sosialTentunya, sudah dapat dipahami bahwa asuransi sosial sejatinya hukumnya boleh dan mubah. Bahkan mayoritas ulama di zaman ini berfatwa akan bolehnya jenis asuransi sosial yang semacam ini. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus terpenuhi.Perlu diketahui alasan mengapa asuransi sosial ini diperbolehkan [3],Pertama, asuransi sosial ini murni sama sekali tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan. Keuntungan itu justru kembali kepada para pegawai atau yang ikut serta pada asuransi ini. Berbeda halnya dengan asuransi komersil yang tujuan utamanya adalah untuk mengambil keuntungan, yang tentunya sangat sulit jika tujuannya demikian untuk terlepas dari jeratan riba, gharar, dan perjudian.Kedua, asuransi sosial sejatinya termasuk dari kewajiban yang dibebankan kepada negara untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Terlebih jika usia mereka sudah lanjut usia dan sakit. Tentu kebijakan seperti ini sangat membantu rakyatnya untuk menghadapi kesulitan, sehingga timbullah maslahat dari hal tersebut. Oleh karena itu, tambahan nominal yang diberikan oleh negara sejatinya bukanlah suatu jenis dari riba ataupun gharar. Bahkan hal itu merupakan suatu kewajiban.Ketiga, asuransi sosial sejatinya hampir sama dengan asuransi ta’awun (tolong-menolong) yang diperbolehkan atas dasar kesepakatan para ulama. Karena hubungan antara rakyat dan negara sifatnya adalah ta’aawun (tolong-menolong), bukan untuk saling mengambil keuntungan. Sehingga tercapailah tujuan utama dari pengadaan asuransi sosial, yaitu kemaslahatan bersama. Bukan untuk kemaslahatan pribadi, terlebih lagi kemaslahatan suatu perusahaan.Syarat-syarat asuransi sosial Di antara syarat yang paling penting dalam asuransi sosial ini adalah:(1) Tujuan utama dalam asuransi sosial ini adalah tolong-menolong, bukan untuk mengambil keuntungan pribadi.(2) Dikelola oleh negara, bukan pribadi atau perusahaan tertentu.(3) Dikelola secara amanah, karena dana yang dikelola adalah dana masyarakat, bukan milik pribadi.(4) Tidak ada unsur riba, gharar, dan perjudian.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asuransi Dalam Timbangan Syariat***Depok, 1 Dzulqa’dah 1446H / 29 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:(1) Secara umum, pembahasan ini diringkas dari website: https://islamqa.info/ar/answers/243216 dan risalah doktoral Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, karya Dr. Ahmad bin Hamd.(2) ‘Aqdu At-Ta’min At-Tijariy Litta’widh ‘An Adh-Dhoror, karya Dr. Muhammad bin Hasan bin Abdul Aziz Alu Syekh.dan beberapa referensi lainnya Catatan kaki:[1] https://islamqa.info/ar/answers/243216[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_sosial[3] Diringkas dari Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, hal. 181; dan website islamqa.info

Hukum Asuransi Sosial

Daftar Isi ToggleDefinisi asuransi sosialModel asuransi sosialAsuransi sosialAsuransi pensiunAsuransi kesehatanHukum asuransi sosialSyarat-syarat asuransi sosialDefinisi asuransi sosialTelah diketahui bahwasanya terdapat beragam bentuk atau jenis dari asuransi. Mulai dari asuransi ta’awun, asuransi sosial, asuransi komersil, asuransi kecelakaan, dan asuransi-asuransi yang lainnya. Sejatinya, asuransi yang sejalan dengan syariat Islam adalah asuransi yang dibangun di atas prinsip ta’aawun (tolong-menolong), membantu sesama, dan gotong royong. Hal ini tentunya sebagai bentuk implementasi dari firman Allah Ta’ala,وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ“… Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)Dan juga bentuk implementasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا“Orang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk saling menolong antara sesama muslim. Tentunya, sangat banyak manfaat yang diperoleh dari tolong-menolong tersebut.Asuransi sosial, yang dalam bahasa Arab disebut dengan التأمين الإجتماعي (at-ta’miin al-ijtima’i), adalah salah satu dari jenis asuransi yang berkembang dengan beragam bentuknya. Sejatinya, asuransi dengan model seperti ini tidak jauh berbeda dengan asuransi yang bersifat ta’awun.Jika dilihat dari definisi, asuransi sosial adalah,هو التأمين الذي تقوم به الدولة وتشرف عليه بغير قصد الربح“Yaitu jenis asuransi yang diselenggarakan dan diawasi oleh negara tanpa adanya tujuan untuk mengambil keuntungan.” [1]Oleh karena itu, asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat. [2]Asuransi sosial sendiri memiliki berbagai macam model dan bentuk, yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu asuransi berupa kerugian dan jiwa. Dari kedua jenis ini, terbagi lagi menjadi beberapa macam model.Model asuransi sosial Dari dua jenis di atas, model asuransi sosial menjadi beragam. Berikut di antaranya,Asuransi sosialMerupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai apabila ia mengalami kecelakaan, sakit, cacat, disabilitas, atau ketika sudah mencapai usia tua. Dengan imbalan tentunya berupa pemotongan gaji setiap bulannya, atau iuran yang dikeluarkan.Asuransi pensiunBiasanya, dana pensiun diambil dari iuran tiap bulan atau kurun waktu tertentu sebagai bentuk asuransi atas berakhirnya masa kerja, untuk di kemudian hari diberikan ketika masa kerja sudah berakhir atau setelah bekerja selama periode tertentu. Hal ini berbeda tentunya antara kebijakan satu perusahaan dengan perusahaan yang lain.Asuransi kesehatanYaitu bentuk dari salah satu asuransi sosial, di mana negara menanggung biaya pengobatan yang dibutuhkan oleh pegawai yang sakit dan pegawai membayar iuran tiap bulannya.Dan asuransi-asuransi lainnya, di mana semua asuransi ini dikelola oleh negara, bukan oleh suatu perusahaan atau atas nama pribadi. Sehingga negaralah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelolanya.Biasanya, asuransi dengan bentuk seperti ini hukumnya diwajibkan oleh suatu negara. Bahkan menjadi kebijakan utamanya, karena hal ini kembali untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan masyarakat pada suatu negara.Dalam pembayaran asuransi ini, pekerja, pemberi kerja, dan negara umumnya ikut berkontribusi untuk keberlangsungan asuransi sosial ini. Bahkan negara memberikan lebih dari porsi yang seharusnya dibandingkan pihak yang dijaminkannya.Hukum asuransi sosialTentunya, sudah dapat dipahami bahwa asuransi sosial sejatinya hukumnya boleh dan mubah. Bahkan mayoritas ulama di zaman ini berfatwa akan bolehnya jenis asuransi sosial yang semacam ini. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus terpenuhi.Perlu diketahui alasan mengapa asuransi sosial ini diperbolehkan [3],Pertama, asuransi sosial ini murni sama sekali tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan. Keuntungan itu justru kembali kepada para pegawai atau yang ikut serta pada asuransi ini. Berbeda halnya dengan asuransi komersil yang tujuan utamanya adalah untuk mengambil keuntungan, yang tentunya sangat sulit jika tujuannya demikian untuk terlepas dari jeratan riba, gharar, dan perjudian.Kedua, asuransi sosial sejatinya termasuk dari kewajiban yang dibebankan kepada negara untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Terlebih jika usia mereka sudah lanjut usia dan sakit. Tentu kebijakan seperti ini sangat membantu rakyatnya untuk menghadapi kesulitan, sehingga timbullah maslahat dari hal tersebut. Oleh karena itu, tambahan nominal yang diberikan oleh negara sejatinya bukanlah suatu jenis dari riba ataupun gharar. Bahkan hal itu merupakan suatu kewajiban.Ketiga, asuransi sosial sejatinya hampir sama dengan asuransi ta’awun (tolong-menolong) yang diperbolehkan atas dasar kesepakatan para ulama. Karena hubungan antara rakyat dan negara sifatnya adalah ta’aawun (tolong-menolong), bukan untuk saling mengambil keuntungan. Sehingga tercapailah tujuan utama dari pengadaan asuransi sosial, yaitu kemaslahatan bersama. Bukan untuk kemaslahatan pribadi, terlebih lagi kemaslahatan suatu perusahaan.Syarat-syarat asuransi sosial Di antara syarat yang paling penting dalam asuransi sosial ini adalah:(1) Tujuan utama dalam asuransi sosial ini adalah tolong-menolong, bukan untuk mengambil keuntungan pribadi.(2) Dikelola oleh negara, bukan pribadi atau perusahaan tertentu.(3) Dikelola secara amanah, karena dana yang dikelola adalah dana masyarakat, bukan milik pribadi.(4) Tidak ada unsur riba, gharar, dan perjudian.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asuransi Dalam Timbangan Syariat***Depok, 1 Dzulqa’dah 1446H / 29 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:(1) Secara umum, pembahasan ini diringkas dari website: https://islamqa.info/ar/answers/243216 dan risalah doktoral Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, karya Dr. Ahmad bin Hamd.(2) ‘Aqdu At-Ta’min At-Tijariy Litta’widh ‘An Adh-Dhoror, karya Dr. Muhammad bin Hasan bin Abdul Aziz Alu Syekh.dan beberapa referensi lainnya Catatan kaki:[1] https://islamqa.info/ar/answers/243216[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_sosial[3] Diringkas dari Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, hal. 181; dan website islamqa.info
Daftar Isi ToggleDefinisi asuransi sosialModel asuransi sosialAsuransi sosialAsuransi pensiunAsuransi kesehatanHukum asuransi sosialSyarat-syarat asuransi sosialDefinisi asuransi sosialTelah diketahui bahwasanya terdapat beragam bentuk atau jenis dari asuransi. Mulai dari asuransi ta’awun, asuransi sosial, asuransi komersil, asuransi kecelakaan, dan asuransi-asuransi yang lainnya. Sejatinya, asuransi yang sejalan dengan syariat Islam adalah asuransi yang dibangun di atas prinsip ta’aawun (tolong-menolong), membantu sesama, dan gotong royong. Hal ini tentunya sebagai bentuk implementasi dari firman Allah Ta’ala,وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ“… Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)Dan juga bentuk implementasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا“Orang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk saling menolong antara sesama muslim. Tentunya, sangat banyak manfaat yang diperoleh dari tolong-menolong tersebut.Asuransi sosial, yang dalam bahasa Arab disebut dengan التأمين الإجتماعي (at-ta’miin al-ijtima’i), adalah salah satu dari jenis asuransi yang berkembang dengan beragam bentuknya. Sejatinya, asuransi dengan model seperti ini tidak jauh berbeda dengan asuransi yang bersifat ta’awun.Jika dilihat dari definisi, asuransi sosial adalah,هو التأمين الذي تقوم به الدولة وتشرف عليه بغير قصد الربح“Yaitu jenis asuransi yang diselenggarakan dan diawasi oleh negara tanpa adanya tujuan untuk mengambil keuntungan.” [1]Oleh karena itu, asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat. [2]Asuransi sosial sendiri memiliki berbagai macam model dan bentuk, yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu asuransi berupa kerugian dan jiwa. Dari kedua jenis ini, terbagi lagi menjadi beberapa macam model.Model asuransi sosial Dari dua jenis di atas, model asuransi sosial menjadi beragam. Berikut di antaranya,Asuransi sosialMerupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai apabila ia mengalami kecelakaan, sakit, cacat, disabilitas, atau ketika sudah mencapai usia tua. Dengan imbalan tentunya berupa pemotongan gaji setiap bulannya, atau iuran yang dikeluarkan.Asuransi pensiunBiasanya, dana pensiun diambil dari iuran tiap bulan atau kurun waktu tertentu sebagai bentuk asuransi atas berakhirnya masa kerja, untuk di kemudian hari diberikan ketika masa kerja sudah berakhir atau setelah bekerja selama periode tertentu. Hal ini berbeda tentunya antara kebijakan satu perusahaan dengan perusahaan yang lain.Asuransi kesehatanYaitu bentuk dari salah satu asuransi sosial, di mana negara menanggung biaya pengobatan yang dibutuhkan oleh pegawai yang sakit dan pegawai membayar iuran tiap bulannya.Dan asuransi-asuransi lainnya, di mana semua asuransi ini dikelola oleh negara, bukan oleh suatu perusahaan atau atas nama pribadi. Sehingga negaralah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelolanya.Biasanya, asuransi dengan bentuk seperti ini hukumnya diwajibkan oleh suatu negara. Bahkan menjadi kebijakan utamanya, karena hal ini kembali untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan masyarakat pada suatu negara.Dalam pembayaran asuransi ini, pekerja, pemberi kerja, dan negara umumnya ikut berkontribusi untuk keberlangsungan asuransi sosial ini. Bahkan negara memberikan lebih dari porsi yang seharusnya dibandingkan pihak yang dijaminkannya.Hukum asuransi sosialTentunya, sudah dapat dipahami bahwa asuransi sosial sejatinya hukumnya boleh dan mubah. Bahkan mayoritas ulama di zaman ini berfatwa akan bolehnya jenis asuransi sosial yang semacam ini. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus terpenuhi.Perlu diketahui alasan mengapa asuransi sosial ini diperbolehkan [3],Pertama, asuransi sosial ini murni sama sekali tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan. Keuntungan itu justru kembali kepada para pegawai atau yang ikut serta pada asuransi ini. Berbeda halnya dengan asuransi komersil yang tujuan utamanya adalah untuk mengambil keuntungan, yang tentunya sangat sulit jika tujuannya demikian untuk terlepas dari jeratan riba, gharar, dan perjudian.Kedua, asuransi sosial sejatinya termasuk dari kewajiban yang dibebankan kepada negara untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Terlebih jika usia mereka sudah lanjut usia dan sakit. Tentu kebijakan seperti ini sangat membantu rakyatnya untuk menghadapi kesulitan, sehingga timbullah maslahat dari hal tersebut. Oleh karena itu, tambahan nominal yang diberikan oleh negara sejatinya bukanlah suatu jenis dari riba ataupun gharar. Bahkan hal itu merupakan suatu kewajiban.Ketiga, asuransi sosial sejatinya hampir sama dengan asuransi ta’awun (tolong-menolong) yang diperbolehkan atas dasar kesepakatan para ulama. Karena hubungan antara rakyat dan negara sifatnya adalah ta’aawun (tolong-menolong), bukan untuk saling mengambil keuntungan. Sehingga tercapailah tujuan utama dari pengadaan asuransi sosial, yaitu kemaslahatan bersama. Bukan untuk kemaslahatan pribadi, terlebih lagi kemaslahatan suatu perusahaan.Syarat-syarat asuransi sosial Di antara syarat yang paling penting dalam asuransi sosial ini adalah:(1) Tujuan utama dalam asuransi sosial ini adalah tolong-menolong, bukan untuk mengambil keuntungan pribadi.(2) Dikelola oleh negara, bukan pribadi atau perusahaan tertentu.(3) Dikelola secara amanah, karena dana yang dikelola adalah dana masyarakat, bukan milik pribadi.(4) Tidak ada unsur riba, gharar, dan perjudian.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asuransi Dalam Timbangan Syariat***Depok, 1 Dzulqa’dah 1446H / 29 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:(1) Secara umum, pembahasan ini diringkas dari website: https://islamqa.info/ar/answers/243216 dan risalah doktoral Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, karya Dr. Ahmad bin Hamd.(2) ‘Aqdu At-Ta’min At-Tijariy Litta’widh ‘An Adh-Dhoror, karya Dr. Muhammad bin Hasan bin Abdul Aziz Alu Syekh.dan beberapa referensi lainnya Catatan kaki:[1] https://islamqa.info/ar/answers/243216[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_sosial[3] Diringkas dari Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, hal. 181; dan website islamqa.info


Daftar Isi ToggleDefinisi asuransi sosialModel asuransi sosialAsuransi sosialAsuransi pensiunAsuransi kesehatanHukum asuransi sosialSyarat-syarat asuransi sosialDefinisi asuransi sosialTelah diketahui bahwasanya terdapat beragam bentuk atau jenis dari asuransi. Mulai dari asuransi ta’awun, asuransi sosial, asuransi komersil, asuransi kecelakaan, dan asuransi-asuransi yang lainnya. Sejatinya, asuransi yang sejalan dengan syariat Islam adalah asuransi yang dibangun di atas prinsip ta’aawun (tolong-menolong), membantu sesama, dan gotong royong. Hal ini tentunya sebagai bentuk implementasi dari firman Allah Ta’ala,وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ“… Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)Dan juga bentuk implementasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا“Orang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)Demikianlah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk saling menolong antara sesama muslim. Tentunya, sangat banyak manfaat yang diperoleh dari tolong-menolong tersebut.Asuransi sosial, yang dalam bahasa Arab disebut dengan التأمين الإجتماعي (at-ta’miin al-ijtima’i), adalah salah satu dari jenis asuransi yang berkembang dengan beragam bentuknya. Sejatinya, asuransi dengan model seperti ini tidak jauh berbeda dengan asuransi yang bersifat ta’awun.Jika dilihat dari definisi, asuransi sosial adalah,هو التأمين الذي تقوم به الدولة وتشرف عليه بغير قصد الربح“Yaitu jenis asuransi yang diselenggarakan dan diawasi oleh negara tanpa adanya tujuan untuk mengambil keuntungan.” [1]Oleh karena itu, asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat. [2]Asuransi sosial sendiri memiliki berbagai macam model dan bentuk, yang secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu asuransi berupa kerugian dan jiwa. Dari kedua jenis ini, terbagi lagi menjadi beberapa macam model.Model asuransi sosial Dari dua jenis di atas, model asuransi sosial menjadi beragam. Berikut di antaranya,Asuransi sosialMerupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai apabila ia mengalami kecelakaan, sakit, cacat, disabilitas, atau ketika sudah mencapai usia tua. Dengan imbalan tentunya berupa pemotongan gaji setiap bulannya, atau iuran yang dikeluarkan.Asuransi pensiunBiasanya, dana pensiun diambil dari iuran tiap bulan atau kurun waktu tertentu sebagai bentuk asuransi atas berakhirnya masa kerja, untuk di kemudian hari diberikan ketika masa kerja sudah berakhir atau setelah bekerja selama periode tertentu. Hal ini berbeda tentunya antara kebijakan satu perusahaan dengan perusahaan yang lain.Asuransi kesehatanYaitu bentuk dari salah satu asuransi sosial, di mana negara menanggung biaya pengobatan yang dibutuhkan oleh pegawai yang sakit dan pegawai membayar iuran tiap bulannya.Dan asuransi-asuransi lainnya, di mana semua asuransi ini dikelola oleh negara, bukan oleh suatu perusahaan atau atas nama pribadi. Sehingga negaralah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelolanya.Biasanya, asuransi dengan bentuk seperti ini hukumnya diwajibkan oleh suatu negara. Bahkan menjadi kebijakan utamanya, karena hal ini kembali untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan masyarakat pada suatu negara.Dalam pembayaran asuransi ini, pekerja, pemberi kerja, dan negara umumnya ikut berkontribusi untuk keberlangsungan asuransi sosial ini. Bahkan negara memberikan lebih dari porsi yang seharusnya dibandingkan pihak yang dijaminkannya.Hukum asuransi sosialTentunya, sudah dapat dipahami bahwa asuransi sosial sejatinya hukumnya boleh dan mubah. Bahkan mayoritas ulama di zaman ini berfatwa akan bolehnya jenis asuransi sosial yang semacam ini. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus terpenuhi.Perlu diketahui alasan mengapa asuransi sosial ini diperbolehkan [3],Pertama, asuransi sosial ini murni sama sekali tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan. Keuntungan itu justru kembali kepada para pegawai atau yang ikut serta pada asuransi ini. Berbeda halnya dengan asuransi komersil yang tujuan utamanya adalah untuk mengambil keuntungan, yang tentunya sangat sulit jika tujuannya demikian untuk terlepas dari jeratan riba, gharar, dan perjudian.Kedua, asuransi sosial sejatinya termasuk dari kewajiban yang dibebankan kepada negara untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Terlebih jika usia mereka sudah lanjut usia dan sakit. Tentu kebijakan seperti ini sangat membantu rakyatnya untuk menghadapi kesulitan, sehingga timbullah maslahat dari hal tersebut. Oleh karena itu, tambahan nominal yang diberikan oleh negara sejatinya bukanlah suatu jenis dari riba ataupun gharar. Bahkan hal itu merupakan suatu kewajiban.Ketiga, asuransi sosial sejatinya hampir sama dengan asuransi ta’awun (tolong-menolong) yang diperbolehkan atas dasar kesepakatan para ulama. Karena hubungan antara rakyat dan negara sifatnya adalah ta’aawun (tolong-menolong), bukan untuk saling mengambil keuntungan. Sehingga tercapailah tujuan utama dari pengadaan asuransi sosial, yaitu kemaslahatan bersama. Bukan untuk kemaslahatan pribadi, terlebih lagi kemaslahatan suatu perusahaan.Syarat-syarat asuransi sosial Di antara syarat yang paling penting dalam asuransi sosial ini adalah:(1) Tujuan utama dalam asuransi sosial ini adalah tolong-menolong, bukan untuk mengambil keuntungan pribadi.(2) Dikelola oleh negara, bukan pribadi atau perusahaan tertentu.(3) Dikelola secara amanah, karena dana yang dikelola adalah dana masyarakat, bukan milik pribadi.(4) Tidak ada unsur riba, gharar, dan perjudian.Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.Baca juga: Asuransi Dalam Timbangan Syariat***Depok, 1 Dzulqa’dah 1446H / 29 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:(1) Secara umum, pembahasan ini diringkas dari website: https://islamqa.info/ar/answers/243216 dan risalah doktoral Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, karya Dr. Ahmad bin Hamd.(2) ‘Aqdu At-Ta’min At-Tijariy Litta’widh ‘An Adh-Dhoror, karya Dr. Muhammad bin Hasan bin Abdul Aziz Alu Syekh.dan beberapa referensi lainnya Catatan kaki:[1] https://islamqa.info/ar/answers/243216[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_sosial[3] Diringkas dari Al-Ahkam At-Tabi’iyyah Li’uqudi At-Ta’min, hal. 181; dan website islamqa.info

Sudah Tobat & Hijrah tapi Masih Goyah? Ini 4 Cara Biar Nggak Tumbang Imanmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa saja sebab-sebab keteguhan dalam agama (istiqamah)? [PERTAMA]Di antara sebab keteguhan yang paling agung adalah engkau berdoa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diteguhkan. Engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari, agar Allah Ta’ala meneguhkanmu dengan ucapan yang teguh (yaitu 2 kalimat syahadat) di dunia dan di akhirat. Engkau juga memperbanyak doa ini: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK(Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). YAA MUSHORRIFAL QULUUB SHORRIF QOLBII ‘ALAA THOO-’ATIK(Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu). ROBBI LAA TUZIGH QOLBII BA’DA IDZ HADAITANII WAHAB LII MIN LADUNKA ROHMATAN INNAKA ANTAL WAHHAAB(Anugerahkanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi. Wahai Tuhanku, janganlah Engkau palingkan hatiku setelah Engkau beri petunjuk). Perbanyaklah membaca doa tersebut! Apabila seorang hamba memperbanyak doa tersebut dan bersungguh-sungguh dalam memohon kepada Allah Ta’ala setiap hari, serta meminta kepada Allah agar Dia meneguhkannya, maka Allah Ta’ala tidak akan mengecewakan sangkaan dan harapannya. Maka, berdoa adalah salah satu sebab terbesar keteguhan (dalam Islam). [KEDUA]Juga, di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah: persahabatan dengan orang-orang saleh. Karena manusia sangat terpengaruh oleh teman duduknya. Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebut orang zalim—yang menggigit kedua tangannya (di akhirat)— “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, ‘Duhai, seandainya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul! Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat!’” (QS. Al-Furqan: 29) Orang zalim itu mengisyaratkan kehidupan yang penuh penyesalan dan kerugian. Namun, ia menyebutkan satu hal yang menurutnya sebagai sebab masuknya ia ke dalam neraka. “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an saat Al-Qur’an itu datang kepadaku.” (QS. Al-Furqan: 29) Ia melihat bahwa sebab utama kesesatan, penyimpangan, dan masuknya ia ke neraka adalah teman duduk yang buruk. Oleh karena itu ia berkata, “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Furqan: 29) Manusia akan terpengaruh oleh teman-temannya. Maka di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah seorang muslim memilih teman-teman yang saleh, yang membantunya di saat taat, dan mengingatkannya di saat lalai. Serta menjauhi teman-teman duduk yang buruk. [KETIGA]Juga termasuk sebab-sebab keteguhan adalah tadabur Al-Qur’an. Karena tadabur Al-Qur’an merupakan sebab keteguhan, bahkan sebab bertambahnya iman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2). Menadaburi Al-Qur’an Al-Karim, baik dengan membaca maupun mendengarnya. [KEEMPAT]Termasuk pula sebab-sebab keteguhan adalah mengerjakan Salat Malam. Karena Salat Malam bagaikan bahan bakar ruhani bagi seorang muslim di siang dan malam hari. Salat Malam memberimu energi spiritual untuk sehari semalam, serta menjauhkanmu dari sifat munafik. Oleh karena itu, seorang ulama salaf berkata, “Tak ada orang munafik yang menegakkan Salat Malam.” Salat Malam membuatmu bermunajat kepada Rabb ‘Azza wa Jalla, khususnya di sepertiga malam terakhir. ketika Allah Subḥānahu turun (ke langit dunia) sesuai dengan keagungan-Nya. Lalu Allah berfirman, “Adakah yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan? Adakah yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri? Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni?” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Salat Malam adalah kebiasaan orang-orang saleh, dan termasuk sebab keteguhan yang paling agung. ==== مَا أَسْبَابُ الثَّبَاتِ؟ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَات أَنْ تَسْأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ الثَّبَاتَ وَتُلِحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الدُّعَاءِ كُلَّ يَوْمٍ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُثَبِّتُكَ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَتُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي عَلَى طَاعَتِكَ رَبِّ لَا تُزِغْ قَلْبِي بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنِي وَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ فَأَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَالْعَبْدُ إِذَا أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَأَلَحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى كُلَّ يَوْمٍ وَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُثَبِّتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَنْ يُخَيِّبَ ظَنَّهُ وَلَا رَجَاءَهُ فَيَكُونُ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ وَأَيْضًا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ الصُّحْبَةُ الصَّالِحَةُ لَِأنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ تَأَثُّرًا عَظِيمًا وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الظَّالِمَ الَّذِي يَعُضُّ عَلَى يَدَيْهِ يَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا يَعْنِي هَذَا الظَّالِمُ أَشَارَ لِحَيَاةٍ مَلِيئَةٍ بِالنَّدَمِ وَالْحَسَرَاتِ لَكِنَّهُ أَشَارَ لِشَيْءٍ وَاحِدٍ رَأَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي دُخُولِهِ النَّارَ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَيَرَى أَنَّ السَّبَبَ الرَّئِيسَ لِإِضْلَالِهِ وَلِغَوَايَتِهِ وَلِدُخُولِهِ النَّارَ هُوَ جَلِيسُ السُّوءِ وَلِهَذَا يَقُولُ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ فَالْإِنْسَانُ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ فَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ أَنْ يَخْتَارَ الْمُسْلِمُ لَهُ الْجُلَسَاءَ الصَّالِحِينَ الَّذِينَ يُعِينُونَهُ إِذَا ذَكَرَ وَيُذَكِّرُونَهُ إِذَا نَسِيَ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ جُلَسَاءِ السُّوءِ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ بَلْ مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ تِلَاوَةً وَاسْتِمَاعًا أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ قِيَامُ اللَّيْلِ لِأَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ بِمَثَابَةِ الْوَقُودِ الرُّوحِيِّ لِلْمُسْلِمِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ يُعْطِيْكَ وَقُودًا رُوحِيًّا لِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَيُبْعِدُكَ عَنِ النِّفَاقِ وَلِهَذَا قَالَ السَّلَفُ مَا قَامَ اللَّيْلَ مُنَافِقٌ وَيَجْعَلُكَ تُنَاجِي الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ خَاصَّةً فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَنْزِلُ فِيهِ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ نُزُولاً يَلِيقُ بِجَلَالِهِ وَيَقُولُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ فَقِيَامُ اللَّيْلِ هُوَ دَأْبُ الصَّالِحِينَ وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ

Sudah Tobat & Hijrah tapi Masih Goyah? Ini 4 Cara Biar Nggak Tumbang Imanmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa saja sebab-sebab keteguhan dalam agama (istiqamah)? [PERTAMA]Di antara sebab keteguhan yang paling agung adalah engkau berdoa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diteguhkan. Engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari, agar Allah Ta’ala meneguhkanmu dengan ucapan yang teguh (yaitu 2 kalimat syahadat) di dunia dan di akhirat. Engkau juga memperbanyak doa ini: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK(Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). YAA MUSHORRIFAL QULUUB SHORRIF QOLBII ‘ALAA THOO-’ATIK(Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu). ROBBI LAA TUZIGH QOLBII BA’DA IDZ HADAITANII WAHAB LII MIN LADUNKA ROHMATAN INNAKA ANTAL WAHHAAB(Anugerahkanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi. Wahai Tuhanku, janganlah Engkau palingkan hatiku setelah Engkau beri petunjuk). Perbanyaklah membaca doa tersebut! Apabila seorang hamba memperbanyak doa tersebut dan bersungguh-sungguh dalam memohon kepada Allah Ta’ala setiap hari, serta meminta kepada Allah agar Dia meneguhkannya, maka Allah Ta’ala tidak akan mengecewakan sangkaan dan harapannya. Maka, berdoa adalah salah satu sebab terbesar keteguhan (dalam Islam). [KEDUA]Juga, di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah: persahabatan dengan orang-orang saleh. Karena manusia sangat terpengaruh oleh teman duduknya. Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebut orang zalim—yang menggigit kedua tangannya (di akhirat)— “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, ‘Duhai, seandainya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul! Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat!’” (QS. Al-Furqan: 29) Orang zalim itu mengisyaratkan kehidupan yang penuh penyesalan dan kerugian. Namun, ia menyebutkan satu hal yang menurutnya sebagai sebab masuknya ia ke dalam neraka. “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an saat Al-Qur’an itu datang kepadaku.” (QS. Al-Furqan: 29) Ia melihat bahwa sebab utama kesesatan, penyimpangan, dan masuknya ia ke neraka adalah teman duduk yang buruk. Oleh karena itu ia berkata, “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Furqan: 29) Manusia akan terpengaruh oleh teman-temannya. Maka di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah seorang muslim memilih teman-teman yang saleh, yang membantunya di saat taat, dan mengingatkannya di saat lalai. Serta menjauhi teman-teman duduk yang buruk. [KETIGA]Juga termasuk sebab-sebab keteguhan adalah tadabur Al-Qur’an. Karena tadabur Al-Qur’an merupakan sebab keteguhan, bahkan sebab bertambahnya iman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2). Menadaburi Al-Qur’an Al-Karim, baik dengan membaca maupun mendengarnya. [KEEMPAT]Termasuk pula sebab-sebab keteguhan adalah mengerjakan Salat Malam. Karena Salat Malam bagaikan bahan bakar ruhani bagi seorang muslim di siang dan malam hari. Salat Malam memberimu energi spiritual untuk sehari semalam, serta menjauhkanmu dari sifat munafik. Oleh karena itu, seorang ulama salaf berkata, “Tak ada orang munafik yang menegakkan Salat Malam.” Salat Malam membuatmu bermunajat kepada Rabb ‘Azza wa Jalla, khususnya di sepertiga malam terakhir. ketika Allah Subḥānahu turun (ke langit dunia) sesuai dengan keagungan-Nya. Lalu Allah berfirman, “Adakah yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan? Adakah yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri? Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni?” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Salat Malam adalah kebiasaan orang-orang saleh, dan termasuk sebab keteguhan yang paling agung. ==== مَا أَسْبَابُ الثَّبَاتِ؟ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَات أَنْ تَسْأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ الثَّبَاتَ وَتُلِحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الدُّعَاءِ كُلَّ يَوْمٍ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُثَبِّتُكَ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَتُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي عَلَى طَاعَتِكَ رَبِّ لَا تُزِغْ قَلْبِي بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنِي وَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ فَأَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَالْعَبْدُ إِذَا أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَأَلَحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى كُلَّ يَوْمٍ وَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُثَبِّتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَنْ يُخَيِّبَ ظَنَّهُ وَلَا رَجَاءَهُ فَيَكُونُ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ وَأَيْضًا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ الصُّحْبَةُ الصَّالِحَةُ لَِأنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ تَأَثُّرًا عَظِيمًا وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الظَّالِمَ الَّذِي يَعُضُّ عَلَى يَدَيْهِ يَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا يَعْنِي هَذَا الظَّالِمُ أَشَارَ لِحَيَاةٍ مَلِيئَةٍ بِالنَّدَمِ وَالْحَسَرَاتِ لَكِنَّهُ أَشَارَ لِشَيْءٍ وَاحِدٍ رَأَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي دُخُولِهِ النَّارَ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَيَرَى أَنَّ السَّبَبَ الرَّئِيسَ لِإِضْلَالِهِ وَلِغَوَايَتِهِ وَلِدُخُولِهِ النَّارَ هُوَ جَلِيسُ السُّوءِ وَلِهَذَا يَقُولُ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ فَالْإِنْسَانُ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ فَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ أَنْ يَخْتَارَ الْمُسْلِمُ لَهُ الْجُلَسَاءَ الصَّالِحِينَ الَّذِينَ يُعِينُونَهُ إِذَا ذَكَرَ وَيُذَكِّرُونَهُ إِذَا نَسِيَ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ جُلَسَاءِ السُّوءِ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ بَلْ مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ تِلَاوَةً وَاسْتِمَاعًا أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ قِيَامُ اللَّيْلِ لِأَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ بِمَثَابَةِ الْوَقُودِ الرُّوحِيِّ لِلْمُسْلِمِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ يُعْطِيْكَ وَقُودًا رُوحِيًّا لِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَيُبْعِدُكَ عَنِ النِّفَاقِ وَلِهَذَا قَالَ السَّلَفُ مَا قَامَ اللَّيْلَ مُنَافِقٌ وَيَجْعَلُكَ تُنَاجِي الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ خَاصَّةً فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَنْزِلُ فِيهِ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ نُزُولاً يَلِيقُ بِجَلَالِهِ وَيَقُولُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ فَقِيَامُ اللَّيْلِ هُوَ دَأْبُ الصَّالِحِينَ وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ
Apa saja sebab-sebab keteguhan dalam agama (istiqamah)? [PERTAMA]Di antara sebab keteguhan yang paling agung adalah engkau berdoa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diteguhkan. Engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari, agar Allah Ta’ala meneguhkanmu dengan ucapan yang teguh (yaitu 2 kalimat syahadat) di dunia dan di akhirat. Engkau juga memperbanyak doa ini: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK(Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). YAA MUSHORRIFAL QULUUB SHORRIF QOLBII ‘ALAA THOO-’ATIK(Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu). ROBBI LAA TUZIGH QOLBII BA’DA IDZ HADAITANII WAHAB LII MIN LADUNKA ROHMATAN INNAKA ANTAL WAHHAAB(Anugerahkanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi. Wahai Tuhanku, janganlah Engkau palingkan hatiku setelah Engkau beri petunjuk). Perbanyaklah membaca doa tersebut! Apabila seorang hamba memperbanyak doa tersebut dan bersungguh-sungguh dalam memohon kepada Allah Ta’ala setiap hari, serta meminta kepada Allah agar Dia meneguhkannya, maka Allah Ta’ala tidak akan mengecewakan sangkaan dan harapannya. Maka, berdoa adalah salah satu sebab terbesar keteguhan (dalam Islam). [KEDUA]Juga, di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah: persahabatan dengan orang-orang saleh. Karena manusia sangat terpengaruh oleh teman duduknya. Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebut orang zalim—yang menggigit kedua tangannya (di akhirat)— “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, ‘Duhai, seandainya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul! Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat!’” (QS. Al-Furqan: 29) Orang zalim itu mengisyaratkan kehidupan yang penuh penyesalan dan kerugian. Namun, ia menyebutkan satu hal yang menurutnya sebagai sebab masuknya ia ke dalam neraka. “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an saat Al-Qur’an itu datang kepadaku.” (QS. Al-Furqan: 29) Ia melihat bahwa sebab utama kesesatan, penyimpangan, dan masuknya ia ke neraka adalah teman duduk yang buruk. Oleh karena itu ia berkata, “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Furqan: 29) Manusia akan terpengaruh oleh teman-temannya. Maka di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah seorang muslim memilih teman-teman yang saleh, yang membantunya di saat taat, dan mengingatkannya di saat lalai. Serta menjauhi teman-teman duduk yang buruk. [KETIGA]Juga termasuk sebab-sebab keteguhan adalah tadabur Al-Qur’an. Karena tadabur Al-Qur’an merupakan sebab keteguhan, bahkan sebab bertambahnya iman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2). Menadaburi Al-Qur’an Al-Karim, baik dengan membaca maupun mendengarnya. [KEEMPAT]Termasuk pula sebab-sebab keteguhan adalah mengerjakan Salat Malam. Karena Salat Malam bagaikan bahan bakar ruhani bagi seorang muslim di siang dan malam hari. Salat Malam memberimu energi spiritual untuk sehari semalam, serta menjauhkanmu dari sifat munafik. Oleh karena itu, seorang ulama salaf berkata, “Tak ada orang munafik yang menegakkan Salat Malam.” Salat Malam membuatmu bermunajat kepada Rabb ‘Azza wa Jalla, khususnya di sepertiga malam terakhir. ketika Allah Subḥānahu turun (ke langit dunia) sesuai dengan keagungan-Nya. Lalu Allah berfirman, “Adakah yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan? Adakah yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri? Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni?” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Salat Malam adalah kebiasaan orang-orang saleh, dan termasuk sebab keteguhan yang paling agung. ==== مَا أَسْبَابُ الثَّبَاتِ؟ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَات أَنْ تَسْأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ الثَّبَاتَ وَتُلِحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الدُّعَاءِ كُلَّ يَوْمٍ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُثَبِّتُكَ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَتُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي عَلَى طَاعَتِكَ رَبِّ لَا تُزِغْ قَلْبِي بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنِي وَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ فَأَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَالْعَبْدُ إِذَا أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَأَلَحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى كُلَّ يَوْمٍ وَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُثَبِّتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَنْ يُخَيِّبَ ظَنَّهُ وَلَا رَجَاءَهُ فَيَكُونُ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ وَأَيْضًا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ الصُّحْبَةُ الصَّالِحَةُ لَِأنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ تَأَثُّرًا عَظِيمًا وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الظَّالِمَ الَّذِي يَعُضُّ عَلَى يَدَيْهِ يَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا يَعْنِي هَذَا الظَّالِمُ أَشَارَ لِحَيَاةٍ مَلِيئَةٍ بِالنَّدَمِ وَالْحَسَرَاتِ لَكِنَّهُ أَشَارَ لِشَيْءٍ وَاحِدٍ رَأَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي دُخُولِهِ النَّارَ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَيَرَى أَنَّ السَّبَبَ الرَّئِيسَ لِإِضْلَالِهِ وَلِغَوَايَتِهِ وَلِدُخُولِهِ النَّارَ هُوَ جَلِيسُ السُّوءِ وَلِهَذَا يَقُولُ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ فَالْإِنْسَانُ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ فَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ أَنْ يَخْتَارَ الْمُسْلِمُ لَهُ الْجُلَسَاءَ الصَّالِحِينَ الَّذِينَ يُعِينُونَهُ إِذَا ذَكَرَ وَيُذَكِّرُونَهُ إِذَا نَسِيَ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ جُلَسَاءِ السُّوءِ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ بَلْ مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ تِلَاوَةً وَاسْتِمَاعًا أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ قِيَامُ اللَّيْلِ لِأَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ بِمَثَابَةِ الْوَقُودِ الرُّوحِيِّ لِلْمُسْلِمِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ يُعْطِيْكَ وَقُودًا رُوحِيًّا لِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَيُبْعِدُكَ عَنِ النِّفَاقِ وَلِهَذَا قَالَ السَّلَفُ مَا قَامَ اللَّيْلَ مُنَافِقٌ وَيَجْعَلُكَ تُنَاجِي الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ خَاصَّةً فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَنْزِلُ فِيهِ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ نُزُولاً يَلِيقُ بِجَلَالِهِ وَيَقُولُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ فَقِيَامُ اللَّيْلِ هُوَ دَأْبُ الصَّالِحِينَ وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ


Apa saja sebab-sebab keteguhan dalam agama (istiqamah)? [PERTAMA]Di antara sebab keteguhan yang paling agung adalah engkau berdoa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diteguhkan. Engkau bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala setiap hari, agar Allah Ta’ala meneguhkanmu dengan ucapan yang teguh (yaitu 2 kalimat syahadat) di dunia dan di akhirat. Engkau juga memperbanyak doa ini: YAA MUQOLLIBAL QULUUB TSABBIT QOLBII ‘ALAA DIINIK(Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). YAA MUSHORRIFAL QULUUB SHORRIF QOLBII ‘ALAA THOO-’ATIK(Wahai Zat yang mengarahkan hati, arahkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu). ROBBI LAA TUZIGH QOLBII BA’DA IDZ HADAITANII WAHAB LII MIN LADUNKA ROHMATAN INNAKA ANTAL WAHHAAB(Anugerahkanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi. Wahai Tuhanku, janganlah Engkau palingkan hatiku setelah Engkau beri petunjuk). Perbanyaklah membaca doa tersebut! Apabila seorang hamba memperbanyak doa tersebut dan bersungguh-sungguh dalam memohon kepada Allah Ta’ala setiap hari, serta meminta kepada Allah agar Dia meneguhkannya, maka Allah Ta’ala tidak akan mengecewakan sangkaan dan harapannya. Maka, berdoa adalah salah satu sebab terbesar keteguhan (dalam Islam). [KEDUA]Juga, di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah: persahabatan dengan orang-orang saleh. Karena manusia sangat terpengaruh oleh teman duduknya. Ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebut orang zalim—yang menggigit kedua tangannya (di akhirat)— “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, ‘Duhai, seandainya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul! Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat!’” (QS. Al-Furqan: 29) Orang zalim itu mengisyaratkan kehidupan yang penuh penyesalan dan kerugian. Namun, ia menyebutkan satu hal yang menurutnya sebagai sebab masuknya ia ke dalam neraka. “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an saat Al-Qur’an itu datang kepadaku.” (QS. Al-Furqan: 29) Ia melihat bahwa sebab utama kesesatan, penyimpangan, dan masuknya ia ke neraka adalah teman duduk yang buruk. Oleh karena itu ia berkata, “Celakalah aku, seandainya aku tidak menjadikan si fulan sebagai sahabat dekat! Ia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Furqan: 29) Manusia akan terpengaruh oleh teman-temannya. Maka di antara sebab keteguhan yang paling besar adalah seorang muslim memilih teman-teman yang saleh, yang membantunya di saat taat, dan mengingatkannya di saat lalai. Serta menjauhi teman-teman duduk yang buruk. [KETIGA]Juga termasuk sebab-sebab keteguhan adalah tadabur Al-Qur’an. Karena tadabur Al-Qur’an merupakan sebab keteguhan, bahkan sebab bertambahnya iman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2). Menadaburi Al-Qur’an Al-Karim, baik dengan membaca maupun mendengarnya. [KEEMPAT]Termasuk pula sebab-sebab keteguhan adalah mengerjakan Salat Malam. Karena Salat Malam bagaikan bahan bakar ruhani bagi seorang muslim di siang dan malam hari. Salat Malam memberimu energi spiritual untuk sehari semalam, serta menjauhkanmu dari sifat munafik. Oleh karena itu, seorang ulama salaf berkata, “Tak ada orang munafik yang menegakkan Salat Malam.” Salat Malam membuatmu bermunajat kepada Rabb ‘Azza wa Jalla, khususnya di sepertiga malam terakhir. ketika Allah Subḥānahu turun (ke langit dunia) sesuai dengan keagungan-Nya. Lalu Allah berfirman, “Adakah yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan? Adakah yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri? Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni?” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). Salat Malam adalah kebiasaan orang-orang saleh, dan termasuk sebab keteguhan yang paling agung. ==== مَا أَسْبَابُ الثَّبَاتِ؟ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَات أَنْ تَسْأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ الثَّبَاتَ وَتُلِحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي الدُّعَاءِ كُلَّ يَوْمٍ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُثَبِّتُكَ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَتُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي عَلَى طَاعَتِكَ رَبِّ لَا تُزِغْ قَلْبِي بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنِي وَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ فَأَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَالْعَبْدُ إِذَا أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ وَأَلَحَّ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى كُلَّ يَوْمٍ وَسَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُثَبِّتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَنْ يُخَيِّبَ ظَنَّهُ وَلَا رَجَاءَهُ فَيَكُونُ هَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ وَأَيْضًا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ الصُّحْبَةُ الصَّالِحَةُ لَِأنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ تَأَثُّرًا عَظِيمًا وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الظَّالِمَ الَّذِي يَعُضُّ عَلَى يَدَيْهِ يَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا يَعْنِي هَذَا الظَّالِمُ أَشَارَ لِحَيَاةٍ مَلِيئَةٍ بِالنَّدَمِ وَالْحَسَرَاتِ لَكِنَّهُ أَشَارَ لِشَيْءٍ وَاحِدٍ رَأَى أَنَّهُ هُوَ السَّبَبُ فِي دُخُولِهِ النَّارَ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي فَيَرَى أَنَّ السَّبَبَ الرَّئِيسَ لِإِضْلَالِهِ وَلِغَوَايَتِهِ وَلِدُخُولِهِ النَّارَ هُوَ جَلِيسُ السُّوءِ وَلِهَذَا يَقُولُ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ فَالْإِنْسَانُ يَتَأَثَّرُ بِجُلَسَائِهِ فَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ أَنْ يَخْتَارَ الْمُسْلِمُ لَهُ الْجُلَسَاءَ الصَّالِحِينَ الَّذِينَ يُعِينُونَهُ إِذَا ذَكَرَ وَيُذَكِّرُونَهُ إِذَا نَسِيَ وَأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ جُلَسَاءِ السُّوءِ أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ بَلْ مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ تِلَاوَةً وَاسْتِمَاعًا أَيْضًا مِنْ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ قِيَامُ اللَّيْلِ لِأَنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ بِمَثَابَةِ الْوَقُودِ الرُّوحِيِّ لِلْمُسْلِمِ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ يُعْطِيْكَ وَقُودًا رُوحِيًّا لِيَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَيُبْعِدُكَ عَنِ النِّفَاقِ وَلِهَذَا قَالَ السَّلَفُ مَا قَامَ اللَّيْلَ مُنَافِقٌ وَيَجْعَلُكَ تُنَاجِي الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ خَاصَّةً فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ الَّذِي يَنْزِلُ فِيهِ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ نُزُولاً يَلِيقُ بِجَلَالِهِ وَيَقُولُ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ فَقِيَامُ اللَّيْلِ هُوَ دَأْبُ الصَّالِحِينَ وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 4)

Daftar Isi ToggleHukum jual beli kreditPerbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaPendapat pertamaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahDalil dari atsarPendapat keduaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahBerbicara tentang fikih tentunya erat kaitannya dengan suatu hukum. Sering kali diskusi tentang suatu hukum itu menjadi inti suatu pembahasan. Apakah hukumnya mubah, makruh, atau bahkan sampai haram. Pada pembahasan kali ini, akan lebih diperjelas terkait dengan hukum jual beli kredit. Termasuk juga pada pembahasan ini adalah hukum jual beli kredit yang terdapat dua opsi harga, lebih murah jika dibeli secara cash dan lebih mahal jika dibeli secara kredit. Apakah hal tersebut diperbolehkan?Hukum jual beli kreditTidak ada perselisihan di antara para ulama tentang bolehnya jual beli kredit jika dalam keadaan satu harga (harga cash sama dengan harga kredit). Bagaimanapun bentuk kreditnya, baik dicicil sampai selesai, dibayar di akhir, atau dibayar secara tunai, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa hukum jual belinya adalah sah.Adapun jika pada suatu barang terdapat dua harga; jika dibeli dengan cara tunai, harga sekian dan jika dibeli secara kredit, harga sekian, maka di sinilah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Yaitu tentang “tambahan” (selisih harga) yang terdapat di antara dua harga tersebut. Apakah selisih harga itu termasuk riba?Perbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaYakni, jika ada dua pilihan antara tunai dengan harga sekian, dan kredit dengan harga yang lebih mahal. Pada masalah ini, terdapat dua pendapat di antara para ulama.Pendapat pertama, bolehnya ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Pendapat kedua, tidak boleh ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Berikut ini penjelasan lengkapnya:Pendapat pertamaJumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat akan bolehnya jual beli kredit walaupun harga kredit itu lebih mahal dibandingkan dengan harga tunainya.قال الخطابي رحمه الله وحكي عن طاوس أنه قال: لا بأس أن يقول له: بعتك هذا الثوب بنقد بعشرة، وإلى أشهر بخمسة عشر، فيذهب به إلى أحدهما. قال الخطابي: هذا ما لاشك في فساده، أما إذا باته بأحد النقدين في مجلس العقد فهو صحيح لا خلاف فيه وما سواه لغو لاعبرة لهAl-Khattabi rahimahullah berkata, dan diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berkata,“Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu pakaian ini secara tunai seharga sepuluh, dan dengan tempo (dengan cicilan) seharga lima belas’; lalu pembeli memilih salah satunya.”Al-Khattabi berkata, “Hal ini (jika tidak ditentukan) tidak diragukan lagi kebatilannya. Namun, jika ia menetapkan salah satu dari dua harga itu di majelis akad, maka akadnya sah tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, dianggap tidak sah dan tidak dianggap.”Akad itu sah apabila kedua belah pihak sepakat pada salah satu dari dua harga dalam majelis akad, mana pilihan harga yang disepakati. Namun, jika mereka berpisah tanpa menetapkan salah satu dari kedua harga tersebut, maka akad itu tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar).Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranPara ulama berdalil dari keumuman firman Allah Ta’ala,وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Nash ini adalah dalil umum yang mencakup segala macam bentuk jual beli. Karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah, sampai datangnya dalil yang melarangnya. Dan kenyataannya, tidak terdapat dalil yang melarang jual beli dengan model seperti ini, yaitu harga lebih murah jika dengan cara tunai dan lebih mahal jika dengan cara kredit.Dalil dari As-SunnahPara ulama yang membolehkan pun berdalil dengan riwayat dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhuma,أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً، فكان يأخذ البعير بالبعرين إلى إبل الصدقة“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mempersiapkan pasukan, maka ia pun mengambil unta dengan harga dua ekor unta (dibayar belakangan atau kredit) dari unta-unta zakat.”Ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya tambahan dalam harga suatu barang ketika dalam bentuk kredit.Dalil dari atsarTerdapat atsar dari tabi’in tentang hal tersebut. Dari Az-Zuhri, Thawus, dan Ibnul Musayyab, mereka rahimahumullah berkata, “Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual baju ini seharga sepuluh dengan kredit selama sebulan, dan seharga dua puluh dengan kredit selama dua bulan, kemudian harga tersebut dipilih (salah satunya) sebelum berpisah.’” Pendapat keduaPendapat kedua tidak memperbolehkan jual beli kredit dengan dua harga yang berbeda. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanafiyah, begitupun pendapat yang dipilih oleh madzhab Imamiyah (salah satu sekte Syi’ah yang meyakini adanya dua belas imam), dan pendapat ini adalah pendapat yang dinukilkan dari Zainal ‘Abidin bin Ali bin Al-Husain rahimahullah.Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranMereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang memperbolehkannya, yaitu firman Allah Ta’ala, وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Namun, terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas. Ulama yang memilih pendapat kedua ini memahami bahwa riba yang dimaksud adalah tambahan yang tidak ada timbal baliknya. Oleh karena itu, tambahan harga ketika kredit dari harga tunai adalah riba. Mengingat tambahan tersebut adalah tambahan yang tidak ada imbalannya. Dalam akad mu’awadhoh (jual beli), wajib hukumnya sama atau seimbang antara harga yang dibayarkan dengan barang yang ditransaksikan. Dan harga tunai harus seimbang dengan nominal barang tersebut. Jika ada tambahan yang tidak ada timbal baliknya, maka inilah riba.Dalil dari As-Sunnahعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن صفقتين في صفقةDari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua transaksi dalam satu transaksi.”عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن بيعتين في بيعةDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”Dan dalam satu riwayat, “Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka ia mendapatkan harga yang paling rendah atau terjerumus ke dalam riba.”Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang kuat, wallahu ‘alam, adalah pendapat yang membolehkan jual beli dengan harga yang berbeda antara tunai dan kredit. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:Pertama, hukum asal pada masalah muamalah harta adalah mubah hukumnya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat kuat dalam masalah muamalah. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah.Kedua, bentuk jual beli kredit merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat. Mengingat jual beli kredit itu mempermudah masyarakat untuk melakukan aktivitas jual beli dan membawa pergerakan ekonomi. Sehingga masyarakat pun bisa saling melakukan transaksi tanpa melakukan pelanggaran syariat.Oleh karena itu, banyak dari para ulama di zaman ini memfatwakan akan bolehnya. Namun tentunya terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan akan perbedaan harga tersebut. Di antaranya,Pertama, tambahan yang ada tidak boleh dalam bentuk yang menzalimi. Misalnya, memperdaya pembeli dikarenakan pembeli sangat butuh terhadap barang itu, dan akhirnya harga kredit pun ditinggikan (secara tidak wajar).Kedua, tidak ada syarat yang mengikat berupa denda tambahan jika pembeli tidak dapat membayarnya. Karena hal tersebut termasuk riba yang diharamkan.Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Depok, 29 Syawal 1446/ 27 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali; dan beberapa referensi lainnya.

Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 4)

Daftar Isi ToggleHukum jual beli kreditPerbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaPendapat pertamaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahDalil dari atsarPendapat keduaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahBerbicara tentang fikih tentunya erat kaitannya dengan suatu hukum. Sering kali diskusi tentang suatu hukum itu menjadi inti suatu pembahasan. Apakah hukumnya mubah, makruh, atau bahkan sampai haram. Pada pembahasan kali ini, akan lebih diperjelas terkait dengan hukum jual beli kredit. Termasuk juga pada pembahasan ini adalah hukum jual beli kredit yang terdapat dua opsi harga, lebih murah jika dibeli secara cash dan lebih mahal jika dibeli secara kredit. Apakah hal tersebut diperbolehkan?Hukum jual beli kreditTidak ada perselisihan di antara para ulama tentang bolehnya jual beli kredit jika dalam keadaan satu harga (harga cash sama dengan harga kredit). Bagaimanapun bentuk kreditnya, baik dicicil sampai selesai, dibayar di akhir, atau dibayar secara tunai, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa hukum jual belinya adalah sah.Adapun jika pada suatu barang terdapat dua harga; jika dibeli dengan cara tunai, harga sekian dan jika dibeli secara kredit, harga sekian, maka di sinilah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Yaitu tentang “tambahan” (selisih harga) yang terdapat di antara dua harga tersebut. Apakah selisih harga itu termasuk riba?Perbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaYakni, jika ada dua pilihan antara tunai dengan harga sekian, dan kredit dengan harga yang lebih mahal. Pada masalah ini, terdapat dua pendapat di antara para ulama.Pendapat pertama, bolehnya ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Pendapat kedua, tidak boleh ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Berikut ini penjelasan lengkapnya:Pendapat pertamaJumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat akan bolehnya jual beli kredit walaupun harga kredit itu lebih mahal dibandingkan dengan harga tunainya.قال الخطابي رحمه الله وحكي عن طاوس أنه قال: لا بأس أن يقول له: بعتك هذا الثوب بنقد بعشرة، وإلى أشهر بخمسة عشر، فيذهب به إلى أحدهما. قال الخطابي: هذا ما لاشك في فساده، أما إذا باته بأحد النقدين في مجلس العقد فهو صحيح لا خلاف فيه وما سواه لغو لاعبرة لهAl-Khattabi rahimahullah berkata, dan diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berkata,“Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu pakaian ini secara tunai seharga sepuluh, dan dengan tempo (dengan cicilan) seharga lima belas’; lalu pembeli memilih salah satunya.”Al-Khattabi berkata, “Hal ini (jika tidak ditentukan) tidak diragukan lagi kebatilannya. Namun, jika ia menetapkan salah satu dari dua harga itu di majelis akad, maka akadnya sah tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, dianggap tidak sah dan tidak dianggap.”Akad itu sah apabila kedua belah pihak sepakat pada salah satu dari dua harga dalam majelis akad, mana pilihan harga yang disepakati. Namun, jika mereka berpisah tanpa menetapkan salah satu dari kedua harga tersebut, maka akad itu tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar).Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranPara ulama berdalil dari keumuman firman Allah Ta’ala,وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Nash ini adalah dalil umum yang mencakup segala macam bentuk jual beli. Karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah, sampai datangnya dalil yang melarangnya. Dan kenyataannya, tidak terdapat dalil yang melarang jual beli dengan model seperti ini, yaitu harga lebih murah jika dengan cara tunai dan lebih mahal jika dengan cara kredit.Dalil dari As-SunnahPara ulama yang membolehkan pun berdalil dengan riwayat dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhuma,أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً، فكان يأخذ البعير بالبعرين إلى إبل الصدقة“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mempersiapkan pasukan, maka ia pun mengambil unta dengan harga dua ekor unta (dibayar belakangan atau kredit) dari unta-unta zakat.”Ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya tambahan dalam harga suatu barang ketika dalam bentuk kredit.Dalil dari atsarTerdapat atsar dari tabi’in tentang hal tersebut. Dari Az-Zuhri, Thawus, dan Ibnul Musayyab, mereka rahimahumullah berkata, “Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual baju ini seharga sepuluh dengan kredit selama sebulan, dan seharga dua puluh dengan kredit selama dua bulan, kemudian harga tersebut dipilih (salah satunya) sebelum berpisah.’” Pendapat keduaPendapat kedua tidak memperbolehkan jual beli kredit dengan dua harga yang berbeda. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanafiyah, begitupun pendapat yang dipilih oleh madzhab Imamiyah (salah satu sekte Syi’ah yang meyakini adanya dua belas imam), dan pendapat ini adalah pendapat yang dinukilkan dari Zainal ‘Abidin bin Ali bin Al-Husain rahimahullah.Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranMereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang memperbolehkannya, yaitu firman Allah Ta’ala, وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Namun, terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas. Ulama yang memilih pendapat kedua ini memahami bahwa riba yang dimaksud adalah tambahan yang tidak ada timbal baliknya. Oleh karena itu, tambahan harga ketika kredit dari harga tunai adalah riba. Mengingat tambahan tersebut adalah tambahan yang tidak ada imbalannya. Dalam akad mu’awadhoh (jual beli), wajib hukumnya sama atau seimbang antara harga yang dibayarkan dengan barang yang ditransaksikan. Dan harga tunai harus seimbang dengan nominal barang tersebut. Jika ada tambahan yang tidak ada timbal baliknya, maka inilah riba.Dalil dari As-Sunnahعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن صفقتين في صفقةDari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua transaksi dalam satu transaksi.”عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن بيعتين في بيعةDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”Dan dalam satu riwayat, “Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka ia mendapatkan harga yang paling rendah atau terjerumus ke dalam riba.”Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang kuat, wallahu ‘alam, adalah pendapat yang membolehkan jual beli dengan harga yang berbeda antara tunai dan kredit. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:Pertama, hukum asal pada masalah muamalah harta adalah mubah hukumnya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat kuat dalam masalah muamalah. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah.Kedua, bentuk jual beli kredit merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat. Mengingat jual beli kredit itu mempermudah masyarakat untuk melakukan aktivitas jual beli dan membawa pergerakan ekonomi. Sehingga masyarakat pun bisa saling melakukan transaksi tanpa melakukan pelanggaran syariat.Oleh karena itu, banyak dari para ulama di zaman ini memfatwakan akan bolehnya. Namun tentunya terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan akan perbedaan harga tersebut. Di antaranya,Pertama, tambahan yang ada tidak boleh dalam bentuk yang menzalimi. Misalnya, memperdaya pembeli dikarenakan pembeli sangat butuh terhadap barang itu, dan akhirnya harga kredit pun ditinggikan (secara tidak wajar).Kedua, tidak ada syarat yang mengikat berupa denda tambahan jika pembeli tidak dapat membayarnya. Karena hal tersebut termasuk riba yang diharamkan.Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Depok, 29 Syawal 1446/ 27 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali; dan beberapa referensi lainnya.
Daftar Isi ToggleHukum jual beli kreditPerbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaPendapat pertamaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahDalil dari atsarPendapat keduaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahBerbicara tentang fikih tentunya erat kaitannya dengan suatu hukum. Sering kali diskusi tentang suatu hukum itu menjadi inti suatu pembahasan. Apakah hukumnya mubah, makruh, atau bahkan sampai haram. Pada pembahasan kali ini, akan lebih diperjelas terkait dengan hukum jual beli kredit. Termasuk juga pada pembahasan ini adalah hukum jual beli kredit yang terdapat dua opsi harga, lebih murah jika dibeli secara cash dan lebih mahal jika dibeli secara kredit. Apakah hal tersebut diperbolehkan?Hukum jual beli kreditTidak ada perselisihan di antara para ulama tentang bolehnya jual beli kredit jika dalam keadaan satu harga (harga cash sama dengan harga kredit). Bagaimanapun bentuk kreditnya, baik dicicil sampai selesai, dibayar di akhir, atau dibayar secara tunai, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa hukum jual belinya adalah sah.Adapun jika pada suatu barang terdapat dua harga; jika dibeli dengan cara tunai, harga sekian dan jika dibeli secara kredit, harga sekian, maka di sinilah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Yaitu tentang “tambahan” (selisih harga) yang terdapat di antara dua harga tersebut. Apakah selisih harga itu termasuk riba?Perbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaYakni, jika ada dua pilihan antara tunai dengan harga sekian, dan kredit dengan harga yang lebih mahal. Pada masalah ini, terdapat dua pendapat di antara para ulama.Pendapat pertama, bolehnya ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Pendapat kedua, tidak boleh ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Berikut ini penjelasan lengkapnya:Pendapat pertamaJumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat akan bolehnya jual beli kredit walaupun harga kredit itu lebih mahal dibandingkan dengan harga tunainya.قال الخطابي رحمه الله وحكي عن طاوس أنه قال: لا بأس أن يقول له: بعتك هذا الثوب بنقد بعشرة، وإلى أشهر بخمسة عشر، فيذهب به إلى أحدهما. قال الخطابي: هذا ما لاشك في فساده، أما إذا باته بأحد النقدين في مجلس العقد فهو صحيح لا خلاف فيه وما سواه لغو لاعبرة لهAl-Khattabi rahimahullah berkata, dan diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berkata,“Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu pakaian ini secara tunai seharga sepuluh, dan dengan tempo (dengan cicilan) seharga lima belas’; lalu pembeli memilih salah satunya.”Al-Khattabi berkata, “Hal ini (jika tidak ditentukan) tidak diragukan lagi kebatilannya. Namun, jika ia menetapkan salah satu dari dua harga itu di majelis akad, maka akadnya sah tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, dianggap tidak sah dan tidak dianggap.”Akad itu sah apabila kedua belah pihak sepakat pada salah satu dari dua harga dalam majelis akad, mana pilihan harga yang disepakati. Namun, jika mereka berpisah tanpa menetapkan salah satu dari kedua harga tersebut, maka akad itu tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar).Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranPara ulama berdalil dari keumuman firman Allah Ta’ala,وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Nash ini adalah dalil umum yang mencakup segala macam bentuk jual beli. Karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah, sampai datangnya dalil yang melarangnya. Dan kenyataannya, tidak terdapat dalil yang melarang jual beli dengan model seperti ini, yaitu harga lebih murah jika dengan cara tunai dan lebih mahal jika dengan cara kredit.Dalil dari As-SunnahPara ulama yang membolehkan pun berdalil dengan riwayat dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhuma,أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً، فكان يأخذ البعير بالبعرين إلى إبل الصدقة“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mempersiapkan pasukan, maka ia pun mengambil unta dengan harga dua ekor unta (dibayar belakangan atau kredit) dari unta-unta zakat.”Ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya tambahan dalam harga suatu barang ketika dalam bentuk kredit.Dalil dari atsarTerdapat atsar dari tabi’in tentang hal tersebut. Dari Az-Zuhri, Thawus, dan Ibnul Musayyab, mereka rahimahumullah berkata, “Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual baju ini seharga sepuluh dengan kredit selama sebulan, dan seharga dua puluh dengan kredit selama dua bulan, kemudian harga tersebut dipilih (salah satunya) sebelum berpisah.’” Pendapat keduaPendapat kedua tidak memperbolehkan jual beli kredit dengan dua harga yang berbeda. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanafiyah, begitupun pendapat yang dipilih oleh madzhab Imamiyah (salah satu sekte Syi’ah yang meyakini adanya dua belas imam), dan pendapat ini adalah pendapat yang dinukilkan dari Zainal ‘Abidin bin Ali bin Al-Husain rahimahullah.Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranMereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang memperbolehkannya, yaitu firman Allah Ta’ala, وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Namun, terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas. Ulama yang memilih pendapat kedua ini memahami bahwa riba yang dimaksud adalah tambahan yang tidak ada timbal baliknya. Oleh karena itu, tambahan harga ketika kredit dari harga tunai adalah riba. Mengingat tambahan tersebut adalah tambahan yang tidak ada imbalannya. Dalam akad mu’awadhoh (jual beli), wajib hukumnya sama atau seimbang antara harga yang dibayarkan dengan barang yang ditransaksikan. Dan harga tunai harus seimbang dengan nominal barang tersebut. Jika ada tambahan yang tidak ada timbal baliknya, maka inilah riba.Dalil dari As-Sunnahعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن صفقتين في صفقةDari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua transaksi dalam satu transaksi.”عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن بيعتين في بيعةDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”Dan dalam satu riwayat, “Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka ia mendapatkan harga yang paling rendah atau terjerumus ke dalam riba.”Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang kuat, wallahu ‘alam, adalah pendapat yang membolehkan jual beli dengan harga yang berbeda antara tunai dan kredit. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:Pertama, hukum asal pada masalah muamalah harta adalah mubah hukumnya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat kuat dalam masalah muamalah. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah.Kedua, bentuk jual beli kredit merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat. Mengingat jual beli kredit itu mempermudah masyarakat untuk melakukan aktivitas jual beli dan membawa pergerakan ekonomi. Sehingga masyarakat pun bisa saling melakukan transaksi tanpa melakukan pelanggaran syariat.Oleh karena itu, banyak dari para ulama di zaman ini memfatwakan akan bolehnya. Namun tentunya terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan akan perbedaan harga tersebut. Di antaranya,Pertama, tambahan yang ada tidak boleh dalam bentuk yang menzalimi. Misalnya, memperdaya pembeli dikarenakan pembeli sangat butuh terhadap barang itu, dan akhirnya harga kredit pun ditinggikan (secara tidak wajar).Kedua, tidak ada syarat yang mengikat berupa denda tambahan jika pembeli tidak dapat membayarnya. Karena hal tersebut termasuk riba yang diharamkan.Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Depok, 29 Syawal 1446/ 27 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali; dan beberapa referensi lainnya.


Daftar Isi ToggleHukum jual beli kreditPerbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaPendapat pertamaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahDalil dari atsarPendapat keduaDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunnahBerbicara tentang fikih tentunya erat kaitannya dengan suatu hukum. Sering kali diskusi tentang suatu hukum itu menjadi inti suatu pembahasan. Apakah hukumnya mubah, makruh, atau bahkan sampai haram. Pada pembahasan kali ini, akan lebih diperjelas terkait dengan hukum jual beli kredit. Termasuk juga pada pembahasan ini adalah hukum jual beli kredit yang terdapat dua opsi harga, lebih murah jika dibeli secara cash dan lebih mahal jika dibeli secara kredit. Apakah hal tersebut diperbolehkan?Hukum jual beli kreditTidak ada perselisihan di antara para ulama tentang bolehnya jual beli kredit jika dalam keadaan satu harga (harga cash sama dengan harga kredit). Bagaimanapun bentuk kreditnya, baik dicicil sampai selesai, dibayar di akhir, atau dibayar secara tunai, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa hukum jual belinya adalah sah.Adapun jika pada suatu barang terdapat dua harga; jika dibeli dengan cara tunai, harga sekian dan jika dibeli secara kredit, harga sekian, maka di sinilah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Yaitu tentang “tambahan” (selisih harga) yang terdapat di antara dua harga tersebut. Apakah selisih harga itu termasuk riba?Perbedaan pendapat tentang kredit dan tunai dengan dua harga yang berbedaYakni, jika ada dua pilihan antara tunai dengan harga sekian, dan kredit dengan harga yang lebih mahal. Pada masalah ini, terdapat dua pendapat di antara para ulama.Pendapat pertama, bolehnya ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Pendapat kedua, tidak boleh ada perbedaan harga antara tunai dan kredit.Berikut ini penjelasan lengkapnya:Pendapat pertamaJumhur ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat akan bolehnya jual beli kredit walaupun harga kredit itu lebih mahal dibandingkan dengan harga tunainya.قال الخطابي رحمه الله وحكي عن طاوس أنه قال: لا بأس أن يقول له: بعتك هذا الثوب بنقد بعشرة، وإلى أشهر بخمسة عشر، فيذهب به إلى أحدهما. قال الخطابي: هذا ما لاشك في فساده، أما إذا باته بأحد النقدين في مجلس العقد فهو صحيح لا خلاف فيه وما سواه لغو لاعبرة لهAl-Khattabi rahimahullah berkata, dan diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berkata,“Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual kepadamu pakaian ini secara tunai seharga sepuluh, dan dengan tempo (dengan cicilan) seharga lima belas’; lalu pembeli memilih salah satunya.”Al-Khattabi berkata, “Hal ini (jika tidak ditentukan) tidak diragukan lagi kebatilannya. Namun, jika ia menetapkan salah satu dari dua harga itu di majelis akad, maka akadnya sah tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, dianggap tidak sah dan tidak dianggap.”Akad itu sah apabila kedua belah pihak sepakat pada salah satu dari dua harga dalam majelis akad, mana pilihan harga yang disepakati. Namun, jika mereka berpisah tanpa menetapkan salah satu dari kedua harga tersebut, maka akad itu tidak sah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar).Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranPara ulama berdalil dari keumuman firman Allah Ta’ala,وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Nash ini adalah dalil umum yang mencakup segala macam bentuk jual beli. Karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah, sampai datangnya dalil yang melarangnya. Dan kenyataannya, tidak terdapat dalil yang melarang jual beli dengan model seperti ini, yaitu harga lebih murah jika dengan cara tunai dan lebih mahal jika dengan cara kredit.Dalil dari As-SunnahPara ulama yang membolehkan pun berdalil dengan riwayat dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhuma,أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً، فكان يأخذ البعير بالبعرين إلى إبل الصدقة“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mempersiapkan pasukan, maka ia pun mengambil unta dengan harga dua ekor unta (dibayar belakangan atau kredit) dari unta-unta zakat.”Ini merupakan dalil yang jelas akan bolehnya tambahan dalam harga suatu barang ketika dalam bentuk kredit.Dalil dari atsarTerdapat atsar dari tabi’in tentang hal tersebut. Dari Az-Zuhri, Thawus, dan Ibnul Musayyab, mereka rahimahumullah berkata, “Tidak mengapa seseorang mengatakan, ‘Aku menjual baju ini seharga sepuluh dengan kredit selama sebulan, dan seharga dua puluh dengan kredit selama dua bulan, kemudian harga tersebut dipilih (salah satunya) sebelum berpisah.’” Pendapat keduaPendapat kedua tidak memperbolehkan jual beli kredit dengan dua harga yang berbeda. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanafiyah, begitupun pendapat yang dipilih oleh madzhab Imamiyah (salah satu sekte Syi’ah yang meyakini adanya dua belas imam), dan pendapat ini adalah pendapat yang dinukilkan dari Zainal ‘Abidin bin Ali bin Al-Husain rahimahullah.Dalil-dalil terkait dengan pendapat ini,Dalil dari Al-QuranMereka berdalil dengan ayat yang sama dengan yang memperbolehkannya, yaitu firman Allah Ta’ala, وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)Namun, terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas. Ulama yang memilih pendapat kedua ini memahami bahwa riba yang dimaksud adalah tambahan yang tidak ada timbal baliknya. Oleh karena itu, tambahan harga ketika kredit dari harga tunai adalah riba. Mengingat tambahan tersebut adalah tambahan yang tidak ada imbalannya. Dalam akad mu’awadhoh (jual beli), wajib hukumnya sama atau seimbang antara harga yang dibayarkan dengan barang yang ditransaksikan. Dan harga tunai harus seimbang dengan nominal barang tersebut. Jika ada tambahan yang tidak ada timbal baliknya, maka inilah riba.Dalil dari As-Sunnahعن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن صفقتين في صفقةDari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua transaksi dalam satu transaksi.”عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: نهى النبي ﷺ عن بيعتين في بيعةDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”Dan dalam satu riwayat, “Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka ia mendapatkan harga yang paling rendah atau terjerumus ke dalam riba.”Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang kuat, wallahu ‘alam, adalah pendapat yang membolehkan jual beli dengan harga yang berbeda antara tunai dan kredit. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:Pertama, hukum asal pada masalah muamalah harta adalah mubah hukumnya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat kuat dalam masalah muamalah. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka hukumnya adalah mubah.Kedua, bentuk jual beli kredit merealisasikan kemaslahatan untuk masyarakat. Mengingat jual beli kredit itu mempermudah masyarakat untuk melakukan aktivitas jual beli dan membawa pergerakan ekonomi. Sehingga masyarakat pun bisa saling melakukan transaksi tanpa melakukan pelanggaran syariat.Oleh karena itu, banyak dari para ulama di zaman ini memfatwakan akan bolehnya. Namun tentunya terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan akan perbedaan harga tersebut. Di antaranya,Pertama, tambahan yang ada tidak boleh dalam bentuk yang menzalimi. Misalnya, memperdaya pembeli dikarenakan pembeli sangat butuh terhadap barang itu, dan akhirnya harga kredit pun ditinggikan (secara tidak wajar).Kedua, tidak ada syarat yang mengikat berupa denda tambahan jika pembeli tidak dapat membayarnya. Karena hal tersebut termasuk riba yang diharamkan.Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3 Lanjut ke bagian 5***Depok, 29 Syawal 1446/ 27 April 2025Penulis: Zia AbdurrofiArtikel Muslim.or.id Referensi:Secara umum, pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali; dan beberapa referensi lainnya.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Adl”Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl”Makna bahasa dari “Al-’Adl”Makna “Al-’Adl” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hambaBeriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat AllahBeriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-NyaBerlaku adil dan menjauhi kezalimanTakut kepada hari kiamat Salah satu nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-‘Adl, yaitu Dzat yang Mahaadil. Nama ini menunjukkan bahwa semua ketetapan Allah, baik dalam ciptaan-Nya, syariat-Nya, maupun balasan di akhirat, pasti berdasarkan keadilan yang sempurna. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikit pun, dan tidak ada satu pun amal yang terlewat dari perhitungan-Nya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas seputar nama Allah Al-‘Adl: dalil-dalil yang menunjukkan nama ini dan pandangan para ulama mengenainya; kandungan makna nama Al-‘Adl; dan bagaimana pengaruh atau konsekuensi dari mengenal nama ini dalam kehidupan seorang hamba. Dalil nama Allah “Al-‘Adl” Nama Al-‘Adl tidak disebut secara eksplisit sebagai nama Allah dalam Al-Quran, dan tidak ada hadis sahih yang secara jelas menetapkannya sebagai nama. Namun, nama ini muncul dalam hadis penghimpunan nama-nama Allah yang terkenal, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya. Para ulama telah membahas hadis tersebut dan melemahkan penisbahan penyebutan nama-nama tersebut secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ash-Shan‘ani rahimahullah berkata, اتفق الحفاظ أن سردها –أي عد أسماء الله تعالى في الحديث- إدراج من بعض الرواة. “Para ahli hadis sepakat bahwa penyebutan berurutan nama-nama Allah dalam hadis itu merupakan sisipan dari sebagian perawi.” [1] Namun demikian, kata al-‘Adl disebutkan dalam Al-Quran sebagai sifat yang melekat pada kalimat-kalimat Allah, seperti dalam firman-Nya, وتمت كلمة ربك صدقاً وعدلاً “Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu (yang berupa janji dan ancaman) dalam kebenaran dan keadilan.” (QS. Al-An‘ām: 115) Selain itu, telah diketahui dengan pasti bahwa Allah Ta‘ala disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3150) dan Muslim (no. 1062) dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, tentang seseorang yang memprotes pembagian harta rampasan perang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?” [2] Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam menghitung (memasukkan) al-‘Adl sebagai bagian dari nama-nama Allah. Sebagian dari mereka memasukkannya ke dalam daftar al-asmā’ al-ḥusnā, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mandah, Ibn al-‘Arabi, Al-Bayhaqi [3], dan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy [4] rahimahumullah. Wallaahu a’lam. Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-’Adl” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-’Adl” Secara bahasa, al-‘adl ( الْعَدْلُ ) adalah sikap pertengahan (seimbang dan lurus) dalam segala urusan, lawan dari al-jawr ( الْجَوْرِ ), yaitu kezaliman. [5] Al-‘adl dari kalangan manusia bermakna seseorang yang terpuji, lurus dalam jalan dan perilakunya. Dikatakan, “Hādzā ‘adl” ( هَذَا ‌عَدْلٌ ) – “Orang ini adalah pribadi yang adil.” [6] Makna “Al-’Adl” dalam konteks Allah Tentang makna Al-’Adl dalam konteks ini, Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan, وَالله تَعَالَى عَادل فِي أَحْكَامه وقضاياه عَن الْجور. فأفعاله حَسَنَة وَهُوَ كَمَا قَالَ {وَالله يقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذين يدعونَ من دونه لَا يقضون بِشَيْء} “Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang adil dalam seluruh hukum dan keputusan-Nya, jauh dari sifat kezaliman. Semua perbuatan-Nya adalah baik, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah menetapkan hukum dengan kebenaran, sementara mereka yang diseru selain-Nya tidak dapat menetapkan hukum apa pun.’ (QS. Ghāfir: 20)” [7] Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nūniyyah-nya berkata, ‌والعَدْلُ ‌مِنْ ‌أَوْصَافِهِ فِي فِعْلِهِ … وَمَقَالِهِ والحُكْمِ بالمِيزَانِ “Keadilan adalah salah satu sifat-Nya dalam perbuatan-Nya, dalam ucapan-Nya, dan dalam keputusan-Nya yang selalu memakai timbangan yang tepat.” [8] Ketika menjelaskan bait tersebut, Syekh Muḥammad Khalīl Harrās mengatakan, “Dia Subḥānahu disifati dengan keadilan dalam seluruh perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya berjalan di atas jalur keadilan dan kelurusan, tanpa sedikit pun mengandung unsur kezaliman. Seluruhnya berputar antara karunia dan rahmat, serta antara keadilan dan hikmah.” [9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan di akhir kitab tafsir beliau, ketika menjelaskan dua nama Allah Al-Hakam dan Al-’Adl; beliau mengatakan, “(Allah adalah) al-Ḥakam (Dzat yang memutuskan hukum), al-‘Adl (Dzat yang Mahaadil), yang menetapkan hukum di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat dengan keadilan dan keseimbangan-Nya. Dia tidak menzalimi meski seberat dzarrah, tidak membebani seseorang dengan dosa orang lain, tidak menghukum melebihi dosa yang dilakukan, dan Dia memberikan hak kepada pemiliknya — tidak membiarkan satu pun orang yang berhak tanpa diberikan haknya. Dialah al-‘Adl dalam pengaturan dan ketetapan-Nya. Firman-Nya (yang artinya), {Sesungguhnya Rabbku berada di atas jalan yang lurus} (QS. Hūd: 56).” [10] Dengan demikian, al-‘Adl dalam hak Allah berarti bahwa seluruh keputusan, perbuatan, dan ketetapan-Nya sempurna dalam keadilan, tidak ada satu pun yang mengandung kezaliman atau penyimpangan. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Adl” bagi Allah Ta’ala (bagi yang menetapkannya) dan sifat ‘Adl bagi-Nya, memiliki banyak konsekunsi. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat Allah Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang sahih, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaiman telah di sampaikan di pembahasan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فمَن يَعْدِلُ إذا لم يَعْدِلِ اللهُ ورسولُه؟ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?!” (HR. Bukhari no. 3150 – lafaz ini milik Bukhari, dan Muslim no. 1062) Sifat keadilan ini adalah sifat dzātiyyah (melekat pada Dzat-Nya). Maksudnya, Allah senantiasa dan selamanya bersifat dengan keadilan. Tidak pernah ada waktu di mana Allah tidak bersifat adil, dan tidak akan ada masa di mana keadilan-Nya lenyap. [11] Beriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-Nya Allah adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam seluruh perkara: dalam syariat yang Dia turunkan, dalam penciptaan makhluk-Nya, dan dalam pemberian balasan atas amal perbuatan. Syekh As-Sa‘di rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta‘ala, شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu – (semuanya bersaksi bahwa Dia) menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Āli ‘Imrān: 18); beliau mengatakan, “Adapun al-qisṭh (keadilan) adalah keadilan yang sempurna. Allah Ta‘ala adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam syariat-Nya, dalam penciptaan-Nya, dan dalam pembalasan-Nya. Semua ibadah dan muamalah yang disyariatkan, serta seluruh perintah dan larangan, adalah adil dan seimbang. Tidak ada kezaliman padanya dalam bentuk apa pun. Bahkan, seluruhnya disusun dengan sangat rapi dan penuh hikmah. Adapun balasan atas amal perbuatan juga berjalan antara dua hal: (1) karunia dan kebaikan Allah kepada orang-orang yang bertauhid dan beriman, dan (2) keadilan-Nya dalam menghukum orang-orang kafir dan durhaka. Allah tidak mengurangi sedikit pun dari kebaikan mereka, dan tidak menghukum mereka kecuali atas dosa yang mereka lakukan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.’ (QS. Al-An‘ām: 164).” [12] Berlaku adil dan menjauhi kezaliman Allah Ta‘ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dan melarang segala bentuk kezaliman. Perintah ini berlaku umum, baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman, وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ “Dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syūrā: 15) Dan firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Naḥl: 90) Sebaliknya, lawan dari keadilan adalah kezaliman, dan ia merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah Ta‘ala telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, dan mengharamkannya pula di antara sesama hamba. Orang zalim tidak akan beruntung, sebagaimana dalam firman-firman-Nya, إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.”  (QS. Al-An‘ām: 21) Dan tidak diragukan lagi bahwa bentuk kezaliman paling besar adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān: 13) [13] Takut kepada hari kiamat Salah satu pengaruh dari mengenal nama Allah Al-‘Adl adalah timbulnya rasa takut terhadap hari kiamat. Sebab pada hari itulah keadilan yang sejati akan ditegakkan, bukan di dunia yang sering dipenuhi oleh kezaliman dan ketimpangan. Allah Ta‘ala berfirman, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ “Dan timbangan pada hari itu adalah kebenaran (yang adil).” (QS. Al-A‘rāf: 8) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya di surah Āli ‘Imrān menjelaskan bahwa hari kiamat (qiyaamah) dinamakan demikian karena tiga hal: Pertama: manusia bangkit (qiyaam) dari kubur mereka, Kedua: para saksi (malaikat dan lainnya) berdiri (qiyaam) untuk memberikan kesaksian, Ketiga: ditegakkan (qiyaam) keadilan secara sempurna. Beliau menyebutkan firman Allah, وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ “Dan Kami akan tegakkan timbangan-timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Dan jika (amal itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Penghisab.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) [14] Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang berlaku adil, dan lindungilah kami dari kezaliman di dunia dan akhirat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliim” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Subul as-Salam, 4: 108. [2] https://islamqa.info/ar/answers/104488/ [3] Asmā’ Allāh al-Ḥusnā karya ‘Abdullah bin Shāliḥ al-Ghashn, hal. 334. [4] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 398. [6] Maqāyīs al-Lughah, hal. 646. Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan bahwasanya kata ini memiliki dua akar makna yang berlawanan. Salah satunya menunjukkan makna ‘keseimbangan’ dan yang lainnya menunjukkan ‘penyimpangan’. Lihat juga Isytiqāq Asmā’ Allah, hal. 69. [7] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 44. [8] Nūniyyah Ibn al-Qayyim, bait ke-3334. [9] Syarḥ an-Nūniyyah, 2: 98; dinukil dari https://dorar.net/aqeeda/735/ [10] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [11] https://islamqa.info/ar/answers/353989/ [12] Taysīr al-Laṭīf al-Mannān, hal. 20. [13] https://www.alukah.net/sharia/0/30319/ [14] Tafsir Al-’Utsaimin – Surat Ali ‘Imran, hal. 442.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Adl”Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl”Makna bahasa dari “Al-’Adl”Makna “Al-’Adl” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hambaBeriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat AllahBeriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-NyaBerlaku adil dan menjauhi kezalimanTakut kepada hari kiamat Salah satu nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-‘Adl, yaitu Dzat yang Mahaadil. Nama ini menunjukkan bahwa semua ketetapan Allah, baik dalam ciptaan-Nya, syariat-Nya, maupun balasan di akhirat, pasti berdasarkan keadilan yang sempurna. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikit pun, dan tidak ada satu pun amal yang terlewat dari perhitungan-Nya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas seputar nama Allah Al-‘Adl: dalil-dalil yang menunjukkan nama ini dan pandangan para ulama mengenainya; kandungan makna nama Al-‘Adl; dan bagaimana pengaruh atau konsekuensi dari mengenal nama ini dalam kehidupan seorang hamba. Dalil nama Allah “Al-‘Adl” Nama Al-‘Adl tidak disebut secara eksplisit sebagai nama Allah dalam Al-Quran, dan tidak ada hadis sahih yang secara jelas menetapkannya sebagai nama. Namun, nama ini muncul dalam hadis penghimpunan nama-nama Allah yang terkenal, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya. Para ulama telah membahas hadis tersebut dan melemahkan penisbahan penyebutan nama-nama tersebut secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ash-Shan‘ani rahimahullah berkata, اتفق الحفاظ أن سردها –أي عد أسماء الله تعالى في الحديث- إدراج من بعض الرواة. “Para ahli hadis sepakat bahwa penyebutan berurutan nama-nama Allah dalam hadis itu merupakan sisipan dari sebagian perawi.” [1] Namun demikian, kata al-‘Adl disebutkan dalam Al-Quran sebagai sifat yang melekat pada kalimat-kalimat Allah, seperti dalam firman-Nya, وتمت كلمة ربك صدقاً وعدلاً “Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu (yang berupa janji dan ancaman) dalam kebenaran dan keadilan.” (QS. Al-An‘ām: 115) Selain itu, telah diketahui dengan pasti bahwa Allah Ta‘ala disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3150) dan Muslim (no. 1062) dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, tentang seseorang yang memprotes pembagian harta rampasan perang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?” [2] Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam menghitung (memasukkan) al-‘Adl sebagai bagian dari nama-nama Allah. Sebagian dari mereka memasukkannya ke dalam daftar al-asmā’ al-ḥusnā, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mandah, Ibn al-‘Arabi, Al-Bayhaqi [3], dan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy [4] rahimahumullah. Wallaahu a’lam. Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-’Adl” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-’Adl” Secara bahasa, al-‘adl ( الْعَدْلُ ) adalah sikap pertengahan (seimbang dan lurus) dalam segala urusan, lawan dari al-jawr ( الْجَوْرِ ), yaitu kezaliman. [5] Al-‘adl dari kalangan manusia bermakna seseorang yang terpuji, lurus dalam jalan dan perilakunya. Dikatakan, “Hādzā ‘adl” ( هَذَا ‌عَدْلٌ ) – “Orang ini adalah pribadi yang adil.” [6] Makna “Al-’Adl” dalam konteks Allah Tentang makna Al-’Adl dalam konteks ini, Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan, وَالله تَعَالَى عَادل فِي أَحْكَامه وقضاياه عَن الْجور. فأفعاله حَسَنَة وَهُوَ كَمَا قَالَ {وَالله يقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذين يدعونَ من دونه لَا يقضون بِشَيْء} “Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang adil dalam seluruh hukum dan keputusan-Nya, jauh dari sifat kezaliman. Semua perbuatan-Nya adalah baik, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah menetapkan hukum dengan kebenaran, sementara mereka yang diseru selain-Nya tidak dapat menetapkan hukum apa pun.’ (QS. Ghāfir: 20)” [7] Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nūniyyah-nya berkata, ‌والعَدْلُ ‌مِنْ ‌أَوْصَافِهِ فِي فِعْلِهِ … وَمَقَالِهِ والحُكْمِ بالمِيزَانِ “Keadilan adalah salah satu sifat-Nya dalam perbuatan-Nya, dalam ucapan-Nya, dan dalam keputusan-Nya yang selalu memakai timbangan yang tepat.” [8] Ketika menjelaskan bait tersebut, Syekh Muḥammad Khalīl Harrās mengatakan, “Dia Subḥānahu disifati dengan keadilan dalam seluruh perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya berjalan di atas jalur keadilan dan kelurusan, tanpa sedikit pun mengandung unsur kezaliman. Seluruhnya berputar antara karunia dan rahmat, serta antara keadilan dan hikmah.” [9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan di akhir kitab tafsir beliau, ketika menjelaskan dua nama Allah Al-Hakam dan Al-’Adl; beliau mengatakan, “(Allah adalah) al-Ḥakam (Dzat yang memutuskan hukum), al-‘Adl (Dzat yang Mahaadil), yang menetapkan hukum di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat dengan keadilan dan keseimbangan-Nya. Dia tidak menzalimi meski seberat dzarrah, tidak membebani seseorang dengan dosa orang lain, tidak menghukum melebihi dosa yang dilakukan, dan Dia memberikan hak kepada pemiliknya — tidak membiarkan satu pun orang yang berhak tanpa diberikan haknya. Dialah al-‘Adl dalam pengaturan dan ketetapan-Nya. Firman-Nya (yang artinya), {Sesungguhnya Rabbku berada di atas jalan yang lurus} (QS. Hūd: 56).” [10] Dengan demikian, al-‘Adl dalam hak Allah berarti bahwa seluruh keputusan, perbuatan, dan ketetapan-Nya sempurna dalam keadilan, tidak ada satu pun yang mengandung kezaliman atau penyimpangan. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Adl” bagi Allah Ta’ala (bagi yang menetapkannya) dan sifat ‘Adl bagi-Nya, memiliki banyak konsekunsi. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat Allah Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang sahih, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaiman telah di sampaikan di pembahasan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فمَن يَعْدِلُ إذا لم يَعْدِلِ اللهُ ورسولُه؟ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?!” (HR. Bukhari no. 3150 – lafaz ini milik Bukhari, dan Muslim no. 1062) Sifat keadilan ini adalah sifat dzātiyyah (melekat pada Dzat-Nya). Maksudnya, Allah senantiasa dan selamanya bersifat dengan keadilan. Tidak pernah ada waktu di mana Allah tidak bersifat adil, dan tidak akan ada masa di mana keadilan-Nya lenyap. [11] Beriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-Nya Allah adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam seluruh perkara: dalam syariat yang Dia turunkan, dalam penciptaan makhluk-Nya, dan dalam pemberian balasan atas amal perbuatan. Syekh As-Sa‘di rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta‘ala, شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu – (semuanya bersaksi bahwa Dia) menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Āli ‘Imrān: 18); beliau mengatakan, “Adapun al-qisṭh (keadilan) adalah keadilan yang sempurna. Allah Ta‘ala adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam syariat-Nya, dalam penciptaan-Nya, dan dalam pembalasan-Nya. Semua ibadah dan muamalah yang disyariatkan, serta seluruh perintah dan larangan, adalah adil dan seimbang. Tidak ada kezaliman padanya dalam bentuk apa pun. Bahkan, seluruhnya disusun dengan sangat rapi dan penuh hikmah. Adapun balasan atas amal perbuatan juga berjalan antara dua hal: (1) karunia dan kebaikan Allah kepada orang-orang yang bertauhid dan beriman, dan (2) keadilan-Nya dalam menghukum orang-orang kafir dan durhaka. Allah tidak mengurangi sedikit pun dari kebaikan mereka, dan tidak menghukum mereka kecuali atas dosa yang mereka lakukan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.’ (QS. Al-An‘ām: 164).” [12] Berlaku adil dan menjauhi kezaliman Allah Ta‘ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dan melarang segala bentuk kezaliman. Perintah ini berlaku umum, baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman, وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ “Dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syūrā: 15) Dan firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Naḥl: 90) Sebaliknya, lawan dari keadilan adalah kezaliman, dan ia merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah Ta‘ala telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, dan mengharamkannya pula di antara sesama hamba. Orang zalim tidak akan beruntung, sebagaimana dalam firman-firman-Nya, إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.”  (QS. Al-An‘ām: 21) Dan tidak diragukan lagi bahwa bentuk kezaliman paling besar adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān: 13) [13] Takut kepada hari kiamat Salah satu pengaruh dari mengenal nama Allah Al-‘Adl adalah timbulnya rasa takut terhadap hari kiamat. Sebab pada hari itulah keadilan yang sejati akan ditegakkan, bukan di dunia yang sering dipenuhi oleh kezaliman dan ketimpangan. Allah Ta‘ala berfirman, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ “Dan timbangan pada hari itu adalah kebenaran (yang adil).” (QS. Al-A‘rāf: 8) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya di surah Āli ‘Imrān menjelaskan bahwa hari kiamat (qiyaamah) dinamakan demikian karena tiga hal: Pertama: manusia bangkit (qiyaam) dari kubur mereka, Kedua: para saksi (malaikat dan lainnya) berdiri (qiyaam) untuk memberikan kesaksian, Ketiga: ditegakkan (qiyaam) keadilan secara sempurna. Beliau menyebutkan firman Allah, وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ “Dan Kami akan tegakkan timbangan-timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Dan jika (amal itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Penghisab.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) [14] Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang berlaku adil, dan lindungilah kami dari kezaliman di dunia dan akhirat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliim” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Subul as-Salam, 4: 108. [2] https://islamqa.info/ar/answers/104488/ [3] Asmā’ Allāh al-Ḥusnā karya ‘Abdullah bin Shāliḥ al-Ghashn, hal. 334. [4] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 398. [6] Maqāyīs al-Lughah, hal. 646. Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan bahwasanya kata ini memiliki dua akar makna yang berlawanan. Salah satunya menunjukkan makna ‘keseimbangan’ dan yang lainnya menunjukkan ‘penyimpangan’. Lihat juga Isytiqāq Asmā’ Allah, hal. 69. [7] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 44. [8] Nūniyyah Ibn al-Qayyim, bait ke-3334. [9] Syarḥ an-Nūniyyah, 2: 98; dinukil dari https://dorar.net/aqeeda/735/ [10] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [11] https://islamqa.info/ar/answers/353989/ [12] Taysīr al-Laṭīf al-Mannān, hal. 20. [13] https://www.alukah.net/sharia/0/30319/ [14] Tafsir Al-’Utsaimin – Surat Ali ‘Imran, hal. 442.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Adl”Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl”Makna bahasa dari “Al-’Adl”Makna “Al-’Adl” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hambaBeriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat AllahBeriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-NyaBerlaku adil dan menjauhi kezalimanTakut kepada hari kiamat Salah satu nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-‘Adl, yaitu Dzat yang Mahaadil. Nama ini menunjukkan bahwa semua ketetapan Allah, baik dalam ciptaan-Nya, syariat-Nya, maupun balasan di akhirat, pasti berdasarkan keadilan yang sempurna. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikit pun, dan tidak ada satu pun amal yang terlewat dari perhitungan-Nya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas seputar nama Allah Al-‘Adl: dalil-dalil yang menunjukkan nama ini dan pandangan para ulama mengenainya; kandungan makna nama Al-‘Adl; dan bagaimana pengaruh atau konsekuensi dari mengenal nama ini dalam kehidupan seorang hamba. Dalil nama Allah “Al-‘Adl” Nama Al-‘Adl tidak disebut secara eksplisit sebagai nama Allah dalam Al-Quran, dan tidak ada hadis sahih yang secara jelas menetapkannya sebagai nama. Namun, nama ini muncul dalam hadis penghimpunan nama-nama Allah yang terkenal, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya. Para ulama telah membahas hadis tersebut dan melemahkan penisbahan penyebutan nama-nama tersebut secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ash-Shan‘ani rahimahullah berkata, اتفق الحفاظ أن سردها –أي عد أسماء الله تعالى في الحديث- إدراج من بعض الرواة. “Para ahli hadis sepakat bahwa penyebutan berurutan nama-nama Allah dalam hadis itu merupakan sisipan dari sebagian perawi.” [1] Namun demikian, kata al-‘Adl disebutkan dalam Al-Quran sebagai sifat yang melekat pada kalimat-kalimat Allah, seperti dalam firman-Nya, وتمت كلمة ربك صدقاً وعدلاً “Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu (yang berupa janji dan ancaman) dalam kebenaran dan keadilan.” (QS. Al-An‘ām: 115) Selain itu, telah diketahui dengan pasti bahwa Allah Ta‘ala disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3150) dan Muslim (no. 1062) dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, tentang seseorang yang memprotes pembagian harta rampasan perang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?” [2] Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam menghitung (memasukkan) al-‘Adl sebagai bagian dari nama-nama Allah. Sebagian dari mereka memasukkannya ke dalam daftar al-asmā’ al-ḥusnā, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mandah, Ibn al-‘Arabi, Al-Bayhaqi [3], dan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy [4] rahimahumullah. Wallaahu a’lam. Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-’Adl” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-’Adl” Secara bahasa, al-‘adl ( الْعَدْلُ ) adalah sikap pertengahan (seimbang dan lurus) dalam segala urusan, lawan dari al-jawr ( الْجَوْرِ ), yaitu kezaliman. [5] Al-‘adl dari kalangan manusia bermakna seseorang yang terpuji, lurus dalam jalan dan perilakunya. Dikatakan, “Hādzā ‘adl” ( هَذَا ‌عَدْلٌ ) – “Orang ini adalah pribadi yang adil.” [6] Makna “Al-’Adl” dalam konteks Allah Tentang makna Al-’Adl dalam konteks ini, Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan, وَالله تَعَالَى عَادل فِي أَحْكَامه وقضاياه عَن الْجور. فأفعاله حَسَنَة وَهُوَ كَمَا قَالَ {وَالله يقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذين يدعونَ من دونه لَا يقضون بِشَيْء} “Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang adil dalam seluruh hukum dan keputusan-Nya, jauh dari sifat kezaliman. Semua perbuatan-Nya adalah baik, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah menetapkan hukum dengan kebenaran, sementara mereka yang diseru selain-Nya tidak dapat menetapkan hukum apa pun.’ (QS. Ghāfir: 20)” [7] Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nūniyyah-nya berkata, ‌والعَدْلُ ‌مِنْ ‌أَوْصَافِهِ فِي فِعْلِهِ … وَمَقَالِهِ والحُكْمِ بالمِيزَانِ “Keadilan adalah salah satu sifat-Nya dalam perbuatan-Nya, dalam ucapan-Nya, dan dalam keputusan-Nya yang selalu memakai timbangan yang tepat.” [8] Ketika menjelaskan bait tersebut, Syekh Muḥammad Khalīl Harrās mengatakan, “Dia Subḥānahu disifati dengan keadilan dalam seluruh perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya berjalan di atas jalur keadilan dan kelurusan, tanpa sedikit pun mengandung unsur kezaliman. Seluruhnya berputar antara karunia dan rahmat, serta antara keadilan dan hikmah.” [9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan di akhir kitab tafsir beliau, ketika menjelaskan dua nama Allah Al-Hakam dan Al-’Adl; beliau mengatakan, “(Allah adalah) al-Ḥakam (Dzat yang memutuskan hukum), al-‘Adl (Dzat yang Mahaadil), yang menetapkan hukum di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat dengan keadilan dan keseimbangan-Nya. Dia tidak menzalimi meski seberat dzarrah, tidak membebani seseorang dengan dosa orang lain, tidak menghukum melebihi dosa yang dilakukan, dan Dia memberikan hak kepada pemiliknya — tidak membiarkan satu pun orang yang berhak tanpa diberikan haknya. Dialah al-‘Adl dalam pengaturan dan ketetapan-Nya. Firman-Nya (yang artinya), {Sesungguhnya Rabbku berada di atas jalan yang lurus} (QS. Hūd: 56).” [10] Dengan demikian, al-‘Adl dalam hak Allah berarti bahwa seluruh keputusan, perbuatan, dan ketetapan-Nya sempurna dalam keadilan, tidak ada satu pun yang mengandung kezaliman atau penyimpangan. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Adl” bagi Allah Ta’ala (bagi yang menetapkannya) dan sifat ‘Adl bagi-Nya, memiliki banyak konsekunsi. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat Allah Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang sahih, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaiman telah di sampaikan di pembahasan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فمَن يَعْدِلُ إذا لم يَعْدِلِ اللهُ ورسولُه؟ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?!” (HR. Bukhari no. 3150 – lafaz ini milik Bukhari, dan Muslim no. 1062) Sifat keadilan ini adalah sifat dzātiyyah (melekat pada Dzat-Nya). Maksudnya, Allah senantiasa dan selamanya bersifat dengan keadilan. Tidak pernah ada waktu di mana Allah tidak bersifat adil, dan tidak akan ada masa di mana keadilan-Nya lenyap. [11] Beriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-Nya Allah adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam seluruh perkara: dalam syariat yang Dia turunkan, dalam penciptaan makhluk-Nya, dan dalam pemberian balasan atas amal perbuatan. Syekh As-Sa‘di rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta‘ala, شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu – (semuanya bersaksi bahwa Dia) menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Āli ‘Imrān: 18); beliau mengatakan, “Adapun al-qisṭh (keadilan) adalah keadilan yang sempurna. Allah Ta‘ala adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam syariat-Nya, dalam penciptaan-Nya, dan dalam pembalasan-Nya. Semua ibadah dan muamalah yang disyariatkan, serta seluruh perintah dan larangan, adalah adil dan seimbang. Tidak ada kezaliman padanya dalam bentuk apa pun. Bahkan, seluruhnya disusun dengan sangat rapi dan penuh hikmah. Adapun balasan atas amal perbuatan juga berjalan antara dua hal: (1) karunia dan kebaikan Allah kepada orang-orang yang bertauhid dan beriman, dan (2) keadilan-Nya dalam menghukum orang-orang kafir dan durhaka. Allah tidak mengurangi sedikit pun dari kebaikan mereka, dan tidak menghukum mereka kecuali atas dosa yang mereka lakukan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.’ (QS. Al-An‘ām: 164).” [12] Berlaku adil dan menjauhi kezaliman Allah Ta‘ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dan melarang segala bentuk kezaliman. Perintah ini berlaku umum, baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman, وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ “Dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syūrā: 15) Dan firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Naḥl: 90) Sebaliknya, lawan dari keadilan adalah kezaliman, dan ia merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah Ta‘ala telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, dan mengharamkannya pula di antara sesama hamba. Orang zalim tidak akan beruntung, sebagaimana dalam firman-firman-Nya, إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.”  (QS. Al-An‘ām: 21) Dan tidak diragukan lagi bahwa bentuk kezaliman paling besar adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān: 13) [13] Takut kepada hari kiamat Salah satu pengaruh dari mengenal nama Allah Al-‘Adl adalah timbulnya rasa takut terhadap hari kiamat. Sebab pada hari itulah keadilan yang sejati akan ditegakkan, bukan di dunia yang sering dipenuhi oleh kezaliman dan ketimpangan. Allah Ta‘ala berfirman, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ “Dan timbangan pada hari itu adalah kebenaran (yang adil).” (QS. Al-A‘rāf: 8) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya di surah Āli ‘Imrān menjelaskan bahwa hari kiamat (qiyaamah) dinamakan demikian karena tiga hal: Pertama: manusia bangkit (qiyaam) dari kubur mereka, Kedua: para saksi (malaikat dan lainnya) berdiri (qiyaam) untuk memberikan kesaksian, Ketiga: ditegakkan (qiyaam) keadilan secara sempurna. Beliau menyebutkan firman Allah, وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ “Dan Kami akan tegakkan timbangan-timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Dan jika (amal itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Penghisab.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) [14] Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang berlaku adil, dan lindungilah kami dari kezaliman di dunia dan akhirat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliim” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Subul as-Salam, 4: 108. [2] https://islamqa.info/ar/answers/104488/ [3] Asmā’ Allāh al-Ḥusnā karya ‘Abdullah bin Shāliḥ al-Ghashn, hal. 334. [4] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 398. [6] Maqāyīs al-Lughah, hal. 646. Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan bahwasanya kata ini memiliki dua akar makna yang berlawanan. Salah satunya menunjukkan makna ‘keseimbangan’ dan yang lainnya menunjukkan ‘penyimpangan’. Lihat juga Isytiqāq Asmā’ Allah, hal. 69. [7] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 44. [8] Nūniyyah Ibn al-Qayyim, bait ke-3334. [9] Syarḥ an-Nūniyyah, 2: 98; dinukil dari https://dorar.net/aqeeda/735/ [10] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [11] https://islamqa.info/ar/answers/353989/ [12] Taysīr al-Laṭīf al-Mannān, hal. 20. [13] https://www.alukah.net/sharia/0/30319/ [14] Tafsir Al-’Utsaimin – Surat Ali ‘Imran, hal. 442.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Adl”Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl”Makna bahasa dari “Al-’Adl”Makna “Al-’Adl” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hambaBeriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat AllahBeriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-NyaBerlaku adil dan menjauhi kezalimanTakut kepada hari kiamat Salah satu nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-‘Adl, yaitu Dzat yang Mahaadil. Nama ini menunjukkan bahwa semua ketetapan Allah, baik dalam ciptaan-Nya, syariat-Nya, maupun balasan di akhirat, pasti berdasarkan keadilan yang sempurna. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikit pun, dan tidak ada satu pun amal yang terlewat dari perhitungan-Nya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas seputar nama Allah Al-‘Adl: dalil-dalil yang menunjukkan nama ini dan pandangan para ulama mengenainya; kandungan makna nama Al-‘Adl; dan bagaimana pengaruh atau konsekuensi dari mengenal nama ini dalam kehidupan seorang hamba. Dalil nama Allah “Al-‘Adl” Nama Al-‘Adl tidak disebut secara eksplisit sebagai nama Allah dalam Al-Quran, dan tidak ada hadis sahih yang secara jelas menetapkannya sebagai nama. Namun, nama ini muncul dalam hadis penghimpunan nama-nama Allah yang terkenal, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya. Para ulama telah membahas hadis tersebut dan melemahkan penisbahan penyebutan nama-nama tersebut secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ash-Shan‘ani rahimahullah berkata, اتفق الحفاظ أن سردها –أي عد أسماء الله تعالى في الحديث- إدراج من بعض الرواة. “Para ahli hadis sepakat bahwa penyebutan berurutan nama-nama Allah dalam hadis itu merupakan sisipan dari sebagian perawi.” [1] Namun demikian, kata al-‘Adl disebutkan dalam Al-Quran sebagai sifat yang melekat pada kalimat-kalimat Allah, seperti dalam firman-Nya, وتمت كلمة ربك صدقاً وعدلاً “Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu (yang berupa janji dan ancaman) dalam kebenaran dan keadilan.” (QS. Al-An‘ām: 115) Selain itu, telah diketahui dengan pasti bahwa Allah Ta‘ala disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3150) dan Muslim (no. 1062) dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, tentang seseorang yang memprotes pembagian harta rampasan perang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?” [2] Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam menghitung (memasukkan) al-‘Adl sebagai bagian dari nama-nama Allah. Sebagian dari mereka memasukkannya ke dalam daftar al-asmā’ al-ḥusnā, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mandah, Ibn al-‘Arabi, Al-Bayhaqi [3], dan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy [4] rahimahumullah. Wallaahu a’lam. Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-’Adl” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-’Adl” Secara bahasa, al-‘adl ( الْعَدْلُ ) adalah sikap pertengahan (seimbang dan lurus) dalam segala urusan, lawan dari al-jawr ( الْجَوْرِ ), yaitu kezaliman. [5] Al-‘adl dari kalangan manusia bermakna seseorang yang terpuji, lurus dalam jalan dan perilakunya. Dikatakan, “Hādzā ‘adl” ( هَذَا ‌عَدْلٌ ) – “Orang ini adalah pribadi yang adil.” [6] Makna “Al-’Adl” dalam konteks Allah Tentang makna Al-’Adl dalam konteks ini, Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan, وَالله تَعَالَى عَادل فِي أَحْكَامه وقضاياه عَن الْجور. فأفعاله حَسَنَة وَهُوَ كَمَا قَالَ {وَالله يقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذين يدعونَ من دونه لَا يقضون بِشَيْء} “Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang adil dalam seluruh hukum dan keputusan-Nya, jauh dari sifat kezaliman. Semua perbuatan-Nya adalah baik, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah menetapkan hukum dengan kebenaran, sementara mereka yang diseru selain-Nya tidak dapat menetapkan hukum apa pun.’ (QS. Ghāfir: 20)” [7] Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nūniyyah-nya berkata, ‌والعَدْلُ ‌مِنْ ‌أَوْصَافِهِ فِي فِعْلِهِ … وَمَقَالِهِ والحُكْمِ بالمِيزَانِ “Keadilan adalah salah satu sifat-Nya dalam perbuatan-Nya, dalam ucapan-Nya, dan dalam keputusan-Nya yang selalu memakai timbangan yang tepat.” [8] Ketika menjelaskan bait tersebut, Syekh Muḥammad Khalīl Harrās mengatakan, “Dia Subḥānahu disifati dengan keadilan dalam seluruh perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya berjalan di atas jalur keadilan dan kelurusan, tanpa sedikit pun mengandung unsur kezaliman. Seluruhnya berputar antara karunia dan rahmat, serta antara keadilan dan hikmah.” [9] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan di akhir kitab tafsir beliau, ketika menjelaskan dua nama Allah Al-Hakam dan Al-’Adl; beliau mengatakan, “(Allah adalah) al-Ḥakam (Dzat yang memutuskan hukum), al-‘Adl (Dzat yang Mahaadil), yang menetapkan hukum di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat dengan keadilan dan keseimbangan-Nya. Dia tidak menzalimi meski seberat dzarrah, tidak membebani seseorang dengan dosa orang lain, tidak menghukum melebihi dosa yang dilakukan, dan Dia memberikan hak kepada pemiliknya — tidak membiarkan satu pun orang yang berhak tanpa diberikan haknya. Dialah al-‘Adl dalam pengaturan dan ketetapan-Nya. Firman-Nya (yang artinya), {Sesungguhnya Rabbku berada di atas jalan yang lurus} (QS. Hūd: 56).” [10] Dengan demikian, al-‘Adl dalam hak Allah berarti bahwa seluruh keputusan, perbuatan, dan ketetapan-Nya sempurna dalam keadilan, tidak ada satu pun yang mengandung kezaliman atau penyimpangan. Wallaahu a’lam. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hamba Penetapan nama “Al-’Adl” bagi Allah Ta’ala (bagi yang menetapkannya) dan sifat ‘Adl bagi-Nya, memiliki banyak konsekunsi. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat Allah Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang sahih, di antaranya hadis dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaiman telah di sampaikan di pembahasan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, فمَن يَعْدِلُ إذا لم يَعْدِلِ اللهُ ورسولُه؟ “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?!” (HR. Bukhari no. 3150 – lafaz ini milik Bukhari, dan Muslim no. 1062) Sifat keadilan ini adalah sifat dzātiyyah (melekat pada Dzat-Nya). Maksudnya, Allah senantiasa dan selamanya bersifat dengan keadilan. Tidak pernah ada waktu di mana Allah tidak bersifat adil, dan tidak akan ada masa di mana keadilan-Nya lenyap. [11] Beriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-Nya Allah adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam seluruh perkara: dalam syariat yang Dia turunkan, dalam penciptaan makhluk-Nya, dan dalam pemberian balasan atas amal perbuatan. Syekh As-Sa‘di rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta‘ala, شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu – (semuanya bersaksi bahwa Dia) menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Āli ‘Imrān: 18); beliau mengatakan, “Adapun al-qisṭh (keadilan) adalah keadilan yang sempurna. Allah Ta‘ala adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam syariat-Nya, dalam penciptaan-Nya, dan dalam pembalasan-Nya. Semua ibadah dan muamalah yang disyariatkan, serta seluruh perintah dan larangan, adalah adil dan seimbang. Tidak ada kezaliman padanya dalam bentuk apa pun. Bahkan, seluruhnya disusun dengan sangat rapi dan penuh hikmah. Adapun balasan atas amal perbuatan juga berjalan antara dua hal: (1) karunia dan kebaikan Allah kepada orang-orang yang bertauhid dan beriman, dan (2) keadilan-Nya dalam menghukum orang-orang kafir dan durhaka. Allah tidak mengurangi sedikit pun dari kebaikan mereka, dan tidak menghukum mereka kecuali atas dosa yang mereka lakukan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.’ (QS. Al-An‘ām: 164).” [12] Berlaku adil dan menjauhi kezaliman Allah Ta‘ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dan melarang segala bentuk kezaliman. Perintah ini berlaku umum, baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman, وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ “Dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syūrā: 15) Dan firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat ihsan.” (QS. An-Naḥl: 90) Sebaliknya, lawan dari keadilan adalah kezaliman, dan ia merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah Ta‘ala telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, dan mengharamkannya pula di antara sesama hamba. Orang zalim tidak akan beruntung, sebagaimana dalam firman-firman-Nya, إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.”  (QS. Al-An‘ām: 21) Dan tidak diragukan lagi bahwa bentuk kezaliman paling besar adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān: 13) [13] Takut kepada hari kiamat Salah satu pengaruh dari mengenal nama Allah Al-‘Adl adalah timbulnya rasa takut terhadap hari kiamat. Sebab pada hari itulah keadilan yang sejati akan ditegakkan, bukan di dunia yang sering dipenuhi oleh kezaliman dan ketimpangan. Allah Ta‘ala berfirman, وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ “Dan timbangan pada hari itu adalah kebenaran (yang adil).” (QS. Al-A‘rāf: 8) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya di surah Āli ‘Imrān menjelaskan bahwa hari kiamat (qiyaamah) dinamakan demikian karena tiga hal: Pertama: manusia bangkit (qiyaam) dari kubur mereka, Kedua: para saksi (malaikat dan lainnya) berdiri (qiyaam) untuk memberikan kesaksian, Ketiga: ditegakkan (qiyaam) keadilan secara sempurna. Beliau menyebutkan firman Allah, وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ “Dan Kami akan tegakkan timbangan-timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang akan dizalimi sedikit pun. Dan jika (amal itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Penghisab.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) [14] Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang berlaku adil, dan lindungilah kami dari kezaliman di dunia dan akhirat. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Aliim” *** Rumdin PPIA Sragen, 20 Syawal 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Subul as-Salam, 4: 108. [2] https://islamqa.info/ar/answers/104488/ [3] Asmā’ Allāh al-Ḥusnā karya ‘Abdullah bin Shāliḥ al-Ghashn, hal. 334. [4] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 398. [6] Maqāyīs al-Lughah, hal. 646. Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan bahwasanya kata ini memiliki dua akar makna yang berlawanan. Salah satunya menunjukkan makna ‘keseimbangan’ dan yang lainnya menunjukkan ‘penyimpangan’. Lihat juga Isytiqāq Asmā’ Allah, hal. 69. [7] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 44. [8] Nūniyyah Ibn al-Qayyim, bait ke-3334. [9] Syarḥ an-Nūniyyah, 2: 98; dinukil dari https://dorar.net/aqeeda/735/ [10] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948. [11] https://islamqa.info/ar/answers/353989/ [12] Taysīr al-Laṭīf al-Mannān, hal. 20. [13] https://www.alukah.net/sharia/0/30319/ [14] Tafsir Al-’Utsaimin – Surat Ali ‘Imran, hal. 442.

Riya di Tanah Suci: Ketika Doa Hanya untuk Kamera, Bukan untuk Allah – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Bahkan, di zaman sekarang, salah satu gangguan dari “batu kecil” ini (yakni handphone), telah mengganggu banyak orang. Ia telah menyeret banyak jamaah haji ke dalam kenyataan yang sungguh menyakitkan, demi Allah, sangat menyakitkan! Sekarang, kalian dapat melihat banyak jamaah haji, jumlahnya tidak sedikit, yang fokus utamanya selama berada di tempat-tempat suci: di Arafah, di Muzdalifah, di sekitar Baitullah Al-Haram, di tempat sa’i, dan di lokasi jumrah, fokus utamanya adalah untuk mengambil foto-foto dirinya sendiri. Sebagian dari mereka bahkan langsung mengirim foto itu dari lokasi, kepada banyak orang melalui berbagai media komunikasi, melalui perangkat elektronik ini. Kami bahkan melihat sebagian jamaah haji—semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka membimbing kita semua dalam agama ini, dan mengembalikan kita kepada kebenaran dengan cara yang baik—Kami melihat sebagian mereka berdiri di tempat melempar jumrah, memperbaiki kain ihramnya, lalu mengangkat kedua tangannya, kemudian temannya memotretnya. Setelah selesai, ia pun menurunkan kedua tangannya. Lantas, kepada siapa tangan itu diangkat? Apakah diangkat untuk Allah? Tidak! Bukan untuk Allah. Dalam hadis, yaitu hadis Qudsi, yang diriwayatkan dari Salman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Pemurah Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Allah mengembalikannya dengan tangan kosong (tidak mengabulkannya).” (HR. Ibnu Majah). Ia mengangkat kedua tangannya kepada Allah. Namun orang ini mengangkat tangannya untuk difoto, lalu menurunkannya kembali. Kemudian ia mengirimkan foto itu, dan bisa jadi ia berkata kepada teman-temannya, “Ini fotoku saat berdoa di tempat melempar jumrah,” atau, “Aku sedang berdoa di Arafah,”—padahal ia tidak berdoa! Padahal ia tidak berdoa! Ia hanya mengangkat kedua tangannya, lalu difoto. Demi Allah! Aku sendiri pernah melihat di masjid lalu aku langsung menasihatinya. Ada seorang lelaki bersama temannya, ia mengambil mushaf Al-Quran yang besar, membukanya, dan temannya memotretnya dari sisi kanan lalu memotretnya dari sisi kiri, kemudian mushaf ditutup dan dikembalikan ke tempat semula. Foto itu, bisa jadi ia posting, ia kirim, atau lainnya, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an di masjid. Seseorang yang aku percaya pernah bercerita kepadaku, bahwa ada dua orang berjalan di dalam masjid, kemudian salah seorang duduk dengan posisi tasyahud, lalu temannya memotretnya, dan ia pun berdiri kembali. Demi Allah, ini musibah! Demi Allah, ini perkara yang menyakitkan bagi orang yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya. “Demi Allah, hal ini menyakitkan hati orang yang memberi nasihat. Demi Allah, siapa pun yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu, sementara ia adalah orang yang tulus menasihati, sungguh hatinya tercabik-cabik karena sakit yang mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi?! Padahal Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di miqat, beliau bertalbiyah dengan menggabungkan niat haji dan umrah sekaligus (qiran), beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” (HR. Ibnu Majah). Perbuatan ini benar-benar membahayakan ibadah orang-orang tersebut. Bahaya yang besar terhadap ibadah mereka. Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam ayat-ayat pertama tentang haji dalam Surah Al-Baqarah? Ya? “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah!” “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah!” (QS. Al-Baqarah: 196) Dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan karena Allah…” Ya? “…ibadah haji ke Baitullah…” “…karena Allah”, maksudnya adalah dengan penuh keikhlasan. Dalam hadis, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah…” Kalimat ini terdapat dalam lafaz hadis. “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah …lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat keji, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). “Karena Allah”, inilah yang disebut dengan ikhlas. Tidak ada seorang pun yang memiliki andil atau bagian dalam amalan itu selain Allah. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan sekutu-sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan, lalu ia menyekutukan-Ku di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Makna “Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya” adalah Aku tolak amalannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan tersebut darinya. Oleh karena itu, orang yang berhaji hendaknya sungguh-sungguh menjaga dirinya, menjauhkan dirinya dari riya dan sum’ah, terlebih di zaman kita ini, telah muncul berbagai media yang benar-benar bisa menyeret manusia ke dalam masalah riya dan sum’ah, juga ke dalam masalah ujub (membanggakan diri sendiri). Dan berhati-hatilah dari perbuatan ujub (kagum pada diri sendiri), karena ujub itu menyeret amalan pelakunya seperti arus deras yang melenyapkan. Itu adalah bahaya yang sangat besar. Oleh sebab itu, hendaknya seorang hamba memasuki hajinya dengan menjaga ibadah ini dengan sungguh-sungguh. Menjaganya dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, agar tetap ikhlas karena Allah, dan hanya mengharap Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah ini. Ia mengharapkan wajah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun, dan tidak memberikan bagian sedikit pun kepada selain-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikatakan pada hari kiamat kepada orang-orang yang riya: ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian tampakkan amalan kalian kepada mereka lalu mintalah pahala dari mereka.’” “Mintalah pahala dari mereka.” Apa yang akan mereka dapatkan dari orang-orang yang dulu mereka cari perhatian dengan amalan mereka? Yang mereka kirimi video, kirimi foto, dan mereka kirimi…?? Apa manfaatnya orang-orang itu bagi mereka? Karena itu, seorang hamba harus benar-benar memperhatikan perkara besar ini, berusaha menjauh dari hal-hal yang mengganggu dan menyibukkan, dari hiburan, pengalih perhatian, dan jebakan-jebakan yang menyesatkan, yang jumlahnya sangat banyak. Semoga Allah melindungi kita semua dan menjaga kita dari itu. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita amalan yang jernih, niat yang tulus, dan kebaikan dalam mengikuti ajaran Nabi yang mulia, shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== حَتَّى أَنَّ مِنْ إِشْغَالِ هَذِهِ الْحَصَاةِ الَّتِي بِهَذَا الزَّمَانِ لِكَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ أَنَّهَا جَرَّتْ كَثِيراً مِنَ الْحُجَّاجِ إِلَى حَقِيقَةِ أَمْرٍ مُؤْلِمٍ وَاللَّهِ وَاللَّهِ مُؤْلِمٌ جِدًّا الْآنَ تَرَوْنَ عَدَداً مِنَ الْحُجَّاجِ لَيْسَ بِالْقَلِيلِ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّهِ فِي الْمَشَاعِرِ فِي عَرَفَاتٍ وَفِي مُزْدَلِفَةَ وَعِنْد الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَفِي الْمَسْعَى وَعِنْدَ الْجَمَرَاتِ هَمُّهُ أَنْ يَلْتَقِطَ لِنَفْسِهِ الصُّوَرَ وَبَعْضُهُم يُرْسِلُهَا مُبَاشَرَةً مِنَ الْمَوْقِعِ إِلَى خَلْقٍ كَثِيرٍ جِدًّا عَبْرَ وَسَائِلِ اتِّصَالٍ مُتَنَوِّعَةٍ مِنْ خِلَالِ هَذِهِ الأَجْهِزَةِ حَتَّى رَأَيْنَا بَعْضَ الْحُجَّاجِ هَدَانَا اللَّهُ وَإِيَّاهُمْ وَبَصَّرَنَا فِي دِينِنَا أَجْمَعِينَ وَرَدَّنَا إِلَى الْحَقِّ رَدًّا جَمِيلًا رَأَيْنَا بَعْضَهُم يَقِفُ مَثَلًا عِنْدَ الْجَمَرَاتِ وَيُصَلِّحُ إِزَارَهُ وَيَمُدُّ يَدَيْهِ ثُمَّ يُصَوِّرُهُ صَاحِبُهُ وَإِذَا انْتَهَى التَّصْوِيرُ أَنْزَلَ يَدَيْهِ إِذًا الْيَدَانِ مَا رُفِعَتَا لِمَنْ؟ هَلْ رُفِعَتْ لِلَّهِ؟ مَا رُفِعَتْ لِلَّهِ فِي الْحَدِيثِ يَقُولُ الْحَدِيثُ الْقُدْسِيُّ حَدِيثُ سَلْمَانَ يَقُولُ النّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ هَذَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ تُؤْخَذُ صُورَةً ثُمَّ يَخْفِضُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُرْسِلُ الصُّورَةَ وَرُبَّمَا يُحَدِّثُ أَصْحَابَهُ يَقُولُ هَذِهِ صُورَتِي وَأَنَا أَدْعُو عِنْدَ الْجَمَرَاتِ أَو أَدْعُو فِي عَرَفَاتٍ هُوَ مَا دَعَا هُو مَا دَعَا هُوَ فَقَطْ رَفَعَ يَدَيْهِ وَأُخِذَتْ صُورَةٌ وَاللَّهِ بِنَفْسِي رَأَيْتُ مَرَّةً فِي الْمَسْجِدِ وَنَاصَحْتُهُ مُبَاشَرَةً رَجُلًا مَعَهُ صَاحِبُهُ وَأَخَذَ مُصْحَفاً كَبِيراً وَفَتَحَهُ وَصَوَّرَهُ صَاحِبُهُ مِنَ الْيَمِينِ وَصَوَّرَهُ مِنَ الْيَسَارِ وَطَبَّقَ الْمُصْحَفَ وَوَضَعَهُ فِي مَكَانِهِ وَهَذِهِ الصُّورَةُ يَعْنِي رُبَّمَا يُعَلِّقُهَا أَوْ يُرْسِلُهَا أَوْ عَلَى أَنَّهُ يَقْرَأُ فِي الْمَسْجِدِ الْقُرْآنَ وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ اثْنَيْنِ يَمْشِيَانِ دَاخِلَ الْمَسْجِدِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عَلَى هَيْئَةِ التَّشَهُّدِ وَالْتَقَطَ لَهُ صَاحِبُ الصُّورَةَ ثُمَّ قَامَ وَاللَّهِ مُصِيبَةٌ وَاللّهِ أَمْرٌ يُؤْلِمُ الْغَيُورَ وَاللَّهِ يُؤْلِمُ النَّاصِحَ وَاللَّهِ مَنْ يَرَاهُمْ وَهُوَ نَاصِحٌ يَتَقَطَّعُ قَلْبُهُ عَلَيْهِم أَلَماً كَيْفَ يَكُونُ هَذَا الْأَمْرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْمِيقَاتِ وَلَبَّى قَارِنًا بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً هَذَا فِيهِ خَطَرٌ جِدًّا عَلَى عِبَادَةِ هَؤُلَاءِ خَطَرٌ عَظِيمٌ عَلَى عِبَادَتِهِمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَاذَا قَالَ فِي أَوَّلِ آيَاتِ الْحَجِّ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ نَعَم؟ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِلَّهِ نَعَم؟ حِجُّ الْبَيْتِ لِلَّهِ أَيْ خَالِصًا وَفِي الْحَدِيثِ يَقُولُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ لِلَّه هَذَا مَوْجُودٌ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ لِلَّه فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ لِلَّه هَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ لَيْسَ لِأَحَدٍ فِيهِ أَيِّ شَرِكَةٍ وَلَا نَصِيبٍ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِي فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ مَعْنَى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ أَي رَدَدْتُ عَلَيْهِ عَمَلَهُ وَلَمْ يَقْبَلْهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ الْحَاجُّ فِعْلاً نَفْسَهُ وَأَنْ يُبْعِدَهَا عَنِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ خَاصَّةً الْآنَ فِي زَمَانِنَا اسْتَجَدَّتْ وَسَائِلُ فِعْلًا تُوَرِّطُ الْإِنْسَانَ تَوْرِيطًا فِي مَسْأَلَةِ الرِّيَاءِ وَمَسْأَلَةِ السُّمْعَةِ وَمَسْأَلَةِ الْعُجْبِ أَيْضًا بِالنَّفْسِ وَالْعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ أَعْمَالَ صَاحِبِهِ فِي سَيْلِ الْعَرِمِ خَطَرٌ عَظِيمٌ جِدًّا وَلِهَذَا يَدْخُلُ الْعَبْدُ حَجَّهُ مُحَافِظًا عَلَى هَذِهِ الْعِبَادَةِ مُحَافِظًا عَلَيْهَا مُجَاهِدًا نَفْسَهُ عَلَى إِخْلَاصِهَا لِلَّهِ وَابْتِغَاءِ اللَّهِ وَحْدَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا يُرِيدُ بِهَا وَجْهَ اللَّهِ لَا يَجْعَلُ لِأَحَدٍ فِيهَا أَيَّ شَرِكَةٍ وَلَا أَيَّ نَصِيبٍ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ نَبِيَّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِلْمُرَاءِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوا إِلَى مَنْ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا مَاذَا يُحَصِّلُونَ عِنْدَ مَنْ رَأَوْهُم بِالْأَعْمَالِ وَأَرْسَلُوا لَهُم مَقَاطِعَ وَأَرْسَلُوا لَهُم صُوَراً وَأَرْسَلُوا لَهُمْ مَاذَا يُغْنُوْنَ عَنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَنْتَبِهَ لِهَذِهِ الْقَضِيَّةِ الْعَظِيمَةِ يَحْرِصُ عَلَى الْبُعْدِ عَنِ الْقَوَاطِعِ وَالشَّوَاغِلِ وَالْمُلْهِيَاتِ وَالصَّوَارِفِ وَالصَّوَادِ وَهِيَ كَثِيرَةٌ حَمَانَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ وَوَقَانَا وَوَقَاكُم وَرَزَقَنَا صَفَاءَ الْعَمَلِ وَخُلُوصَ النِّيَّةِ وَحُسْنَ الِاتِّبَاعِ لِلنَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ

Riya di Tanah Suci: Ketika Doa Hanya untuk Kamera, Bukan untuk Allah – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr

Bahkan, di zaman sekarang, salah satu gangguan dari “batu kecil” ini (yakni handphone), telah mengganggu banyak orang. Ia telah menyeret banyak jamaah haji ke dalam kenyataan yang sungguh menyakitkan, demi Allah, sangat menyakitkan! Sekarang, kalian dapat melihat banyak jamaah haji, jumlahnya tidak sedikit, yang fokus utamanya selama berada di tempat-tempat suci: di Arafah, di Muzdalifah, di sekitar Baitullah Al-Haram, di tempat sa’i, dan di lokasi jumrah, fokus utamanya adalah untuk mengambil foto-foto dirinya sendiri. Sebagian dari mereka bahkan langsung mengirim foto itu dari lokasi, kepada banyak orang melalui berbagai media komunikasi, melalui perangkat elektronik ini. Kami bahkan melihat sebagian jamaah haji—semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka membimbing kita semua dalam agama ini, dan mengembalikan kita kepada kebenaran dengan cara yang baik—Kami melihat sebagian mereka berdiri di tempat melempar jumrah, memperbaiki kain ihramnya, lalu mengangkat kedua tangannya, kemudian temannya memotretnya. Setelah selesai, ia pun menurunkan kedua tangannya. Lantas, kepada siapa tangan itu diangkat? Apakah diangkat untuk Allah? Tidak! Bukan untuk Allah. Dalam hadis, yaitu hadis Qudsi, yang diriwayatkan dari Salman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Pemurah Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Allah mengembalikannya dengan tangan kosong (tidak mengabulkannya).” (HR. Ibnu Majah). Ia mengangkat kedua tangannya kepada Allah. Namun orang ini mengangkat tangannya untuk difoto, lalu menurunkannya kembali. Kemudian ia mengirimkan foto itu, dan bisa jadi ia berkata kepada teman-temannya, “Ini fotoku saat berdoa di tempat melempar jumrah,” atau, “Aku sedang berdoa di Arafah,”—padahal ia tidak berdoa! Padahal ia tidak berdoa! Ia hanya mengangkat kedua tangannya, lalu difoto. Demi Allah! Aku sendiri pernah melihat di masjid lalu aku langsung menasihatinya. Ada seorang lelaki bersama temannya, ia mengambil mushaf Al-Quran yang besar, membukanya, dan temannya memotretnya dari sisi kanan lalu memotretnya dari sisi kiri, kemudian mushaf ditutup dan dikembalikan ke tempat semula. Foto itu, bisa jadi ia posting, ia kirim, atau lainnya, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an di masjid. Seseorang yang aku percaya pernah bercerita kepadaku, bahwa ada dua orang berjalan di dalam masjid, kemudian salah seorang duduk dengan posisi tasyahud, lalu temannya memotretnya, dan ia pun berdiri kembali. Demi Allah, ini musibah! Demi Allah, ini perkara yang menyakitkan bagi orang yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya. “Demi Allah, hal ini menyakitkan hati orang yang memberi nasihat. Demi Allah, siapa pun yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu, sementara ia adalah orang yang tulus menasihati, sungguh hatinya tercabik-cabik karena sakit yang mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi?! Padahal Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di miqat, beliau bertalbiyah dengan menggabungkan niat haji dan umrah sekaligus (qiran), beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” (HR. Ibnu Majah). Perbuatan ini benar-benar membahayakan ibadah orang-orang tersebut. Bahaya yang besar terhadap ibadah mereka. Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam ayat-ayat pertama tentang haji dalam Surah Al-Baqarah? Ya? “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah!” “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah!” (QS. Al-Baqarah: 196) Dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan karena Allah…” Ya? “…ibadah haji ke Baitullah…” “…karena Allah”, maksudnya adalah dengan penuh keikhlasan. Dalam hadis, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah…” Kalimat ini terdapat dalam lafaz hadis. “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah …lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat keji, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). “Karena Allah”, inilah yang disebut dengan ikhlas. Tidak ada seorang pun yang memiliki andil atau bagian dalam amalan itu selain Allah. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan sekutu-sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan, lalu ia menyekutukan-Ku di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Makna “Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya” adalah Aku tolak amalannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan tersebut darinya. Oleh karena itu, orang yang berhaji hendaknya sungguh-sungguh menjaga dirinya, menjauhkan dirinya dari riya dan sum’ah, terlebih di zaman kita ini, telah muncul berbagai media yang benar-benar bisa menyeret manusia ke dalam masalah riya dan sum’ah, juga ke dalam masalah ujub (membanggakan diri sendiri). Dan berhati-hatilah dari perbuatan ujub (kagum pada diri sendiri), karena ujub itu menyeret amalan pelakunya seperti arus deras yang melenyapkan. Itu adalah bahaya yang sangat besar. Oleh sebab itu, hendaknya seorang hamba memasuki hajinya dengan menjaga ibadah ini dengan sungguh-sungguh. Menjaganya dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, agar tetap ikhlas karena Allah, dan hanya mengharap Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah ini. Ia mengharapkan wajah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun, dan tidak memberikan bagian sedikit pun kepada selain-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikatakan pada hari kiamat kepada orang-orang yang riya: ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian tampakkan amalan kalian kepada mereka lalu mintalah pahala dari mereka.’” “Mintalah pahala dari mereka.” Apa yang akan mereka dapatkan dari orang-orang yang dulu mereka cari perhatian dengan amalan mereka? Yang mereka kirimi video, kirimi foto, dan mereka kirimi…?? Apa manfaatnya orang-orang itu bagi mereka? Karena itu, seorang hamba harus benar-benar memperhatikan perkara besar ini, berusaha menjauh dari hal-hal yang mengganggu dan menyibukkan, dari hiburan, pengalih perhatian, dan jebakan-jebakan yang menyesatkan, yang jumlahnya sangat banyak. Semoga Allah melindungi kita semua dan menjaga kita dari itu. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita amalan yang jernih, niat yang tulus, dan kebaikan dalam mengikuti ajaran Nabi yang mulia, shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== حَتَّى أَنَّ مِنْ إِشْغَالِ هَذِهِ الْحَصَاةِ الَّتِي بِهَذَا الزَّمَانِ لِكَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ أَنَّهَا جَرَّتْ كَثِيراً مِنَ الْحُجَّاجِ إِلَى حَقِيقَةِ أَمْرٍ مُؤْلِمٍ وَاللَّهِ وَاللَّهِ مُؤْلِمٌ جِدًّا الْآنَ تَرَوْنَ عَدَداً مِنَ الْحُجَّاجِ لَيْسَ بِالْقَلِيلِ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّهِ فِي الْمَشَاعِرِ فِي عَرَفَاتٍ وَفِي مُزْدَلِفَةَ وَعِنْد الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَفِي الْمَسْعَى وَعِنْدَ الْجَمَرَاتِ هَمُّهُ أَنْ يَلْتَقِطَ لِنَفْسِهِ الصُّوَرَ وَبَعْضُهُم يُرْسِلُهَا مُبَاشَرَةً مِنَ الْمَوْقِعِ إِلَى خَلْقٍ كَثِيرٍ جِدًّا عَبْرَ وَسَائِلِ اتِّصَالٍ مُتَنَوِّعَةٍ مِنْ خِلَالِ هَذِهِ الأَجْهِزَةِ حَتَّى رَأَيْنَا بَعْضَ الْحُجَّاجِ هَدَانَا اللَّهُ وَإِيَّاهُمْ وَبَصَّرَنَا فِي دِينِنَا أَجْمَعِينَ وَرَدَّنَا إِلَى الْحَقِّ رَدًّا جَمِيلًا رَأَيْنَا بَعْضَهُم يَقِفُ مَثَلًا عِنْدَ الْجَمَرَاتِ وَيُصَلِّحُ إِزَارَهُ وَيَمُدُّ يَدَيْهِ ثُمَّ يُصَوِّرُهُ صَاحِبُهُ وَإِذَا انْتَهَى التَّصْوِيرُ أَنْزَلَ يَدَيْهِ إِذًا الْيَدَانِ مَا رُفِعَتَا لِمَنْ؟ هَلْ رُفِعَتْ لِلَّهِ؟ مَا رُفِعَتْ لِلَّهِ فِي الْحَدِيثِ يَقُولُ الْحَدِيثُ الْقُدْسِيُّ حَدِيثُ سَلْمَانَ يَقُولُ النّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ هَذَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ تُؤْخَذُ صُورَةً ثُمَّ يَخْفِضُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُرْسِلُ الصُّورَةَ وَرُبَّمَا يُحَدِّثُ أَصْحَابَهُ يَقُولُ هَذِهِ صُورَتِي وَأَنَا أَدْعُو عِنْدَ الْجَمَرَاتِ أَو أَدْعُو فِي عَرَفَاتٍ هُوَ مَا دَعَا هُو مَا دَعَا هُوَ فَقَطْ رَفَعَ يَدَيْهِ وَأُخِذَتْ صُورَةٌ وَاللَّهِ بِنَفْسِي رَأَيْتُ مَرَّةً فِي الْمَسْجِدِ وَنَاصَحْتُهُ مُبَاشَرَةً رَجُلًا مَعَهُ صَاحِبُهُ وَأَخَذَ مُصْحَفاً كَبِيراً وَفَتَحَهُ وَصَوَّرَهُ صَاحِبُهُ مِنَ الْيَمِينِ وَصَوَّرَهُ مِنَ الْيَسَارِ وَطَبَّقَ الْمُصْحَفَ وَوَضَعَهُ فِي مَكَانِهِ وَهَذِهِ الصُّورَةُ يَعْنِي رُبَّمَا يُعَلِّقُهَا أَوْ يُرْسِلُهَا أَوْ عَلَى أَنَّهُ يَقْرَأُ فِي الْمَسْجِدِ الْقُرْآنَ وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ اثْنَيْنِ يَمْشِيَانِ دَاخِلَ الْمَسْجِدِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عَلَى هَيْئَةِ التَّشَهُّدِ وَالْتَقَطَ لَهُ صَاحِبُ الصُّورَةَ ثُمَّ قَامَ وَاللَّهِ مُصِيبَةٌ وَاللّهِ أَمْرٌ يُؤْلِمُ الْغَيُورَ وَاللَّهِ يُؤْلِمُ النَّاصِحَ وَاللَّهِ مَنْ يَرَاهُمْ وَهُوَ نَاصِحٌ يَتَقَطَّعُ قَلْبُهُ عَلَيْهِم أَلَماً كَيْفَ يَكُونُ هَذَا الْأَمْرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْمِيقَاتِ وَلَبَّى قَارِنًا بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً هَذَا فِيهِ خَطَرٌ جِدًّا عَلَى عِبَادَةِ هَؤُلَاءِ خَطَرٌ عَظِيمٌ عَلَى عِبَادَتِهِمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَاذَا قَالَ فِي أَوَّلِ آيَاتِ الْحَجِّ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ نَعَم؟ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِلَّهِ نَعَم؟ حِجُّ الْبَيْتِ لِلَّهِ أَيْ خَالِصًا وَفِي الْحَدِيثِ يَقُولُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ لِلَّه هَذَا مَوْجُودٌ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ لِلَّه فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ لِلَّه هَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ لَيْسَ لِأَحَدٍ فِيهِ أَيِّ شَرِكَةٍ وَلَا نَصِيبٍ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِي فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ مَعْنَى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ أَي رَدَدْتُ عَلَيْهِ عَمَلَهُ وَلَمْ يَقْبَلْهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ الْحَاجُّ فِعْلاً نَفْسَهُ وَأَنْ يُبْعِدَهَا عَنِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ خَاصَّةً الْآنَ فِي زَمَانِنَا اسْتَجَدَّتْ وَسَائِلُ فِعْلًا تُوَرِّطُ الْإِنْسَانَ تَوْرِيطًا فِي مَسْأَلَةِ الرِّيَاءِ وَمَسْأَلَةِ السُّمْعَةِ وَمَسْأَلَةِ الْعُجْبِ أَيْضًا بِالنَّفْسِ وَالْعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ أَعْمَالَ صَاحِبِهِ فِي سَيْلِ الْعَرِمِ خَطَرٌ عَظِيمٌ جِدًّا وَلِهَذَا يَدْخُلُ الْعَبْدُ حَجَّهُ مُحَافِظًا عَلَى هَذِهِ الْعِبَادَةِ مُحَافِظًا عَلَيْهَا مُجَاهِدًا نَفْسَهُ عَلَى إِخْلَاصِهَا لِلَّهِ وَابْتِغَاءِ اللَّهِ وَحْدَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا يُرِيدُ بِهَا وَجْهَ اللَّهِ لَا يَجْعَلُ لِأَحَدٍ فِيهَا أَيَّ شَرِكَةٍ وَلَا أَيَّ نَصِيبٍ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ نَبِيَّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِلْمُرَاءِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوا إِلَى مَنْ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا مَاذَا يُحَصِّلُونَ عِنْدَ مَنْ رَأَوْهُم بِالْأَعْمَالِ وَأَرْسَلُوا لَهُم مَقَاطِعَ وَأَرْسَلُوا لَهُم صُوَراً وَأَرْسَلُوا لَهُمْ مَاذَا يُغْنُوْنَ عَنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَنْتَبِهَ لِهَذِهِ الْقَضِيَّةِ الْعَظِيمَةِ يَحْرِصُ عَلَى الْبُعْدِ عَنِ الْقَوَاطِعِ وَالشَّوَاغِلِ وَالْمُلْهِيَاتِ وَالصَّوَارِفِ وَالصَّوَادِ وَهِيَ كَثِيرَةٌ حَمَانَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ وَوَقَانَا وَوَقَاكُم وَرَزَقَنَا صَفَاءَ الْعَمَلِ وَخُلُوصَ النِّيَّةِ وَحُسْنَ الِاتِّبَاعِ لِلنَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
Bahkan, di zaman sekarang, salah satu gangguan dari “batu kecil” ini (yakni handphone), telah mengganggu banyak orang. Ia telah menyeret banyak jamaah haji ke dalam kenyataan yang sungguh menyakitkan, demi Allah, sangat menyakitkan! Sekarang, kalian dapat melihat banyak jamaah haji, jumlahnya tidak sedikit, yang fokus utamanya selama berada di tempat-tempat suci: di Arafah, di Muzdalifah, di sekitar Baitullah Al-Haram, di tempat sa’i, dan di lokasi jumrah, fokus utamanya adalah untuk mengambil foto-foto dirinya sendiri. Sebagian dari mereka bahkan langsung mengirim foto itu dari lokasi, kepada banyak orang melalui berbagai media komunikasi, melalui perangkat elektronik ini. Kami bahkan melihat sebagian jamaah haji—semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka membimbing kita semua dalam agama ini, dan mengembalikan kita kepada kebenaran dengan cara yang baik—Kami melihat sebagian mereka berdiri di tempat melempar jumrah, memperbaiki kain ihramnya, lalu mengangkat kedua tangannya, kemudian temannya memotretnya. Setelah selesai, ia pun menurunkan kedua tangannya. Lantas, kepada siapa tangan itu diangkat? Apakah diangkat untuk Allah? Tidak! Bukan untuk Allah. Dalam hadis, yaitu hadis Qudsi, yang diriwayatkan dari Salman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Pemurah Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Allah mengembalikannya dengan tangan kosong (tidak mengabulkannya).” (HR. Ibnu Majah). Ia mengangkat kedua tangannya kepada Allah. Namun orang ini mengangkat tangannya untuk difoto, lalu menurunkannya kembali. Kemudian ia mengirimkan foto itu, dan bisa jadi ia berkata kepada teman-temannya, “Ini fotoku saat berdoa di tempat melempar jumrah,” atau, “Aku sedang berdoa di Arafah,”—padahal ia tidak berdoa! Padahal ia tidak berdoa! Ia hanya mengangkat kedua tangannya, lalu difoto. Demi Allah! Aku sendiri pernah melihat di masjid lalu aku langsung menasihatinya. Ada seorang lelaki bersama temannya, ia mengambil mushaf Al-Quran yang besar, membukanya, dan temannya memotretnya dari sisi kanan lalu memotretnya dari sisi kiri, kemudian mushaf ditutup dan dikembalikan ke tempat semula. Foto itu, bisa jadi ia posting, ia kirim, atau lainnya, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an di masjid. Seseorang yang aku percaya pernah bercerita kepadaku, bahwa ada dua orang berjalan di dalam masjid, kemudian salah seorang duduk dengan posisi tasyahud, lalu temannya memotretnya, dan ia pun berdiri kembali. Demi Allah, ini musibah! Demi Allah, ini perkara yang menyakitkan bagi orang yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya. “Demi Allah, hal ini menyakitkan hati orang yang memberi nasihat. Demi Allah, siapa pun yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu, sementara ia adalah orang yang tulus menasihati, sungguh hatinya tercabik-cabik karena sakit yang mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi?! Padahal Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di miqat, beliau bertalbiyah dengan menggabungkan niat haji dan umrah sekaligus (qiran), beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” (HR. Ibnu Majah). Perbuatan ini benar-benar membahayakan ibadah orang-orang tersebut. Bahaya yang besar terhadap ibadah mereka. Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam ayat-ayat pertama tentang haji dalam Surah Al-Baqarah? Ya? “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah!” “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah!” (QS. Al-Baqarah: 196) Dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan karena Allah…” Ya? “…ibadah haji ke Baitullah…” “…karena Allah”, maksudnya adalah dengan penuh keikhlasan. Dalam hadis, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah…” Kalimat ini terdapat dalam lafaz hadis. “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah …lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat keji, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). “Karena Allah”, inilah yang disebut dengan ikhlas. Tidak ada seorang pun yang memiliki andil atau bagian dalam amalan itu selain Allah. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan sekutu-sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan, lalu ia menyekutukan-Ku di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Makna “Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya” adalah Aku tolak amalannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan tersebut darinya. Oleh karena itu, orang yang berhaji hendaknya sungguh-sungguh menjaga dirinya, menjauhkan dirinya dari riya dan sum’ah, terlebih di zaman kita ini, telah muncul berbagai media yang benar-benar bisa menyeret manusia ke dalam masalah riya dan sum’ah, juga ke dalam masalah ujub (membanggakan diri sendiri). Dan berhati-hatilah dari perbuatan ujub (kagum pada diri sendiri), karena ujub itu menyeret amalan pelakunya seperti arus deras yang melenyapkan. Itu adalah bahaya yang sangat besar. Oleh sebab itu, hendaknya seorang hamba memasuki hajinya dengan menjaga ibadah ini dengan sungguh-sungguh. Menjaganya dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, agar tetap ikhlas karena Allah, dan hanya mengharap Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah ini. Ia mengharapkan wajah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun, dan tidak memberikan bagian sedikit pun kepada selain-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikatakan pada hari kiamat kepada orang-orang yang riya: ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian tampakkan amalan kalian kepada mereka lalu mintalah pahala dari mereka.’” “Mintalah pahala dari mereka.” Apa yang akan mereka dapatkan dari orang-orang yang dulu mereka cari perhatian dengan amalan mereka? Yang mereka kirimi video, kirimi foto, dan mereka kirimi…?? Apa manfaatnya orang-orang itu bagi mereka? Karena itu, seorang hamba harus benar-benar memperhatikan perkara besar ini, berusaha menjauh dari hal-hal yang mengganggu dan menyibukkan, dari hiburan, pengalih perhatian, dan jebakan-jebakan yang menyesatkan, yang jumlahnya sangat banyak. Semoga Allah melindungi kita semua dan menjaga kita dari itu. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita amalan yang jernih, niat yang tulus, dan kebaikan dalam mengikuti ajaran Nabi yang mulia, shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== حَتَّى أَنَّ مِنْ إِشْغَالِ هَذِهِ الْحَصَاةِ الَّتِي بِهَذَا الزَّمَانِ لِكَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ أَنَّهَا جَرَّتْ كَثِيراً مِنَ الْحُجَّاجِ إِلَى حَقِيقَةِ أَمْرٍ مُؤْلِمٍ وَاللَّهِ وَاللَّهِ مُؤْلِمٌ جِدًّا الْآنَ تَرَوْنَ عَدَداً مِنَ الْحُجَّاجِ لَيْسَ بِالْقَلِيلِ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّهِ فِي الْمَشَاعِرِ فِي عَرَفَاتٍ وَفِي مُزْدَلِفَةَ وَعِنْد الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَفِي الْمَسْعَى وَعِنْدَ الْجَمَرَاتِ هَمُّهُ أَنْ يَلْتَقِطَ لِنَفْسِهِ الصُّوَرَ وَبَعْضُهُم يُرْسِلُهَا مُبَاشَرَةً مِنَ الْمَوْقِعِ إِلَى خَلْقٍ كَثِيرٍ جِدًّا عَبْرَ وَسَائِلِ اتِّصَالٍ مُتَنَوِّعَةٍ مِنْ خِلَالِ هَذِهِ الأَجْهِزَةِ حَتَّى رَأَيْنَا بَعْضَ الْحُجَّاجِ هَدَانَا اللَّهُ وَإِيَّاهُمْ وَبَصَّرَنَا فِي دِينِنَا أَجْمَعِينَ وَرَدَّنَا إِلَى الْحَقِّ رَدًّا جَمِيلًا رَأَيْنَا بَعْضَهُم يَقِفُ مَثَلًا عِنْدَ الْجَمَرَاتِ وَيُصَلِّحُ إِزَارَهُ وَيَمُدُّ يَدَيْهِ ثُمَّ يُصَوِّرُهُ صَاحِبُهُ وَإِذَا انْتَهَى التَّصْوِيرُ أَنْزَلَ يَدَيْهِ إِذًا الْيَدَانِ مَا رُفِعَتَا لِمَنْ؟ هَلْ رُفِعَتْ لِلَّهِ؟ مَا رُفِعَتْ لِلَّهِ فِي الْحَدِيثِ يَقُولُ الْحَدِيثُ الْقُدْسِيُّ حَدِيثُ سَلْمَانَ يَقُولُ النّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ هَذَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ تُؤْخَذُ صُورَةً ثُمَّ يَخْفِضُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُرْسِلُ الصُّورَةَ وَرُبَّمَا يُحَدِّثُ أَصْحَابَهُ يَقُولُ هَذِهِ صُورَتِي وَأَنَا أَدْعُو عِنْدَ الْجَمَرَاتِ أَو أَدْعُو فِي عَرَفَاتٍ هُوَ مَا دَعَا هُو مَا دَعَا هُوَ فَقَطْ رَفَعَ يَدَيْهِ وَأُخِذَتْ صُورَةٌ وَاللَّهِ بِنَفْسِي رَأَيْتُ مَرَّةً فِي الْمَسْجِدِ وَنَاصَحْتُهُ مُبَاشَرَةً رَجُلًا مَعَهُ صَاحِبُهُ وَأَخَذَ مُصْحَفاً كَبِيراً وَفَتَحَهُ وَصَوَّرَهُ صَاحِبُهُ مِنَ الْيَمِينِ وَصَوَّرَهُ مِنَ الْيَسَارِ وَطَبَّقَ الْمُصْحَفَ وَوَضَعَهُ فِي مَكَانِهِ وَهَذِهِ الصُّورَةُ يَعْنِي رُبَّمَا يُعَلِّقُهَا أَوْ يُرْسِلُهَا أَوْ عَلَى أَنَّهُ يَقْرَأُ فِي الْمَسْجِدِ الْقُرْآنَ وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ اثْنَيْنِ يَمْشِيَانِ دَاخِلَ الْمَسْجِدِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عَلَى هَيْئَةِ التَّشَهُّدِ وَالْتَقَطَ لَهُ صَاحِبُ الصُّورَةَ ثُمَّ قَامَ وَاللَّهِ مُصِيبَةٌ وَاللّهِ أَمْرٌ يُؤْلِمُ الْغَيُورَ وَاللَّهِ يُؤْلِمُ النَّاصِحَ وَاللَّهِ مَنْ يَرَاهُمْ وَهُوَ نَاصِحٌ يَتَقَطَّعُ قَلْبُهُ عَلَيْهِم أَلَماً كَيْفَ يَكُونُ هَذَا الْأَمْرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْمِيقَاتِ وَلَبَّى قَارِنًا بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً هَذَا فِيهِ خَطَرٌ جِدًّا عَلَى عِبَادَةِ هَؤُلَاءِ خَطَرٌ عَظِيمٌ عَلَى عِبَادَتِهِمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَاذَا قَالَ فِي أَوَّلِ آيَاتِ الْحَجِّ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ نَعَم؟ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِلَّهِ نَعَم؟ حِجُّ الْبَيْتِ لِلَّهِ أَيْ خَالِصًا وَفِي الْحَدِيثِ يَقُولُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ لِلَّه هَذَا مَوْجُودٌ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ لِلَّه فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ لِلَّه هَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ لَيْسَ لِأَحَدٍ فِيهِ أَيِّ شَرِكَةٍ وَلَا نَصِيبٍ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِي فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ مَعْنَى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ أَي رَدَدْتُ عَلَيْهِ عَمَلَهُ وَلَمْ يَقْبَلْهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ الْحَاجُّ فِعْلاً نَفْسَهُ وَأَنْ يُبْعِدَهَا عَنِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ خَاصَّةً الْآنَ فِي زَمَانِنَا اسْتَجَدَّتْ وَسَائِلُ فِعْلًا تُوَرِّطُ الْإِنْسَانَ تَوْرِيطًا فِي مَسْأَلَةِ الرِّيَاءِ وَمَسْأَلَةِ السُّمْعَةِ وَمَسْأَلَةِ الْعُجْبِ أَيْضًا بِالنَّفْسِ وَالْعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ أَعْمَالَ صَاحِبِهِ فِي سَيْلِ الْعَرِمِ خَطَرٌ عَظِيمٌ جِدًّا وَلِهَذَا يَدْخُلُ الْعَبْدُ حَجَّهُ مُحَافِظًا عَلَى هَذِهِ الْعِبَادَةِ مُحَافِظًا عَلَيْهَا مُجَاهِدًا نَفْسَهُ عَلَى إِخْلَاصِهَا لِلَّهِ وَابْتِغَاءِ اللَّهِ وَحْدَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا يُرِيدُ بِهَا وَجْهَ اللَّهِ لَا يَجْعَلُ لِأَحَدٍ فِيهَا أَيَّ شَرِكَةٍ وَلَا أَيَّ نَصِيبٍ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ نَبِيَّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِلْمُرَاءِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوا إِلَى مَنْ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا مَاذَا يُحَصِّلُونَ عِنْدَ مَنْ رَأَوْهُم بِالْأَعْمَالِ وَأَرْسَلُوا لَهُم مَقَاطِعَ وَأَرْسَلُوا لَهُم صُوَراً وَأَرْسَلُوا لَهُمْ مَاذَا يُغْنُوْنَ عَنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَنْتَبِهَ لِهَذِهِ الْقَضِيَّةِ الْعَظِيمَةِ يَحْرِصُ عَلَى الْبُعْدِ عَنِ الْقَوَاطِعِ وَالشَّوَاغِلِ وَالْمُلْهِيَاتِ وَالصَّوَارِفِ وَالصَّوَادِ وَهِيَ كَثِيرَةٌ حَمَانَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ وَوَقَانَا وَوَقَاكُم وَرَزَقَنَا صَفَاءَ الْعَمَلِ وَخُلُوصَ النِّيَّةِ وَحُسْنَ الِاتِّبَاعِ لِلنَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ


Bahkan, di zaman sekarang, salah satu gangguan dari “batu kecil” ini (yakni handphone), telah mengganggu banyak orang. Ia telah menyeret banyak jamaah haji ke dalam kenyataan yang sungguh menyakitkan, demi Allah, sangat menyakitkan! Sekarang, kalian dapat melihat banyak jamaah haji, jumlahnya tidak sedikit, yang fokus utamanya selama berada di tempat-tempat suci: di Arafah, di Muzdalifah, di sekitar Baitullah Al-Haram, di tempat sa’i, dan di lokasi jumrah, fokus utamanya adalah untuk mengambil foto-foto dirinya sendiri. Sebagian dari mereka bahkan langsung mengirim foto itu dari lokasi, kepada banyak orang melalui berbagai media komunikasi, melalui perangkat elektronik ini. Kami bahkan melihat sebagian jamaah haji—semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka membimbing kita semua dalam agama ini, dan mengembalikan kita kepada kebenaran dengan cara yang baik—Kami melihat sebagian mereka berdiri di tempat melempar jumrah, memperbaiki kain ihramnya, lalu mengangkat kedua tangannya, kemudian temannya memotretnya. Setelah selesai, ia pun menurunkan kedua tangannya. Lantas, kepada siapa tangan itu diangkat? Apakah diangkat untuk Allah? Tidak! Bukan untuk Allah. Dalam hadis, yaitu hadis Qudsi, yang diriwayatkan dari Salman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Pemurah Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Allah mengembalikannya dengan tangan kosong (tidak mengabulkannya).” (HR. Ibnu Majah). Ia mengangkat kedua tangannya kepada Allah. Namun orang ini mengangkat tangannya untuk difoto, lalu menurunkannya kembali. Kemudian ia mengirimkan foto itu, dan bisa jadi ia berkata kepada teman-temannya, “Ini fotoku saat berdoa di tempat melempar jumrah,” atau, “Aku sedang berdoa di Arafah,”—padahal ia tidak berdoa! Padahal ia tidak berdoa! Ia hanya mengangkat kedua tangannya, lalu difoto. Demi Allah! Aku sendiri pernah melihat di masjid lalu aku langsung menasihatinya. Ada seorang lelaki bersama temannya, ia mengambil mushaf Al-Quran yang besar, membukanya, dan temannya memotretnya dari sisi kanan lalu memotretnya dari sisi kiri, kemudian mushaf ditutup dan dikembalikan ke tempat semula. Foto itu, bisa jadi ia posting, ia kirim, atau lainnya, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an di masjid. Seseorang yang aku percaya pernah bercerita kepadaku, bahwa ada dua orang berjalan di dalam masjid, kemudian salah seorang duduk dengan posisi tasyahud, lalu temannya memotretnya, dan ia pun berdiri kembali. Demi Allah, ini musibah! Demi Allah, ini perkara yang menyakitkan bagi orang yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya. “Demi Allah, hal ini menyakitkan hati orang yang memberi nasihat. Demi Allah, siapa pun yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu, sementara ia adalah orang yang tulus menasihati, sungguh hatinya tercabik-cabik karena sakit yang mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi?! Padahal Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di miqat, beliau bertalbiyah dengan menggabungkan niat haji dan umrah sekaligus (qiran), beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini tidak mengandung riya dan tidak pula sum’ah.” (HR. Ibnu Majah). Perbuatan ini benar-benar membahayakan ibadah orang-orang tersebut. Bahaya yang besar terhadap ibadah mereka. Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam ayat-ayat pertama tentang haji dalam Surah Al-Baqarah? Ya? “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah!” “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah!” (QS. Al-Baqarah: 196) Dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan karena Allah…” Ya? “…ibadah haji ke Baitullah…” “…karena Allah”, maksudnya adalah dengan penuh keikhlasan. Dalam hadis, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah…” Kalimat ini terdapat dalam lafaz hadis. “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah karena Allah …lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat keji, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari, dibacakan Syaikh secara makna). “Karena Allah”, inilah yang disebut dengan ikhlas. Tidak ada seorang pun yang memiliki andil atau bagian dalam amalan itu selain Allah. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan sekutu-sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan, lalu ia menyekutukan-Ku di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim, dibacakan Syaikh secara makna). Makna “Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya” adalah Aku tolak amalannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan tersebut darinya. Oleh karena itu, orang yang berhaji hendaknya sungguh-sungguh menjaga dirinya, menjauhkan dirinya dari riya dan sum’ah, terlebih di zaman kita ini, telah muncul berbagai media yang benar-benar bisa menyeret manusia ke dalam masalah riya dan sum’ah, juga ke dalam masalah ujub (membanggakan diri sendiri). Dan berhati-hatilah dari perbuatan ujub (kagum pada diri sendiri), karena ujub itu menyeret amalan pelakunya seperti arus deras yang melenyapkan. Itu adalah bahaya yang sangat besar. Oleh sebab itu, hendaknya seorang hamba memasuki hajinya dengan menjaga ibadah ini dengan sungguh-sungguh. Menjaganya dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, agar tetap ikhlas karena Allah, dan hanya mengharap Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah ini. Ia mengharapkan wajah Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun, dan tidak memberikan bagian sedikit pun kepada selain-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikatakan pada hari kiamat kepada orang-orang yang riya: ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian tampakkan amalan kalian kepada mereka lalu mintalah pahala dari mereka.’” “Mintalah pahala dari mereka.” Apa yang akan mereka dapatkan dari orang-orang yang dulu mereka cari perhatian dengan amalan mereka? Yang mereka kirimi video, kirimi foto, dan mereka kirimi…?? Apa manfaatnya orang-orang itu bagi mereka? Karena itu, seorang hamba harus benar-benar memperhatikan perkara besar ini, berusaha menjauh dari hal-hal yang mengganggu dan menyibukkan, dari hiburan, pengalih perhatian, dan jebakan-jebakan yang menyesatkan, yang jumlahnya sangat banyak. Semoga Allah melindungi kita semua dan menjaga kita dari itu. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita amalan yang jernih, niat yang tulus, dan kebaikan dalam mengikuti ajaran Nabi yang mulia, shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== حَتَّى أَنَّ مِنْ إِشْغَالِ هَذِهِ الْحَصَاةِ الَّتِي بِهَذَا الزَّمَانِ لِكَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ أَنَّهَا جَرَّتْ كَثِيراً مِنَ الْحُجَّاجِ إِلَى حَقِيقَةِ أَمْرٍ مُؤْلِمٍ وَاللَّهِ وَاللَّهِ مُؤْلِمٌ جِدًّا الْآنَ تَرَوْنَ عَدَداً مِنَ الْحُجَّاجِ لَيْسَ بِالْقَلِيلِ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّهِ فِي الْمَشَاعِرِ فِي عَرَفَاتٍ وَفِي مُزْدَلِفَةَ وَعِنْد الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَفِي الْمَسْعَى وَعِنْدَ الْجَمَرَاتِ هَمُّهُ أَنْ يَلْتَقِطَ لِنَفْسِهِ الصُّوَرَ وَبَعْضُهُم يُرْسِلُهَا مُبَاشَرَةً مِنَ الْمَوْقِعِ إِلَى خَلْقٍ كَثِيرٍ جِدًّا عَبْرَ وَسَائِلِ اتِّصَالٍ مُتَنَوِّعَةٍ مِنْ خِلَالِ هَذِهِ الأَجْهِزَةِ حَتَّى رَأَيْنَا بَعْضَ الْحُجَّاجِ هَدَانَا اللَّهُ وَإِيَّاهُمْ وَبَصَّرَنَا فِي دِينِنَا أَجْمَعِينَ وَرَدَّنَا إِلَى الْحَقِّ رَدًّا جَمِيلًا رَأَيْنَا بَعْضَهُم يَقِفُ مَثَلًا عِنْدَ الْجَمَرَاتِ وَيُصَلِّحُ إِزَارَهُ وَيَمُدُّ يَدَيْهِ ثُمَّ يُصَوِّرُهُ صَاحِبُهُ وَإِذَا انْتَهَى التَّصْوِيرُ أَنْزَلَ يَدَيْهِ إِذًا الْيَدَانِ مَا رُفِعَتَا لِمَنْ؟ هَلْ رُفِعَتْ لِلَّهِ؟ مَا رُفِعَتْ لِلَّهِ فِي الْحَدِيثِ يَقُولُ الْحَدِيثُ الْقُدْسِيُّ حَدِيثُ سَلْمَانَ يَقُولُ النّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ هَذَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ تُؤْخَذُ صُورَةً ثُمَّ يَخْفِضُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُرْسِلُ الصُّورَةَ وَرُبَّمَا يُحَدِّثُ أَصْحَابَهُ يَقُولُ هَذِهِ صُورَتِي وَأَنَا أَدْعُو عِنْدَ الْجَمَرَاتِ أَو أَدْعُو فِي عَرَفَاتٍ هُوَ مَا دَعَا هُو مَا دَعَا هُوَ فَقَطْ رَفَعَ يَدَيْهِ وَأُخِذَتْ صُورَةٌ وَاللَّهِ بِنَفْسِي رَأَيْتُ مَرَّةً فِي الْمَسْجِدِ وَنَاصَحْتُهُ مُبَاشَرَةً رَجُلًا مَعَهُ صَاحِبُهُ وَأَخَذَ مُصْحَفاً كَبِيراً وَفَتَحَهُ وَصَوَّرَهُ صَاحِبُهُ مِنَ الْيَمِينِ وَصَوَّرَهُ مِنَ الْيَسَارِ وَطَبَّقَ الْمُصْحَفَ وَوَضَعَهُ فِي مَكَانِهِ وَهَذِهِ الصُّورَةُ يَعْنِي رُبَّمَا يُعَلِّقُهَا أَوْ يُرْسِلُهَا أَوْ عَلَى أَنَّهُ يَقْرَأُ فِي الْمَسْجِدِ الْقُرْآنَ وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ أَنَّ اثْنَيْنِ يَمْشِيَانِ دَاخِلَ الْمَسْجِدِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عَلَى هَيْئَةِ التَّشَهُّدِ وَالْتَقَطَ لَهُ صَاحِبُ الصُّورَةَ ثُمَّ قَامَ وَاللَّهِ مُصِيبَةٌ وَاللّهِ أَمْرٌ يُؤْلِمُ الْغَيُورَ وَاللَّهِ يُؤْلِمُ النَّاصِحَ وَاللَّهِ مَنْ يَرَاهُمْ وَهُوَ نَاصِحٌ يَتَقَطَّعُ قَلْبُهُ عَلَيْهِم أَلَماً كَيْفَ يَكُونُ هَذَا الْأَمْرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْمِيقَاتِ وَلَبَّى قَارِنًا بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةً هَذَا فِيهِ خَطَرٌ جِدًّا عَلَى عِبَادَةِ هَؤُلَاءِ خَطَرٌ عَظِيمٌ عَلَى عِبَادَتِهِمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَاذَا قَالَ فِي أَوَّلِ آيَاتِ الْحَجِّ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ نَعَم؟ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلِلَّهِ نَعَم؟ حِجُّ الْبَيْتِ لِلَّهِ أَيْ خَالِصًا وَفِي الْحَدِيثِ يَقُولُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ لِلَّه هَذَا مَوْجُودٌ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ مَنْ حَجَّ الْبَيْتِ لِلَّه فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ لِلَّه هَذَا هُوَ الْإِخْلَاصُ لَيْسَ لِأَحَدٍ فِيهِ أَيِّ شَرِكَةٍ وَلَا نَصِيبٍ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْقُدْسِيِّ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِي فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ مَعْنَى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ أَي رَدَدْتُ عَلَيْهِ عَمَلَهُ وَلَمْ يَقْبَلْهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْفَظَ الْحَاجُّ فِعْلاً نَفْسَهُ وَأَنْ يُبْعِدَهَا عَنِ الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ خَاصَّةً الْآنَ فِي زَمَانِنَا اسْتَجَدَّتْ وَسَائِلُ فِعْلًا تُوَرِّطُ الْإِنْسَانَ تَوْرِيطًا فِي مَسْأَلَةِ الرِّيَاءِ وَمَسْأَلَةِ السُّمْعَةِ وَمَسْأَلَةِ الْعُجْبِ أَيْضًا بِالنَّفْسِ وَالْعُجْبَ فَاحْذَرْهُ إِنَّ الْعُجْبَ مُجْتَرِفٌ أَعْمَالَ صَاحِبِهِ فِي سَيْلِ الْعَرِمِ خَطَرٌ عَظِيمٌ جِدًّا وَلِهَذَا يَدْخُلُ الْعَبْدُ حَجَّهُ مُحَافِظًا عَلَى هَذِهِ الْعِبَادَةِ مُحَافِظًا عَلَيْهَا مُجَاهِدًا نَفْسَهُ عَلَى إِخْلَاصِهَا لِلَّهِ وَابْتِغَاءِ اللَّهِ وَحْدَهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا يُرِيدُ بِهَا وَجْهَ اللَّهِ لَا يَجْعَلُ لِأَحَدٍ فِيهَا أَيَّ شَرِكَةٍ وَلَا أَيَّ نَصِيبٍ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ نَبِيَّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِلْمُرَاءِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوا إِلَى مَنْ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا فَالْتَمِسُوا مِنْهُم أَجْرًا مَاذَا يُحَصِّلُونَ عِنْدَ مَنْ رَأَوْهُم بِالْأَعْمَالِ وَأَرْسَلُوا لَهُم مَقَاطِعَ وَأَرْسَلُوا لَهُم صُوَراً وَأَرْسَلُوا لَهُمْ مَاذَا يُغْنُوْنَ عَنْهُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَنْتَبِهَ لِهَذِهِ الْقَضِيَّةِ الْعَظِيمَةِ يَحْرِصُ عَلَى الْبُعْدِ عَنِ الْقَوَاطِعِ وَالشَّوَاغِلِ وَالْمُلْهِيَاتِ وَالصَّوَارِفِ وَالصَّوَادِ وَهِيَ كَثِيرَةٌ حَمَانَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ وَوَقَانَا وَوَقَاكُم وَرَزَقَنَا صَفَاءَ الْعَمَلِ وَخُلُوصَ النِّيَّةِ وَحُسْنَ الِاتِّبَاعِ لِلنَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 7): Kasih Sayang Allah Lebih Besar Daripada Kasih Sayang Seorang Ibu

Daftar Isi Toggle Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di duniaKasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurnaBukti kasih sayang AllahAllah tidak pernah meninggalkan hamba-NyaAllah memberi rezeki tanpa hentiAllah mengampuni semua dosaAllah memberikan hidayah dan petunjukRasa tenang dalam ibadah dan mengingat AllahJangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di dunia Kasih sayang ibu adalah salah satu bentuk cinta paling tulus yang ada di dunia ini. Seorang ibu merawat, melindungi, dan mencintai anaknya tanpa syarat, bahkan sebelum anak itu lahir. Seorang ibu rela berkorban demi anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Sejak mengandung, melahirkan, hingga membesarkan, ibu selalu mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Bahkan, ketika anak melakukan kesalahan, ibu tetap mencintai dan mendoakannya. Bayangkan seorang ibu yang menggendong bayinya dengan penuh cinta. Ia rela begadang sepanjang malam, menahan lelah dan letih demi memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Jika sang anak menangis, ia segera menenangkannya. Jika sang anak lapar, ia mendahulukan makannya. Begitu besar kasih sayang seorang ibu, tetapi tahukah kita bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya jauh lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya? Allah mencintai kita bahkan sebelum kita mengenal-Nya. Dia memberi kita kehidupan, udara untuk bernapas, makanan untuk bertahan hidup, dan perlindungan dalam setiap langkah. Bahkan saat kita berbuat dosa dan menjauh dari-Nya, Allah tetap membuka pintu kasih sayang-Nya, menunggu kita kembali dengan penuh ampunan. Kasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurna Meskipun kasih sayang ibu begitu tulus dan penuh pengorbanan, kasih sayang Allah Azza wa Jalla melampaui batasan yang bisa kita bayangkan. Allah tidak hanya mencintai hamba-Nya tanpa syarat, tetapi juga memberikan rahmat yang luas, pengampunan yang tak terbatas, dan petunjuk bagi kehidupan. Allah Azza wa Jalla berfirman, قَالَ عَذَابِىۤ اُصِيبُ بِه مَن اَشَاءُ​  وَرَحمَتِى وَسِعَت كُلَّ شَىءٍ “(Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu …” [1] Terdapat sebuah hadis yang menunjukkan bahwa kasih sayang Allah lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ). ﻗﻠﻨﺎ: ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: (ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu, ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [2] Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, kita harus selalu berharap kepada-Nya, tidak berputus asa dari rahmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan. Bukti kasih sayang Allah Kasih sayang Allah Azza wa Jalla begitu luas dan tidak terbatas. Ia mencakup seluruh makhluk-Nya, tanpa memandang status, perbuatan, atau kedudukan mereka. Setiap hembusan napas, setiap rezeki yang kita peroleh, dan setiap kesempatan untuk memperbaiki diri adalah bukti nyata dari kasih sayang-Nya. Di  antara bukti kasih sayang Allah antara lain, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” [3] Allah memberi rezeki tanpa henti Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَا​ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ‏ “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [4] Allah mengampuni semua dosa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلۡ يٰعِبَادِىَ الَّذِيۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِيۡعًا​  اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ‏ “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [5] Allah memberikan hidayah dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا يُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ​ “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).” [6] Rasa tenang dalam ibadah dan mengingat Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ​  اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ ‏ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [7] Jangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu adalah cinta yang luar biasa, tetapi kasih sayang Allah jauh lebih besar dan tidak terbatas. Allah selalu memberi, mengampuni, dan mencintai hamba-Nya, bahkan ketika mereka berdosa. Maka, jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak peduli seberapa jauh kita tersesat, selalu ada jalan untuk kembali kepada-Nya. Saat hati terasa hancur, ingatlah: Allah mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-A’raf: 156 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. Al-Baqarah: 186 [4] QS. Hud: 6 [5] QS. Az-Zumar: 53 [6] QS. Al-Baqarah: 257 [7] QS. Ar-Ra’d: 28

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 7): Kasih Sayang Allah Lebih Besar Daripada Kasih Sayang Seorang Ibu

Daftar Isi Toggle Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di duniaKasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurnaBukti kasih sayang AllahAllah tidak pernah meninggalkan hamba-NyaAllah memberi rezeki tanpa hentiAllah mengampuni semua dosaAllah memberikan hidayah dan petunjukRasa tenang dalam ibadah dan mengingat AllahJangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di dunia Kasih sayang ibu adalah salah satu bentuk cinta paling tulus yang ada di dunia ini. Seorang ibu merawat, melindungi, dan mencintai anaknya tanpa syarat, bahkan sebelum anak itu lahir. Seorang ibu rela berkorban demi anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Sejak mengandung, melahirkan, hingga membesarkan, ibu selalu mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Bahkan, ketika anak melakukan kesalahan, ibu tetap mencintai dan mendoakannya. Bayangkan seorang ibu yang menggendong bayinya dengan penuh cinta. Ia rela begadang sepanjang malam, menahan lelah dan letih demi memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Jika sang anak menangis, ia segera menenangkannya. Jika sang anak lapar, ia mendahulukan makannya. Begitu besar kasih sayang seorang ibu, tetapi tahukah kita bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya jauh lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya? Allah mencintai kita bahkan sebelum kita mengenal-Nya. Dia memberi kita kehidupan, udara untuk bernapas, makanan untuk bertahan hidup, dan perlindungan dalam setiap langkah. Bahkan saat kita berbuat dosa dan menjauh dari-Nya, Allah tetap membuka pintu kasih sayang-Nya, menunggu kita kembali dengan penuh ampunan. Kasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurna Meskipun kasih sayang ibu begitu tulus dan penuh pengorbanan, kasih sayang Allah Azza wa Jalla melampaui batasan yang bisa kita bayangkan. Allah tidak hanya mencintai hamba-Nya tanpa syarat, tetapi juga memberikan rahmat yang luas, pengampunan yang tak terbatas, dan petunjuk bagi kehidupan. Allah Azza wa Jalla berfirman, قَالَ عَذَابِىۤ اُصِيبُ بِه مَن اَشَاءُ​  وَرَحمَتِى وَسِعَت كُلَّ شَىءٍ “(Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu …” [1] Terdapat sebuah hadis yang menunjukkan bahwa kasih sayang Allah lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ). ﻗﻠﻨﺎ: ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: (ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu, ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [2] Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, kita harus selalu berharap kepada-Nya, tidak berputus asa dari rahmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan. Bukti kasih sayang Allah Kasih sayang Allah Azza wa Jalla begitu luas dan tidak terbatas. Ia mencakup seluruh makhluk-Nya, tanpa memandang status, perbuatan, atau kedudukan mereka. Setiap hembusan napas, setiap rezeki yang kita peroleh, dan setiap kesempatan untuk memperbaiki diri adalah bukti nyata dari kasih sayang-Nya. Di  antara bukti kasih sayang Allah antara lain, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” [3] Allah memberi rezeki tanpa henti Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَا​ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ‏ “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [4] Allah mengampuni semua dosa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلۡ يٰعِبَادِىَ الَّذِيۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِيۡعًا​  اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ‏ “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [5] Allah memberikan hidayah dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا يُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ​ “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).” [6] Rasa tenang dalam ibadah dan mengingat Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ​  اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ ‏ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [7] Jangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu adalah cinta yang luar biasa, tetapi kasih sayang Allah jauh lebih besar dan tidak terbatas. Allah selalu memberi, mengampuni, dan mencintai hamba-Nya, bahkan ketika mereka berdosa. Maka, jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak peduli seberapa jauh kita tersesat, selalu ada jalan untuk kembali kepada-Nya. Saat hati terasa hancur, ingatlah: Allah mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-A’raf: 156 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. Al-Baqarah: 186 [4] QS. Hud: 6 [5] QS. Az-Zumar: 53 [6] QS. Al-Baqarah: 257 [7] QS. Ar-Ra’d: 28
Daftar Isi Toggle Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di duniaKasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurnaBukti kasih sayang AllahAllah tidak pernah meninggalkan hamba-NyaAllah memberi rezeki tanpa hentiAllah mengampuni semua dosaAllah memberikan hidayah dan petunjukRasa tenang dalam ibadah dan mengingat AllahJangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di dunia Kasih sayang ibu adalah salah satu bentuk cinta paling tulus yang ada di dunia ini. Seorang ibu merawat, melindungi, dan mencintai anaknya tanpa syarat, bahkan sebelum anak itu lahir. Seorang ibu rela berkorban demi anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Sejak mengandung, melahirkan, hingga membesarkan, ibu selalu mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Bahkan, ketika anak melakukan kesalahan, ibu tetap mencintai dan mendoakannya. Bayangkan seorang ibu yang menggendong bayinya dengan penuh cinta. Ia rela begadang sepanjang malam, menahan lelah dan letih demi memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Jika sang anak menangis, ia segera menenangkannya. Jika sang anak lapar, ia mendahulukan makannya. Begitu besar kasih sayang seorang ibu, tetapi tahukah kita bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya jauh lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya? Allah mencintai kita bahkan sebelum kita mengenal-Nya. Dia memberi kita kehidupan, udara untuk bernapas, makanan untuk bertahan hidup, dan perlindungan dalam setiap langkah. Bahkan saat kita berbuat dosa dan menjauh dari-Nya, Allah tetap membuka pintu kasih sayang-Nya, menunggu kita kembali dengan penuh ampunan. Kasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurna Meskipun kasih sayang ibu begitu tulus dan penuh pengorbanan, kasih sayang Allah Azza wa Jalla melampaui batasan yang bisa kita bayangkan. Allah tidak hanya mencintai hamba-Nya tanpa syarat, tetapi juga memberikan rahmat yang luas, pengampunan yang tak terbatas, dan petunjuk bagi kehidupan. Allah Azza wa Jalla berfirman, قَالَ عَذَابِىۤ اُصِيبُ بِه مَن اَشَاءُ​  وَرَحمَتِى وَسِعَت كُلَّ شَىءٍ “(Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu …” [1] Terdapat sebuah hadis yang menunjukkan bahwa kasih sayang Allah lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ). ﻗﻠﻨﺎ: ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: (ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu, ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [2] Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, kita harus selalu berharap kepada-Nya, tidak berputus asa dari rahmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan. Bukti kasih sayang Allah Kasih sayang Allah Azza wa Jalla begitu luas dan tidak terbatas. Ia mencakup seluruh makhluk-Nya, tanpa memandang status, perbuatan, atau kedudukan mereka. Setiap hembusan napas, setiap rezeki yang kita peroleh, dan setiap kesempatan untuk memperbaiki diri adalah bukti nyata dari kasih sayang-Nya. Di  antara bukti kasih sayang Allah antara lain, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” [3] Allah memberi rezeki tanpa henti Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَا​ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ‏ “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [4] Allah mengampuni semua dosa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلۡ يٰعِبَادِىَ الَّذِيۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِيۡعًا​  اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ‏ “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [5] Allah memberikan hidayah dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا يُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ​ “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).” [6] Rasa tenang dalam ibadah dan mengingat Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ​  اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ ‏ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [7] Jangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu adalah cinta yang luar biasa, tetapi kasih sayang Allah jauh lebih besar dan tidak terbatas. Allah selalu memberi, mengampuni, dan mencintai hamba-Nya, bahkan ketika mereka berdosa. Maka, jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak peduli seberapa jauh kita tersesat, selalu ada jalan untuk kembali kepada-Nya. Saat hati terasa hancur, ingatlah: Allah mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-A’raf: 156 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. Al-Baqarah: 186 [4] QS. Hud: 6 [5] QS. Az-Zumar: 53 [6] QS. Al-Baqarah: 257 [7] QS. Ar-Ra’d: 28


Daftar Isi Toggle Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di duniaKasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurnaBukti kasih sayang AllahAllah tidak pernah meninggalkan hamba-NyaAllah memberi rezeki tanpa hentiAllah mengampuni semua dosaAllah memberikan hidayah dan petunjukRasa tenang dalam ibadah dan mengingat AllahJangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu: Cinta paling tulus di dunia Kasih sayang ibu adalah salah satu bentuk cinta paling tulus yang ada di dunia ini. Seorang ibu merawat, melindungi, dan mencintai anaknya tanpa syarat, bahkan sebelum anak itu lahir. Seorang ibu rela berkorban demi anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Sejak mengandung, melahirkan, hingga membesarkan, ibu selalu mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Bahkan, ketika anak melakukan kesalahan, ibu tetap mencintai dan mendoakannya. Bayangkan seorang ibu yang menggendong bayinya dengan penuh cinta. Ia rela begadang sepanjang malam, menahan lelah dan letih demi memastikan anaknya tidur dengan nyaman. Jika sang anak menangis, ia segera menenangkannya. Jika sang anak lapar, ia mendahulukan makannya. Begitu besar kasih sayang seorang ibu, tetapi tahukah kita bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya jauh lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya? Allah mencintai kita bahkan sebelum kita mengenal-Nya. Dia memberi kita kehidupan, udara untuk bernapas, makanan untuk bertahan hidup, dan perlindungan dalam setiap langkah. Bahkan saat kita berbuat dosa dan menjauh dari-Nya, Allah tetap membuka pintu kasih sayang-Nya, menunggu kita kembali dengan penuh ampunan. Kasih sayang Allah: Tidak terbatas dan sempurna Meskipun kasih sayang ibu begitu tulus dan penuh pengorbanan, kasih sayang Allah Azza wa Jalla melampaui batasan yang bisa kita bayangkan. Allah tidak hanya mencintai hamba-Nya tanpa syarat, tetapi juga memberikan rahmat yang luas, pengampunan yang tak terbatas, dan petunjuk bagi kehidupan. Allah Azza wa Jalla berfirman, قَالَ عَذَابِىۤ اُصِيبُ بِه مَن اَشَاءُ​  وَرَحمَتِى وَسِعَت كُلَّ شَىءٍ “(Allah) berfirman, “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu …” [1] Terdapat sebuah hadis yang menunjukkan bahwa kasih sayang Allah lebih besar daripada kasih sayang seorang ibu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : (ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ). ﻗﻠﻨﺎ: ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ، ﻓﻘﺎﻝ: (ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu, ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” [2] Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, kita harus selalu berharap kepada-Nya, tidak berputus asa dari rahmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan. Bukti kasih sayang Allah Kasih sayang Allah Azza wa Jalla begitu luas dan tidak terbatas. Ia mencakup seluruh makhluk-Nya, tanpa memandang status, perbuatan, atau kedudukan mereka. Setiap hembusan napas, setiap rezeki yang kita peroleh, dan setiap kesempatan untuk memperbaiki diri adalah bukti nyata dari kasih sayang-Nya. Di  antara bukti kasih sayang Allah antara lain, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” [3] Allah memberi rezeki tanpa henti Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَا​ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ‏ “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [4] Allah mengampuni semua dosa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلۡ يٰعِبَادِىَ الَّذِيۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَةِ اللّٰهِ​  اِنَّ اللّٰهَ يَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِيۡعًا​  اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ‏ “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [5] Allah memberikan hidayah dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا يُخۡرِجُهُمۡ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ​ “Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).” [6] Rasa tenang dalam ibadah dan mengingat Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ​  اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ ‏ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” [7] Jangan pernah ragu dengan kasih sayang Allah Kasih sayang ibu adalah cinta yang luar biasa, tetapi kasih sayang Allah jauh lebih besar dan tidak terbatas. Allah selalu memberi, mengampuni, dan mencintai hamba-Nya, bahkan ketika mereka berdosa. Maka, jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak peduli seberapa jauh kita tersesat, selalu ada jalan untuk kembali kepada-Nya. Saat hati terasa hancur, ingatlah: Allah mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin. [Bersambung] Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8 *** Ditulis di Jember, 2 Ramadan 1446/2 Maret 2025 Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-A’raf: 156 [2] HR. Bukhari dan Muslim [3] QS. Al-Baqarah: 186 [4] QS. Hud: 6 [5] QS. Az-Zumar: 53 [6] QS. Al-Baqarah: 257 [7] QS. Ar-Ra’d: 28

Ingin Hajimu Mabrur? Jangan Berangkat Sebelum Dengar Nasihat Ini! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa nasihat Anda bagi orang yang hendak menunaikan haji? Bagaimana seharusnya ia mempersiapkannya? Orang yang hendak menunaikan haji, pertama-tama harus memilih rombongan yang dapat membantunya dalam melaksanakan manasik haji, dan agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Hendaknya ia memilih rombongan, travel, atau komunitas yang membantunya dalam pelaksanaan manasik haji. Sebaiknya ia memilih rombongan atau travel yang di dalamnya terdapat para penuntut ilmu dan para syaikh (guru) yang mengajarkan para jamaah tentang ibadah haji mereka, serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang belum mereka pahami terkait haji, agar mereka dapat menjalankan ibadah ini sesuai dengan sunah. Sebab haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan cara paling sempurna dan tidak terdapat padanya perbuatan dosa maupun maksiat. Demikian pula, orang yang hendak berhaji hendaknya mempelajari fikih ibadah haji dan membaca buku seputar haji. Di antara buku terbaik dalam hal ini adalah karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, At-Tahqiq wal-Idhah. Juga buku Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berjudul Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal-Hajj, serta buku-buku bermanfaat lainnya. Selain itu, ada pula beberapa potongan video kajian dan ceramah dari para syaikh yang mulia. Jadi, hendaknya ia bersungguh-sungguh mempelajari permasalahan dan hukum-hukum haji. Lalu jika ada hal yang belum ia pahami, hendaknya ia bertanya. Selain itu, ketika sedang berhaji, hendaknya ia berusaha mengamalkan sunah semaksimal mungkin, agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Maksudnya, saat hendak berangkat haji, ia harus bertekad agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Karena haji mabrurlah yang dapat menghapus seluruh dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia kembali dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya.” Nabi juga bersabda, “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari). Nabi juga bersabda, “Haji menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Muslim). Maka dari itu, siapa yang hendak berhaji, hendaklah ia berusaha agar hajinya mabrur, dengan cara bersungguh-sungguh melaksanakannya secara sempurna, mengamalkan sunah-sunah di dalamnya, dan berusaha menjaga diri dari perbuatan dosa maupun maksiat selama berhaji. ==== مَا نَصِيحَتُكُمْ لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ كَيْفَ يَسْتَعِدُّ لَهُ؟ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوَّلاً عَلَيْهِ أَنْ يَخْتَارَ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ وَأَنْ يَقَعَ مِنْهُ هَذَا الْحَجُّ مَبْرُورًا يَخْتَارُ الْحَمْلَةَ أَوْ الشَّرِكَةَ أَوْ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْتَارَ الْحَمَلَاتِ أَوْ الشَّرِكَاتِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا طُلَّابُ عِلْمٍ وَفِيهَا مَشَايِخُ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ أُمُورَ حَجِّهِمْ وَيُوَضِّحُونَ لَهُمْ مَا يُشْكِلُ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمُورِ حَجِّهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ عَلَى السُّنَّةِ فَإِنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ مَا أَتَى بِهِ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَلَمْ يَقَعْ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ كَذَلِكَ أَيْضًا مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الْحَجِّ وَأَنْ يَقْرَأَ عَنِ الْحَجِّ وَمِنْ أَفْضَلِ الْكُتُبِ فِي هَذَا كِتَابُ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ التَّحْقِيقُ وَالْإِيضَاحُ وَكِتَابُ أَيْضًا الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللَّهُ الْمَنْهَجُ لِمُرِيدِ الْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ النَّافِعَةِ كَذَلِكَ هُنَاكَ بَعْضُ الْمَقَاطِعِ وَالْمُحَاضَرَاتِ لِمَشَايِخَ أَفَاضِلَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَى التَّفَقُّهِ فِي مَسَائِلَ وَأَحْكَامِ الْحَجِّ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ يَسْأَلُ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي إِذَا حَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى تَطْبِيقِ السُّنَّةِ مَا أَمْكَنَ حَتَّى يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا يَعْنِي يَنْبَغِي إِذَا أَرَادَ الذَّهَابَ لِلْحَجِّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ حَجّاً مَبْرُورًا لِأَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ الَّذِي يُكَفِّرُ جَمِيعَ الذُّنُوبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَقَالَ وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ وَقَالَ الْحَجُّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ فَيَنْبَغِي إِذًا لَمِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَأْتِيَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَأَنْ يُطَبِّقَ السُّنَّةَ فِي حَجِّهِ وَأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَلَّا يَقَعَ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ

Ingin Hajimu Mabrur? Jangan Berangkat Sebelum Dengar Nasihat Ini! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apa nasihat Anda bagi orang yang hendak menunaikan haji? Bagaimana seharusnya ia mempersiapkannya? Orang yang hendak menunaikan haji, pertama-tama harus memilih rombongan yang dapat membantunya dalam melaksanakan manasik haji, dan agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Hendaknya ia memilih rombongan, travel, atau komunitas yang membantunya dalam pelaksanaan manasik haji. Sebaiknya ia memilih rombongan atau travel yang di dalamnya terdapat para penuntut ilmu dan para syaikh (guru) yang mengajarkan para jamaah tentang ibadah haji mereka, serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang belum mereka pahami terkait haji, agar mereka dapat menjalankan ibadah ini sesuai dengan sunah. Sebab haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan cara paling sempurna dan tidak terdapat padanya perbuatan dosa maupun maksiat. Demikian pula, orang yang hendak berhaji hendaknya mempelajari fikih ibadah haji dan membaca buku seputar haji. Di antara buku terbaik dalam hal ini adalah karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, At-Tahqiq wal-Idhah. Juga buku Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berjudul Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal-Hajj, serta buku-buku bermanfaat lainnya. Selain itu, ada pula beberapa potongan video kajian dan ceramah dari para syaikh yang mulia. Jadi, hendaknya ia bersungguh-sungguh mempelajari permasalahan dan hukum-hukum haji. Lalu jika ada hal yang belum ia pahami, hendaknya ia bertanya. Selain itu, ketika sedang berhaji, hendaknya ia berusaha mengamalkan sunah semaksimal mungkin, agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Maksudnya, saat hendak berangkat haji, ia harus bertekad agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Karena haji mabrurlah yang dapat menghapus seluruh dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia kembali dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya.” Nabi juga bersabda, “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari). Nabi juga bersabda, “Haji menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Muslim). Maka dari itu, siapa yang hendak berhaji, hendaklah ia berusaha agar hajinya mabrur, dengan cara bersungguh-sungguh melaksanakannya secara sempurna, mengamalkan sunah-sunah di dalamnya, dan berusaha menjaga diri dari perbuatan dosa maupun maksiat selama berhaji. ==== مَا نَصِيحَتُكُمْ لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ كَيْفَ يَسْتَعِدُّ لَهُ؟ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوَّلاً عَلَيْهِ أَنْ يَخْتَارَ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ وَأَنْ يَقَعَ مِنْهُ هَذَا الْحَجُّ مَبْرُورًا يَخْتَارُ الْحَمْلَةَ أَوْ الشَّرِكَةَ أَوْ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْتَارَ الْحَمَلَاتِ أَوْ الشَّرِكَاتِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا طُلَّابُ عِلْمٍ وَفِيهَا مَشَايِخُ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ أُمُورَ حَجِّهِمْ وَيُوَضِّحُونَ لَهُمْ مَا يُشْكِلُ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمُورِ حَجِّهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ عَلَى السُّنَّةِ فَإِنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ مَا أَتَى بِهِ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَلَمْ يَقَعْ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ كَذَلِكَ أَيْضًا مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الْحَجِّ وَأَنْ يَقْرَأَ عَنِ الْحَجِّ وَمِنْ أَفْضَلِ الْكُتُبِ فِي هَذَا كِتَابُ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ التَّحْقِيقُ وَالْإِيضَاحُ وَكِتَابُ أَيْضًا الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللَّهُ الْمَنْهَجُ لِمُرِيدِ الْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ النَّافِعَةِ كَذَلِكَ هُنَاكَ بَعْضُ الْمَقَاطِعِ وَالْمُحَاضَرَاتِ لِمَشَايِخَ أَفَاضِلَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَى التَّفَقُّهِ فِي مَسَائِلَ وَأَحْكَامِ الْحَجِّ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ يَسْأَلُ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي إِذَا حَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى تَطْبِيقِ السُّنَّةِ مَا أَمْكَنَ حَتَّى يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا يَعْنِي يَنْبَغِي إِذَا أَرَادَ الذَّهَابَ لِلْحَجِّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ حَجّاً مَبْرُورًا لِأَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ الَّذِي يُكَفِّرُ جَمِيعَ الذُّنُوبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَقَالَ وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ وَقَالَ الْحَجُّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ فَيَنْبَغِي إِذًا لَمِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَأْتِيَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَأَنْ يُطَبِّقَ السُّنَّةَ فِي حَجِّهِ وَأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَلَّا يَقَعَ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ
Apa nasihat Anda bagi orang yang hendak menunaikan haji? Bagaimana seharusnya ia mempersiapkannya? Orang yang hendak menunaikan haji, pertama-tama harus memilih rombongan yang dapat membantunya dalam melaksanakan manasik haji, dan agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Hendaknya ia memilih rombongan, travel, atau komunitas yang membantunya dalam pelaksanaan manasik haji. Sebaiknya ia memilih rombongan atau travel yang di dalamnya terdapat para penuntut ilmu dan para syaikh (guru) yang mengajarkan para jamaah tentang ibadah haji mereka, serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang belum mereka pahami terkait haji, agar mereka dapat menjalankan ibadah ini sesuai dengan sunah. Sebab haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan cara paling sempurna dan tidak terdapat padanya perbuatan dosa maupun maksiat. Demikian pula, orang yang hendak berhaji hendaknya mempelajari fikih ibadah haji dan membaca buku seputar haji. Di antara buku terbaik dalam hal ini adalah karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, At-Tahqiq wal-Idhah. Juga buku Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berjudul Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal-Hajj, serta buku-buku bermanfaat lainnya. Selain itu, ada pula beberapa potongan video kajian dan ceramah dari para syaikh yang mulia. Jadi, hendaknya ia bersungguh-sungguh mempelajari permasalahan dan hukum-hukum haji. Lalu jika ada hal yang belum ia pahami, hendaknya ia bertanya. Selain itu, ketika sedang berhaji, hendaknya ia berusaha mengamalkan sunah semaksimal mungkin, agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Maksudnya, saat hendak berangkat haji, ia harus bertekad agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Karena haji mabrurlah yang dapat menghapus seluruh dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia kembali dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya.” Nabi juga bersabda, “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari). Nabi juga bersabda, “Haji menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Muslim). Maka dari itu, siapa yang hendak berhaji, hendaklah ia berusaha agar hajinya mabrur, dengan cara bersungguh-sungguh melaksanakannya secara sempurna, mengamalkan sunah-sunah di dalamnya, dan berusaha menjaga diri dari perbuatan dosa maupun maksiat selama berhaji. ==== مَا نَصِيحَتُكُمْ لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ كَيْفَ يَسْتَعِدُّ لَهُ؟ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوَّلاً عَلَيْهِ أَنْ يَخْتَارَ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ وَأَنْ يَقَعَ مِنْهُ هَذَا الْحَجُّ مَبْرُورًا يَخْتَارُ الْحَمْلَةَ أَوْ الشَّرِكَةَ أَوْ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْتَارَ الْحَمَلَاتِ أَوْ الشَّرِكَاتِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا طُلَّابُ عِلْمٍ وَفِيهَا مَشَايِخُ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ أُمُورَ حَجِّهِمْ وَيُوَضِّحُونَ لَهُمْ مَا يُشْكِلُ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمُورِ حَجِّهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ عَلَى السُّنَّةِ فَإِنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ مَا أَتَى بِهِ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَلَمْ يَقَعْ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ كَذَلِكَ أَيْضًا مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الْحَجِّ وَأَنْ يَقْرَأَ عَنِ الْحَجِّ وَمِنْ أَفْضَلِ الْكُتُبِ فِي هَذَا كِتَابُ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ التَّحْقِيقُ وَالْإِيضَاحُ وَكِتَابُ أَيْضًا الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللَّهُ الْمَنْهَجُ لِمُرِيدِ الْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ النَّافِعَةِ كَذَلِكَ هُنَاكَ بَعْضُ الْمَقَاطِعِ وَالْمُحَاضَرَاتِ لِمَشَايِخَ أَفَاضِلَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَى التَّفَقُّهِ فِي مَسَائِلَ وَأَحْكَامِ الْحَجِّ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ يَسْأَلُ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي إِذَا حَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى تَطْبِيقِ السُّنَّةِ مَا أَمْكَنَ حَتَّى يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا يَعْنِي يَنْبَغِي إِذَا أَرَادَ الذَّهَابَ لِلْحَجِّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ حَجّاً مَبْرُورًا لِأَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ الَّذِي يُكَفِّرُ جَمِيعَ الذُّنُوبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَقَالَ وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ وَقَالَ الْحَجُّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ فَيَنْبَغِي إِذًا لَمِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَأْتِيَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَأَنْ يُطَبِّقَ السُّنَّةَ فِي حَجِّهِ وَأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَلَّا يَقَعَ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ


Apa nasihat Anda bagi orang yang hendak menunaikan haji? Bagaimana seharusnya ia mempersiapkannya? Orang yang hendak menunaikan haji, pertama-tama harus memilih rombongan yang dapat membantunya dalam melaksanakan manasik haji, dan agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Hendaknya ia memilih rombongan, travel, atau komunitas yang membantunya dalam pelaksanaan manasik haji. Sebaiknya ia memilih rombongan atau travel yang di dalamnya terdapat para penuntut ilmu dan para syaikh (guru) yang mengajarkan para jamaah tentang ibadah haji mereka, serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang belum mereka pahami terkait haji, agar mereka dapat menjalankan ibadah ini sesuai dengan sunah. Sebab haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan cara paling sempurna dan tidak terdapat padanya perbuatan dosa maupun maksiat. Demikian pula, orang yang hendak berhaji hendaknya mempelajari fikih ibadah haji dan membaca buku seputar haji. Di antara buku terbaik dalam hal ini adalah karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, At-Tahqiq wal-Idhah. Juga buku Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berjudul Al-Manhaj li Muridil ‘Umrah wal-Hajj, serta buku-buku bermanfaat lainnya. Selain itu, ada pula beberapa potongan video kajian dan ceramah dari para syaikh yang mulia. Jadi, hendaknya ia bersungguh-sungguh mempelajari permasalahan dan hukum-hukum haji. Lalu jika ada hal yang belum ia pahami, hendaknya ia bertanya. Selain itu, ketika sedang berhaji, hendaknya ia berusaha mengamalkan sunah semaksimal mungkin, agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Maksudnya, saat hendak berangkat haji, ia harus bertekad agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Karena haji mabrurlah yang dapat menghapus seluruh dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa berhaji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia kembali dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya.” Nabi juga bersabda, “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari). Nabi juga bersabda, “Haji menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Muslim). Maka dari itu, siapa yang hendak berhaji, hendaklah ia berusaha agar hajinya mabrur, dengan cara bersungguh-sungguh melaksanakannya secara sempurna, mengamalkan sunah-sunah di dalamnya, dan berusaha menjaga diri dari perbuatan dosa maupun maksiat selama berhaji. ==== مَا نَصِيحَتُكُمْ لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ كَيْفَ يَسْتَعِدُّ لَهُ؟ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوَّلاً عَلَيْهِ أَنْ يَخْتَارَ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ وَأَنْ يَقَعَ مِنْهُ هَذَا الْحَجُّ مَبْرُورًا يَخْتَارُ الْحَمْلَةَ أَوْ الشَّرِكَةَ أَوْ الصُّحْبَةَ الَّتِي تُعِيْنُهُ عَلَى أَدَاءِ النُّسُكِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْتَارَ الْحَمَلَاتِ أَوْ الشَّرِكَاتِ الَّتِي يَكُونُ فِيهَا طُلَّابُ عِلْمٍ وَفِيهَا مَشَايِخُ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ أُمُورَ حَجِّهِمْ وَيُوَضِّحُونَ لَهُمْ مَا يُشْكِلُ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمُورِ حَجِّهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ عَلَى السُّنَّةِ فَإِنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ مَا أَتَى بِهِ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَلَمْ يَقَعْ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ كَذَلِكَ أَيْضًا مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الْحَجِّ وَأَنْ يَقْرَأَ عَنِ الْحَجِّ وَمِنْ أَفْضَلِ الْكُتُبِ فِي هَذَا كِتَابُ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ رَحِمَهُ اللَّهُ التَّحْقِيقُ وَالْإِيضَاحُ وَكِتَابُ أَيْضًا الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللَّهُ الْمَنْهَجُ لِمُرِيدِ الْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ النَّافِعَةِ كَذَلِكَ هُنَاكَ بَعْضُ الْمَقَاطِعِ وَالْمُحَاضَرَاتِ لِمَشَايِخَ أَفَاضِلَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَى التَّفَقُّهِ فِي مَسَائِلَ وَأَحْكَامِ الْحَجِّ وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ يَسْأَلُ كَذَلِكَ أَيْضًا يَنْبَغِي إِذَا حَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى تَطْبِيقِ السُّنَّةِ مَا أَمْكَنَ حَتَّى يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا يَعْنِي يَنْبَغِي إِذَا أَرَادَ الذَّهَابَ لِلْحَجِّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ الْحَجُّ حَجّاً مَبْرُورًا لِأَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ هُوَ الَّذِي يُكَفِّرُ جَمِيعَ الذُّنُوبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَقَالَ وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ وَقَالَ الْحَجُّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ فَيَنْبَغِي إِذًا لَمِنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَكُونَ حَجُّهُ مَبْرُورًا بِأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَنْ يَأْتِيَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ وَأَنْ يُطَبِّقَ السُّنَّةَ فِي حَجِّهِ وَأَنْ يَحْرِصَ عَلَى أَلَّا يَقَعَ مِنْهُ فِيهِ إِثْمٌ وَلَا مَعْصِيَةٌ

Teks Khotbah Jumat: Nasihat untuk yang Masih Gemar Melihat Foto dan Video Porno

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga diri kita mampu membedakan kebaikan dan keburukan serta akan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah. Penglihatan merupakan salah satu nikmat agung yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya; dengan nikmat penglihatan inilah kita dapat melihat langsung keajaiban kekuasaan Allah dan keindahan ciptaan-Nya di bumi dan di langit ini. Dengan nikmat ini pula, kita dapat belajar dan membaca ayat-ayat Allah serta hadis-hadis Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jemaah sekalian, nikmat ini dapat berubah menjadi bencana ketika seorang hamba justru menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat apa-apa yang diharamkan Allah, baik secara langsung maupun melalui foto atau video dan sebagainya. Sungguh, hal ini adalah salah satu bentuk kufur nikmat yang akan menjadi sebab kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak. Ketahuilah jemaah sekalian, melihat kepada hal-hal yang haram itu termasuk bentuk zina majazi (kiasan), serta merupakan wasilah dan perantara menuju kemaksiatan zina hakiki (sebenarnya) yang diwajibkan atas pelakunya hukuman had. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ كَتَبَ علَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أدْرَكَ ذلكَ لا مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والنَّفْسُ تَمَنَّى وتَشْتَهِي، والفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلكَ أوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti akan dialaminya. Zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah berbicara, dan jiwa ketika berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan (keinginannya tersebut).” (HR. Bukhari no. 6612 dan Muslim no. 2657) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Perlu kita ketahui bahwa maksiat pandangan yang dilakukan seorang hamba ini, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan beberapa hal buruk lainnya kepada diri hamba tersebut. Yang pertama, akan menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, susah menghafal, dan menjadikan kita malas. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي  فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور   ونور الله لا يهدى لعاصي “Aku mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, para ulama menyebutkan bahwa maksiat merupakan salah satu sebab terbesar hilangnya penjagaan kita terhadap salat. Allah berfirman, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ “Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan mengikuti hawa nafsu (syahwat) …” (QS. Maryam: 59) Seseorang yang mengikuti nafsu syahwatnya dengan melihat hal-hal yang Allah haramkan dan berbau porno, maka di antara konskuensinya yang telah disebutkan pada ayat tersebut adalah ketidakperhatian orang tersebut terhadap perkara salat serta bermudah-mudahan dalam menyia-nyiakannya. Sebaliknya, seseorang yang menjaga salatnya, maka InsyaAllah, Allah akan menjaganya dari nafsu syahwat dan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ  “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45) Yang ketiga, maksiat juga bisa menjadi sebab terhalangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Bagi siapa saja yang masih berada dalam dosa tersebut, gemar melihat foto dan video porno yang Allah haramkan, hendaknya dirinya segera bertobat dengan tobat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Yaitu dengan meninggalkan dosa tersebut, menyesalinya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Menutupi dosanya tersebut dan tidak menyebarkannya. Ketahuilah bahwa tobat yang benar akan selalu diterima oleh Allah Ta’ala meskipun terkadang pelakunya masih mengulanginya. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang gemar bertobat dan menyukai orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bolehkah Melihat Gambar Porno Demi Kepuasan Hubungan Suami Istri? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Dari khotbah sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bersama akan pentingnya menundukkan pandangan kita dari hal-hal yang haram untuk dilihat, baik secara langsung, maupun melalui foto atau video-video. Terlebih lagi kita hidup di zaman perkembangan teknologi dan mudahnya mengakses informasi yang ada, bahkan di kala kita tidak menghendaki hal tersebut saja, hal-hal yang haram tersebut begitu mudahnya muncul di layar gadget kita. Wallahu Al-Musta’an. Ma’asyiral mukminin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di dalam muamalah kita dan kebutuhan kita kepada gadget, maka ayat berikut insyaAllah dapat menjadi tameng kita dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala, أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَخَمْسَةٍ إِلاَّهُوَ سَادِسُهُمْ وَلآأَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلآ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَاكَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَاعَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadiilah: 7) Bijaksanalah dan berhati-hatilah ketika berinteraksi dengan internet. Karena seringkali kerusakannya jauh lebih besar dari manfaatnya. Saat diri kita sedang berdua-duaan dengan internet, ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat ketiga. Dia mengetahui apa yang kita kerjakan dan kita sembunyikan. Nasihat terakhir kami pada kesempatan khotbah Jumat ini, hendaknya kita tingkatkan sifat ihsan kita kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّه يَرَاكَ “(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9) Semoga Allah Ta’ala menjaga diri kita, penglihatan kita, pendengaran kita, dan seluruh panca indra kita dari hal-hal yang Allah haramkan. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga anak keturunan kita dari tontonan-tontonan dan gambar-gambar tidak senonoh yang dapat merusak mereka. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Nasihat untuk yang Masih Gemar Melihat Foto dan Video Porno

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga diri kita mampu membedakan kebaikan dan keburukan serta akan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah. Penglihatan merupakan salah satu nikmat agung yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya; dengan nikmat penglihatan inilah kita dapat melihat langsung keajaiban kekuasaan Allah dan keindahan ciptaan-Nya di bumi dan di langit ini. Dengan nikmat ini pula, kita dapat belajar dan membaca ayat-ayat Allah serta hadis-hadis Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jemaah sekalian, nikmat ini dapat berubah menjadi bencana ketika seorang hamba justru menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat apa-apa yang diharamkan Allah, baik secara langsung maupun melalui foto atau video dan sebagainya. Sungguh, hal ini adalah salah satu bentuk kufur nikmat yang akan menjadi sebab kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak. Ketahuilah jemaah sekalian, melihat kepada hal-hal yang haram itu termasuk bentuk zina majazi (kiasan), serta merupakan wasilah dan perantara menuju kemaksiatan zina hakiki (sebenarnya) yang diwajibkan atas pelakunya hukuman had. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ كَتَبَ علَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أدْرَكَ ذلكَ لا مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والنَّفْسُ تَمَنَّى وتَشْتَهِي، والفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلكَ أوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti akan dialaminya. Zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah berbicara, dan jiwa ketika berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan (keinginannya tersebut).” (HR. Bukhari no. 6612 dan Muslim no. 2657) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Perlu kita ketahui bahwa maksiat pandangan yang dilakukan seorang hamba ini, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan beberapa hal buruk lainnya kepada diri hamba tersebut. Yang pertama, akan menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, susah menghafal, dan menjadikan kita malas. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي  فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور   ونور الله لا يهدى لعاصي “Aku mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, para ulama menyebutkan bahwa maksiat merupakan salah satu sebab terbesar hilangnya penjagaan kita terhadap salat. Allah berfirman, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ “Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan mengikuti hawa nafsu (syahwat) …” (QS. Maryam: 59) Seseorang yang mengikuti nafsu syahwatnya dengan melihat hal-hal yang Allah haramkan dan berbau porno, maka di antara konskuensinya yang telah disebutkan pada ayat tersebut adalah ketidakperhatian orang tersebut terhadap perkara salat serta bermudah-mudahan dalam menyia-nyiakannya. Sebaliknya, seseorang yang menjaga salatnya, maka InsyaAllah, Allah akan menjaganya dari nafsu syahwat dan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ  “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45) Yang ketiga, maksiat juga bisa menjadi sebab terhalangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Bagi siapa saja yang masih berada dalam dosa tersebut, gemar melihat foto dan video porno yang Allah haramkan, hendaknya dirinya segera bertobat dengan tobat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Yaitu dengan meninggalkan dosa tersebut, menyesalinya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Menutupi dosanya tersebut dan tidak menyebarkannya. Ketahuilah bahwa tobat yang benar akan selalu diterima oleh Allah Ta’ala meskipun terkadang pelakunya masih mengulanginya. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang gemar bertobat dan menyukai orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bolehkah Melihat Gambar Porno Demi Kepuasan Hubungan Suami Istri? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Dari khotbah sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bersama akan pentingnya menundukkan pandangan kita dari hal-hal yang haram untuk dilihat, baik secara langsung, maupun melalui foto atau video-video. Terlebih lagi kita hidup di zaman perkembangan teknologi dan mudahnya mengakses informasi yang ada, bahkan di kala kita tidak menghendaki hal tersebut saja, hal-hal yang haram tersebut begitu mudahnya muncul di layar gadget kita. Wallahu Al-Musta’an. Ma’asyiral mukminin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di dalam muamalah kita dan kebutuhan kita kepada gadget, maka ayat berikut insyaAllah dapat menjadi tameng kita dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala, أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَخَمْسَةٍ إِلاَّهُوَ سَادِسُهُمْ وَلآأَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلآ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَاكَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَاعَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadiilah: 7) Bijaksanalah dan berhati-hatilah ketika berinteraksi dengan internet. Karena seringkali kerusakannya jauh lebih besar dari manfaatnya. Saat diri kita sedang berdua-duaan dengan internet, ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat ketiga. Dia mengetahui apa yang kita kerjakan dan kita sembunyikan. Nasihat terakhir kami pada kesempatan khotbah Jumat ini, hendaknya kita tingkatkan sifat ihsan kita kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّه يَرَاكَ “(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9) Semoga Allah Ta’ala menjaga diri kita, penglihatan kita, pendengaran kita, dan seluruh panca indra kita dari hal-hal yang Allah haramkan. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga anak keturunan kita dari tontonan-tontonan dan gambar-gambar tidak senonoh yang dapat merusak mereka. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga diri kita mampu membedakan kebaikan dan keburukan serta akan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah. Penglihatan merupakan salah satu nikmat agung yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya; dengan nikmat penglihatan inilah kita dapat melihat langsung keajaiban kekuasaan Allah dan keindahan ciptaan-Nya di bumi dan di langit ini. Dengan nikmat ini pula, kita dapat belajar dan membaca ayat-ayat Allah serta hadis-hadis Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jemaah sekalian, nikmat ini dapat berubah menjadi bencana ketika seorang hamba justru menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat apa-apa yang diharamkan Allah, baik secara langsung maupun melalui foto atau video dan sebagainya. Sungguh, hal ini adalah salah satu bentuk kufur nikmat yang akan menjadi sebab kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak. Ketahuilah jemaah sekalian, melihat kepada hal-hal yang haram itu termasuk bentuk zina majazi (kiasan), serta merupakan wasilah dan perantara menuju kemaksiatan zina hakiki (sebenarnya) yang diwajibkan atas pelakunya hukuman had. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ كَتَبَ علَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أدْرَكَ ذلكَ لا مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والنَّفْسُ تَمَنَّى وتَشْتَهِي، والفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلكَ أوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti akan dialaminya. Zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah berbicara, dan jiwa ketika berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan (keinginannya tersebut).” (HR. Bukhari no. 6612 dan Muslim no. 2657) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Perlu kita ketahui bahwa maksiat pandangan yang dilakukan seorang hamba ini, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan beberapa hal buruk lainnya kepada diri hamba tersebut. Yang pertama, akan menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, susah menghafal, dan menjadikan kita malas. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي  فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور   ونور الله لا يهدى لعاصي “Aku mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, para ulama menyebutkan bahwa maksiat merupakan salah satu sebab terbesar hilangnya penjagaan kita terhadap salat. Allah berfirman, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ “Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan mengikuti hawa nafsu (syahwat) …” (QS. Maryam: 59) Seseorang yang mengikuti nafsu syahwatnya dengan melihat hal-hal yang Allah haramkan dan berbau porno, maka di antara konskuensinya yang telah disebutkan pada ayat tersebut adalah ketidakperhatian orang tersebut terhadap perkara salat serta bermudah-mudahan dalam menyia-nyiakannya. Sebaliknya, seseorang yang menjaga salatnya, maka InsyaAllah, Allah akan menjaganya dari nafsu syahwat dan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ  “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45) Yang ketiga, maksiat juga bisa menjadi sebab terhalangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Bagi siapa saja yang masih berada dalam dosa tersebut, gemar melihat foto dan video porno yang Allah haramkan, hendaknya dirinya segera bertobat dengan tobat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Yaitu dengan meninggalkan dosa tersebut, menyesalinya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Menutupi dosanya tersebut dan tidak menyebarkannya. Ketahuilah bahwa tobat yang benar akan selalu diterima oleh Allah Ta’ala meskipun terkadang pelakunya masih mengulanginya. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang gemar bertobat dan menyukai orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bolehkah Melihat Gambar Porno Demi Kepuasan Hubungan Suami Istri? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Dari khotbah sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bersama akan pentingnya menundukkan pandangan kita dari hal-hal yang haram untuk dilihat, baik secara langsung, maupun melalui foto atau video-video. Terlebih lagi kita hidup di zaman perkembangan teknologi dan mudahnya mengakses informasi yang ada, bahkan di kala kita tidak menghendaki hal tersebut saja, hal-hal yang haram tersebut begitu mudahnya muncul di layar gadget kita. Wallahu Al-Musta’an. Ma’asyiral mukminin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di dalam muamalah kita dan kebutuhan kita kepada gadget, maka ayat berikut insyaAllah dapat menjadi tameng kita dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala, أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَخَمْسَةٍ إِلاَّهُوَ سَادِسُهُمْ وَلآأَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلآ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَاكَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَاعَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadiilah: 7) Bijaksanalah dan berhati-hatilah ketika berinteraksi dengan internet. Karena seringkali kerusakannya jauh lebih besar dari manfaatnya. Saat diri kita sedang berdua-duaan dengan internet, ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat ketiga. Dia mengetahui apa yang kita kerjakan dan kita sembunyikan. Nasihat terakhir kami pada kesempatan khotbah Jumat ini, hendaknya kita tingkatkan sifat ihsan kita kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّه يَرَاكَ “(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9) Semoga Allah Ta’ala menjaga diri kita, penglihatan kita, pendengaran kita, dan seluruh panca indra kita dari hal-hal yang Allah haramkan. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga anak keturunan kita dari tontonan-tontonan dan gambar-gambar tidak senonoh yang dapat merusak mereka. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Dengan ketakwaan inilah, wahai jemaah sekalian, Allah akan memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga diri kita mampu membedakan kebaikan dan keburukan serta akan dijauhkan dari kesalahan dan dosa. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu furqan (taufik untuk membedakan yang baik dan buruk). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29) Jemaah yang dimuliakan Allah. Penglihatan merupakan salah satu nikmat agung yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya; dengan nikmat penglihatan inilah kita dapat melihat langsung keajaiban kekuasaan Allah dan keindahan ciptaan-Nya di bumi dan di langit ini. Dengan nikmat ini pula, kita dapat belajar dan membaca ayat-ayat Allah serta hadis-hadis Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jemaah sekalian, nikmat ini dapat berubah menjadi bencana ketika seorang hamba justru menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat apa-apa yang diharamkan Allah, baik secara langsung maupun melalui foto atau video dan sebagainya. Sungguh, hal ini adalah salah satu bentuk kufur nikmat yang akan menjadi sebab kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak. Ketahuilah jemaah sekalian, melihat kepada hal-hal yang haram itu termasuk bentuk zina majazi (kiasan), serta merupakan wasilah dan perantara menuju kemaksiatan zina hakiki (sebenarnya) yang diwajibkan atas pelakunya hukuman had. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ اللَّهَ كَتَبَ علَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أدْرَكَ ذلكَ لا مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والنَّفْسُ تَمَنَّى وتَشْتَهِي، والفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلكَ أوْ يُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti akan dialaminya. Zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah berbicara, dan jiwa ketika berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan (keinginannya tersebut).” (HR. Bukhari no. 6612 dan Muslim no. 2657) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Perlu kita ketahui bahwa maksiat pandangan yang dilakukan seorang hamba ini, selain tentunya mendatangkan malapetaka dan musibah, hal tersebut juga menyebabkan beberapa hal buruk lainnya kepada diri hamba tersebut. Yang pertama, akan menghalangi diri kita dari mendapatkan ilmu, susah menghafal, dan menjadikan kita malas. Suatu ketika, Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, شكوت إلى وكيع سوء حفظي  فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور   ونور الله لا يهدى لعاصي “Aku mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu, ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.” Yang kedua, para ulama menyebutkan bahwa maksiat merupakan salah satu sebab terbesar hilangnya penjagaan kita terhadap salat. Allah berfirman, فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ “Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan mengikuti hawa nafsu (syahwat) …” (QS. Maryam: 59) Seseorang yang mengikuti nafsu syahwatnya dengan melihat hal-hal yang Allah haramkan dan berbau porno, maka di antara konskuensinya yang telah disebutkan pada ayat tersebut adalah ketidakperhatian orang tersebut terhadap perkara salat serta bermudah-mudahan dalam menyia-nyiakannya. Sebaliknya, seseorang yang menjaga salatnya, maka InsyaAllah, Allah akan menjaganya dari nafsu syahwat dan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ  “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45) Yang ketiga, maksiat juga bisa menjadi sebab terhalangnya rezeki. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ “Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa, maka dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat.” (Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal. 85) Jemaah yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Bagi siapa saja yang masih berada dalam dosa tersebut, gemar melihat foto dan video porno yang Allah haramkan, hendaknya dirinya segera bertobat dengan tobat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Yaitu dengan meninggalkan dosa tersebut, menyesalinya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Menutupi dosanya tersebut dan tidak menyebarkannya. Ketahuilah bahwa tobat yang benar akan selalu diterima oleh Allah Ta’ala meskipun terkadang pelakunya masih mengulanginya. Allah Ta’ala berfirman,  إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang gemar bertobat dan menyukai orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bolehkah Melihat Gambar Porno Demi Kepuasan Hubungan Suami Istri? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Dari khotbah sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bersama akan pentingnya menundukkan pandangan kita dari hal-hal yang haram untuk dilihat, baik secara langsung, maupun melalui foto atau video-video. Terlebih lagi kita hidup di zaman perkembangan teknologi dan mudahnya mengakses informasi yang ada, bahkan di kala kita tidak menghendaki hal tersebut saja, hal-hal yang haram tersebut begitu mudahnya muncul di layar gadget kita. Wallahu Al-Musta’an. Ma’asyiral mukminin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Di dalam muamalah kita dan kebutuhan kita kepada gadget, maka ayat berikut insyaAllah dapat menjadi tameng kita dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala, أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَخَمْسَةٍ إِلاَّهُوَ سَادِسُهُمْ وَلآأَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلآ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَاكَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَاعَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadiilah: 7) Bijaksanalah dan berhati-hatilah ketika berinteraksi dengan internet. Karena seringkali kerusakannya jauh lebih besar dari manfaatnya. Saat diri kita sedang berdua-duaan dengan internet, ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat ketiga. Dia mengetahui apa yang kita kerjakan dan kita sembunyikan. Nasihat terakhir kami pada kesempatan khotbah Jumat ini, hendaknya kita tingkatkan sifat ihsan kita kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّه يَرَاكَ “(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9) Semoga Allah Ta’ala menjaga diri kita, penglihatan kita, pendengaran kita, dan seluruh panca indra kita dari hal-hal yang Allah haramkan. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga anak keturunan kita dari tontonan-tontonan dan gambar-gambar tidak senonoh yang dapat merusak mereka. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Penyakit Ganas Akibat Tersebarnya Zina Secara Terang-Terangan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel Muslim.or.id

Enam Kiat Mengatasi Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan burukMemiliki rasa malu kepada Allah (haya’)Merenungkan nikmat Allah Ta’alaTakut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-NyaMencintai Allah Ta’alaMemiliki harga diri, kehormatan, dan martabatTanggung jawab seorang muslim Kehidupan seorang muslim tidak pernah lepas dari ujian dan godaan. Setiap waktu, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat menguji keimanan dan ketakwaan kita. Setan, musuh yang nyata, senantiasa berusaha untuk menjerumuskan kita ke dalam dosa dan maksiat. Oleh karenanya, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus selalu waspada dan berusaha untuk menjaga diri dari segala bentuk godaan yang dapat merusak hubungan kita dengan-Nya. Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah yang suci, namun setan selalu berusaha untuk menyesatkan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Perlu kita yakini dan pahami bahwa setan adalah musuh yang nyata dan kita harus selalu berusaha untuk melawan godaannya. Maka, bersemangatlah untuk menjaga diri dan meningkatkan keimanan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kita tentang bahaya setan dan pentingnya menjaga diri dari godaannya. Beliau bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan berjalan pada tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175) Saudaraku, sadarilah bahwa betapa dekatnya setan dengan kita, sehingga kita harus selalu berusaha untuk melindungi diri dengan memperbanyak zikir, doa, dan amal saleh. Karena, jika tidak, begitu mudahnya kita terjerat dengan dosa, baik yang kecil maupun besar. Karena, kita hidup di zaman dimana melakukan dosa adalah menjadi hal yang lumrah bagi banyak manusia. Ingatlah, apabila kita tidak senantiasa menjaga diri dengan siraman ruhani berupa amal saleh, maka kita bisa cenderung melakukan dosa dan terbiasa dengannya. Wal-iyadzu billah. Menyadari bahwa betapa rentannya kita terhadap dosa-dosa, maka penting bagi kita untuk mempersiapkan benteng dan perisai berupa ilmu tentang bagaimana agar terhindar dari segala bentuk potensi dosa yang dapat menjerumuskan kita kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Berikut enam kiat agar terhindar dari segala bentuk dosa. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk Langkah pertama dalam mengatasi dosa adalah dengan menyadari bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk. Dosa bukanlah sesuatu yang sepele, melainkan perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan merugikan diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Dosa, seperti zina, adalah perbuatan yang keji dan buruk. Oleh karena itu, kita harus menjauhinya dan tidak mendekatinya sama sekali. Ketika kita memahami betapa buruknya dosa, kita akan lebih termotivasi untuk menjauhinya. Selain itu, dosa juga memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan kita. Dosa dapat menghilangkan keberkahan, mendatangkan kesulitan, dan menjauhkan kita dari rahmat Allah Ta’ala. وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 82) Dosa dapat merusak hati kita dan membuat kita semakin jauh dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan dosa. Untuk menghindari dosa, kita juga perlu mempelajari agama dengan baik. Dengan memahami mana yang halal dan haram, kita akan lebih mudah untuk menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Setan sering kali menghiasi dosa agar terlihat indah, sehingga kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam tipu dayanya. Memiliki rasa malu kepada Allah (haya’) Rasa malu kepada Allah Ta’ala adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam Islam. Rasa malu ini akan mendorong kita untuk menjauhi perbuatan dosa dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala adalah al-Bashiir, Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, Allah Maha Mengetahui semuanya. Maka, apakah kita tidak memiliki rasa malu kala melakukan maksiat dan kita tahu Allah Maha Melihat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan seorang muslim. Ketika kita memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, kita akan merasa tidak enak untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Rasa malu ini juga akan membuat kita lebih sadar bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi kita. Bagaimana mungkin kita bisa terus bertahan dengan dosa dan maksiat, sementara apapun yang kita lakukan tidak sedikitpun lepas dari pengawasan Allah. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (QS. Al-‘Alaq: 14) Allah Ta’ala selalu melihat segala perbuatan kita, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Maka berhati-hatilah dalam setiap tindakan yang dilakukan, pastikan kembali apakah tindakan tersebut akan mendatangkan keridaan atau kemurkaan Allah. Jika hal itu berpotensi mendatangkan kemurkaan Allah, hadirkan rasa malu pada Allah Yang Maha Melihat. Saudaraku, rasa malu akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Ketika kita memiliki rasa malu, kita tidak akan merendahkan diri dengan melakukan perbuatan yang hina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Merenungkan nikmat Allah Ta’ala Merenungkan nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan kepada kita adalah cara yang efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, kita akan lebih bersyukur dan berusaha untuk tidak mengkhianati-Nya dengan melakukan dosa. Perhatikan anggota tubuh kita yang masih lengkap, nyawa yang diberikan, kesehatan yang dianugerahkan, pekerjaan, istri/suami, anak-anak, orang tua, rumah, kendaraan, pakaian, makanan, sahabat, lingkungan, keamanan, kenyamanan, dan berbagai kenikmatan yang takkan sanggup kita sebutkan satu per satu. Renungkanlah nikmat-nikmat itu, dan bandingkan dengan orang-orang yang berada di bawah kita dari sisi nikmat yang Allah berikan. Tidakkah kita merasa bersyukur? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7) Bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala akan mendatangkan lebih banyak nikmat, sedangkan mengingkari nikmat-Nya akan mendatangkan azab yang pedih. Selain itu, merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam hal materi), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Berkomitmenlah pada diri sendiri untuk selalu bersyukur dengan melihat orang yang kurang beruntung daripada kita. Dengan demikian, kita akan lebih menghargai nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih dekat dengan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah Ta’ala, kita akan lebih tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53) Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita takut akan hukuman Allah Ta’ala, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan kita. Sebagai orang beriman, tentu kita yakin tentang azab Allah Ta’ala yang akan ditimpakan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan syariat yang Ia tetapkan. Bukan hanya di akhirat kelak, tetapi azab dan kemurkaan Allah juga bisa menimpa orang-orang yang Allah kehendaki bahkan ketika mereka masih hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201) Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertakwa akan selalu ingat kepada Allah Ta’ala ketika digoda oleh setan, sehingga mereka dapat melihat kesalahan-kesalahannya, memilih jalan yang benar dan kemudian terhindar dari dosa. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya karena tekad kita untuk mendapatkan surga Allah Ta’ala dan terhindar dari siksa neraka-Nya. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan akhirat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara, kita akan lebih fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64) Mencintai Allah Ta’ala Cinta kepada Allah Ta’ala adalah motivasi yang kuat untuk menjauhi dosa. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan berusaha untuk menyenangkan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Cinta kepada Allah akan membuat kita selalu mengingat-Nya di manapun kita berada, merasa dekat dengan-Nya, dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah, serta istikamah dalam takwa kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” (QS. Ali Imran: 31) Oleh karenanya, cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan cinta dan ampunan dari Allah Ta’ala. Karena cinta kepada Allah Ta’ala akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Muslim no. 783) Cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan amal saleh yang dilakukan secara konsisten. Cinta kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai segala perintah dan larangan-Nya. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan merasa senang untuk menjalankan perintah-Nya dan merasa sedih jika melanggar larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Memiliki harga diri, kehormatan, dan martabat Memiliki harga diri dan kehormatan adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Allah Ta’ala menciptakan kita dengan martabat yang tinggi, dan kita harus menjaga kehormatan tersebut. Kita adalah makhluk Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya seperti malaikat, hewan, benda-benda, tumbuhan, jin, dan sebagainya. Sebagai seorang makhluk yang paling sempurna, sudah sepatutnya bagi kita untuk menjunjung tinggi harga diri, kehormatan, dan martabat di hadapan Allah sebagai pembeda kita dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Ikhtiar untuk mejaga kehormatan tersebut tentu saja sebagai bentuk rasa syukur atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada kita dengan cara menjauhi segala bentuk perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70) Sadarilah bahwa manusia memiliki martabat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus menjaga kehormatan tersebut dengan menjauhi perbuatan yang hina. Sebab memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih selektif dalam bergaul. Karena kita menyadari bahwa lingkungan sangat memiliki peran dalam bentuk karakter diri seseorang. Maka harga diri pula yang dapat membedakan kita dengan orang lain dari sisi takwa kepada Allah. Kita akan senantiasa berikhtiar untuk memperoleh lingkungan yang suportif terhadap iman dan takwa kita, pun jika kita terpaksa harus berada di lingkungan yang sebaliknya, benteng, dan perisai kita akan tetap kokoh karena kuatnya iman dan takwa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Oleh karenaya, pergaulilah orang-orang yang memiliki akhlak baik dan jauhilah lingkungan yang buruk. Dengan demikian, kita dapat menjaga harga diri dan kehormatan kita. Insyaa Allah. Tanggung jawab seorang muslim Mengatasi dosa dan godaan setan adalah tanggung jawab setiap muslim. Semoga dengan memahami enam cara yang telah dibahas di atas, kita dapat memperkuat iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan, memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, merenungkan nikmat-Nya, takut akan hukuman-Nya, mencintai Allah Ta’ala, dan memiliki harga diri adalah langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk menjauhi dosa. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menghindari dosa dan godaan setan, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur dan taat. Aamiin. Wallahua’lam. Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?  *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Enam Kiat Mengatasi Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan burukMemiliki rasa malu kepada Allah (haya’)Merenungkan nikmat Allah Ta’alaTakut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-NyaMencintai Allah Ta’alaMemiliki harga diri, kehormatan, dan martabatTanggung jawab seorang muslim Kehidupan seorang muslim tidak pernah lepas dari ujian dan godaan. Setiap waktu, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat menguji keimanan dan ketakwaan kita. Setan, musuh yang nyata, senantiasa berusaha untuk menjerumuskan kita ke dalam dosa dan maksiat. Oleh karenanya, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus selalu waspada dan berusaha untuk menjaga diri dari segala bentuk godaan yang dapat merusak hubungan kita dengan-Nya. Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah yang suci, namun setan selalu berusaha untuk menyesatkan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Perlu kita yakini dan pahami bahwa setan adalah musuh yang nyata dan kita harus selalu berusaha untuk melawan godaannya. Maka, bersemangatlah untuk menjaga diri dan meningkatkan keimanan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kita tentang bahaya setan dan pentingnya menjaga diri dari godaannya. Beliau bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan berjalan pada tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175) Saudaraku, sadarilah bahwa betapa dekatnya setan dengan kita, sehingga kita harus selalu berusaha untuk melindungi diri dengan memperbanyak zikir, doa, dan amal saleh. Karena, jika tidak, begitu mudahnya kita terjerat dengan dosa, baik yang kecil maupun besar. Karena, kita hidup di zaman dimana melakukan dosa adalah menjadi hal yang lumrah bagi banyak manusia. Ingatlah, apabila kita tidak senantiasa menjaga diri dengan siraman ruhani berupa amal saleh, maka kita bisa cenderung melakukan dosa dan terbiasa dengannya. Wal-iyadzu billah. Menyadari bahwa betapa rentannya kita terhadap dosa-dosa, maka penting bagi kita untuk mempersiapkan benteng dan perisai berupa ilmu tentang bagaimana agar terhindar dari segala bentuk potensi dosa yang dapat menjerumuskan kita kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Berikut enam kiat agar terhindar dari segala bentuk dosa. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk Langkah pertama dalam mengatasi dosa adalah dengan menyadari bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk. Dosa bukanlah sesuatu yang sepele, melainkan perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan merugikan diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Dosa, seperti zina, adalah perbuatan yang keji dan buruk. Oleh karena itu, kita harus menjauhinya dan tidak mendekatinya sama sekali. Ketika kita memahami betapa buruknya dosa, kita akan lebih termotivasi untuk menjauhinya. Selain itu, dosa juga memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan kita. Dosa dapat menghilangkan keberkahan, mendatangkan kesulitan, dan menjauhkan kita dari rahmat Allah Ta’ala. وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 82) Dosa dapat merusak hati kita dan membuat kita semakin jauh dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan dosa. Untuk menghindari dosa, kita juga perlu mempelajari agama dengan baik. Dengan memahami mana yang halal dan haram, kita akan lebih mudah untuk menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Setan sering kali menghiasi dosa agar terlihat indah, sehingga kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam tipu dayanya. Memiliki rasa malu kepada Allah (haya’) Rasa malu kepada Allah Ta’ala adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam Islam. Rasa malu ini akan mendorong kita untuk menjauhi perbuatan dosa dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala adalah al-Bashiir, Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, Allah Maha Mengetahui semuanya. Maka, apakah kita tidak memiliki rasa malu kala melakukan maksiat dan kita tahu Allah Maha Melihat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan seorang muslim. Ketika kita memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, kita akan merasa tidak enak untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Rasa malu ini juga akan membuat kita lebih sadar bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi kita. Bagaimana mungkin kita bisa terus bertahan dengan dosa dan maksiat, sementara apapun yang kita lakukan tidak sedikitpun lepas dari pengawasan Allah. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (QS. Al-‘Alaq: 14) Allah Ta’ala selalu melihat segala perbuatan kita, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Maka berhati-hatilah dalam setiap tindakan yang dilakukan, pastikan kembali apakah tindakan tersebut akan mendatangkan keridaan atau kemurkaan Allah. Jika hal itu berpotensi mendatangkan kemurkaan Allah, hadirkan rasa malu pada Allah Yang Maha Melihat. Saudaraku, rasa malu akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Ketika kita memiliki rasa malu, kita tidak akan merendahkan diri dengan melakukan perbuatan yang hina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Merenungkan nikmat Allah Ta’ala Merenungkan nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan kepada kita adalah cara yang efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, kita akan lebih bersyukur dan berusaha untuk tidak mengkhianati-Nya dengan melakukan dosa. Perhatikan anggota tubuh kita yang masih lengkap, nyawa yang diberikan, kesehatan yang dianugerahkan, pekerjaan, istri/suami, anak-anak, orang tua, rumah, kendaraan, pakaian, makanan, sahabat, lingkungan, keamanan, kenyamanan, dan berbagai kenikmatan yang takkan sanggup kita sebutkan satu per satu. Renungkanlah nikmat-nikmat itu, dan bandingkan dengan orang-orang yang berada di bawah kita dari sisi nikmat yang Allah berikan. Tidakkah kita merasa bersyukur? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7) Bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala akan mendatangkan lebih banyak nikmat, sedangkan mengingkari nikmat-Nya akan mendatangkan azab yang pedih. Selain itu, merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam hal materi), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Berkomitmenlah pada diri sendiri untuk selalu bersyukur dengan melihat orang yang kurang beruntung daripada kita. Dengan demikian, kita akan lebih menghargai nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih dekat dengan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah Ta’ala, kita akan lebih tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53) Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita takut akan hukuman Allah Ta’ala, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan kita. Sebagai orang beriman, tentu kita yakin tentang azab Allah Ta’ala yang akan ditimpakan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan syariat yang Ia tetapkan. Bukan hanya di akhirat kelak, tetapi azab dan kemurkaan Allah juga bisa menimpa orang-orang yang Allah kehendaki bahkan ketika mereka masih hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201) Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertakwa akan selalu ingat kepada Allah Ta’ala ketika digoda oleh setan, sehingga mereka dapat melihat kesalahan-kesalahannya, memilih jalan yang benar dan kemudian terhindar dari dosa. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya karena tekad kita untuk mendapatkan surga Allah Ta’ala dan terhindar dari siksa neraka-Nya. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan akhirat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara, kita akan lebih fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64) Mencintai Allah Ta’ala Cinta kepada Allah Ta’ala adalah motivasi yang kuat untuk menjauhi dosa. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan berusaha untuk menyenangkan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Cinta kepada Allah akan membuat kita selalu mengingat-Nya di manapun kita berada, merasa dekat dengan-Nya, dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah, serta istikamah dalam takwa kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” (QS. Ali Imran: 31) Oleh karenanya, cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan cinta dan ampunan dari Allah Ta’ala. Karena cinta kepada Allah Ta’ala akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Muslim no. 783) Cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan amal saleh yang dilakukan secara konsisten. Cinta kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai segala perintah dan larangan-Nya. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan merasa senang untuk menjalankan perintah-Nya dan merasa sedih jika melanggar larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Memiliki harga diri, kehormatan, dan martabat Memiliki harga diri dan kehormatan adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Allah Ta’ala menciptakan kita dengan martabat yang tinggi, dan kita harus menjaga kehormatan tersebut. Kita adalah makhluk Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya seperti malaikat, hewan, benda-benda, tumbuhan, jin, dan sebagainya. Sebagai seorang makhluk yang paling sempurna, sudah sepatutnya bagi kita untuk menjunjung tinggi harga diri, kehormatan, dan martabat di hadapan Allah sebagai pembeda kita dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Ikhtiar untuk mejaga kehormatan tersebut tentu saja sebagai bentuk rasa syukur atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada kita dengan cara menjauhi segala bentuk perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70) Sadarilah bahwa manusia memiliki martabat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus menjaga kehormatan tersebut dengan menjauhi perbuatan yang hina. Sebab memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih selektif dalam bergaul. Karena kita menyadari bahwa lingkungan sangat memiliki peran dalam bentuk karakter diri seseorang. Maka harga diri pula yang dapat membedakan kita dengan orang lain dari sisi takwa kepada Allah. Kita akan senantiasa berikhtiar untuk memperoleh lingkungan yang suportif terhadap iman dan takwa kita, pun jika kita terpaksa harus berada di lingkungan yang sebaliknya, benteng, dan perisai kita akan tetap kokoh karena kuatnya iman dan takwa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Oleh karenaya, pergaulilah orang-orang yang memiliki akhlak baik dan jauhilah lingkungan yang buruk. Dengan demikian, kita dapat menjaga harga diri dan kehormatan kita. Insyaa Allah. Tanggung jawab seorang muslim Mengatasi dosa dan godaan setan adalah tanggung jawab setiap muslim. Semoga dengan memahami enam cara yang telah dibahas di atas, kita dapat memperkuat iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan, memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, merenungkan nikmat-Nya, takut akan hukuman-Nya, mencintai Allah Ta’ala, dan memiliki harga diri adalah langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk menjauhi dosa. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menghindari dosa dan godaan setan, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur dan taat. Aamiin. Wallahua’lam. Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?  *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan burukMemiliki rasa malu kepada Allah (haya’)Merenungkan nikmat Allah Ta’alaTakut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-NyaMencintai Allah Ta’alaMemiliki harga diri, kehormatan, dan martabatTanggung jawab seorang muslim Kehidupan seorang muslim tidak pernah lepas dari ujian dan godaan. Setiap waktu, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat menguji keimanan dan ketakwaan kita. Setan, musuh yang nyata, senantiasa berusaha untuk menjerumuskan kita ke dalam dosa dan maksiat. Oleh karenanya, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus selalu waspada dan berusaha untuk menjaga diri dari segala bentuk godaan yang dapat merusak hubungan kita dengan-Nya. Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah yang suci, namun setan selalu berusaha untuk menyesatkan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Perlu kita yakini dan pahami bahwa setan adalah musuh yang nyata dan kita harus selalu berusaha untuk melawan godaannya. Maka, bersemangatlah untuk menjaga diri dan meningkatkan keimanan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kita tentang bahaya setan dan pentingnya menjaga diri dari godaannya. Beliau bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan berjalan pada tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175) Saudaraku, sadarilah bahwa betapa dekatnya setan dengan kita, sehingga kita harus selalu berusaha untuk melindungi diri dengan memperbanyak zikir, doa, dan amal saleh. Karena, jika tidak, begitu mudahnya kita terjerat dengan dosa, baik yang kecil maupun besar. Karena, kita hidup di zaman dimana melakukan dosa adalah menjadi hal yang lumrah bagi banyak manusia. Ingatlah, apabila kita tidak senantiasa menjaga diri dengan siraman ruhani berupa amal saleh, maka kita bisa cenderung melakukan dosa dan terbiasa dengannya. Wal-iyadzu billah. Menyadari bahwa betapa rentannya kita terhadap dosa-dosa, maka penting bagi kita untuk mempersiapkan benteng dan perisai berupa ilmu tentang bagaimana agar terhindar dari segala bentuk potensi dosa yang dapat menjerumuskan kita kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Berikut enam kiat agar terhindar dari segala bentuk dosa. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk Langkah pertama dalam mengatasi dosa adalah dengan menyadari bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk. Dosa bukanlah sesuatu yang sepele, melainkan perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan merugikan diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Dosa, seperti zina, adalah perbuatan yang keji dan buruk. Oleh karena itu, kita harus menjauhinya dan tidak mendekatinya sama sekali. Ketika kita memahami betapa buruknya dosa, kita akan lebih termotivasi untuk menjauhinya. Selain itu, dosa juga memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan kita. Dosa dapat menghilangkan keberkahan, mendatangkan kesulitan, dan menjauhkan kita dari rahmat Allah Ta’ala. وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 82) Dosa dapat merusak hati kita dan membuat kita semakin jauh dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan dosa. Untuk menghindari dosa, kita juga perlu mempelajari agama dengan baik. Dengan memahami mana yang halal dan haram, kita akan lebih mudah untuk menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Setan sering kali menghiasi dosa agar terlihat indah, sehingga kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam tipu dayanya. Memiliki rasa malu kepada Allah (haya’) Rasa malu kepada Allah Ta’ala adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam Islam. Rasa malu ini akan mendorong kita untuk menjauhi perbuatan dosa dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala adalah al-Bashiir, Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, Allah Maha Mengetahui semuanya. Maka, apakah kita tidak memiliki rasa malu kala melakukan maksiat dan kita tahu Allah Maha Melihat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan seorang muslim. Ketika kita memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, kita akan merasa tidak enak untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Rasa malu ini juga akan membuat kita lebih sadar bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi kita. Bagaimana mungkin kita bisa terus bertahan dengan dosa dan maksiat, sementara apapun yang kita lakukan tidak sedikitpun lepas dari pengawasan Allah. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (QS. Al-‘Alaq: 14) Allah Ta’ala selalu melihat segala perbuatan kita, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Maka berhati-hatilah dalam setiap tindakan yang dilakukan, pastikan kembali apakah tindakan tersebut akan mendatangkan keridaan atau kemurkaan Allah. Jika hal itu berpotensi mendatangkan kemurkaan Allah, hadirkan rasa malu pada Allah Yang Maha Melihat. Saudaraku, rasa malu akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Ketika kita memiliki rasa malu, kita tidak akan merendahkan diri dengan melakukan perbuatan yang hina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Merenungkan nikmat Allah Ta’ala Merenungkan nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan kepada kita adalah cara yang efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, kita akan lebih bersyukur dan berusaha untuk tidak mengkhianati-Nya dengan melakukan dosa. Perhatikan anggota tubuh kita yang masih lengkap, nyawa yang diberikan, kesehatan yang dianugerahkan, pekerjaan, istri/suami, anak-anak, orang tua, rumah, kendaraan, pakaian, makanan, sahabat, lingkungan, keamanan, kenyamanan, dan berbagai kenikmatan yang takkan sanggup kita sebutkan satu per satu. Renungkanlah nikmat-nikmat itu, dan bandingkan dengan orang-orang yang berada di bawah kita dari sisi nikmat yang Allah berikan. Tidakkah kita merasa bersyukur? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7) Bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala akan mendatangkan lebih banyak nikmat, sedangkan mengingkari nikmat-Nya akan mendatangkan azab yang pedih. Selain itu, merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam hal materi), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Berkomitmenlah pada diri sendiri untuk selalu bersyukur dengan melihat orang yang kurang beruntung daripada kita. Dengan demikian, kita akan lebih menghargai nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih dekat dengan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah Ta’ala, kita akan lebih tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53) Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita takut akan hukuman Allah Ta’ala, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan kita. Sebagai orang beriman, tentu kita yakin tentang azab Allah Ta’ala yang akan ditimpakan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan syariat yang Ia tetapkan. Bukan hanya di akhirat kelak, tetapi azab dan kemurkaan Allah juga bisa menimpa orang-orang yang Allah kehendaki bahkan ketika mereka masih hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201) Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertakwa akan selalu ingat kepada Allah Ta’ala ketika digoda oleh setan, sehingga mereka dapat melihat kesalahan-kesalahannya, memilih jalan yang benar dan kemudian terhindar dari dosa. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya karena tekad kita untuk mendapatkan surga Allah Ta’ala dan terhindar dari siksa neraka-Nya. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan akhirat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara, kita akan lebih fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64) Mencintai Allah Ta’ala Cinta kepada Allah Ta’ala adalah motivasi yang kuat untuk menjauhi dosa. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan berusaha untuk menyenangkan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Cinta kepada Allah akan membuat kita selalu mengingat-Nya di manapun kita berada, merasa dekat dengan-Nya, dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah, serta istikamah dalam takwa kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” (QS. Ali Imran: 31) Oleh karenanya, cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan cinta dan ampunan dari Allah Ta’ala. Karena cinta kepada Allah Ta’ala akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Muslim no. 783) Cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan amal saleh yang dilakukan secara konsisten. Cinta kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai segala perintah dan larangan-Nya. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan merasa senang untuk menjalankan perintah-Nya dan merasa sedih jika melanggar larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Memiliki harga diri, kehormatan, dan martabat Memiliki harga diri dan kehormatan adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Allah Ta’ala menciptakan kita dengan martabat yang tinggi, dan kita harus menjaga kehormatan tersebut. Kita adalah makhluk Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya seperti malaikat, hewan, benda-benda, tumbuhan, jin, dan sebagainya. Sebagai seorang makhluk yang paling sempurna, sudah sepatutnya bagi kita untuk menjunjung tinggi harga diri, kehormatan, dan martabat di hadapan Allah sebagai pembeda kita dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Ikhtiar untuk mejaga kehormatan tersebut tentu saja sebagai bentuk rasa syukur atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada kita dengan cara menjauhi segala bentuk perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70) Sadarilah bahwa manusia memiliki martabat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus menjaga kehormatan tersebut dengan menjauhi perbuatan yang hina. Sebab memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih selektif dalam bergaul. Karena kita menyadari bahwa lingkungan sangat memiliki peran dalam bentuk karakter diri seseorang. Maka harga diri pula yang dapat membedakan kita dengan orang lain dari sisi takwa kepada Allah. Kita akan senantiasa berikhtiar untuk memperoleh lingkungan yang suportif terhadap iman dan takwa kita, pun jika kita terpaksa harus berada di lingkungan yang sebaliknya, benteng, dan perisai kita akan tetap kokoh karena kuatnya iman dan takwa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Oleh karenaya, pergaulilah orang-orang yang memiliki akhlak baik dan jauhilah lingkungan yang buruk. Dengan demikian, kita dapat menjaga harga diri dan kehormatan kita. Insyaa Allah. Tanggung jawab seorang muslim Mengatasi dosa dan godaan setan adalah tanggung jawab setiap muslim. Semoga dengan memahami enam cara yang telah dibahas di atas, kita dapat memperkuat iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan, memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, merenungkan nikmat-Nya, takut akan hukuman-Nya, mencintai Allah Ta’ala, dan memiliki harga diri adalah langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk menjauhi dosa. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menghindari dosa dan godaan setan, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur dan taat. Aamiin. Wallahua’lam. Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?  *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan burukMemiliki rasa malu kepada Allah (haya’)Merenungkan nikmat Allah Ta’alaTakut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-NyaMencintai Allah Ta’alaMemiliki harga diri, kehormatan, dan martabatTanggung jawab seorang muslim Kehidupan seorang muslim tidak pernah lepas dari ujian dan godaan. Setiap waktu, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat menguji keimanan dan ketakwaan kita. Setan, musuh yang nyata, senantiasa berusaha untuk menjerumuskan kita ke dalam dosa dan maksiat. Oleh karenanya, sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus selalu waspada dan berusaha untuk menjaga diri dari segala bentuk godaan yang dapat merusak hubungan kita dengan-Nya. Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah yang suci, namun setan selalu berusaha untuk menyesatkan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Perlu kita yakini dan pahami bahwa setan adalah musuh yang nyata dan kita harus selalu berusaha untuk melawan godaannya. Maka, bersemangatlah untuk menjaga diri dan meningkatkan keimanan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kita tentang bahaya setan dan pentingnya menjaga diri dari godaannya. Beliau bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ “Sesungguhnya setan berjalan pada tubuh anak Adam melalui aliran darah.” (HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175) Saudaraku, sadarilah bahwa betapa dekatnya setan dengan kita, sehingga kita harus selalu berusaha untuk melindungi diri dengan memperbanyak zikir, doa, dan amal saleh. Karena, jika tidak, begitu mudahnya kita terjerat dengan dosa, baik yang kecil maupun besar. Karena, kita hidup di zaman dimana melakukan dosa adalah menjadi hal yang lumrah bagi banyak manusia. Ingatlah, apabila kita tidak senantiasa menjaga diri dengan siraman ruhani berupa amal saleh, maka kita bisa cenderung melakukan dosa dan terbiasa dengannya. Wal-iyadzu billah. Menyadari bahwa betapa rentannya kita terhadap dosa-dosa, maka penting bagi kita untuk mempersiapkan benteng dan perisai berupa ilmu tentang bagaimana agar terhindar dari segala bentuk potensi dosa yang dapat menjerumuskan kita kepada kemurkaan Allah Ta’ala. Berikut enam kiat agar terhindar dari segala bentuk dosa. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk Langkah pertama dalam mengatasi dosa adalah dengan menyadari bahwa dosa itu menjijikkan dan buruk. Dosa bukanlah sesuatu yang sepele, melainkan perbuatan yang dapat merusak hubungan kita dengan Allah Ta’ala dan merugikan diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Dosa, seperti zina, adalah perbuatan yang keji dan buruk. Oleh karena itu, kita harus menjauhinya dan tidak mendekatinya sama sekali. Ketika kita memahami betapa buruknya dosa, kita akan lebih termotivasi untuk menjauhinya. Selain itu, dosa juga memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan kita. Dosa dapat menghilangkan keberkahan, mendatangkan kesulitan, dan menjauhkan kita dari rahmat Allah Ta’ala. وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hal. 82) Dosa dapat merusak hati kita dan membuat kita semakin jauh dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan dosa. Untuk menghindari dosa, kita juga perlu mempelajari agama dengan baik. Dengan memahami mana yang halal dan haram, kita akan lebih mudah untuk menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Setan sering kali menghiasi dosa agar terlihat indah, sehingga kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam tipu dayanya. Memiliki rasa malu kepada Allah (haya’) Rasa malu kepada Allah Ta’ala adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam Islam. Rasa malu ini akan mendorong kita untuk menjauhi perbuatan dosa dan selalu berusaha untuk berbuat baik. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala adalah al-Bashiir, Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, Allah Maha Mengetahui semuanya. Maka, apakah kita tidak memiliki rasa malu kala melakukan maksiat dan kita tahu Allah Maha Melihat? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya rasa malu dalam kehidupan seorang muslim. Ketika kita memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, kita akan merasa tidak enak untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Rasa malu ini juga akan membuat kita lebih sadar bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi kita. Bagaimana mungkin kita bisa terus bertahan dengan dosa dan maksiat, sementara apapun yang kita lakukan tidak sedikitpun lepas dari pengawasan Allah. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (QS. Al-‘Alaq: 14) Allah Ta’ala selalu melihat segala perbuatan kita, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Maka berhati-hatilah dalam setiap tindakan yang dilakukan, pastikan kembali apakah tindakan tersebut akan mendatangkan keridaan atau kemurkaan Allah. Jika hal itu berpotensi mendatangkan kemurkaan Allah, hadirkan rasa malu pada Allah Yang Maha Melihat. Saudaraku, rasa malu akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Ketika kita memiliki rasa malu, kita tidak akan merendahkan diri dengan melakukan perbuatan yang hina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Ahmad, 2: 501; at-Tirmidzi no. 2009; Ibnu Hibban no. 1929-Mawarid; al-Hakim, 1: 52-53) Merenungkan nikmat Allah Ta’ala Merenungkan nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan kepada kita adalah cara yang efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, kita akan lebih bersyukur dan berusaha untuk tidak mengkhianati-Nya dengan melakukan dosa. Perhatikan anggota tubuh kita yang masih lengkap, nyawa yang diberikan, kesehatan yang dianugerahkan, pekerjaan, istri/suami, anak-anak, orang tua, rumah, kendaraan, pakaian, makanan, sahabat, lingkungan, keamanan, kenyamanan, dan berbagai kenikmatan yang takkan sanggup kita sebutkan satu per satu. Renungkanlah nikmat-nikmat itu, dan bandingkan dengan orang-orang yang berada di bawah kita dari sisi nikmat yang Allah berikan. Tidakkah kita merasa bersyukur? Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7) Bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala akan mendatangkan lebih banyak nikmat, sedangkan mengingkari nikmat-Nya akan mendatangkan azab yang pedih. Selain itu, merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan yang telah diberikan kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam hal materi), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Berkomitmenlah pada diri sendiri untuk selalu bersyukur dengan melihat orang yang kurang beruntung daripada kita. Dengan demikian, kita akan lebih menghargai nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Merenungkan nikmat Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih dekat dengan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah Ta’ala, kita akan lebih tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53) Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya Takut kepada Allah Ta’ala dan hukuman-Nya adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari dosa. Ketika kita takut akan hukuman Allah Ta’ala, kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan kita. Sebagai orang beriman, tentu kita yakin tentang azab Allah Ta’ala yang akan ditimpakan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan syariat yang Ia tetapkan. Bukan hanya di akhirat kelak, tetapi azab dan kemurkaan Allah juga bisa menimpa orang-orang yang Allah kehendaki bahkan ketika mereka masih hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201) Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertakwa akan selalu ingat kepada Allah Ta’ala ketika digoda oleh setan, sehingga mereka dapat melihat kesalahan-kesalahannya, memilih jalan yang benar dan kemudian terhindar dari dosa. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya karena tekad kita untuk mendapatkan surga Allah Ta’ala dan terhindar dari siksa neraka-Nya. Takut kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai kehidupan akhirat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara, kita akan lebih fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64) Mencintai Allah Ta’ala Cinta kepada Allah Ta’ala adalah motivasi yang kuat untuk menjauhi dosa. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan berusaha untuk menyenangkan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Cinta kepada Allah akan membuat kita selalu mengingat-Nya di manapun kita berada, merasa dekat dengan-Nya, dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah, serta istikamah dalam takwa kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'” (QS. Ali Imran: 31) Oleh karenanya, cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan cinta dan ampunan dari Allah Ta’ala. Karena cinta kepada Allah Ta’ala akan membuat kita lebih bersemangat untuk beribadah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Muslim no. 783) Cinta kepada Allah Ta’ala harus diwujudkan dengan amal saleh yang dilakukan secara konsisten. Cinta kepada Allah Ta’ala juga akan membuat kita lebih menghargai segala perintah dan larangan-Nya. Ketika kita mencintai Allah Ta’ala, kita akan merasa senang untuk menjalankan perintah-Nya dan merasa sedih jika melanggar larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Memiliki harga diri, kehormatan, dan martabat Memiliki harga diri dan kehormatan adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Allah Ta’ala menciptakan kita dengan martabat yang tinggi, dan kita harus menjaga kehormatan tersebut. Kita adalah makhluk Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya seperti malaikat, hewan, benda-benda, tumbuhan, jin, dan sebagainya. Sebagai seorang makhluk yang paling sempurna, sudah sepatutnya bagi kita untuk menjunjung tinggi harga diri, kehormatan, dan martabat di hadapan Allah sebagai pembeda kita dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Ikhtiar untuk mejaga kehormatan tersebut tentu saja sebagai bentuk rasa syukur atas kemuliaan yang telah Allah berikan kepada kita dengan cara menjauhi segala bentuk perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’: 70) Sadarilah bahwa manusia memiliki martabat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus menjaga kehormatan tersebut dengan menjauhi perbuatan yang hina. Sebab memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri. Memiliki harga diri juga akan membuat kita lebih selektif dalam bergaul. Karena kita menyadari bahwa lingkungan sangat memiliki peran dalam bentuk karakter diri seseorang. Maka harga diri pula yang dapat membedakan kita dengan orang lain dari sisi takwa kepada Allah. Kita akan senantiasa berikhtiar untuk memperoleh lingkungan yang suportif terhadap iman dan takwa kita, pun jika kita terpaksa harus berada di lingkungan yang sebaliknya, benteng, dan perisai kita akan tetap kokoh karena kuatnya iman dan takwa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu melihat siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Oleh karenaya, pergaulilah orang-orang yang memiliki akhlak baik dan jauhilah lingkungan yang buruk. Dengan demikian, kita dapat menjaga harga diri dan kehormatan kita. Insyaa Allah. Tanggung jawab seorang muslim Mengatasi dosa dan godaan setan adalah tanggung jawab setiap muslim. Semoga dengan memahami enam cara yang telah dibahas di atas, kita dapat memperkuat iman dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Mengetahui bahwa dosa itu menjijikkan, memiliki rasa malu kepada Allah Ta’ala, merenungkan nikmat-Nya, takut akan hukuman-Nya, mencintai Allah Ta’ala, dan memiliki harga diri adalah langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk menjauhi dosa. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk menghindari dosa dan godaan setan, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur dan taat. Aamiin. Wallahua’lam. Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan?  *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel Muslim.or.id

Rahasia Bahagia yang Tidak Diajarkan di Sekolah – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Telah dimaklumi bahwa kebahagiaan dicari setiap manusia. Tak seorang pun yang menginginkan untuk dirinya kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, maupun kecemasan. Sebaliknya, setiap orang mendambakan kebahagiaan. Setiap orang mencarinya, serta berupaya untuk meraihnya. Namun, beragam cara dan jalan manusia dalam meraih kebahagiaan ini, serta berbeda pula perjalanan mereka dalam mencapainya. Bahkan, sebagian orang menempuh jalan mencari kebahagiaan yang justru mendatangkan kesengsaraan, berujung pada sesuatu yang bertolak belakang dengan kebahagiaan. Maka hadirlah karya berharga ini dari Syaikh — semoga Allah merahmatinya —yang sebagaimana ungkapan: “meletakkan titik pada hurufnya,” dalam bab-bab yang menyenangkan dan uraian-uraian yang bermanfaat,yang beliau himpun dalam risalah ringkas nan penuh manfaat ini, yang bermanfaat bagi setiap muslim. Di antara keistimewaan buku ini, dan kualitas faedahnya yang tinggi, serta besarnya manfaatnya, sehingga sebagian ulama pun memuji buku ini, dan tidaklah mereka berlebihan dalam pujiannya, bahwa buku ini laksana mustasyfā al-amrāḍ an-nafsiyyah — rumah sakit bagi penyakit-penyakit kejiwaan, atau tempat pengobatan gangguan mental. Dan benar, banyak orang telah mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit, keresahan, kesedihan, dan berbagai hal yang menyakitkan, ketika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memudahkan mereka untuk membaca buku ini. Ketika engkau membaca buku ini, menyaksikan ketepatan serta keindahan susunannya, dan pengumpulan materi yang cermat, serta gaya penulisan yang luar biasa indah dalam menyampaikan wasilah (sarana) untuk meraih kebahagiaan, mungkin engkau akan menyangka bahwa penulisnya menyusunnya dalam kondisi yang sangat nyaman, menyenangkan, dan sehat. Mungkin engkau mengira demikian. Namun, engkau akan terheran-heran ketika mengetahui bahwa sang Syaikh — rahimahullāh Ta‘ālā — menulis buku ini di atas ranjang sakit, dalam kondisi menderita sakit kepala yang sangat parah, hingga para dokter saat itu melarang beliau untuk membaca dan menulis karena dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Namun beliau tetap menyusun risalah ini di atas ranjang sakitnya, dan merangkai kumpulan faedah yang luar biasa dan bermanfaat ini, tanpa memiliki referensi atau buku di sampingnya. Beliau menulisnya hanya berdasarkan daya ingat yang tajam. Beliau — rahimahullāh — berhasil menghimpun sesuatu yang sangat bermanfaat dan berharga,dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menjadikan risalah ini bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, karena memang risalah ini secara nyata menyembuhkan jiwa, dan membantu menghilangkan kesedihan, keresahan, dan duka cita, serta menghadirkan kebahagiaan dalam hati. Syaikh — rahimahullāh — membuka risalah ini dengan menyatakan bahwa poros kebahagiaan terletak pada rāḥah al-qalb — ketenangan hati, yaitu ketenangan dan ketenteraman hati. Jika hati telah memperoleh ketenangan dan ketenteraman ini, maka kebahagiaan pun akan hadir. Namun jika tidak, hati akan tetap dalam kondisi kacau, gelisah, dipenuhi keresahan dan kecemasan. Setelah itu, beliau — rahimahullāh Ta‘ālā — masuk ke dalam pembahasan-pembahasan yang banyak, dalam bab-bab yang bermanfaat, di mana beliau menjelaskan di dalamnya al-wasā’il al-mufīdah li al-ḥayāt as-sa‘īdah — sarana-sarana yang bermanfaat untuk meraih kehidupan yang bahagia. ==== وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ السَّعَادَةَ مَطْلُوبُ كُلِّ إِنْسَانٍ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يُرِيدُ لِنَفْسِهِ تَعَاسَةً أَوْ شَقَاءً أَوْ غُمُوْمًا أَوْ هُمُوْمًا بَلْ كُلٌّ يُرِيْدُ السَّعَادَةَ وَكُلٌّ يَنْشُدُهَا وَكُلٌّ يَسْعَى إِلَى تَحْصِيلِهَا لَكِنْ تَفَاوَتَتْ طَرَائِقُ النَّاسِ وَسُبُلُ تَحْصِيلِهِم لِهَذِهِ السَّعَادَةِ وَسَيْرِهِمْ فِي نَيْلِهَا بَلْ إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ سَلَكَ فِي تَحْصِيلِ السَّعَادَةِ مَا يَجْلُبُ لَهُ الشَّقَاءَ وَيُحَقِّقُ لَه ضِدَّهَا فَجَاءَ هَذَا الْمُؤَلَّفُ الْقَيِّمُ مِنَ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَاضِعًا كَمَا يُقَالُ النِّقَاطُ عَلَى الْحُرُوفِ فِي فُصُولٍ مَاتِعَةٍ وَتَقْرِيرَاتٍ نَافِعَةٍ جَمَعَهَا فِي هَذِهِ الرِّسَالَةِ الْمُخْتَصَرَةِ الْمُفِيدَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ وَمِنْ حُسْنِ هَذَا الْكِتَابِ وَجَوْدَةِ إِفَادَتِهِ وَعِظَمِ نَفْعِهِ وَصَفَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَمْ يُبْعِدْ فِي وَصْفِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَشْفَى الْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ أَو مُسْتَشْفَى لِلأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ وَفِعْلًا شُفِيَ خَلْقٌ مِنْ أَمْرَاضٍ وَهُمُومٍ وَغُمُومٍ وَآلَامٍ عِنْدَمَا يَسَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُم قِرَاءَةَ هَذَا الْكِتَابِ وَعِنْدَمَا تَقْرَأُ هَذَا الْكِتَابَ وَمَا فِيهِ مِنْ دِقَّةٍ وَحُسْنِ تَحْرِيرٍ وَجَمْعٍ حَسَنٍ وَصِيَاغَةٍ أَيْضًا بَدِيعَةٍ لِوَسَائِلَ الَّتي تُنَالُ بِهَا السَّعَادَةُ رُبَّمَا تَظُنُّ أَنَّ مُؤَلِّفَهُ كَتَبَهُ وَهُوَ فِي أَحْسَنِ مَا يَكُونُ مِنَ الِارْتِيَاحِ وَالْمُتْعَةِ وَالصِّحَّةِ رُبَّمَا تَظُنُّ ذَلِكَ لَكِنْ تَعْجَبُ عِنْدَمَا تَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْخَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى كَتَبَ هَذَا الْكِتَابَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ وَيُعَانِي مِنْ أَلَمٍ شَدِيدٍ فِي رَأْسِهِ حَتَّى إِنَّ الْأَطِبَّاءَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ قَدْ مَنَعُوهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالْكِتَابَةِ لِأَنَّهَا تُؤَثِّرُ عَلَى صِحَّتِهِ فَكَانَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ يُحَرِّرُ هَذِهِ الرِّسَالَةَ وَيَجْمَعُ هَذَا الْجَمْعَ الْبَاهِرَ النَّافِعَ دُونَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مَرَاجِعُ أَوْ كُتُبٌ وَإِنَّمَا يَكْتُبُ مِنْ عُصَارَةِ الذَّاكِرَةِ فَجَمَعَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَمْعًا نَافِعًا مُفِيدًا لِلْغَايَةِ وَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَذِهِ الرِّسَالَةِ خَلْقًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لِأَنَّهَا فِعْلًا تُدَاوِي النُّفُوسَ بِمَا يُحَقِّقُ طَرْدَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَجَلْبَ السَّعَادَةِ إِلَى الْقَلْبِ وَصَدَّرَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الرِّسَالَةَ بِأَنَّ مَدَارَ السَّعَادَةِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ وَطُمَأْنِيْنَتِهِ فَإِذَا حَصَلَتْ لِلْقَلْبِ هَذِهِ الرَّاحَةُ وَهَذِهِ الطُّمَأْنِينَةُ حَصَلَتِ السَّعَادَةُ وَإِلَّا يَبْقَى الْقَلْبُ مُشَوَّشًا مُضْطَرِبًا مَهْمُومًا مَغْمُومًا وَعَلَى إِثْرِ ذَلِكَ دَخَلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَفَاصِيْلَ كَثِيرَةٍ فِي فُصُولٍ نَافِعَةٍ يُوَضِّحُ مِنْ خِلَالِهَا الْوَسَائِلَ الْمُفِيدَةَ لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ

Rahasia Bahagia yang Tidak Diajarkan di Sekolah – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Telah dimaklumi bahwa kebahagiaan dicari setiap manusia. Tak seorang pun yang menginginkan untuk dirinya kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, maupun kecemasan. Sebaliknya, setiap orang mendambakan kebahagiaan. Setiap orang mencarinya, serta berupaya untuk meraihnya. Namun, beragam cara dan jalan manusia dalam meraih kebahagiaan ini, serta berbeda pula perjalanan mereka dalam mencapainya. Bahkan, sebagian orang menempuh jalan mencari kebahagiaan yang justru mendatangkan kesengsaraan, berujung pada sesuatu yang bertolak belakang dengan kebahagiaan. Maka hadirlah karya berharga ini dari Syaikh — semoga Allah merahmatinya —yang sebagaimana ungkapan: “meletakkan titik pada hurufnya,” dalam bab-bab yang menyenangkan dan uraian-uraian yang bermanfaat,yang beliau himpun dalam risalah ringkas nan penuh manfaat ini, yang bermanfaat bagi setiap muslim. Di antara keistimewaan buku ini, dan kualitas faedahnya yang tinggi, serta besarnya manfaatnya, sehingga sebagian ulama pun memuji buku ini, dan tidaklah mereka berlebihan dalam pujiannya, bahwa buku ini laksana mustasyfā al-amrāḍ an-nafsiyyah — rumah sakit bagi penyakit-penyakit kejiwaan, atau tempat pengobatan gangguan mental. Dan benar, banyak orang telah mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit, keresahan, kesedihan, dan berbagai hal yang menyakitkan, ketika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memudahkan mereka untuk membaca buku ini. Ketika engkau membaca buku ini, menyaksikan ketepatan serta keindahan susunannya, dan pengumpulan materi yang cermat, serta gaya penulisan yang luar biasa indah dalam menyampaikan wasilah (sarana) untuk meraih kebahagiaan, mungkin engkau akan menyangka bahwa penulisnya menyusunnya dalam kondisi yang sangat nyaman, menyenangkan, dan sehat. Mungkin engkau mengira demikian. Namun, engkau akan terheran-heran ketika mengetahui bahwa sang Syaikh — rahimahullāh Ta‘ālā — menulis buku ini di atas ranjang sakit, dalam kondisi menderita sakit kepala yang sangat parah, hingga para dokter saat itu melarang beliau untuk membaca dan menulis karena dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Namun beliau tetap menyusun risalah ini di atas ranjang sakitnya, dan merangkai kumpulan faedah yang luar biasa dan bermanfaat ini, tanpa memiliki referensi atau buku di sampingnya. Beliau menulisnya hanya berdasarkan daya ingat yang tajam. Beliau — rahimahullāh — berhasil menghimpun sesuatu yang sangat bermanfaat dan berharga,dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menjadikan risalah ini bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, karena memang risalah ini secara nyata menyembuhkan jiwa, dan membantu menghilangkan kesedihan, keresahan, dan duka cita, serta menghadirkan kebahagiaan dalam hati. Syaikh — rahimahullāh — membuka risalah ini dengan menyatakan bahwa poros kebahagiaan terletak pada rāḥah al-qalb — ketenangan hati, yaitu ketenangan dan ketenteraman hati. Jika hati telah memperoleh ketenangan dan ketenteraman ini, maka kebahagiaan pun akan hadir. Namun jika tidak, hati akan tetap dalam kondisi kacau, gelisah, dipenuhi keresahan dan kecemasan. Setelah itu, beliau — rahimahullāh Ta‘ālā — masuk ke dalam pembahasan-pembahasan yang banyak, dalam bab-bab yang bermanfaat, di mana beliau menjelaskan di dalamnya al-wasā’il al-mufīdah li al-ḥayāt as-sa‘īdah — sarana-sarana yang bermanfaat untuk meraih kehidupan yang bahagia. ==== وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ السَّعَادَةَ مَطْلُوبُ كُلِّ إِنْسَانٍ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يُرِيدُ لِنَفْسِهِ تَعَاسَةً أَوْ شَقَاءً أَوْ غُمُوْمًا أَوْ هُمُوْمًا بَلْ كُلٌّ يُرِيْدُ السَّعَادَةَ وَكُلٌّ يَنْشُدُهَا وَكُلٌّ يَسْعَى إِلَى تَحْصِيلِهَا لَكِنْ تَفَاوَتَتْ طَرَائِقُ النَّاسِ وَسُبُلُ تَحْصِيلِهِم لِهَذِهِ السَّعَادَةِ وَسَيْرِهِمْ فِي نَيْلِهَا بَلْ إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ سَلَكَ فِي تَحْصِيلِ السَّعَادَةِ مَا يَجْلُبُ لَهُ الشَّقَاءَ وَيُحَقِّقُ لَه ضِدَّهَا فَجَاءَ هَذَا الْمُؤَلَّفُ الْقَيِّمُ مِنَ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَاضِعًا كَمَا يُقَالُ النِّقَاطُ عَلَى الْحُرُوفِ فِي فُصُولٍ مَاتِعَةٍ وَتَقْرِيرَاتٍ نَافِعَةٍ جَمَعَهَا فِي هَذِهِ الرِّسَالَةِ الْمُخْتَصَرَةِ الْمُفِيدَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ وَمِنْ حُسْنِ هَذَا الْكِتَابِ وَجَوْدَةِ إِفَادَتِهِ وَعِظَمِ نَفْعِهِ وَصَفَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَمْ يُبْعِدْ فِي وَصْفِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَشْفَى الْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ أَو مُسْتَشْفَى لِلأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ وَفِعْلًا شُفِيَ خَلْقٌ مِنْ أَمْرَاضٍ وَهُمُومٍ وَغُمُومٍ وَآلَامٍ عِنْدَمَا يَسَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُم قِرَاءَةَ هَذَا الْكِتَابِ وَعِنْدَمَا تَقْرَأُ هَذَا الْكِتَابَ وَمَا فِيهِ مِنْ دِقَّةٍ وَحُسْنِ تَحْرِيرٍ وَجَمْعٍ حَسَنٍ وَصِيَاغَةٍ أَيْضًا بَدِيعَةٍ لِوَسَائِلَ الَّتي تُنَالُ بِهَا السَّعَادَةُ رُبَّمَا تَظُنُّ أَنَّ مُؤَلِّفَهُ كَتَبَهُ وَهُوَ فِي أَحْسَنِ مَا يَكُونُ مِنَ الِارْتِيَاحِ وَالْمُتْعَةِ وَالصِّحَّةِ رُبَّمَا تَظُنُّ ذَلِكَ لَكِنْ تَعْجَبُ عِنْدَمَا تَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْخَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى كَتَبَ هَذَا الْكِتَابَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ وَيُعَانِي مِنْ أَلَمٍ شَدِيدٍ فِي رَأْسِهِ حَتَّى إِنَّ الْأَطِبَّاءَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ قَدْ مَنَعُوهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالْكِتَابَةِ لِأَنَّهَا تُؤَثِّرُ عَلَى صِحَّتِهِ فَكَانَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ يُحَرِّرُ هَذِهِ الرِّسَالَةَ وَيَجْمَعُ هَذَا الْجَمْعَ الْبَاهِرَ النَّافِعَ دُونَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مَرَاجِعُ أَوْ كُتُبٌ وَإِنَّمَا يَكْتُبُ مِنْ عُصَارَةِ الذَّاكِرَةِ فَجَمَعَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَمْعًا نَافِعًا مُفِيدًا لِلْغَايَةِ وَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَذِهِ الرِّسَالَةِ خَلْقًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لِأَنَّهَا فِعْلًا تُدَاوِي النُّفُوسَ بِمَا يُحَقِّقُ طَرْدَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَجَلْبَ السَّعَادَةِ إِلَى الْقَلْبِ وَصَدَّرَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الرِّسَالَةَ بِأَنَّ مَدَارَ السَّعَادَةِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ وَطُمَأْنِيْنَتِهِ فَإِذَا حَصَلَتْ لِلْقَلْبِ هَذِهِ الرَّاحَةُ وَهَذِهِ الطُّمَأْنِينَةُ حَصَلَتِ السَّعَادَةُ وَإِلَّا يَبْقَى الْقَلْبُ مُشَوَّشًا مُضْطَرِبًا مَهْمُومًا مَغْمُومًا وَعَلَى إِثْرِ ذَلِكَ دَخَلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَفَاصِيْلَ كَثِيرَةٍ فِي فُصُولٍ نَافِعَةٍ يُوَضِّحُ مِنْ خِلَالِهَا الْوَسَائِلَ الْمُفِيدَةَ لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ
Telah dimaklumi bahwa kebahagiaan dicari setiap manusia. Tak seorang pun yang menginginkan untuk dirinya kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, maupun kecemasan. Sebaliknya, setiap orang mendambakan kebahagiaan. Setiap orang mencarinya, serta berupaya untuk meraihnya. Namun, beragam cara dan jalan manusia dalam meraih kebahagiaan ini, serta berbeda pula perjalanan mereka dalam mencapainya. Bahkan, sebagian orang menempuh jalan mencari kebahagiaan yang justru mendatangkan kesengsaraan, berujung pada sesuatu yang bertolak belakang dengan kebahagiaan. Maka hadirlah karya berharga ini dari Syaikh — semoga Allah merahmatinya —yang sebagaimana ungkapan: “meletakkan titik pada hurufnya,” dalam bab-bab yang menyenangkan dan uraian-uraian yang bermanfaat,yang beliau himpun dalam risalah ringkas nan penuh manfaat ini, yang bermanfaat bagi setiap muslim. Di antara keistimewaan buku ini, dan kualitas faedahnya yang tinggi, serta besarnya manfaatnya, sehingga sebagian ulama pun memuji buku ini, dan tidaklah mereka berlebihan dalam pujiannya, bahwa buku ini laksana mustasyfā al-amrāḍ an-nafsiyyah — rumah sakit bagi penyakit-penyakit kejiwaan, atau tempat pengobatan gangguan mental. Dan benar, banyak orang telah mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit, keresahan, kesedihan, dan berbagai hal yang menyakitkan, ketika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memudahkan mereka untuk membaca buku ini. Ketika engkau membaca buku ini, menyaksikan ketepatan serta keindahan susunannya, dan pengumpulan materi yang cermat, serta gaya penulisan yang luar biasa indah dalam menyampaikan wasilah (sarana) untuk meraih kebahagiaan, mungkin engkau akan menyangka bahwa penulisnya menyusunnya dalam kondisi yang sangat nyaman, menyenangkan, dan sehat. Mungkin engkau mengira demikian. Namun, engkau akan terheran-heran ketika mengetahui bahwa sang Syaikh — rahimahullāh Ta‘ālā — menulis buku ini di atas ranjang sakit, dalam kondisi menderita sakit kepala yang sangat parah, hingga para dokter saat itu melarang beliau untuk membaca dan menulis karena dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Namun beliau tetap menyusun risalah ini di atas ranjang sakitnya, dan merangkai kumpulan faedah yang luar biasa dan bermanfaat ini, tanpa memiliki referensi atau buku di sampingnya. Beliau menulisnya hanya berdasarkan daya ingat yang tajam. Beliau — rahimahullāh — berhasil menghimpun sesuatu yang sangat bermanfaat dan berharga,dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menjadikan risalah ini bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, karena memang risalah ini secara nyata menyembuhkan jiwa, dan membantu menghilangkan kesedihan, keresahan, dan duka cita, serta menghadirkan kebahagiaan dalam hati. Syaikh — rahimahullāh — membuka risalah ini dengan menyatakan bahwa poros kebahagiaan terletak pada rāḥah al-qalb — ketenangan hati, yaitu ketenangan dan ketenteraman hati. Jika hati telah memperoleh ketenangan dan ketenteraman ini, maka kebahagiaan pun akan hadir. Namun jika tidak, hati akan tetap dalam kondisi kacau, gelisah, dipenuhi keresahan dan kecemasan. Setelah itu, beliau — rahimahullāh Ta‘ālā — masuk ke dalam pembahasan-pembahasan yang banyak, dalam bab-bab yang bermanfaat, di mana beliau menjelaskan di dalamnya al-wasā’il al-mufīdah li al-ḥayāt as-sa‘īdah — sarana-sarana yang bermanfaat untuk meraih kehidupan yang bahagia. ==== وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ السَّعَادَةَ مَطْلُوبُ كُلِّ إِنْسَانٍ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يُرِيدُ لِنَفْسِهِ تَعَاسَةً أَوْ شَقَاءً أَوْ غُمُوْمًا أَوْ هُمُوْمًا بَلْ كُلٌّ يُرِيْدُ السَّعَادَةَ وَكُلٌّ يَنْشُدُهَا وَكُلٌّ يَسْعَى إِلَى تَحْصِيلِهَا لَكِنْ تَفَاوَتَتْ طَرَائِقُ النَّاسِ وَسُبُلُ تَحْصِيلِهِم لِهَذِهِ السَّعَادَةِ وَسَيْرِهِمْ فِي نَيْلِهَا بَلْ إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ سَلَكَ فِي تَحْصِيلِ السَّعَادَةِ مَا يَجْلُبُ لَهُ الشَّقَاءَ وَيُحَقِّقُ لَه ضِدَّهَا فَجَاءَ هَذَا الْمُؤَلَّفُ الْقَيِّمُ مِنَ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَاضِعًا كَمَا يُقَالُ النِّقَاطُ عَلَى الْحُرُوفِ فِي فُصُولٍ مَاتِعَةٍ وَتَقْرِيرَاتٍ نَافِعَةٍ جَمَعَهَا فِي هَذِهِ الرِّسَالَةِ الْمُخْتَصَرَةِ الْمُفِيدَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ وَمِنْ حُسْنِ هَذَا الْكِتَابِ وَجَوْدَةِ إِفَادَتِهِ وَعِظَمِ نَفْعِهِ وَصَفَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَمْ يُبْعِدْ فِي وَصْفِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَشْفَى الْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ أَو مُسْتَشْفَى لِلأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ وَفِعْلًا شُفِيَ خَلْقٌ مِنْ أَمْرَاضٍ وَهُمُومٍ وَغُمُومٍ وَآلَامٍ عِنْدَمَا يَسَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُم قِرَاءَةَ هَذَا الْكِتَابِ وَعِنْدَمَا تَقْرَأُ هَذَا الْكِتَابَ وَمَا فِيهِ مِنْ دِقَّةٍ وَحُسْنِ تَحْرِيرٍ وَجَمْعٍ حَسَنٍ وَصِيَاغَةٍ أَيْضًا بَدِيعَةٍ لِوَسَائِلَ الَّتي تُنَالُ بِهَا السَّعَادَةُ رُبَّمَا تَظُنُّ أَنَّ مُؤَلِّفَهُ كَتَبَهُ وَهُوَ فِي أَحْسَنِ مَا يَكُونُ مِنَ الِارْتِيَاحِ وَالْمُتْعَةِ وَالصِّحَّةِ رُبَّمَا تَظُنُّ ذَلِكَ لَكِنْ تَعْجَبُ عِنْدَمَا تَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْخَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى كَتَبَ هَذَا الْكِتَابَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ وَيُعَانِي مِنْ أَلَمٍ شَدِيدٍ فِي رَأْسِهِ حَتَّى إِنَّ الْأَطِبَّاءَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ قَدْ مَنَعُوهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالْكِتَابَةِ لِأَنَّهَا تُؤَثِّرُ عَلَى صِحَّتِهِ فَكَانَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ يُحَرِّرُ هَذِهِ الرِّسَالَةَ وَيَجْمَعُ هَذَا الْجَمْعَ الْبَاهِرَ النَّافِعَ دُونَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مَرَاجِعُ أَوْ كُتُبٌ وَإِنَّمَا يَكْتُبُ مِنْ عُصَارَةِ الذَّاكِرَةِ فَجَمَعَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَمْعًا نَافِعًا مُفِيدًا لِلْغَايَةِ وَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَذِهِ الرِّسَالَةِ خَلْقًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لِأَنَّهَا فِعْلًا تُدَاوِي النُّفُوسَ بِمَا يُحَقِّقُ طَرْدَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَجَلْبَ السَّعَادَةِ إِلَى الْقَلْبِ وَصَدَّرَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الرِّسَالَةَ بِأَنَّ مَدَارَ السَّعَادَةِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ وَطُمَأْنِيْنَتِهِ فَإِذَا حَصَلَتْ لِلْقَلْبِ هَذِهِ الرَّاحَةُ وَهَذِهِ الطُّمَأْنِينَةُ حَصَلَتِ السَّعَادَةُ وَإِلَّا يَبْقَى الْقَلْبُ مُشَوَّشًا مُضْطَرِبًا مَهْمُومًا مَغْمُومًا وَعَلَى إِثْرِ ذَلِكَ دَخَلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَفَاصِيْلَ كَثِيرَةٍ فِي فُصُولٍ نَافِعَةٍ يُوَضِّحُ مِنْ خِلَالِهَا الْوَسَائِلَ الْمُفِيدَةَ لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ


Telah dimaklumi bahwa kebahagiaan dicari setiap manusia. Tak seorang pun yang menginginkan untuk dirinya kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, maupun kecemasan. Sebaliknya, setiap orang mendambakan kebahagiaan. Setiap orang mencarinya, serta berupaya untuk meraihnya. Namun, beragam cara dan jalan manusia dalam meraih kebahagiaan ini, serta berbeda pula perjalanan mereka dalam mencapainya. Bahkan, sebagian orang menempuh jalan mencari kebahagiaan yang justru mendatangkan kesengsaraan, berujung pada sesuatu yang bertolak belakang dengan kebahagiaan. Maka hadirlah karya berharga ini dari Syaikh — semoga Allah merahmatinya —yang sebagaimana ungkapan: “meletakkan titik pada hurufnya,” dalam bab-bab yang menyenangkan dan uraian-uraian yang bermanfaat,yang beliau himpun dalam risalah ringkas nan penuh manfaat ini, yang bermanfaat bagi setiap muslim. Di antara keistimewaan buku ini, dan kualitas faedahnya yang tinggi, serta besarnya manfaatnya, sehingga sebagian ulama pun memuji buku ini, dan tidaklah mereka berlebihan dalam pujiannya, bahwa buku ini laksana mustasyfā al-amrāḍ an-nafsiyyah — rumah sakit bagi penyakit-penyakit kejiwaan, atau tempat pengobatan gangguan mental. Dan benar, banyak orang telah mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit, keresahan, kesedihan, dan berbagai hal yang menyakitkan, ketika Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memudahkan mereka untuk membaca buku ini. Ketika engkau membaca buku ini, menyaksikan ketepatan serta keindahan susunannya, dan pengumpulan materi yang cermat, serta gaya penulisan yang luar biasa indah dalam menyampaikan wasilah (sarana) untuk meraih kebahagiaan, mungkin engkau akan menyangka bahwa penulisnya menyusunnya dalam kondisi yang sangat nyaman, menyenangkan, dan sehat. Mungkin engkau mengira demikian. Namun, engkau akan terheran-heran ketika mengetahui bahwa sang Syaikh — rahimahullāh Ta‘ālā — menulis buku ini di atas ranjang sakit, dalam kondisi menderita sakit kepala yang sangat parah, hingga para dokter saat itu melarang beliau untuk membaca dan menulis karena dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Namun beliau tetap menyusun risalah ini di atas ranjang sakitnya, dan merangkai kumpulan faedah yang luar biasa dan bermanfaat ini, tanpa memiliki referensi atau buku di sampingnya. Beliau menulisnya hanya berdasarkan daya ingat yang tajam. Beliau — rahimahullāh — berhasil menghimpun sesuatu yang sangat bermanfaat dan berharga,dan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā telah menjadikan risalah ini bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, karena memang risalah ini secara nyata menyembuhkan jiwa, dan membantu menghilangkan kesedihan, keresahan, dan duka cita, serta menghadirkan kebahagiaan dalam hati. Syaikh — rahimahullāh — membuka risalah ini dengan menyatakan bahwa poros kebahagiaan terletak pada rāḥah al-qalb — ketenangan hati, yaitu ketenangan dan ketenteraman hati. Jika hati telah memperoleh ketenangan dan ketenteraman ini, maka kebahagiaan pun akan hadir. Namun jika tidak, hati akan tetap dalam kondisi kacau, gelisah, dipenuhi keresahan dan kecemasan. Setelah itu, beliau — rahimahullāh Ta‘ālā — masuk ke dalam pembahasan-pembahasan yang banyak, dalam bab-bab yang bermanfaat, di mana beliau menjelaskan di dalamnya al-wasā’il al-mufīdah li al-ḥayāt as-sa‘īdah — sarana-sarana yang bermanfaat untuk meraih kehidupan yang bahagia. ==== وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ السَّعَادَةَ مَطْلُوبُ كُلِّ إِنْسَانٍ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يُرِيدُ لِنَفْسِهِ تَعَاسَةً أَوْ شَقَاءً أَوْ غُمُوْمًا أَوْ هُمُوْمًا بَلْ كُلٌّ يُرِيْدُ السَّعَادَةَ وَكُلٌّ يَنْشُدُهَا وَكُلٌّ يَسْعَى إِلَى تَحْصِيلِهَا لَكِنْ تَفَاوَتَتْ طَرَائِقُ النَّاسِ وَسُبُلُ تَحْصِيلِهِم لِهَذِهِ السَّعَادَةِ وَسَيْرِهِمْ فِي نَيْلِهَا بَلْ إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ سَلَكَ فِي تَحْصِيلِ السَّعَادَةِ مَا يَجْلُبُ لَهُ الشَّقَاءَ وَيُحَقِّقُ لَه ضِدَّهَا فَجَاءَ هَذَا الْمُؤَلَّفُ الْقَيِّمُ مِنَ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَاضِعًا كَمَا يُقَالُ النِّقَاطُ عَلَى الْحُرُوفِ فِي فُصُولٍ مَاتِعَةٍ وَتَقْرِيرَاتٍ نَافِعَةٍ جَمَعَهَا فِي هَذِهِ الرِّسَالَةِ الْمُخْتَصَرَةِ الْمُفِيدَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ وَمِنْ حُسْنِ هَذَا الْكِتَابِ وَجَوْدَةِ إِفَادَتِهِ وَعِظَمِ نَفْعِهِ وَصَفَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَمْ يُبْعِدْ فِي وَصْفِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَشْفَى الْأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ أَو مُسْتَشْفَى لِلأَمْرَاضِ النَّفْسِيَّةِ وَفِعْلًا شُفِيَ خَلْقٌ مِنْ أَمْرَاضٍ وَهُمُومٍ وَغُمُومٍ وَآلَامٍ عِنْدَمَا يَسَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُم قِرَاءَةَ هَذَا الْكِتَابِ وَعِنْدَمَا تَقْرَأُ هَذَا الْكِتَابَ وَمَا فِيهِ مِنْ دِقَّةٍ وَحُسْنِ تَحْرِيرٍ وَجَمْعٍ حَسَنٍ وَصِيَاغَةٍ أَيْضًا بَدِيعَةٍ لِوَسَائِلَ الَّتي تُنَالُ بِهَا السَّعَادَةُ رُبَّمَا تَظُنُّ أَنَّ مُؤَلِّفَهُ كَتَبَهُ وَهُوَ فِي أَحْسَنِ مَا يَكُونُ مِنَ الِارْتِيَاحِ وَالْمُتْعَةِ وَالصِّحَّةِ رُبَّمَا تَظُنُّ ذَلِكَ لَكِنْ تَعْجَبُ عِنْدَمَا تَعْلَمُ أَنَّ الشَّيْخَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى كَتَبَ هَذَا الْكِتَابَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ وَيُعَانِي مِنْ أَلَمٍ شَدِيدٍ فِي رَأْسِهِ حَتَّى إِنَّ الْأَطِبَّاءَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ قَدْ مَنَعُوهُ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالْكِتَابَةِ لِأَنَّهَا تُؤَثِّرُ عَلَى صِحَّتِهِ فَكَانَ عَلَى سَرِيرِ الْمَرَضِ يُحَرِّرُ هَذِهِ الرِّسَالَةَ وَيَجْمَعُ هَذَا الْجَمْعَ الْبَاهِرَ النَّافِعَ دُونَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مَرَاجِعُ أَوْ كُتُبٌ وَإِنَّمَا يَكْتُبُ مِنْ عُصَارَةِ الذَّاكِرَةِ فَجَمَعَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَمْعًا نَافِعًا مُفِيدًا لِلْغَايَةِ وَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَذِهِ الرِّسَالَةِ خَلْقًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لِأَنَّهَا فِعْلًا تُدَاوِي النُّفُوسَ بِمَا يُحَقِّقُ طَرْدَ الْهُمُومِ وَالْغُمُومِ وَالْأَحْزَانِ وَجَلْبَ السَّعَادَةِ إِلَى الْقَلْبِ وَصَدَّرَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى الرِّسَالَةَ بِأَنَّ مَدَارَ السَّعَادَةِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ عَلَى رَاحَةِ الْقَلْبِ وَطُمَأْنِيْنَتِهِ فَإِذَا حَصَلَتْ لِلْقَلْبِ هَذِهِ الرَّاحَةُ وَهَذِهِ الطُّمَأْنِينَةُ حَصَلَتِ السَّعَادَةُ وَإِلَّا يَبْقَى الْقَلْبُ مُشَوَّشًا مُضْطَرِبًا مَهْمُومًا مَغْمُومًا وَعَلَى إِثْرِ ذَلِكَ دَخَلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي تَفَاصِيْلَ كَثِيرَةٍ فِي فُصُولٍ نَافِعَةٍ يُوَضِّحُ مِنْ خِلَالِهَا الْوَسَائِلَ الْمُفِيدَةَ لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ

Sudah Rajin Baca Al-Qur’an, Tapi Gagal Jadi Ahlul Qur’an? Ini Alasannya!

Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ

Sudah Rajin Baca Al-Qur’an, Tapi Gagal Jadi Ahlul Qur’an? Ini Alasannya!

Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ
Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ


Wasiat yang keempat: Jadilah engkau termasuk Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an) yang sejati. Engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an yang sejati hanya dengan banyak membacanya. Tidak pula dengan hanya menguasai hafalannya. Namun, engkau tidak akan menjadi Ahlul Qur’an kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan. Namun, manusia menjadikan sekadar membacanya sebagai amal itu sendiri.” Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga…” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul Qur’an (keluarga Al-Qur’an), mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR. An-Nasai). Yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an bukanlah hanya orang-orang yang menghafalnya saja, atau sekedar orang yang banyak membacanya saja. Melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an, karena itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Oleh sebab itu, diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada hari kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” dengan syarat ini dan orang-orangnya yang mengamalkannya…” Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak mengamalkan Al-Qur’an, maka dia bukan termasuk Ahlul Qur’an, hanya sekadar ia hafal atau sering membacanya. Maka jadilah Ahlul Qur’an dengan cara bersungguh-sungguh mendidik dirimu untuk mengamalkan Al-Qur’an. Allah Ta‘ala berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Kitab, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.”(QS. Al-Baqarah: 121) Banyak ulama salaf berpendapat bahwa maksudnya adalah mereka mengamalkannya. “…mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya.” maksudnya mereka mengamalkannya. Oleh karena itu, engkau perlu memahami bahwa mengamalkan Al-Qur’an itu termasuk bagian dari membacanya. Mengerjakan shalat, puasa, zakat, berbakti kepada orang tua, dan selainnya—semua itu adalah bentuk dari tilawah Al-Qur’an. Dalam arti: mengikuti (perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an). Apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala: “Demi bulan apabila ia mengikutinya (talahā)?” (QS. Asy-Syams: 2) Apa maknanya? “Demi bulan apabila mengikutinya”—yakni mengikuti matahari, artinya: ia datang setelahnya. Jadi, tilawah (التِّلَاوَةُ) itu maknanya adalah mengikuti. Seseorang tidak akan menjadi pembaca Al-Qur’an yang sejati, yang membaca dengan bacaan sebenar-benarnya, kecuali dengan mengikuti Al-Qur’an dan mengamalkannya. ==== الْوَصِيَّةُ الرَّابِعَةُ كُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَلَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِهِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ كَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ وَلَا أَيْضًا بِإِتْقَانِ الْحِفْظِ بَلْ لَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ إِلَّا بِالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلاً قَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِيْنَ قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّه قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وَأَهْلُ الْقُرْآنِ لَا يُرَادُ بِهِ مَنْ حَفِظُوهُ فَقَطْ أَوْ أَكْثَرُوا مِنْ قِرَاءَتِهِ فَقَطْ بَلْ يُرَادُ بِهِ الَّذِينَ عَمِلُوا بِالْقُرْآنِ وَهُوَ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ بِهَذَا الْقَيْدِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ مَنْ لَا يَعْمَلُ بِالْقُرْآنِ لَا يَكُونُ مِنْ أَهْلِهِ بِمُجَرَّدِ حِفْظِهِ أَوْ كَثْرَةِ تِلَاوَتِهِ فَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ بِمُجَاهَدَةِ نَفْسِكَ عَلَى الْعَمَلِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ أَيْ يَعْمَلُونَ بِهِ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أَي يَعْمَلُونَ بِهِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَفْهَمَ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْقُرْآن يُعَدُّ تِلَاوَةً الصَّلَاةُ الصِّيَامُ الزَّكَاةُ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ هَذَا كُلُّهُ تِلَاوَةٌ لِلْقُرْآنِ بِمَعْنَى الاتِّبَاعِ مَا مَعْنَى قَوْلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا مَا مَعْنَاهَا؟ وَالقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا تَلَا الشَّمْسَ أَيْ تَبِعَهَا فَالتِّلَاوَةُ مَعْنَاهَا الِاتِّبَاعُ وَلَا يَكُونُ الْمَرْءُ تَالِيًا لِلْقُرْآنِ حَقًّا الَّذِيْنَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْقُرْآنِ وَالْعَمَلِ بِالْقُرْآنِ
Prev     Next