Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.
Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.


Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.

Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah

Resep Bahagia dalam Bergaul – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ

Resep Bahagia dalam Bergaul – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ


Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri
Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri


Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Kunci Rahasia Doa Anda Terkabul – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Kunci Rahasia Doa Anda Terkabul – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى


Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah

Ya Allah, Hidup Saya Kok Begini-begini Saja? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Ya Allah, Hidup Saya Kok Begini-begini Saja? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ


Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Bagaimana Para Sahabat Belajar Al-Qur’an kepada Nabi?

Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.

Bagaimana Para Sahabat Belajar Al-Qur’an kepada Nabi?

Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.
Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.


Daftar Isi Toggle Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkanPertama: Petunjuk bagi umat manusiaKedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannyaKetiga: Agar keimanan bertambahMetode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’anPertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’anKedua: Mempelajarinya secara perlahanKetiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama. Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu. Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka? Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan Pertama: Petunjuk bagi umat manusia Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan. Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman, الٓمٓ  ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ “Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ “Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan. Allah Ta‘ala berfirman, كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ “Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29) Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan, وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ “Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?” Ketiga: Agar keimanan bertambah Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman, إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ “Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2) Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya. Baca juga: “Al-Qur’an Journaling” Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an. Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا “Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani) Kedua: Mempelajarinya secara perlahan Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata, حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ. “Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482) Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, لَمَّا نَزَلَتْ ‏(حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ‏”‏ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ‏” “Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916) Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim. Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin. Baca juga: Dua Hal yang Menjauhkan Kita dari Al-Qur’an *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari kajian Syarah Al-Minhaj min Mirats An-Nubuwwah pada bab Talaqqi Al-Qur’an ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.

Surga Tinggal Sehasta, Tapi Gagal Masuk, Mengapa? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di antara sebab terbesar untuk tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah adalah jujur dan ikhlas kepada Allah Jalla wa ʿAlā, karena Allah Taʿālā tidak mungkin mengecewakan hamba-Nya yang jujur dan diberi taufik. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, tetapi, mengapa dia tidak teguh dalam ketaatan? Beliau bersabda, “…menurut pandangan manusia.” Dia tidak jujur, ada sifat riyāʾ (pamer). Dalam hatinya tersembunyi sifat buruk seperti ujub (bangga diri), riyāʾ (pamer), sombong, atau tertipu oleh amalannya sendiri. Dia juga merendahkan orang-orang yang melakukan maksiat. Beliau bersabda, “Ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia…” Mungkin di hatinya ada kecintaan terhadap syahwat, dan ketika ia sendirian dengan larangan Allah, dia melanggarnya. Kita berlindung kepada Allah! Beliau bersabda, “…hingga jarak antara dia dengan surga tinggal sehasta tetapi dia didahului oleh ketetapan (takdir), sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari). Kita berlindung kepada Allah! Mengapa? Karena dia tidak jujur kepada Allah. ==== مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ الصِّدْقُ مَعَ اللهِ وَالْإِخْلَاصُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْذُلَ عَبْدَهُ الصَّادِقَ الْمُوَفَّقَ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَكِنْ لِمَاذَا لَا يَثْبُتُ ؟ قَالَ: فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ غَيْرُ صَادِقٍ مُرَائٍ فِي قَلْبِه دَسِيسَةُ سُوءٍ مِنْ عُجُبٍ مِنْ رِيَاءٍ مِنْ كِبْرٍ مِنْ غُرُورٍ مِنِ ازْدِرَاءٍ لِأَهْلِ الْمَعَاصِي فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مُمْكِنٌ يَكُونُ فِي قَلْبِهِ حُبٌّ لِلشَّهَوَاتِ وَإِذَا خَلَا بِمَحَارِمِ اللهِ انْتَهَكَهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ قَالَ: حَتَّى لَا يَكُونُ بَيْنَهُ بَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ لِمَاذَا ؟ لِأَنَّهُ مَا كَانَ صَادِقًا مَعَ اللهِ

Surga Tinggal Sehasta, Tapi Gagal Masuk, Mengapa? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di antara sebab terbesar untuk tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah adalah jujur dan ikhlas kepada Allah Jalla wa ʿAlā, karena Allah Taʿālā tidak mungkin mengecewakan hamba-Nya yang jujur dan diberi taufik. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, tetapi, mengapa dia tidak teguh dalam ketaatan? Beliau bersabda, “…menurut pandangan manusia.” Dia tidak jujur, ada sifat riyāʾ (pamer). Dalam hatinya tersembunyi sifat buruk seperti ujub (bangga diri), riyāʾ (pamer), sombong, atau tertipu oleh amalannya sendiri. Dia juga merendahkan orang-orang yang melakukan maksiat. Beliau bersabda, “Ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia…” Mungkin di hatinya ada kecintaan terhadap syahwat, dan ketika ia sendirian dengan larangan Allah, dia melanggarnya. Kita berlindung kepada Allah! Beliau bersabda, “…hingga jarak antara dia dengan surga tinggal sehasta tetapi dia didahului oleh ketetapan (takdir), sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari). Kita berlindung kepada Allah! Mengapa? Karena dia tidak jujur kepada Allah. ==== مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ الصِّدْقُ مَعَ اللهِ وَالْإِخْلَاصُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْذُلَ عَبْدَهُ الصَّادِقَ الْمُوَفَّقَ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَكِنْ لِمَاذَا لَا يَثْبُتُ ؟ قَالَ: فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ غَيْرُ صَادِقٍ مُرَائٍ فِي قَلْبِه دَسِيسَةُ سُوءٍ مِنْ عُجُبٍ مِنْ رِيَاءٍ مِنْ كِبْرٍ مِنْ غُرُورٍ مِنِ ازْدِرَاءٍ لِأَهْلِ الْمَعَاصِي فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مُمْكِنٌ يَكُونُ فِي قَلْبِهِ حُبٌّ لِلشَّهَوَاتِ وَإِذَا خَلَا بِمَحَارِمِ اللهِ انْتَهَكَهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ قَالَ: حَتَّى لَا يَكُونُ بَيْنَهُ بَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ لِمَاذَا ؟ لِأَنَّهُ مَا كَانَ صَادِقًا مَعَ اللهِ
Di antara sebab terbesar untuk tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah adalah jujur dan ikhlas kepada Allah Jalla wa ʿAlā, karena Allah Taʿālā tidak mungkin mengecewakan hamba-Nya yang jujur dan diberi taufik. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, tetapi, mengapa dia tidak teguh dalam ketaatan? Beliau bersabda, “…menurut pandangan manusia.” Dia tidak jujur, ada sifat riyāʾ (pamer). Dalam hatinya tersembunyi sifat buruk seperti ujub (bangga diri), riyāʾ (pamer), sombong, atau tertipu oleh amalannya sendiri. Dia juga merendahkan orang-orang yang melakukan maksiat. Beliau bersabda, “Ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia…” Mungkin di hatinya ada kecintaan terhadap syahwat, dan ketika ia sendirian dengan larangan Allah, dia melanggarnya. Kita berlindung kepada Allah! Beliau bersabda, “…hingga jarak antara dia dengan surga tinggal sehasta tetapi dia didahului oleh ketetapan (takdir), sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari). Kita berlindung kepada Allah! Mengapa? Karena dia tidak jujur kepada Allah. ==== مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ الصِّدْقُ مَعَ اللهِ وَالْإِخْلَاصُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْذُلَ عَبْدَهُ الصَّادِقَ الْمُوَفَّقَ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَكِنْ لِمَاذَا لَا يَثْبُتُ ؟ قَالَ: فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ غَيْرُ صَادِقٍ مُرَائٍ فِي قَلْبِه دَسِيسَةُ سُوءٍ مِنْ عُجُبٍ مِنْ رِيَاءٍ مِنْ كِبْرٍ مِنْ غُرُورٍ مِنِ ازْدِرَاءٍ لِأَهْلِ الْمَعَاصِي فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مُمْكِنٌ يَكُونُ فِي قَلْبِهِ حُبٌّ لِلشَّهَوَاتِ وَإِذَا خَلَا بِمَحَارِمِ اللهِ انْتَهَكَهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ قَالَ: حَتَّى لَا يَكُونُ بَيْنَهُ بَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ لِمَاذَا ؟ لِأَنَّهُ مَا كَانَ صَادِقًا مَعَ اللهِ


Di antara sebab terbesar untuk tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah adalah jujur dan ikhlas kepada Allah Jalla wa ʿAlā, karena Allah Taʿālā tidak mungkin mengecewakan hamba-Nya yang jujur dan diberi taufik. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis bahwa ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga, tetapi, mengapa dia tidak teguh dalam ketaatan? Beliau bersabda, “…menurut pandangan manusia.” Dia tidak jujur, ada sifat riyāʾ (pamer). Dalam hatinya tersembunyi sifat buruk seperti ujub (bangga diri), riyāʾ (pamer), sombong, atau tertipu oleh amalannya sendiri. Dia juga merendahkan orang-orang yang melakukan maksiat. Beliau bersabda, “Ada seseorang yang beramal dengan amalan ahli surga menurut pandangan manusia…” Mungkin di hatinya ada kecintaan terhadap syahwat, dan ketika ia sendirian dengan larangan Allah, dia melanggarnya. Kita berlindung kepada Allah! Beliau bersabda, “…hingga jarak antara dia dengan surga tinggal sehasta tetapi dia didahului oleh ketetapan (takdir), sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari). Kita berlindung kepada Allah! Mengapa? Karena dia tidak jujur kepada Allah. ==== مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الثَّبَاتِ عَلَى طَاعَةِ اللهِ الصِّدْقُ مَعَ اللهِ وَالْإِخْلَاصُ لِلَّهِ جَلَّ وَعَلَا لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَخْذُلَ عَبْدَهُ الصَّادِقَ الْمُوَفَّقَ وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَكِنْ لِمَاذَا لَا يَثْبُتُ ؟ قَالَ: فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ غَيْرُ صَادِقٍ مُرَائٍ فِي قَلْبِه دَسِيسَةُ سُوءٍ مِنْ عُجُبٍ مِنْ رِيَاءٍ مِنْ كِبْرٍ مِنْ غُرُورٍ مِنِ ازْدِرَاءٍ لِأَهْلِ الْمَعَاصِي فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مُمْكِنٌ يَكُونُ فِي قَلْبِهِ حُبٌّ لِلشَّهَوَاتِ وَإِذَا خَلَا بِمَحَارِمِ اللهِ انْتَهَكَهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ قَالَ: حَتَّى لَا يَكُونُ بَيْنَهُ بَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ لِمَاذَا ؟ لِأَنَّهُ مَا كَانَ صَادِقًا مَعَ اللهِ

Ada Pesan Penting untuk Anda yang Tidak Shalat Witir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ

Ada Pesan Penting untuk Anda yang Tidak Shalat Witir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ


Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.
Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.


Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.
Prev     Next