Kecantikan Wanita Muslimah dalam Islam: Mana yang Halal, Mana yang Haram?

Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram

Kecantikan Wanita Muslimah dalam Islam: Mana yang Halal, Mana yang Haram?

Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram
Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram


Di era modern, berbagai tren kecantikan bermunculan dan kian diminati, mulai dari mencabut alis, merenggangkan gigi, hingga membuat tato. Namun, tidak semua bentuk perawatan tubuh dibenarkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari perbuatan yang mengubah ciptaan Allah demi kecantikan semata. Hadits-hadits shahih bahkan menyebutkan bahwa sebagian perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan pelakunya dilaknat.  Daftar Isi tutup 1. Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi Kecantikan 2. Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka Haram 3. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan Allah 4. Hukum: Haram dan Termasuk Dosa Besar 5. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang? 6. Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan? 7. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)? 7.1. 1. Pengobatan dan Menghilangkan Penyakit 7.2. 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak Normal 7.3. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan Asli 8. Kesimpulan: Boleh Jika…  Larangan Mengubah Ciptaan Allah Demi KecantikanTeks-teks Al-Qur’an dan hadits menunjukkan dengan jelas bahwa mengubah ciptaan Allah adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan, Allah mengabarkan dalam Kitab-Nya bahwa mengubah bentuk ciptaan adalah bagian dari tipu daya setan yang menyesatkan manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 117 dan 119, Allah berfirman:﴿وَإِن يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَّرِيدًا ۝ لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ۝ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا﴾“Yang mereka sembah selain Allah itu hanyalah setan yang durhaka. Allah telah melaknatnya, dan ia (setan) berkata: ‘Aku benar-benar akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu. Aku pasti akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak, dan sungguh aku akan memerintahkan mereka sehingga mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.’ Barang siapa menjadikan setan sebagai wali (pemimpin dan panutan) selain Allah, sungguh ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 117-119)Demikian pula, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ : إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَقَالَ : وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ“Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang meminta ditato, yang mencabut bulu alis, serta yang merenggangkan gigi demi kecantikan — yakni mereka yang mengubah ciptaan Allah.”Lalu berita ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya‘qub. Ia pun datang menemui Ibn Mas’ud dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau melaknat si anu dan si anu?” Ibn Mas’ud menjawab,“Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”(HR. Bukhari, no. 4886 dan Muslim, no. 2125)Dalam riwayat lain dari an-Nasa’i disebutkan lafaz,لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang membuat tato, yang merenggangkan gigi, dan yang mencabut bulu alis — yaitu mereka yang mengubah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. An-Nasa’i no. 5253, dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i)Makna Istilah dalam Hadits• Al-mutafallijaat adalah bentuk jamak dari mutafallijah, yaitu wanita yang merenggangkan gigi—dengan cara mengikis bagian sela-sela giginya—dalam rangka menampilkan kesan gigi yang kecil dan cantik.Imam Nawawi rahimahullāh menjelaskan,“Yang dimaksud dengan ‘memisahkan gigi’ adalah tindakan wanita yang mengikir bagian antara gigi seri dan gigi geraham depannya agar tampak renggang. Biasanya hal ini dilakukan oleh wanita lanjut usia atau yang mendekati usia tua, untuk meniru tampilan gigi gadis muda. Karena, celah kecil di antara gigi umumnya adalah ciri khas gadis-gadis muda. Maka ketika usia sudah tua dan gigi tampak rapat, ia merenggangkannya menggunakan alat kikis agar kembali tampak kecil, halus, dan menipu orang seakan-akan ia masih muda.”Tindakan ini juga dikenal dengan istilah al-wasyr, dan dalam hadits lainnya disebutkan: لَعْن الْوَاشِرَة وَالْمُسْتَوْشِرَة“Laknat bagi wanita yang melakukan al-wasyr dan yang memintanya dilakukan.”Kesimpulan Imam Nawawi“Perbuatan semacam ini diharamkan, baik bagi pelakunya maupun orang yang memintanya dilakukan. Karena hal itu:Mengubah ciptaan Allah Ta‘alaTermasuk perbuatan menipu (tazyin al-batill)Termasuk bentuk kedustaan dan penipuan (tadlis).” Penekanan: Jika Demi Kecantikan, Maka HaramUngkapan hadits,وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ“yang merenggangkan gigi demi kecantikan.”Artinya, larangan itu berlaku jika dilakukan semata-mata untuk tujuan kecantikan.Namun, jika dilakukan karena kebutuhan medis atau untuk memperbaiki cacat, seperti kelainan gigi atau bentuk wajah, maka tidak mengapa, insyaAllah. Karena tujuannya bukan menipu atau memalsukan, melainkan pengobatan. Semua Termasuk Mengubah Ciptaan AllahSemua bentuk tindakan yang disebutkan dalam hadits — seperti tato (al-wasym), mencabut alis (an-namsh), merenggangkan gigi (at-tafalluj) — termasuk kategori mengubah ciptaan Allah.Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fath Al-Baari menegaskan:“Ucapan: ‘yang mengubah ciptaan Allah’ adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang melakukan tato, mencabut alis, merenggangkan gigi, dan menyambung rambut — sebagaimana dalam salah satu riwayat.” Hukum: Haram dan Termasuk Dosa BesarHadits ini menegaskan bahwa:Menato, mencabut alis, dan merenggangkan gigi demi kecantikan adalah perbuatan haram.Pelakunya mendapat laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Termasuk dosa besar, karena perbuatan yang dilaknat dalam syariat tergolong dosa besar. Mengapa Perbuatan Ini Dilarang?Para ulama berbeda pendapat mengenai alasan larangan ini:Karena termasuk perbuatan menipu (tadliis)Karena mengubah ciptaan Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ud – dan inilah pendapat yang paling kuatImam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“Seluruh tindakan ini dinyatakan dalam hadits sebagai perbuatan yang dilaknat dan termasuk dosa besar. Ada yang mengatakan bahwa sebab larangannya karena mengandung unsur penipuan. Ada pula yang mengatakan karena termasuk mengubah ciptaan Allah. Pendapat kedua ini lebih kuat, bahkan mencakup makna pertama.”(Tafsir Al-Qurthubi, 5:393) Apa Patokan Mengubah Ciptaan Allah yang Diharamkan?Imam Al-Qurthubi juga memberikan kaidah penting:“Yang dilarang adalah perubahan pada tubuh yang bersifat menetap dan permanen.”Misalnya:Tato: menetapMerenggangkan gigi: juga menetapMencabut alis: memang tumbuh kembali, tetapi dalam waktu lama, dan pelaku biasanya akan terus mencabutnya. Maka hukumnya seperti perubahan permanen.Sementara itu:Berkhias dengan celak (kahl),Menggunakan pacar (hinaa’) pada tangan atau kuku,itu boleh, karena tidak termasuk perubahan ciptaan secara permanen, dan tidak mengandung unsur penipuan. Apa Saja yang Termasuk dalam Kategori Diperbolehkan (Mubah)?Tidak semua bentuk perubahan penampilan termasuk yang dilarang. Dalam syariat, ada beberapa kondisi di mana perubahan tersebut dibolehkan, bahkan bisa dianjurkan, tergantung niat dan tujuannya. Berikut ini beberapa jenis tindakan yang masuk dalam kategori mubah (boleh):1. Pengobatan dan Menghilangkan PenyakitJika perubahan itu dilakukan karena alasan medis, maka termasuk perkara yang diperbolehkan dalam syariat.✦ Contoh Kasus:Diriwayatkan oleh Abu Dāwud (no. 4232), at-Tirmidzī (no. 1770), dan an-Nasā’ī (no. 5161) dari Abdurrahmān bin Ṭarafah bahwa, أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ [فضة] فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ“Kakeknya, ‘Arfajah bin As‘ad, hidungnya terpotong pada perang al-Kulāb. Lalu ia membuat hidung palsu dari perak, tetapi hidung itu menimbulkan bau tak sedap. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengganti dengan hidung dari emas.”Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albānī dalam Shahīh Abī Dāwud.✦ Hadits Lain yang Mendukung:Dalam riwayat Abu Dāwud (no. 4170), dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā,لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan, wanita yang mencabut alis dan yang minta dicabut, wanita yang membuat tato dan yang minta ditato — jika bukan karena penyakit.”Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albānī.Juga diriwayatkan oleh Imam Aḥmad (no. 3945), dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu:“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mencabut alis, mengikir gigi, menyambung rambut, dan membuat tato, kecuali karena penyakit.”Syaikh Aḥmad Syākir menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.Imam asy-Syaukānī rahimahullāh menjelaskan:“Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘kecuali karena penyakit’, secara jelas menunjukkan bahwa larangan tersebut berlaku hanya jika dilakukan demi memperindah diri, bukan karena kebutuhan medis. Jika untuk pengobatan, maka tidak termasuk perbuatan haram.”(Nail al-Awṭār, 6/229) 2. Menghilangkan Cacat atau Keadaan yang Tidak NormalTindakan yang bertujuan untuk menghilangkan cacat atau kondisi yang tidak wajar (misalnya noda hitam di wajah atau tahi lalat besar) termasuk diperbolehkan dalam Islam. Karena ini tergolong mengembalikan ciptaan Allah kepada bentuk asal, bukan mengubahnya.✦ Penjelasan Ulama:Imam Ibnul Jauzī rahimahullāh berkata:“Adapun obat-obatan yang dapat menghilangkan flek hitam dan mempercantik wajah demi suami, maka aku tidak melihat adanya larangan terhadap hal tersebut.”Termasuk dalam hal ini:Pemakaian krim wajah untuk menghaluskan kulitLaser atau perawatan wajah untuk menghilangkan bekas luka atau jerawat parahSemuanya merupakan usaha mengembalikan penampilan alami, bukan mengubah ciptaan Allah. 3. Hiasan Sementara yang Tidak Mengubah Ciptaan AsliHal-hal yang sifatnya sementara, tidak permanen, dan tidak mengubah struktur tubuh, diperbolehkan, seperti:Celak mata (kahl)Pewarna kuku (hinaa’, pacar)Memerahkan pipi dan bibirParfum dan wewangian alamiPemakaian bedak atau kosmetik tanpa efek bahayaIni termasuk dalam hiasan yang diperbolehkan, selama tidak menimbulkan fitnah, tidak berlebihan, dan tidak dilakukan di hadapan laki-laki non-mahram.✦ Contoh dari Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:Diriwayatkan dari ‘Abdurrahmān bin ‘Auf radhiyallāhu ‘anhu bahwa:“Ia menikah, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di tubuhnya terdapat bekas warna kuning (wewangian).”(HR. Bukhārī no. 5153 dan Muslim no. 1427)Para ulama menjelaskan bahwa warna kuning itu berasal dari wewangian istrinya, karena ada larangan bagi pria memakai za‘farān. Kesimpulan: Boleh Jika…Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan mempercantik diri bisa diperbolehkan dengan beberapa syarat:Tidak mengubah ciptaan Allah secara permanenTidak menipu atau menyamarkan usia atau kondisi tubuh asliTidak menyerupai kebiasaan kaum kafirTidak dilakukan untuk menarik perhatian laki-laki asingDiniatkan untuk memperindah diri di hadapan suamiTidak mengandung bahan yang membahayakan tubuh Referensi: Fatwa Islamqa No. 129370________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa besar wanita fatwa kecantikan hadits tentang alis hukum mencabut alis hukum operasi plastik kecantikan dalam Islam larangan menato mengubah ciptaan Allah merenggangkan gigi tato haram

Apa Saja Syarat Sah Nikah dan Siapa yang Berhak Menjadi Wali?

Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah

Apa Saja Syarat Sah Nikah dan Siapa yang Berhak Menjadi Wali?

Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah
Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah


Pernikahan dalam Islam memiliki syarat-syarat sah yang tidak boleh diabaikan, di antaranya adanya wali dan dua saksi yang adil. Tidak semua orang bisa menjadi wali nikah, dan ada urutan tertentu yang ditetapkan dalam fikih. Tulisan ini membahas siapa saja yang berhak menjadi wali nikah serta apa yang dilakukan jika wali tidak ditemukan. Semoga menjadi panduan bagi muslim yang ingin menjalankan akad nikah sesuai syariat.  Daftar Isi tutup 1. PENJELASAN 1.1. Hal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak Sah 1.2. Urutan Wali dalam Pernikahan 1.3. Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak Ada 1.4. Peran Hakim sebagai Wali   Dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata,فَصْلٌوَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيِ عَدْلٍ، وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَالشَّاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شُرُوطٍ:الإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْحُرِّيَّةُ، وَالذُّكُورَةُ، وَالْعَدَالَةُ،إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ،وَلَا نِكَاحُ الْأَمَةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ.وَأَوْلَى الْوُلَاةِ:الأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ الأَخُ لِلأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ وَالأُمِّ، ثُمَّ ابْنُ الأَخِ لِلأَبِ، ثُمَّ الْعَمُّ، ثُمَّ ابْنُهُ، عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ.فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ، فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ، ثُمَّ عَصَبَاتُهُ، ثُمَّ الْحَاكِمُ.Pasal: Syarat Sah Akad Nikah dan Urutan WaliDalam Islam, akad nikah tidak sah kecuali jika dipenuhi dua syarat utama:Harus dilakukan oleh seorang wali,Dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.Baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat penting, yaitu:Beragama IslamTelah balighBerakal sehatMerdekaLaki-lakiBersifat adilNamun ada dua pengecualian penting:Jika perempuan yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang berada di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika perempuan tersebut adalah budak, maka tuannya boleh menikahkannya meskipun dia tidak adil (misalnya dikenal fasik).Urutan Wali dalam Nikah (Wilāyah ‘ala an-Nikāh):Jika ada beberapa kerabat laki-laki yang memenuhi syarat sebagai wali, maka didahulukan menurut urutan berikut:Ayah kandung,Kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah),Saudara kandung laki-laki (seayah dan seibu),Saudara laki-laki seayah,Anak laki-laki dari saudara kandung,Anak laki-laki dari saudara seayah,Paman kandung dari pihak ayah,Anak paman (sepupu laki-laki dari jalur ayah),dan seterusnya mengikuti urutan dalam garis ‘aṣabah (kerabat laki-laki yang memiliki hubungan darah dari jalur ayah).Jika tidak ada satu pun dari kalangan ‘aṣabah (kerabat laki-laki tersebut), maka hak perwalian berpindah kepada:– Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak perempuan yang telah dimerdekakan),– Lalu kerabat laki-laki dari mantan tuan itu,– Jika mereka juga tidak ada, maka hak perwalian nikah diambil alih oleh hakim atau penguasa setempat (qadhi). PENJELASANHal-hal yang Tanpa Itu Nikah Tidak SahDalam pasal ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi syarat sahnya akad nikah. Akad nikah tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang wali yang adil. Dalam sebagian manuskrip disebutkan bahwa wali itu harus laki-laki, sebagai penegasan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan juga tidak boleh menjadi wali bagi orang lain.Selain wali, akad nikah juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tanpa kehadiran keduanya, akad nikah tidak sah.Penulis kemudian menjelaskan bahwa baik wali maupun kedua saksi tersebut harus memenuhi enam syarat utama, yaitu:Beragama Islam – Seorang non-Muslim tidak sah menjadi wali atau saksi nikah, kecuali dalam pengecualian tertentu yang akan dijelaskan.Baligh (dewasa) – Anak kecil tidak sah menjadi wali nikah, karena belum memiliki kelayakan hukum.Berakal sehat – Orang gila tidak sah menjadi wali, baik gangguannya terus-menerus maupun datang dan pergi.Merdeka – Seorang budak tidak sah menjadi wali dalam proses ijab nikah (pengucapan akad), meskipun ia boleh menjadi pihak penerima akad.Laki-laki – Perempuan dan orang yang memiliki kelamin ganda (khuntsa) tidak sah menjadi wali.Adil – Seorang wali atau saksi yang fasik (pelaku dosa besar atau yang terus-menerus melakukan dosa kecil) tidak sah menjadi wali.Namun demikian, penulis memberikan dua pengecualian penting:Jika wanita yang dinikahkan adalah seorang dzimmiyyah (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam), maka tidak disyaratkan walinya harus Muslim.Jika yang dinikahkan adalah seorang budak perempuan, maka tidak disyaratkan tuannya (yang menjadi wali) harus adil. Artinya, walaupun ia dikenal fasik, nikahnya tetap sah.Semua syarat yang disebutkan di atas untuk wali juga berlaku bagi dua saksi nikah. Artinya, kedua saksi juga harus Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.Adapun jika wali atau saksi tersebut mengalami kebutaan, maka tidak menjadi penghalang untuk menjalankan fungsi sebagai wali atau saksi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini.Urutan Wali dalam PernikahanDalam hukum Islam, wali nikah tidak hanya harus memenuhi syarat, tetapi juga mengikuti urutan prioritas di antara kerabat laki-laki. Urutan ini menjadi panduan ketika ada lebih dari satu kerabat yang memenuhi syarat sebagai wali.Yang paling berhak menjadi wali nikah adalah:Ayah kandung dari pihak perempuan.Kakek dari jalur ayah (yaitu ayahnya ayah), kemudian kakek dari jalur ayahnya lagi, dan seterusnya. Semakin dekat nasabnya, semakin didahulukan.Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu). Jika disebut dengan istilah “saudara sekandung” (الشقيق), maka lebih tepat.Saudara laki-laki seayah.Anak laki-laki dari saudara kandung, meskipun keturunannya ke bawah (cucu, cicit).Anak laki-laki dari saudara seayah, juga walaupun telah menurun nasabnya.Paman kandung dari jalur ayah (saudara sekandung ayah), lalu paman seayah.Anak-anak mereka (sepupu laki-laki), meskipun dari generasi di bawah (anak, cucu).Dalam hal ini, anak dari paman kandung (saudara sekandung ayah) lebih didahulukan daripada anak dari paman seayah saja.Semua urutan ini mengikuti prinsip dasar ‘aṣabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah yang tidak terputus). Jika Semua Kerabat Lelaki (‘Aṣabah) Tidak AdaJika ternyata semua kerabat laki-laki dari jalur nasab tidak ada, maka perwalian jatuh kepada:Mawlā mu‘tiq (mantan tuan dari budak yang telah dimerdekakan), jika ia seorang laki-laki.Setelah itu, hak menjadi wali pindah kepada kerabat laki-laki dari mawlā tersebut, sesuai urutan ahli waris, sebagaimana dalam pembagian warisan.Namun jika yang memerdekakan adalah perempuan (mawlā mu‘tiqah), dan ia masih hidup, maka yang menikahkan bekas budaknya adalah wali dari pihak perempuan tersebut, mengikuti urutan wali nasab seperti telah dijelaskan di atas.Jika perempuan yang memerdekakan telah meninggal dunia, maka yang menjadi wali bagi budaknya adalah:Orang yang mewarisi hak wala’ (kewalian) dari perempuan tersebut,Lalu anak laki-lakinya,Kemudian cucu laki-lakinya,dan seterusnya secara turun-temurun. Peran Hakim sebagai WaliJika semua jalur wali — baik dari nasab maupun dari wala’ (perbudakan) — tidak ada sama sekali, maka hakim atau otoritas agama (qādī atau pemerintah setempat) menjadi wali dan menikahkan perempuan tersebut. Ini merupakan solusi terakhir dalam sistem perwalian Islam, untuk memastikan tidak ada perempuan yang terhalang menikah karena ketiadaan wali. Referensi:Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fatḥ al-Qarīb al-Mujīb fī Syarḥ Alfāẓ at-Taqrīb. Kairo: Dār Ḍiyā’. ________ Ditulis pada Malam Kamis, 6 Safar 1447 H, 30 Juli 2025 di Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah syarat nikah wali nikah

Allah Sesuai Prasangkamu – Kamu Mau Apa? Syaikh Shalih Alu asy-Syaikh #NasehatUlama

Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ

Allah Sesuai Prasangkamu – Kamu Mau Apa? Syaikh Shalih Alu asy-Syaikh #NasehatUlama

Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ
Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ


Kita wajib berbaik sangka kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena derajat pertama dari ketenangan adalah berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam menyifati orang-orang munafik: “…mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti prasangka Jahiliyah…” (QS. Ali Imran: 154) Mereka berprasangka yang keliru terhadap Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab At-Tauhid dan dinukil dari kitab-kitab tafsir para ulama, yakni mereka berprasangka bahwa Allah tidak akan menolong agama-Nya, dan membiarkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Mukminin mengalami kehancuran dan kekalahan. Itulah prasangka jahiliyah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “…mereka berprasangka tidak benar terhadap Allah…” Yakni, mereka menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya, serta tidak menolong agama dan Kitab-Nya. Inilah prasangka jahiliyah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Hal ini berpengaruh pada kesempurnaan tauhid seseorang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam hadis sahih: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Jadi, langkah awal untuk mengatasi rasa takut ini adalah dengan berkata: “Sangkaanku kepada Allah Jalla wa ‘Ala, bahwa Allah tidak akan meninggalkan umat ini tanpa memenangkan kebenaran di tengah-tengah mereka.” Karena serangan terhadap Islam di dunia saat ini sangat masif. Di mana pun, Islam sedang diserang: Serangan terhadap Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an, pengaburan terhadap kebenaran ajaran Islam, dan upaya membuat manusia membenci akidah Islam. Bahkan penyebaran atheisme dan pengingkaran iman terhadap Allah Jalla wa ‘Ala. Hendaknya kita berbaik sangka kepada Allah. Kita memberi sangkaan terbaik kepada Allah. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka tentang-Ku sekehendaknya.” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad). Artinya: Aku sesuai dengan keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku. Silakan berprasangka apa pun terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, tetapi hendaknya kita meyakini bahwa Allah akan menolong agama dan kitab-Nya, serta menjadikan kebenaran selalu menang. Umat ini pun tidak akan punah. Juga agama umat ini, keimanan mereka kepada Nabi-nya, kemenangan agama ini, dan para ulama yang membelanya. Semua ini tidak akan pernah sirna dari umat ini. ==== يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُحْسِنَ الظَّنَّ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فَإِنَّ أَوَّلَ دَرَجَاتِ الطُّمَأْنِينَةِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَالَ جَلَّ وَعَلَا فِي وَصْفِ الْمُنَافِقِيْنَ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي أَنَّ اللَّهَ كَمَا جَاءَ فِي كِتَابِ التَّوْحِيدِ وَنَقَلَهُ عَنْ كُتُبِ الْمُفَسِّرِيْنَ يَظُنُّونَ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ دَيْنَهُ وَأَنَّهُ يَتْرُكُ رَسُولَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَالْمُؤْمِنِينَ لِلْإِبَادَةِ وَالْهَزِيمَةِ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ يَعْنِي هَذَا الظَّنُّ أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْصُرُ رَسُولَهُ وَلَا يَنْصُرُ دِيْنَهُ وَلَا يَنْصُرُ كِتَابَهُ هَذَا ظَنُّ الْجَاهِلِيَّةِ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ مُؤَثِّرٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيْدِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا كَمَا فِي الصَّحِيحِ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ فَإِذًا أَوَّلَ انْفِرَاجِهِ مِنْ هَذَا الْخَوْفِ أَنْ تَقُولَ ظَنِّي بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَلَّا يَتْرُكَ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِدُونِ ظُهُورٍ لِلْحَقِّ فِيهَا لِأَنَّ الْيَوْمَ الْهَجْمَةُ فِي الْعَالَمِ عَلَى الْإِسْلَامِ كَبِيرَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ فِي الْعَالَمِ الْهَجْمَةُ عَلَى الْإِسْلَامِ عَلَى رَسُولِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْقُرْآنِ عَلَى تَغْيِيبِ الْحَقَائِقِ الدِّينِيَّةِ عَلَى تَكْرِيْهِ النَّاسِ لِلْعَقِيدَةِ بَلْ عَلَى بَثِّ الْإِلْحَادِ وَعَدَمِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا نَظُنُّ بِاللَّهِ الْخَيْرَ وَنَظُنُّ بِاللَّهِ أَحْسَنَ الظَّنِّ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ يَعْنِي أَنَا عِنْدَ اعْتِقَادِ عَبْدِي بِي أَنْ تَعْتَقِدَ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا مَا تَشَاءُ فَنَعتَقِدُ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا سَيَنْصُرُ دِيْنَهُ وَسَيَنْصُرُ كِتَابَهُ وَسَيَجْعَلُ كَلِمَةَ الْحَقِّ دَائِمَةً وَأَنَّهُ لَنْ تَخْبُوَ هَذِهِ الْأُمَّةُ وَدِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَإِيْمَانُهَا بِنَبِيِّهَا وَظُهُورُ هَذِهِ الْمِلَّةِ وَظُهُورُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَنْ يَخْبُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ

Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.

Mengenal Nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-KhallāqAl-Bāri’Al-MuṣawwirMakna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaBeriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahDiharamkannya menggambar makhluk bernyawaKewajiban beribadah hanya kepada AllahMengenal nama-nama Allah merupakan jalan utama untuk merealisasikan tauhid ulūhiyyah — mentauhidkan Allah dalam ibadah. Sebab siapa saja yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya, ia akan mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya menyembah-Nya. Inilah tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya.Nama-nama seperti Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir menunjukkan bahwa hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, menyusun bentuk dan rupa makhluk dengan hikmah dan keindahan. Maka hanya kepada-Nya pulalah pantas dipanjatkan doa, harap, takut, dan cinta — bukan kepada makhluk yang juga diciptakan oleh-Nya.Dalam tulisan ini, kita akan menelaah dalil empat nama agung ini dalam Al-Qur’an, makna yang dikandungnya, serta konsekuensinya bagi seorang hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata.Semoga menjadi sebab tegaknya tauhid ulūhiyyah dalam hati dan bertambahnya cinta kepada Rabbul Ālamīn.Dalil nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Nama-nama al-Khāliq, al-Bāri’, dan al-Muṣawwir disebutkan bersamaan dalam firman Allah Ta‘ala,هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ“Dialah Allah, al-Khāliq (Maha Pencipta), al-Bāri’ (Maha Mengadakan), al-Muṣawwir (Maha Membentuk Rupa).” (QS. Al-Hasyr: 24) Nama “al-Khāliq” (Maha Pencipta) dan “al-Khallāq”Nama al-Khāliq disebut dalam Al-Qur’an sebanyak sebelas kali, di antaranya:Dalam QS. Al-Hasyr: 24 (sudah disebutkan di atas).Firman Allah,فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ“Maka Mahasuci Allah, sebaik-baik pencipta.” (QS. Al-Mu’minūn: 14)Firman-Nya,أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ – أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian pancarkan? Apakah kalian yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Wāqi‘ah: 58–59)Dan masih banyak ayat lainnya.Nama ini juga datang dalam bentuk mubālaghah (penegasan makna secara lebih kuat) sebanyak dua kali,إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيمُ“Sesungguhnya Rabbmu, Dialah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ḥijr: 86), dan:بلى وهو الخلاق العليم“Benar, dan Dia adalah al-Khallāq lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yāsīn: 81) Nama “al-Bāri’” (Maha Mengadakan)Nama al-Bāri’ disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu:Sekali dalam QS. Al-Hasyr: 24, telah berlalu penyebutannya.Dan dua kali dalam QS. Al-Baqarah: 54,فَتُوبُواْ إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ …“Maka bertobatlah kepada Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’), lalu bunuhlah diri kalian sendiri. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Yang Mengadakan kalian (al-Bāri’).” Nama “al-Muṣawwir” (Maha Membentuk rupa)Nama al-Muṣawwir disebutkan secara eksplisit satu kali, yaitu dalam QS. Al-Hasyr: 24, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.Namun bentuk fi’il (kata kerja) dari nama ini disebutkan beberapa kali, di antaranya:هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ“Dialah yang membentuk kalian dalam rahim sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS. Āli ‘Imrān: 6)وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ“Dan sungguh Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian …” (QS. Al-A‘rāf: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-MuṣawwirAl-KhāliqAl-Khāliq ( الْخَالِقُ ) adalah isim fā‘il (kata pelaku) dari kata kerja khalaqa – yakhluqu – khalqan (menciptakan). [2]Kata al-khalq dalam bahasa Arab memiliki dua makna: (1) penciptaan dalam bentuk baru, yang tidak ada sebelumnya, yaitu mengadakan sesuatu dari ketiadaan; dan (2) penetapan ukuran dan perancangan. [3]Ibnu Faris mengatakan,(‌خلق) الْخَاءُ وَاللَّامُ وَالْقَافُ أَصْلَانِ: أَحَدُهُمَا تَقْدِيرُ الشَّيْءِ، وَالْآخَرُ مَلَاسَةُ الشَّيْءِ“Kata (‌ خلق ) kha-lam-qa memiliki dua akar makna: pertama, penetapan ukuran atau perancangan sesuatu; kedua, kelicinan sesuatu.” [4]Al-Fuyyumiy mengatakan,وَأَصْلُ الْخَلْقِ التَّقْدِيرُ“Asal makna al-khalq adalah penetapan ukuran.” [5]Al-KhallāqAl-Khallāq ( الْخَلاَّقُ ) adalah bentuk mubālaghah (penegasan makna yang lebih kuat) dari khalaqa. [6]Bentuk mubālaghah (penekanan makna) dengan pola faʿʿāl ( فعّال ) menunjukkan makna banyak: yaitu banyaknya ciptaan Allah dan pengadaan-Nya, baik dari sisi jumlah maupun ragam bentuknya. [7]Al-Bāri’Al-Bāri’ ( الْبَارِئُ ) adalah isim fā‘il dari kata bara’a. [8]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan,(‌برأ) فَأَمَّا الْبَاءُ وَالرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ فَأَصْلَانِ إِلَيْهِمَا تَرْجِعُ فُرُوعُ الْبَابِأَحَدُهُمَا الْخَلْقُ، يُقَالُ: ‌بَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَبْرَؤُهُمْ بَرْءًاوَالْأَصْلُ الْآخَرُ: التَّبَاعُدُ مِنَ الشَّيْءِ وَمُزَايَلَتُهُ، مِنْ ذَلِكَ الْبُرْءُ وَهُوَ السَّلَامَةُ مِنَ السُّقْمِ“Kata (‌برأ) ba-ra-hamzah memiliki dua akar makna utama:(1) Penciptaan, seperti dalam kalimat, ‘Allah menciptakan makhluk’, (dan dari sinilah nama al-Bāri’ berasal) …(2) Pemisahan atau berlepas dari sesuatu, seperti dalam kata al-bur’, yang berarti kesembuhan dari penyakit.” [9]Al-Fuyyumiy mengatakan tentang makna kata ba – ra – ya:(ب ر ي) … وَبَرَأَ اللَّهُ تَعَالَى الْخَلِيقَةَ يَبْرَؤُهَا بِفَتْحَتَيْنِ خَلَقَهَا فَهُوَ الْبَارِئُ“Allah menciptakan makhluk, artinya: Dia mengadakan mereka, maka Dia adalah al-Bāri’.” [10]Al-MuṣawwirAl-Muṣawwir ( الْمُصَوِّرُ ) adalah isim fā‘il dari kata ṣawwara. [11]Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan tentang makna ( صور ):الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالرَّاءُ كَلِمَاتٌ كَثِيرَةٌ مُتَبَايِنَةُ الْأُصُولِ. وَلَيْسَ هَذَا الْبَابُ بِبَابِ قِيَاسٍ وَلَا اشْتِقَاقٍ. … مِنْ ذَلِكَ الصُّورَةُ صُورَةُ كُلِّ مَخْلُوقٍ، وَالْجَمْعُ صُوَرٌ، وَهِيَ هَيْئَةُ خِلْقَتِهِ. وَاللَّهُ تَعَالَى الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ.“(ṣad-waw-ra) memiliki banyak makna yang tidak satu akar, sehingga tidak masuk dalam kaidah analogi atau derivasi biasa. … Di antara maknanya adalah ṣūrah (rupa), yaitu bentuk ciptaan suatu makhluk. … Dan Allah Ta‘ala adalah al-Bāri’ dan al-Muṣawwir.” [12]Makna Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan tentang firman Allah (Dia-lah Allah al-Khāliq, al-Bāri’, al-Muṣawwir… ) – [QS. Al-Ḥasyr: 24]:هو المعبودُ ‌الخالقُ، الذي لا معبودَ تصلُحُ له العبادةُ غيرُه، ولا خالقَ سِواه، البارئُ الذي بَرَأ الخلْقَ، فأوجَدهم بقدرتِه، المصوِّرُ خَلْقَه كيف شاء، وكيف يشاءُ.“Maknanya, ‘Dia-lah Dzat yang berhak disembah, Sang Pencipta. Tidak ada sesembahan yang pantas selain Dia, dan tidak ada Pencipta selain Dia. Al-Bāri’: yang menciptakan makhluk dan mengadakan mereka dengan kuasa-Nya. Al-Muṣawwir: yang membentuk makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki.’” [13]Sedangkan tentang Al-Khallāq, beliau menyebutkan tentang firman Allah (yang artinya): (Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah al-Khallāq, al-‘Alīm) – [QS. Al-Ḥijr: 86],يقولُ تعالى ذكرُه: إن ربَّك هو الذي خلَقهم وخلَق كلَّ شيءٍ، وهو عالمٌ بهم وبتدبيرِهم، وما يَأْتون مِن الأفعالِ“Maknanya, ‘Sesungguhnya Rabbmu adalah yang menciptakan mereka dan menciptakan segala sesuatu, serta Maha Mengetahui tentang mereka dan apa yang mereka lakukan.’” [14]Ibnu Katsir rahimahullah ketika mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 24, beliau mengatakan,وَقَوْلُهُ: {هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ} الْخَلْقُ: التَّقْدِيرُ، والبَراء: هُوَ الْفَرْيُ، وَهُوَ التَّنْفِيذُ وَإِبْرَازُ مَا قَدَّرَهُ وَقَرَّرَهُ إِلَى الْوُجُودِ، … {الْمُصَوِّرُ} أَيِ: الَّذِي يُنَفِّذُ مَا يُرِيدُ إِيجَادَهُ عَلَى الصِّفَةِ التي يريدها“Al-Khāliq (Yang Maha Mencipta), maknanya adalah tāqdīr (penetapan ukuran). Al-Bāri’ (Yang Maha Membuat), adalah al-fary, yaitu pelaksanaan dan penampakan dari apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan ke dalam wujud nyata. … Al-Muṣawwir (Yang Maha Membentuk), yaitu yang melaksanakan apa yang ingin Dia wujudkan dalam bentuk rupa yang Dia kehendaki.” [15]Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy menjelaskan,“‌الخالق، البارئ، المصور” الذي خلق جميع الموجودات وبرأها وسواها بحكمته، وصورها بحمده وحكمته، وهو لم يزل ولا يزال على هذا الوصف العظيم“Al-Khāliq, Al-Bāri’, Al-Muṣawwir” adalah (Allah) yang menciptakan (mengukur) seluruh makhluk yang ada, lalu menjadikannya nyata, dan menyempurnakannya dengan hikmah-Nya. Dia membentuknya dengan pujian dan kebijaksanaan-Nya. Dan Dia senantiasa bersifat dengan sifat agung ini, sejak dahulu dan selamanya.” [16]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khāliq”, “Al-Khallāq”, “Al-Bāri’”, dan “Al-Muṣawwir” bagi hambaPenetapan nama Al-Khāliq, Al-Khallāq, Al-Bāri’, dan Al-Muṣawwir bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa nama-nama tersebut merupakan nama AllahBahwa Allah adalah satu-satunya Al-Khāliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Allah Ta‘ala berfirman,قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ“Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. ar-Ra‘d: 16)Dan firman-Nya,هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ“Adakah pencipta selain Allah?” (QS. Fāṭir: 3)Maka segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan sesuatu yang baru (muhdats), yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan. Seluruh makhluk didahului oleh ketiadaan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَذْكُورًا“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. al-Insān: 1) [17] Diharamkannya menggambar makhluk bernyawaAllah mengharamkan hamba-hamba-Nya untuk membuat gambar makhluk bernyawa, karena hal itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap ciptaan Allah—yakni meniru apa yang Allah ciptakan dan bentuk dari makhluk bernyawa. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim,الذين يشبهون بخلق الله“Orang-orang yang meniru ciptaan Allah…”Telah datang banyak hadis yang mengancam para pembuat gambar dengan azab paling keras. Seperti sabda Nabi ﷺ,إن أشد الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصورون“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar.” (Muttafaq ‘alaih)Dan sabda beliau ﷺ,إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم أحيوا ما خلقتم“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!’” (Muttafaq ‘alaih)Perintah ini tentu mustahil dilaksanakan. Pelajaran dari hadis ini adalah bahwa azab terhadap pembuat gambar adalah dengan ditugaskan untuk meniupkan ruh ke gambar tersebut—dan mereka tidak mampu melakukannya—sehingga siksaan itu berlangsung terus menerus. [18] Kewajiban beribadah hanya kepada AllahKita harus menyadari bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menciptakan makhluk yang agung ini sia-sia atau main-main, dan bukan pula tanpa tujuan. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan yang agung. Sebagaimana firman-Nya,أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minūn: 115)Maksudnya, apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia, tanpa maksud dan hikmah dari Kami terhadap kalian? Maha Suci Allah dari hal tersebut.Allah juga menjelaskan tujuan agung penciptaan ini dalam firman-Nya,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ والإنس إلا لِيَعْبُدُونِ“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt: 56) [19]Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mengesakan-Nya dalam peribadahan; dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk senantiasa takut, berharap, dan cinta kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk syirik dan kesombongan. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] Disarikan dari An-Nahj al-Asmā’, hal. 112-118.[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.[3] an-Nahj al-Asma, hal. 112.[4] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 268.[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 180.[6] Al-Bayan, hal. 445.[7] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 79.[8] Al-Bayan, hal. 548.[9] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 88.[10] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 46.[11] Al-Bayan, hal. 548.[12] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 497.[13] Tafsīr Ṭabarī, 22: 555.[14] Ibid, 14: 106.[15] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.[16] Tafsir as-Sa’di, hal. 947.  Lihat juga Fiqh al-Asma’, hal. 110.[17] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 119.[18] Ibid, hal. 121.[19] Ibid, hal. 123.

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 4)

Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.

Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa (Bag. 4)

Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.
Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.


Daftar Isi TogglePertama: Tidak mengorek aib pendosaKedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺKetiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddKeempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirKelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSebelumnya sudah disebutkan kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu dalam bagian pertama seri ini. Namun, masih banyak faidah yang dapat disarikan dari kisah Maiz radhiyallahu ‘anhu, khususnya dalam menyikapi perbuatan dosa seorang hamba. Beberapa faidah tersebut di antaranya:Pertama: Tidak mengorek aib pendosaTatkala mendapatkan pengakuan Maiz, Rasulullah ﷺ tidak langsung menghukumi, meskipun Rasul sudah memiliki dugaan kuat bahwa Maiz telah melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi:1) Berulang kalinya Maiz menyampaikan permintaan kepada Nabi ﷺ, “Sucikan aku!”2) Wajah yang gelisah;3) Suaranya yang menunjukkan kekhawatiran.Namun, berulang kali Nabi ﷺ menyuruhnya pulang dan bertobat kepada Allah ﷻ. Nabi ﷺ tidak bertanya apa yang terjadi kecuali karena sudah berulang kali Maiz meminta hal tersebut. Ini adalah petunjuk Nabi ﷺ agar seseorang itu tidak membongkar aibnya dan cukuplah bertobat kepada Allah ﷻ atas dosa yang Allah tutupi. Juga ini menjadi teladan untuk tidak bersemangat membongkar aib kaum muslimin, meskipun ada celah untuk melakukannya.Hal ini jelas menyelisihi sikap sebagian orang yang kepo dengan urusan dosa manusia tanpa ada kepentingan. Dia bukanlah seorang hakim atau penyidik yang berkewajiban untuk melakukan penelaahan kasus, tetapi sibuk mendetailkan dosa dan aib manusia. Mungkin sebagian kita pernah menjadi tempat curhat orang lain yang terkadang menyingkap aibnya. Maka, dalam rangka meneladani Nabi ﷺ, janganlah kita menambah singkapan itu sehingga terbukalah semua keburukannya. Jika ada satu pintu yang terbuka, jangan membuka pintu lainnya. Bahkan yang terbaik adalah berusaha menutupinya.Kedua: Menutupi aib pendosa adalah sunah Nabi ﷺNabi ﷺ meneladankan sikap ini secara langsung kepada sahabat Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebagian riwayat, Hazzal radhiyallahu ‘anhu dijelaskan sebagai orang yang mendorong Maiz untuk mengakui perbuatan zinanya kepada Nabi ﷺ. Mengetahui hal ini, Nabi ﷺ pun memberikan nasihat yang indah kepada Hazzal radhiyallahu ‘anhu,وَاللهِ! يَا ‏هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ“Demi Allah, wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya.” (HR. Abu Dawud no. 4377 dan Ahmad no. 21945, dinilai shahih sanadnya oleh Syuaib Al-Arnauth)Hazzal sebetulnya berniat baik ketika menyuruh Maiz menemui Nabi ﷺ dan mengakui dosa zinanya. Tujuan Hazzal adalah agar Maiz mendapatkan jalan keluar dari dosanya, sebagaimana yang dinukilkan Nuaim bin Hazzal saat meriwayatkan kisah ini,ائْتِ رسولَ اللهِ ﷺ فأخبِرْه بما صَنَعتَ؛ لعلَّه يَستغفِرُ لك، وإنَّما يُريدُ بذلك رَجاءَ أنْ يَكونَ له مَخرجٌ“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan katakan kepadanya apa yang telah kamu lakukan; mungkin dia akan memohonkan ampunan untukmu. Dia (Hazzal) hanya ingin melakukan itu dengan harapan akan ada jalan keluar baginya.” (HR. Abu Dawud no. 4419)Namun, tujuan baik tersebut ternyata kurang bersesuaian dengan sunah Nabi ﷺ. Justru sebaliknya, mendorong seorang untuk menutupi aibnya adalah hal yang disunahkan. Perintah Nabi ﷺ kepada Hazzal tersebut justru menunjukkan bahwa menutupi aib adalah perkara yang lebih utama,فقالَ له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هذا القَولَ مُبَيِّنًا له أنَّ سَترَه علَيه كان أَفْضَلَ وأَولى به، وإذا كان سَترُ المُسلِمِ على المُسلِمِ مَنْدوبًا إليه مَرْغوبًا فيه فسَتْرُ المَرْءِ على نَفْسِه أَولى به، وعلَيه التَّوبةُ ممَّا وَقَعَ فيهNabi ﷺ berkata demikian untuk menjelaskan bahwa menutupi aib lebih afdhal dan lebih utama. Jika menutupi aib sesama muslim dianjurkan dan dimotivasi, maka menutupi aib pribadi lebih utama lagi dan hendaknya ia bertaubat dengannya. (https://dorar.net/hadith/sharh/150118)Ketiga: At-tatsabbut dan at-tabayyun untuk dapat membebaskan atau meringankan dari hukuman haddDalam kisah Maiz, Nabi ﷺ berkali-kali berpaling dari Maiz sampai empat kali. Hal ini menunjukkan Nabi ﷺ melakukan tatsabbut. Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi pernyataan ini dengan beberapa pertanyaan semisal:1) Apakah Maiz sadar?2) Apakah Maiz pikirannya terganggu?3) Apakah Maiz minum khamr?Pertanyaan ini dilontarkan kepada orang-orang yang mengenal Maiz di saat itu untuk mengkonfirmasi atas keadaan Maiz. Nabi ﷺ juga melakukan konfirmasi lainnya, yakni terbebasnya syubhat dari Maiz. Jangan-jangan hanya mencium, memegang, atau memandang. Hal ini ditanyakan karena terdapat hadits Nabi ﷺ,إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ ‏آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ“Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah berbicara, dan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)Nabi ﷺ dan para sahabat khawatir Maiz salah paham dengan hadis ini. Karena perzinaan yang dimaksudkan dalam hadis ini tidaklah dihukum hadd, kecuali yang berlaku timba masuk ke dalam sumur. Namun, semua pertanyaan ini dijawab dengan kenyataan bahwa ia benar-benar berzina dan sadar melakukannya.Tidak sampai disitu, setelah terbukti bahwa Maiz berzina, Nabi ﷺ mencari celah agar Maiz dapat ringan hukumannya. Yakni Nabi ﷺ bertanya apakah Maiz perjaka ataukah sudah menikah. Namun, jawabannya adalah Maiz sudah menikah. Maka, hukuman hadd itu mau tak mau pun dilakukan.Keempat: Penegakan hukum hadd adalah jalan terakhirDari sikap yang ditunjukkan Nabi ﷺ, maka hukum hadd adalah jalan terakhir bagi seorang muslim. Hendaknya seseorang bertobat dan menyimpan aibnya bagi dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang lain yang mengetahui bahwa telah terjadi dosa, maka diserukanlah untuk bertobat kepada pelakunya dan jagalah aibnya. Namun, bukan berarti sebagai umat Islam kita melalaikan penegakan hukum hadd karena terdapat hikmah besar dalam penegakannya. Semoga Allah ﷻ memberikan kejayaan bagi kaum muslimin dengan tegaknya di sisi kita.Kelima: Bencilah perbuatannya dan jangan membenci orangnyaSelama beberapa hari setelah hukum rajam ditegakkan kepada Maiz, para sahabat memperbincangkan hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Maiz wafat dan terhapus dosanya karena menjalani hadd dengan ikhlas dan ada yang berpendapat Maiz sudah bertobat dengan tobat yang luar biasa. Kurang lebih selama tiga hari orang-orang membahasnya. Atas keramaian ini, Rasulullah ﷺ datang dan memintakan ampunan atas Maiz.لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ“Ia bertobat dengan tobat yang jika dibagi antara suatu kaum, maka itu sudah cukup bagi mereka.” (HR. Muslim no. 1695)Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menjelaskan,إنه مع كراهيته الشديدة للفعل، ومع تهيه المستمر للناس أن يفعلوا مثلما فعل ماعز، ومع تحذيره من تكرار الأمر، مع كل ذلك لا يتردد رسول الله ﷺ أن يُعلن أمام الناس جميعا أن الله عز وجل قد غفر الماعز خطيئته !“Beliau sangat membenci perbuatan itu dan selalu melarang orang melakukan apa yang dilakukan Ma’iz. Meskipun demikian, beliau tak ragu mengumumkan kepada seluruh manusia bahwa Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Maiz.” (Ar-Rahmah fi Hayatir Rasul, hal. 125)Terlihat bahwasanya dalam menyikapi perbuatan dosa orang, Nabi ﷺ tidak didorong oleh hawa nafsunya untuk menghakimi. Inilah keindahan akhlak Nabi ﷺ yang dilahirkan dari sikap rahmatnya kepada sesama manusia. Dan benarlah Allah ﷻ telah menjadikan kesempurnaan teladan ada pada sisi Nabi ﷺ. Hendaknya kita mengambil jalan dari akhlak yang telah diteladankan Nabi ﷺ kepada kita semua. Wallahu Ta’ala a’lam.[Bersambung]Kembali ke bagian 3***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Referensi:Ar-Rahmah fi Hayatir Rasulillah, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.Nabi Sang Penyayang, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, terj. Mohd. Suri Sudahri, S.Pd.I. dan Rony Nugroho, Pustaka Al-Kautsar.

Takut yang Bikin Bahagia – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ

Takut yang Bikin Bahagia – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ
Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ


Bab yang pertama adalah bab tentang rasa takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Ini adalah bab yang sangat penting. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyoroti tentang ini. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan bagi orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, ada dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46). Bukankah Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia telah berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41) Ada banyak sekali nash lain yang menunjukkan eratnya hubungan hati dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Semua itu menunjukkan bahwa masuk surga bisa diraih dengan rasa takut kepada Rabb Yang Maha Perkasa dan Mulia. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang beriman.” (QS. Ali Imran: 175) “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti melalui para pengikutnya…” yakni: menakut-nakuti kalian melalui para pengikutnya (dari kalangan orang musyrik). Maka Allah memerintahkan kalian untuk mengkhususkan rasa takut hanya kepada-Nya, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia. Berapa banyak rasa takut yang bersarang dalam hatimu? Apakah kalian takut kepada negara-negara besar atau tidak? Kalian takut kepada Iran dan negara lainnya atau tidak? Kalian takut kepada pencuri atau tidak? Kalian takut kepada hewan-hewan buas atau tidak? Jadi, kalian memang takut? Mengapa kalian takut? Apakah mungkin engkau melakukan sesuatu di alam semesta ini yang tidak dikehendaki oleh Allah? Berarti, kita mengalami kekurangan dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Janganlah takut kepada serigala ataupun singa. Namun takutlah kepada Allah yang mampu menjadikanmu diserang oleh binatang-binatang itu. Karena, demi Allah! Sekali lagi, demi Allah! Engkau tidak akan keluar dari takdir Allah, walau hanya seruas jari! Karena itu, janganlah takut kecuali hanya kepada Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah ‘Azza wa Jalla: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut hanya kepada-Nya dan mereka tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39). “…dan mereka tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah…” Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Berapa tingkatan rasa takut kepada Allah yang telah kalian capai? Sungguh, kekurangannya besar. Sangat besar! Kita takut kepada makhluk, dan kita lupa bahwa Allah Sang Pencipta adalah satu-satunya yang mengaturnya. Maka takutlah kepada Allah, dan jangan takut kepada makhluk. Sekiranya para hamba takut kepada Allah, demi Allah, niscaya keberkahan yang banyak akan turun kepada mereka, dan keadaan mereka akan menjadi baik. Keadilan akan menggantikan kezaliman, dan kebaikan akan menggantikan keburukan. Sekiranya seorang suami takut kepada Allah dalam memperlakukan istrinya, apakah dia akan menzalimi istrinya? Apakah suami akan mengurangi hak-hak istrinya? Sekiranya seorang istri takut kepada Allah, apakah dia akan berani menyelisihi perintah dan syariat Allah dalam memenuhi hak suaminya? Jadi, kita memiliki masalah besar dalam hal ini, yaitu lemahnya rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia. Mengapa kita harus takut kepada Allah? Bukankah Allah-lah yang mengatur seluruh alam semesta? Beberapa hari yang lalu kalian merasakan hawa panas. Berapa derajat suhu ketika itu? Berapa derajat suhu tertingginya? Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia mampu menjadikannya 70, 80, 100, 150, bahkan 1000 derajat! Apakah Allah mampu atau tidak? Lantas, mengapa kalian tidak takut jika Allah menimpakan panas itu kepada kalian? Padahal Allah telah menimpakannya kepada kaum Nabi Syu’aib. “Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan…” (QS. Asy-Syu’ara: 189) Apa maksud azab di hari ketika mereka dinaungi awan itu? Mereka didatangi hawa yang sangat panas. Kemudian Allah mengirimkan awan kepada mereka. Lalu mereka berkumpul di bawah awan itu, untuk mendapat naungan. Maka Allah mengirim suara yang sangat keras, sehingga mereka mati dalam satu waktu. Apakah kalian merasa aman jika Allah menimpakan azab semacam itu kepada kalian? Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian merasa aman tidak mengalami hal seperti para pasien di rumah sakit, yang hanya bisa menggerakkan matanya, sementara tubuhnya tak mampu digerakkan? Allah bisa saja mengirimkan mikroba yang hanya terlihat melalui mikroskop, dan mikroba itu dapat melumpuhkan seluruh tubuhmu dalam sekejap. Allah bisa menjatuhkanmu di tangga masjid hingga kamu mengalami kelumpuhan total. Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu? Demi Allah, tidak ada yang sulit bagi-Nya. Allah Maha Kuasa atas segalanya. Bagaimana mungkin kita tidak takut kepada Allah, padahal kita tahu bahwa sebentar lagi kita akan berdiri di hadapan-Nya, dan Allah akan bertanya kepada kita tentang seluruh amal kita, baik yang sedikit maupun yang banyak. Tidak seorang pun dari kalian kecuali akan diajak berbicara langsung oleh Tuhannya, tanpa ada penerjemah. Lalu ia melihat ke arah kanannya, dan ia tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah kirinya, dan tidak melihat kecuali amalnya. Ia melihat ke arah depan, dan tidak melihat kecuali neraka. Maka jagalah diri kalian dari neraka, meskipun hanya dengan menyedekahkan sepotong kurma. Apakah salah seorang dari kalian sanggup duduk di bawah terik matahari selama satu jam setelah Salat Zuhur? Padahal matahari itu sangat jauh. Mengapa kalian merasa kasihan pada diri sendiri untuk sekadar duduk di bawah terik matahari, tetapi kalian tidak merasa kasihan pada diri sendiri jika harus masuk ke dalam neraka Jahannam? Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam. Takutlah kepada Allah, agar Allah tidak memasukkanmu ke dalam neraka Jahannam karena perbuatanmu. Rasa takut kepada Allah adalah kedudukan yang sangat agung dan mengandung pahala yang besar. Bagaimana mungkin engkau tidak takut kepada Allah, padahal Allah selalu mengawasimu? Apakah Allah mengawasi kalian atau tidak? “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (QS. Ali Imran: 5) Allah menyebutkan sifat-Nya dengan berfirman: “Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mu’min: 19) Apa yang ada di hatimu, janganlah pernah menyangka bahwa Allah tidak mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, “…mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha: 7) Karena itu, takutlah kepada Allah. Selain itu, Allah juga menugaskan malaikat untuk mencatat amalmu, baik yang sedikit maupun yang banyak. “Sesungguhnya bagi kalian ada malaikat-malaikat yang mengawasi yang mulia dan mencatat amal perbuatan mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10–12). Jadi, ini merupakan kedudukan yang agung, yaitu kedudukan rasa takut kepada Allah. Di akhir surat Al-Bayyinah, ketika Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh: “…surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya Untuk siapa balasan ini? Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8). Yaitu orang yang takut kepada Allah. ==== أَوَّلُ هَذِهِ الْأَبْوَابِ بَابُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا بَابٌ مُهِمٌّ رَكَّزَتْ عَلَيْهِ الْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ وَأَلَمْ يَقُلْ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ فِيهِ نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى رَبْطِ أَمْرِ الْقَلْبِ بِمَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ دُخُولَ الْجِنَانِ يَكُونُ بِخَوْفِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَقُولُ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ يَعْنِي يُخَوِّفُكُم مِنْ أَوْلِيَائِهِ فَأَمَرَكُمُ اللَّهُ أَنْ تَحْصُرُوا الْخَوْفَ بِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمْ عِنْدَكَ مِنَ الْمَخَاوِفِ فِي قَلْبِكَ ؟ تَخَافُ مِنَ الدُّوَلِ الكُبْرَى وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنْ إِيْرَانَ وَغَيْرِ إِيْرَانَ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ السُّرَّاقِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ تَخَافُونَ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُفْتَرِسَةِ وَلَا مَا تَخَافُونَ ؟ إِذَنْ تَخَافُونَ ؟ لِمَاذَا تَخَافُون ؟ هَلْ يُمْكِنُ أَنْ تَفْعَلَ فِي الْكَوْنِ شَيْئاً لَمْ يُرِدْهُ اللَّهُ وَبِالتَّالِي عِنْدَنَا نَقْصٌ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ لَا تَخَفْ مِنَ الذِّئْبِ وَلَا مِنَ الْأَسَدِ وَإِنَّمَا خِفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكَ هَذِهِ الْحَيَوَانَاتِ فَإِنَّهَا وَاللَّهِ ثُمَّ وَاللَّهِ لَنْ تَخْرُجَ عَنْ قَدْرِ اللَّهِ مِقْدَارَ أُنْمُلَةٍ بِالتَّالِي لَا تَخَفْ إِلَّا مِنَ اللَّهِ أَلَمْ تَسْتَمِعْ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ كَمْ حَصَّلْتُمْ مِنْ دَرَجَةٍ فِي مَقَامِ الْخَوْفِ ؟ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَقْصٌ كَبِيرٌ نَخَافُ مِنَ الْمَخْلُوقِ وَنَنْسَى أَنَّ الْخَالِقَ سُبْحَانَهُ هُوَ الَّذِي يُصَرِّفُهُ فَخَفْ مِنَ اللَّهِ وَلَا تَخَفْ مِنَ الْمَخْلُوقِ لَوْ قَدَّرْنَا أَنَّ الْعِبَادَ يَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَتَنْزِلَنَّ عَلَيْهِمُ الْبَرَكَاتُ وَلَتَصْلُحَنَّ أَحْوَالُهُمْ سَيَكُونُ الْعَدْلُ مَقَامَ الظُّلْمِ وَسَيَكُونُ الْخَيْرُ مَقَامَ الشَّرِّ لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَ يَخَافُ اللَّهَ فِي زَوْجَتِهِ يَظْلِمُهَا ؟ يَبْخَسُهَا حُقُوقَهَا لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الزَّوْجَةَ تَخَافُ اللَّهَ هَلْ سَتُخَالِفُ أَمْرَ اللَّهِ وَشَرْعَهُ فِي حُقُوقِ زَوْجِهَا ؟ إِذاً عِنْدَنَا إِشْكَالِيَّةٌ كَبِيرَةٌ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَامِ مَخَافَةِ رَبِّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ لِمَاذَا نَخَافُ اللَّه ؟ أَلَيْسَ اللَّهُ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ ؟ جَاءَكُمُ الْحَرُّ قَبْلَ اْلأَيَّامِ كَمْ وَصَلَتِ الْحَرَارَةُ ؟ أَقْصَى مَا وَصَلَتْ ؟ يَقْدِرُ رَبُّ الْعِزَّةِ وَالْجَلَالِ يَجْعَلُهَا سَبْعِينَ وَثَمَانِينَ وَمِئَةً وَمِئَةً وَخَمْسِينَ وَأَلْفاً يَقْدِرُ وَلَا مَا يَقْدِرُ ؟ كَيْفَ لَا تَخَافُونَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُسَلِّطَ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ ؟ وَقَد سَلَّطَهُ عَلَى قَوْمِ شُعَيْبٍ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ أَيْش عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ؟ جَاءَهُمْ حَرٌّ شَدِيدٌ ثُمَّ أَرْسَلَ اللَّهُ لَهُمْ سَحَابَةً فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهَا يَبْحَثُونَ عَنِ الظِّلِّ فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الصَّيْحَةَ فَمَاتُوا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ هَلْ أَنْتُمْ بِمَأْمَنٍ أَنْ يُسَلِّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ هَذَا الْعَذَابِ ؟ وَيْش تَقُولُونَ ؟ هَلْ أَنْتَ بِمَأْمَنٍ أَنْ تَكُونَ مِثْلَ هَؤُلَاءِ الْمَرْضَى الَّذِينَ فِي الْمُسْتَشْفَى يُحَرِّكُوْنَ أَعْيُنَهُمْ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يُحَرِّكُوا أَبْدَانَهُمْ يُرْسِلُ لَكَ مِيكْرُوبَ مَا شَافَ إِلَّا بِالتِّلِسْكُوْبِ الدَّقِيقِ وَيُشِلَّ أَعْضَاءَكَ كُلَّهَا فِي لَحْظَةٍ يُطَيِّحُكُم مَعَ دَرَجَةِ الْمَسْجِدِ وَيَجِيْئُكَ شَلَلٌ رُبَاعِيٌّ يَعْجِزُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاللَّهِ لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ عَلَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ كَيْفَ لَا نَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّنَا سَنَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَمَّا قَرِيبٌ وَسَيَسْأَلُنَا عَنْ أَعْمَالِنَا قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ شَمَالَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَرَى إِلاَّ النَّارَ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَسْتَطِيعُ وَاحِدٌ مِنْكُمْ يَجْلِسُ فِي الشَّمْسِ عُقْبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ سَاعَةً ؟ الشَّمْسُ بَعِيْدَةٌ فَكَيْفَ تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنِ الْجُلُوْسِ فِي الشَّمْسِ وَلَا تَنْعَى بِنَفْسِكَ عَنْ دُخُولِ نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَفْ مِنَ اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ بِفِعْلِكَ مَقَامُ الْخَوْفِ مَقَامٌ عَظِيمٌ فِيهِ أَجْرٌ كَبِيرٌ كَيْفَ لَا تَخَافُ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ يُرَاقِبُكَ يُرَاقِبُكُمْ وَلَا مَا يُرَاقِبُكُمْ؟إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ يَصِفُ نَفْسَهُ فَيَقُولُ يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُالَّذِي فِي صَدْرِكَ مَا تَحْسِبُ أَنَّ اللَّهَ مَا مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبِالتَّالِي خَفْ مِنَ اللَّهِ ثُمَّ حَطَّ عَلَيْك مَنْ يُسَجِّلُ أَعْمَالَكَ قَلِيلَهَا وَكَثِيرَهَا وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِينَ يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُونَ إِذاً هَذَا مَقَامٌ عَظِيمٌ مَقَامُ الْخَوْفِ مِنَ اللَّهِ فِي آخِرِ سُورَةِ الْبَيِّنَةِ لَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ جَزَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ لِمَن ؟ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ يَعْنِي خَافَ مِنَ اللَّهِ

Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.

Mengenal Nama Allah “Al-Khabiir”

Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.
Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.


Daftar Isi ToggleDalil nama Allah “Al-Khabiir”Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaBeriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaBertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiPeringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaMenaati Allah dan Rasul-NyaMengenal nama-nama Allah merupakan salah satu perkara pokok yang dapat menguatkan keimanan dan ketakwaan. Semakin dalam seorang hamba mengenal sifat-sifat Rabb-nya, semakin takut ia bermaksiat, semakin ikhlas ia beramal, dan semakin besar harapannya kepada rahmat Allah. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Khabīr — Dzat Yang Maha Mengetahui secara mendalam setiap urusan makhluk-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Dalam artikel ini, kita akan mengulas tiga hal utama: dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menyebut nama Al-Khabīr, penjelasan kandungan maknanya menurut para ulama, serta konsekuensi penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap hamba — yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, peningkatan takwa dalam setiap keadaan, dan keikhlasan dalam beramal meski tidak dilihat manusia.Dalil nama Allah “Al-Khabiir”Nama al-Khabīr disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 45 kali, di antaranya:Firman Allah Ta‘ala,ولِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ“Dan kepunyaan Allah-lah warisan (segala) yang ada di langit dan di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)Firman-Nya,عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ“(Dialah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui secara mendalam.” (QS. Al-An‘ām: 73)Firman-Nya,إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Fāṭir: 31)Firman-Nya,إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ“Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (QS. Al-‘Ādiyāt: 11) [1]Kandungan makna nama Allah “Al-Khabiir”Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Khabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.Makna bahasa dari “Al-Khabiir”Kata al-Khabīr ( الخَبير ) adalah bentuk ṣifah musyabbahah (sifat yang menunjukkan makna tetap atau menetap) dari kata kerja khabara – yakhburu ( خَبَرَ – يخبُر ) yang berarti mengetahui. [2]Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,الْخَاءُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلَانِ: فَالْأَوَّلُ الْعِلْمُ، وَالثَّانِي يَدُلُّ عَلَى لِينٍ وَرَخَاوَةٍ وَغُزْرٍ“khā’, bā’, dan rā’. Kata ini memiliki dua akar makna: (1) ilmu (pengetahuan); dan (2) kelembutan, keluwesan, dan keluasan.” [3]Makna “Al-Khabiir” dalam konteks AllahIbnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah saat menafsirkan firman Allah, ( نَبَّأني العَلِيمُ الخَبير ), beliau mengatakan,العليم بسرائر عباده؛ وضَمائر قلوبهم، الخبير بأمورهم؛ الذي لا يَخفى عنه شيء“Yakni, Allah yang Maha Mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya dan isi hati mereka, Maha Mengetahui keadaan mereka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [4]Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,وَقَوْلُهُ: {مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ} أَيْ: مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْحَكِيمِ فِي أَقْوَالِهِ، وَأَحْكَامِهِ، ‌الْخَبِيرِ بِعَوَاقِبِ الْأُمُورِ“Firman Allah (yang artinya), ‘Dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (al-Ḥakīm al-Khabīr)’, maksudnya: ‘Dari sisi Allah, Dzat Yang bijaksana dalam firman dan hukum-Nya, serta Maha Mengetahui akibat dari segala urusan.’” [5]Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘dī rahimahullah mengatakan,العليم، ‌الخبير: وهو الذي أحاط علمه بالظواهر والبواطن، والأسرار والإعلان، وبالواجبات والمستحيلات والممكنات، وبالعالم العلوي والسفلي، وبالماضي والحاضر والمستقبل، فلا يخفى عليه شيء من الأشياء“al-‘Alīm, al-Khabīr adalah Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi, yang rahasia maupun terang-terangan, yang wajib, mustahil, dan mungkin, mencakup alam atas dan bawah, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang — tidak ada yang luput dari-Nya sedikit pun.” [6]Syekh ‘Abdur Razzāq al-Badr mengatakan, “al-Khabīr bermakna: Dzat yang mengetahui secara mendalam rahasia-rahasia batin, memahami isi hati yang tersembunyi, mengetahui biji-bijian yang tersembunyi di tanah, urusan-urusan yang sangat lembut dan halus, serta partikel yang sangat kecil. Maka nama ini mencakup ilmu tentang hal-hal yang sangat tersembunyi dan sangat kecil, dan tentu lebih-lebih lagi terhadap hal yang tampak dan besar.” [7]Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”Konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabiir” bagi hambaPenetapan nama “Al-Khabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Beriman bahwa al-Khabīr adalah salah satu dari Asmaul HusnaYaitu bahwa Allah Maha Mengetahui segala urusan yang tersembunyi dan yang tidak tampak, Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya, meskipun sangat kecil dan halus. Sifat ini hanya milik Allah semata, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang menyamai-Nya. [8] Bertakwa kepada Allah dan mengamalkan apa yang Dia cintaiSesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah al-Khabīr, yang Maha Mengetahui amal perbuatan dan ucapan hamba-hamba-Nya, serta apa yang bergejolak dalam hati mereka — baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرَاً بَصِيراً“Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Dzat yang Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Melihat.” (QS. Al-Isrā’: 17)Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita agar bertakwa kepada-Nya, mengerjakan yang Dia cintai, dan menjauhi segala sesuatu yang membuat-Nya murka. Allah Ta’ala berfirman,وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 128)Dan firman-Nya,وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ“Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Ḥasyr: 18) [9] Peringatan agar tidak bermaksiat kepada-NyaFirman Allah,وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Dan jika kalian memutarbalikkan (kesaksian) atau berpaling (tidak memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisā’: 135)Ayat ini adalah peringatan dari maksiat, khususnya dalam konteks tidak menegakkan kesaksian secara adil, yang disebut dengan ‘memutarbalikkan (kesaksian)’, atau menyembunyikannya padahal dibutuhkan, yang disebut dengan ‘berpaling (tidak memberikan kesaksian)’. Kemudian datanglah peringatan dengan firman-Nya,فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”, maksudnya: Allah mengetahui ketika kalian tidak menegakkan kesaksian, memutarbalikkan kebenaran, atau berpaling darinya dengan menyembunyikan, dan semuanya dicatat oleh Allah untuk dibalas di hari pembalasan. Maka bertakwalah kepada Rabb kalian dalam urusan ini. [10] Menaati Allah dan Rasul-NyaDi antara buah dari beriman terhadap nama Allah Al-Khabiir adalah seorang hamba hendaknya menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ini merupakan puncak ibadah. Allah berfirman,… فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ ‌خَبِيرٌ ‌بِمَا ‌تَعْمَلُونَ“… Maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nūr: 56) [11]Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita, untuk senantiasa menjaga amal dan niat, karena tiada satu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya. Aamiin.Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Wahhab”***Rumdin PPIA Sragen, 18 Muharam 1447Penulis: Prasetyo Abu Ka’abArtikel Muslim.or.id Referensi utama:Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444. Catatan kaki:[1] an-Nahj al-Asma, hal. 187[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 560; dan al-Miṣbāḥ al-Munīr, 1: 162.[3] Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, hal. 278.[4] Tafsīr ath-Thabarī, 23: 92.[5] Tafsīr Ibn Katsīr, 4: 303.[6] Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 945.[7] Fiqh al-Asma’ al-Ḥusnā, hal. 161.[8] an-Nahj al-Asma, hal. 188.[9] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 188-189.[10] an-Nahj al-Asma, hal. 189.[11] At-Ta‘liq al-Asna, hal. 198.

Harta dan Anak Bukan Segalanya! Ini yang Allah Sebut Lebih Baik – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ

Harta dan Anak Bukan Segalanya! Ini yang Allah Sebut Lebih Baik – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ
Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ


Allah Ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia sedangkan amal kebajikan yang kekal, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan, mereka adalah bunga dan perhiasan kehidupan dunia. Harta memang dicintai oleh jiwa manusia. “Dan kalian mencintai harta dengan kecintaan yang amat besar.” (QS. Al-Fajr: 20) Begitu juga anak-anak. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” Kemudian Allah berfirman, “…sedangkan amal kebajikan yang kekal…” Yang dimaksud adalah amal-amal saleh yang kekal pahalanya. Kalimat “Al-Baqiyat Ash-Shalihat” mencakup makna yang tersirat, yakni amal-amal yang dilakukan. “Amal kebajikan yang kekal,” maksudnya adalah amal saleh yang pahalanya abadi. “Lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk menjadi harapan.” Artinya, amal saleh lebih baik balasannya daripada harta, anak-anak, atau kenikmatan dunia lainnya. Dan balasan atas amal saleh itu adalah surga yang seluas langit dan bumi. Di surga terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia. “dan lebih baik untuk menjadi harapan,” maksudnya: hal terbaik yang bisa diharapkan manusia adalah amal saleh yang kekal ini. Ia adalah harta simpanan sejati yang seharusnya diupayakan oleh setiap muslim. Tidak layak merasa iri kepada siapa pun kecuali karena amal salehnya. Karena amal salehlah yang benar-benar kekal abadi. Amal saleh lebih baik pahalanya, dan lebih baik untuk diharapkan. Ketika kamu merenungkan kembali perjalanan hidupmu yang telah berlalu, apa yang sekarang paling kamu harapkan untuk kamu perbanyak dan kamu jadikan bekal? Tak ada selain amal saleh. Adapun selainnya, telah lenyap bagai fatamorgana. Justru saat ini kamu berharap, sekiranya di umurmu yang telah berlalu itu, kamu bisa lebih saleh dan lebih istiqamah, dan sekiranya kamu bisa mengumpulkan lebih banyak bekal amal saleh. Jika ini adalah harapanmu sekarang, sedangkan kamu masih berada di dunia sebagai tempat beramal, lantas bagaimana keadaanmu setelah meninggal dunia?! Oleh sebab itu, saudara-saudara! Kita sekarang di dunia ini, berada di tempat yang didambakan oleh orang-orang yang telah mati. Kita masih berada di tempat untuk beramal, dan pintu amal masih terbuka lebar. Pintu tobat juga masih terbuka lebar. Serta kesempatan untuk memperbaiki diri masih tersedia. Maka, kita harus segera memperbaiki apa yang tersisa dari umur kita, dengan menyiapkan bekal berupa amal kebajikan yang kekal abadi. ==== يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا فَبَيَّنَ رَبُّنَا سُبْحَانَهُ أَنَّ الْمَالَ وَأَنَّ الْبَنِيْنَ أَنَّهَا زِينَةٌ فَهِي زَهْرَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْمَالُ مَحْبُوبٌ لِلنُّفُوسِ وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا وَكَذَلِكَ أَيْضًا الْبَنِيْنَ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ يَعْنِي وَالْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ وَهُوَ عَلَى تَقْدِيرِ مَحْذُوفٍ وَتَقْدِيْرُهُ الْأَعْمَالُ وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ يَعْنِي الْأَعْمَالُ الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي أَنَّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ خَيْرٌ ثَوَابًا مِنَ الْمَالِ وَمِنَ الْبَنِينَ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا وَثَوَابُهَا الْجَنَّةُ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ وَخَيْرٌ أَمَلًا يَعْنِي خَيْرُ مَا يُؤَمِّلُ عَلَيْهِ الْإِنْسَانُ هُوَ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ فَهِي الْكَنْزُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ يَنْبَغِي أَلَّا يُغْبَطَ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَالْعَمَلُ الصَّالِحُ هُوَ الْبَاقِي وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا وَأَنْتَ عِنْدَمَا تَتَأَمَّلُ مَا مَضَى مِنْ حَيَاتِكَ مَا الَّذِي تَتَمَنَّى الْآنَ أَنَّكَ أَكْثَرْتَ مِنْهُ وَتَزَوَّدْتَ مِنْهُ لَا شَيْءَ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَأَمَّا مَا عَدَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ كَالسَّرَابِ لَكِنَّ الْآنَ تَتَمَنَّى أَنَّكَ فِيمَا مَضَى مِنْ عُمُرِكَ كُنْتَ أَكْثَرَ صَلَاحًا وَكُنْتَ أَكْثَرَ اسْتِقَامَةً وَأَنَّكَ تَزَوَّدْتَ بِالْمَزِيدِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ أُمْنِيَّاتُكَ وَأَنْتَ فِي دَارِ الْعَمَلِ وَأَنْتَ فِي الدُّنْيَا فَكَيْفَ بِحَالِكَ بَعْدَ الْمَمَاتِ؟ وَلِهَذَا نَحْنُ الْآنَ أَيُّهَا الإِخْوَةُ نَحْنُ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي دَارٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ فِي دَارِ الْعَمَلِ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِي التَّزَوُّدِ بِالْأَعْمَالِ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ

Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 2)

Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi ToggleKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenamKandungan ketujuhKandungan kedelapanKandungan hadis (lanjutan)Kandungan keempatHadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.Kandungan kelimaHak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.Kandungan keenamPara ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.Kandungan ketujuhHadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]Kandungan kedelapanDi antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”Ia menjawab, “Tidak.”Maka Umar berkata,فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan.  [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15][Selesai]Kembali ke bagian 1***@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.[5] Al-Mughni, 10: 64.[6] Al-Mughni, 10: 64.[7] Al-Mughni, 5: 250.[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.[9] Nailul Authar, 6: 178.[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Sunnah yang Dilupakan Banyak Orang, Tapi Bisa Mengantarkan ke Surga – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ

Sunnah yang Dilupakan Banyak Orang, Tapi Bisa Mengantarkan ke Surga – Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili

Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ
Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ


Ini adalah sunnah yang telah dilupakan oleh banyak orang. Saudara-saudara sekalian, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu setiap kali berhadas. Setiap kali selesai berwudhu, disunnahkan untuk mendirikan shalat dua rakaat atau lebih. Ini adalah sunnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Nabi juga menjelaskan bahwa amalan ini bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal bin Rabah: “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan pahalanya sejak engkau memeluk Islam Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan selain kebiasaanku setiap kali selesai bersuci baik di siang hari maupun malam hari melainkan aku selalu melaksanakan shalat dengan wudhu tersebut, sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bilal bin Rabah adalah sahabat Nabi yang mulia, muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mimpi baik tentang Bilal bin Rabah. Lalu Nabi memberitahukan kabar gembira itu kepadanya. Beliau lalu menanyakan sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, yakni apa yang membuatnya lebih dahulu menuju surga dan menjadi bagian rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada penjelasan kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa Bilal mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, tetapi menunjukkan bahwa Bilal termasuk rombongan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Sebagaimana diketahui, seorang tokoh besar apabila berjalan bersama rombongannya, sebagian dari mereka berjalan di depan, sebagian di kanan, dan sebagian lagi di kiri, untuk menunjukkan kedudukannya. Demikianlah posisi Bilal radhiyallahu ‘anhu. Ia tidak mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga, melainkan ia termasuk yang mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan menuju surga. Bilal berkata, “Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan selain setiap kali aku selesai bersuci—yakni berwudu—baik di waktu malam maupun siang hari, melainkan aku pasti melaksanakan shalat dengan wudhu itu sejumlah rakaat yang ditakdirkan bagiku.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini juga dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seseorang berwudhu dan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat seraya memusatkan hati dan wajahnya dalam dua rakaat itu melainkan wajib baginya masuk surga.” Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu mendirikan shalat dua rakaat tanpa lalai dalam dua rakaat itu maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Diampuni dosanya yang telah lalu. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih. Syaikh Al-Arnauth juga mengatakan bahwa hadis ini shahih li-ghairihi. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang telah kita jelaskan dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, menjadi dalil bahwa disunnahkan bagi seorang Muslim, setiap kali selesai berwudhu, untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat dua rakaat, atau sebanyak yang Allah kehendaki baginya. ==== وَهَذِهِ سُنَّةٌ نَسِيَهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ يَا إِخْوَةُ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأَ السُّنَّةُ لِلْمُسْلِمِ كُلَّمَا أَحْدَثَ أَنْ يَتَوَضَّـأ وَكُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَهِيَ سُنَّةٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ أَنَّ فِعْلَهَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلَالِ بْنِ رَبَاحٍ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بِلَالُ بْنُ رَبَاحٍ هَذَا الصَّحَابِيُّ الْجَلِيلُ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الرُّؤْيَا الْحَسَنَةَ فَبَشَّرَهُ بِهَا وَسَأَلَهُ عَنِ السَّبَبِ الَّذِي جَعَلَهُ يَسْبِقُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَكُونُ رَفِيقًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَمَا قُلْتُ لَكُمْ فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يَسْبِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِلَالًا يُرَافِقُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ وَالْمَعْلُومُ أَنَّ الرَّجُلَ عَظِيمَ الشَّأْنِ إِذَا مَشَتْ مَعَهُ الرِّفْقَةُ فَإِنَّ بَعْضَهُمْ يَتَقَدَّمُ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ يَمِينِهِ وَبَعْضَهُمْ يَكُونُ عَنْ شِمَالِهِ إِظْهَارًا لِمَنْزِلَتِهِ وَهَكَذَا كَانَ بِلَالٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ مُتَقَدِّمًا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ كَانَ مُمَاشِيًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي مِنْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا أَيْ وُضُوءًا فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يَسْهُو فِيهِمَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَقَالَ الأَلبَانِيُّ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَالَ الْأَرْنَؤُوطُ صَحِيحٌ لِغَيْرِهِ فَهَذَا وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي شَرَحْنَاهَا فِي صَحِيحِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلْمُسْلِمِ أَنَّهُ كُلَّمَا تَوَضَّأَ أَنْ يُصَلِّيَ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 21): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 21): Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim (Lanjutan)

Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Lanjutan pembahasan contoh-contoh mulhaq jama’ mudzakkar salimPada bagian ini, pembahasan akan dilanjutkan mengenai contoh-contoh isim yang tergolong mulhaq jama’ mudzakkar salim. Ibnu Hisyam memberikan beberapa contoh isim yang termasuk kategori ini.Pertama وَابَلُوْنَBentuk mufrad dari kata tersebut adalah وَابِلٌ. وَابِل berarti hujan deras. Kata ini termasuk mulhaq jama’ mudzakkar salim karena bukan ism ʿalam (kata benda nama diri), bukan juga sifah (sifat), meskipun memiliki bentuk mufrad dan kata ini juga merujuk pada sesuatu yang tidak berakal.Kedua, أَرَاضُونَBentuk mufrad dari kata ini adalah أَرْضٌ. Kata ini merupakan isim mu’annats majazi (kata feminin kiasan), bukan isim mudzakkar. Bentuk mufrad dan jama’ mengalami perubahan dalam huruf terakhirnya, yaitu pada bentuk mufrad huruf ر (rhaa) yang berharakat sukun; sedangkan pada bentuk jama’, huruf ر (rhaa) diberi harakat fathah.Secara kaidah, jama’ mudzakkar salim tidak boleh mengubah struktur lafadz mufradnya, baik dari segi harakat, penambahan, atau pengurangan huruf, kecuali penambahan huruf waw (و) dan nun (ن), atau yaa (ي) dan nun (ن) sesuai pola jama’ mudzakkar salim. Oleh karena itu, kata ini tidak termasuk kategori jama’ mudzakkar salim.Ketiga, سِنُونَBentuk mufrad dari kata terebut adalah سَنَةٌ. Kata ini bukan ism ʿalam, melainkan isim mu’annats yang berakhiran huruf taa marbuthah (ة), dan menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal. Kata ini tidak memenuhi syarat sebagai jama’ mudzakkar salim, walaupun secara bentuk hampir menyerupai jama’ mudzakkar salim karena berakhiran huruf waw (و) dan nun (ن).Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama’ mudzakkar salim. Pada bentuknya, kata سِنُونَ  marfu‘ dengan tanda waw, dan manshub serta majrur dengan tanda yaa (ي). Contohnya dalam kalimat:خَصِبَةٌ سِنُونٌ هٰذِهِ“Ini adalah tahun-tahun yang subur.”Pada kalimat tersebut, kata سِنُونٌ berstatus marfu‘ dan menjadi khabar dari هَذِهِ.Contoh lainya adalah:سِنِينَ عِنْدَهُ أَقَمْت“Saya tinggal bersamanya selama bertahun-tahun.”Pada kalimat di atas, kata سِنِينَ berfungsi sebagai maf‘ul fihi, yaitu keterangan waktu. Karena berfungsi sebagai maf‘ul fihi, maka kata tersebut berada dalam keadaan manshub (berharakat fathah atau tanda nasab), dan ditandai dengan yaa (ي) sebagai tanda nasab.Contoh lainya adalah:سِنِين خَمْسَ النَّحْو دَرَسْتُ“Saya belajar ilmu nahwu selama lima tahun.”Dalam kalimat di atas, kata سِنِينَ merupakan mudhaf ilaih dari angka خَمْس, yang berfungsi sebagai tamyiz dari kata خَمْس tersebut. Oleh karena itu, kata سِنِينَ  berkedudukan majrur tanda jar-nya juga berupa ya (ي).Ibnu Hisyam memberikan contoh yang masuk pada pembahasan yang sama dengan kata سِنِين. Kata yang termasuk dalam kelompok kata seperti سِنِينَ, yaitu kata-kata yang berasal dari isim tsulatsi yang huruf ketiganya (lam fi‘ilnya) dihilangkan. Contoh lainnya adalah:Pertama, سَنَةٌKata tersebut berasal dari bentuk dasar سَنَوٌ. Pada bentuk asli tersebut, huruf س adalah fa’ fi‘il, huruf ن adalah ‘ain fi‘il, dan huruf و adalah lam fi‘il. Namun, huruf و dihilangkan dan digantikan dengan huruf ة (ta’ ta’nis marbuthah), sehingga terbentuklah kata سَنَةٌ.Kata سَنَة tidak memiliki bentuk jama‘ taksir, melainkan di-jama’ taksir dengan pola jama‘ mudzakkar salim, yaitu سِنُونَ, meskipun kata ini tidak termasuk ‘aqil (berakal). Oleh karena itu, kata ini dikategorikan sebagai mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Selain itu, kata tersebut juga dapat di-jama’ dengan jama‘ mu’annats salim, yaitu: سَنَوَاتٌ.Kedua, إِضَةٌBentuk jama’ dari kata ini adalah إِضُونَ. Secara makna, kata ini tersebut mempunya arti كَذِبٍ (kebohongan) atau اِفْتِرَاءٍ (sesuatu yang dibuat-buat). Bentuk asal kata إِضُون adalah عِوَضٌ yang merupakan isim tsulatsi dengan huruf lam fi‘il-nya dihilangkan, lalu digantikan dengan huruf ة (ta’ marbuthah). Sama seperti sebelumnya, kata ini tidak memiliki bentuk jama‘ taksir.Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu pada:Surah Al-Hijr ayat 91:الَّذِيۡنَ جَعَلُوا الۡـقُرۡاٰنَ عِضِيۡنَ‏“Orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur’an itu terbagi-bagi.”Dalam ayat tersebut, bentuk jama’nya, yakni إِضِينَ, berfungsi sebagai maf‘ul tsani (kedua) dari fi‘il madhi جَعَل, dan kata ini berkedudukan manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Makna yang dimaksud dari kata إِضِين adalah bahwa kaum musyrik jahiliyyah memiliki berbagai tuduhan terhadap Al-Qur’an, seperti menyebutnya sebagai sihir, perdukunan, atau dongeng-dongeng orang terdahulu.Ketiga, عِزَةٌKata tersebut bermaknaفِرْقَةٌ مِنَ النَّاسِ  (sekelompok orang). Bentuk jama’nya adalah عِزُون. Contoh penggunaannya terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:Surah Al-Ma‘arij ayat 37:عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.”Kata عِزِين dalam ayat tersebut berfungsi sebagai hal manshub dengan tanda yaa (ي) karena termasuk dalam kategori mulhaq jama‘ mudzakkar salim. Maknanya menunjukkan bahwa mereka (kaum kafir) terbagi menjadi kelompok-kelompok, sebagian di sebelah kanan Rasul dan sebagian lainnya di sebelah kiri.[Bersambung]Kembali ke bagian 20***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Doa Mustajab Penghapus Dosa: Dibaca di Sujud atau Sebelum Salam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً

Doa Mustajab Penghapus Dosa: Dibaca di Sujud atau Sebelum Salam – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً


Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu berkata: Aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku doa yang dapat aku baca dalam shalatku.” Lalu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ucapkanlah: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini adalah wasiat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu ‘anhu, juga merupakan wasiat bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, wahai saudaraku Muslim dan Muslimah, apabila kamu sedang shalat, ketika tasyahud akhir, dan telah membaca bacaan tasyahud, lalu kamu bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla memohon kebaikan dunia dan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “…lalu hendaklah ia memilih doa yang paling disukainya.” Adapun di antara doa paling agung yang seharusnya dijaga oleh seorang Muslim, dalam setiap shalat yang ia kerjakan—baik shalat wajib maupun shalat sunnah—adalah doa ini. Kamu ucapkan: ALLAAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIRON WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIR LII MAGHFIROTAN MIN ‘INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR ROHIIMYa Allah, wahai Tuhanku! Sungguh aku telah banyak menzalimi diriku sendiri, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu,dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Doa ini diawali dengan pengakuan seorang hamba atas kezaliman yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. Yaitu dengan maksiat-maksiat yang dia kerjakan. Karena dengan melakukan maksiat, seseorang telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab dia telah mengedepankan syahwatnya yang sedang bergejolak, di sisi lain, dia melewatkan banyak kemaslahatan bagi dirinya dan menjerumuskan dirinya ke dalam ancaman siksa. Dengan demikian, dia telah menzalimi dirinya sendiri. “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku,” artinya: aku telah terjatuh dalam banyak dosa. “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” Ini merupakan pengakuan dari seorang hamba bahwa hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang dapat mengampuni dosa-dosa. Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta‘ālā: “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah…” “…lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” “Dan mereka tidak terus-menerus mengerjakan dosa itu, padahal mereka mengetahui.” (QS. Āli ‘Imrān: 135) Maka dalam doa ini kamu mengucapkan: “Tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” “Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu.” Kamu memohon ampunan kepada Allah. Ampunan itu kamu minta agar datang langsung dari sisi-Nya. Maksudnya: ampunan yang besar dan luas, karena datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta‘ālā adalah Al-Ghafūr dan Al-Ghaffār (Maha Pengampun), serta Maha Luas ampunan-Nya. “Rahmatilah aku.” Kamu memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan rahmat-Nya kepadamu, serta mengaruniakan kasih sayang dari sisi-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini adalah doa agung yang hendaknya senantiasa dibaca oleh seorang Muslim dalam setiap shalat yang dia kerjakan, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. ===== جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ هَذَا الدُّعَاءُ أَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهِيَ وَصِيَّةٌ لِلْأُمَّةِ جَمِيعًا فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ وَأُخْتِي الْمُسْلِمَةَ إِذَا كُنْتَ فِي صَلَاتِكَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ أَتَيْتَ بِالتَّشَهُّدِ ثُمَّ أَتَيْتَ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِمَا يَحْضُرُكَ مِنْ خَيْرَي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لِيَتَخَيَّر مِنَ الدُّعَاءِ مَا أَعْجَبَهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً هَذَا الدُّعَاءُ الْعَظِيمُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ يَبْتَدِئُ أَوَّلًا بِأَنْ يُظْهِرَ الْعَبْدُ ظُلْمَهُ لِنَفْسِهِ وَذَلِكَ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِي فَإِنَّ الْإِنْسَانَ بِارْتِكَابِهِ الْمَعْصِيَةَ يَكُونَ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لِكَوْنِهِ قَدْ قَدَّمَ لَهَا شَهْوَةً حَاضِرَةً مُقَابِلَ تَفْوِيتِهَا مَصَالِحَ عَظِيمَةً وَمُقَابِلَ تَعْرِيضِهَا لِلْعُقُوبَةِ فَهُوَ بِهَذَا يَكُونُ قَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا يَعْنِي وَقَعْتُ فِي ذُنُوبٍ كَثِيرَةٍ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ هَذَا إِقْرَارٌ مِنَ الْعَبْدِ بِأَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ فَتَقُولُ وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ تَسْأَلُ اللَّهَ الْمَغْفِرَةَ وَهَذِهِ الْمَغْفِرَةُ تَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَكُونَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِهِ يَعْنِي مَغْفِرَةً عَظِيمَةً وَاسِعَةً لِأَنَّهَا مَغْفِرَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ تَعَالَى هُوَ الْغَفُورُ الْغَفَّارُ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ وَارْحَمْنِي تَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَكَ وَأَنْ يَهَبَ لَكَ رَحْمَةً مِنْ لَدُنْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ فَهَذَا الدُّعَاءُ دُعَاءٌ عَظِيمٌ يَنْبَغِي أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ يُصَلِّيهَا فَرِيضَةً كَانَتْ أَوْ نَافِلَةً

Tidak Setiap yang Dibenci Itu Buruk

Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Tidak Setiap yang Dibenci Itu Buruk

Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.
Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.


Daftar Isi ToggleBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaAda hikmah di balik lukaKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaBoleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kitaHidup di dunia ini tak selalu dihiasi dengan keindahan. Ada kalanya kita harus menapaki jalan yang terjal dan beban yang terasa berat untuk ditanggung. Kita pernah gagal dalam rencana yang kita susun rapi. Pernah berharap, tapi tak kunjung tercapai. Pernah mencintai, lalu kehilangan. Pernah mencoba bertahan, tapi tetap dihimpit oleh kesulitan yang tak kunjung reda.Naluri manusia akan tergesa-gesa menyimpulkan: “Ini buruk. Ini tidak adil.” Karena manusia memang ingin segalanya berjalan mulus, indah, dan sesuai harapan. Namun, Allah -dengan cinta dan hikmah-Nya yang tak terbatas- melihat segalanya dari sudut pandang yang lebih luas.Allah Ta’ala berfirman,وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)Ayat ini turun terkait perintah jihad dan saat itu para sahabat berat untuk melaksanakannya karena akan menimbulkan keletihan, kehilangan harta, bahkan nyawa mereka. Meskipun demikian, jihad itu “murni kebaikan” yang mengandung pahala besar, kematian yang syahid, perlindungan dari penindasan, kemerdekaan, dan hasil duniawi (ghanimah). (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 87)Dalam ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)Ayat kedua ini turun berkaitan dengan hubungan dalam rumah tangga. Tatkala ada seorang suami yang tidak suka dengan istrinya dalam salah satu atau beberapa sifat dan kebiasaan istrinya (kurang cantik, kurang menjaga kebersihan, kurang rajin, dan semisalnya), akan tetapi bisa jadi Allah akan limpahkan karunia yang banyak dari istrinya. Bisa jadi dari rahimnya akan lahir anak-anak saleh yang menjadi kebanggaan baginya di dunia dan akhirat.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri). Jika si pria tidak menyukai satu akhlak pada si wanita, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR. Muslim, no. 1469)Jika seseorang mendapati pada istrinya hal yang tidak ia sukai dan ia benci, selama ia tidak melakukan perbuatan fahisyah (zina) dan nusyuz (pembangkangan), bersabarlah terhadap gangguannya dan tetaplah berbuat adil kepadanya karena bisa jadi seperti itu lebih baik baginya. (Lihat Ahkam Al-Qur’an, 1: 487)Al-Ghazali rahimahullah berkata,الصَّبْرُ عَلَى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الأَوْلِيَاءُ“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya’ Ulum Ad-Diin, 2: 38)Ada hikmah di balik lukaDua ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 216 dan QS. An-Nisa: 19) menggambarkan dua aspek kehidupan yang sangat berbeda, namun sama-sama mengandung ujian: ayat pertama berbicara tentang jihad di jalan Allah, sementara ayat kedua menyentuh tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga.Dalam jihad, yang terasa berat adalah ujian fisik (rasa sakit, luka, bahkan kematian). Sedangkan dalam rumah tangga, yang menyakitkan sering kali bersifat batiniah (perasaan kecewa dan ekspektasi yang tidak terpenuhi). Namun, Allah mengingatkan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita benci justru menyimpan kebaikan yang belum kita pahami.Kedua ayat tersebut mengajarkan kita bahwa di balik rasa sakit fisik maupun luka emosional, ada pelajaran yang mematangkan jiwa, ada hikmah yang memperindah hidup, dan ada mahabbah Allah yang senantiasa menyertai setiap langkah hamba-Nya yang bersabar.Allah yang Maha Mengetahui hendak menyampaikan pesan yang sama dalam kedua firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” Kadang, yang pahit di awal adalah jalan menuju manisnya akhir. Kadang, air mata hari ini menjadi alasan senyum di masa depan.Baca juga: Cinta dan Benci Dalam IslamKisah nyata kebijaksanaan Allah terhadap para hamba-NyaSalah satu kisah nyata tentang kebijaksanaan Allah yang agung terhadap hamba-Nya adalah kisah Ibu Nabi Musa, yang hidup di masa kekuasaan Fir’aun. Saking takutnya Fir’aun akan kehilangan kekuasaannya, ia memerintahkan bala tentaranya agar setiap bayi laki-laki yang lahir untuk disembelih.Karena Ibu Nabi Musa takut dan khawatir akan nasib putranya, maka Allah ilhamkan kepadanya agar ia menghanyutkan Nabi Musa ke sungai. Bukankah yang paling ditakutkan Ibu Nabi Musa putranya jatuh ke tangan Fir’aun? Tetapi itulah yang terjadi, putranya terdampar di istana Fir’aun dan ia dirawat penuh kasih oleh istri Fir’aun.Tatkala dicarikan dan diadakan sayembara menyusui Nabi Musa, tidak ada satu pun yang dipilih (disukai) Nabi Musa kecuali Ibunya sendiri. Maka akhirnya Ibunya tinggal bersama Nabi Musa dalam keadaan aman dalam istana Fir’aun.Allah mengembalikan sang anak ke pangkuan ibunya dengan cara yang tak pernah terbayangkan, yang awalnya menjadi tempat paling berbahaya dan ditakuti, justru menjadi tempat yang paling aman.Lihatlah bagaimana ketika Allah menakdirkan sesuatu yang awalnya terlihat tidak disukai manusia, tetapi ada kebaikan besar di baliknya. Allah Ta’ala berfirman,وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia; dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)Tak semua yang menyakitkan itu buruk dan tak semua yang indah itu baik. Ukuran terbaik adalah apa yang Allah pilihkan dan tetapkan.Apa yang kita anggap musibah, bisa jadi adalah penjagaan dari keburukan. Apa yang terasa menyakitkan, bisa jadi adalah jalan menuju kebaikan yang lebih besar. Karena Allah, dengan segala kelembutan-Nya, tidak pernah keliru dalam menakar.Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat untuk kita semua.اللهم اجعلنا من الصابرين، وارضنا بما قسمت لنا، وبارك لنا في كل حال“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar, rida dengan segala ketetapan-Mu, dan berkahilah kami dalam setiap keadaan.”Baca juga: Musibah untuk Muhasabah***Penulis: Arif Muhammad NurwijayaArtikel Muslim.or.id Referensi:Qawaa’id Qur’aniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.

Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah

Daftar Isi ToggleAdab tertawaJangan terlalu banyak tertawaJangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaJangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamTertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTertawa merupakan salah satu sifat manusia yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan, keakraban, dan semisalnya. Setiap orang tentu pernah tertawa, termasuk juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga tersenyum, tertawa, bahkan bercanda. Lalu bagaimana tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?Sebagai seorang muslim, tentunya Rasulullah merupakan individu yang kita jadikan teladan di setiap keadaan. Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tertawa, lalu apakah kita pernah bertanya-tanya bagaimana tertawanya Rasulullah? Seberapa sering beliau tertawa? Mari kita cari tahu lebih lanjut mengenai cara tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa lebih mengenal beliau dan meniru kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Adab tertawaSebelum kita membahas bagaimana tertawanya Rasulullah, kita lebih dulu membahas adakah tuntunan atau aturan tertentu dalam Islam mengenai tertawa? Dalam Islam, tentu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam tertawa, di antaranya adalah:Jangan terlalu banyak tertawaTerlalu banyak tertawa akan mematikan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ“Janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)Jangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaTertawa harus pada tempatnya jangan sampai tertawa di waktu dan tempat yang tidak pantas untuk tertawa. Allah Ta’ala berkata pada orang-orang kafir yang menertawakan berita tentang hari akhir,وَتَضْحَكُوْنَ وَلَا تَبْكُوْنَۙ“Kalian menertawakan dan kalian tidak menangisi(nya).” (QS. An-Najm : 60)Jangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamJangan sampai kita menertawakan perkara-perkara yang diagungkan dalam Islam, seperti syariat, Al-Qur’an, Rasul, dan semisalnya; karena hal tersebut bukan bahan tertawaan dan candaan. Menertawakan hal tersebut juga bisa berakibat fatal bahkan sampai mengeluarkan dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ“Apakah dengan ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Janganlah kalian meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 64-65)Tertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamSetelah kita ketahui beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika tertawa, lalu bagaimana tertawanya Rasulullah? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin menyebutkan dalam kitab Syarah Syamail Nabi,كان هديه في الضحك وسطا كسائر أموره، جُل ضحكه التّبسم، وإذاضحك بصوت لا يكون قهقهة، وإنما هو صوت يسمعه القريب دون البعيد“Adapun kebiasaan Nabi ketika tertawa adalah pertengahan sebagaimana dalam semua urusannya. Sebagian besar tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Apabila beliau tertawa dengan bersuara, maka tidak dengan suara yang terbahak-bahak, melainkan dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang dekat, tidak oleh orang yang jauh.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pribadi yang murah senyum dan mayoritas tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Akan tetapi, beliau tidaklah tertawa hingga terbahak-bahak. Di antara hadis yang menyebutkan beliau sering tersenyum adalah,ما رأيتُ أحدًا أَكثرَ تبسُّمًا من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّم“Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Juga hadis dari Jarir bin Abdullah, beliau berkata,ما حجبني رسول الله صلى الله عليه وسلم منذ أسلمت، ولا رآني إلا ضحك“Tidak ada yang menghalangiku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam. Tidaklah beliau melihatku kecuali beliau tertawa (tersenyum).” (HR. Tirmidzi)Dari hadis-hadis di atas, kita bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang murah senyum. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin berkata,فيه بيان كثرة تبسم رسول الله ، وإنما كان كذلك لكمال خُلقه وتواضعه وحسن معاشرته للنَّاس، فكان الله يلقى النَّاس بوجه مشرقِ طليق متبسم“Di dalamnya ada penjelasan tentang banyaknya Rasulullah tersenyum. Sesungguhnya hal tersebut karena kesempurnaan akhlak, ke-tawadhu’-an, dan baiknya pergaulan beliau dengan manusia. Beliau selalu bertemu dengan orang-orang dengan wajah yang cerah dan ramah sambil tersenyum.”Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim juga sebaiknya meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya seorang muslim murah senyum. Jangan sampai kita dikenal dengan pribadi yang seram, jarang senyum, dan tidak ramah; padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang merupakan manusia teladan bagi kaum muslimin- merupakan pribadi yang murah senyum.Tersenyum juga merupkan suatu amalan yang berpahala sebagaimana hadis dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ“Tersenyumnya dirimu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)Selain tertawa dengan cara tersenyum, Rasulullah juga terkadang tertawa bukan sekedar tersenyum. Beliau pernah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya pada beberapa keadaan. Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إني لأعلم آخر أهل الجنة دخولا الجنة وآخر أهل النار خروجا منها رجل يؤتى به يوم القيامة فيقال اعرضوا عليه صغار ذنوبه وارفعوا عنه كبارها فتعرض عليه صغار ذنوبه فيقال عملت يوم كذا وكذا كذا وكذا وعملت يوم كذا وكذا كذا وكذا فيقول نعم لا يستطيع أن ينكر وهو مشفق من كبار ذنوبه أن تعرض عليه فيقال له فإن لك مكان كل سيئة حسنة فيقول رب قد عملت أشياء لا أراها ها هنا فلقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحك حتى بدت نواجذه“Sesungguhnya aku mengetahui penduduk surga yang terakhir kali masuk dan penduduk neraka yang terakhir kali keluar darinya, yaitu seorang laki-laki yang didatangkan pada hari kiamat (ke hadapan Rabb), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan hapuskan dosa-dosanya yang besar.’ Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada suatu hari.’ Lalu dia menjawab, ‘Ya.’Dia tidak bisa mengingkari dan dia meminta belas kasihan dari dosa-dosa besarnya untuk diungkapkan atasnya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu mendapatkan tempat kejelekan menjadi kebaikan.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah melakukan sesuatu yang aku tidak melihatnya dalam catatan amal di sini.’Abu Dzar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” (HR. Muslim)Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis di atas adalah karena beliau menghayati keagungan dan anugerah Allah yang memberikan kasih sayang kepada hamba-Nya.Itulah sekilas tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Wajah beliau selalu tersenyum ketika berjumpa orang lain. Beliau juga tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya pada sebab-sebab tertentu yang berfaidah.Baca juga: Terlalu Banyak Tertawa Mengeraskan Hati***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.https://www.alukah.net/sharia/0/134518/

Bagaimana Rasulullah Tertawa? Inilah Tertawa yang Dicontohkan oleh Rasulullah

Daftar Isi ToggleAdab tertawaJangan terlalu banyak tertawaJangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaJangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamTertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTertawa merupakan salah satu sifat manusia yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan, keakraban, dan semisalnya. Setiap orang tentu pernah tertawa, termasuk juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga tersenyum, tertawa, bahkan bercanda. Lalu bagaimana tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?Sebagai seorang muslim, tentunya Rasulullah merupakan individu yang kita jadikan teladan di setiap keadaan. Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tertawa, lalu apakah kita pernah bertanya-tanya bagaimana tertawanya Rasulullah? Seberapa sering beliau tertawa? Mari kita cari tahu lebih lanjut mengenai cara tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa lebih mengenal beliau dan meniru kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Adab tertawaSebelum kita membahas bagaimana tertawanya Rasulullah, kita lebih dulu membahas adakah tuntunan atau aturan tertentu dalam Islam mengenai tertawa? Dalam Islam, tentu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam tertawa, di antaranya adalah:Jangan terlalu banyak tertawaTerlalu banyak tertawa akan mematikan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ“Janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)Jangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaTertawa harus pada tempatnya jangan sampai tertawa di waktu dan tempat yang tidak pantas untuk tertawa. Allah Ta’ala berkata pada orang-orang kafir yang menertawakan berita tentang hari akhir,وَتَضْحَكُوْنَ وَلَا تَبْكُوْنَۙ“Kalian menertawakan dan kalian tidak menangisi(nya).” (QS. An-Najm : 60)Jangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamJangan sampai kita menertawakan perkara-perkara yang diagungkan dalam Islam, seperti syariat, Al-Qur’an, Rasul, dan semisalnya; karena hal tersebut bukan bahan tertawaan dan candaan. Menertawakan hal tersebut juga bisa berakibat fatal bahkan sampai mengeluarkan dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ“Apakah dengan ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Janganlah kalian meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 64-65)Tertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamSetelah kita ketahui beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika tertawa, lalu bagaimana tertawanya Rasulullah? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin menyebutkan dalam kitab Syarah Syamail Nabi,كان هديه في الضحك وسطا كسائر أموره، جُل ضحكه التّبسم، وإذاضحك بصوت لا يكون قهقهة، وإنما هو صوت يسمعه القريب دون البعيد“Adapun kebiasaan Nabi ketika tertawa adalah pertengahan sebagaimana dalam semua urusannya. Sebagian besar tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Apabila beliau tertawa dengan bersuara, maka tidak dengan suara yang terbahak-bahak, melainkan dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang dekat, tidak oleh orang yang jauh.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pribadi yang murah senyum dan mayoritas tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Akan tetapi, beliau tidaklah tertawa hingga terbahak-bahak. Di antara hadis yang menyebutkan beliau sering tersenyum adalah,ما رأيتُ أحدًا أَكثرَ تبسُّمًا من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّم“Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Juga hadis dari Jarir bin Abdullah, beliau berkata,ما حجبني رسول الله صلى الله عليه وسلم منذ أسلمت، ولا رآني إلا ضحك“Tidak ada yang menghalangiku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam. Tidaklah beliau melihatku kecuali beliau tertawa (tersenyum).” (HR. Tirmidzi)Dari hadis-hadis di atas, kita bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang murah senyum. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin berkata,فيه بيان كثرة تبسم رسول الله ، وإنما كان كذلك لكمال خُلقه وتواضعه وحسن معاشرته للنَّاس، فكان الله يلقى النَّاس بوجه مشرقِ طليق متبسم“Di dalamnya ada penjelasan tentang banyaknya Rasulullah tersenyum. Sesungguhnya hal tersebut karena kesempurnaan akhlak, ke-tawadhu’-an, dan baiknya pergaulan beliau dengan manusia. Beliau selalu bertemu dengan orang-orang dengan wajah yang cerah dan ramah sambil tersenyum.”Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim juga sebaiknya meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya seorang muslim murah senyum. Jangan sampai kita dikenal dengan pribadi yang seram, jarang senyum, dan tidak ramah; padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang merupakan manusia teladan bagi kaum muslimin- merupakan pribadi yang murah senyum.Tersenyum juga merupkan suatu amalan yang berpahala sebagaimana hadis dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ“Tersenyumnya dirimu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)Selain tertawa dengan cara tersenyum, Rasulullah juga terkadang tertawa bukan sekedar tersenyum. Beliau pernah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya pada beberapa keadaan. Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إني لأعلم آخر أهل الجنة دخولا الجنة وآخر أهل النار خروجا منها رجل يؤتى به يوم القيامة فيقال اعرضوا عليه صغار ذنوبه وارفعوا عنه كبارها فتعرض عليه صغار ذنوبه فيقال عملت يوم كذا وكذا كذا وكذا وعملت يوم كذا وكذا كذا وكذا فيقول نعم لا يستطيع أن ينكر وهو مشفق من كبار ذنوبه أن تعرض عليه فيقال له فإن لك مكان كل سيئة حسنة فيقول رب قد عملت أشياء لا أراها ها هنا فلقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحك حتى بدت نواجذه“Sesungguhnya aku mengetahui penduduk surga yang terakhir kali masuk dan penduduk neraka yang terakhir kali keluar darinya, yaitu seorang laki-laki yang didatangkan pada hari kiamat (ke hadapan Rabb), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan hapuskan dosa-dosanya yang besar.’ Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada suatu hari.’ Lalu dia menjawab, ‘Ya.’Dia tidak bisa mengingkari dan dia meminta belas kasihan dari dosa-dosa besarnya untuk diungkapkan atasnya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu mendapatkan tempat kejelekan menjadi kebaikan.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah melakukan sesuatu yang aku tidak melihatnya dalam catatan amal di sini.’Abu Dzar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” (HR. Muslim)Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis di atas adalah karena beliau menghayati keagungan dan anugerah Allah yang memberikan kasih sayang kepada hamba-Nya.Itulah sekilas tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Wajah beliau selalu tersenyum ketika berjumpa orang lain. Beliau juga tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya pada sebab-sebab tertentu yang berfaidah.Baca juga: Terlalu Banyak Tertawa Mengeraskan Hati***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.https://www.alukah.net/sharia/0/134518/
Daftar Isi ToggleAdab tertawaJangan terlalu banyak tertawaJangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaJangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamTertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTertawa merupakan salah satu sifat manusia yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan, keakraban, dan semisalnya. Setiap orang tentu pernah tertawa, termasuk juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga tersenyum, tertawa, bahkan bercanda. Lalu bagaimana tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?Sebagai seorang muslim, tentunya Rasulullah merupakan individu yang kita jadikan teladan di setiap keadaan. Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tertawa, lalu apakah kita pernah bertanya-tanya bagaimana tertawanya Rasulullah? Seberapa sering beliau tertawa? Mari kita cari tahu lebih lanjut mengenai cara tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa lebih mengenal beliau dan meniru kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Adab tertawaSebelum kita membahas bagaimana tertawanya Rasulullah, kita lebih dulu membahas adakah tuntunan atau aturan tertentu dalam Islam mengenai tertawa? Dalam Islam, tentu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam tertawa, di antaranya adalah:Jangan terlalu banyak tertawaTerlalu banyak tertawa akan mematikan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ“Janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)Jangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaTertawa harus pada tempatnya jangan sampai tertawa di waktu dan tempat yang tidak pantas untuk tertawa. Allah Ta’ala berkata pada orang-orang kafir yang menertawakan berita tentang hari akhir,وَتَضْحَكُوْنَ وَلَا تَبْكُوْنَۙ“Kalian menertawakan dan kalian tidak menangisi(nya).” (QS. An-Najm : 60)Jangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamJangan sampai kita menertawakan perkara-perkara yang diagungkan dalam Islam, seperti syariat, Al-Qur’an, Rasul, dan semisalnya; karena hal tersebut bukan bahan tertawaan dan candaan. Menertawakan hal tersebut juga bisa berakibat fatal bahkan sampai mengeluarkan dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ“Apakah dengan ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Janganlah kalian meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 64-65)Tertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamSetelah kita ketahui beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika tertawa, lalu bagaimana tertawanya Rasulullah? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin menyebutkan dalam kitab Syarah Syamail Nabi,كان هديه في الضحك وسطا كسائر أموره، جُل ضحكه التّبسم، وإذاضحك بصوت لا يكون قهقهة، وإنما هو صوت يسمعه القريب دون البعيد“Adapun kebiasaan Nabi ketika tertawa adalah pertengahan sebagaimana dalam semua urusannya. Sebagian besar tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Apabila beliau tertawa dengan bersuara, maka tidak dengan suara yang terbahak-bahak, melainkan dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang dekat, tidak oleh orang yang jauh.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pribadi yang murah senyum dan mayoritas tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Akan tetapi, beliau tidaklah tertawa hingga terbahak-bahak. Di antara hadis yang menyebutkan beliau sering tersenyum adalah,ما رأيتُ أحدًا أَكثرَ تبسُّمًا من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّم“Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Juga hadis dari Jarir bin Abdullah, beliau berkata,ما حجبني رسول الله صلى الله عليه وسلم منذ أسلمت، ولا رآني إلا ضحك“Tidak ada yang menghalangiku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam. Tidaklah beliau melihatku kecuali beliau tertawa (tersenyum).” (HR. Tirmidzi)Dari hadis-hadis di atas, kita bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang murah senyum. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin berkata,فيه بيان كثرة تبسم رسول الله ، وإنما كان كذلك لكمال خُلقه وتواضعه وحسن معاشرته للنَّاس، فكان الله يلقى النَّاس بوجه مشرقِ طليق متبسم“Di dalamnya ada penjelasan tentang banyaknya Rasulullah tersenyum. Sesungguhnya hal tersebut karena kesempurnaan akhlak, ke-tawadhu’-an, dan baiknya pergaulan beliau dengan manusia. Beliau selalu bertemu dengan orang-orang dengan wajah yang cerah dan ramah sambil tersenyum.”Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim juga sebaiknya meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya seorang muslim murah senyum. Jangan sampai kita dikenal dengan pribadi yang seram, jarang senyum, dan tidak ramah; padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang merupakan manusia teladan bagi kaum muslimin- merupakan pribadi yang murah senyum.Tersenyum juga merupkan suatu amalan yang berpahala sebagaimana hadis dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ“Tersenyumnya dirimu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)Selain tertawa dengan cara tersenyum, Rasulullah juga terkadang tertawa bukan sekedar tersenyum. Beliau pernah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya pada beberapa keadaan. Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إني لأعلم آخر أهل الجنة دخولا الجنة وآخر أهل النار خروجا منها رجل يؤتى به يوم القيامة فيقال اعرضوا عليه صغار ذنوبه وارفعوا عنه كبارها فتعرض عليه صغار ذنوبه فيقال عملت يوم كذا وكذا كذا وكذا وعملت يوم كذا وكذا كذا وكذا فيقول نعم لا يستطيع أن ينكر وهو مشفق من كبار ذنوبه أن تعرض عليه فيقال له فإن لك مكان كل سيئة حسنة فيقول رب قد عملت أشياء لا أراها ها هنا فلقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحك حتى بدت نواجذه“Sesungguhnya aku mengetahui penduduk surga yang terakhir kali masuk dan penduduk neraka yang terakhir kali keluar darinya, yaitu seorang laki-laki yang didatangkan pada hari kiamat (ke hadapan Rabb), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan hapuskan dosa-dosanya yang besar.’ Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada suatu hari.’ Lalu dia menjawab, ‘Ya.’Dia tidak bisa mengingkari dan dia meminta belas kasihan dari dosa-dosa besarnya untuk diungkapkan atasnya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu mendapatkan tempat kejelekan menjadi kebaikan.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah melakukan sesuatu yang aku tidak melihatnya dalam catatan amal di sini.’Abu Dzar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” (HR. Muslim)Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis di atas adalah karena beliau menghayati keagungan dan anugerah Allah yang memberikan kasih sayang kepada hamba-Nya.Itulah sekilas tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Wajah beliau selalu tersenyum ketika berjumpa orang lain. Beliau juga tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya pada sebab-sebab tertentu yang berfaidah.Baca juga: Terlalu Banyak Tertawa Mengeraskan Hati***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.https://www.alukah.net/sharia/0/134518/


Daftar Isi ToggleAdab tertawaJangan terlalu banyak tertawaJangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaJangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamTertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTertawa merupakan salah satu sifat manusia yang biasa dilakukan untuk mengekspresikan kebahagiaan, keakraban, dan semisalnya. Setiap orang tentu pernah tertawa, termasuk juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga tersenyum, tertawa, bahkan bercanda. Lalu bagaimana tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?Sebagai seorang muslim, tentunya Rasulullah merupakan individu yang kita jadikan teladan di setiap keadaan. Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tertawa, lalu apakah kita pernah bertanya-tanya bagaimana tertawanya Rasulullah? Seberapa sering beliau tertawa? Mari kita cari tahu lebih lanjut mengenai cara tertawanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa lebih mengenal beliau dan meniru kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Adab tertawaSebelum kita membahas bagaimana tertawanya Rasulullah, kita lebih dulu membahas adakah tuntunan atau aturan tertentu dalam Islam mengenai tertawa? Dalam Islam, tentu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam tertawa, di antaranya adalah:Jangan terlalu banyak tertawaTerlalu banyak tertawa akan mematikan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ“Janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)Jangan tertawa pada hal yang bukan tempatnyaTertawa harus pada tempatnya jangan sampai tertawa di waktu dan tempat yang tidak pantas untuk tertawa. Allah Ta’ala berkata pada orang-orang kafir yang menertawakan berita tentang hari akhir,وَتَضْحَكُوْنَ وَلَا تَبْكُوْنَۙ“Kalian menertawakan dan kalian tidak menangisi(nya).” (QS. An-Najm : 60)Jangan menertawakan hal-hal yang diagungkan dalam agama IslamJangan sampai kita menertawakan perkara-perkara yang diagungkan dalam Islam, seperti syariat, Al-Qur’an, Rasul, dan semisalnya; karena hal tersebut bukan bahan tertawaan dan candaan. Menertawakan hal tersebut juga bisa berakibat fatal bahkan sampai mengeluarkan dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ“Apakah dengan ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Janganlah kalian meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 64-65)Tertawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamSetelah kita ketahui beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika tertawa, lalu bagaimana tertawanya Rasulullah? Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin menyebutkan dalam kitab Syarah Syamail Nabi,كان هديه في الضحك وسطا كسائر أموره، جُل ضحكه التّبسم، وإذاضحك بصوت لا يكون قهقهة، وإنما هو صوت يسمعه القريب دون البعيد“Adapun kebiasaan Nabi ketika tertawa adalah pertengahan sebagaimana dalam semua urusannya. Sebagian besar tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Apabila beliau tertawa dengan bersuara, maka tidak dengan suara yang terbahak-bahak, melainkan dengan suara yang dapat didengar oleh orang yang dekat, tidak oleh orang yang jauh.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pribadi yang murah senyum dan mayoritas tertawa beliau adalah dengan tersenyum. Akan tetapi, beliau tidaklah tertawa hingga terbahak-bahak. Di antara hadis yang menyebutkan beliau sering tersenyum adalah,ما رأيتُ أحدًا أَكثرَ تبسُّمًا من رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّم“Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak tersenyum selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi)Juga hadis dari Jarir bin Abdullah, beliau berkata,ما حجبني رسول الله صلى الله عليه وسلم منذ أسلمت، ولا رآني إلا ضحك“Tidak ada yang menghalangiku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam. Tidaklah beliau melihatku kecuali beliau tertawa (tersenyum).” (HR. Tirmidzi)Dari hadis-hadis di atas, kita bisa kita simpulkan bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang murah senyum. Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin berkata,فيه بيان كثرة تبسم رسول الله ، وإنما كان كذلك لكمال خُلقه وتواضعه وحسن معاشرته للنَّاس، فكان الله يلقى النَّاس بوجه مشرقِ طليق متبسم“Di dalamnya ada penjelasan tentang banyaknya Rasulullah tersenyum. Sesungguhnya hal tersebut karena kesempurnaan akhlak, ke-tawadhu’-an, dan baiknya pergaulan beliau dengan manusia. Beliau selalu bertemu dengan orang-orang dengan wajah yang cerah dan ramah sambil tersenyum.”Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim juga sebaiknya meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya seorang muslim murah senyum. Jangan sampai kita dikenal dengan pribadi yang seram, jarang senyum, dan tidak ramah; padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang merupakan manusia teladan bagi kaum muslimin- merupakan pribadi yang murah senyum.Tersenyum juga merupkan suatu amalan yang berpahala sebagaimana hadis dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ“Tersenyumnya dirimu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)Selain tertawa dengan cara tersenyum, Rasulullah juga terkadang tertawa bukan sekedar tersenyum. Beliau pernah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya pada beberapa keadaan. Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إني لأعلم آخر أهل الجنة دخولا الجنة وآخر أهل النار خروجا منها رجل يؤتى به يوم القيامة فيقال اعرضوا عليه صغار ذنوبه وارفعوا عنه كبارها فتعرض عليه صغار ذنوبه فيقال عملت يوم كذا وكذا كذا وكذا وعملت يوم كذا وكذا كذا وكذا فيقول نعم لا يستطيع أن ينكر وهو مشفق من كبار ذنوبه أن تعرض عليه فيقال له فإن لك مكان كل سيئة حسنة فيقول رب قد عملت أشياء لا أراها ها هنا فلقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحك حتى بدت نواجذه“Sesungguhnya aku mengetahui penduduk surga yang terakhir kali masuk dan penduduk neraka yang terakhir kali keluar darinya, yaitu seorang laki-laki yang didatangkan pada hari kiamat (ke hadapan Rabb), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tampakkanlah kepadanya dosa-dosanya yang kecil dan hapuskan dosa-dosanya yang besar.’ Lalu ditampakkanlah dosa-dosanya yang kecil. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian. Dan kamu telah melakukan demikian, demikian, dan demikian pada suatu hari.’ Lalu dia menjawab, ‘Ya.’Dia tidak bisa mengingkari dan dia meminta belas kasihan dari dosa-dosa besarnya untuk diungkapkan atasnya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu mendapatkan tempat kejelekan menjadi kebaikan.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Rabbku, sungguh aku telah melakukan sesuatu yang aku tidak melihatnya dalam catatan amal di sini.’Abu Dzar berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” (HR. Muslim)Tertawanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis di atas adalah karena beliau menghayati keagungan dan anugerah Allah yang memberikan kasih sayang kepada hamba-Nya.Itulah sekilas tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Wajah beliau selalu tersenyum ketika berjumpa orang lain. Beliau juga tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya pada sebab-sebab tertentu yang berfaidah.Baca juga: Terlalu Banyak Tertawa Mengeraskan Hati***Penulis: Firdian IkhwansyahArtikel Muslim.or.id Referensi:Kitab Syarah Syamail Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.https://www.alukah.net/sharia/0/134518/
Prev     Next