Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.
Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.


Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ
Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ


Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Teks Khotbah Jumat: Nasihat Tauhid di Penghujung Tahun

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Nasihat Tauhid di Penghujung Tahun

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Bagaimanakah Tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net

Bagaimanakah Tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net
Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net


Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ
Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ


Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Larangan Bernapas dan Meniup ke Dalam Wadah Makanan atau Minuman

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minumanKandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Teks Hadis Dari sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ “Jika salah seorang di antara kalian minum, maka jangan bernapas di dalam wadah.” (HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267) Dalam redaksi Abu Dawud, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya, terdapat tambahan, أوَ يُنْفَخَ فِيهِ “Atau meniup ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 3728 dan Tirmidzi no. 1889, dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minuman Hadis ini merupakan dalil larangan untuk bernapas ke dalam wadah berisi minuman. Yang dianjurkan adalah bernapas di luar wadah makanan/minuman, yaitu dengan menjauhkan gelas dari mulut dan bernapas di luarnya. Larangan ini karena terdapat tiga mudarat dari perbuatan tersebut, yaitu: Pertama: bernapas ke dalam wadah makanan/minuman akan mengotori makanan atau minuman tersebut untuk orang yang akan datang setelahnya. Karena dikhawatirkan ketika dia bernapas, ada sesuatu (kotoran) yang jatuh dari mulut atau hidungnya. Kedua: napas seseorang terkadang mengandung penyakit yang akan mencemari (mengkontaminasi) makanan atau minuman tersebut. Ketiga: dikhawatirkan seseorang bisa tersedak. Karena ketika minum, air akan mengalir turun, sementara napasnya bergerak naik. Ketika keduanya bertemu, seseorang bisa tersedak, dan air liur dapat jatuh ke dalam wadah. Semua ini bertentangan dengan adab ketika makan. Yang dianjurkan adalah ketika seseorang minum, ia tidak minum dalam satu tarikan napas, tetapi dalam dua atau tiga tarikan napas, dengan menjauhkan gelas dari mulutnya di setiap tarikan napasnya. Hal ini lebih ringan bagi perut, lebih baik untuk menghilangkan dahaga, lebih sopan, dan tidak mirip perilaku orang yang rakus. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا، وَيَقُولُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernapas tiga kali dalam minumannya dan bersabda, “Itu lebih menyegarkan (lebih menghilangkan dahaga), lebih menyembuhkan [1], dan lebih mengenyangkan (lebih ringan bagi perut).” Anas berkata, “Maka aku juga bernapas tiga kali setiap kali minum.” (HR. Muslim no. 2028) Yang dimaksud “bernapas tiga kali dalam minumannya” bukanlah bernapas ke dalam wadah minuman ketika minum. Maksud hadis bukan demikian, sesuai dengan redaksi lanjutan hadis di atas, “Itu lebih menyegarkan, lebih menyembuhkan, dan lebih mengenyangkan.” Sehingga maksudnya adalah beliau bernapas tiga kali ketika minum atau tidak minum dalam satu kali tarikan napas. Baca juga: Hukum Mengkonsumsi Ular untuk Makanan dan Pengobatan Kandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan adanya larangan untuk meniup ke dalam wadah makanan atau minuman. Hal ini untuk melindungi makanan atau minuman tersebut dari tercemar atau terkotori sebagai akibat dari napas orang yang meniup, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada rasa makanan tersebut. Lebih-lebih lagi jika si yang meniup memiliki bau mulut, baik karena makanan yang telah dimakannya, atau jika dia tidak biasa bersiwak, atau karena napasnya dipengaruhi oleh uap dari perutnya. Larangan untuk meniup ini, menurut pendapat mayoritas (jumhur) ulama, hanya berlaku ketika seseorang makan atau minum bersama orang lain. Adapun jika dia makan sendirian, atau bersama keluarganya, atau dengan orang yang diyakini tidak akan ada sesuatu yang kotor darinya, maka tidak ada masalah (boleh). Namun, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah lebih cenderung untuk menerapkan larangan ini secara umum. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa tidak ada sisa makanan atau minuman yang tertinggal, atau bahwa wadah tidak akan tercemar, atau semacam itu. Pendapat ini diikuti oleh penulis syarh Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad al-Mubarakfuri rahimahullah, dengan mengatakan, هذا هو المتعين عندي، والله تعالى أعلم “Ini adalah pendapat yang lebih tepat menurut saya, wallahu Ta’ala a’lam.” [2] Perbuatan meniupkan napas secara umum dilatarbelakangi karena dua hal, yaitu: Pertama: jika disebabkan oleh minuman yang masih panas, maka hendaknya seseorang bersabar hingga minuman tersebut menjadi dingin. Kedua: jika disebabkan oleh adanya kotoran yang terlihat, maka seseorang bisa mengeluarkannya dengan jarinya jika ada orang lain yang akan minum darinya. Jika tidak, maka dia bisa mengeluarkannya dengan kayu, sendok, atau benda-benda serupa lainnya yang bersih, tanpa perlu meniupnya. Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meniup dalam minuman. Seorang laki-laki berkata, “Ada kotoran yang saya lihat dalam wadah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَهْرِقْهَا “Tuangkanlah itu.” Laki-laki tersebut berkata lagi, “Saya tidak bisa minum dalam satu tarikan napas.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, فَأَبِنِ القَدَحَ إِذَنْ عَنْ فِيكَ “Jauhkanlah gelas itu dari mulutmu.” (HR. Tirmidzi no. 1887, hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani) Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [3] Baca juga: Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati *** @Fall, 13 Jumadil awal 1446/ 15 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, lebih selamat dari penyakit atau gangguan yang mungkin terjadi akibat minum dalam satu tarikan napas. [2] Tuhfatul Ahwadzi, 6: 12. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 452-454). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Larangan Bernapas dan Meniup ke Dalam Wadah Makanan atau Minuman

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minumanKandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Teks Hadis Dari sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ “Jika salah seorang di antara kalian minum, maka jangan bernapas di dalam wadah.” (HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267) Dalam redaksi Abu Dawud, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya, terdapat tambahan, أوَ يُنْفَخَ فِيهِ “Atau meniup ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 3728 dan Tirmidzi no. 1889, dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minuman Hadis ini merupakan dalil larangan untuk bernapas ke dalam wadah berisi minuman. Yang dianjurkan adalah bernapas di luar wadah makanan/minuman, yaitu dengan menjauhkan gelas dari mulut dan bernapas di luarnya. Larangan ini karena terdapat tiga mudarat dari perbuatan tersebut, yaitu: Pertama: bernapas ke dalam wadah makanan/minuman akan mengotori makanan atau minuman tersebut untuk orang yang akan datang setelahnya. Karena dikhawatirkan ketika dia bernapas, ada sesuatu (kotoran) yang jatuh dari mulut atau hidungnya. Kedua: napas seseorang terkadang mengandung penyakit yang akan mencemari (mengkontaminasi) makanan atau minuman tersebut. Ketiga: dikhawatirkan seseorang bisa tersedak. Karena ketika minum, air akan mengalir turun, sementara napasnya bergerak naik. Ketika keduanya bertemu, seseorang bisa tersedak, dan air liur dapat jatuh ke dalam wadah. Semua ini bertentangan dengan adab ketika makan. Yang dianjurkan adalah ketika seseorang minum, ia tidak minum dalam satu tarikan napas, tetapi dalam dua atau tiga tarikan napas, dengan menjauhkan gelas dari mulutnya di setiap tarikan napasnya. Hal ini lebih ringan bagi perut, lebih baik untuk menghilangkan dahaga, lebih sopan, dan tidak mirip perilaku orang yang rakus. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا، وَيَقُولُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernapas tiga kali dalam minumannya dan bersabda, “Itu lebih menyegarkan (lebih menghilangkan dahaga), lebih menyembuhkan [1], dan lebih mengenyangkan (lebih ringan bagi perut).” Anas berkata, “Maka aku juga bernapas tiga kali setiap kali minum.” (HR. Muslim no. 2028) Yang dimaksud “bernapas tiga kali dalam minumannya” bukanlah bernapas ke dalam wadah minuman ketika minum. Maksud hadis bukan demikian, sesuai dengan redaksi lanjutan hadis di atas, “Itu lebih menyegarkan, lebih menyembuhkan, dan lebih mengenyangkan.” Sehingga maksudnya adalah beliau bernapas tiga kali ketika minum atau tidak minum dalam satu kali tarikan napas. Baca juga: Hukum Mengkonsumsi Ular untuk Makanan dan Pengobatan Kandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan adanya larangan untuk meniup ke dalam wadah makanan atau minuman. Hal ini untuk melindungi makanan atau minuman tersebut dari tercemar atau terkotori sebagai akibat dari napas orang yang meniup, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada rasa makanan tersebut. Lebih-lebih lagi jika si yang meniup memiliki bau mulut, baik karena makanan yang telah dimakannya, atau jika dia tidak biasa bersiwak, atau karena napasnya dipengaruhi oleh uap dari perutnya. Larangan untuk meniup ini, menurut pendapat mayoritas (jumhur) ulama, hanya berlaku ketika seseorang makan atau minum bersama orang lain. Adapun jika dia makan sendirian, atau bersama keluarganya, atau dengan orang yang diyakini tidak akan ada sesuatu yang kotor darinya, maka tidak ada masalah (boleh). Namun, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah lebih cenderung untuk menerapkan larangan ini secara umum. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa tidak ada sisa makanan atau minuman yang tertinggal, atau bahwa wadah tidak akan tercemar, atau semacam itu. Pendapat ini diikuti oleh penulis syarh Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad al-Mubarakfuri rahimahullah, dengan mengatakan, هذا هو المتعين عندي، والله تعالى أعلم “Ini adalah pendapat yang lebih tepat menurut saya, wallahu Ta’ala a’lam.” [2] Perbuatan meniupkan napas secara umum dilatarbelakangi karena dua hal, yaitu: Pertama: jika disebabkan oleh minuman yang masih panas, maka hendaknya seseorang bersabar hingga minuman tersebut menjadi dingin. Kedua: jika disebabkan oleh adanya kotoran yang terlihat, maka seseorang bisa mengeluarkannya dengan jarinya jika ada orang lain yang akan minum darinya. Jika tidak, maka dia bisa mengeluarkannya dengan kayu, sendok, atau benda-benda serupa lainnya yang bersih, tanpa perlu meniupnya. Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meniup dalam minuman. Seorang laki-laki berkata, “Ada kotoran yang saya lihat dalam wadah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَهْرِقْهَا “Tuangkanlah itu.” Laki-laki tersebut berkata lagi, “Saya tidak bisa minum dalam satu tarikan napas.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, فَأَبِنِ القَدَحَ إِذَنْ عَنْ فِيكَ “Jauhkanlah gelas itu dari mulutmu.” (HR. Tirmidzi no. 1887, hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani) Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [3] Baca juga: Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati *** @Fall, 13 Jumadil awal 1446/ 15 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, lebih selamat dari penyakit atau gangguan yang mungkin terjadi akibat minum dalam satu tarikan napas. [2] Tuhfatul Ahwadzi, 6: 12. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 452-454). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minumanKandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Teks Hadis Dari sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ “Jika salah seorang di antara kalian minum, maka jangan bernapas di dalam wadah.” (HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267) Dalam redaksi Abu Dawud, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya, terdapat tambahan, أوَ يُنْفَخَ فِيهِ “Atau meniup ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 3728 dan Tirmidzi no. 1889, dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minuman Hadis ini merupakan dalil larangan untuk bernapas ke dalam wadah berisi minuman. Yang dianjurkan adalah bernapas di luar wadah makanan/minuman, yaitu dengan menjauhkan gelas dari mulut dan bernapas di luarnya. Larangan ini karena terdapat tiga mudarat dari perbuatan tersebut, yaitu: Pertama: bernapas ke dalam wadah makanan/minuman akan mengotori makanan atau minuman tersebut untuk orang yang akan datang setelahnya. Karena dikhawatirkan ketika dia bernapas, ada sesuatu (kotoran) yang jatuh dari mulut atau hidungnya. Kedua: napas seseorang terkadang mengandung penyakit yang akan mencemari (mengkontaminasi) makanan atau minuman tersebut. Ketiga: dikhawatirkan seseorang bisa tersedak. Karena ketika minum, air akan mengalir turun, sementara napasnya bergerak naik. Ketika keduanya bertemu, seseorang bisa tersedak, dan air liur dapat jatuh ke dalam wadah. Semua ini bertentangan dengan adab ketika makan. Yang dianjurkan adalah ketika seseorang minum, ia tidak minum dalam satu tarikan napas, tetapi dalam dua atau tiga tarikan napas, dengan menjauhkan gelas dari mulutnya di setiap tarikan napasnya. Hal ini lebih ringan bagi perut, lebih baik untuk menghilangkan dahaga, lebih sopan, dan tidak mirip perilaku orang yang rakus. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا، وَيَقُولُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernapas tiga kali dalam minumannya dan bersabda, “Itu lebih menyegarkan (lebih menghilangkan dahaga), lebih menyembuhkan [1], dan lebih mengenyangkan (lebih ringan bagi perut).” Anas berkata, “Maka aku juga bernapas tiga kali setiap kali minum.” (HR. Muslim no. 2028) Yang dimaksud “bernapas tiga kali dalam minumannya” bukanlah bernapas ke dalam wadah minuman ketika minum. Maksud hadis bukan demikian, sesuai dengan redaksi lanjutan hadis di atas, “Itu lebih menyegarkan, lebih menyembuhkan, dan lebih mengenyangkan.” Sehingga maksudnya adalah beliau bernapas tiga kali ketika minum atau tidak minum dalam satu kali tarikan napas. Baca juga: Hukum Mengkonsumsi Ular untuk Makanan dan Pengobatan Kandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan adanya larangan untuk meniup ke dalam wadah makanan atau minuman. Hal ini untuk melindungi makanan atau minuman tersebut dari tercemar atau terkotori sebagai akibat dari napas orang yang meniup, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada rasa makanan tersebut. Lebih-lebih lagi jika si yang meniup memiliki bau mulut, baik karena makanan yang telah dimakannya, atau jika dia tidak biasa bersiwak, atau karena napasnya dipengaruhi oleh uap dari perutnya. Larangan untuk meniup ini, menurut pendapat mayoritas (jumhur) ulama, hanya berlaku ketika seseorang makan atau minum bersama orang lain. Adapun jika dia makan sendirian, atau bersama keluarganya, atau dengan orang yang diyakini tidak akan ada sesuatu yang kotor darinya, maka tidak ada masalah (boleh). Namun, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah lebih cenderung untuk menerapkan larangan ini secara umum. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa tidak ada sisa makanan atau minuman yang tertinggal, atau bahwa wadah tidak akan tercemar, atau semacam itu. Pendapat ini diikuti oleh penulis syarh Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad al-Mubarakfuri rahimahullah, dengan mengatakan, هذا هو المتعين عندي، والله تعالى أعلم “Ini adalah pendapat yang lebih tepat menurut saya, wallahu Ta’ala a’lam.” [2] Perbuatan meniupkan napas secara umum dilatarbelakangi karena dua hal, yaitu: Pertama: jika disebabkan oleh minuman yang masih panas, maka hendaknya seseorang bersabar hingga minuman tersebut menjadi dingin. Kedua: jika disebabkan oleh adanya kotoran yang terlihat, maka seseorang bisa mengeluarkannya dengan jarinya jika ada orang lain yang akan minum darinya. Jika tidak, maka dia bisa mengeluarkannya dengan kayu, sendok, atau benda-benda serupa lainnya yang bersih, tanpa perlu meniupnya. Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meniup dalam minuman. Seorang laki-laki berkata, “Ada kotoran yang saya lihat dalam wadah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَهْرِقْهَا “Tuangkanlah itu.” Laki-laki tersebut berkata lagi, “Saya tidak bisa minum dalam satu tarikan napas.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, فَأَبِنِ القَدَحَ إِذَنْ عَنْ فِيكَ “Jauhkanlah gelas itu dari mulutmu.” (HR. Tirmidzi no. 1887, hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani) Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [3] Baca juga: Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati *** @Fall, 13 Jumadil awal 1446/ 15 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, lebih selamat dari penyakit atau gangguan yang mungkin terjadi akibat minum dalam satu tarikan napas. [2] Tuhfatul Ahwadzi, 6: 12. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 452-454). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minumanKandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Teks Hadis Dari sahabat Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا شَرِبَ أحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ “Jika salah seorang di antara kalian minum, maka jangan bernapas di dalam wadah.” (HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267) Dalam redaksi Abu Dawud, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya, terdapat tambahan, أوَ يُنْفَخَ فِيهِ “Atau meniup ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud no. 3728 dan Tirmidzi no. 1889, dinilai sahih oleh Al-Albani) Kandungan Hadis Kandungan pertama: Larangan bernapas ke dalam wadah minuman Hadis ini merupakan dalil larangan untuk bernapas ke dalam wadah berisi minuman. Yang dianjurkan adalah bernapas di luar wadah makanan/minuman, yaitu dengan menjauhkan gelas dari mulut dan bernapas di luarnya. Larangan ini karena terdapat tiga mudarat dari perbuatan tersebut, yaitu: Pertama: bernapas ke dalam wadah makanan/minuman akan mengotori makanan atau minuman tersebut untuk orang yang akan datang setelahnya. Karena dikhawatirkan ketika dia bernapas, ada sesuatu (kotoran) yang jatuh dari mulut atau hidungnya. Kedua: napas seseorang terkadang mengandung penyakit yang akan mencemari (mengkontaminasi) makanan atau minuman tersebut. Ketiga: dikhawatirkan seseorang bisa tersedak. Karena ketika minum, air akan mengalir turun, sementara napasnya bergerak naik. Ketika keduanya bertemu, seseorang bisa tersedak, dan air liur dapat jatuh ke dalam wadah. Semua ini bertentangan dengan adab ketika makan. Yang dianjurkan adalah ketika seseorang minum, ia tidak minum dalam satu tarikan napas, tetapi dalam dua atau tiga tarikan napas, dengan menjauhkan gelas dari mulutnya di setiap tarikan napasnya. Hal ini lebih ringan bagi perut, lebih baik untuk menghilangkan dahaga, lebih sopan, dan tidak mirip perilaku orang yang rakus. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا، وَيَقُولُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ، قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernapas tiga kali dalam minumannya dan bersabda, “Itu lebih menyegarkan (lebih menghilangkan dahaga), lebih menyembuhkan [1], dan lebih mengenyangkan (lebih ringan bagi perut).” Anas berkata, “Maka aku juga bernapas tiga kali setiap kali minum.” (HR. Muslim no. 2028) Yang dimaksud “bernapas tiga kali dalam minumannya” bukanlah bernapas ke dalam wadah minuman ketika minum. Maksud hadis bukan demikian, sesuai dengan redaksi lanjutan hadis di atas, “Itu lebih menyegarkan, lebih menyembuhkan, dan lebih mengenyangkan.” Sehingga maksudnya adalah beliau bernapas tiga kali ketika minum atau tidak minum dalam satu kali tarikan napas. Baca juga: Hukum Mengkonsumsi Ular untuk Makanan dan Pengobatan Kandungan kedua: Larangan meniup makanan atau minuman Hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menunjukkan adanya larangan untuk meniup ke dalam wadah makanan atau minuman. Hal ini untuk melindungi makanan atau minuman tersebut dari tercemar atau terkotori sebagai akibat dari napas orang yang meniup, sehingga dapat menyebabkan perubahan pada rasa makanan tersebut. Lebih-lebih lagi jika si yang meniup memiliki bau mulut, baik karena makanan yang telah dimakannya, atau jika dia tidak biasa bersiwak, atau karena napasnya dipengaruhi oleh uap dari perutnya. Larangan untuk meniup ini, menurut pendapat mayoritas (jumhur) ulama, hanya berlaku ketika seseorang makan atau minum bersama orang lain. Adapun jika dia makan sendirian, atau bersama keluarganya, atau dengan orang yang diyakini tidak akan ada sesuatu yang kotor darinya, maka tidak ada masalah (boleh). Namun, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah lebih cenderung untuk menerapkan larangan ini secara umum. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa tidak ada sisa makanan atau minuman yang tertinggal, atau bahwa wadah tidak akan tercemar, atau semacam itu. Pendapat ini diikuti oleh penulis syarh Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad al-Mubarakfuri rahimahullah, dengan mengatakan, هذا هو المتعين عندي، والله تعالى أعلم “Ini adalah pendapat yang lebih tepat menurut saya, wallahu Ta’ala a’lam.” [2] Perbuatan meniupkan napas secara umum dilatarbelakangi karena dua hal, yaitu: Pertama: jika disebabkan oleh minuman yang masih panas, maka hendaknya seseorang bersabar hingga minuman tersebut menjadi dingin. Kedua: jika disebabkan oleh adanya kotoran yang terlihat, maka seseorang bisa mengeluarkannya dengan jarinya jika ada orang lain yang akan minum darinya. Jika tidak, maka dia bisa mengeluarkannya dengan kayu, sendok, atau benda-benda serupa lainnya yang bersih, tanpa perlu meniupnya. Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meniup dalam minuman. Seorang laki-laki berkata, “Ada kotoran yang saya lihat dalam wadah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَهْرِقْهَا “Tuangkanlah itu.” Laki-laki tersebut berkata lagi, “Saya tidak bisa minum dalam satu tarikan napas.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, فَأَبِنِ القَدَحَ إِذَنْ عَنْ فِيكَ “Jauhkanlah gelas itu dari mulutmu.” (HR. Tirmidzi no. 1887, hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani) Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [3] Baca juga: Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati *** @Fall, 13 Jumadil awal 1446/ 15 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, lebih selamat dari penyakit atau gangguan yang mungkin terjadi akibat minum dalam satu tarikan napas. [2] Tuhfatul Ahwadzi, 6: 12. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 452-454). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Mengapa Mata Batin Bisa Tertutup? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sungguh, saudara, jika seseorang sudah terikat hatinya dengan dunia dan berpaling dari Al-Quran, maka bisa jadi mata batinnya tertutup, sehingga ia tidak bisa melihat kebaikan dan faidah besar dalam Al-Quran. Anda dapati dia menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang remeh dan meninggalkan firman Allah Taʿālā. Inilah realitas kebanyakan orang sekarang ini. Jangan pernah mengira bahwa ayat-ayat Al-Quran hanya berlaku pada masa lalu dan sudah selesai begitu saja. “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sampai engkau bisa memancarkan untuk kami mata air dari bumi…” (QS Al-Isra’: 90) Atau permintaan-permintaan lainnya yang seolah tak ada habisnya. Aku tidak mengatakan bahwa kaum muslimin saat ini berbicara seperti itu. Namun, sangat disayangkan, sebagian muslimin memiliki keinginan yang serupa dengan orang kafir. Kok bisa? Karena mereka berpaling dari Al-Quran. Mengapa? Karena dunia telah menyibukkan mereka. Mereka mengejar keinginan-keinginan duniawi, bukannya memberi perhatian kepada Al-Quran. Maka di sini ada kesamaan: sama-sama berpaling dari Al-Quran karena urusan dunia. Jadi, bagaimana bisa seorang muslim berpaling dari Al-Quran? Bagaimana bisa dia tidak peduli terhadap Al-Quran yang mulia? Dengan apa kita habiskan waktu kita? Untuk apa kita gunakan waktu kita, saudara? Untuk ngobrol, bercanda, jalan-jalan, bermain, dan berbuat sia-sia? Demi Allah, ini adalah penyesalan dan kerugian terbesar di dunia, yaitu ketika seseorang meninggal dunia, dan ada banyak surah dalam Al-Quran yang belum ia pahami maknanya, dan bahkan belum ia baca. Berapa banyak hikmah agung dalam Al-Quran yang belum sempat ia pelajari? Baik, sibuk dengan apa Anda selama ini? Hanya sibuk dengan dunia dan syahwat? “Sungguh, Kami telah menganugerahkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Quran yang agung, maka jangan sekali-kali engkau mengarahkan pandanganmu (tergiur) pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan (orang kafir) di antara mereka…” (QS Al-Hijr: 87-88) Bagaimana mungkin Anda, yang telah diberi nikmat sebesar ini, malah berpaling kepada dunia? ==== وَبِالْفِعْلِ يَا إِخْوَةُ الْإِنْسَانُ إِذَا تَعَلَّقَ بِالدُّنْيَا وَأَعْرَضَ عَنْ كِتَابِ اللهِ رُبَّمَا تُطْمَسُ بَصِيرَتُهُ فَلَا يَرَى الْخَيْرَ فِي الْقُرْآنِ، لَا يَرَى الْفَائِدَةَ الْكُبْرَى فِي الْقُرْآنِ تَجِدُهُ يُشْغِلُ وَقْتَهُ فِي سَفَاسِفِ الْأُمُورِ وَيَتْرُكُ كَلَامَ اللهِ تَعَالَى وَهَذَا حَالُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ يَعْنِي الْآنَ هَذِهِ الْآيَاتُ لَا تَظُنُّهَا خَلَاصٌ مَضَتْ وَانْتَهَتْ وَقَالُوا لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنبُوعًا أَوْ كَذَا كَذَا كَذَا أَنَا مَا أَقُولُ الْآنَ الْمُسْلِمُ يَقُولُ مِثْلَ هَذَا الْكَلَامِ لَكِنَّ لِلْأَسَفِ بَعْضَ الْمُسْلِمِينَ يُشَابِهُونَ هَؤُلَاءِ فِي هَذِهِ الْمَطَالِبِ كَيْفَ؟ يَعْنِي يُعْرِضُ عَنِ الْقُرْآنِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّ الدُّنْيَا شَغَلَتْهُ وَهَؤُلَاءِ يُطَالِبُونَ بِأُمُورٍ دُنيَاوِيَّةٍ بَدَلًا مِن الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ إِذَنْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْمُشَابَهَةِ فَإِذَنْ كَيْفَ يُعْرِضُ الْمُسْلِمُ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟ كَيْفَ مَا نَهْتَمُّ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا يَا إِخْوَةُ؟ بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالنُّزُهَاتِ وَالسَّفَرَاتِ وَاللَّعِبِ وَاللَّهْوِ وَاللهِ هَذَا أَعْظَمُ غَبْنٍ أَعْظَمُ خَسَارَةٍ فِي الدُّنْيَا أَنْ يَمُوتَ الْإِنْسَانُ وَكَمْ مِنَ السُّوَرِ مَا يَدْرِي مَا مَعْنَاهَا؟ وَمَا قَرَأَهَا كَمْ مِنَ الْمَعَانِي الْعَظِيمَةِ فِي الْقُرْآنِ مَا اطَّلَعَ عَلَيْهَا؟ طَيِّبٌ بِمَاذَا انْشَغَلْتَ فِي حَيَاتِكَ؟ انْشَغَلْتَ بِدُنْيَاكَ وَبِشَهْوَاتِكَ؟ وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ يَعْنِي كَيْفَ عِنْدَكَ هَذِهِ النَّعمَةُ كَيْفَ تَلْتَفِتُ إِلَى الدُّنْيَا؟

Mengapa Mata Batin Bisa Tertutup? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sungguh, saudara, jika seseorang sudah terikat hatinya dengan dunia dan berpaling dari Al-Quran, maka bisa jadi mata batinnya tertutup, sehingga ia tidak bisa melihat kebaikan dan faidah besar dalam Al-Quran. Anda dapati dia menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang remeh dan meninggalkan firman Allah Taʿālā. Inilah realitas kebanyakan orang sekarang ini. Jangan pernah mengira bahwa ayat-ayat Al-Quran hanya berlaku pada masa lalu dan sudah selesai begitu saja. “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sampai engkau bisa memancarkan untuk kami mata air dari bumi…” (QS Al-Isra’: 90) Atau permintaan-permintaan lainnya yang seolah tak ada habisnya. Aku tidak mengatakan bahwa kaum muslimin saat ini berbicara seperti itu. Namun, sangat disayangkan, sebagian muslimin memiliki keinginan yang serupa dengan orang kafir. Kok bisa? Karena mereka berpaling dari Al-Quran. Mengapa? Karena dunia telah menyibukkan mereka. Mereka mengejar keinginan-keinginan duniawi, bukannya memberi perhatian kepada Al-Quran. Maka di sini ada kesamaan: sama-sama berpaling dari Al-Quran karena urusan dunia. Jadi, bagaimana bisa seorang muslim berpaling dari Al-Quran? Bagaimana bisa dia tidak peduli terhadap Al-Quran yang mulia? Dengan apa kita habiskan waktu kita? Untuk apa kita gunakan waktu kita, saudara? Untuk ngobrol, bercanda, jalan-jalan, bermain, dan berbuat sia-sia? Demi Allah, ini adalah penyesalan dan kerugian terbesar di dunia, yaitu ketika seseorang meninggal dunia, dan ada banyak surah dalam Al-Quran yang belum ia pahami maknanya, dan bahkan belum ia baca. Berapa banyak hikmah agung dalam Al-Quran yang belum sempat ia pelajari? Baik, sibuk dengan apa Anda selama ini? Hanya sibuk dengan dunia dan syahwat? “Sungguh, Kami telah menganugerahkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Quran yang agung, maka jangan sekali-kali engkau mengarahkan pandanganmu (tergiur) pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan (orang kafir) di antara mereka…” (QS Al-Hijr: 87-88) Bagaimana mungkin Anda, yang telah diberi nikmat sebesar ini, malah berpaling kepada dunia? ==== وَبِالْفِعْلِ يَا إِخْوَةُ الْإِنْسَانُ إِذَا تَعَلَّقَ بِالدُّنْيَا وَأَعْرَضَ عَنْ كِتَابِ اللهِ رُبَّمَا تُطْمَسُ بَصِيرَتُهُ فَلَا يَرَى الْخَيْرَ فِي الْقُرْآنِ، لَا يَرَى الْفَائِدَةَ الْكُبْرَى فِي الْقُرْآنِ تَجِدُهُ يُشْغِلُ وَقْتَهُ فِي سَفَاسِفِ الْأُمُورِ وَيَتْرُكُ كَلَامَ اللهِ تَعَالَى وَهَذَا حَالُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ يَعْنِي الْآنَ هَذِهِ الْآيَاتُ لَا تَظُنُّهَا خَلَاصٌ مَضَتْ وَانْتَهَتْ وَقَالُوا لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنبُوعًا أَوْ كَذَا كَذَا كَذَا أَنَا مَا أَقُولُ الْآنَ الْمُسْلِمُ يَقُولُ مِثْلَ هَذَا الْكَلَامِ لَكِنَّ لِلْأَسَفِ بَعْضَ الْمُسْلِمِينَ يُشَابِهُونَ هَؤُلَاءِ فِي هَذِهِ الْمَطَالِبِ كَيْفَ؟ يَعْنِي يُعْرِضُ عَنِ الْقُرْآنِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّ الدُّنْيَا شَغَلَتْهُ وَهَؤُلَاءِ يُطَالِبُونَ بِأُمُورٍ دُنيَاوِيَّةٍ بَدَلًا مِن الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ إِذَنْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْمُشَابَهَةِ فَإِذَنْ كَيْفَ يُعْرِضُ الْمُسْلِمُ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟ كَيْفَ مَا نَهْتَمُّ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا يَا إِخْوَةُ؟ بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالنُّزُهَاتِ وَالسَّفَرَاتِ وَاللَّعِبِ وَاللَّهْوِ وَاللهِ هَذَا أَعْظَمُ غَبْنٍ أَعْظَمُ خَسَارَةٍ فِي الدُّنْيَا أَنْ يَمُوتَ الْإِنْسَانُ وَكَمْ مِنَ السُّوَرِ مَا يَدْرِي مَا مَعْنَاهَا؟ وَمَا قَرَأَهَا كَمْ مِنَ الْمَعَانِي الْعَظِيمَةِ فِي الْقُرْآنِ مَا اطَّلَعَ عَلَيْهَا؟ طَيِّبٌ بِمَاذَا انْشَغَلْتَ فِي حَيَاتِكَ؟ انْشَغَلْتَ بِدُنْيَاكَ وَبِشَهْوَاتِكَ؟ وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ يَعْنِي كَيْفَ عِنْدَكَ هَذِهِ النَّعمَةُ كَيْفَ تَلْتَفِتُ إِلَى الدُّنْيَا؟
Sungguh, saudara, jika seseorang sudah terikat hatinya dengan dunia dan berpaling dari Al-Quran, maka bisa jadi mata batinnya tertutup, sehingga ia tidak bisa melihat kebaikan dan faidah besar dalam Al-Quran. Anda dapati dia menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang remeh dan meninggalkan firman Allah Taʿālā. Inilah realitas kebanyakan orang sekarang ini. Jangan pernah mengira bahwa ayat-ayat Al-Quran hanya berlaku pada masa lalu dan sudah selesai begitu saja. “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sampai engkau bisa memancarkan untuk kami mata air dari bumi…” (QS Al-Isra’: 90) Atau permintaan-permintaan lainnya yang seolah tak ada habisnya. Aku tidak mengatakan bahwa kaum muslimin saat ini berbicara seperti itu. Namun, sangat disayangkan, sebagian muslimin memiliki keinginan yang serupa dengan orang kafir. Kok bisa? Karena mereka berpaling dari Al-Quran. Mengapa? Karena dunia telah menyibukkan mereka. Mereka mengejar keinginan-keinginan duniawi, bukannya memberi perhatian kepada Al-Quran. Maka di sini ada kesamaan: sama-sama berpaling dari Al-Quran karena urusan dunia. Jadi, bagaimana bisa seorang muslim berpaling dari Al-Quran? Bagaimana bisa dia tidak peduli terhadap Al-Quran yang mulia? Dengan apa kita habiskan waktu kita? Untuk apa kita gunakan waktu kita, saudara? Untuk ngobrol, bercanda, jalan-jalan, bermain, dan berbuat sia-sia? Demi Allah, ini adalah penyesalan dan kerugian terbesar di dunia, yaitu ketika seseorang meninggal dunia, dan ada banyak surah dalam Al-Quran yang belum ia pahami maknanya, dan bahkan belum ia baca. Berapa banyak hikmah agung dalam Al-Quran yang belum sempat ia pelajari? Baik, sibuk dengan apa Anda selama ini? Hanya sibuk dengan dunia dan syahwat? “Sungguh, Kami telah menganugerahkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Quran yang agung, maka jangan sekali-kali engkau mengarahkan pandanganmu (tergiur) pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan (orang kafir) di antara mereka…” (QS Al-Hijr: 87-88) Bagaimana mungkin Anda, yang telah diberi nikmat sebesar ini, malah berpaling kepada dunia? ==== وَبِالْفِعْلِ يَا إِخْوَةُ الْإِنْسَانُ إِذَا تَعَلَّقَ بِالدُّنْيَا وَأَعْرَضَ عَنْ كِتَابِ اللهِ رُبَّمَا تُطْمَسُ بَصِيرَتُهُ فَلَا يَرَى الْخَيْرَ فِي الْقُرْآنِ، لَا يَرَى الْفَائِدَةَ الْكُبْرَى فِي الْقُرْآنِ تَجِدُهُ يُشْغِلُ وَقْتَهُ فِي سَفَاسِفِ الْأُمُورِ وَيَتْرُكُ كَلَامَ اللهِ تَعَالَى وَهَذَا حَالُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ يَعْنِي الْآنَ هَذِهِ الْآيَاتُ لَا تَظُنُّهَا خَلَاصٌ مَضَتْ وَانْتَهَتْ وَقَالُوا لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنبُوعًا أَوْ كَذَا كَذَا كَذَا أَنَا مَا أَقُولُ الْآنَ الْمُسْلِمُ يَقُولُ مِثْلَ هَذَا الْكَلَامِ لَكِنَّ لِلْأَسَفِ بَعْضَ الْمُسْلِمِينَ يُشَابِهُونَ هَؤُلَاءِ فِي هَذِهِ الْمَطَالِبِ كَيْفَ؟ يَعْنِي يُعْرِضُ عَنِ الْقُرْآنِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّ الدُّنْيَا شَغَلَتْهُ وَهَؤُلَاءِ يُطَالِبُونَ بِأُمُورٍ دُنيَاوِيَّةٍ بَدَلًا مِن الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ إِذَنْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْمُشَابَهَةِ فَإِذَنْ كَيْفَ يُعْرِضُ الْمُسْلِمُ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟ كَيْفَ مَا نَهْتَمُّ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا يَا إِخْوَةُ؟ بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالنُّزُهَاتِ وَالسَّفَرَاتِ وَاللَّعِبِ وَاللَّهْوِ وَاللهِ هَذَا أَعْظَمُ غَبْنٍ أَعْظَمُ خَسَارَةٍ فِي الدُّنْيَا أَنْ يَمُوتَ الْإِنْسَانُ وَكَمْ مِنَ السُّوَرِ مَا يَدْرِي مَا مَعْنَاهَا؟ وَمَا قَرَأَهَا كَمْ مِنَ الْمَعَانِي الْعَظِيمَةِ فِي الْقُرْآنِ مَا اطَّلَعَ عَلَيْهَا؟ طَيِّبٌ بِمَاذَا انْشَغَلْتَ فِي حَيَاتِكَ؟ انْشَغَلْتَ بِدُنْيَاكَ وَبِشَهْوَاتِكَ؟ وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ يَعْنِي كَيْفَ عِنْدَكَ هَذِهِ النَّعمَةُ كَيْفَ تَلْتَفِتُ إِلَى الدُّنْيَا؟


Sungguh, saudara, jika seseorang sudah terikat hatinya dengan dunia dan berpaling dari Al-Quran, maka bisa jadi mata batinnya tertutup, sehingga ia tidak bisa melihat kebaikan dan faidah besar dalam Al-Quran. Anda dapati dia menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan yang remeh dan meninggalkan firman Allah Taʿālā. Inilah realitas kebanyakan orang sekarang ini. Jangan pernah mengira bahwa ayat-ayat Al-Quran hanya berlaku pada masa lalu dan sudah selesai begitu saja. “Kami tidak akan percaya kepadamu (Nabi Muhammad) sampai engkau bisa memancarkan untuk kami mata air dari bumi…” (QS Al-Isra’: 90) Atau permintaan-permintaan lainnya yang seolah tak ada habisnya. Aku tidak mengatakan bahwa kaum muslimin saat ini berbicara seperti itu. Namun, sangat disayangkan, sebagian muslimin memiliki keinginan yang serupa dengan orang kafir. Kok bisa? Karena mereka berpaling dari Al-Quran. Mengapa? Karena dunia telah menyibukkan mereka. Mereka mengejar keinginan-keinginan duniawi, bukannya memberi perhatian kepada Al-Quran. Maka di sini ada kesamaan: sama-sama berpaling dari Al-Quran karena urusan dunia. Jadi, bagaimana bisa seorang muslim berpaling dari Al-Quran? Bagaimana bisa dia tidak peduli terhadap Al-Quran yang mulia? Dengan apa kita habiskan waktu kita? Untuk apa kita gunakan waktu kita, saudara? Untuk ngobrol, bercanda, jalan-jalan, bermain, dan berbuat sia-sia? Demi Allah, ini adalah penyesalan dan kerugian terbesar di dunia, yaitu ketika seseorang meninggal dunia, dan ada banyak surah dalam Al-Quran yang belum ia pahami maknanya, dan bahkan belum ia baca. Berapa banyak hikmah agung dalam Al-Quran yang belum sempat ia pelajari? Baik, sibuk dengan apa Anda selama ini? Hanya sibuk dengan dunia dan syahwat? “Sungguh, Kami telah menganugerahkan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Quran yang agung, maka jangan sekali-kali engkau mengarahkan pandanganmu (tergiur) pada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan (orang kafir) di antara mereka…” (QS Al-Hijr: 87-88) Bagaimana mungkin Anda, yang telah diberi nikmat sebesar ini, malah berpaling kepada dunia? ==== وَبِالْفِعْلِ يَا إِخْوَةُ الْإِنْسَانُ إِذَا تَعَلَّقَ بِالدُّنْيَا وَأَعْرَضَ عَنْ كِتَابِ اللهِ رُبَّمَا تُطْمَسُ بَصِيرَتُهُ فَلَا يَرَى الْخَيْرَ فِي الْقُرْآنِ، لَا يَرَى الْفَائِدَةَ الْكُبْرَى فِي الْقُرْآنِ تَجِدُهُ يُشْغِلُ وَقْتَهُ فِي سَفَاسِفِ الْأُمُورِ وَيَتْرُكُ كَلَامَ اللهِ تَعَالَى وَهَذَا حَالُ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ يَعْنِي الْآنَ هَذِهِ الْآيَاتُ لَا تَظُنُّهَا خَلَاصٌ مَضَتْ وَانْتَهَتْ وَقَالُوا لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنبُوعًا أَوْ كَذَا كَذَا كَذَا أَنَا مَا أَقُولُ الْآنَ الْمُسْلِمُ يَقُولُ مِثْلَ هَذَا الْكَلَامِ لَكِنَّ لِلْأَسَفِ بَعْضَ الْمُسْلِمِينَ يُشَابِهُونَ هَؤُلَاءِ فِي هَذِهِ الْمَطَالِبِ كَيْفَ؟ يَعْنِي يُعْرِضُ عَنِ الْقُرْآنِ لِمَاذَا؟ لِأَنَّ الدُّنْيَا شَغَلَتْهُ وَهَؤُلَاءِ يُطَالِبُونَ بِأُمُورٍ دُنيَاوِيَّةٍ بَدَلًا مِن الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ إِذَنْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْمُشَابَهَةِ فَإِذَنْ كَيْفَ يُعْرِضُ الْمُسْلِمُ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟ كَيْفَ مَا نَهْتَمُّ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا؟ بِمَاذَا نُشْغِلُ أَوْقَاتَنَا يَا إِخْوَةُ؟ بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ وَالنُّزُهَاتِ وَالسَّفَرَاتِ وَاللَّعِبِ وَاللَّهْوِ وَاللهِ هَذَا أَعْظَمُ غَبْنٍ أَعْظَمُ خَسَارَةٍ فِي الدُّنْيَا أَنْ يَمُوتَ الْإِنْسَانُ وَكَمْ مِنَ السُّوَرِ مَا يَدْرِي مَا مَعْنَاهَا؟ وَمَا قَرَأَهَا كَمْ مِنَ الْمَعَانِي الْعَظِيمَةِ فِي الْقُرْآنِ مَا اطَّلَعَ عَلَيْهَا؟ طَيِّبٌ بِمَاذَا انْشَغَلْتَ فِي حَيَاتِكَ؟ انْشَغَلْتَ بِدُنْيَاكَ وَبِشَهْوَاتِكَ؟ وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ يَعْنِي كَيْفَ عِنْدَكَ هَذِهِ النَّعمَةُ كَيْفَ تَلْتَفِتُ إِلَى الدُّنْيَا؟

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.
Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.


Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.

Kalimat Lailahaillallah: Kalimat Zikir yang Paling Utama

Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761

Kalimat Lailahaillallah: Kalimat Zikir yang Paling Utama

Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761
Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761


Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761

Renungan Spiritual Sebelum Pergi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا

Renungan Spiritual Sebelum Pergi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا


Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.
Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.


Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.
Prev     Next