Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.
Daftar Isi
tutup
1.
Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat
1.1.
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
1.2.
2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki
1.3.
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah
1.4.
4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik
1.5.
5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit
1.6.
6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya
1.7.
7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh
1.8.
8. Maksiat menghalangi dari ketaatan
1.9.
9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur
1.10.
10. Dosa Melahirkan Dosa Lain
1.11.
11. Maksiat itu Melemahkan Hati
1.12.
12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat
1.13.
13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu
1.14.
14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah
1.15.
15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya
1.16.
16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya
1.17.
17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
1.18.
18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
1.19.
19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟
Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)
Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?
Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.
وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)
وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.
Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)
Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat
Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.
Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.
وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.
Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي
Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)
2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki
Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ
Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.
Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.
Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:
إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ
وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”
Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.
Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.
Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Sebagian ulama salaf pernah berkata,
إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.
“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)
5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا،
وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟
Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.
Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)
Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا }
{ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”
Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin
6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.
Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)
7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ.
وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟
“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.
Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.
Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)
8. Maksiat menghalangi dari ketaatan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.
Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)
9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.
Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.
فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.
Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.
قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.
Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).
فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.
Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.
وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .
Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).
فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.
Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.
وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.
Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)
10. Dosa Melahirkan Dosa Lain
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.
“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’
Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”
وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.
Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.
وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.
“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”
وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.
وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.
فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.
“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.
Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.
Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)
11. Maksiat itu Melemahkan Hati
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ
“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.
Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)
12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.
وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.
وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ،
“Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.
Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”
Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.
كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)
13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.
وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.
وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.
وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.
فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.
Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.
Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.
Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.
Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.
Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.
Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.
Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)
Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?
Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri
وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .
Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)
14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.
“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.
Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)
Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.
“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.
Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.
وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.
فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.
“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”
Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”
Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”
Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)
17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.
وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.
قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا
“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)
Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.
Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”
Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:
“Aku melihat dosa itu mematikan hati,
dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati,
dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.
“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,
ulama buruk, dan para rahibnya?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)
18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟
“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.
Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.
Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)
19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.
كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ.
وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ.
وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.
وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.
“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”
Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.
Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)
Masih bersambung Insya-Allah …
–
Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs
Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.
Daftar Isi
tutup
1.
Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat
1.1.
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
1.2.
2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki
1.3.
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah
1.4.
4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik
1.5.
5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit
1.6.
6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya
1.7.
7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh
1.8.
8. Maksiat menghalangi dari ketaatan
1.9.
9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur
1.10.
10. Dosa Melahirkan Dosa Lain
1.11.
11. Maksiat itu Melemahkan Hati
1.12.
12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat
1.13.
13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu
1.14.
14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah
1.15.
15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya
1.16.
16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya
1.17.
17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
1.18.
18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
1.19.
19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟
Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)
Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?
Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.
وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)
وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.
Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)
Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat
Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.
Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.
وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.
Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي
Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)
2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki
Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ
Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.
Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.
Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:
إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ
وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.
Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”
Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.
Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.
Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Sebagian ulama salaf pernah berkata,
إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.
“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)
5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا،
وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟
Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.
Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)
Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا }
{ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”
Baca juga: Orang Bertakwa Tidak Pernah Miskin
6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, di antara dampak jelek maksiat adalah,
ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.
Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)
7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ.
وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟
“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.
Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.
Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)
8. Maksiat menghalangi dari ketaatan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.
“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.
Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)
9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.
Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.
فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.
Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.
قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.
Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).
فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.
Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.
وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .
Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).
فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.
Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.
وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.
Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)
10. Dosa Melahirkan Dosa Lain
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.
“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’
Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”
وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.
Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.
وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.
“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”
وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.
وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.
فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.
“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.
Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.
Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)
11. Maksiat itu Melemahkan Hati
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ
“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.
Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)
12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.
وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.
وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ،
“Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.
Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”
Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.
كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)
13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.
وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.
وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.
وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.
فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.
Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.
Perbuatan kaum Nabi Luth (liwath, homoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.
Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.
Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.
Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.
Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.
Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)
Baca juga: Hukum Mengunjungi Al-Ula di Saudi Arabia, Apakah Benar Terlarang?
Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri
وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .
Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)
14. Pendosa itu Menjadi Hina di Hadapan Allah
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ سَبَبٌ لِهَوَانِ الْعَبْدِ عَلَى رَبِّهِ وَسُقُوطِهِ مِنْ عَيْنِهِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: هَانُوا عَلَيْهِ فَعَصَوْهُ، وَلَوْ عَزُّوا عَلَيْهِ لَعَصَمَهُمْ، وَإِذَا هَانَ الْعَبْدُ عَلَى اللَّهِ لَمْ يُكْرِمْهُ أَحَدٌ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ} [سُورَةُ الْحَجِّ: ١٨] وَإِنْ عَظَّمَهُمُ النَّاسُ فِي الظَّاهِرِ لِحَاجَتِهِمْ إِلَيْهِمْ أَوْ خَوْفًا مِنْ شَرِّهِمْ، فَهُمْ فِي قُلُوبِهِمْ أَحْقَرُ شَيْءٍ وَأَهْوَنُهُ.
“Salah satu akibat dari perbuatan maksiat adalah pendosa menjadi hina di hadapan Allah dan jatuh dari pandangan-Nya.
Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka menjadi hina di sisi Allah sehingga mereka berani mendurhakai-Nya. Seandainya mereka memiliki kedudukan yang mulia di sisi-Nya, tentu Allah akan menjaga mereka dari perbuatan dosa. Jika seorang hamba menjadi hina di hadapan Allah, maka tidak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)
Bahkan jika manusia tampak memuliakan seorang pendosa karena kebutuhan atau takut akan keburukannya, sesungguhnya di dalam hati mereka, orang tersebut adalah makhluk yang paling rendah dan hina.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
15. Pendosa itu Semakin Memandang Ringan Dosanya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْعَبْدَ لَا يَزَالُ يَرْتَكِبُ الذَّنْبَ حَتَّى يَهُونَ عَلَيْهِ وَيَصْغُرَ فِي قَلْبِهِ، وَذَلِكَ عَلَامَةُ الْهَلَاكِ، فَإِنَّ الذَّنَبَ كُلَّمَا صَغُرَ فِي عَيْنِ الْعَبْدِ عَظُمَ عِنْدَ اللَّهِ. وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ، فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ.
“Akibat lainnya, seorang hamba yang terus-menerus melakukan dosa akan semakin memandang ringan maksiat tersebut, bahkan dosa itu tampak kecil dalam hatinya. Hal ini adalah tanda kebinasaan. Semakin kecil dosa terlihat di mata seorang hamba, semakin besar kedudukannya di sisi Allah.
Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti seseorang yang berdiri di bawah kaki gunung, ia khawatir gunung tersebut akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang pendosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, lalu ia mengibaskannya dan lalat itu pun terbang pergi.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)
16. Dosa Berdampak pada Makhluk Lainnya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ غَيْرَهُ مِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ يَعُودُ عَلَيْهِ شُؤْمُ ذَنْبِهِ، فَيَحْتَرِقُ هُوَ وَغَيْرُهُ بِشُؤْمِ الذُّنُوبِ وَالظُّلْمِ.
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّ الْبَهَائِمَ تَلْعَنُ عُصَاةَ بَنِي آدَمَ إِذَا اشْتَدَّتِ السَّنَةُ، وَأُمْسِكَ الْمَطَرُ، وَتَقُولُ: هَذَا بِشُؤْمِ مَعْصِيَةِ ابْنِ آدَمَ.
وَقَالَ عِكْرِمَةُ: دَوَابُّ الْأَرْضِ وَهَوَامُّهَا حَتَّى الْخَنَافِسُ وَالْعَقَارِبُ، يَقُولُونَ: مُنِعْنَا الْقَطْرَ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.
فَلَا يَكْفِيهِ عِقَابُ ذَنْبِهِ، حَتَّى يَلْعَنَهُ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ.
“Salah satu akibat dari dosa adalah keburukannya tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga berdampak pada manusia lain dan makhluk-makhluk di sekitarnya. Bahkan, dosa dapat membawa kesialan yang merugikan banyak pihak. Akibat dosa dan kezaliman, bukan hanya pelaku yang merasakan akibatnya, tetapi makhluk lain pun turut merasakan penderitaan.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahkan burung hubara bisa mati di sarangnya akibat kezaliman yang dilakukan oleh orang yang zalim.”
Mujahid rahimahullah menyatakan, “Binatang-binatang melaknat para pendosa dari kalangan manusia ketika musim paceklik berkepanjangan dan hujan tertahan. Mereka berkata, ‘Ini adalah akibat buruk dari maksiat yang dilakukan oleh anak Adam.’”
Sementara Ikrimah rahimahullah mengatakan, “Hewan-hewan di daratan, bahkan serangga, kumbang, dan kalajengking berkata, ‘Kami ditahan dari turunnya hujan akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.’”
Dengan demikian, dosa seorang manusia tidak hanya mendatangkan hukuman bagi dirinya sendiri. Bahkan makhluk yang tidak berdosa pun ikut menderita, hingga mereka melaknat manusia yang menjadi penyebab kesulitan itu.
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91-92)
17. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ تُورِثُ الذُّلَّ وَلَا بُدَّ؛ فَإِنَّ الْعِزَّ كُلَّ الْعِزِّ فِي طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى: {مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا} [سُورَةُ فَاطِرٍ: ١٠] أَيْ فَلْيَطْلُبْهَا بِطَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَجِدُهَا إِلَّا فِي طَاعَةِ اللَّهِ.
وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ بَعْضِ السَّلَفِ: اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.
قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: إِنَّهُمْ وَإِنْ طَقْطَقَتْ بِهِمُ الْبِغَالُ، وَهَمْلَجَتْ بِهِمُ الْبَرَاذِينُ، إِنَّ ذُلَّ الْمَعْصِيَةِ لَا يُفَارِقُ قُلُوبَهُمْ، أَبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُذِلَّ مَنْ عَصَاهُ.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ:
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا
“Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah ia pasti menimbulkan kehinaan. Hal ini karena semua kemuliaan yang sejati hanya ada dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka ketahuilah bahwa seluruh kemuliaan itu hanya milik Allah.”(QS. Fathir: 10)
Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang ingin meraih kemuliaan harus mencarinya dengan cara menaati Allah, karena tidak ada kemuliaan sejati di luar ketaatan kepada-Nya.
Sebagian ulama salaf berdoa, “Ya Allah, muliakanlah aku dengan ketaatan kepada-Mu, dan jangan hinakan aku dengan maksiat kepada-Mu.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Meskipun mereka tampak mewah dengan bighal yang melangkah anggun dan kuda yang berjalan megah, namun kehinaan akibat maksiat tidak pernah lepas dari hati mereka. Allah telah menetapkan bahwa siapa pun yang durhaka kepada-Nya pasti akan hina.”
Abdullah bin Al-Mubarak juga berkata dalam syairnya:
“Aku melihat dosa itu mematikan hati,
dan terus-menerus bermaksiat hanya menambah kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati,
dan melawan dosa adalah yang terbaik bagi dirimu.
“Apakah yang merusak agama selain para penguasa,
ulama buruk, dan para rahibnya?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92)
18. Maksiat Mendatangkan Kehinaan, Ketaatan Mendatangkan Kemuliaan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُفْسِدُ الْعَقْلَ، فَإِنَّ لِلْعَقْلِ نُورًا، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ نُورَ الْعَقْلِ وَلَا بُدَّ، وَإِذَا طُفِئَ نُورُهُ ضَعُفَ وَنَقَصَ. وَقَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: مَا عَصَى اللَّهَ أَحَدٌ حَتَّى يَغِيبَ عَقْلُهُ، وَهَذَا ظَاهِرٌ، فَإِنَّهُ لَوْ حَضَرَ عَقْلُهُ لَحَجَزَهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ وَهُوَ فِي قَبْضَةِ الرَّبِّ تَعَالَى، أَوْ تَحْتَ قَهْرِهِ، وَهُوَ مُطَّلِعٌ عَلَيْهِ، وَفِي دَارِهِ عَلَى بِسَاطِهِ وَمَلَائِكَتُهُ شُهُودٌ عَلَيْهِ نَاظِرُونَ إِلَيْهِ، وَوَاعِظُ الْقُرْآنِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ الْمَوْتِ يَنْهَاهُ، وَوَاعِظُ النَّارِ يَنْهَاهُ، وَالَّذِي يَفُوتُهُ بِالْمَعْصِيَةِ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ لَهُ مِنَ السُّرُورِ وَاللَّذَّةِ بِهَا، فَهَلْ يُقْدِمُ عَلَى الِاسْتِهَانَةِ بِذَلِكَ كُلِّهِ، وَالِاسْتِخْفَافِ بِهِ ذُو عَقْلٍ سَلِيمٍ؟
“Di antara dampak buruk maksiat adalah kerusakan pada akal. Akal memiliki cahaya yang akan padam karena maksiat, dan ketika cahayanya padam, kekuatan akal akan melemah dan berkurang.
Sebagian ulama salaf berkata, “Tidak ada seorang pun yang berbuat maksiat kepada Allah kecuali ketika akalnya tidak hadir. Hal ini jelas, karena jika akalnya benar-benar hadir, tentu ia akan mencegahnya dari berbuat maksiat. Sebab ia berada dalam genggaman Tuhannya, di bawah kekuasaan-Nya, dan Allah melihat segala perbuatannya. Dia berada di dalam dunia milik Allah, di atas hamparan-Nya, dan para malaikat menjadi saksi atas perbuatannya, menyaksikan apa yang ia lakukan.
Nasihat dari Al-Qur’an mencegahnya, kematian mengingatkannya, ancaman neraka menakutinya, dan kerugian yang ditimbulkan oleh maksiat di dunia dan akhirat jauh lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat yang ia rasakan dari perbuatan dosa tersebut. Apakah orang yang berakal sehat akan meremehkan dan mengabaikan semua peringatan ini?”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 92-93)
19. Dosa akan menutupi dan mengeraskan hati sehingga menjadi orang lalai
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَمِنْهَا: أَنَّ الذُّنُوبَ إِذَا تَكَاثَرَتْ طُبِعَ عَلَى قَلْبِ صَاحِبِهَا، فَكَانَ مِنَ الْغَافِلِينَ.
كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [سُورَةُ الْمُطَفِّفِينَ: ١٤] ، قَالَ: هُوَ الذَّنْبُ بَعْدَ الذَّنْبِ.
وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الذَّنْبُ عَلَى الذَّنْبِ، حَتَّى يُعْمِيَ الْقَلْبَ.
وَقَالَ غَيْرُهُ: لَمَّا كَثُرَتْ ذُنُوبُهُمْ وَمَعَاصِيهِمْ أَحَاطَتْ بِقُلُوبِهِمْ.
وَأَصْلُ هَذَا أَنَّ الْقَلْبَ يَصْدَأُ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا زَادَتْ غَلَبَ الصَّدَأُ حَتَّى يَصِيرَ رَانًا، ثُمَّ يَغْلِبُ حَتَّى يَصِيرَ طَبْعًا وَقُفْلًا وَخَتْمًا، فَيَصِيرُ الْقَلْبُ فِي غِشَاوَةٍ وَغِلَافٍ، فَإِذَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ بَعْدَ الْهُدَى وَالْبَصِيرَةِ انْعَكَسَ فَصَارَ أَعْلَاهُ أَسْفَلَهُ، فَحِينَئِذٍ يَتَوَلَّاهُ عَدُوُّهُ وَيَسُوقُهُ حَيْثُ أَرَادَ.
“Di antara dampak buruk dosa adalah ketika dosa-dosa terus bertambah, hati pelakunya akan tertutup dan menjadi keras sehingga ia tergolong sebagai orang yang lalai. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Sebagian ulama salaf berkata, “Ayat ini menjelaskan tentang dosa yang terus-menerus dilakukan.” Hasan Al-Bashri menjelaskan, “Dosa yang bertumpuk-tumpuk akan membutakan hati.” Ulama lain menambahkan, “Ketika dosa dan maksiat semakin banyak, ia akan mengepung hati hingga menutupnya rapat.”
Asal dari semua ini adalah bahwa hati menjadi berkarat akibat dosa. Ketika dosa bertambah, karat itu akan menguasai hati hingga menjadi rán (lapisan penutup hati). Jika dosa semakin banyak, hati akan tertutup sepenuhnya dengan tanda, kunci, dan segel, sehingga hati tersebut menjadi tertutup rapat. Pada tahap ini, hati berada dalam keadaan tertutup oleh selubung yang menghalanginya dari kebenaran.
Jika kondisi ini terjadi setelah seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk, maka hati akan berbalik. Apa yang seharusnya berada di atas menjadi di bawah. Dalam keadaan ini, musuhnya, yaitu setan, akan menguasainya sepenuhnya dan membawanya ke mana pun ia kehendaki.”
(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 93)
Masih bersambung Insya-Allah …
–
Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 di Sekar Kedhaton Jogja
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Tagsal jawabul kaafi dampak dosa dampak maksiat dosa besar dosa dan kehidupan dosa kecil faedah dari Ibnul Qayyim maksiat nasihat ibnul qayyim nasihat ulama racun maksiat tazkiyatun nafs