Hadis: Hukum ‘Azl (Coitus Interruptus)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum ‘Azl (Coitus Interruptus)

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertama: Hukum ‘azlKandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Teks Hadis Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ “Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, aku hampir melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi aku memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan hal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442) Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ “Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ‘azl darinya karena aku tidak ingin dia hamil. Namun, aku tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak akan mampu mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz hadis ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1] Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Kami dahulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440) Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan, زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an akan melarangnya kepada kami.” Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan, كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا “Kami dahulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.” Kandungan Hadis Kandungan pertama: Hukum ‘azl Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah imam mazhab yang empat, berdalil dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudhri dan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran akan turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara faedah perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu, وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ “Sedangkan Al-Quran masih turun.” Oleh karena itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ “Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran akan mengharamkannya.” Para ulama ushul fikih berkata, إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له “Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka hal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, hal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.” Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan atau menyetujui kebatilan. Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2] Mayoritas ulama menyebutkan syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berlandaskan pada hadis Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, kecuali dengan izinnya. [3] Hal ini karena istri memiliki hak atas anak, dan juga karena jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan cara ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berhubungan intim. Mereka menjawab hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah hadis yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan berbagai riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan terkait hal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara eksplisit menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang nanti akan dijelaskan. Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berdasarkan hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada hukum asal, yaitu boleh (mubah). Sedangkan hadis Judzamah menjadi dalil yang memindahkan hukum asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang mengklaim bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, harus mendatangkan dalil. Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang hukum azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan. Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini karena hadis Judzamah tidak secara eksplisit menunjukkan larangan, sebab ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d karena melihat maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak benar-benar terjadi. Jika ‘azl benar-benar dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh karena itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, hal ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam hadis Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Baca juga: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); atau jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; atau jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan akan membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun perempuan yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang bersifat kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini bersifat sementara, maka kebolehannya hanya berlaku selama alasan tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan harus sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada. Adapun jika ‘azl atau penggunaan alat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan karena takut jatuh miskin; khawatir terhadap bertambahnya jumlah penduduk; karena menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; atau alasan-alasan yang lemah lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam memiliki kemampuan untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat membutuhkan pertambahan jumlah kaum muslimin agar mampu berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memiliki anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.) Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bertujuan mengurangi jumlah umat Islam berarti menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4] Baca juga: Motivasi untuk Bermuamalah yang Baik dengan Istri *** @Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berkata bahwa ‘azl adalah bentuk pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam hadis Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lalu bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.” Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki penciptaan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berdasarkan niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85) Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223) [2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142. [3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah. [4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Apa Boleh Menjamak Shalat di Hari Pernikahan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

Apa Boleh Menjamak Shalat di Hari Pernikahan? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ
Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ


Apakah seorang wanita boleh menjamak shalat pada hari pernikahannya? Hendaklah wanita muslimah menjadikan shalat sebagai prioritas utamanya. Jangan menjadikan shalat sebagai perkara yang terpinggirkan. Jangan pula menjadikan riasan (makeup) di hari pernikahannya lebih penting daripada shalat. Tindakan ini mengesankan rendahnya perhatian terhadap ibadah shalat. Padahal shalat merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat dan merupakan tiang agama Islam. Oleh sebab itu, seorang wanita harus memberi perhatian besar pada shalat. Selain itu, jika ia punya perhatian besar pada shalat, melaksanakannya dan memohon taufik kepada Allah Ta’ala, maka diharapkan itu menjadi sebab taufik baginya dalam pernikahannya. Janganlah ia memulai kehidupan rumah tangganya dengan kemaksiatan. Masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ditekankan dalam ibadah shalat. Terkadang syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat dapat gugur demi memenuhi syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menjamak shalat tanpa uzur syar’i. Sekadar karena riasan pengantin wanita pada hari pernikahannya tidak dianggap sebagai uzur syar’i. Pada hari pernikahannya, sebelum dirias, ia bisa berwudhu dulu, lalu menjaga wudhunya agar tidak batal. Lalu setelah matahari tenggelam, ia dapat langsung melaksanakan Shalat Maghrib. Adapun Shalat Isya waktunya panjang. Waktu daruratnya berlangsung hingga sesaat sebelum terbitnya fajar, dan dia dapat melaksanakan Shalat Isya kapan pun di sepanjang waktu itu. Dengan kata lain, ia dapat melaksanakan Shalat Isya meskipun pada waktu daruratnya, Jika itu diperlukan pada keadaan tersebut. Namun, jika ia hendak menjamak shalat, maka itu tidak dianggap sebagai alasan yang membolehkannya menjamak. Riasan (makeup) pada hari pernikahan bukan pembenaran untuk menjamak shalat. ==== هَلْ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا؟ يَنْبَغِي لِلْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ أَنْ تَجْعَلَ الصَّلَاةَ أَوَّلَ اهْتِمَامَاتِهَا لَا تَجْعَلُ الصَّلَاةَ عَلَى الْهَامِشِ وَتَجْعَلُ زِينَتَهَا فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا مُقَدَّمَةً عَلَى الصَّلَاةِ هَذَا يُشْعِرُ بِقِلَّةِ الِاهْتِمَامِ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ الَّتِي هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ وَالَّتِي هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَهْتَمَّ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَيْضًا إِذَا اهْتَمَّتْ بِهَذِهِ الْعِبَادَةِ وَأَدَّتِ الصَّلَاةَ وَسَأَلَتِ اللَّهَ تَعَالَى التَّوْفِيقَ فَيُرْجَى أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا لِتَوْفِيقِهَا فِي زَوَاجِهَا لَا تَبْتَدِئُ حَيَاتَهَا الزَّوْجِيَّةَ بِمَعْصِيَةٍ وَشَرْطُ الْوَقْتِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الشُّرُوطِ وَالْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ وَلَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَمُجَرَّدُ زِينَةِ المَرْأَةِ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا لَا يُعْتَبَرُ عُذْرًا عَلَى أَنَّهُ يُمْكِنُ فِي يَوْمِ زَوَاجِهَا قَبْلَ وَضْعِ الزِّينَةِ أَنْ تَتَوَضَّأَ وَتَحْتَفِظَ بِطَهَارَتِهَا وَبَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ مُبَاشَرَةً تُصَلِّي صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا صَلَاةُ الْعِشَاءِ فَوَقْتُهَا وَاسِعٌ وَوَقْتُهَا الضَّرُورِيُّ يَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُمْكِنُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي أَيِّ وَقْتٍ يَعْنِي يُمْكِنُ أَنَّنَا نَقُولُ إِنَّ الْآنَ تُصَلِّي حَتَّى فِي الْوَقْتِ الضَّرُورِيِّ إِذَا احْتَاجَتْ لِذَلِكَ فِي هَذِهِ الْحَالِ لَكِنْ أَنَّهَا تَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ مُسَوِّغًا لَهَا لَيْسَ هَذَا بِمُسَوِّغٍ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ

Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia

Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.

Hukum Jual Beli Organ Tubuh Manusia

Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.
Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.


Daftar Isi Toggle Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkaiStatus kenajisan bagian tubuh manusiaKaidah fikih dan pembatasannyaHukum jual beli organ tubuh manusiaHukum donor organ tubuh manusiaKesimpulan Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur segala urusan makhluk-Nya dengan hikmah dan keadilan. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya yang mulia. Persoalan hukum jual beli organ tubuh manusia telah menjadi pembahasan yang penting di tengah perkembangan medis modern. Artikel ini akan membahas permasalahan ini dari sudut pandang syariat Islam dengan berlandaskan dalil-dalil yang kokoh, insyaAllah. Beberapa hal yang akan dibahas meliputi apakah bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup dianggap bangkai, hukum jual beli organ tubuh manusia, dan hukum mendonorkan organ secara sukarela. Semoga pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta menjadi pedoman dalam menjawab persoalan ini sesuai dengan prinsip syariat. Bagian tubuh yang diambil dari manusia hidup adalah bangkai Dalam kaidah fikih disebutkan, ما أبين من حي فهو كميتته “Apa yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi seperti bangkainya.” Kaidah ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari makhluk hidup dihukumi sebagaimana bangkai, baik dari segi kesucian maupun kenajisannya. Karena bangkai manusia dianggap najis, maka bagian tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup juga dianggap najis. [1] Sebagai konsekuensinya, pemberian sesuatu yang najis tidak diperbolehkan dalam syariat, dan penggunaannya pun dilarang jika menyebabkan pelanggaran terhadap kewajiban syar’i, seperti sahnya salat. Oleh sebab itu, menurut pendapat ini, mendonorkan organ tubuh manusia hidup tidak diperbolehkan karena dianggap termasuk dalam memberikan barang najis. Namun, pendapat tersebut telah dibantah oleh ulama yang lainnya. Di antara bantahannya adalah: Status kenajisan bagian tubuh manusia Pendapat bahwa bagian tubuh manusia yang terpisah adalah najis tidak disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa manusia, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah suci, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, المؤمنُ لا يَنجسُ “Seorang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371) Maka, bagian tubuh manusia yang terpisah pun dianggap suci seperti keseluruhan tubuhnya. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan kaidah tersebut, beliau mengatakan, وقوله: «كميتته»، يعني: طهارة، ونجاسة، حِلًّا، وحُرمة، فما أُبينَ من الآدمي فهو طاهر، حرام لحرمته لا لنجاسته “Maksud ucapan ‘seperti bangkainya’ yakni dalam hal kesucian, kenajisan, kebolehan, dan keharaman. Maka, apa yang terpisah dari tubuh manusia adalah suci, tetapi haram karena kehormatan manusia, bukan karena najisnya.” [2] Kaidah fikih dan pembatasannya Kaidah fikih “ما أبين من حي فهو كميتته“ berasal dari hadis yang berkaitan dengan hewan. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sementara mereka memotong punuk unta dan memotong ekor-ekor domba. Maka, beliau bersabda, ما قُطِعَ منَ البَهيمةِ وَهيَ حيَّةٌ فَهوَ ميتَةٌ “Apa yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi no. 1480) Hadis ini berkaitan dengan hewan dan tidak mencakup manusia. Oleh karena itu, menerapkan kaidah ini pada manusia adalah bentuk perluasan yang tidak tepat. [3] Baca juga: Jual Beli Dengan Sistem Dropship Hukum jual beli organ tubuh manusia Hukum jual beli organ tubuh manusia adalah haram. Di antara dalil dari hukum tersebut adalah Dalil pertama: Firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70) Syariat telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dan diberi keistimewaan atas banyak makhluk lainnya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang dimuliakan, bukan untuk direndahkan. Jual beli bagian tubuhnya mengandung unsur penghinaan dan pelecehan. Ibnu Abidin rahimahullah berkata, وَالْآدَمِيُّ مُكَرَّمٌ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ كَافِرًا ‌فَإِيرَادُ ‌الْعَقْدِ عَلَيْهِ وَابْتِذَالُهُ بِهِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْجَمَادَاتِ إذْلَالٌ لَهُ “Manusia secara syar’i dimuliakan, meskipun ia kafir. Maka, mengadakan akad jual beli terhadap dirinya, menjadikannya seperti benda mati adalah penghinaan baginya.” [4] Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قالَ اللَّهُ: ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَومَ القِيامَةِ: رَجُلٌ أعْطَى بي ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ باعَ حُرًّا فأكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أجِيرًا فاسْتَوْفَى منه ولم يُعطِه أجرَه. “Allah berfirman, ‘Ada tiga orang yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: (1) seseorang yang berjanji atas nama-Ku, lalu ia mengingkarinya; (2) seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya; (3) serta seseorang yang menyewa pekerja, lalu ia memanfaatkan tenaganya tetapi tidak membayarnya.” (HR. Bukhari no. 2227) Jika diketahui bahwa syariat mengharamkan penjualan manusia merdeka secara keseluruhan, maka dengan sendirinya penjualan bagian tubuhnya juga haram. Selanjutnya, jika menjual tubuh orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, diharamkan, maka menjual bagian tubuh diri sendiri juga diharamkan. Tidak ada ulama yang berpendapat berbeda dalam hal ini. Dalil ketiga: Suatu benda tidak dianggap sebagai barang bernilai menurut adat atau syariat, kecuali jika ia memiliki nilai di pasar. Hal ini tidak berlaku untuk tubuh manusia. Menganggap tubuh manusia sebagai harta bertentangan dengan akal sehat, karena hal itu mengharuskan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Padahal, tubuh manusia adalah bagian dari dirinya. Selama tubuh manusia tidak dianggap sebagai harta, maka tidak boleh diperjualbelikan. Dalil keempat: Para ulama berkata, “Tubuh manusia bukanlah miliknya, sehingga ia tidak boleh menjualnya. Sebab, seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya.” [5] Hukum donor organ tubuh manusia Diperbolehkan donor (suka rela) organ tubuh untuk tujuan pengobatan melalui transplantasi. Mayoritas peneliti mendukung pendapat ini, dan pandangan ini juga diadopsi oleh banyak lembaga dan forum fikih. Di antara dalil atas pendapat ini adalah: Dalil pertama: Mereka berpendapat bahwa mengorbankan sebagian hak demi menyelamatkan orang yang berada dalam keadaan darurat adalah tindakan yang dianjurkan secara syariat, selama berada dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Tindakan ini termasuk dalam bentuk kebajikan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala, وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Hal ini juga termasuk bentuk itsar (mengutamakan orang lain) yang dipuji Allah dalam firman-Nya, وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan.” (QS. Al-Hasyr: 9) Jika donor organ manusia dapat menyelamatkan orang dari kematian atau bahaya besar, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ta’awun ‘ala al-birr (tolong-menolong dalam kebajikan) dan itsar yang berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Dalil kedua: Donor organ dianalogikan dengan jihad fii sabilillah dengan jiwa dan upaya penyelamatan korban tenggelam, kebakaran, atau runtuhan, meskipun tindakan tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi pelaku penyelamatan. Hal ini termasuk dalam kategori menyelamatkan jiwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32). Dalil ketiga: Dalam syariat, kerugian ringan dapat ditoleransi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, donor organ yang membawa risiko kecil bagi pendonor dapat dibenarkan demi menyelamatkan orang lain dari risiko besar, asalkan sesuai dengan batasan syariat. [6] Kesimpulan Islam memuliakan tubuh manusia sehingga jual beli organ tubuh dilarang karena bertentangan dengan kehormatan tersebut. Namun, donor organ tubuh diperbolehkan selama bertujuan menyelamatkan jiwa, tidak membahayakan pendonor, dan sesuai batasan syariat. Hal ini mencerminkan nilai kemanusiaan, kerja sama dalam kebaikan, dan semangat pengorbanan yang dianjurkan dalam Islam. Wallahu A’lam. Baca juga: Hukum Jual Beli Emas Secara Online *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Qorrah Daghi, Aref Ali Aref. Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya (Jurisprudential Issues Pertaining to Organ Transplant). Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah dan IIUM Press, 2012.   Catatan kaki: [1] Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39: 421-422. [2] Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1: 97. [3] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 17-19. [4] Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala Ad-Durr Al-Mukhtar, 5: 58. [5] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 57-59. Catatan tambahan: Dibolehkan bagi orang yang sangat terpaksa untuk membayar harga (yaitu membeli) organ, namun hukum asal jual belinya tetap haram. [6] Qadhaya Fiqhiyya fi Naql Al-A’dha’ Al-Bashariyya, hal. 20-23.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa adab buang hajat dalam pandangan Islam. Berikut kelanjutannya: Keempat: Membersihkan kemaluan Setelah buang air besar ataupun kecil, kemaluan dan dubur harus dibersihkan. Yang paling afdhal adalah membasuhnya dengan air hingga bersih. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌لِحَاجَتِهِ، ‌أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَة مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ» “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat, aku dan pembantu lainnya membawakan wadah berisikan air, untuk digunakan beliau membersihkan kemaluannya”. HR. Bukhari (no. 150). Bila air tidak tersedia, maka diperbolehkan untuk membersihkan kemaluan dengan benda padat bersih yang menyerap air, seperti batu, kayu, tisu dan yang serupa. Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, »لَقَدْ نَهَانَا … أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ« ‌‌“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami … untuk membersihkan kemaluan dengan batu kurang dari tiga butir, atau membersihkannya dengan kotoran atau tulang”. HR. Muslim (no. 262). Kelima: Berhati-hati dari cipratan air kencing Sebab hal yang kerap dianggap remeh ini, bisa mengakibatkan seseorang diazab di kuburan. Gara-gara najis air seni itu mengotori tubuh atau pakaiannya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّهُمَا ‌لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ« “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping dua kuburan. Beliau bersabda, “Dua orang ini sedang diazab, gara-gara hal yang dianggap remeh. Orang pertama tidak berhati-hati dari air kencing. Orang kedua sering mengadu domba”. HR. Bukhari (no. 218) dan Muslim (no. 292). Keenam: Tidak berbicara di kamar mandi Tidak boleh berbicara di toilet, apalagi berdzikir atau berdoa. Sebab toilet bukanlah tempat untuk hal tersebut. Kecuali bila dalam kondisi darurat. Misalnya orang yang di toilet membutuhkan bantuan mendesak dari orang lain. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, «أَنَّ ‌رَجُلًا ‌مَرَّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمَ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ» “Ada seseorang lewat di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawabnya”. HR. Muslim (no. 370). Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau tempat bernaung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, «اتَّقُوا ‌اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» “Hindarilah dua jenis manusia yang dilaknat orang banyak”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dua manusia tersebut?”. Beliau menjawab, “Manusia yang buang hajat di jalan yang banyak dilewati orang dan di tempat mereka bernaung”. HR. Muslim (no. 269).  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 10 Rajab 1445 / 22 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Sungguh Beruntung Jika Anda Duduk Bersamanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Sungguh Beruntung Jika Anda Duduk Bersamanya – Syaikh Abdurrazzaq Al Badr #NasehatUlama

Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ


Beliau —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallāhu ʿanhu, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir, mereka saling memanggil: “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari.” Lalu para malaikat menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Kemudian, Allah bertanya kepada malaikat-malaikat itu —padahal Allah lebih Mengetahui daripada mereka— “Apa yang dikatakan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, dan bertahmid kepada-Mu serta mengagungkan-Mu.” Allah Bertanya lagi, “Apakah mereka sudah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah! Mereka belum melihat-Mu.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?” Para malaikat menjawab, “Sekiranya mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat beribadah kepada-Mu dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.” Allah Bertanya, “Apa yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga.” Allah Bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin bersemangat menginginkannya, semakin bersungguh-sungguh memintanya, dan semakin besar mengharapkannya.” Allah Bertanya, “Lalu, mereka meminta perlindungan dari apa?” Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.” Allah Bertanya, “Apakah mereka sudah pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah Bertanya, “Bagaimana sekiranya jika mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab, “Tentu mereka akan semakin berusaha menghindarinya dan tambah takut terhadapnya.” Lalu Allah Berfirman: “Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Lalu ada salah satu malaikat berkata: “Di antara mereka ada seseorang yang bukan bagian dari mereka, dia hanya datang karena suatu keperluan.” Allah Taʿālā Berfirman: “Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang duduk bersama mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya dan Membuatnya rida. Sebuah hadis yang sangat agung tentang keutamaan zikir, agungnya kedudukannya, dan besarnya pahala orang yang berzikir di sisi Allah ʿAzza wa Jalla. ==== قَالَ حَفِظَهُ الله وَعَنْهُ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالَ: يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ يَقُولُ الله تَعَالَى هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا الْحَدِيثُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ جِدًّا فِي فَضْلِ الذِّكْرِ وَعَظِيمِ شَأْنِهِ وَعَظِيمِ ثَوَابِ أَهْلِهِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum Berwudhu Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Salah satu ibadah mulia yang rutin dilakukan setiap muslim adalah berwudhu. Yakni saat akan menunaikan shalat, thawaf, membaca al-Qur’an, sebelum tidur, dan lain-lain. Sebagaimana ibadah lainnya, wudhu pun telah diatur tata caranya dalam al-Qur’an dan Hadits. Di antara aturan tersebut adalah: membaca doa sebelum berwudhu. Redaksi doanya seperti berikut ini: ‌”بِسْمِ اللهِ” “Bismillah”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ، وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ” “Tidak sah shalat orang yang tidak berwudhu. Dan tidak sempurna wudhu orang yang tidak membaca basmalah”. HR. Abu Dawud (no. 101) dari Abu Hurairah dan dinilai hasan oleh Ibn Katsir1. Renungan Kandungan Sebelum berwudhu kita dianjurkan untuk membaca basmalah. Kalimat “bismillah” biasa diterjemahkan: “dengan menyebut nama Allah”. Maksudnya kita memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam berwudhu. Sehingga pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits, serta diterima oleh Allah ta’ala. Imam ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla mengajarkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengawali setiap perbuatan dan kepentingannya dengan menyebut nama-Nya. Allah menjadikan aturan ini berlaku bagi para hamba-Nya di awal setiap urusan mereka2. Agar tiap muslim selalu mengingat Allah dalam semua aktivitasnya. Dengan tujuan supaya memperoleh curahan berkah dari Allah, mendapatkan pertolongan untuk menyelesaikan segala urusan, dan agar amalannya diterima oleh-Nya3. Hukum membaca basmalah sebelum berwudhu Berdasarkan dzahir hadits di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Yakni bagi orang yang telah mengetahui hukumnya dan mengingatnya. Namun bila ada yang berwudhu tanpa membaca basmalah—lantaran ketidaktahuannya atau karena lupa—maka wudhunya tetap sah. Sebab ia berhak mendapat dispensasi; atas ketidaktahuannya atau kelupaannya. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah sunnah. Di antara argumen mereka: hadits yang memuat teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang sahabat yang shalatnya tidak benar. Di akhir hadits tersebut beliau menjelaskan tata cara shalat yang benar. Beliau mengawali penjelasannya dengan bersabda, “‌إِذَا ‌قُمْتَ ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ” “Jika engkau akan shalat, berwudhulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu”. HR. Tirmidziy (no. 302) dan beliau menyatakan hadits ini hasan. Hadits ini memerintahkan untuk berwudhu seperti yang diajarkan Allah di dalam al-Qur’an. Sebagaimana telah maklum, bahwa ayat wudhu di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk membaca basmalah. Maka membaca basmalah sebelum wudhu hukumnya tidak wajib. Terlepas mana pendapat yang lebih kuat, tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan basmalah sebelum berwudhu. Sebab hal itu disyariatkan dalam agama kita.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1445 / 5 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Makna “Al-Ba’ah” dalam Hadis Ibnu Mas’ud

Kata Al-Ba’ah ( البَاءَة ) di dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” [1] Makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) secara bahasa yaitu jimak, yang berasal dari kata al-maba’ah ( المباءة ) yang artinya tempat tinggal atau rumah ( المنزِل ), asal muasalnya adalah sebuat tempat berdiam dan berlindung. Seperti contoh kata Maba’atu Al-Ibil ( مباءة الإبل ), maksudnya adalah tempat tinggal unta. Kemudian kata ini dipinjam di dalam akad nikah; karena orang yang menikahi wanita, dia akan memberikan sebuah rumah atau tempat tinggal. [2] Adapun makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) pada hadis di atas, maka para ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama: Ditinjau dari sisi bahasa yang artinya jimak, maka makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu jimak karena bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak mampu jimak karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka wajib berpuasa untuk memutus syahwatnya dan membatasi air maninya, sebagaimana halnya orang yang terpotong testisnya (buah zakar), yaitu pengebirian.” Pendapat kedua: Memperhatikan alasan jimak dan bekal pernikahan. Sehingga istilah Al-Ba’ah dinamakan berdasarkan kewajiban-kewajiban yang melekat pada maknanya. Sehingga makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu mencukupi sarana jimak dan bekal pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka hendaknya menikah. Dan siapa saja yang tidak mampu, hendaknya berpuasa untuk menghilangkan (mengendalikan) syahwatnya.” [3] Maka yang lebih rajih (kuat) makna pendapat kedua yaitu Al-Qudrah,  yaitu kemampuan atau kesanggupan di dalam nafkah pernikahan, bukan semata kesanggupan di dalam jimak [4], karena dua alasan berikut: Pertama: Hadis tersebut ditujukan kepada para pemuda yang mampu jimak; karena kebanyakan dan umumnya pemuda, mereka telah memiliki kekuatan untuk jimak, berbeda dengan orang tua. Kedua: Karena orang yang tidak mampu jimak, tidak memerlukan puasa untuk menghilangkan syahwatnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “kesanggupan” dalam hadis di atas adalah kesanggupan menanggung biaya dan nafkah pernikahan, bukan kesanggupan untuk jimak. Tetapi tidak mengapa apabila Al-Ba’ah dibawa ke makna yang lebih luas, yaitu kesanggupan jimak dan nafkah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah. [5] Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Junaidi Abu Isa Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1007   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066; dan Muslim no. 1905. [2] An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (1: 160); Gharibul Hadits, karya Ibnu Jauzi (1: 89); dan Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108), [3] Syarhu Muslim, karya An-Nawawi (9: 173); Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108). [4] Majmu Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah (6: 32). [5] Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 109).

Makna “Al-Ba’ah” dalam Hadis Ibnu Mas’ud

Kata Al-Ba’ah ( البَاءَة ) di dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” [1] Makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) secara bahasa yaitu jimak, yang berasal dari kata al-maba’ah ( المباءة ) yang artinya tempat tinggal atau rumah ( المنزِل ), asal muasalnya adalah sebuat tempat berdiam dan berlindung. Seperti contoh kata Maba’atu Al-Ibil ( مباءة الإبل ), maksudnya adalah tempat tinggal unta. Kemudian kata ini dipinjam di dalam akad nikah; karena orang yang menikahi wanita, dia akan memberikan sebuah rumah atau tempat tinggal. [2] Adapun makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) pada hadis di atas, maka para ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama: Ditinjau dari sisi bahasa yang artinya jimak, maka makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu jimak karena bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak mampu jimak karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka wajib berpuasa untuk memutus syahwatnya dan membatasi air maninya, sebagaimana halnya orang yang terpotong testisnya (buah zakar), yaitu pengebirian.” Pendapat kedua: Memperhatikan alasan jimak dan bekal pernikahan. Sehingga istilah Al-Ba’ah dinamakan berdasarkan kewajiban-kewajiban yang melekat pada maknanya. Sehingga makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu mencukupi sarana jimak dan bekal pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka hendaknya menikah. Dan siapa saja yang tidak mampu, hendaknya berpuasa untuk menghilangkan (mengendalikan) syahwatnya.” [3] Maka yang lebih rajih (kuat) makna pendapat kedua yaitu Al-Qudrah,  yaitu kemampuan atau kesanggupan di dalam nafkah pernikahan, bukan semata kesanggupan di dalam jimak [4], karena dua alasan berikut: Pertama: Hadis tersebut ditujukan kepada para pemuda yang mampu jimak; karena kebanyakan dan umumnya pemuda, mereka telah memiliki kekuatan untuk jimak, berbeda dengan orang tua. Kedua: Karena orang yang tidak mampu jimak, tidak memerlukan puasa untuk menghilangkan syahwatnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “kesanggupan” dalam hadis di atas adalah kesanggupan menanggung biaya dan nafkah pernikahan, bukan kesanggupan untuk jimak. Tetapi tidak mengapa apabila Al-Ba’ah dibawa ke makna yang lebih luas, yaitu kesanggupan jimak dan nafkah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah. [5] Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Junaidi Abu Isa Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1007   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066; dan Muslim no. 1905. [2] An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (1: 160); Gharibul Hadits, karya Ibnu Jauzi (1: 89); dan Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108), [3] Syarhu Muslim, karya An-Nawawi (9: 173); Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108). [4] Majmu Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah (6: 32). [5] Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 109).
Kata Al-Ba’ah ( البَاءَة ) di dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” [1] Makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) secara bahasa yaitu jimak, yang berasal dari kata al-maba’ah ( المباءة ) yang artinya tempat tinggal atau rumah ( المنزِل ), asal muasalnya adalah sebuat tempat berdiam dan berlindung. Seperti contoh kata Maba’atu Al-Ibil ( مباءة الإبل ), maksudnya adalah tempat tinggal unta. Kemudian kata ini dipinjam di dalam akad nikah; karena orang yang menikahi wanita, dia akan memberikan sebuah rumah atau tempat tinggal. [2] Adapun makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) pada hadis di atas, maka para ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama: Ditinjau dari sisi bahasa yang artinya jimak, maka makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu jimak karena bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak mampu jimak karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka wajib berpuasa untuk memutus syahwatnya dan membatasi air maninya, sebagaimana halnya orang yang terpotong testisnya (buah zakar), yaitu pengebirian.” Pendapat kedua: Memperhatikan alasan jimak dan bekal pernikahan. Sehingga istilah Al-Ba’ah dinamakan berdasarkan kewajiban-kewajiban yang melekat pada maknanya. Sehingga makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu mencukupi sarana jimak dan bekal pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka hendaknya menikah. Dan siapa saja yang tidak mampu, hendaknya berpuasa untuk menghilangkan (mengendalikan) syahwatnya.” [3] Maka yang lebih rajih (kuat) makna pendapat kedua yaitu Al-Qudrah,  yaitu kemampuan atau kesanggupan di dalam nafkah pernikahan, bukan semata kesanggupan di dalam jimak [4], karena dua alasan berikut: Pertama: Hadis tersebut ditujukan kepada para pemuda yang mampu jimak; karena kebanyakan dan umumnya pemuda, mereka telah memiliki kekuatan untuk jimak, berbeda dengan orang tua. Kedua: Karena orang yang tidak mampu jimak, tidak memerlukan puasa untuk menghilangkan syahwatnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “kesanggupan” dalam hadis di atas adalah kesanggupan menanggung biaya dan nafkah pernikahan, bukan kesanggupan untuk jimak. Tetapi tidak mengapa apabila Al-Ba’ah dibawa ke makna yang lebih luas, yaitu kesanggupan jimak dan nafkah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah. [5] Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Junaidi Abu Isa Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1007   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066; dan Muslim no. 1905. [2] An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (1: 160); Gharibul Hadits, karya Ibnu Jauzi (1: 89); dan Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108), [3] Syarhu Muslim, karya An-Nawawi (9: 173); Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108). [4] Majmu Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah (6: 32). [5] Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 109).


Kata Al-Ba’ah ( البَاءَة ) di dalam hadis yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” [1] Makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) secara bahasa yaitu jimak, yang berasal dari kata al-maba’ah ( المباءة ) yang artinya tempat tinggal atau rumah ( المنزِل ), asal muasalnya adalah sebuat tempat berdiam dan berlindung. Seperti contoh kata Maba’atu Al-Ibil ( مباءة الإبل ), maksudnya adalah tempat tinggal unta. Kemudian kata ini dipinjam di dalam akad nikah; karena orang yang menikahi wanita, dia akan memberikan sebuah rumah atau tempat tinggal. [2] Adapun makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) pada hadis di atas, maka para ulama berbeda pendapat: Pendapat pertama: Ditinjau dari sisi bahasa yang artinya jimak, maka makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu jimak karena bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak mampu jimak karena tidak bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka wajib berpuasa untuk memutus syahwatnya dan membatasi air maninya, sebagaimana halnya orang yang terpotong testisnya (buah zakar), yaitu pengebirian.” Pendapat kedua: Memperhatikan alasan jimak dan bekal pernikahan. Sehingga istilah Al-Ba’ah dinamakan berdasarkan kewajiban-kewajiban yang melekat pada maknanya. Sehingga makna hadisnya sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian yang mampu mencukupi sarana jimak dan bekal pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka hendaknya menikah. Dan siapa saja yang tidak mampu, hendaknya berpuasa untuk menghilangkan (mengendalikan) syahwatnya.” [3] Maka yang lebih rajih (kuat) makna pendapat kedua yaitu Al-Qudrah,  yaitu kemampuan atau kesanggupan di dalam nafkah pernikahan, bukan semata kesanggupan di dalam jimak [4], karena dua alasan berikut: Pertama: Hadis tersebut ditujukan kepada para pemuda yang mampu jimak; karena kebanyakan dan umumnya pemuda, mereka telah memiliki kekuatan untuk jimak, berbeda dengan orang tua. Kedua: Karena orang yang tidak mampu jimak, tidak memerlukan puasa untuk menghilangkan syahwatnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “kesanggupan” dalam hadis di atas adalah kesanggupan menanggung biaya dan nafkah pernikahan, bukan kesanggupan untuk jimak. Tetapi tidak mengapa apabila Al-Ba’ah dibawa ke makna yang lebih luas, yaitu kesanggupan jimak dan nafkah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah. [5] Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Junaidi Abu Isa Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1007   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066; dan Muslim no. 1905. [2] An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (1: 160); Gharibul Hadits, karya Ibnu Jauzi (1: 89); dan Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108), [3] Syarhu Muslim, karya An-Nawawi (9: 173); Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 108). [4] Majmu Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah (6: 32). [5] Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (9: 109).

Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.
Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.


Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Faedah-Faedah dari Hadis tentang Pelacur yang Memberi Minum Anjing

Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.

Faedah-Faedah dari Hadis tentang Pelacur yang Memberi Minum Anjing

Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.
Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.


Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ
Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ


Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ
Prev     Next