Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Hukum Poligami: Ketentuan Menikah dengan Empat Istri dalam Islam

Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami
Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami


Poligami dan hukum menikahi budak wanita muslimah adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki aturan jelas berdasarkan Al-Quran dan hadits. Islam menetapkan batasan dan syarat yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dalam poligami serta kondisi tertentu untuk menikahi budak wanita. Artikel ini membahas secara ringkas dalil dan penjelasan terkait kedua topik tersebut untuk memberikan pemahaman yang mendalam sesuai ajaran Islam.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Tujuan Menikah 3. Dalil Syariat Poligami 4. Disunnahkan Satu Istri Saja 5. Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil 6. Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil 7. Catatan dalam Pembagian Malam 8. Menikahi Budak Wanita 8.1. Referensi: 8.2. Referensi web: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Tujuan Menikah Disebutkan dalam kitab ulama Syafiiyah, قال الأطباء ومقاصد النكاح ثلاثة: حفظ النسل وإخراج الماء الذي يضر احتباسه بالبدن ونيل اللذة، وهذه الثالثة هي التي في الجنة إذ لا تناسل هناك ولا احتباس. Para dokter berkata bahwa tujuan utama pernikahan ada tiga: 1. Melestarikan keturunan, 2. Mengeluarkan air (mani) yang dapat membahayakan tubuh jika ditahan terlalu lama, 3. Memperoleh kenikmatan (dengan berjimak). Tujuan yang ketiga di atas adalah kenikmatan yang didapati lagi di surga, karena di sana tidak ada reproduksi dan penumpukan air mani. (Asna al-Mathalib Syarh Raudh ath-Thalib li Zakariyya al-Anshariy, 3:98)   Dalil Syariat Poligami Allah Ta’ala berfirman, فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3) Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri rahimahullah berkata, “Nikahilah dua, tiga, atau empat dari wanita yang kau sukai, tidak boleh lebih dari empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Ghilan di mana ketika masuk Islam, ia memiliki sepuluh istri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, َّأَمسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُن “Tahan empat, ceraikan sisanya.” (HR. Al-Hakim, 2:192; Ibnu Hibban, 4157 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma). Jika Ghilan diperintahkan mempertahankan empat, maka yang menikahi empat wanita sedari awal tentu dibolehkan. (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 3:319) Al-Harits bin Qais berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki delapan istri, maka aku menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا “Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih) Baca juga:  Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak Poligami Tanpa Diketahui Istri Pertama 10 Alasan Istri Tidak Mau Dipoligami Anjuran Para Ulama, Cukup Satu Istri Saja Setelah Khadijah Meninggal Dunia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai Berpoligami   Disunnahkan Satu Istri Saja Madzhab kebanyakan ulama adalah disunnahkan cukup satu istri saja. Abul Husain Al-‘Imrani mengatakan bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku suka pada laki-laki yang mencukupkan pada satu istri saja, walaupun memiliki istri lebih dari satu diperbolehkan karena Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3).” Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata bahwa tidak tepat berdalil dengan ayat berikut untuk menyatakan sunnahnya poligami, وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa: 3) Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata: Karena ayat di atas menunjukkan makna DIBOLEHKAN, bukan anjuran harus berpoligami. Sebab turunnya ayat di atas juga menunjukkan bahwa poligami itu mubah bagi yang menginginkannya, bukan menunjukkan hukum asal menikah adalah harus berpoligami. Sebab turunnya ayat ini adalah: Mereka ingin menikahi wanita yatim tetapi meremehkan hak wanita tersebut atas mahar yang layak. Maka Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk memberikan mahar kepada wanita yatim sebagaimana yang diberikan kepada wanita lain. Jika tidak mampu berlaku adil, mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang masih banyak tersedia. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumti’ (12:12) menjelaskan, “Membatasi diri pada satu istri lebih aman. Namun, jika seseorang merasa bahwa satu istri tidak mencukupinya dan ia khawatir terjerumus ke dalam zina, maka kami anjurkan untuk menikahi istri kedua, ketiga, hingga keempat. Dengan demikian, ia dapat mencapai ketenangan jiwa, menjaga pandangan, dan menenangkan hatinya.” Baca juga: Anjuran Para Ulama Cukup Satu Istri Saja   Poligami Tetapi Tidak Berlaku Adil Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1949). Hadits ini memberikan peringatan tegas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Ketidakadilan ini digambarkan dengan kondisi fisik yang miring pada hari kiamat, sebagai hukuman atas sikap condongnya kepada salah satu istri. Al-‘Azhim Abadi menjelaskan bahwa makna hadits ini merujuk pada ketidakadilan seorang suami terhadap istri-istrinya, baik dalam pembagian malam maupun nafkah. Jika seorang suami hanya memperhatikan satu istri sementara mengabaikan yang lain, maka kelak di akhirat, salah satu sisi tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ini adalah simbol dari ketimpangan yang dilakukannya selama di dunia (‘Aunul Ma’bud, 6:124). Beliau juga menegaskan bahwa keadilan dalam poligami wajib dilakukan dalam aspek-aspek yang mampu diusahakan oleh suami, seperti pembagian waktu malam dan nafkah. Namun, keadilan dalam hal perasaan, seperti cinta dan kecenderungan hati, tidak menjadi tuntutan karena manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya hal tersebut. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna ayat yang terkait dengan keadilan dalam poligami. Allah memaklumi bahwa suami tidak mampu berlaku adil secara sempurna, terutama dalam hal cinta dan perasaan. Namun, dalam aspek yang dapat diusahakan seperti nafkah, pakaian, dan pembagian malam, Allah menuntut suami untuk berbuat adil. Syaikh As-Sa’di menambahkan, “Adil dalam masalah nafkah, pakaian, pembagian malam, dan hal-hal serupa wajib dilakukan. Namun, kecintaan hati dan kenikmatan hubungan intim tidak termasuk dalam kewajiban untuk disamakan, karena hal ini di luar kendali manusia.” Hadits dan penjelasan ulama di atas memberikan panduan bagi suami yang menjalani poligami. Keadilan dalam aspek-aspek yang dapat diusahakan, seperti nafkah dan pembagian waktu, adalah kewajiban syari yang harus dijalankan. Namun, Allah memberikan keringanan dalam hal yang di luar kendali manusia, seperti perasaan cinta. Ketidakadilan yang disengaja akan membawa konsekuensi berat di akhirat. Poligami dalam Islam bukanlah tentang mengejar keinginan semata, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk berbuat adil sesuai tuntunan syariat. Suami yang berlaku adil tidak hanya menjalankan kewajiban duniawi, tetapi juga meraih rida Allah di akhirat. Baca juga: Poligami, Bisakah Adil?   Yang Hendak Berpoligami, Hendaklah Memiliki 3 Modal: Kemampuan Fisik, Finansial, dan Kepercayaan Diri untuk Berbuat Adil Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri, hingga maksimal empat istri, dengan syarat ia memiliki kemampuan finansial dan fisik yang memadai. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kekhawatiran bahwa ia akan berlaku tidak adil jika menikahi lebih dari satu istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa: 3). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Barang siapa khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukuplah baginya menikahi satu istri.” Sementara itu, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkamul Qur’an menyatakan, “Jika seorang laki-laki memiliki kemampuan finansial dan fisik untuk menikahi empat istri, maka silakan ia melakukannya. Namun, jika ia tidak mampu secara finansial maupun fisik, maka cukuplah baginya satu istri.” Berdasarkan penjelasan ini, setiap laki-laki yang merasa memiliki kemampuan finansial, fisik, serta kepercayaan diri untuk berlaku adil, tidak ada larangan baginya untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi kebaikan baginya.   Catatan dalam Pembagian Malam Para ulama fikih telah menetapkan bahwa dasar pembagian giliran antara istri adalah malam hari, sedangkan siang hari mengikuti malam hari dalam hal ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni ketika menjelaskan pernyataan Al-Khiraqi “dan dasar pembagian giliran adalah malam hari” mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena malam hari adalah waktu untuk beristirahat dan tempat tinggal. Pada malam hari, seseorang kembali ke rumahnya, merasa tenang bersama keluarganya, dan tidur di ranjang bersama istrinya sebagaimana kebiasaan. Adapun siang hari adalah waktu untuk bekerja, keluar rumah, mencari penghasilan, dan melakukan aktivitas lainnya. Siang hari masuk dalam pembagian giliran mengikuti malam hari.” Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan masuk ke rumah istri yang bukan gilirannya pada siang hari jika ada kebutuhan tertentu, tetapi tidak diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Ibnu Qudamah juga mengatakan: “Adapun masuk ke rumah istri di hari yang bukan gilirannya, hal itu diperbolehkan jika ada kebutuhan, seperti memberikan nafkah, menjenguknya, menanyakan sesuatu yang penting untuk diketahui, atau mengunjunginya karena sudah lama tidak bertemu, dan hal serupa. Namun, jika ia masuk, ia tidak boleh berhubungan badan dengannya dan tidak boleh berlama-lama di sana, karena hal itu memberikan rasa ketenangan, sementara ia tidak berhak mendapatkannya.” Kami tidak menemukan pendapat dari seorang pun ulama yang membolehkan seorang suami berhubungan badan dengan istri lain di siang hari hanya karena istri yang mendapat giliran sedang bekerja. Maka, hukum asalnya tetap, yaitu larangan.   Menikahi Budak Wanita Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.” Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’ lalu dijelaskan di Fath Al-Qarib: (3) tidak ada lagi wanita muslimah atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. Dalil boleh menikahi budak muslimah adalah, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25) Baca juga: Hukum Menikah Catatan: Budak di masa silam adalah individu yang tidak memiliki kebebasan pribadi karena menjadi milik orang lain. Mereka didapatkan melalui perang, pembelian, atau warisan, sesuai dengan aturan yang berlaku pada masa itu. Sedangkan pembantu pada zaman ini adalah pekerja yang bekerja secara sukarela berdasarkan kontrak atau kesepakatan, memiliki hak penuh atas kebebasannya, dan tidak dimiliki oleh majikan. Islam mengatur perbudakan dengan sangat manusiawi di zamannya, bahkan mendorong pembebasan budak sebagai amalan mulia. Baca juga: Berbagai Pembahasan Poligami di Rumaysho.Com   Referensi: Al-Ashfahaniy, A. b. A. H. (1428 H). Mukhtashor Abi Syuja’ (Matan Al Ghoyah wat Taqrib atau Ghoyah Al Ikhtishor)(Cetakan pertama). Darul Minhaj. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (1441 H). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’(Cetakan kedua). Dar Al-Minhaj. Al-Bugho, M. (1428 H). At Tadzhib fii Adillati Matn Al Ghoyah wat Taqrib (Cetakan kesebelas). Darul Musthofa. Al-Ghozzi, M. b. Q. b. M. (1425 H). Fathul Qorib Al Mujiib fii Syarh Alfazhit Taqriib (Al Qoul Al Mukhtaar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor) (Cetakan pertama). Dar Ibnu Hazm. Al-Hushoini, T. A. B. b. M. (n.d.). Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor. Al-Kaamil Haamid, H. (1432 H). Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii (Cetakan pertama). Dar Al-Manar.   Referensi web: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/484900/حكم-وطء-الزوجة-نهارا-في-بيتها-في-دور-ضرتها-التي-في-العمل https://www.islamweb.net/amp/ar/fatwa/7844/   –   Ditulis pada 7 Rajab 1446 H, 7 Januari 2025 di Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbatasan poligami dalil Al-Quran tentang poligami dalil poligami etika poligami hukum menikahi budak wanita hukum pernikahan dalam Islam Hukum poligami dalam Islam keadilan dalam poligami matan taqrib matan taqrib kitab nikah menikah dengan empat istri panduan nikah Islami panduan syariat menikah pernikahan dengan budak muslimah poligami poligami sesuai syariat syarat menikahi budak syarat poligami

Nabi Selalu Berlindung dari 8 Bahaya Ini – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Nabi Selalu Berlindung dari 8 Bahaya Ini – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ


Ada delapan perkara, yang Nabi kita ʿalaihish shalātu was salām banyak memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā darinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari: resah, sedih, lemah, malas, bakhil, pengecut, lilitan utang, dan kezaliman.” (HR. Bukhari) ==== ثَمَانِيَةُ أُمُورٍ كَانَ يُكْثِرُ نَبِيُّنَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنَ التَّعَوُّذِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya
Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya


Daftar Isi Toggle Sewa menyewa jasa yang bersifat khususJenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa)Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Melanjutkan pembahasan sebelumnya, yakni berkaitan dengan sewa menyewa jasa atau pekerjaan dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Lebih mudahnya, pembahasan ini bisa menggunakan kata tanya, “Untuk siapakah jasa ini diperuntukkan? Apakah bisa untuk semua orang? Atau diperuntukkan jasanya hanya secara khusus saja?” Dari poin dan pertanyaan ini ada beberapa ahkam dan masa’il yang dibahas oleh para ulama. Jika dilihat dari tujuan penggunaan jasa, sewa menyewa terbagi menjadi dua [1]: Pertama: Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, (الأجير الخاص) Kedua: Sewa menyewa jasa yang bersifat umum atau publik, (الأجير المشترك) Dan tulisan kali ini akan lebih mengerucut kepada pembahasan di poin pertama. Sewa menyewa jasa yang bersifat khusus Maksudnya adalah pekerja yang waktu dan tenaganya hanya dikhususkan untuk satu orang atau satu pihak tertentu selama masa kontrak kerja. Dinamakan khusus, karena ia hanya memberikan pekerjaannya kepada penyewanya saja pada waktu tersebut. [2] Dan bentuk pekerja yang seperti ini ada dua jenis, Jenis pertama: khusus untuk bekerja selama masa kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa bekerja sesuai dengan waktu yang disepakati di awal akad. Seperti pembantu rumah yang bekerja untuk majikannya selama satu tahun lamanya, atau karyawan pada sebuah perusahaan dan lainnya. Terkait dengan jenis pertama ini terdapat beberapa ketentuan, di antaranya: Pertama: Jika pekerja atau penyedia jasa bekerja berdasarkan kesepakatan waktu, maka kesepakatan waktu dan kontrak kerja harus jelas di awal akad. Mudahnya, seseorang menyewa pekerja dengan menentukan target selesainya perbaikan rumah sekitar satu bulan lamanya. Karena, manfaat yang didapatkan oleh pihak penyewa tidak akan diperoleh kecuali dengan menentukan waktu tersebut. Kemudian dalam menentukan waktu, harus disesuaikan dengan kemampuan pekerja, tidak serta merta ditentukan oleh satu pihak saja, harus dilihat dari jumlah pekerja, material yang digunakan, dan cuaca pada waktu itu. Hal ini tentunya hanya dapat dikira-kira sesuai dengan dugaan kuat, sampai berapa lama pekerja bisa menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Kedua: Pekerja berhak untuk memperoleh upahnya hanya dengan menyerahkan dirinya saja. Hal ini jika akad berdasarkan waktu atau kontrak kerja, karena pekerja khusus tersebut “menjual” waktunya, bukan hasil kerjanya (pada akad jenis ini). Artinya, jika pekerja khusus tidak dipekerjakan, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah. Seperti pembantu rumah tangga yang bekerja pada seorang majikan, kemudian tidak ada pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya atau tidak ada kerjaan yang dikerjakannya (karena pekerjaan pada hari itu sudah selesai semua). Dalam kasus ini, ia tetap berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: Pekerja sangat berhak untuk mendapatkan upahnya pada waktu yang disepakati selesai. Karena manfaat yang diberikan telah diperoleh oleh pihak penyewa jasanya. Sehingga, tidak boleh bagi penyewa jasa mengulur-ngulur waktu bahkan melewati batas kesepakatan akad awal. Karena hal ini merupakan sebuah tindakan kezaliman. Ingatlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Dan ingatlah! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jenis kedua: khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang disepakati kedua belah pihak (penyedia dan penyewa jasa) Artinya, pekerja atau penyedia jasa hanya bekerja sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan oleh penyewa jasa. Seperti memperbaiki listrik, saluran air, rumah, dan lainnya. Di antara ketentuan pada jenis kedua sebagai berikut, Jika akad yang disepakati berdasarkan pekerjaannya, maka pekerja berhak untuk mendapatkan upahnya secara utuh ketika ia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama di awal akad. Yang jadi patokan di jenis kedua ini adalah pekerjaannya, bukan waktunya. Sehingga selama pekerjaannya belum selesai, maka ia tidak bisa mendapatkan upahnya secara utuh. Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, jika pekerja hanya mengerjakan sebagian pekerjaannya saja kemudian berhenti. Yang lebih rajih, ia hanya berhak menerima sesuai dengan akhir pekerjaannya. Jika baru setengah yang dikerjakan, maka upahnya hanya diberikan setengah. Demikian pendapat jumhur dan yang dipilih oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [3]. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7) Dikarenakan setiap bagian pekerjaannya, ia berhak untuk mendapatkan upah sesuai dengan bagian pekerjaannya saja. Jika lebih, maka pekerja telah mengambil hak yang bukan miliknya. Ringkasnya, dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwasanya akad pada sewa menyewa jasa yang bersifat khusus, ada dua jenis yang harus diperhatikan dalam akadnya. Yaitu, terkait dengan waktu dan pekerjaan. Silakan untuk kedua belah pihak menyepakati dan memberikan target pekerjaan yang harus diselesaikan, dan sampai mana pekerjaan itu harus selesai. Ketentuan akad seperti ini sangatlah penting, agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak di tengah-tengah akad sewa menyewa. Karenanya terdapat sebuah perkataan yang bagus, dinisbatkan kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, مَقَاطِعُ الْحُقُوقِ عِنْدَ شُرُوْطِهَا “Pemenuhan hak ditentukan oleh syarat-syarat yang disepakati.” Artinya, dalam masalah muamalah sangat erat kaitannya dengan syarat di awal akad. Agar tidak ada yang dizalimi dan merasa dizalimi. Seringkali kedua hal itu terjadi karena akadnya yang tidak jelas, abstrak, dan masih ngambang. Sehingga seluruh pihak menuntut haknya yang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran. Maka, ingatlah baik-baik kaidah yang diberikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. [Bersambung] KEMBALI KE BAGIAN 5 *** Depok, 20 Jumadil Akhir 1446/ 22 Desember 2024 Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu pada pembahasan Ahkaamul Ijaarah ‘alal ‘Amaal dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 289. [2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal. 358. [3] Majmu’ Fatawa, 30: 183; lihat Shahih Fiqh Sunnah, 5: 290.   Referensi: Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Dan beberapa referensi lainnya

Kenapa Orang Besar Bisa Tersesat? Ini Jawaban dari Alqur’an dan Hadis – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri NasehatUlama

Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ

Kenapa Orang Besar Bisa Tersesat? Ini Jawaban dari Alqur’an dan Hadis – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri NasehatUlama

Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ
Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ


Di antara perkara yang sangat ditekankan dalam hal ini, hendaknya seorang insan membentengi dirinya dengan berlindung kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Ali Imran: 101). Perbanyaklah doa kepada Allah! Perbanyaklah munajat di hadapan-Nya! Supaya ada hubungan antara dirimu dan Tuhanmu Jalla wa ‘Ala. Jangan sampai kamu mengatakan: “Aku sudah berada di atas jalan ketaatan!” Karena kamu tidak aman dari datangnya musuhmu, yaitu setan, lalu menyesatkanmu. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Maka janganlah kamu terlalu percaya diri! Namun justru hendaklah kepercayaanmu kepada Tuhanmu, dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Karena manusia tidak berada dalam keamanan. Betapa banyak orang besar, dan betapa banyak orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam keilmuan dan dalam ibadah, lalu dia didatangi berbagai sebab yang membuatnya tersesat dari jalan yang lurus. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ada hamba yang beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu hasta.Namun tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga dia menjadi penghuni neraka.” Oleh sebab itu, hendaklah kita berpegang teguh kepada Allah dan berlindung kepada-Nya agar Allah melindungi kita. Apabila seorang insan mencermati doa yang dari Nabi yang banyak dibaca oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu,” maka doa ini akan menjadikan seorang hamba merasa khawatir jika keadaannya dibalikkan. Cermatilah juga doa orang-orang yang kokoh keilmuannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat itu semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal. (Mereka lalu berdoa): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7-8). Oleh sebab itu, janganlah kamu merasa aman dari menjadi golongan orang-orang yang sesat dan menjauh dari kebenaran. ==== وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يُؤَكَّدُ عَلَيْهَا فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ يُحَصِّنَ الْإِنْسَانُ نَفْسَهُ بِالِاعْتِصَامِ بِاللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ أَكْثِرْ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ أَكْثِرْ مِنَ الْمُنَاجَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ لِيَكُنْ بَيْنَكَ وَبَيْنَ رَبِّكَ جَلَّ وَعَلَا تَوَاصُلٌ لَا تَقُولَنَّ أَنَا عَلَى طَرِيقِ طَاعَةٍ فَإِنَّكَ لَا تَأْمَنُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَكَ عَدُوُّكَ الشَّيْطَانُ وَيَغْوِيْكَ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ جَعَلَ هَذِهِ حَيَاةَ الدُّنْيَا مَحَلَّ فِتْنَةٍ وَابْتِلَاءٍ فَلَا تَكُنْ وَاثِقًا فِي نَفْسِكَ وَإِنَّمَا لِتَكُنْ ثِقَتُكَ فِي رَبِّكَ بِاعْتِصَامِكَ بِهِ فَالْإِنْسَانُ لَا يَأْمَنُ كَمْ مِنْ فَاضِلٍ كَمْ مِنْ شَخْصٍ بَلَغَ دَرَجَاتٍ عَالِيَةٍ فِي الْعِلْمِ وَفِي الْعِبَادَةِ ثُمَّ جَاءَتْهُ أَسْبَابٌ جَعَلَتْهُ يَضِلُّ الطَّرِيقَ وَاذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلِذَلِكَ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَصِمَ بِاللَّهِ وَأَنْ نَلْتَجِئَ إِلَيْهِ أَنْ يَحْمِيَنَا وَإِذَا نَظَرَ الْإِنْسَانُ إِلَى الدُّعَاءِ الْمَأْثُورِ الَّذِي كَانَ يُكْثِرُ مِنْهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ يَجْعَلُ هَذَا الدُّعَاءُ الْعَبْدَ يَخَافُ أَنْ يُقَلَّبَ فِي حَالِهِ وَانْظُرْ إِلَى دُعَاءِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَلِذَلِكَ لَا تَأْمَنْ عَلَى نَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ أَهْلِ الزَّيْغِ وَأَنْ تَبْتَعِدَ عَنِ الْحَقِّ

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Masjid adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah di muka bumi ini. Sehingga tidak layak untuk diperlakukan seperti tempat-tempat biasa lainnya. Justru ada beberapa adab yang musti diperhatikan. Salah satunya adalah: disunnahkan berdoa sebelum memasukinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan beberapa redaksi doa tersebut. Di antaranya: ‌”بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ، ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Allôhummaftahlî abwâba rohmatik”. Dalil Landasan Fathimah radhiyallahu‘anha menuturkan, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: “‌بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila masuk masjid biasa membaca “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh” (Dengan menyebut nama Allah. Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Rasulullah)”. HR. Ahmad (no. 26417) dan dinyatakan shahih lighairihi oleh al-Arna’uth. Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu berkata, قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَقُلْ: ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah membaca: “Allôhummaftahlî abwâba rohmatik” (Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu). HR. Muslim (no. 713). Renungan Kandungan Doa di atas diawali dengan basmalah. Yang inti kandungannya adalah permohonan bantuan kepada Allah. Sebab tanpa pertolongan dari-Nya; kita tidak mungkin mampu melaksanakan apapun. Entah itu aktivitas duniawi maupun ukhrawi. Rata-rata orang berangkat ke masjid bertujuan untuk melakukan berbagai macam ibadah. Menunaikan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, menghadiri pengajian, dan lain-lain. Agar maksimal dalam menjalankan ibadah-ibadah itu; kita tentu memerlukan bantuan dari Allah. Karenanyalah kita membaca basmalah sebelum masuk masjid. Agar Dia berkenan membantu kita untuk mengerjakan seluruh ibadah tersebut sebaik mungkin; secara lahir, maupun batin. Setelah itu kita mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Kita mendoakan keselamatan untuk beliau, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Lalu kita memohon kepada Allah agar membukakan pintu-pintu rahmat-Nya. Sebab berbagai ibadah yang dilakukan di masjid, dimaksudkan untuk meraih kasih sayang Allah, mendapatkan pahala dari-Nya dan agar masuk surga. Itu semua tidak mungkin tercapai; bila rahmat Allah tidak tercurahkan. Di sini kita diingatkan untuk tidak mengandalkan kekuatan pribadi dan usaha lahiriah semata; walaupun sudah dirasa maksimal. Kita harus merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, dan merasa lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuat. Kita harus menyadari bahwa tanpa taufik dari-Nya; tidak mungkin hati ini tergerak untuk beribadah dan tidak mungkin fisik memiliki kekuatan untuk beramal. Tanpa rahmat dari-Nya, mustahil ibadah dan amal yang kita kerjakan bakal diterima oleh-Nya. Karena itulah; kita senantiasa memohon agar pintu-pintu rahmat Allah terbuka. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 Dzulhijjah1445 / 10 Juni 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke MasjidBuku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Masjid adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah di muka bumi ini. Sehingga tidak layak untuk diperlakukan seperti tempat-tempat biasa lainnya. Justru ada beberapa adab yang musti diperhatikan. Salah satunya adalah: disunnahkan berdoa sebelum memasukinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan beberapa redaksi doa tersebut. Di antaranya: ‌”بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ، ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Allôhummaftahlî abwâba rohmatik”. Dalil Landasan Fathimah radhiyallahu‘anha menuturkan, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: “‌بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila masuk masjid biasa membaca “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh” (Dengan menyebut nama Allah. Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Rasulullah)”. HR. Ahmad (no. 26417) dan dinyatakan shahih lighairihi oleh al-Arna’uth. Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu berkata, قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَقُلْ: ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah membaca: “Allôhummaftahlî abwâba rohmatik” (Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu). HR. Muslim (no. 713). Renungan Kandungan Doa di atas diawali dengan basmalah. Yang inti kandungannya adalah permohonan bantuan kepada Allah. Sebab tanpa pertolongan dari-Nya; kita tidak mungkin mampu melaksanakan apapun. Entah itu aktivitas duniawi maupun ukhrawi. Rata-rata orang berangkat ke masjid bertujuan untuk melakukan berbagai macam ibadah. Menunaikan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, menghadiri pengajian, dan lain-lain. Agar maksimal dalam menjalankan ibadah-ibadah itu; kita tentu memerlukan bantuan dari Allah. Karenanyalah kita membaca basmalah sebelum masuk masjid. Agar Dia berkenan membantu kita untuk mengerjakan seluruh ibadah tersebut sebaik mungkin; secara lahir, maupun batin. Setelah itu kita mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Kita mendoakan keselamatan untuk beliau, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Lalu kita memohon kepada Allah agar membukakan pintu-pintu rahmat-Nya. Sebab berbagai ibadah yang dilakukan di masjid, dimaksudkan untuk meraih kasih sayang Allah, mendapatkan pahala dari-Nya dan agar masuk surga. Itu semua tidak mungkin tercapai; bila rahmat Allah tidak tercurahkan. Di sini kita diingatkan untuk tidak mengandalkan kekuatan pribadi dan usaha lahiriah semata; walaupun sudah dirasa maksimal. Kita harus merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, dan merasa lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuat. Kita harus menyadari bahwa tanpa taufik dari-Nya; tidak mungkin hati ini tergerak untuk beribadah dan tidak mungkin fisik memiliki kekuatan untuk beramal. Tanpa rahmat dari-Nya, mustahil ibadah dan amal yang kita kerjakan bakal diterima oleh-Nya. Karena itulah; kita senantiasa memohon agar pintu-pintu rahmat Allah terbuka. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 Dzulhijjah1445 / 10 Juni 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke MasjidBuku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Masjid adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah di muka bumi ini. Sehingga tidak layak untuk diperlakukan seperti tempat-tempat biasa lainnya. Justru ada beberapa adab yang musti diperhatikan. Salah satunya adalah: disunnahkan berdoa sebelum memasukinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan beberapa redaksi doa tersebut. Di antaranya: ‌”بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ، ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Allôhummaftahlî abwâba rohmatik”. Dalil Landasan Fathimah radhiyallahu‘anha menuturkan, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: “‌بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila masuk masjid biasa membaca “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh” (Dengan menyebut nama Allah. Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Rasulullah)”. HR. Ahmad (no. 26417) dan dinyatakan shahih lighairihi oleh al-Arna’uth. Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu berkata, قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَقُلْ: ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah membaca: “Allôhummaftahlî abwâba rohmatik” (Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu). HR. Muslim (no. 713). Renungan Kandungan Doa di atas diawali dengan basmalah. Yang inti kandungannya adalah permohonan bantuan kepada Allah. Sebab tanpa pertolongan dari-Nya; kita tidak mungkin mampu melaksanakan apapun. Entah itu aktivitas duniawi maupun ukhrawi. Rata-rata orang berangkat ke masjid bertujuan untuk melakukan berbagai macam ibadah. Menunaikan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, menghadiri pengajian, dan lain-lain. Agar maksimal dalam menjalankan ibadah-ibadah itu; kita tentu memerlukan bantuan dari Allah. Karenanyalah kita membaca basmalah sebelum masuk masjid. Agar Dia berkenan membantu kita untuk mengerjakan seluruh ibadah tersebut sebaik mungkin; secara lahir, maupun batin. Setelah itu kita mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Kita mendoakan keselamatan untuk beliau, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Lalu kita memohon kepada Allah agar membukakan pintu-pintu rahmat-Nya. Sebab berbagai ibadah yang dilakukan di masjid, dimaksudkan untuk meraih kasih sayang Allah, mendapatkan pahala dari-Nya dan agar masuk surga. Itu semua tidak mungkin tercapai; bila rahmat Allah tidak tercurahkan. Di sini kita diingatkan untuk tidak mengandalkan kekuatan pribadi dan usaha lahiriah semata; walaupun sudah dirasa maksimal. Kita harus merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, dan merasa lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuat. Kita harus menyadari bahwa tanpa taufik dari-Nya; tidak mungkin hati ini tergerak untuk beribadah dan tidak mungkin fisik memiliki kekuatan untuk beramal. Tanpa rahmat dari-Nya, mustahil ibadah dan amal yang kita kerjakan bakal diterima oleh-Nya. Karena itulah; kita senantiasa memohon agar pintu-pintu rahmat Allah terbuka. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 Dzulhijjah1445 / 10 Juni 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke MasjidBuku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Masjid adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah di muka bumi ini. Sehingga tidak layak untuk diperlakukan seperti tempat-tempat biasa lainnya. Justru ada beberapa adab yang musti diperhatikan. Salah satunya adalah: disunnahkan berdoa sebelum memasukinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan beberapa redaksi doa tersebut. Di antaranya: ‌”بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ، ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh. Allôhummaftahlî abwâba rohmatik”. Dalil Landasan Fathimah radhiyallahu‘anha menuturkan, كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: “‌بِسْمِ ‌اللهِ، ‌وَالسَّلَامُ ‌عَلَى ‌رَسُولِ ‌اللهِ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila masuk masjid biasa membaca “Bismillâh, wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh” (Dengan menyebut nama Allah. Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Rasulullah)”. HR. Ahmad (no. 26417) dan dinyatakan shahih lighairihi oleh al-Arna’uth. Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu berkata, قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَقُلْ: ‌اللهُمَّ ‌افْتَحْ ‌لِي ‌أَبْوَابَ ‌رَحْمَتِكَ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah membaca: “Allôhummaftahlî abwâba rohmatik” (Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu). HR. Muslim (no. 713). Renungan Kandungan Doa di atas diawali dengan basmalah. Yang inti kandungannya adalah permohonan bantuan kepada Allah. Sebab tanpa pertolongan dari-Nya; kita tidak mungkin mampu melaksanakan apapun. Entah itu aktivitas duniawi maupun ukhrawi. Rata-rata orang berangkat ke masjid bertujuan untuk melakukan berbagai macam ibadah. Menunaikan shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, menghadiri pengajian, dan lain-lain. Agar maksimal dalam menjalankan ibadah-ibadah itu; kita tentu memerlukan bantuan dari Allah. Karenanyalah kita membaca basmalah sebelum masuk masjid. Agar Dia berkenan membantu kita untuk mengerjakan seluruh ibadah tersebut sebaik mungkin; secara lahir, maupun batin. Setelah itu kita mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Kita mendoakan keselamatan untuk beliau, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Lalu kita memohon kepada Allah agar membukakan pintu-pintu rahmat-Nya. Sebab berbagai ibadah yang dilakukan di masjid, dimaksudkan untuk meraih kasih sayang Allah, mendapatkan pahala dari-Nya dan agar masuk surga. Itu semua tidak mungkin tercapai; bila rahmat Allah tidak tercurahkan. Di sini kita diingatkan untuk tidak mengandalkan kekuatan pribadi dan usaha lahiriah semata; walaupun sudah dirasa maksimal. Kita harus merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, dan merasa lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuat. Kita harus menyadari bahwa tanpa taufik dari-Nya; tidak mungkin hati ini tergerak untuk beribadah dan tidak mungkin fisik memiliki kekuatan untuk beramal. Tanpa rahmat dari-Nya, mustahil ibadah dan amal yang kita kerjakan bakal diterima oleh-Nya. Karena itulah; kita senantiasa memohon agar pintu-pintu rahmat Allah terbuka. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 Dzulhijjah1445 / 10 Juni 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke MasjidBuku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Disiplin, Mulai dari Ibadah Salat

Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Disiplin, Mulai dari Ibadah Salat

Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle BerdoaNiatIkhtiarTambah ilmu Tidak ada yang memungkiri bahwa kunci dari kesuksesan adalah disiplin. Lebih populer orang-orang menyebut self-diciplined. Disiplin adalah upaya bagaimana mengatur diri melakukan suatu pola-pola kecil, pelan tapi pasti untuk memperoleh suatu tujuan atau cita-cita besar. Namun, ada hal yang kadangkala luput dari proses disiplin itu sendiri, yaitu: menikmati prosesnya. Disiplin itu berat. Konsisten itu butuh tenaga. Tetapi, jika kita mampu melakukannya, maka kita akan memperoleh nikmat yang luar biasa sebagai buah dari kedisiplinan itu. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah serta amal kebaikan dalam firman-Nya, لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177) Katakanlah, kita ingin sukses dari sisi duniawi, seperti bebas secara finansial, mendapatkan pekerjaan yang layak, memperoleh pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang taat, patuh, dan berprestasi, serta berbagai perbendaharaan duniawi lainnya. Begitu pula, dari sisi ukhrawi, yang tentunya kita sama-sama sepakat, tujuannya adalah satu, yaitu surga. Kesuksesan untuk mendapatkan kesempatan melihat wajah Allah Ta’ala di surga, serta kesuksesan untuk terhindar dari siksa api neraka. Maka, untuk memperoleh kesuksesan duniawi dan ukhrawi itu, kita butuh usaha. Telah paripurna contoh dan pedoman yang Rasulullah ajarkan kepada kita. لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 20) Kita hanya cukup mengikuti dengan konsisten. Dimulai dari belajar dengan benar, dari sumber yang benar, dan dari guru yang benar pula, tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam untuk meraih kesuksesan pada dua perkara tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699) Apabila kita memperhatikan sejarah dalam sirah-sirah sahabat, kita akan mendapati bahwa mulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, mayoritasnya adalah sosok yang telah meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, faqih terhadap agamanya, lembut terhadap keluarganya, pemimpin yang adil terhadap rakyatnya, banyak pula hartanya. Hampir semua indikator idealnya seorang manusia, mereka punya. Siapalagi teladan terbaik dalam kehidupan ini selain mereka? Maka, saudaraku, mari kita menyelami prinsip dasar dan sangat fundamental dari manusia-manusia pilihan Allah tersebut guna mengikuti jejak mereka untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533) Satu kata yang sudah pasti dari hikmah yang dapat diambil dari mereka, yaitu disiplin. Disiplin dalam segala hal. Dan yang paling pokok pada disiplin ini adalah disiplin dalam menunaikan ibadah salat. Salat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Menunjukkan betapa pokok dan pentingnya ibadah ini untuk kita tunaikan dengan serius dan tepat waktu. Kunci ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’. Maka, untuk memulainya, dalam konteks ittiba’, setelah mengilmui bagaimana tata cara salat yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita pun harus komitmen untuk senantiasa melaksanakan ibadah salat secara tepat waktu. Bagaimana pun kondisinya! Maka, tidak heran dan sangat masuk logika, sebuah ungkapan, “Jika salatmu berantakan, maka berantakan pulalah hidupmu.” Oleh karenanya, dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, mari kita berikhtiar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mampu mendisiplinkan diri melaksanakan ibadah salat dengan ikhtiar-ikhtiar berikut ini: Berdoa أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ  . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga tidak, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.’ ” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816) Ingat, bahwa kita akan diberi ganjaran oleh Allah bukan karena amal kita. Tetapi, karena rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Maka dari itu, gapailah rahmat itu dengan doa. Memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan hati dan fisik untuk melaksanakan ibadah mulia ini. Renungkanlah bahwa setiap kalimat azan, kita dianjurkan untuk menjawabnya dengan kalimat yang sama, kecuali pada kalimat “Hayya ‘alal falah” dan “Hayya ‘ala as-shalah”. Ketahuilah, bahwa alasan kenapa kita dianjurkan ketika mendengar kalimat ajakan untuk salat menjawab dengan kalimat, “La haula wa la quwwata illa billah” berarti bahwa jika tidak karena Allah yang memberi daya dan kekuatan, kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah yang agung ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat orang-orang yang terkenal kuat, fisiknya yang prima, akalnya yang sehat, dan cerdas pula. Tetapi, tidak sanggup melaksanakan salat 5 waktu secara konsisten berjemaah di masjid, meskipun kediamannya berdekatan dengan masjid. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah bisa jadi karena Allah belum memberikan rahmat-Nya berupa hidayah, daya, dan kekuatan untuk melangkahkan kaki ke rumah Allah. Oleh karenanya, perbanyaklah doa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keistikamahan melaksanakan ibadah ini secara tepat waktu. Baca juga: Doa Istiftah dalam Salat Malam Niat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu) Tentu, kita akan diberi ganjaran oleh Allah sesuai dengan apa yang kita niatkan di dalam hati kita. Godaan untuk mencari ketenaran dari ibadah memang cukup besar. Di tengah-tengah maraknya manusia yang narsis dengan ibadahnya, kita dituntut untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Menjauhlah dari potensi-potensi sum’ah dan riya’ -yang merupakan bagian dari syirik kecil- yang dapat menjerumuskan kita pada kemurkaan Allah. Ingatlah prinsip agar diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas dimulai dari niat yang tulus dan murni bahwa tujuan dari ibadah yang kita lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, mendapatkan pahala yang banyak sehingga dapat menjadi timbangan amal kita di akhirat kelak. Berusahalah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak niat kita. Ingat konsekuensi dari ibadah yang tidak diperuntukkan hanya kepada Allah. Jika ada ibadah yang ternyata diniatkan bukan hanya untuk Allah, bukankah itu sama saja dengan mempersekutukan Allah dalam ibadah? Wal ‘iyadzu billah. Ikhtiar إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 102) Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan diri untuk salat tepat waktu. Di antaranya adalah memperbanyak perbendaharan ilmu tentang salat. Bagaimana praktik salat yang benar sesuai sunah Nabi, bacaan-bacaannya, motivasi diri untuk menambah hafalan, dan bagaimana untuk memaksa diri tidak terlambat (masbuk) saat pelaksanaan salat. Kita bisa membuat pengingat (alarm) 10 menit sebelum azan. Menandakan bahwa saatnya segera mengambil wudu, memastikan pakaian bebas najis, menggunakan siwak, dan bahkan menyiapkan surah-surah yang akan dilantunkan saat salat. Bangunlah setiap hari dengan jadwal salat 5 waktu dalam genggamanmu. Bayangkanlah bahwa engkau bertemu dengan Rabbmu 5 kali dalam sehari. Setiap kalinya, persiapkan diri dengan semaksimal yang engkau bisa. Ingat pula, bahwa dalam salat ada doa meminta hidayah jalan yang lurus, memohon pertolongan Allah, meminta rezeki, dan pastinya kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, jadikanlah momen ibadah salat ini sebagai waktu yang paling dinanti-nantikan. Tambah ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku salat.” (HR. Bukhari no. 628 dan Ahmad, 34: 157-158) Pastinya, akan menjadi berbeda, ketika kita mengetahui variasi doa istiftah lebih dari 1 versi sesuai dengan sunah Nabi. Begitu pun dalam bacaan rukuk, i’tidal, sujud, dan tasyahud. Menghafalnya, mengetahui maknanya, dan mempraktikkannya dalam salat menjadi hal yang menarik untuk diamalkan. Hal ini pun akan menjadikan ritual ibadah salat kita tidak monoton dengan hafalan yang tak kunjung bertambah sejak di bangku SD. Lihatlah diri kita, dengan umur saat ini, sudah berapa hafalan Al-Quran yang kita punya. Dan bagaimana pengetahuan kita tentang salat dari mulai takbir hingga salam. Adakah yang bertambah? Pun, kita perlu mempelajari sirah Nabi bagaimana Rasulullah mendapatkan perintah salat dalam peristiwa isra’ miraj, sehingga kita pun dapat memahami betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam dan kita pun menyadari konsekuensi besar bagi siapa saja yang meninggalkan salat. Kita juga perlu memperlajari fikih tentang salat. Seperti apa ganjaran besar orang yang melaksanakan salat. Apa hukum bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, tetapi dengan keyakinan salat tidak wajib? Bagaimana pula hukum bagi orang yang meyakini bahwa salat itu wajib, tetapi ia malas menunaikan kewajiban yang mulia itu? Semua itu tidak akan kita ketahui, kecuali dengan menuntut ilmu. Menghadiri majelis ilmu, membaca referensi-referensi sahih, dan bertanya kepada guru (ustaz) yang kompeten di bidangnya. Lakukan secara konsisten. Sempurnakan dengan pergaulan bersama orang-orang saleh. Semoga, dengan disiplin melaksanakan salat secara tepat waktu, menjadikan salat kita lebih teratur dan berdampak pula pada kehidupan kita. Salat yang menjadi hal yang fundamental, apabila kita fokus memberikan perhatian besar kita pada ibadah ini, insyaAllah akan berpengaruh bagaimana kita memprioritaskan kehidupan kita dan menyadari tujuan hidup di dunia ini, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Wallahu a’lam. Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Setelah membahas doa sebelum berwudhu dan ketika berwudhu, kali ini kita akan mengkaji doa setelah berwudhu. Redaksi doanya antara lain: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ”“Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh. Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ‌يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ -أَوْ فَيُسْبِغُ- الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: “‌أَشْهَدُ ‌أَنْ ‌لَا ‌إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ”؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ”.“Siapapun di antara kalian yang berwudhu dengan sempurna, lalu membaca doa: “Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa anna muhammadan ‘abdullahi wa rasûluh (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)”; niscaya akan dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dia boleh masuk melalui pintu manapun yang diinginkannya”. HR. Muslim (no. 234). Di dalam riwayat lain ditambahkan:“اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي ‌مِنَ ‌التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ” “Allohummaj’alnî minat tawwâbîna, waj’alnî minal mutathohhirîn (Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci)”. HR. Tirmidziy (no. 55). Riwayat ini dinilai dha’if oleh Ibn Hajar. Namun al-Albaniy menilainya sahih. Renungan Kandungan Hadits di atas memotivasi kita untuk berwudhu secara sempurna. Maksudnya anggota tubuh yang disyariatkan untuk terkena air wudhu, harus basah dengan baik. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua itu dilaksanakan tanpa berlebihan dalam menggunakan air.Adapun doa sesudah wudhu, maka diawali dengan membaca dua kalimat syahadat. Di dalam dua kalimat mulia ini terkandung prinsip keyakinan kita tentang Allah dan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus kita yakini bahwa beliau adalah hamba Allah, sekaligus Rasul yang diutus oleh-Nya untuk ummat manusia. Konsekuensi dari mengucapkan dua kalimat ini adalah: kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah saja. Serta ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah membaca dua kalimat syahadat, kita memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan yang senantiasa bertaubat dan selalu bersuci. Di sini kita diajari untuk rutin membersihkan kotoran lahir dan batin. Kotoran lahir adalah hal-hal najis, seperti air kencing, kotoran manusia, dan semisalnya. Sedangkan kotoran batin adalah dosa dan maksiat. Banyak orang hanya memperhatikan kebersihan lahiriahnya saja. Namun sayang ia kurang memperhatikan kebersihan batiniahnya. Siapapun yang menjalankan amalan di atas, dia akan dibebaskan untuk masuk ke surga melalui pintu manapun. Delapan pintu surga terbuka untuknya. MasyaAllah! Padahal amalan ini tidak berat. ‘Sekedar’ berwudhu dengan sempurna lalu membaca doa di atas. Begitulah maha luasnya rahmat Allah. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan karunia tersebut.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1445 / 18 Maret 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid Posted on January 5, 2025January 5, 2025by Banyak orang mengeluhkan sulitnya khusyu’ dalam shalat. Padahal jika tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dipraktekkan dengan baik, insyaAllah khusyu’ tersebut akan diraih. Tuntunan itu mencakup hal-hal yang harus dikerjakan sebelum shalat, saat melaksanakannya, maupun sesudahnya. Salah satu amalan yang perlu dikerjakan sebelum shalat adalah: membaca doa ketika berjalan menuju ke masjid. Di antara redaksi doa tersebut adalah: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Allôhummaj’al fî qolbî nûrô, wa fî lisânî nûrô, waj’al fî sam’î nûrô, waj’al fî bashorî nûrô, waj’al min kholfî nûrô, wa min amâmî nûrô, waj’al min fauqî nûrô, wa min tahtî nûrô. Allôhumma a’thinî nûrô”. Dalil Landasan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَهُوَ يَقُولُ: «‌اللهُمَّ ‌اجْعَلْ ‌فِي ‌قَلْبِي ‌نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا» “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat shalat sambil membaca, “Ya Allah jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya. Jadikanlah di penglihatanku cahaya. Jadikanlah di belakangku cahaya dan di depanku cahaya. Jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah karuniakanlah padaku cahaya”. HR. Muslim (no. 763). Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk meminta kepada Allah cahaya buat seluruh anggota tubuh kita dan sekeliling kita. Sebab kita membutuhkan cahaya di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Baik cahaya yang sifatnya maknawi, maupun yang nyata. Di dunia kita memerlukan cahaya maknawi. Yakni bimbingan dari Allah berupa petunjuk guna mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Agar kita selalu tertuntun untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Lisan, pendengaran dan penglihatan kita terbimbing untuk digunakan hanya buat kebaikan dan terhindarkan dari segala bentuk keburukan. Lalu cahaya di hati berupa kelapangan dan ketentraman, sehingga hidup terasa nyaman dan bahagia. Selain itu kita juga membutuhkan cahaya nyata, agar bisa melihat sekeliling kita dengan baik. Sehingga tidak kebingungan untuk melangkahkan kaki. Di alam barzakh, kitapun memerlukan cahaya. Supaya kuburan terasa terang dan tidak gelap gulita, terasa lapang dan tidak sempit, serta terasa nyaman dan tidak sumpek. Begitupula kita memohon kepada Allah agar di akhirat kelak kita dikaruniai cahaya. Sehingga anggota tubuh kita bersinar, sebagai efek dari basuhan air wudhu saat di dunia. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh ummatku akan dipanggil di hari kiamat dalam keadaan anggota tubuhnya putih bersinar; sebagai efek dari wudhu yang dikerjakannya dahulu”. HR. Bukhari (no. 136) dan Muslim (no. 246) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Kita juga sangat membutuhkan cahaya untuk menerangi jalan di akhirat. Sehingga mengantarkan kita menuju surga Allah, di tengah kegelapan hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari engkau akan melihat kaum mukminin laki-laki dan perempuan, betapa cahaya bersinar di depan dan di samping kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian. (Yaitu) surga-surga…”. QS. Al-Hadid (57): 12. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulqa’dah 1445 / 27 Mei 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai)

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 214 – Doa Setelah Berwudhu Bag-2 (selesai) Posted on January 5, 2025January 5, 2025by `Ada beberapa versi redaksi doa setelah berwudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas versi pertama. Berikut versi lainnya: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ” “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ”؛‌ ‌كُتِبَ ‌فِي ‌رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ” “Barang siapa yang berwudhu, lalu membaca “Subhânakallôhumma wa bihamdika, asyhadu allâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik (Maha suci Engkau ya Allah dan segala puji hanya untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)”; niscaya itu akan ditulis di selembar kertas lalu distempel, dan tidak akan dihapus hingga hari kiamat”. HR. Nasa’iy dalam as-Sunan al-Kubrâ dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh al-Hakim serta al-Albaniy. Isnad hadits ini juga dinilai sahih oleh Ibn al-Mulaqqin. Renungan Kandungan Doa ini diawali dengan penggabungan antara dua dzikir istimewa. Yaitu tasbih dan tahmid. Sebagaimana yang telah kita pelajari pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 45, bahwa kalimat tasbih bermakna: menjauhkan kekurangan-kekurangan dari dzat Allah, serta mensucikan-Nya dari sifat-sifat buruk dan yang tidak layak. Adapun tahmid, sudah dibahas pula di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 58. Maknanya adalah: memuji Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga. Bertasbih adalah upaya membersihkan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap Allah, baik tentang syariat yang diturunkan-Nya, maupun tentang takdir yang ditetapkan-Nya. Jika terlintas di benak kita kritikan terhadap syariat Allah, maka bertasbihlah. Sebab syariat Allah itu maha sempurna dan maha bijaksana. Tidak ada dan tidak akan mungkin syariat-Nya bertujuan sekedar untuk menyusahkan manusia. Justru syariat itu diturunkan guna mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup mereka. Shalat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari, zakat yang wajib ditunaikan oleh orang kaya dan puasa Ramadhan yang harus dijalankan selama sebulan penuh. Semuanya disyariatkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini pembahasan mengenai syariat-Nya. Begitu pula terkait takdir Allah. Barangkali ada di antara kita yang menghadapi kesulitan ekonomi, ujian kesehatan, prahara rumah tangga dan yang semisal. Seberat dan sesulit apapun takdir yang ditetapkan-Nya, jangan sampai terlintas di benak kita prasangka buruk kepada Allah. Manakala itu muncul, bertasbihlah! Yakinilah bahwa Allah Maha Suci dari hal-hal buruk yang kita prasangkakan tentang-Nya. Justru ujian hidup itu berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, serta membuat kita semakin tangguh. Jika kita sukses menepis semua asumsi buruk tentang Allah, maka bersyukurlah dan bertahmidlah. Sebab kemampuan dan keberhasilan itu semata-mata berkat taufiq dan bantuan dari-Nya. Inilah salah satu rahasia mengapa tasbih digandengkan dengan tahmid. Wallahu a’lam bish shawab. Setelah itu, kita mengucapkan syahadat; sebagai bentuk pembaharuan ikrar kita bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang kita kerjakan pun harus semuanya ditujukan dan diikhlaskan untuk Allah saja. Lalu doa ini ditutup dengan istighfar; permohonan ampun kepada Allah dan pernyataan taubat kepada-Nya. Sebab dosa-dosa kita amatlah banyak. Pahala doa di atas akan ditulis dalam kitab catatan amalan kita, dan tidak akan dihapus hingga kiamat.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Ramadhan 1445 / 8 April 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 215 – Doa Pergi Ke Masjid SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Biografi Syu’aib Al-Arnauth

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.

Biografi Syu’aib Al-Arnauth

Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.
Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.


Daftar Isi Toggle Nama dan nasabnyaBapaknya dan hijrahnya ke SyamKelahirannya dan pertumbuhannyaMenuntut ilmu dan guru-gurunyaKesibukan dalam menelitiMurid-muridnyaKaryanya dalam penelitianWafatnyaHubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-ArnauthHubungannya dengan Syekh Al-Albani Mempelajari biografi para ulama merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ilmu dan para pemiliknya. Melalui perjalanan hidup mereka, kita dapat meneladani keteguhan, keikhlasan, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu serta menyebarkannya. Salah satu tokoh besar yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia ilmu adalah Syu’aib Al-Arnauth, seorang ulama yang dikenal luas atas dedikasinya dalam bidang penelitian dan penerbitan karya-karya klasik. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri kehidupan Syu’aib Al-Arnauth, mulai dari nama dan nasabnya hingga kontribusi dan warisannya bagi generasi setelahnya. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk mencintai ilmu dan terus berusaha mempelajarinya. Nama dan nasabnya Beliau adalah Syu’aib bin Muharram Al-Arnauth, yang berasal dari keluarga berdarah Albania. Orang Turki memberikan gelar “Al-Arnauth” (الأرنؤوط) kepada setiap pendatang dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) ke Turki. Banyak dari mereka, setelah tiba di Turki atau sekadar singgah, melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.  [1] Bapaknya dan hijrahnya ke Syam Muharram, ayah dari Syekh Syu’aib Al-Arnauth, adalah seseorang yang mencintai para ulama dan sangat bersemangat untuk bergaul dengan mereka. Ia berhijrah dari Albania ke Damaskus pada sekitar usia 57 tahun (pada tahun 1926 M), demi menjaga agamanya, kemudian menetap di sana. Syekh Ibrahim Az-Zaybaq berkata, “Termasuk yang disebutkan kepada beliau (Muharram) adalah bahwa seorang muslim, jika khawatir agamanya akan terfitnah di tanah kelahirannya, maka ia wajib berhijrah darinya. Jika tidak berhijrah, ia berada di bawah ancaman Allah Ta’ala dengan firman-Nya, إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَبِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, para malaikat berkata, ‘Dalam keadaan apa kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian dapat berhijrah di dalamnya?’ Maka, orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. An-Nisa: 97) Mereka juga menyebutkan kepada beliau tentang negeri Syam, bahwa itu adalah tanah terbaik untuk berhijrah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan negeri tersebut dan keutamaan penduduknya.” [2] Kelahirannya dan pertumbuhannya Syekh Ibrahim Az-Zaybaq melanjutkan, رُزق محرم بعد سنتين من هجرته، وذلك سنة 1928م بأول مولود له ذكر ، وقد جاءه على كبر، فسماه شعيباً، تيمناً باسم ذلك النبي الكريم. “Dua tahun setelah hijrahnya, yaitu pada tahun 1928 M, Muharram dikaruniai anak pertama laki-laki. Anak tersebut lahir di usianya yang sudah tua, dan ia menamainya Syu’aib, sebagai bentuk optimis dengan nama Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.” [3] Syekh Syu’aib dibesarkan di bawah asuhan kedua orang tuanya dalam lingkungan yang religius. Dalam masa itu, ia mempelajari dasar-dasar Islam dan menghafal banyak bagian dari Al-Qur’an. Keinginan yang tulus untuk memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam serta menyelami rahasia-rahasianya mungkin menjadi salah satu alasan terkuat yang mendorongnya untuk mempelajari bahasa Arab sejak usia dini. Ia menghabiskan lebih dari sepuluh tahun menghadiri masjid-masjid dan sekolah-sekolah kuno di Damaskus, dengan tujuan menghadiri halaqah-halaqah ilmu bahasa Arab dalam berbagai cabangnya, seperti nahwu, sharf, sastra, balagah, dan sebagainya. [4] Menuntut ilmu dan guru-gurunya Syekh Syu’aib mulai menuntut ilmu sejak usia kecil. Pada tahun 1933 M/1352 H, saat usianya mencapai lima tahun, ayahnya segera membawanya ke Sekolah Swasta (Madrasah ‘Ilmiyah Tijariyah) yang terletak di Gang Ar-Razi dekat Bimaristan An-Nuri di kawasan Al-Hariqah. Di sana, ia mempelajari ilmu syariat dan bahasa Arab. Ayahnya memilihkan sekolah khusus ini untuknya, menjauhkannya dari sekolah-sekolah pemerintah yang diyakini dapat merusak para siswa dan menjauhkan mereka dari agama mereka. [5] Syekh Syu’aib berguru dalam ilmu bahasa Arab kepada para guru dan ulama terkemuka di Damaskus pada masa itu. Di antara mereka adalah Syekh Shalih Al-Farfour dan Syekh ‘Arif Ad-Duwaji, yang keduanya merupakan murid dari ulama besar Syam pada zamannya, yaitu Syekh Badruddin Al-Hasani. Ia mempelajari karya-karya terkenal dalam bahasa dan balagah Arab, seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Kafiyah karya Ibnu Al-Hajib, Al-Mufashshal karya Az-Zamakhsyari, Syudzur Adz-Dzahab karya Ibnu Hisyam, serta Asrar Al-Balaghah dan Dala’il Al-I’jaz karya Al-Jurjani. Ia juga belajar kepada Syekh Sulaiman Al-Ghawji Al-Albani, yang mengajarkan kitab Al-‘Awamil karya Al-Barkawi, Al-Idzhar karya Al-Athahli, dan kitab-kitab lainnya. Setelah perjalanan panjang dan penuh usaha dalam mempelajari bahasa Arab, Syekh Syu’aib kemudian beralih mendalami ilmu fikih Islam. Ia berguru kepada banyak ulama, khususnya dalam bidang fikih Hanafi, dengan mempelajari kitab-kitab seperti Maraqi Al-Falah karya Al-Shurunbulali, Al-Ikhtiyar karya Al-Mawshili, Al-Kitab karya Al-Quduri, serta Hasyiyah Ibnu ‘Abidin. Studi fikihnya berlangsung selama tujuh tahun, yang juga diselingi dengan mempelajari ushul fikih, tafsir Al-Qur’an, musthalah hadits, dan kitab-kitab akhlak. Pada tahap ini, usianya telah melampaui tiga puluh tahun. [6] Kesibukan dalam meneliti Syekh Syu’aib menyadari pentingnya spesialisasi dalam ilmu sunah setelah melihat kekurangan para ulama sezamannya dalam membedakan hadis sahih dan daif. Dengan tekad kuat, ia meninggalkan profesi mengajar bahasa Arab sejak tahun 1955 M untuk fokus pada tahqiq turats Islam. Ia memulai tahqiq di Al-Maktab Al-Islami, Damaskus, pada tahun 1958 M, memimpin bagian tahqiq selama dua dekade dan menyelesaikan lebih dari tujuh puluh kitab. Pada tahun 1982 M, ia bergabung dengan Mu’assasah Ar-Risalah di Amman, di mana kontribusinya semakin matang dan signifikan, menjadikan lembaga tersebut pelopor kebangkitan turats Islam. [7] Baca juga: Biografi Imam Ibnu Majah Murid-muridnya Sejumlah murid telah dididik oleh Syekh Syu’aib Al-Arna’uth dalam bidang tahqiq. Di antaranya adalah Muhammad Na’im Al-Arqasusi, Ibrahim Az-Zaybaq, ‘Adil Mursyid, dan ‘Umar Hasan Al-Qayyam. Syekh merasa gembira melihat setiap dari mereka mampu menjalankan tanggung jawab dengan benar terhadap ilmu sunah dan mandiri dalam pekerjaannya. Pengaruh Syekh Al-Arna’uth tampak jelas pada kitab-kitab yang mereka tahqiq, sementara mereka tetap menjaga rasa hormat atas jasa dan perhatian Syekh kepada mereka. Hubungan Syekh dengan para muridnya ibarat hubungan seorang sahabat dengan teman-temannya, yaitu: dekat, penuh perhatian, dan berusaha memberi manfaat serta bimbingan. [8] Karyanya dalam penelitian Syekh Syu’aib termasuk di antara para muhaqqiq dengan hasil karya yang sangat produktif. Kitab-kitab yang telah beliau tahqiq atau beliau awasi tahqiq-nya mencapai lebih dari 240 jilid, mencakup berbagai bidang seperti kitab-kitab sunnah nabawiyah, fikih, tafsir Al-Qur’an, biografi, akidah, ilmu musthalah hadits, sastra, dan lainnya. Beberapa karyanya yang paling menonjol adalah: Pertama: Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawi, sebanyak 16 jilid, cetakan al-Maktab Al-Islami. Kedua: Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, dalam 23 jilid. Ketiga: Musnad Imam Ahmad, diterbitkan dalam 50 jilid, sebagai bagian dari Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah Al-Kubra yang direncanakan untuk diterbitkan oleh Mu’assasah Ar-Risalah di bawah supervisi Syekh. Keempat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abi Al-‘Izz, tahqiq bersama Dr. Abdullah At-Turki, dalam 2 jilid; ketiga buku di atas merupakan cetakan Mu’assasah Ar-Risalah. Kelima: At-Ta’liq Al-Mumajjad Syarh Muwaththa’ Muhammad, karya Imam Abu Al-Hasanat Muhammad Abdul Hayy Al-Laknawi Al-Hindi, dalam 4 jilid. Dalam proyek ini, beliau bekerja sama dengan Syekh Muhammad Na’im Al-Arqasusy. [9] Wafatnya Setelah mengabdikan hidupnya dalam penelitian dan ilmu, Syu’aib Al-Arnauth menghabiskan masa tuanya di Amman, Yordania, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Kamis, 26 Muharram 1438 H (27 Oktober 2016 M). Ia meninggalkan warisan keilmuan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi generasi peneliti setelahnya. Semoga Allah merahmati beliau. [10] Hubungannya dengan Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth Syekh Syu’aib dan Abdul Qodir Al-Arnauth berasal dari latar belakang yang sama, yakni migran dari wilayah Balkan (Yugoslavia dan Albania) yang pindah ke Turki. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang keilmuan, termasuk bekerja sama dalam beberapa proyek penelitian. Keduanya adalah saudara seiman (bukan saudara kandung, sebagaimana banyak yang menyangka demikian), teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, rekan kerja, dan mitra dakwah. Syekh Syu’aib terbiasa menuliskan nama keluarganya sebagai Al-Arna’ut (الأرنؤوط) tanpa huruf alif, sedangkan Syekh Abdul Qadir menuliskannya (الأرناؤوط) dengan huruf alif. [11] Hubungannya dengan Syekh Al-Albani Di antara tokoh terkenal dari kalangan Al-Arna’uth dalam ilmu hadis di Syam adalah Asy-Syekh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al-Arnauthi. Ayah Syekh Nashiruddin (Nuh Najati Adam Al-Albani) dan ayah Syekh Syu’aib (Muharram Al-Albani Al-Arnauthi) adalah dua sahabat karib. Keduanya berhijrah bersama demi menjaga agama mereka dan melindungi keluarga mereka. [12] Syekh Syu’aib juga memiliki hubungan baik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Keduanya menekuni ilmu hadis. Meskipun, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal, hubungan mereka tetap dihiasi rasa saling menghormati. Syekh Syu’aib mengatakan, والفن الذي تميز به الشيخ ناصر هو علم الحديث النبوي الشريف، فقد انكب على دراسته سنين طويلة، قاربت الستين عاماً من عمره، بيد أن شأنه فيه شأن غيره من المحدثين قبله، يصيب فيه ويخطئ. “Bidang ilmu yang menjadi keahlian Syekh Nashir (yaitu, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) adalah ilmu hadis Nabi yang mulia. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya, hampir enam puluh tahun dari hidupnya. Namun, seperti para ahli hadis lainnya sebelum beliau, terkadang beliau benar dan terkadang juga salah dalam hal tersebut.” [13] Semoga Allah Ta’ala merahmati Syekh Syu’aib Al-Arnauth dan para ulama lainnya yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menjaga dan menyebarkan ilmu agama. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi-Nya, dosa-dosa mereka diampuni, dan ilmu yang telah mereka wariskan menjadi cahaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kepada kita taufik untuk mengikuti jejak mereka dalam keikhlasan dan pengabdian terhadap ilmu. Baca juga: Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Zaybaq, Ibrahim. Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth: Siratuhu fi Thalab Al-‘Ilm wa Juhuduhu fi Tahqiq At-Turats. Cetakan Pertama. Beirut: Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, 1433 H/2012 M; halaman 22, catatan kaki pertama.   Catatan kaki: [1] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [2] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 19. [3] ibid. hal. 23. [4] Lihat https://www.alukah.net/culture/0/893/ [5] Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 24. [6] https://www.alukah.net/culture/0/893/ [7] Diringkas dari https://www.alukah.net/culture/0/893/ [8] ibid. [9] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 217-228. [10] https://www.alukah.net/culture/0/158968/ [11] ibid. [12] Lihat Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, hal. 17. [13] ibid. hal. 119.

Sedikit Adab lebih Baik Dibanding Banyak Ilmu Tanpa Adab – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ

Sedikit Adab lebih Baik Dibanding Banyak Ilmu Tanpa Adab – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ
Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ


Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dia berkata, “Sesungguhnya setiap kalian lebih membutuhkan adab yang baik daripada mempelajari lima puluh hadis.” Inilah yang harus diperhatikan, bahwa sebelum menuntut ilmu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan adab yang baik. Al-Khathīb juga meriwayatkan dari al-Laits bin Saad, ketika dia sedang mengajarkan hadis kepada murid-muridnya, lalu dia melihat sesuatu yang kurang berkenan pada mereka, lalu berkata, “Apa-apaan ini? Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.” === عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِلَى أَدَبٍ حَسَنٍ أَحْوَجُ مِنْهُ إِلَى خَمْسِينَ حَدِيثًا وَهَذَا أَلَّفْتُ لِلنَّظَرِ أَنَّهُ قَبْلَ طَلَبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِي الْعِنَايَةُ بِالتَّحَلِّي بِهَذَا الْأَدَبِ وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ أَيْضًا عَنِ اللَّيْثِ ابْنِ سَعْدٍ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى أَصْحَابِهِ الْحَدِيثَ فَرَأَى مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ أَنْتُمْ إِلَى يَسِيرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.
Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.


Daftar Isi Toggle Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsaraJangan bergantung pada diri sendiri Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan, أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.” [1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2] Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19. Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih. Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan. Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata, ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا “Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3] Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له “Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4] Jangan bergantung pada diri sendiri Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki. Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup. Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.” Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya, فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ “Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya, اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ “… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30) يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4) Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ “Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5] Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian. [Selesai] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255. [2] HR. Muslim no. 2359. [3] Umdatut Tafsir, 3: 460. [4] HR. Muslim no. 2999. [5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berdasarkan persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Nasihat Indah untukmu yang Masih Merayakan Tahun Baru

Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Mengingat kembali prinsip seorang muslimMengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaatMenghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafirMenjauhi maksiat dan kemungkaranSenantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Bagi seorang muslim, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun adalah sesuatu yang selayaknya menjadi pelajaran berharga oleh setiap orang yang beriman. Waktu yang terus bergulir seharusnya menjadi renungan untuk senantiasa memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, يُقَلِّبُ ٱللَّهُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. An-Nur : 44) Hanya orang-orang yang Allah ‘Azza Wajalla beri taufik dan akal sehat akan senantiasa merenung dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191) Dikutip dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Al-Jawabul Kafi, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل “Waktu itu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya (dengan baik), maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan fenomena yang terjadi pada zaman ini adalah banyak kaum muslimin tersibukkan dengan hal yang sia-sia pada setiap penghujung tahun. Mereka latah ikut-ikutan orang-orang kafir merayakan tahun baru masehi dengan berhura-hura, berfoya-foya, bahkan bermaksiat secara terang-terangan pun mereka lakukan. Perlu diingat, peringatan tahun baru, jangankan tahun baru masehi, tahun baru hijriah pun tidak ada dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pun tidak pernah merayakan akhir tahun dengan amalan-amalan tertentu, lebih-lebih dengan hal-hal yang sia-sia. Justru, setiap penghujung akhir tahun banyak sekali kemungkaran yang terjadi, kemaksiatan merajalela, banyak sekali muda-mudi yang jatuh dalam perzinaan, dan semisalnya, wal’iyadzu  billah. Tulisan ini dibuat sebagai nasihat untukku dan untukmu agar tidak terombang-ambing dengan gemerlapnya perayaan akhir tahun dan lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Mengingat kembali prinsip seorang muslim Sebagai seorang muslim, tujuan hidupnya di dunia adalah beribadah hanya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Merayakan tahun baru seringkali membuat kita lalai dari beribadah kepada-Nya dan justru mendekatkan kepada kemungkaran dan perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang mendatangkan rida Allah. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat Senantiasa mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, meningkatkan dan menguatkan akidah dengan kembali mengkaji tauhid, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan bermajelis ilmu, serta menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang bisa merusak keyakinan. Allah ‘Azza Wajalla memperingatkan kita akan pentingnya waktu dalam firman-Nya, وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3) Merayakan malam tahun baru dengan hal-hal yang tidak bermanfaat adalah di antara bentuk menyia-nyiakan waktu, yang seharusnya dapat diisi dengan ibadah, introspeksi, ataupun kegiatan yang produktif lainnya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Bolehkah? Menghindari tasyabbuh terhadap orang-orang kafir Islam sangat melarang tasyabbuh, yaitu menyerupai tradisi atau kebiasaan yang berasal dari agama atau budaya orang-orang kafir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitab Al-Libas, no. 3512. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Abu Dawud menyatakan bahwa hadis ini hasan shahih no. 3401.) Al-Munawi dan Al-Alqami rahimahullah berkata, “Yaitu, orang yang menyerupai mereka dalam hal penampilan, perilaku, cara berpakaian, dan sebagian perbuatan mereka.” Allah ‘Azza Wajalla mengingatkan, وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19) Condong kepada orang-orang kafir termasuk hal yang berbahaya bagi akidah seorang muslim. Hal ini sebagaimana firman-Nya, وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang mengakibatkan kalian disentuh oleh api neraka.” (QS. Hud: 113) Perayaan tahun baru masehi adalah tradisi yang tidak dikenal dalam Islam dan ini berasal dari budaya orang-orang kafir sehingga merayakannya dapat melemahkan akidah seorang muslim dan ditakutkan termasuk ke dalam golongan mereka (orang-orang kafir) sebagaimana yang disebutkan pada dalil di atas. Menjauhi maksiat dan kemungkaran Perayaan tahun baru dalam praktiknya seringkali melibatkan aktivitas yang dilarang dalam Islam, seperti pesta minuman keras, pergaulan bebas, musik dan hiburan yang melalaikan, pemborosan, dan segala kemungkaran berkumpul di dalamnya. Allah Ta’ala peringatkan hamba-Nya agar menjauhi maksiat dan dosa. Ia berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 151) Kemaksiatan akan mendatangkan kemurkaan Allah terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ “Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya. Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahih menyatakan bahwa hadis ini sahih no. 1574.) Senantiasa berdoa dan berserah diri kepada Allah Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar tetap diteguhkan keimanannya. Misalnya, dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ “YA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBI ‘ALA DINIK.” (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Semoga nasihat ini bisa menjadi nasihat yang bermanfaat bagi seorang muslim agar menjauhkan diri dari hal yang sia-sia, seperti ikut serta dalam memeriahkan perayaan tahun baru dan segala kemungkaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala jauhkan kita dari hal-hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Baca juga: Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek Tidak Terkait Akidah, Bolehkah? *** Penulis: Chrisna Tri Hartadi, A.Md. Artikel: Muslim.or.id

Solusi untuk Orang yang Shalatnya Masih Bolong-bolong – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ

Solusi untuk Orang yang Shalatnya Masih Bolong-bolong – Syaikh Sa’ad asy-Syatstri #NasehatUlama

Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ


Syaikh kami, Saudari Maisun dari Sudan mengatakan, “Aku punya masalah dalam konsistensi dengan shalat. Sekali waktu aku mengerjakan shalat dan konsisten sebentar, tapi setelah itu aku kembali meninggalkan shalat, lalu kembali shalat lagi.” Ia ingin suatu penyemangat, nasihat, dan arahan dalam masalah ini. Ada empat hal yang kami sarankan untuknya agar ia konsisten melaksanakan shalat. [PERTAMA]Perbanyaklah berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberinya pertolongan dalam menjalankan shalat tepat pada waktunya, karena Allah Tuhan seluruh hamba adalah Zat yang mengatur mereka. Dengan demikian, seorang insan hendaknya meminta kepada Tuhannya agar konsisten dalam menjalankan shalat. [KEDUA]Memilih teman yang baik, yang dapat membantunya dalam menjalankan shalat, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan menuju suatu tempat, termasuk berbagai urusan lainnya. [KETIGA]Menggunakan alat-alat yang dapat mengingatkan waktu shalat. Seperti jam weker dan perangkat lainnya. [KEEMPAT]Di antara cara lainnya adalah memastikan dirinya berada di tempat yang dekat dengan suara panggilan azan. Jika seseorang tinggal di dekat masjid, ini akan membantunya dalam melaksanakan shalat, baik bagi laki-laki yang dapat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, atau bagi perempuan, karena jika mereka mendengar azan yang dapat mengusir setan, maka ini menjadi sebab bagi mereka untuk segera mengerjakan shalat. ==== الْأُخْتُ مَيْسُونُ مِنَ السُّودَانِ شَيْخَنَا تَقُولُ لَدَيَّ مُشْكِلَةٌ فِي الِالْتِزَامِ بِالصَّلَاةِ تَقُولُ أُصَلِّي فَتْرَةً وَأَلْتَزِمُ فَتْرَةً ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَتْرُكُ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهَا تُرِيْدُ شَيْئًا يُحَفِّزُهَا وَنَصِيحَةً وَتَوْجِيْهًا فِي هَذَا الْمَقَامِ الَّذِي نُوصِيْهَا بِهِ أَرْبَعَةَ أُمُورٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُحَافِظَ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَوَّلُ ذَلِكَ أَنْ تُكْثِرَ مِنْ دُعَاءِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنْ يُعِيْنَهَا عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ فِي أَوْقَاتِهَا فَإِنَّ رَبَّ الْعِبَادِ هُوَ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ وَمِنْ ثَمَّ يَسْأَلُ الْإِنْسَانُ رَبَّهُ أَنْ يَكُونَ مُلَازِمًا لِلصَّلَوَاتِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي اخْتِيَارُ الرُّفْقَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تُعِينُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ صَلَاتِهِ سَوَاءً فِي الْبَيْتِ أَوْ سَوَاءً فِي مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ الْإِنْسَانُ مِنْ مَشَاوِيْرَ وَنَحْوِهَا الْأَمْرُ الثَّالِثُ اتِّخَاذُ الْوَسَائِلِ الَّتِي تُنَبِّهُ الْإِنْسَانَ عَلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ مِثْلُ السَّاعَاتِ المُنَبِّهَةِ وَنَحْوِهَا وَكَذَلِكَ مِنَ الْأَسْبَابِ قُرْبُ الْإِنْسَانِ مِنْ مَوَاطِنِ النِّدَاءِ لِلصَّلَاةِ فَكَوْنُهُ يَقْرُبُ مِنَ الْمَسْجِدِ هَذَا يُعِيْنُ الْإِنْسَانَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ سَوَاءً بِالرِّجَالِ فَيَذْهَبُونَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيُصَلُّونَ أَوِ النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ إِذَا سَمِعْنَ النِّدَاءَ وَالْأَذَانَ الَّذِي يَطْرُدُ الشَّيَاطِيْنَ كَانَ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ إِقْدَامِهِنَّ عَلَى الصَّلَاةِ
Prev     Next