Pelajaran dari Imran bin Hittan: Ketika Akidah Tergadaikan oleh Cinta

Kisah Imran bin Hittan menjadi pelajaran penting tentang bagaimana pemahaman yang salah dapat merusak akidah seseorang, bahkan dari kalangan yang memiliki ilmu. Niat baik yang tidak diiringi dengan keteguhan iman justru membawanya terjerumus dalam pemahaman Khawarij, hingga memuji tindakan yang bertentangan dengan syariat. Imran bin Hittan bin Dhubyan as-Sadusi al-Bashri adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka, tetapi ia juga menjadi salah satu pemimpin Khawarij. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat, seperti Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ibnu Abbas. Sementara itu, di antara orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Abu Dawud berkata, “Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang haditsnya lebih sahih daripada Khawarij.” Lalu ia menyebutkan Imran bin Hittan dan Abu Hassan al-A’raj. Al-Farazdaq berkata, “Imran bin Hittan adalah salah satu penyair paling fasih. Jika ia ingin berkata seperti kami, ia mampu melakukannya. Namun, kami tidak mampu berkata sefasih dia.” Dikisahkan oleh Salamah bin Alqamah, dari Ibnu Sirin, bahwa Imran menikahi seorang wanita Khawarij dan berkata, “Aku akan mengembalikannya ke jalan yang benar.” Namun, wanita tersebut justru mempengaruhinya hingga ia mengikuti pemahamannya (Khawarij). Al-Mada’ini menyebutkan bahwa wanita itu sangat cantik, sedangkan Imran memiliki rupa yang buruk. Suatu hari, wanita tersebut membuatnya terpukau, lalu berkata, “Aku dan kamu akan masuk surga, karena kamu diberi nikmat dan bersyukur, sedangkan aku diberi ujian dan bersabar.” Di antara kesesatan Imran bin Hittan dengan pemahaman Khawarijnya, ia malah memuji pembunuh Ali bin Abi Thalib. Perhatikan nukilan lanjutan di Siyar A’lam An-Nubala’ berikut ini. وَمِنْ شِعْرِهِ فِي مَصْرَعِ عَلِيٍّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-: يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا … إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي العَرْشِ رِضْوَانَا إِنِّي لأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ … أَوْفَى البَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا أَكْرِمْ بِقَوْمٍ بُطُوْنُ الطِّيْرِ قَبْرُهُمُ … لَمْ يَخْلِطُوا دِيْنَهُم بَغْياً وَعُدْوَانَا (٢) Dari syairnya tentang terbunuhnya Ali radhiyallahu ‘anhu: Wahai, pukulan seorang yang bertakwa, ia tidak menginginkannya Kecuali untuk meraih rida dari Dzat yang memiliki ‘Arsy. Sungguh, aku mengingatnya sesekali dan aku menduga Bahwa dia adalah manusia dengan timbangan amal paling berat di sisi Allah. Muliakanlah suatu kaum yang perut burung menjadi kubur mereka, Mereka tidak mencampur agama mereka dengan kedzaliman dan permusuhan. Pujian Imran bin Hittan terhadap pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menunjukkan kerusakan pemahamannya setelah terpengaruh ideologi Khawarij. Dalam syair tersebut, ia menggambarkan tindakan pembunuh Ali, yakni Abdurrahman bin Muljam, sebagai “pukulan seorang yang bertakwa” dengan tujuan meraih rida Allah, padahal tindakan itu adalah kejahatan besar dan pelanggaran terhadap syariat Islam. Dinukil dari Siyar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah  * Khawarij adalah kelompok ekstrem yang muncul pada masa Ali bin Abi Thalib, dikenal karena mengafirkan pelaku dosa besar dan memberontak terhadap pemimpin sah. Mereka menyimpang dengan memahami Al-Qur’an secara kaku dan menumpahkan darah sesama muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai “anjing-anjing neraka.” Baca juga: Tiga Sifat Khawarij   Berikut beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut: 1. Berhati-hati dalam Memilih Pasangan Pasangan hidup memiliki pengaruh besar terhadap keyakinan dan prinsip seseorang. Pilihan yang salah dapat membawa pada penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada Imran bin Hittan. 2. Niat Baik Tidak Selalu Cukup Niat Imran untuk mengajak istrinya ke jalan yang benar adalah niat mulia, tetapi niat tersebut harus diiringi kesiapan ilmu dan kemampuan menghadapi pengaruh buruk. Jika tidak, niat baik bisa berbalik menjadi keburukan. 3. Godaan Duniawi Bisa Membutakan Kecantikan wanita tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Imran terpengaruh, menunjukkan bagaimana duniawi dapat menjadi ujian berat bagi keimanan. 4. Pentingnya Keteguhan Prinsip dalam Iman Keteguhan dalam akidah dan iman adalah benteng utama untuk menghadapi pengaruh buruk dari lingkungan atau pasangan. Kelemahan prinsip dapat membawa seseorang terjerumus dalam pemahaman sesat. Baca juga: Jangan Mudah Mengafirkan! 5. Kisah Sebagai Ibrah Kisah ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap pemahaman yang menyimpang dan menjaga akidah dari pengaruh buruk, termasuk dari orang-orang terdekat.   PENUTUP Kisah Imran bin Hittan mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa keteguhan akidah dan pemahaman yang benar terhadap syariat. Berhati-hati dalam memilih pasangan hidup dan lingkungan adalah kunci untuk menjaga keimanan tetap lurus. يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu.” Baca juga: Mukmin Masuk Neraka, Mustahil Lagi Masuk Surga Bagai Unta Masuk dalam Lubang Jarum – @ Ambarawa, 12 Rajab 1446 H, 12-01-2025, bakda shalat Shubuh Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ekstremisme cerita inspiratif dari ulama terdahulu khawarij Kisah Imran bin Hittan memilih pasangan hidup menjaga keimanan pelajaran dari sejarah Islam pemahaman sesat pengaruh lingkungan terhadap iman pentingnya akidah sejarah ulama

Pelajaran dari Imran bin Hittan: Ketika Akidah Tergadaikan oleh Cinta

Kisah Imran bin Hittan menjadi pelajaran penting tentang bagaimana pemahaman yang salah dapat merusak akidah seseorang, bahkan dari kalangan yang memiliki ilmu. Niat baik yang tidak diiringi dengan keteguhan iman justru membawanya terjerumus dalam pemahaman Khawarij, hingga memuji tindakan yang bertentangan dengan syariat. Imran bin Hittan bin Dhubyan as-Sadusi al-Bashri adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka, tetapi ia juga menjadi salah satu pemimpin Khawarij. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat, seperti Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ibnu Abbas. Sementara itu, di antara orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Abu Dawud berkata, “Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang haditsnya lebih sahih daripada Khawarij.” Lalu ia menyebutkan Imran bin Hittan dan Abu Hassan al-A’raj. Al-Farazdaq berkata, “Imran bin Hittan adalah salah satu penyair paling fasih. Jika ia ingin berkata seperti kami, ia mampu melakukannya. Namun, kami tidak mampu berkata sefasih dia.” Dikisahkan oleh Salamah bin Alqamah, dari Ibnu Sirin, bahwa Imran menikahi seorang wanita Khawarij dan berkata, “Aku akan mengembalikannya ke jalan yang benar.” Namun, wanita tersebut justru mempengaruhinya hingga ia mengikuti pemahamannya (Khawarij). Al-Mada’ini menyebutkan bahwa wanita itu sangat cantik, sedangkan Imran memiliki rupa yang buruk. Suatu hari, wanita tersebut membuatnya terpukau, lalu berkata, “Aku dan kamu akan masuk surga, karena kamu diberi nikmat dan bersyukur, sedangkan aku diberi ujian dan bersabar.” Di antara kesesatan Imran bin Hittan dengan pemahaman Khawarijnya, ia malah memuji pembunuh Ali bin Abi Thalib. Perhatikan nukilan lanjutan di Siyar A’lam An-Nubala’ berikut ini. وَمِنْ شِعْرِهِ فِي مَصْرَعِ عَلِيٍّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-: يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا … إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي العَرْشِ رِضْوَانَا إِنِّي لأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ … أَوْفَى البَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا أَكْرِمْ بِقَوْمٍ بُطُوْنُ الطِّيْرِ قَبْرُهُمُ … لَمْ يَخْلِطُوا دِيْنَهُم بَغْياً وَعُدْوَانَا (٢) Dari syairnya tentang terbunuhnya Ali radhiyallahu ‘anhu: Wahai, pukulan seorang yang bertakwa, ia tidak menginginkannya Kecuali untuk meraih rida dari Dzat yang memiliki ‘Arsy. Sungguh, aku mengingatnya sesekali dan aku menduga Bahwa dia adalah manusia dengan timbangan amal paling berat di sisi Allah. Muliakanlah suatu kaum yang perut burung menjadi kubur mereka, Mereka tidak mencampur agama mereka dengan kedzaliman dan permusuhan. Pujian Imran bin Hittan terhadap pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menunjukkan kerusakan pemahamannya setelah terpengaruh ideologi Khawarij. Dalam syair tersebut, ia menggambarkan tindakan pembunuh Ali, yakni Abdurrahman bin Muljam, sebagai “pukulan seorang yang bertakwa” dengan tujuan meraih rida Allah, padahal tindakan itu adalah kejahatan besar dan pelanggaran terhadap syariat Islam. Dinukil dari Siyar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah  * Khawarij adalah kelompok ekstrem yang muncul pada masa Ali bin Abi Thalib, dikenal karena mengafirkan pelaku dosa besar dan memberontak terhadap pemimpin sah. Mereka menyimpang dengan memahami Al-Qur’an secara kaku dan menumpahkan darah sesama muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai “anjing-anjing neraka.” Baca juga: Tiga Sifat Khawarij   Berikut beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut: 1. Berhati-hati dalam Memilih Pasangan Pasangan hidup memiliki pengaruh besar terhadap keyakinan dan prinsip seseorang. Pilihan yang salah dapat membawa pada penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada Imran bin Hittan. 2. Niat Baik Tidak Selalu Cukup Niat Imran untuk mengajak istrinya ke jalan yang benar adalah niat mulia, tetapi niat tersebut harus diiringi kesiapan ilmu dan kemampuan menghadapi pengaruh buruk. Jika tidak, niat baik bisa berbalik menjadi keburukan. 3. Godaan Duniawi Bisa Membutakan Kecantikan wanita tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Imran terpengaruh, menunjukkan bagaimana duniawi dapat menjadi ujian berat bagi keimanan. 4. Pentingnya Keteguhan Prinsip dalam Iman Keteguhan dalam akidah dan iman adalah benteng utama untuk menghadapi pengaruh buruk dari lingkungan atau pasangan. Kelemahan prinsip dapat membawa seseorang terjerumus dalam pemahaman sesat. Baca juga: Jangan Mudah Mengafirkan! 5. Kisah Sebagai Ibrah Kisah ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap pemahaman yang menyimpang dan menjaga akidah dari pengaruh buruk, termasuk dari orang-orang terdekat.   PENUTUP Kisah Imran bin Hittan mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa keteguhan akidah dan pemahaman yang benar terhadap syariat. Berhati-hati dalam memilih pasangan hidup dan lingkungan adalah kunci untuk menjaga keimanan tetap lurus. يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu.” Baca juga: Mukmin Masuk Neraka, Mustahil Lagi Masuk Surga Bagai Unta Masuk dalam Lubang Jarum – @ Ambarawa, 12 Rajab 1446 H, 12-01-2025, bakda shalat Shubuh Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ekstremisme cerita inspiratif dari ulama terdahulu khawarij Kisah Imran bin Hittan memilih pasangan hidup menjaga keimanan pelajaran dari sejarah Islam pemahaman sesat pengaruh lingkungan terhadap iman pentingnya akidah sejarah ulama
Kisah Imran bin Hittan menjadi pelajaran penting tentang bagaimana pemahaman yang salah dapat merusak akidah seseorang, bahkan dari kalangan yang memiliki ilmu. Niat baik yang tidak diiringi dengan keteguhan iman justru membawanya terjerumus dalam pemahaman Khawarij, hingga memuji tindakan yang bertentangan dengan syariat. Imran bin Hittan bin Dhubyan as-Sadusi al-Bashri adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka, tetapi ia juga menjadi salah satu pemimpin Khawarij. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat, seperti Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ibnu Abbas. Sementara itu, di antara orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Abu Dawud berkata, “Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang haditsnya lebih sahih daripada Khawarij.” Lalu ia menyebutkan Imran bin Hittan dan Abu Hassan al-A’raj. Al-Farazdaq berkata, “Imran bin Hittan adalah salah satu penyair paling fasih. Jika ia ingin berkata seperti kami, ia mampu melakukannya. Namun, kami tidak mampu berkata sefasih dia.” Dikisahkan oleh Salamah bin Alqamah, dari Ibnu Sirin, bahwa Imran menikahi seorang wanita Khawarij dan berkata, “Aku akan mengembalikannya ke jalan yang benar.” Namun, wanita tersebut justru mempengaruhinya hingga ia mengikuti pemahamannya (Khawarij). Al-Mada’ini menyebutkan bahwa wanita itu sangat cantik, sedangkan Imran memiliki rupa yang buruk. Suatu hari, wanita tersebut membuatnya terpukau, lalu berkata, “Aku dan kamu akan masuk surga, karena kamu diberi nikmat dan bersyukur, sedangkan aku diberi ujian dan bersabar.” Di antara kesesatan Imran bin Hittan dengan pemahaman Khawarijnya, ia malah memuji pembunuh Ali bin Abi Thalib. Perhatikan nukilan lanjutan di Siyar A’lam An-Nubala’ berikut ini. وَمِنْ شِعْرِهِ فِي مَصْرَعِ عَلِيٍّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-: يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا … إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي العَرْشِ رِضْوَانَا إِنِّي لأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ … أَوْفَى البَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا أَكْرِمْ بِقَوْمٍ بُطُوْنُ الطِّيْرِ قَبْرُهُمُ … لَمْ يَخْلِطُوا دِيْنَهُم بَغْياً وَعُدْوَانَا (٢) Dari syairnya tentang terbunuhnya Ali radhiyallahu ‘anhu: Wahai, pukulan seorang yang bertakwa, ia tidak menginginkannya Kecuali untuk meraih rida dari Dzat yang memiliki ‘Arsy. Sungguh, aku mengingatnya sesekali dan aku menduga Bahwa dia adalah manusia dengan timbangan amal paling berat di sisi Allah. Muliakanlah suatu kaum yang perut burung menjadi kubur mereka, Mereka tidak mencampur agama mereka dengan kedzaliman dan permusuhan. Pujian Imran bin Hittan terhadap pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menunjukkan kerusakan pemahamannya setelah terpengaruh ideologi Khawarij. Dalam syair tersebut, ia menggambarkan tindakan pembunuh Ali, yakni Abdurrahman bin Muljam, sebagai “pukulan seorang yang bertakwa” dengan tujuan meraih rida Allah, padahal tindakan itu adalah kejahatan besar dan pelanggaran terhadap syariat Islam. Dinukil dari Siyar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah  * Khawarij adalah kelompok ekstrem yang muncul pada masa Ali bin Abi Thalib, dikenal karena mengafirkan pelaku dosa besar dan memberontak terhadap pemimpin sah. Mereka menyimpang dengan memahami Al-Qur’an secara kaku dan menumpahkan darah sesama muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai “anjing-anjing neraka.” Baca juga: Tiga Sifat Khawarij   Berikut beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut: 1. Berhati-hati dalam Memilih Pasangan Pasangan hidup memiliki pengaruh besar terhadap keyakinan dan prinsip seseorang. Pilihan yang salah dapat membawa pada penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada Imran bin Hittan. 2. Niat Baik Tidak Selalu Cukup Niat Imran untuk mengajak istrinya ke jalan yang benar adalah niat mulia, tetapi niat tersebut harus diiringi kesiapan ilmu dan kemampuan menghadapi pengaruh buruk. Jika tidak, niat baik bisa berbalik menjadi keburukan. 3. Godaan Duniawi Bisa Membutakan Kecantikan wanita tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Imran terpengaruh, menunjukkan bagaimana duniawi dapat menjadi ujian berat bagi keimanan. 4. Pentingnya Keteguhan Prinsip dalam Iman Keteguhan dalam akidah dan iman adalah benteng utama untuk menghadapi pengaruh buruk dari lingkungan atau pasangan. Kelemahan prinsip dapat membawa seseorang terjerumus dalam pemahaman sesat. Baca juga: Jangan Mudah Mengafirkan! 5. Kisah Sebagai Ibrah Kisah ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap pemahaman yang menyimpang dan menjaga akidah dari pengaruh buruk, termasuk dari orang-orang terdekat.   PENUTUP Kisah Imran bin Hittan mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa keteguhan akidah dan pemahaman yang benar terhadap syariat. Berhati-hati dalam memilih pasangan hidup dan lingkungan adalah kunci untuk menjaga keimanan tetap lurus. يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu.” Baca juga: Mukmin Masuk Neraka, Mustahil Lagi Masuk Surga Bagai Unta Masuk dalam Lubang Jarum – @ Ambarawa, 12 Rajab 1446 H, 12-01-2025, bakda shalat Shubuh Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ekstremisme cerita inspiratif dari ulama terdahulu khawarij Kisah Imran bin Hittan memilih pasangan hidup menjaga keimanan pelajaran dari sejarah Islam pemahaman sesat pengaruh lingkungan terhadap iman pentingnya akidah sejarah ulama


Kisah Imran bin Hittan menjadi pelajaran penting tentang bagaimana pemahaman yang salah dapat merusak akidah seseorang, bahkan dari kalangan yang memiliki ilmu. Niat baik yang tidak diiringi dengan keteguhan iman justru membawanya terjerumus dalam pemahaman Khawarij, hingga memuji tindakan yang bertentangan dengan syariat. Imran bin Hittan bin Dhubyan as-Sadusi al-Bashri adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai salah satu ulama terkemuka, tetapi ia juga menjadi salah satu pemimpin Khawarij. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat, seperti Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ibnu Abbas. Sementara itu, di antara orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Abu Dawud berkata, “Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang haditsnya lebih sahih daripada Khawarij.” Lalu ia menyebutkan Imran bin Hittan dan Abu Hassan al-A’raj. Al-Farazdaq berkata, “Imran bin Hittan adalah salah satu penyair paling fasih. Jika ia ingin berkata seperti kami, ia mampu melakukannya. Namun, kami tidak mampu berkata sefasih dia.” Dikisahkan oleh Salamah bin Alqamah, dari Ibnu Sirin, bahwa Imran menikahi seorang wanita Khawarij dan berkata, “Aku akan mengembalikannya ke jalan yang benar.” Namun, wanita tersebut justru mempengaruhinya hingga ia mengikuti pemahamannya (Khawarij). Al-Mada’ini menyebutkan bahwa wanita itu sangat cantik, sedangkan Imran memiliki rupa yang buruk. Suatu hari, wanita tersebut membuatnya terpukau, lalu berkata, “Aku dan kamu akan masuk surga, karena kamu diberi nikmat dan bersyukur, sedangkan aku diberi ujian dan bersabar.” Di antara kesesatan Imran bin Hittan dengan pemahaman Khawarijnya, ia malah memuji pembunuh Ali bin Abi Thalib. Perhatikan nukilan lanjutan di Siyar A’lam An-Nubala’ berikut ini. وَمِنْ شِعْرِهِ فِي مَصْرَعِ عَلِيٍّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-: يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا … إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي العَرْشِ رِضْوَانَا إِنِّي لأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ … أَوْفَى البَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا أَكْرِمْ بِقَوْمٍ بُطُوْنُ الطِّيْرِ قَبْرُهُمُ … لَمْ يَخْلِطُوا دِيْنَهُم بَغْياً وَعُدْوَانَا (٢) Dari syairnya tentang terbunuhnya Ali radhiyallahu ‘anhu: Wahai, pukulan seorang yang bertakwa, ia tidak menginginkannya Kecuali untuk meraih rida dari Dzat yang memiliki ‘Arsy. Sungguh, aku mengingatnya sesekali dan aku menduga Bahwa dia adalah manusia dengan timbangan amal paling berat di sisi Allah. Muliakanlah suatu kaum yang perut burung menjadi kubur mereka, Mereka tidak mencampur agama mereka dengan kedzaliman dan permusuhan. Pujian Imran bin Hittan terhadap pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menunjukkan kerusakan pemahamannya setelah terpengaruh ideologi Khawarij. Dalam syair tersebut, ia menggambarkan tindakan pembunuh Ali, yakni Abdurrahman bin Muljam, sebagai “pukulan seorang yang bertakwa” dengan tujuan meraih rida Allah, padahal tindakan itu adalah kejahatan besar dan pelanggaran terhadap syariat Islam. Dinukil dari Siyar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi rahimahullah  * Khawarij adalah kelompok ekstrem yang muncul pada masa Ali bin Abi Thalib, dikenal karena mengafirkan pelaku dosa besar dan memberontak terhadap pemimpin sah. Mereka menyimpang dengan memahami Al-Qur’an secara kaku dan menumpahkan darah sesama muslim. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai “anjing-anjing neraka.” Baca juga: Tiga Sifat Khawarij   Berikut beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah tersebut: 1. Berhati-hati dalam Memilih Pasangan Pasangan hidup memiliki pengaruh besar terhadap keyakinan dan prinsip seseorang. Pilihan yang salah dapat membawa pada penyimpangan akidah, seperti yang terjadi pada Imran bin Hittan. 2. Niat Baik Tidak Selalu Cukup Niat Imran untuk mengajak istrinya ke jalan yang benar adalah niat mulia, tetapi niat tersebut harus diiringi kesiapan ilmu dan kemampuan menghadapi pengaruh buruk. Jika tidak, niat baik bisa berbalik menjadi keburukan. 3. Godaan Duniawi Bisa Membutakan Kecantikan wanita tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Imran terpengaruh, menunjukkan bagaimana duniawi dapat menjadi ujian berat bagi keimanan. 4. Pentingnya Keteguhan Prinsip dalam Iman Keteguhan dalam akidah dan iman adalah benteng utama untuk menghadapi pengaruh buruk dari lingkungan atau pasangan. Kelemahan prinsip dapat membawa seseorang terjerumus dalam pemahaman sesat. Baca juga: Jangan Mudah Mengafirkan! 5. Kisah Sebagai Ibrah Kisah ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap pemahaman yang menyimpang dan menjaga akidah dari pengaruh buruk, termasuk dari orang-orang terdekat.   PENUTUP Kisah Imran bin Hittan mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup tanpa keteguhan akidah dan pemahaman yang benar terhadap syariat. Berhati-hati dalam memilih pasangan hidup dan lingkungan adalah kunci untuk menjaga keimanan tetap lurus. يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu.” Baca juga: Mukmin Masuk Neraka, Mustahil Lagi Masuk Surga Bagai Unta Masuk dalam Lubang Jarum – @ Ambarawa, 12 Rajab 1446 H, 12-01-2025, bakda shalat Shubuh Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ekstremisme cerita inspiratif dari ulama terdahulu khawarij Kisah Imran bin Hittan memilih pasangan hidup menjaga keimanan pelajaran dari sejarah Islam pemahaman sesat pengaruh lingkungan terhadap iman pentingnya akidah sejarah ulama

Mengapa Kita Harus Bersedekah Jariyah? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) Sedekah Jariyah. (2) Ilmu yang bermanfaat. (3) Anak saleh yang mendoakannya.” Sabda beliau: Sedekah Jariyah, yang dimaksud adalah wakaf. Karena wakaf akan terus mengalir pahalanya bagi orang yang mewakafkan. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, pahalanya akan terus mengalir kepadanya semasa hidup dan setelah wafatnya. Betapa banyak orang yang sudah berada di dalam kuburnya, tapi pahala wakafnya terus mengalir untuknya. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, maka pahalanya terus mengalir. Harta yang diwakafkan itu terus memberinya pahala yang besar. Inilah salah satu peninggalan yang mendatangkan manfaat bagi seorang Muslim setelah wafatnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanah, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS. Yasin: 12). Ditulis bagi manusia amal saleh yang telah ia kerjakan, seperti shalat, puasa, dan amal saleh lainnya. Ditulis juga baginya peninggalan-peninggalan baik yang ia tinggalkan. Di antaranya adalah Sedekah Jariyah, yakni wakaf. Oleh sebab itu, hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku, jika kamu mempunyai kemampuan untuk berwakaf, maka lakukanlah segera! Karena pahalanya besar sekali. Bahkan, ia merupakan cara terbaik untuk membelanjakan harta. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab berkata: “Aku mendapat sebidang tanah di Khaibar; ia adalah harta paling berharga yang pernah aku dapatkan dalam hidupku. Lalu aku meminta nasihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Lalu beliau memberiku nasihat untuk mewakafkannya.” Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang dipercaya; sehingga andai ada sesuatu yang lebih baik dari wakaf, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menasihatkannya kepada Umar. Jadi, Sedekah Jariyah pahalanya besar dan balasannya berlimpah. Bahkan, jika Sedekah Jariyah dikelola dengan baik bisa jadi lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada anak yang berbakti. Saya mengenal seorang wanita yang tidak dikaruniai anak, tapi ia punya Sedekah Jariyah. Pengelola wakaf atau Sedekah Jariyah itu berkata: “Seandainya ia punya anak yang berbakti, niscaya anak itu tidak akan mampu melakukan untuknya seperti apa yang dilakukan oleh wakaf tersebut. Karena pendapatan dari wakaf itu telah disalurkan kepada banyak sekali jalur kebaikan.” Ini menunjukkan keutamaan wakaf, dan ia akan tetap memberi manfaat bagi pelakunya semasa hidup dan setelah wafatnya. Maka dari itu, wahai saudara Muslimku! Jika kamu punya kemampuan untuk berwakaf agar segera melakukannya! Karena itu termasuk peninggalan baik yang tetap memberi kebaikan bagi pelakunya setelah kematiannya. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَقَوْلُهُ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ الْمُرَادُ بِالصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ الْوَقْفُ فَالْوَقْفُ يَجْرِي ثَوَابُهُ لِلْمُوْقِفِ مَا دَامَ أَنَّ الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ يَجْرِي لَهُ ثَوَابُهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ كَمْ مِنْ إِنْسَانٍ فِي قَبْرِهِ يَدُرُّ عَلَيْهِ وَقْفُهُ حَسَنَاتٍ؟ وَمَا دَامَ أَنَّ هَذَا الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ فَأَجْرُهُ يَجْرِي وَيَدُرُّ عَلَيْهِ الْوَقْفُ حَسَنَاتٍ عَظِيمَةً وَهَذِهِ مِنَ الْآثَارِ الَّتِي يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِمُ بَعْدَ مَمَاتِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ مَا قَدَّمَتْ يَدُهُ مِنْ أَعْمَالٍ صَالِحَةٍ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَأَعْمَالٍ صَالِحَةٍ وَيُكْتَبُ لَهُ أَيْضًا الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفَهَا وَمِنْ ذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ الْوَقْفُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِم إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تُبَادِرَ لِلْوَقْفِ فَإِنَّ أَجْرَهُ عَظِيمٌ بَلْ إِنَّهُ أَفْضَلُ مَا تُبْذَلُ فِيهِ الأَمْوَالُ وَلِهَذَا قَالَ عُمَرُ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ هِيَ أَنْفَسُ مَالٍ أَصَبْتُهُ فِي حَيَاتِي فَاسْتَشَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا أَصْنَعُ فِيهِ؟ فَأَشَارَ عَلَيَّ بِالْوَقْفِ وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنَ الْوَقْفِ لَأَشَارَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُمَرَ فَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ ثَوَابُهَا عَظِيْمٌ وَأَجْرُهَا جَزِيْلٌ بَلْ إِنَّ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ إِذَا أُحْسِنَ نَظَارَتُهَا رُبَّمَا أَنَّهَا تَنْفَعُ الْإِنْسَانَ أَكْثَرَ مِنَ الِابْنِ الْبَارِّ وَأَعْرِفُ امْرَأَةً لَمْ تُرْزَقْ بِأَوْلَادٍ لَكِنْ جَعَلَتْ لَهَا صَدَقَةً جَارِيَةً يَقُولُ النَّاظِرُ عَلَى هَذَا الْوَقْفِ أَوْ هَذِهِ الصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ يَقُولُ لَوْ كَانَ لَهَا ابْنٌ بَارٌّ لَمَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَفْعَلَ كَمَا فَعَلَ هَذَا الْوَقْفُ لِكَوْنِهِ قَدْ صُرِفَ مِنْ رَيْعِ هَذَا الْوَقْفِ فِي وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الْبِرِّ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ الْوَقْفِ وَأَنَّهُ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تَبَادِرَ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ الَّتِي تَبْقَى لِلْإِنْسَانِ بَعْدَ مَمَاتِهِ

Mengapa Kita Harus Bersedekah Jariyah? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) Sedekah Jariyah. (2) Ilmu yang bermanfaat. (3) Anak saleh yang mendoakannya.” Sabda beliau: Sedekah Jariyah, yang dimaksud adalah wakaf. Karena wakaf akan terus mengalir pahalanya bagi orang yang mewakafkan. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, pahalanya akan terus mengalir kepadanya semasa hidup dan setelah wafatnya. Betapa banyak orang yang sudah berada di dalam kuburnya, tapi pahala wakafnya terus mengalir untuknya. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, maka pahalanya terus mengalir. Harta yang diwakafkan itu terus memberinya pahala yang besar. Inilah salah satu peninggalan yang mendatangkan manfaat bagi seorang Muslim setelah wafatnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanah, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS. Yasin: 12). Ditulis bagi manusia amal saleh yang telah ia kerjakan, seperti shalat, puasa, dan amal saleh lainnya. Ditulis juga baginya peninggalan-peninggalan baik yang ia tinggalkan. Di antaranya adalah Sedekah Jariyah, yakni wakaf. Oleh sebab itu, hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku, jika kamu mempunyai kemampuan untuk berwakaf, maka lakukanlah segera! Karena pahalanya besar sekali. Bahkan, ia merupakan cara terbaik untuk membelanjakan harta. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab berkata: “Aku mendapat sebidang tanah di Khaibar; ia adalah harta paling berharga yang pernah aku dapatkan dalam hidupku. Lalu aku meminta nasihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Lalu beliau memberiku nasihat untuk mewakafkannya.” Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang dipercaya; sehingga andai ada sesuatu yang lebih baik dari wakaf, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menasihatkannya kepada Umar. Jadi, Sedekah Jariyah pahalanya besar dan balasannya berlimpah. Bahkan, jika Sedekah Jariyah dikelola dengan baik bisa jadi lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada anak yang berbakti. Saya mengenal seorang wanita yang tidak dikaruniai anak, tapi ia punya Sedekah Jariyah. Pengelola wakaf atau Sedekah Jariyah itu berkata: “Seandainya ia punya anak yang berbakti, niscaya anak itu tidak akan mampu melakukan untuknya seperti apa yang dilakukan oleh wakaf tersebut. Karena pendapatan dari wakaf itu telah disalurkan kepada banyak sekali jalur kebaikan.” Ini menunjukkan keutamaan wakaf, dan ia akan tetap memberi manfaat bagi pelakunya semasa hidup dan setelah wafatnya. Maka dari itu, wahai saudara Muslimku! Jika kamu punya kemampuan untuk berwakaf agar segera melakukannya! Karena itu termasuk peninggalan baik yang tetap memberi kebaikan bagi pelakunya setelah kematiannya. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَقَوْلُهُ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ الْمُرَادُ بِالصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ الْوَقْفُ فَالْوَقْفُ يَجْرِي ثَوَابُهُ لِلْمُوْقِفِ مَا دَامَ أَنَّ الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ يَجْرِي لَهُ ثَوَابُهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ كَمْ مِنْ إِنْسَانٍ فِي قَبْرِهِ يَدُرُّ عَلَيْهِ وَقْفُهُ حَسَنَاتٍ؟ وَمَا دَامَ أَنَّ هَذَا الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ فَأَجْرُهُ يَجْرِي وَيَدُرُّ عَلَيْهِ الْوَقْفُ حَسَنَاتٍ عَظِيمَةً وَهَذِهِ مِنَ الْآثَارِ الَّتِي يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِمُ بَعْدَ مَمَاتِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ مَا قَدَّمَتْ يَدُهُ مِنْ أَعْمَالٍ صَالِحَةٍ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَأَعْمَالٍ صَالِحَةٍ وَيُكْتَبُ لَهُ أَيْضًا الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفَهَا وَمِنْ ذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ الْوَقْفُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِم إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تُبَادِرَ لِلْوَقْفِ فَإِنَّ أَجْرَهُ عَظِيمٌ بَلْ إِنَّهُ أَفْضَلُ مَا تُبْذَلُ فِيهِ الأَمْوَالُ وَلِهَذَا قَالَ عُمَرُ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ هِيَ أَنْفَسُ مَالٍ أَصَبْتُهُ فِي حَيَاتِي فَاسْتَشَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا أَصْنَعُ فِيهِ؟ فَأَشَارَ عَلَيَّ بِالْوَقْفِ وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنَ الْوَقْفِ لَأَشَارَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُمَرَ فَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ ثَوَابُهَا عَظِيْمٌ وَأَجْرُهَا جَزِيْلٌ بَلْ إِنَّ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ إِذَا أُحْسِنَ نَظَارَتُهَا رُبَّمَا أَنَّهَا تَنْفَعُ الْإِنْسَانَ أَكْثَرَ مِنَ الِابْنِ الْبَارِّ وَأَعْرِفُ امْرَأَةً لَمْ تُرْزَقْ بِأَوْلَادٍ لَكِنْ جَعَلَتْ لَهَا صَدَقَةً جَارِيَةً يَقُولُ النَّاظِرُ عَلَى هَذَا الْوَقْفِ أَوْ هَذِهِ الصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ يَقُولُ لَوْ كَانَ لَهَا ابْنٌ بَارٌّ لَمَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَفْعَلَ كَمَا فَعَلَ هَذَا الْوَقْفُ لِكَوْنِهِ قَدْ صُرِفَ مِنْ رَيْعِ هَذَا الْوَقْفِ فِي وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الْبِرِّ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ الْوَقْفِ وَأَنَّهُ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تَبَادِرَ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ الَّتِي تَبْقَى لِلْإِنْسَانِ بَعْدَ مَمَاتِهِ
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) Sedekah Jariyah. (2) Ilmu yang bermanfaat. (3) Anak saleh yang mendoakannya.” Sabda beliau: Sedekah Jariyah, yang dimaksud adalah wakaf. Karena wakaf akan terus mengalir pahalanya bagi orang yang mewakafkan. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, pahalanya akan terus mengalir kepadanya semasa hidup dan setelah wafatnya. Betapa banyak orang yang sudah berada di dalam kuburnya, tapi pahala wakafnya terus mengalir untuknya. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, maka pahalanya terus mengalir. Harta yang diwakafkan itu terus memberinya pahala yang besar. Inilah salah satu peninggalan yang mendatangkan manfaat bagi seorang Muslim setelah wafatnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanah, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS. Yasin: 12). Ditulis bagi manusia amal saleh yang telah ia kerjakan, seperti shalat, puasa, dan amal saleh lainnya. Ditulis juga baginya peninggalan-peninggalan baik yang ia tinggalkan. Di antaranya adalah Sedekah Jariyah, yakni wakaf. Oleh sebab itu, hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku, jika kamu mempunyai kemampuan untuk berwakaf, maka lakukanlah segera! Karena pahalanya besar sekali. Bahkan, ia merupakan cara terbaik untuk membelanjakan harta. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab berkata: “Aku mendapat sebidang tanah di Khaibar; ia adalah harta paling berharga yang pernah aku dapatkan dalam hidupku. Lalu aku meminta nasihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Lalu beliau memberiku nasihat untuk mewakafkannya.” Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang dipercaya; sehingga andai ada sesuatu yang lebih baik dari wakaf, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menasihatkannya kepada Umar. Jadi, Sedekah Jariyah pahalanya besar dan balasannya berlimpah. Bahkan, jika Sedekah Jariyah dikelola dengan baik bisa jadi lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada anak yang berbakti. Saya mengenal seorang wanita yang tidak dikaruniai anak, tapi ia punya Sedekah Jariyah. Pengelola wakaf atau Sedekah Jariyah itu berkata: “Seandainya ia punya anak yang berbakti, niscaya anak itu tidak akan mampu melakukan untuknya seperti apa yang dilakukan oleh wakaf tersebut. Karena pendapatan dari wakaf itu telah disalurkan kepada banyak sekali jalur kebaikan.” Ini menunjukkan keutamaan wakaf, dan ia akan tetap memberi manfaat bagi pelakunya semasa hidup dan setelah wafatnya. Maka dari itu, wahai saudara Muslimku! Jika kamu punya kemampuan untuk berwakaf agar segera melakukannya! Karena itu termasuk peninggalan baik yang tetap memberi kebaikan bagi pelakunya setelah kematiannya. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَقَوْلُهُ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ الْمُرَادُ بِالصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ الْوَقْفُ فَالْوَقْفُ يَجْرِي ثَوَابُهُ لِلْمُوْقِفِ مَا دَامَ أَنَّ الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ يَجْرِي لَهُ ثَوَابُهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ كَمْ مِنْ إِنْسَانٍ فِي قَبْرِهِ يَدُرُّ عَلَيْهِ وَقْفُهُ حَسَنَاتٍ؟ وَمَا دَامَ أَنَّ هَذَا الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ فَأَجْرُهُ يَجْرِي وَيَدُرُّ عَلَيْهِ الْوَقْفُ حَسَنَاتٍ عَظِيمَةً وَهَذِهِ مِنَ الْآثَارِ الَّتِي يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِمُ بَعْدَ مَمَاتِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ مَا قَدَّمَتْ يَدُهُ مِنْ أَعْمَالٍ صَالِحَةٍ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَأَعْمَالٍ صَالِحَةٍ وَيُكْتَبُ لَهُ أَيْضًا الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفَهَا وَمِنْ ذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ الْوَقْفُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِم إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تُبَادِرَ لِلْوَقْفِ فَإِنَّ أَجْرَهُ عَظِيمٌ بَلْ إِنَّهُ أَفْضَلُ مَا تُبْذَلُ فِيهِ الأَمْوَالُ وَلِهَذَا قَالَ عُمَرُ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ هِيَ أَنْفَسُ مَالٍ أَصَبْتُهُ فِي حَيَاتِي فَاسْتَشَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا أَصْنَعُ فِيهِ؟ فَأَشَارَ عَلَيَّ بِالْوَقْفِ وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنَ الْوَقْفِ لَأَشَارَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُمَرَ فَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ ثَوَابُهَا عَظِيْمٌ وَأَجْرُهَا جَزِيْلٌ بَلْ إِنَّ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ إِذَا أُحْسِنَ نَظَارَتُهَا رُبَّمَا أَنَّهَا تَنْفَعُ الْإِنْسَانَ أَكْثَرَ مِنَ الِابْنِ الْبَارِّ وَأَعْرِفُ امْرَأَةً لَمْ تُرْزَقْ بِأَوْلَادٍ لَكِنْ جَعَلَتْ لَهَا صَدَقَةً جَارِيَةً يَقُولُ النَّاظِرُ عَلَى هَذَا الْوَقْفِ أَوْ هَذِهِ الصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ يَقُولُ لَوْ كَانَ لَهَا ابْنٌ بَارٌّ لَمَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَفْعَلَ كَمَا فَعَلَ هَذَا الْوَقْفُ لِكَوْنِهِ قَدْ صُرِفَ مِنْ رَيْعِ هَذَا الْوَقْفِ فِي وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الْبِرِّ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ الْوَقْفِ وَأَنَّهُ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تَبَادِرَ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ الَّتِي تَبْقَى لِلْإِنْسَانِ بَعْدَ مَمَاتِهِ


Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) Sedekah Jariyah. (2) Ilmu yang bermanfaat. (3) Anak saleh yang mendoakannya.” Sabda beliau: Sedekah Jariyah, yang dimaksud adalah wakaf. Karena wakaf akan terus mengalir pahalanya bagi orang yang mewakafkan. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, pahalanya akan terus mengalir kepadanya semasa hidup dan setelah wafatnya. Betapa banyak orang yang sudah berada di dalam kuburnya, tapi pahala wakafnya terus mengalir untuknya. Selama wakaf itu masih dimanfaatkan, maka pahalanya terus mengalir. Harta yang diwakafkan itu terus memberinya pahala yang besar. Inilah salah satu peninggalan yang mendatangkan manfaat bagi seorang Muslim setelah wafatnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanah, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS. Yasin: 12). Ditulis bagi manusia amal saleh yang telah ia kerjakan, seperti shalat, puasa, dan amal saleh lainnya. Ditulis juga baginya peninggalan-peninggalan baik yang ia tinggalkan. Di antaranya adalah Sedekah Jariyah, yakni wakaf. Oleh sebab itu, hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku, jika kamu mempunyai kemampuan untuk berwakaf, maka lakukanlah segera! Karena pahalanya besar sekali. Bahkan, ia merupakan cara terbaik untuk membelanjakan harta. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab berkata: “Aku mendapat sebidang tanah di Khaibar; ia adalah harta paling berharga yang pernah aku dapatkan dalam hidupku. Lalu aku meminta nasihat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Lalu beliau memberiku nasihat untuk mewakafkannya.” Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang dipercaya; sehingga andai ada sesuatu yang lebih baik dari wakaf, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menasihatkannya kepada Umar. Jadi, Sedekah Jariyah pahalanya besar dan balasannya berlimpah. Bahkan, jika Sedekah Jariyah dikelola dengan baik bisa jadi lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada anak yang berbakti. Saya mengenal seorang wanita yang tidak dikaruniai anak, tapi ia punya Sedekah Jariyah. Pengelola wakaf atau Sedekah Jariyah itu berkata: “Seandainya ia punya anak yang berbakti, niscaya anak itu tidak akan mampu melakukan untuknya seperti apa yang dilakukan oleh wakaf tersebut. Karena pendapatan dari wakaf itu telah disalurkan kepada banyak sekali jalur kebaikan.” Ini menunjukkan keutamaan wakaf, dan ia akan tetap memberi manfaat bagi pelakunya semasa hidup dan setelah wafatnya. Maka dari itu, wahai saudara Muslimku! Jika kamu punya kemampuan untuk berwakaf agar segera melakukannya! Karena itu termasuk peninggalan baik yang tetap memberi kebaikan bagi pelakunya setelah kematiannya. ==== جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَقَوْلُهُ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ الْمُرَادُ بِالصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ الْوَقْفُ فَالْوَقْفُ يَجْرِي ثَوَابُهُ لِلْمُوْقِفِ مَا دَامَ أَنَّ الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ يَجْرِي لَهُ ثَوَابُهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ كَمْ مِنْ إِنْسَانٍ فِي قَبْرِهِ يَدُرُّ عَلَيْهِ وَقْفُهُ حَسَنَاتٍ؟ وَمَا دَامَ أَنَّ هَذَا الْوَقْفَ يُنْتَفَعُ بِهِ فَأَجْرُهُ يَجْرِي وَيَدُرُّ عَلَيْهِ الْوَقْفُ حَسَنَاتٍ عَظِيمَةً وَهَذِهِ مِنَ الْآثَارِ الَّتِي يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُسْلِمُ بَعْدَ مَمَاتِهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ يُكْتَبُ لِلْإِنْسَانِ مَا قَدَّمَتْ يَدُهُ مِنْ أَعْمَالٍ صَالِحَةٍ مِنْ صَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَأَعْمَالٍ صَالِحَةٍ وَيُكْتَبُ لَهُ أَيْضًا الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفَهَا وَمِنْ ذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ الْوَقْفُ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِم إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تُبَادِرَ لِلْوَقْفِ فَإِنَّ أَجْرَهُ عَظِيمٌ بَلْ إِنَّهُ أَفْضَلُ مَا تُبْذَلُ فِيهِ الأَمْوَالُ وَلِهَذَا قَالَ عُمَرُ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ هِيَ أَنْفَسُ مَالٍ أَصَبْتُهُ فِي حَيَاتِي فَاسْتَشَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا أَصْنَعُ فِيهِ؟ فَأَشَارَ عَلَيَّ بِالْوَقْفِ وَالْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنَ الْوَقْفِ لَأَشَارَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُمَرَ فَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ ثَوَابُهَا عَظِيْمٌ وَأَجْرُهَا جَزِيْلٌ بَلْ إِنَّ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ إِذَا أُحْسِنَ نَظَارَتُهَا رُبَّمَا أَنَّهَا تَنْفَعُ الْإِنْسَانَ أَكْثَرَ مِنَ الِابْنِ الْبَارِّ وَأَعْرِفُ امْرَأَةً لَمْ تُرْزَقْ بِأَوْلَادٍ لَكِنْ جَعَلَتْ لَهَا صَدَقَةً جَارِيَةً يَقُولُ النَّاظِرُ عَلَى هَذَا الْوَقْفِ أَوْ هَذِهِ الصَّدَقَةِ الْجَارِيَةِ يَقُولُ لَوْ كَانَ لَهَا ابْنٌ بَارٌّ لَمَا اسْتَطَاعَ أَنْ يَفْعَلَ كَمَا فَعَلَ هَذَا الْوَقْفُ لِكَوْنِهِ قَدْ صُرِفَ مِنْ رَيْعِ هَذَا الْوَقْفِ فِي وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الْبِرِّ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ الْوَقْفِ وَأَنَّهُ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ قُدْرَةٌ عَلَى الْوَقْفِ أَنْ تَبَادِرَ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ الَّتِي تَبْقَى لِلْإِنْسَانِ بَعْدَ مَمَاتِهِ

Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah

Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Posted on January 12, 2025January 12, 2025by Dapatkan Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Buah karya Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA Pintu hikmah sangat luas. Namun bukanlah sesuatu yang bisa dibuka seluas-luasnya, tanpa memperhatikan koridor syariat. Karena hikmah dibangun di atas tiga pilar, yaitu: ilmu, bijaksana, (al-hilmu) dan tidak tergesa-gesa (al-anah). Buku ini mencoba mengupas 14 contoh yang benar dari sikap hikmah, sesuai dengan tiga pilar di atas. Harga normal: Rp75.000Harga PO: Rp65.000 Keuntungan penjualan buku dialokasikan untuk kegiatan dakwah dan pendidikan. Pesan Sekarang Melalui WhatsApp 0895 2689 2522 Atau bisa didapatkan di: TI MART Kompleks Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, Desa Kedungwuluh RT. 08 RW. 02 Kalimanah Purbalingga Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah

Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Posted on January 12, 2025January 12, 2025by Dapatkan Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Buah karya Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA Pintu hikmah sangat luas. Namun bukanlah sesuatu yang bisa dibuka seluas-luasnya, tanpa memperhatikan koridor syariat. Karena hikmah dibangun di atas tiga pilar, yaitu: ilmu, bijaksana, (al-hilmu) dan tidak tergesa-gesa (al-anah). Buku ini mencoba mengupas 14 contoh yang benar dari sikap hikmah, sesuai dengan tiga pilar di atas. Harga normal: Rp75.000Harga PO: Rp65.000 Keuntungan penjualan buku dialokasikan untuk kegiatan dakwah dan pendidikan. Pesan Sekarang Melalui WhatsApp 0895 2689 2522 Atau bisa didapatkan di: TI MART Kompleks Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, Desa Kedungwuluh RT. 08 RW. 02 Kalimanah Purbalingga Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Posted on January 12, 2025January 12, 2025by Dapatkan Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Buah karya Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA Pintu hikmah sangat luas. Namun bukanlah sesuatu yang bisa dibuka seluas-luasnya, tanpa memperhatikan koridor syariat. Karena hikmah dibangun di atas tiga pilar, yaitu: ilmu, bijaksana, (al-hilmu) dan tidak tergesa-gesa (al-anah). Buku ini mencoba mengupas 14 contoh yang benar dari sikap hikmah, sesuai dengan tiga pilar di atas. Harga normal: Rp75.000Harga PO: Rp65.000 Keuntungan penjualan buku dialokasikan untuk kegiatan dakwah dan pendidikan. Pesan Sekarang Melalui WhatsApp 0895 2689 2522 Atau bisa didapatkan di: TI MART Kompleks Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, Desa Kedungwuluh RT. 08 RW. 02 Kalimanah Purbalingga Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Posted on January 12, 2025January 12, 2025by Dapatkan Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Buah karya Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA Pintu hikmah sangat luas. Namun bukanlah sesuatu yang bisa dibuka seluas-luasnya, tanpa memperhatikan koridor syariat. Karena hikmah dibangun di atas tiga pilar, yaitu: ilmu, bijaksana, (al-hilmu) dan tidak tergesa-gesa (al-anah). Buku ini mencoba mengupas 14 contoh yang benar dari sikap hikmah, sesuai dengan tiga pilar di atas. Harga normal: Rp75.000Harga PO: Rp65.000 Keuntungan penjualan buku dialokasikan untuk kegiatan dakwah dan pendidikan. Pesan Sekarang Melalui WhatsApp 0895 2689 2522 Atau bisa didapatkan di: TI MART Kompleks Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, Desa Kedungwuluh RT. 08 RW. 02 Kalimanah Purbalingga Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Hadis: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan lafaz-lafaz dalam hadisPoin-poin utama hadisPenjelasan makna hadisMakna zuhudTingkatan zuhudPemahaman keliru tentang zuhud الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين اما بعد Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarga serta sahabat beliau. Pada zaman ini, generasi kita disuguhi dengan fenomena flexing dari kalangan orang kaya yang membuat konten untuk memamerkan harta dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial yang luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar harta dunia untuk meniru gaya konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu faedah hadis ke-31 dalam Al-Arba’ín, yaitu zuhud. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah akan mencintaimu’. Dan sudah seharusnya setiap muslim memiliki sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan memiliki sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berusaha untuk menjelaskan hadis ke-31 dan kami berusaha menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah akan kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz penting dalam hadis. Teks hadis عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة. Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya) Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis Di antaranya: أحبني الله و احبني الناس Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu cenderung pada kebiasaan, karena kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah, إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96) ازهد Dari kata zuhud, dalam bentuk kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi atau memiliki sifat zuhud pada dunia dan pada apa yang menjadi milik orang lain. في الدنيا Dengan menganggap kecil dan meremehkan. Karena Allah menilai dunia sebagai sesuatu yang kecil dan hina, mengingatkan akan tipu dayanya. Firman Allah, فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33) Firman-Nya, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20) يحبّك الله Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ yang pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ yang kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka. Poin-poin utama hadis Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah faktor penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Kedua: Zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia. Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap harta milik orang lain, dan lebih mengutamakan amal saleh. Dengan begitu, ia akan meraih kehormatan dan meraih amalan saleh. Karena amal saleh itu lebih baik dan lebih kekal di akhirat kelak. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata tentang hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat hadis yang menjadi sumber ajaran Islam.” Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? Penjelasan makna hadis Orang yang memiliki sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia ingin melakukan sesuatu, atau membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini bermanfaat di akhirat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang yang memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat di akhirat walaupun orangnya kaya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi ia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya harta untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah hakikat dari zuhud. “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi dunia ini untuk akhiratnya, bukan karena terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita akan dicintai Allah. “Zuhudlah dengan apa yang di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa yang di tangan manusia), maka manusia akan mencintaimu.” Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata, “Adapun mengapa orang zuhud di dunia adalah sebab dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang zuhud di dunia itu cintanya kepada akhirat jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada akhirat lebih besar, maka amalan-amalan yang dia lakukan adalah amalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.” Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya atau akhiratnya. Kalau seandainya kita bersemangat untuk mencari akhirat, kalau ada kesempatan untuk melakukan amalan akhirat, lalu kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta akhirat jauh lebih besar. Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, kalau seandainya ada kesempatan berbuat untuk akhirat tetapi masih nanti-nanti, berarti cinta dunia kita masih lebih besar dari cinta akhirat. Orang yang cinta akhirat, dia akan melakukan amalan-amalan, sehingga karena itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, lalu dunianya diisi dengan amalan-amalan akhirat dan kalau pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berdagang untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat uang gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berharap seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat. Zuhud terhadap apa yang di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa yang di tangan manusia. Dia tidak berharap apa-apa dengan sesuatu yang ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi sebab manusia mencintainya? Karena dunia itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap yang mereka miliki dan meninggalkan apa yang mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh penduduk dunia. Mengapa orang tidak suka kalau kita menginginkan sesuatu yang di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya karena kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa yang tidak minta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa yang di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintai kita. Makna zuhud Makna zuhud secara bahasa adalah berpaling dari sesuatu sebagai bentuk merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil yang halal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada dunia secara syar’i artinya membenci apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya. Banyak ulama menafsirkan zuhud terhadap dunia berlandaskan riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, yang mengatakan, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika masih tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, karena zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 hal yang semuanya merupakan amalan hati. Tiga penafsiran zuhud, yaitu: Pertama: Lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari keyakinan yang benar, dan yakin akan jaminan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya. Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya harta benda atau anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari keyakinan yang sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap dunia dan sedikitnya ambisi duniawi. Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa, اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا “Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai berbagai musibah dunia.” Ketiga: Baik pujian maupun celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.” Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang zuhud: Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’” Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak bahagia ketika mendapatkannya.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.” Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta orang lain.” Tingkatan zuhud Secara umum, ulama membagi zuhud menjadi 3: Pertama: Zuhud terhadap syirik dan beribadah kepada selain Allah. Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara yang diharamkan. Ketiga: Zuhud terhadap yang halal. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk: Pertama: Meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam. Kedua: Meninggalkan yang halal, akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus. Ketiga: Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang yang memahami ajaran Islam secara sempurna) Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu berpendapat dalam syarah hadis ini dengan berkata bahwa zuhud memiliki 4 tingkatan sifat, yaitu: Pertama: Zuhud terhadap perkara haram; Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh; Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat yang belum jelas bagi orang itu; Keempat: Zuhud terhadap perkara yang boleh yang melebihi apa yang dibutuhkan. Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak atau belum dikatakan atau tidak termasuk sebagai zuhud.” Pemahaman keliru tentang zuhud Pemahaman tentang zuhud yang beredar di antara kita, di antaranya ada yang keliru atau tidak sesuai ajaran Islam. Pemahaman tentang zuhud yang tidak benar adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit. Zuhud yang salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai pakaian compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan sedekah orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan yang salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan. Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari cara pandang yang salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari yang halal, berlomba-lomba meraih keuntungan dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita harus mencari sarana yang bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia. Demikian tulisan kami mengenai amalan untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat. الله أعلم بالصواب Allahu A’lam bis-shawab Baca juga: Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi *** Penulis: Refnadi Ferdiantoro Artikel: Muslim.or.id

Hadis: Zuhud untuk Meraih Cinta Allah ‘Azza Wajalla

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan lafaz-lafaz dalam hadisPoin-poin utama hadisPenjelasan makna hadisMakna zuhudTingkatan zuhudPemahaman keliru tentang zuhud الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين اما بعد Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarga serta sahabat beliau. Pada zaman ini, generasi kita disuguhi dengan fenomena flexing dari kalangan orang kaya yang membuat konten untuk memamerkan harta dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial yang luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar harta dunia untuk meniru gaya konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu faedah hadis ke-31 dalam Al-Arba’ín, yaitu zuhud. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah akan mencintaimu’. Dan sudah seharusnya setiap muslim memiliki sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan memiliki sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berusaha untuk menjelaskan hadis ke-31 dan kami berusaha menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah akan kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz penting dalam hadis. Teks hadis عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة. Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya) Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis Di antaranya: أحبني الله و احبني الناس Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu cenderung pada kebiasaan, karena kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah, إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96) ازهد Dari kata zuhud, dalam bentuk kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi atau memiliki sifat zuhud pada dunia dan pada apa yang menjadi milik orang lain. في الدنيا Dengan menganggap kecil dan meremehkan. Karena Allah menilai dunia sebagai sesuatu yang kecil dan hina, mengingatkan akan tipu dayanya. Firman Allah, فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33) Firman-Nya, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20) يحبّك الله Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ yang pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ yang kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka. Poin-poin utama hadis Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah faktor penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Kedua: Zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia. Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap harta milik orang lain, dan lebih mengutamakan amal saleh. Dengan begitu, ia akan meraih kehormatan dan meraih amalan saleh. Karena amal saleh itu lebih baik dan lebih kekal di akhirat kelak. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata tentang hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat hadis yang menjadi sumber ajaran Islam.” Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? Penjelasan makna hadis Orang yang memiliki sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia ingin melakukan sesuatu, atau membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini bermanfaat di akhirat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang yang memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat di akhirat walaupun orangnya kaya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi ia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya harta untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah hakikat dari zuhud. “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi dunia ini untuk akhiratnya, bukan karena terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita akan dicintai Allah. “Zuhudlah dengan apa yang di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa yang di tangan manusia), maka manusia akan mencintaimu.” Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata, “Adapun mengapa orang zuhud di dunia adalah sebab dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang zuhud di dunia itu cintanya kepada akhirat jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada akhirat lebih besar, maka amalan-amalan yang dia lakukan adalah amalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.” Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya atau akhiratnya. Kalau seandainya kita bersemangat untuk mencari akhirat, kalau ada kesempatan untuk melakukan amalan akhirat, lalu kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta akhirat jauh lebih besar. Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, kalau seandainya ada kesempatan berbuat untuk akhirat tetapi masih nanti-nanti, berarti cinta dunia kita masih lebih besar dari cinta akhirat. Orang yang cinta akhirat, dia akan melakukan amalan-amalan, sehingga karena itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, lalu dunianya diisi dengan amalan-amalan akhirat dan kalau pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berdagang untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat uang gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berharap seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat. Zuhud terhadap apa yang di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa yang di tangan manusia. Dia tidak berharap apa-apa dengan sesuatu yang ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi sebab manusia mencintainya? Karena dunia itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap yang mereka miliki dan meninggalkan apa yang mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh penduduk dunia. Mengapa orang tidak suka kalau kita menginginkan sesuatu yang di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya karena kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa yang tidak minta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa yang di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintai kita. Makna zuhud Makna zuhud secara bahasa adalah berpaling dari sesuatu sebagai bentuk merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil yang halal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada dunia secara syar’i artinya membenci apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya. Banyak ulama menafsirkan zuhud terhadap dunia berlandaskan riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, yang mengatakan, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika masih tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, karena zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 hal yang semuanya merupakan amalan hati. Tiga penafsiran zuhud, yaitu: Pertama: Lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari keyakinan yang benar, dan yakin akan jaminan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya. Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya harta benda atau anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari keyakinan yang sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap dunia dan sedikitnya ambisi duniawi. Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa, اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا “Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai berbagai musibah dunia.” Ketiga: Baik pujian maupun celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.” Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang zuhud: Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’” Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak bahagia ketika mendapatkannya.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.” Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta orang lain.” Tingkatan zuhud Secara umum, ulama membagi zuhud menjadi 3: Pertama: Zuhud terhadap syirik dan beribadah kepada selain Allah. Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara yang diharamkan. Ketiga: Zuhud terhadap yang halal. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk: Pertama: Meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam. Kedua: Meninggalkan yang halal, akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus. Ketiga: Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang yang memahami ajaran Islam secara sempurna) Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu berpendapat dalam syarah hadis ini dengan berkata bahwa zuhud memiliki 4 tingkatan sifat, yaitu: Pertama: Zuhud terhadap perkara haram; Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh; Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat yang belum jelas bagi orang itu; Keempat: Zuhud terhadap perkara yang boleh yang melebihi apa yang dibutuhkan. Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak atau belum dikatakan atau tidak termasuk sebagai zuhud.” Pemahaman keliru tentang zuhud Pemahaman tentang zuhud yang beredar di antara kita, di antaranya ada yang keliru atau tidak sesuai ajaran Islam. Pemahaman tentang zuhud yang tidak benar adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit. Zuhud yang salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai pakaian compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan sedekah orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan yang salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan. Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari cara pandang yang salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari yang halal, berlomba-lomba meraih keuntungan dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita harus mencari sarana yang bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia. Demikian tulisan kami mengenai amalan untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat. الله أعلم بالصواب Allahu A’lam bis-shawab Baca juga: Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi *** Penulis: Refnadi Ferdiantoro Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan lafaz-lafaz dalam hadisPoin-poin utama hadisPenjelasan makna hadisMakna zuhudTingkatan zuhudPemahaman keliru tentang zuhud الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين اما بعد Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarga serta sahabat beliau. Pada zaman ini, generasi kita disuguhi dengan fenomena flexing dari kalangan orang kaya yang membuat konten untuk memamerkan harta dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial yang luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar harta dunia untuk meniru gaya konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu faedah hadis ke-31 dalam Al-Arba’ín, yaitu zuhud. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah akan mencintaimu’. Dan sudah seharusnya setiap muslim memiliki sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan memiliki sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berusaha untuk menjelaskan hadis ke-31 dan kami berusaha menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah akan kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz penting dalam hadis. Teks hadis عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة. Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya) Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis Di antaranya: أحبني الله و احبني الناس Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu cenderung pada kebiasaan, karena kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah, إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96) ازهد Dari kata zuhud, dalam bentuk kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi atau memiliki sifat zuhud pada dunia dan pada apa yang menjadi milik orang lain. في الدنيا Dengan menganggap kecil dan meremehkan. Karena Allah menilai dunia sebagai sesuatu yang kecil dan hina, mengingatkan akan tipu dayanya. Firman Allah, فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33) Firman-Nya, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20) يحبّك الله Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ yang pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ yang kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka. Poin-poin utama hadis Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah faktor penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Kedua: Zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia. Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap harta milik orang lain, dan lebih mengutamakan amal saleh. Dengan begitu, ia akan meraih kehormatan dan meraih amalan saleh. Karena amal saleh itu lebih baik dan lebih kekal di akhirat kelak. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata tentang hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat hadis yang menjadi sumber ajaran Islam.” Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? Penjelasan makna hadis Orang yang memiliki sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia ingin melakukan sesuatu, atau membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini bermanfaat di akhirat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang yang memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat di akhirat walaupun orangnya kaya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi ia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya harta untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah hakikat dari zuhud. “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi dunia ini untuk akhiratnya, bukan karena terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita akan dicintai Allah. “Zuhudlah dengan apa yang di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa yang di tangan manusia), maka manusia akan mencintaimu.” Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata, “Adapun mengapa orang zuhud di dunia adalah sebab dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang zuhud di dunia itu cintanya kepada akhirat jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada akhirat lebih besar, maka amalan-amalan yang dia lakukan adalah amalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.” Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya atau akhiratnya. Kalau seandainya kita bersemangat untuk mencari akhirat, kalau ada kesempatan untuk melakukan amalan akhirat, lalu kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta akhirat jauh lebih besar. Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, kalau seandainya ada kesempatan berbuat untuk akhirat tetapi masih nanti-nanti, berarti cinta dunia kita masih lebih besar dari cinta akhirat. Orang yang cinta akhirat, dia akan melakukan amalan-amalan, sehingga karena itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, lalu dunianya diisi dengan amalan-amalan akhirat dan kalau pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berdagang untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat uang gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berharap seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat. Zuhud terhadap apa yang di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa yang di tangan manusia. Dia tidak berharap apa-apa dengan sesuatu yang ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi sebab manusia mencintainya? Karena dunia itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap yang mereka miliki dan meninggalkan apa yang mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh penduduk dunia. Mengapa orang tidak suka kalau kita menginginkan sesuatu yang di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya karena kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa yang tidak minta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa yang di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintai kita. Makna zuhud Makna zuhud secara bahasa adalah berpaling dari sesuatu sebagai bentuk merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil yang halal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada dunia secara syar’i artinya membenci apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya. Banyak ulama menafsirkan zuhud terhadap dunia berlandaskan riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, yang mengatakan, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika masih tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, karena zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 hal yang semuanya merupakan amalan hati. Tiga penafsiran zuhud, yaitu: Pertama: Lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari keyakinan yang benar, dan yakin akan jaminan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya. Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya harta benda atau anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari keyakinan yang sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap dunia dan sedikitnya ambisi duniawi. Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa, اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا “Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai berbagai musibah dunia.” Ketiga: Baik pujian maupun celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.” Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang zuhud: Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’” Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak bahagia ketika mendapatkannya.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.” Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta orang lain.” Tingkatan zuhud Secara umum, ulama membagi zuhud menjadi 3: Pertama: Zuhud terhadap syirik dan beribadah kepada selain Allah. Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara yang diharamkan. Ketiga: Zuhud terhadap yang halal. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk: Pertama: Meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam. Kedua: Meninggalkan yang halal, akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus. Ketiga: Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang yang memahami ajaran Islam secara sempurna) Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu berpendapat dalam syarah hadis ini dengan berkata bahwa zuhud memiliki 4 tingkatan sifat, yaitu: Pertama: Zuhud terhadap perkara haram; Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh; Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat yang belum jelas bagi orang itu; Keempat: Zuhud terhadap perkara yang boleh yang melebihi apa yang dibutuhkan. Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak atau belum dikatakan atau tidak termasuk sebagai zuhud.” Pemahaman keliru tentang zuhud Pemahaman tentang zuhud yang beredar di antara kita, di antaranya ada yang keliru atau tidak sesuai ajaran Islam. Pemahaman tentang zuhud yang tidak benar adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit. Zuhud yang salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai pakaian compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan sedekah orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan yang salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan. Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari cara pandang yang salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari yang halal, berlomba-lomba meraih keuntungan dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita harus mencari sarana yang bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia. Demikian tulisan kami mengenai amalan untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat. الله أعلم بالصواب Allahu A’lam bis-shawab Baca juga: Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi *** Penulis: Refnadi Ferdiantoro Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan lafaz-lafaz dalam hadisPoin-poin utama hadisPenjelasan makna hadisMakna zuhudTingkatan zuhudPemahaman keliru tentang zuhud الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين اما بعد Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarga serta sahabat beliau. Pada zaman ini, generasi kita disuguhi dengan fenomena flexing dari kalangan orang kaya yang membuat konten untuk memamerkan harta dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial yang luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar harta dunia untuk meniru gaya konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu faedah hadis ke-31 dalam Al-Arba’ín, yaitu zuhud. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah akan mencintaimu’. Dan sudah seharusnya setiap muslim memiliki sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan memiliki sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan akhirat daripada dunia. Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berusaha untuk menjelaskan hadis ke-31 dan kami berusaha menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah akan kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz penting dalam hadis. Teks hadis عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة. Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya) Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis Di antaranya: أحبني الله و احبني الناس Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu cenderung pada kebiasaan, karena kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah, إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96) ازهد Dari kata zuhud, dalam bentuk kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi atau memiliki sifat zuhud pada dunia dan pada apa yang menjadi milik orang lain. في الدنيا Dengan menganggap kecil dan meremehkan. Karena Allah menilai dunia sebagai sesuatu yang kecil dan hina, mengingatkan akan tipu dayanya. Firman Allah, فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33) Firman-Nya, ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20) يحبّك الله Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ yang pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ yang kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka. Poin-poin utama hadis Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah faktor penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Kedua: Zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia. Manusia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap harta milik orang lain, dan lebih mengutamakan amal saleh. Dengan begitu, ia akan meraih kehormatan dan meraih amalan saleh. Karena amal saleh itu lebih baik dan lebih kekal di akhirat kelak. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata tentang hadis ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat hadis yang menjadi sumber ajaran Islam.” Baca juga: Tambah Miskin, Tambah Zuhud? Penjelasan makna hadis Orang yang memiliki sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia ingin melakukan sesuatu, atau membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini bermanfaat di akhirat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang yang memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat di akhirat walaupun orangnya kaya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi ia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya harta untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah hakikat dari zuhud. “Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi dunia ini untuk akhiratnya, bukan karena terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita akan dicintai Allah. “Zuhudlah dengan apa yang di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa yang di tangan manusia), maka manusia akan mencintaimu.” Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata, “Adapun mengapa orang zuhud di dunia adalah sebab dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang zuhud di dunia itu cintanya kepada akhirat jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada akhirat lebih besar, maka amalan-amalan yang dia lakukan adalah amalan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.” Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya atau akhiratnya. Kalau seandainya kita bersemangat untuk mencari akhirat, kalau ada kesempatan untuk melakukan amalan akhirat, lalu kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta akhirat jauh lebih besar. Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, kalau seandainya ada kesempatan berbuat untuk akhirat tetapi masih nanti-nanti, berarti cinta dunia kita masih lebih besar dari cinta akhirat. Orang yang cinta akhirat, dia akan melakukan amalan-amalan, sehingga karena itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, lalu dunianya diisi dengan amalan-amalan akhirat dan kalau pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berdagang untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat uang gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berharap seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat. Zuhud terhadap apa yang di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa yang di tangan manusia. Dia tidak berharap apa-apa dengan sesuatu yang ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi sebab manusia mencintainya? Karena dunia itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap yang mereka miliki dan meninggalkan apa yang mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh penduduk dunia. Mengapa orang tidak suka kalau kita menginginkan sesuatu yang di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, akan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya karena kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa yang tidak minta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa yang di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintai kita. Makna zuhud Makna zuhud secara bahasa adalah berpaling dari sesuatu sebagai bentuk merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil yang halal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada dunia secara syar’i artinya membenci apa yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya. Banyak ulama menafsirkan zuhud terhadap dunia berlandaskan riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, yang mengatakan, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang di sisi Allah daripada apa yang di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika masih tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, karena zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 hal yang semuanya merupakan amalan hati. Tiga penafsiran zuhud, yaitu: Pertama: Lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari keyakinan yang benar, dan yakin akan jaminan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya. Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya harta benda atau anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari keyakinan yang sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap dunia dan sedikitnya ambisi duniawi. Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa, اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا “Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa keyakinan yang dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai berbagai musibah dunia.” Ketiga: Baik pujian maupun celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.” Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang zuhud: Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’” Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah kamu tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak bahagia ketika mendapatkannya.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.” Imam Ahmad berkata, “Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta orang lain.” Tingkatan zuhud Secara umum, ulama membagi zuhud menjadi 3: Pertama: Zuhud terhadap syirik dan beribadah kepada selain Allah. Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara yang diharamkan. Ketiga: Zuhud terhadap yang halal. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk: Pertama: Meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam. Kedua: Meninggalkan yang halal, akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus. Ketiga: Meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang yang memahami ajaran Islam secara sempurna) Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu berpendapat dalam syarah hadis ini dengan berkata bahwa zuhud memiliki 4 tingkatan sifat, yaitu: Pertama: Zuhud terhadap perkara haram; Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh; Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat yang belum jelas bagi orang itu; Keempat: Zuhud terhadap perkara yang boleh yang melebihi apa yang dibutuhkan. Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak atau belum dikatakan atau tidak termasuk sebagai zuhud.” Pemahaman keliru tentang zuhud Pemahaman tentang zuhud yang beredar di antara kita, di antaranya ada yang keliru atau tidak sesuai ajaran Islam. Pemahaman tentang zuhud yang tidak benar adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit. Zuhud yang salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai pakaian compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan sedekah orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan yang salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan. Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari cara pandang yang salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari yang halal, berlomba-lomba meraih keuntungan dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita harus mencari sarana yang bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia. Demikian tulisan kami mengenai amalan untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat. الله أعلم بالصواب Allahu A’lam bis-shawab Baca juga: Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi *** Penulis: Refnadi Ferdiantoro Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Kita harus Punya Amalan Rahasia? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang tinggi derajatnya seperti Imam Malik. Beliau mencapai derajat itu bukan karena banyaknya shalat atau puasa. Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullahu Ta’ala memberi komentar atas pernyataan ini, dengan berkata, “Itu karena apa yang dilakukan Imam Malik berupa menyebarkan dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada banyaknya shalat dan puasa.” Ini salah satu alasannya. Karena perhatian besar pada amalan-amalan yang manfaatnya dapat dirasakan banyak orang lebih utama daripada amalan-amalan yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya saja. Namun, ada juga alasan lainnya, yaitu alasan yang diisyaratkan oleh Ibnu al-Mubarak itu sendiri: “Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Jadi, alasan yang lebih kuatnya–Allahu a’lam–adalah karena Imam Malik dulu punya ibadah rahasia. Beliau punya ibadah-ibadah yang beliau rahasiakan, yang dengan ibadah itu, Allah Ta’ala meninggikan derajatnya. Yang menjadi tolok ukur adalah yang tersembunyi (niat atau isi hati) dan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bukan apa yang tampak di hadapan manusia. Karena bisa jadi ada orang yang terlihat dalam tampilan seperti orang yang sedikit melakukan amal saleh. Namun antara dirinya dengan Tuhannya terdapat rahasia. Bisa jadi ia punya perhatian besar terhadap amalan hati yang dapat meninggikan derajatnya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi juga ia punya amal-amal saleh yang ia lakukan secara rahasia, sehingga itu meninggikan derajatnya. Jadi, patokannya adalah apa yang ada dalam hati dan amalan-amalan rahasia, karena itulah yang dapat mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla menuju derajat yang tinggi. ==== قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا ارْتَفَعَ قَدْرُهُ مِثْلَ الْإِمَامِ مَالِكٍ لَمْ يَكُنْ كَثِيرَ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَعَلَّقَ عَلَى هَذَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمِيعِ فَقَالَ إِنَّ مَا فِيهِ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنْ نَشْرِ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمِهِ أَفْضَلُ مِنْ كَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَهَذَا جَانِبٌ أَنَّ الْعِنَايَةَ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا مُتَعَدٍّ أَفْضَلُ مِنَ الْعِنَايَةِ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا قَاصِرٌ عَلَى صَاحِبِهَا لَكِنْ أَيْضًا الْأَمْرُ الْآخَرُ هُوَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ مُبَارَكٍ نَفْسُهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ فَالَّذِي يَظْهَرُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ الْإِمَامَ مَالِكًا كَانَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَكَانَ لَهُ عِبَادَاتٌ فِي الْخَفَاءِ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا قَدْرَهُ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ وَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لَا بِمَا يَظْهَرُ لِلنَّاسِ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ يَظْهَرُ بِمَظْهَرِ الْمُقِلِّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لَكِنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ سَرِيرِةٌ فَقَدْ يَكُونُ لَهُ عِنَايَةٌ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً وَقَدْ يَكُونُ لَهُ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ يَعْمَلُهَا فِي الْخَفَاءِ تَرْفَعُ قَدْرَهُ فَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ فِي الْقَلْبِ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ فَهِيَ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَلِيَّةً

Mengapa Kita harus Punya Amalan Rahasia? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang tinggi derajatnya seperti Imam Malik. Beliau mencapai derajat itu bukan karena banyaknya shalat atau puasa. Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullahu Ta’ala memberi komentar atas pernyataan ini, dengan berkata, “Itu karena apa yang dilakukan Imam Malik berupa menyebarkan dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada banyaknya shalat dan puasa.” Ini salah satu alasannya. Karena perhatian besar pada amalan-amalan yang manfaatnya dapat dirasakan banyak orang lebih utama daripada amalan-amalan yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya saja. Namun, ada juga alasan lainnya, yaitu alasan yang diisyaratkan oleh Ibnu al-Mubarak itu sendiri: “Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Jadi, alasan yang lebih kuatnya–Allahu a’lam–adalah karena Imam Malik dulu punya ibadah rahasia. Beliau punya ibadah-ibadah yang beliau rahasiakan, yang dengan ibadah itu, Allah Ta’ala meninggikan derajatnya. Yang menjadi tolok ukur adalah yang tersembunyi (niat atau isi hati) dan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bukan apa yang tampak di hadapan manusia. Karena bisa jadi ada orang yang terlihat dalam tampilan seperti orang yang sedikit melakukan amal saleh. Namun antara dirinya dengan Tuhannya terdapat rahasia. Bisa jadi ia punya perhatian besar terhadap amalan hati yang dapat meninggikan derajatnya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi juga ia punya amal-amal saleh yang ia lakukan secara rahasia, sehingga itu meninggikan derajatnya. Jadi, patokannya adalah apa yang ada dalam hati dan amalan-amalan rahasia, karena itulah yang dapat mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla menuju derajat yang tinggi. ==== قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا ارْتَفَعَ قَدْرُهُ مِثْلَ الْإِمَامِ مَالِكٍ لَمْ يَكُنْ كَثِيرَ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَعَلَّقَ عَلَى هَذَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمِيعِ فَقَالَ إِنَّ مَا فِيهِ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنْ نَشْرِ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمِهِ أَفْضَلُ مِنْ كَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَهَذَا جَانِبٌ أَنَّ الْعِنَايَةَ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا مُتَعَدٍّ أَفْضَلُ مِنَ الْعِنَايَةِ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا قَاصِرٌ عَلَى صَاحِبِهَا لَكِنْ أَيْضًا الْأَمْرُ الْآخَرُ هُوَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ مُبَارَكٍ نَفْسُهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ فَالَّذِي يَظْهَرُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ الْإِمَامَ مَالِكًا كَانَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَكَانَ لَهُ عِبَادَاتٌ فِي الْخَفَاءِ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا قَدْرَهُ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ وَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لَا بِمَا يَظْهَرُ لِلنَّاسِ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ يَظْهَرُ بِمَظْهَرِ الْمُقِلِّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لَكِنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ سَرِيرِةٌ فَقَدْ يَكُونُ لَهُ عِنَايَةٌ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً وَقَدْ يَكُونُ لَهُ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ يَعْمَلُهَا فِي الْخَفَاءِ تَرْفَعُ قَدْرَهُ فَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ فِي الْقَلْبِ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ فَهِيَ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَلِيَّةً
Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang tinggi derajatnya seperti Imam Malik. Beliau mencapai derajat itu bukan karena banyaknya shalat atau puasa. Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullahu Ta’ala memberi komentar atas pernyataan ini, dengan berkata, “Itu karena apa yang dilakukan Imam Malik berupa menyebarkan dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada banyaknya shalat dan puasa.” Ini salah satu alasannya. Karena perhatian besar pada amalan-amalan yang manfaatnya dapat dirasakan banyak orang lebih utama daripada amalan-amalan yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya saja. Namun, ada juga alasan lainnya, yaitu alasan yang diisyaratkan oleh Ibnu al-Mubarak itu sendiri: “Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Jadi, alasan yang lebih kuatnya–Allahu a’lam–adalah karena Imam Malik dulu punya ibadah rahasia. Beliau punya ibadah-ibadah yang beliau rahasiakan, yang dengan ibadah itu, Allah Ta’ala meninggikan derajatnya. Yang menjadi tolok ukur adalah yang tersembunyi (niat atau isi hati) dan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bukan apa yang tampak di hadapan manusia. Karena bisa jadi ada orang yang terlihat dalam tampilan seperti orang yang sedikit melakukan amal saleh. Namun antara dirinya dengan Tuhannya terdapat rahasia. Bisa jadi ia punya perhatian besar terhadap amalan hati yang dapat meninggikan derajatnya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi juga ia punya amal-amal saleh yang ia lakukan secara rahasia, sehingga itu meninggikan derajatnya. Jadi, patokannya adalah apa yang ada dalam hati dan amalan-amalan rahasia, karena itulah yang dapat mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla menuju derajat yang tinggi. ==== قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا ارْتَفَعَ قَدْرُهُ مِثْلَ الْإِمَامِ مَالِكٍ لَمْ يَكُنْ كَثِيرَ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَعَلَّقَ عَلَى هَذَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمِيعِ فَقَالَ إِنَّ مَا فِيهِ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنْ نَشْرِ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمِهِ أَفْضَلُ مِنْ كَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَهَذَا جَانِبٌ أَنَّ الْعِنَايَةَ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا مُتَعَدٍّ أَفْضَلُ مِنَ الْعِنَايَةِ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا قَاصِرٌ عَلَى صَاحِبِهَا لَكِنْ أَيْضًا الْأَمْرُ الْآخَرُ هُوَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ مُبَارَكٍ نَفْسُهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ فَالَّذِي يَظْهَرُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ الْإِمَامَ مَالِكًا كَانَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَكَانَ لَهُ عِبَادَاتٌ فِي الْخَفَاءِ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا قَدْرَهُ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ وَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لَا بِمَا يَظْهَرُ لِلنَّاسِ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ يَظْهَرُ بِمَظْهَرِ الْمُقِلِّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لَكِنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ سَرِيرِةٌ فَقَدْ يَكُونُ لَهُ عِنَايَةٌ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً وَقَدْ يَكُونُ لَهُ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ يَعْمَلُهَا فِي الْخَفَاءِ تَرْفَعُ قَدْرَهُ فَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ فِي الْقَلْبِ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ فَهِيَ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَلِيَّةً


Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang tinggi derajatnya seperti Imam Malik. Beliau mencapai derajat itu bukan karena banyaknya shalat atau puasa. Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullahu Ta’ala memberi komentar atas pernyataan ini, dengan berkata, “Itu karena apa yang dilakukan Imam Malik berupa menyebarkan dan mengajarkan ilmu lebih utama daripada banyaknya shalat dan puasa.” Ini salah satu alasannya. Karena perhatian besar pada amalan-amalan yang manfaatnya dapat dirasakan banyak orang lebih utama daripada amalan-amalan yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya saja. Namun, ada juga alasan lainnya, yaitu alasan yang diisyaratkan oleh Ibnu al-Mubarak itu sendiri: “Hanya saja karena beliau punya ibadah rahasia.” Jadi, alasan yang lebih kuatnya–Allahu a’lam–adalah karena Imam Malik dulu punya ibadah rahasia. Beliau punya ibadah-ibadah yang beliau rahasiakan, yang dengan ibadah itu, Allah Ta’ala meninggikan derajatnya. Yang menjadi tolok ukur adalah yang tersembunyi (niat atau isi hati) dan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bukan apa yang tampak di hadapan manusia. Karena bisa jadi ada orang yang terlihat dalam tampilan seperti orang yang sedikit melakukan amal saleh. Namun antara dirinya dengan Tuhannya terdapat rahasia. Bisa jadi ia punya perhatian besar terhadap amalan hati yang dapat meninggikan derajatnya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi juga ia punya amal-amal saleh yang ia lakukan secara rahasia, sehingga itu meninggikan derajatnya. Jadi, patokannya adalah apa yang ada dalam hati dan amalan-amalan rahasia, karena itulah yang dapat mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla menuju derajat yang tinggi. ==== قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا ارْتَفَعَ قَدْرُهُ مِثْلَ الْإِمَامِ مَالِكٍ لَمْ يَكُنْ كَثِيرَ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَعَلَّقَ عَلَى هَذَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْجَمِيعِ فَقَالَ إِنَّ مَا فِيهِ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنْ نَشْرِ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمِهِ أَفْضَلُ مِنْ كَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَهَذَا جَانِبٌ أَنَّ الْعِنَايَةَ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا مُتَعَدٍّ أَفْضَلُ مِنَ الْعِنَايَةِ بِالْأَعْمَالِ الَّتِي نَفْعُهَا قَاصِرٌ عَلَى صَاحِبِهَا لَكِنْ أَيْضًا الْأَمْرُ الْآخَرُ هُوَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ ابْنُ مُبَارَكٍ نَفْسُهُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ لَهُ سَرِيرَةٌ فَالَّذِي يَظْهَرُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ الْإِمَامَ مَالِكًا كَانَ لَهُ سَرِيرَةٌ وَكَانَ لَهُ عِبَادَاتٌ فِي الْخَفَاءِ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا قَدْرَهُ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ وَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لَا بِمَا يَظْهَرُ لِلنَّاسِ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ يَظْهَرُ بِمَظْهَرِ الْمُقِلِّ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ لَكِنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ سَرِيرِةٌ فَقَدْ يَكُونُ لَهُ عِنَايَةٌ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَظِيمَةً وَقَدْ يَكُونُ لَهُ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ يَعْمَلُهَا فِي الْخَفَاءِ تَرْفَعُ قَدْرَهُ فَالْعِبْرَةُ بِمَا يَكُونُ فِي الْقَلْبِ وَالْعِبْرَةُ بِالسَّرَائِرِ فَهِيَ الَّتِي تَرْفَعُ أَصْحَابَهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ دَرَجَاتٍ عَلِيَّةً

Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Meluruskan niatKedua: Bekalilah diri dengan ketakwaanKetiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasanganKeempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka.Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Pernikahan adalah momentum penting dalam kehidupan setiap muslim. Memerlukan pemikiran yang serius serta perencanaan yang matang dan mendalam untuk memastikan bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kestabilan. Seorang laki-laki dalam hal ini layaknya nahkoda yang membawa kapalnya menuju sebuah dermaga. Adapun perempuan, maka ia adalah anggota kapal yang harus bekerja sama untuk mengarungi lautan tersebut dan mencapai tujuannya. Layaknya sebuah kapal yang akan berlayar, memerlukan perbekalan, logistik, dan seorang nahkoda yang memahami arah angin serta mengenal lautan dengan baik. Maka, demikian juga dengan kehidupan rumah tangga yang memerlukan perbekalan yang akan membantu seseorang untuk menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan di dalamnya. Ada banyak poin utama yang harus difokuskan oleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah agar terhindar dari permasalahan yang mungkin terjadi di kemudian hari dan demi tercapainya saling pengertian di antara keduanya. Dalam artikel ini, akan kita bahas poin-poin terpenting yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seseorang sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Setidaknya ada lima poin penting yang setiap pasangan harus memahaminya dan berbekal dengannya untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini. Pertama: Meluruskan niat Menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bagi seorang muslim adalah sebuah ibadah dan itu merupakan bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selayaknya ibadah lainnya yang wajib dimulai dengan niat yang benar, ibadah pernikahan pun perlu dimulai dengan niat yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan kepada kita bahwa menikah adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama. Beliau bersabda, إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ. “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 625.) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan para pemuda yang sudah mampu untuk menikah untuk bersegera menikah. Beliau pernah bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.) Dari kedua hadis tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa seorang muslim hendaknya meluruskan niatnya sebelum menikah. Bahwa apa yang akan dilakukannya tersebut merupakan salah satu ibadah yang harus ia ikhlaskan untuk Allah Ta’ala, dan di dalam proses menuju pernikahannya tersebut ia berhati-hati untuk tidak melakukan larangan-larangan Allah Ta’ala. Tidak memulainya dengan pacaran, menghubungi lawan jenis yang bukan mahramnya, dan hal hal yang dilarang lainnya. Kedua: Bekalilah diri dengan ketakwaan Di hadis yang telah kita bahas sebelumnya, tatkala Nabi menyebutkan bahwa pernikahan seorang hamba akan menyempurnakan separuh agamanya, setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa cara menyempurnakan separuh sisanya adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Mereka yang akan menikah atau sudah menikah, maka sangat ditekankan untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan memperbanyak amal ibadah, berdoa, begitu pula dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya. Dengan bekal takwa inilah, Allah Ta’ala menjanjikan terbukanya pintu-pintu rezeki serta pintu-pintu kemudahan kepada para pelakunya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3) Seseorang yang sedang menuju jenjang pernikahan, dengan ketakwaannya kepada Allah, niscaya akan Allah berikan kepadanya jodoh yang tepat, akan Allah berikan kepadanya beragam kemudahan dan kelancaran di dalam menjalankan prosesnya. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta Ketiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasangan Di dalam berumah tangga, masing-masing dari suami dan istri haruslah saling melengkapi dan menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Seorang laki-laki haruslah menjadi qawwam, pemimpin yang dapat diandalkan dan dapat menafkahi keluarganya, baik yang bersifat lahir maupun batin. Seorang wanita haruslah taat kepada suaminya selama suaminya tersebut tidak memerintahkannya kepada keburukan. Seorang istri haruslah menjaga kehormatan dirinya dan menjaga rumah suaminya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hak dan kewajiban suami istri di dalam surah An-Nisa’, لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa: 34) Dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, sebuah rumah tangga akan menjadi tentram dan jauh dari problematika serta munculnya kezaliman di antara keduanya. Perlu kita ketahui bersama bahwa kebanyakan problem yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga seringkali bermula dari kebodohan dan ketidaktahuan pasangan akan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Keempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka. Banyak pasangan yang menikah, mengaku muslim dan beragama Islam, namun lupa atau tidak tahu kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya adalah menuntun mereka menuju surga dan menyelamatkan mereka dari api neraka, bukan sekedar memberikan nafkah dan kenyamanan saja. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang suami tidak hanya diberikan kewajiban untuk mencari nafkah saja, mereka juga diwajibkan untuk belajar mengenai hal-hal yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Seorang istri juga harus menyadari tatkala suami melarangnya dari melakukan sesuatu yang haram atau mengajaknya untuk melakukan ketaatan, semua itu demi kebaikan untuk dirinya, sehingga ia tunduk dan patuh serta tidak membantah dan mendebat. Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Di zaman sekarang, banyak terdengar seorang istri yang tidak mau patuh kepada suaminya. Entah itu menolak tatkala diajak ke ranjang, tidak mau melaksanakan salat, tidak mengindahkan nasihat suami, ataupun bentuk-bentuk ketidakpatuhan lainnya. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau inginkan.’ ” (HR. Ahmad no. 1661 dan Ibnu Hibban no. 4163) Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan, istri yang taat suami itulah yang dianggap sebagai wanita terbaik. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu, yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad no. 7421.) Itulah wahai saudaraku, lima bekal mengarungi bahtera rumah tangga yang wajib diketahui oleh setiap laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengamalkan lima hal ini, seorang muslim memiliki peluang besar untuk mendapatkan rumah tangga yang harmonis, sakinah, dan penuh dengan kasih sayang dan kehangatan. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan, maka kehidupan rumah tangganya insyaAllah akan jauh dari problem dan permasalahan serta diberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang sedang dihadapi. Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Bekal Mengarungi Bahtera Rumah Tangga

Daftar Isi Toggle Pertama: Meluruskan niatKedua: Bekalilah diri dengan ketakwaanKetiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasanganKeempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka.Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Pernikahan adalah momentum penting dalam kehidupan setiap muslim. Memerlukan pemikiran yang serius serta perencanaan yang matang dan mendalam untuk memastikan bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kestabilan. Seorang laki-laki dalam hal ini layaknya nahkoda yang membawa kapalnya menuju sebuah dermaga. Adapun perempuan, maka ia adalah anggota kapal yang harus bekerja sama untuk mengarungi lautan tersebut dan mencapai tujuannya. Layaknya sebuah kapal yang akan berlayar, memerlukan perbekalan, logistik, dan seorang nahkoda yang memahami arah angin serta mengenal lautan dengan baik. Maka, demikian juga dengan kehidupan rumah tangga yang memerlukan perbekalan yang akan membantu seseorang untuk menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan di dalamnya. Ada banyak poin utama yang harus difokuskan oleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah agar terhindar dari permasalahan yang mungkin terjadi di kemudian hari dan demi tercapainya saling pengertian di antara keduanya. Dalam artikel ini, akan kita bahas poin-poin terpenting yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seseorang sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Setidaknya ada lima poin penting yang setiap pasangan harus memahaminya dan berbekal dengannya untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini. Pertama: Meluruskan niat Menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bagi seorang muslim adalah sebuah ibadah dan itu merupakan bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selayaknya ibadah lainnya yang wajib dimulai dengan niat yang benar, ibadah pernikahan pun perlu dimulai dengan niat yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan kepada kita bahwa menikah adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama. Beliau bersabda, إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ. “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 625.) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan para pemuda yang sudah mampu untuk menikah untuk bersegera menikah. Beliau pernah bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.) Dari kedua hadis tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa seorang muslim hendaknya meluruskan niatnya sebelum menikah. Bahwa apa yang akan dilakukannya tersebut merupakan salah satu ibadah yang harus ia ikhlaskan untuk Allah Ta’ala, dan di dalam proses menuju pernikahannya tersebut ia berhati-hati untuk tidak melakukan larangan-larangan Allah Ta’ala. Tidak memulainya dengan pacaran, menghubungi lawan jenis yang bukan mahramnya, dan hal hal yang dilarang lainnya. Kedua: Bekalilah diri dengan ketakwaan Di hadis yang telah kita bahas sebelumnya, tatkala Nabi menyebutkan bahwa pernikahan seorang hamba akan menyempurnakan separuh agamanya, setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa cara menyempurnakan separuh sisanya adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Mereka yang akan menikah atau sudah menikah, maka sangat ditekankan untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan memperbanyak amal ibadah, berdoa, begitu pula dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya. Dengan bekal takwa inilah, Allah Ta’ala menjanjikan terbukanya pintu-pintu rezeki serta pintu-pintu kemudahan kepada para pelakunya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3) Seseorang yang sedang menuju jenjang pernikahan, dengan ketakwaannya kepada Allah, niscaya akan Allah berikan kepadanya jodoh yang tepat, akan Allah berikan kepadanya beragam kemudahan dan kelancaran di dalam menjalankan prosesnya. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta Ketiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasangan Di dalam berumah tangga, masing-masing dari suami dan istri haruslah saling melengkapi dan menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Seorang laki-laki haruslah menjadi qawwam, pemimpin yang dapat diandalkan dan dapat menafkahi keluarganya, baik yang bersifat lahir maupun batin. Seorang wanita haruslah taat kepada suaminya selama suaminya tersebut tidak memerintahkannya kepada keburukan. Seorang istri haruslah menjaga kehormatan dirinya dan menjaga rumah suaminya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hak dan kewajiban suami istri di dalam surah An-Nisa’, لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa: 34) Dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, sebuah rumah tangga akan menjadi tentram dan jauh dari problematika serta munculnya kezaliman di antara keduanya. Perlu kita ketahui bersama bahwa kebanyakan problem yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga seringkali bermula dari kebodohan dan ketidaktahuan pasangan akan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Keempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka. Banyak pasangan yang menikah, mengaku muslim dan beragama Islam, namun lupa atau tidak tahu kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya adalah menuntun mereka menuju surga dan menyelamatkan mereka dari api neraka, bukan sekedar memberikan nafkah dan kenyamanan saja. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang suami tidak hanya diberikan kewajiban untuk mencari nafkah saja, mereka juga diwajibkan untuk belajar mengenai hal-hal yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Seorang istri juga harus menyadari tatkala suami melarangnya dari melakukan sesuatu yang haram atau mengajaknya untuk melakukan ketaatan, semua itu demi kebaikan untuk dirinya, sehingga ia tunduk dan patuh serta tidak membantah dan mendebat. Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Di zaman sekarang, banyak terdengar seorang istri yang tidak mau patuh kepada suaminya. Entah itu menolak tatkala diajak ke ranjang, tidak mau melaksanakan salat, tidak mengindahkan nasihat suami, ataupun bentuk-bentuk ketidakpatuhan lainnya. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau inginkan.’ ” (HR. Ahmad no. 1661 dan Ibnu Hibban no. 4163) Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan, istri yang taat suami itulah yang dianggap sebagai wanita terbaik. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu, yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad no. 7421.) Itulah wahai saudaraku, lima bekal mengarungi bahtera rumah tangga yang wajib diketahui oleh setiap laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengamalkan lima hal ini, seorang muslim memiliki peluang besar untuk mendapatkan rumah tangga yang harmonis, sakinah, dan penuh dengan kasih sayang dan kehangatan. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan, maka kehidupan rumah tangganya insyaAllah akan jauh dari problem dan permasalahan serta diberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang sedang dihadapi. Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama: Meluruskan niatKedua: Bekalilah diri dengan ketakwaanKetiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasanganKeempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka.Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Pernikahan adalah momentum penting dalam kehidupan setiap muslim. Memerlukan pemikiran yang serius serta perencanaan yang matang dan mendalam untuk memastikan bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kestabilan. Seorang laki-laki dalam hal ini layaknya nahkoda yang membawa kapalnya menuju sebuah dermaga. Adapun perempuan, maka ia adalah anggota kapal yang harus bekerja sama untuk mengarungi lautan tersebut dan mencapai tujuannya. Layaknya sebuah kapal yang akan berlayar, memerlukan perbekalan, logistik, dan seorang nahkoda yang memahami arah angin serta mengenal lautan dengan baik. Maka, demikian juga dengan kehidupan rumah tangga yang memerlukan perbekalan yang akan membantu seseorang untuk menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan di dalamnya. Ada banyak poin utama yang harus difokuskan oleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah agar terhindar dari permasalahan yang mungkin terjadi di kemudian hari dan demi tercapainya saling pengertian di antara keduanya. Dalam artikel ini, akan kita bahas poin-poin terpenting yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seseorang sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Setidaknya ada lima poin penting yang setiap pasangan harus memahaminya dan berbekal dengannya untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini. Pertama: Meluruskan niat Menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bagi seorang muslim adalah sebuah ibadah dan itu merupakan bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selayaknya ibadah lainnya yang wajib dimulai dengan niat yang benar, ibadah pernikahan pun perlu dimulai dengan niat yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan kepada kita bahwa menikah adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama. Beliau bersabda, إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ. “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 625.) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan para pemuda yang sudah mampu untuk menikah untuk bersegera menikah. Beliau pernah bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.) Dari kedua hadis tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa seorang muslim hendaknya meluruskan niatnya sebelum menikah. Bahwa apa yang akan dilakukannya tersebut merupakan salah satu ibadah yang harus ia ikhlaskan untuk Allah Ta’ala, dan di dalam proses menuju pernikahannya tersebut ia berhati-hati untuk tidak melakukan larangan-larangan Allah Ta’ala. Tidak memulainya dengan pacaran, menghubungi lawan jenis yang bukan mahramnya, dan hal hal yang dilarang lainnya. Kedua: Bekalilah diri dengan ketakwaan Di hadis yang telah kita bahas sebelumnya, tatkala Nabi menyebutkan bahwa pernikahan seorang hamba akan menyempurnakan separuh agamanya, setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa cara menyempurnakan separuh sisanya adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Mereka yang akan menikah atau sudah menikah, maka sangat ditekankan untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan memperbanyak amal ibadah, berdoa, begitu pula dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya. Dengan bekal takwa inilah, Allah Ta’ala menjanjikan terbukanya pintu-pintu rezeki serta pintu-pintu kemudahan kepada para pelakunya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3) Seseorang yang sedang menuju jenjang pernikahan, dengan ketakwaannya kepada Allah, niscaya akan Allah berikan kepadanya jodoh yang tepat, akan Allah berikan kepadanya beragam kemudahan dan kelancaran di dalam menjalankan prosesnya. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta Ketiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasangan Di dalam berumah tangga, masing-masing dari suami dan istri haruslah saling melengkapi dan menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Seorang laki-laki haruslah menjadi qawwam, pemimpin yang dapat diandalkan dan dapat menafkahi keluarganya, baik yang bersifat lahir maupun batin. Seorang wanita haruslah taat kepada suaminya selama suaminya tersebut tidak memerintahkannya kepada keburukan. Seorang istri haruslah menjaga kehormatan dirinya dan menjaga rumah suaminya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hak dan kewajiban suami istri di dalam surah An-Nisa’, لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa: 34) Dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, sebuah rumah tangga akan menjadi tentram dan jauh dari problematika serta munculnya kezaliman di antara keduanya. Perlu kita ketahui bersama bahwa kebanyakan problem yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga seringkali bermula dari kebodohan dan ketidaktahuan pasangan akan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Keempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka. Banyak pasangan yang menikah, mengaku muslim dan beragama Islam, namun lupa atau tidak tahu kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya adalah menuntun mereka menuju surga dan menyelamatkan mereka dari api neraka, bukan sekedar memberikan nafkah dan kenyamanan saja. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang suami tidak hanya diberikan kewajiban untuk mencari nafkah saja, mereka juga diwajibkan untuk belajar mengenai hal-hal yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Seorang istri juga harus menyadari tatkala suami melarangnya dari melakukan sesuatu yang haram atau mengajaknya untuk melakukan ketaatan, semua itu demi kebaikan untuk dirinya, sehingga ia tunduk dan patuh serta tidak membantah dan mendebat. Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Di zaman sekarang, banyak terdengar seorang istri yang tidak mau patuh kepada suaminya. Entah itu menolak tatkala diajak ke ranjang, tidak mau melaksanakan salat, tidak mengindahkan nasihat suami, ataupun bentuk-bentuk ketidakpatuhan lainnya. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau inginkan.’ ” (HR. Ahmad no. 1661 dan Ibnu Hibban no. 4163) Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan, istri yang taat suami itulah yang dianggap sebagai wanita terbaik. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu, yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad no. 7421.) Itulah wahai saudaraku, lima bekal mengarungi bahtera rumah tangga yang wajib diketahui oleh setiap laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengamalkan lima hal ini, seorang muslim memiliki peluang besar untuk mendapatkan rumah tangga yang harmonis, sakinah, dan penuh dengan kasih sayang dan kehangatan. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan, maka kehidupan rumah tangganya insyaAllah akan jauh dari problem dan permasalahan serta diberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang sedang dihadapi. Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama: Meluruskan niatKedua: Bekalilah diri dengan ketakwaanKetiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasanganKeempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka.Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Pernikahan adalah momentum penting dalam kehidupan setiap muslim. Memerlukan pemikiran yang serius serta perencanaan yang matang dan mendalam untuk memastikan bahwa kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kestabilan. Seorang laki-laki dalam hal ini layaknya nahkoda yang membawa kapalnya menuju sebuah dermaga. Adapun perempuan, maka ia adalah anggota kapal yang harus bekerja sama untuk mengarungi lautan tersebut dan mencapai tujuannya. Layaknya sebuah kapal yang akan berlayar, memerlukan perbekalan, logistik, dan seorang nahkoda yang memahami arah angin serta mengenal lautan dengan baik. Maka, demikian juga dengan kehidupan rumah tangga yang memerlukan perbekalan yang akan membantu seseorang untuk menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan di dalamnya. Ada banyak poin utama yang harus difokuskan oleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah agar terhindar dari permasalahan yang mungkin terjadi di kemudian hari dan demi tercapainya saling pengertian di antara keduanya. Dalam artikel ini, akan kita bahas poin-poin terpenting yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seseorang sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Setidaknya ada lima poin penting yang setiap pasangan harus memahaminya dan berbekal dengannya untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini. Pertama: Meluruskan niat Menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bagi seorang muslim adalah sebuah ibadah dan itu merupakan bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selayaknya ibadah lainnya yang wajib dimulai dengan niat yang benar, ibadah pernikahan pun perlu dimulai dengan niat yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan kepada kita bahwa menikah adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama. Beliau bersabda, إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ. “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 625.) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan para pemuda yang sudah mampu untuk menikah untuk bersegera menikah. Beliau pernah bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.) Dari kedua hadis tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa seorang muslim hendaknya meluruskan niatnya sebelum menikah. Bahwa apa yang akan dilakukannya tersebut merupakan salah satu ibadah yang harus ia ikhlaskan untuk Allah Ta’ala, dan di dalam proses menuju pernikahannya tersebut ia berhati-hati untuk tidak melakukan larangan-larangan Allah Ta’ala. Tidak memulainya dengan pacaran, menghubungi lawan jenis yang bukan mahramnya, dan hal hal yang dilarang lainnya. Kedua: Bekalilah diri dengan ketakwaan Di hadis yang telah kita bahas sebelumnya, tatkala Nabi menyebutkan bahwa pernikahan seorang hamba akan menyempurnakan separuh agamanya, setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa cara menyempurnakan separuh sisanya adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Mereka yang akan menikah atau sudah menikah, maka sangat ditekankan untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan memperbanyak amal ibadah, berdoa, begitu pula dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan kepada-Nya. Dengan bekal takwa inilah, Allah Ta’ala menjanjikan terbukanya pintu-pintu rezeki serta pintu-pintu kemudahan kepada para pelakunya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3) Seseorang yang sedang menuju jenjang pernikahan, dengan ketakwaannya kepada Allah, niscaya akan Allah berikan kepadanya jodoh yang tepat, akan Allah berikan kepadanya beragam kemudahan dan kelancaran di dalam menjalankan prosesnya. Baca juga: Rumah Tangga Tidak Mesti dengan Cinta Ketiga: Belajarlah dan ketahuilah hak dan kewajiban masing-masing pasangan Di dalam berumah tangga, masing-masing dari suami dan istri haruslah saling melengkapi dan menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Seorang laki-laki haruslah menjadi qawwam, pemimpin yang dapat diandalkan dan dapat menafkahi keluarganya, baik yang bersifat lahir maupun batin. Seorang wanita haruslah taat kepada suaminya selama suaminya tersebut tidak memerintahkannya kepada keburukan. Seorang istri haruslah menjaga kehormatan dirinya dan menjaga rumah suaminya. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan hak dan kewajiban suami istri di dalam surah An-Nisa’, لرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS. An-Nisa: 34) Dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, sebuah rumah tangga akan menjadi tentram dan jauh dari problematika serta munculnya kezaliman di antara keduanya. Perlu kita ketahui bersama bahwa kebanyakan problem yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga seringkali bermula dari kebodohan dan ketidaktahuan pasangan akan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Keempat: Hak terbesar istri dari seorang suami adalah bimbingan menuju surga dan penyelamatan dari api neraka. Banyak pasangan yang menikah, mengaku muslim dan beragama Islam, namun lupa atau tidak tahu kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya adalah menuntun mereka menuju surga dan menyelamatkan mereka dari api neraka, bukan sekedar memberikan nafkah dan kenyamanan saja. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang suami tidak hanya diberikan kewajiban untuk mencari nafkah saja, mereka juga diwajibkan untuk belajar mengenai hal-hal yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Seorang istri juga harus menyadari tatkala suami melarangnya dari melakukan sesuatu yang haram atau mengajaknya untuk melakukan ketaatan, semua itu demi kebaikan untuk dirinya, sehingga ia tunduk dan patuh serta tidak membantah dan mendebat. Kelima: Hak terbesar suami dari seorang istri adalah ketaatan dan kepatuhan kepadanya Di zaman sekarang, banyak terdengar seorang istri yang tidak mau patuh kepada suaminya. Entah itu menolak tatkala diajak ke ranjang, tidak mau melaksanakan salat, tidak mengindahkan nasihat suami, ataupun bentuk-bentuk ketidakpatuhan lainnya. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau inginkan.’ ” (HR. Ahmad no. 1661 dan Ibnu Hibban no. 4163) Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan, istri yang taat suami itulah yang dianggap sebagai wanita terbaik. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu, yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad no. 7421.) Itulah wahai saudaraku, lima bekal mengarungi bahtera rumah tangga yang wajib diketahui oleh setiap laki-laki dan perempuan. Dengan memahami dan mengamalkan lima hal ini, seorang muslim memiliki peluang besar untuk mendapatkan rumah tangga yang harmonis, sakinah, dan penuh dengan kasih sayang dan kehangatan. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan, maka kehidupan rumah tangganya insyaAllah akan jauh dari problem dan permasalahan serta diberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang sedang dihadapi. Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam

Daftar Isi Toggle Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari AllahHarapan itu ada dalam setiap doaSetiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukminAllah tidak membiarkan hamba-Nya sendirianKehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan. Setiap insan pasti pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan terkadang merasa dunia ini begitu berat untuk dijalani. Ketika menghadapi rasa sakit, kesedihan, atau rasa putus asa, pemikiran untuk mengakhiri hidup bisa datang menyapa. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan bahwa hidup adalah anugerah yang sangat berharga, dan setiap cobaan yang datang adalah bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah. Dunia ini bukanlah tempat yang sempurna. Adanya hambatan dan rintangan menunjukkan bahwa kita masih ada dan bernafas di dunia. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Ayat ini menunjukkan bahwa hidup di dunia penuh dengan ujian. Masalah dan kesulitan adalah bagian dari takdir yang diberikan Allah untuk menguji sejauh mana keteguhan iman kita dan bagaimana sikap kita menghadapi kesulitan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2) Kehidupan dunia adalah tempat bagi setiap umat manusia untuk diuji. Jika kita tidak diuji dengan masalah, kita mungkin tidak akan tahu sejauh mana kekuatan dan kesabaran kita. Tanpa ujian, kita tidak akan dapat mengenal diri kita sendiri dengan baik, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari Allah Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Imran: 191) Setiap kejadian dalam hidup memiliki tujuan dan makna tertentu yang mungkin belum kita pahami pada saat itu. Namun, dengan sabar dan tawakal, kita akan melihat hikmah-Nya di balik setiap permasalan. Mengakhiri hidup bukanlah jalan yang diajarkan dalam Islam. Allah melarang demikian karena rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar kepada setiap hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa indahnya kasih sayang Allah Ta’ala dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya untuk menyusuinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis di atas menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat besar dan tanpa batas kepada para hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa hidup kita adalah anugerah yang sangat berharga. Harapan itu ada dalam setiap doa Islam mengajarkan bahwa di saat-saat sulit, doa adalah salah satu sarana yang sangat kuat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (HR. Abu Ya’la no. 439, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, 7:374, Al-Hakim no. 1812. Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, hal. 179) Dalam riwayat lain, إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa (tanpa memberi apa-apa).” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ibnu Hibban no. 876. Dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11:147.) Doa adalah bentuk kepasrahan dan harapan kita kepada Allah. Tidak ada keadaan yang terlalu sulit bagi Allah. Dalam setiap doa, kita diberikan kesempatan untuk memohon ampunan, petunjuk, dan kekuatan dari-Nya. Jika Anda merasa putus asa, ingatlah bahwa Allah selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah dan doa kita. Dialah yang memberikan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Baca juga: Mati Bunuh Diri, Apakah Perlu Disalati? Setiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukmin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3: 302. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 285.) Ujian yang datang tidak mesti sebagai hukuman, melainkan proses untuk mendewasakan, menguatkan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika rasa sakit datang, ingatlah bahwa setiap ujian adalah ladang pahala yang akan menghapus dosa dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan, penyakit (yang terus menimpa), kehawatiran, kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari) Dari hadis tersebut, dapat kita ketahui bahwa ujian dan masalah bukan hanya cara Allah menguji kualitas keimanan dan kesabaran kita, tetapi juga sebagai cara untuk membersihkan diri kita dari dosa. Dengan sabar dalam menghadapi ujian, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Setiap masalah dan ujian yang kita hadapi juga berfungsi untuk memperkuat iman kita. Seiring waktu, kita akan belajar untuk lebih sabar, lebih tabah, dan lebih percaya bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak membiarkan hamba-Nya sendirian Salah satu hal yang paling menghibur hati adalah mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam setiap kesulitan yang kita alami. Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman dengan memberikan kemudahan dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5) Dalam ayat yang lain, إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan, bahkan di saat kita merasa tak sanggup lagi melewatinya. Kehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Ujian mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal. Hanya Allah yang Mahakekal. Kehidupan dunia ini bukanlah tujuan akhir karena dunia adalah tempat kita mengumpulkan amal ibadah untuk kehidupan yang abadi di akhirat. Setiap masalah yang datang adalah bagian dari ujian hidup yang sementara. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ “… Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mu’min: 39) Masalah dan ujian yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari perjalanan menuju akhirat. Setiap kesulitan yang kita hadapi akan berlalu, dan sebagai muslim, kita meyakini bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar di akhirat bagi mereka yang sabar dan bertakwa. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu memberi harapan di setiap langkah. Baca juga: Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Jangan Bunuh Diri: Sebuah Panggilan untuk Menemukan Kembali Harapan dalam Islam

Daftar Isi Toggle Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari AllahHarapan itu ada dalam setiap doaSetiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukminAllah tidak membiarkan hamba-Nya sendirianKehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan. Setiap insan pasti pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan terkadang merasa dunia ini begitu berat untuk dijalani. Ketika menghadapi rasa sakit, kesedihan, atau rasa putus asa, pemikiran untuk mengakhiri hidup bisa datang menyapa. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan bahwa hidup adalah anugerah yang sangat berharga, dan setiap cobaan yang datang adalah bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah. Dunia ini bukanlah tempat yang sempurna. Adanya hambatan dan rintangan menunjukkan bahwa kita masih ada dan bernafas di dunia. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Ayat ini menunjukkan bahwa hidup di dunia penuh dengan ujian. Masalah dan kesulitan adalah bagian dari takdir yang diberikan Allah untuk menguji sejauh mana keteguhan iman kita dan bagaimana sikap kita menghadapi kesulitan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2) Kehidupan dunia adalah tempat bagi setiap umat manusia untuk diuji. Jika kita tidak diuji dengan masalah, kita mungkin tidak akan tahu sejauh mana kekuatan dan kesabaran kita. Tanpa ujian, kita tidak akan dapat mengenal diri kita sendiri dengan baik, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari Allah Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Imran: 191) Setiap kejadian dalam hidup memiliki tujuan dan makna tertentu yang mungkin belum kita pahami pada saat itu. Namun, dengan sabar dan tawakal, kita akan melihat hikmah-Nya di balik setiap permasalan. Mengakhiri hidup bukanlah jalan yang diajarkan dalam Islam. Allah melarang demikian karena rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar kepada setiap hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa indahnya kasih sayang Allah Ta’ala dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya untuk menyusuinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis di atas menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat besar dan tanpa batas kepada para hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa hidup kita adalah anugerah yang sangat berharga. Harapan itu ada dalam setiap doa Islam mengajarkan bahwa di saat-saat sulit, doa adalah salah satu sarana yang sangat kuat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (HR. Abu Ya’la no. 439, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, 7:374, Al-Hakim no. 1812. Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, hal. 179) Dalam riwayat lain, إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa (tanpa memberi apa-apa).” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ibnu Hibban no. 876. Dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11:147.) Doa adalah bentuk kepasrahan dan harapan kita kepada Allah. Tidak ada keadaan yang terlalu sulit bagi Allah. Dalam setiap doa, kita diberikan kesempatan untuk memohon ampunan, petunjuk, dan kekuatan dari-Nya. Jika Anda merasa putus asa, ingatlah bahwa Allah selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah dan doa kita. Dialah yang memberikan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Baca juga: Mati Bunuh Diri, Apakah Perlu Disalati? Setiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukmin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3: 302. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 285.) Ujian yang datang tidak mesti sebagai hukuman, melainkan proses untuk mendewasakan, menguatkan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika rasa sakit datang, ingatlah bahwa setiap ujian adalah ladang pahala yang akan menghapus dosa dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan, penyakit (yang terus menimpa), kehawatiran, kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari) Dari hadis tersebut, dapat kita ketahui bahwa ujian dan masalah bukan hanya cara Allah menguji kualitas keimanan dan kesabaran kita, tetapi juga sebagai cara untuk membersihkan diri kita dari dosa. Dengan sabar dalam menghadapi ujian, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Setiap masalah dan ujian yang kita hadapi juga berfungsi untuk memperkuat iman kita. Seiring waktu, kita akan belajar untuk lebih sabar, lebih tabah, dan lebih percaya bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak membiarkan hamba-Nya sendirian Salah satu hal yang paling menghibur hati adalah mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam setiap kesulitan yang kita alami. Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman dengan memberikan kemudahan dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5) Dalam ayat yang lain, إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan, bahkan di saat kita merasa tak sanggup lagi melewatinya. Kehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Ujian mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal. Hanya Allah yang Mahakekal. Kehidupan dunia ini bukanlah tujuan akhir karena dunia adalah tempat kita mengumpulkan amal ibadah untuk kehidupan yang abadi di akhirat. Setiap masalah yang datang adalah bagian dari ujian hidup yang sementara. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ “… Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mu’min: 39) Masalah dan ujian yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari perjalanan menuju akhirat. Setiap kesulitan yang kita hadapi akan berlalu, dan sebagai muslim, kita meyakini bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar di akhirat bagi mereka yang sabar dan bertakwa. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu memberi harapan di setiap langkah. Baca juga: Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari AllahHarapan itu ada dalam setiap doaSetiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukminAllah tidak membiarkan hamba-Nya sendirianKehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan. Setiap insan pasti pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan terkadang merasa dunia ini begitu berat untuk dijalani. Ketika menghadapi rasa sakit, kesedihan, atau rasa putus asa, pemikiran untuk mengakhiri hidup bisa datang menyapa. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan bahwa hidup adalah anugerah yang sangat berharga, dan setiap cobaan yang datang adalah bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah. Dunia ini bukanlah tempat yang sempurna. Adanya hambatan dan rintangan menunjukkan bahwa kita masih ada dan bernafas di dunia. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Ayat ini menunjukkan bahwa hidup di dunia penuh dengan ujian. Masalah dan kesulitan adalah bagian dari takdir yang diberikan Allah untuk menguji sejauh mana keteguhan iman kita dan bagaimana sikap kita menghadapi kesulitan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2) Kehidupan dunia adalah tempat bagi setiap umat manusia untuk diuji. Jika kita tidak diuji dengan masalah, kita mungkin tidak akan tahu sejauh mana kekuatan dan kesabaran kita. Tanpa ujian, kita tidak akan dapat mengenal diri kita sendiri dengan baik, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari Allah Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Imran: 191) Setiap kejadian dalam hidup memiliki tujuan dan makna tertentu yang mungkin belum kita pahami pada saat itu. Namun, dengan sabar dan tawakal, kita akan melihat hikmah-Nya di balik setiap permasalan. Mengakhiri hidup bukanlah jalan yang diajarkan dalam Islam. Allah melarang demikian karena rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar kepada setiap hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa indahnya kasih sayang Allah Ta’ala dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya untuk menyusuinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis di atas menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat besar dan tanpa batas kepada para hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa hidup kita adalah anugerah yang sangat berharga. Harapan itu ada dalam setiap doa Islam mengajarkan bahwa di saat-saat sulit, doa adalah salah satu sarana yang sangat kuat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (HR. Abu Ya’la no. 439, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, 7:374, Al-Hakim no. 1812. Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, hal. 179) Dalam riwayat lain, إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa (tanpa memberi apa-apa).” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ibnu Hibban no. 876. Dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11:147.) Doa adalah bentuk kepasrahan dan harapan kita kepada Allah. Tidak ada keadaan yang terlalu sulit bagi Allah. Dalam setiap doa, kita diberikan kesempatan untuk memohon ampunan, petunjuk, dan kekuatan dari-Nya. Jika Anda merasa putus asa, ingatlah bahwa Allah selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah dan doa kita. Dialah yang memberikan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Baca juga: Mati Bunuh Diri, Apakah Perlu Disalati? Setiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukmin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3: 302. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 285.) Ujian yang datang tidak mesti sebagai hukuman, melainkan proses untuk mendewasakan, menguatkan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika rasa sakit datang, ingatlah bahwa setiap ujian adalah ladang pahala yang akan menghapus dosa dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan, penyakit (yang terus menimpa), kehawatiran, kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari) Dari hadis tersebut, dapat kita ketahui bahwa ujian dan masalah bukan hanya cara Allah menguji kualitas keimanan dan kesabaran kita, tetapi juga sebagai cara untuk membersihkan diri kita dari dosa. Dengan sabar dalam menghadapi ujian, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Setiap masalah dan ujian yang kita hadapi juga berfungsi untuk memperkuat iman kita. Seiring waktu, kita akan belajar untuk lebih sabar, lebih tabah, dan lebih percaya bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak membiarkan hamba-Nya sendirian Salah satu hal yang paling menghibur hati adalah mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam setiap kesulitan yang kita alami. Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman dengan memberikan kemudahan dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5) Dalam ayat yang lain, إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan, bahkan di saat kita merasa tak sanggup lagi melewatinya. Kehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Ujian mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal. Hanya Allah yang Mahakekal. Kehidupan dunia ini bukanlah tujuan akhir karena dunia adalah tempat kita mengumpulkan amal ibadah untuk kehidupan yang abadi di akhirat. Setiap masalah yang datang adalah bagian dari ujian hidup yang sementara. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ “… Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mu’min: 39) Masalah dan ujian yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari perjalanan menuju akhirat. Setiap kesulitan yang kita hadapi akan berlalu, dan sebagai muslim, kita meyakini bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar di akhirat bagi mereka yang sabar dan bertakwa. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu memberi harapan di setiap langkah. Baca juga: Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari AllahHarapan itu ada dalam setiap doaSetiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukminAllah tidak membiarkan hamba-Nya sendirianKehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan. Setiap insan pasti pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan terkadang merasa dunia ini begitu berat untuk dijalani. Ketika menghadapi rasa sakit, kesedihan, atau rasa putus asa, pemikiran untuk mengakhiri hidup bisa datang menyapa. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan bahwa hidup adalah anugerah yang sangat berharga, dan setiap cobaan yang datang adalah bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah. Dunia ini bukanlah tempat yang sempurna. Adanya hambatan dan rintangan menunjukkan bahwa kita masih ada dan bernafas di dunia. Allah Ta’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Ayat ini menunjukkan bahwa hidup di dunia penuh dengan ujian. Masalah dan kesulitan adalah bagian dari takdir yang diberikan Allah untuk menguji sejauh mana keteguhan iman kita dan bagaimana sikap kita menghadapi kesulitan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2) Kehidupan dunia adalah tempat bagi setiap umat manusia untuk diuji. Jika kita tidak diuji dengan masalah, kita mungkin tidak akan tahu sejauh mana kekuatan dan kesabaran kita. Tanpa ujian, kita tidak akan dapat mengenal diri kita sendiri dengan baik, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan memperbaiki diri. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) Hidup adalah anugerah dan bentuk kasih sayang dari Allah Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ “Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Imran: 191) Setiap kejadian dalam hidup memiliki tujuan dan makna tertentu yang mungkin belum kita pahami pada saat itu. Namun, dengan sabar dan tawakal, kita akan melihat hikmah-Nya di balik setiap permasalan. Mengakhiri hidup bukanlah jalan yang diajarkan dalam Islam. Allah melarang demikian karena rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar kepada setiap hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa indahnya kasih sayang Allah Ta’ala dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, ﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﻲ، ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﻗﺪ ﺗﺤﻠﺐ ﺛﺪﻳﻬﺎ ﺗﺴﻘﻲ، ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﺒﻴﺎً ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻲ ﺃﺧﺬﺗﻪ، ﻓﺄﻟﺼﻘﺘﻪ ﺑﺒﻄﻨﻬﺎ ﻭﺃﺭﺿﻌﺘﻪ، “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya untuk menyusuinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, ﺃﺗﺮﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﻃﺎﺭﺣﺔ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, ﻻ، ﻭﻫﻲ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻄﺮﺣﻪ “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis di atas menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat besar dan tanpa batas kepada para hamba-Nya. Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa hidup kita adalah anugerah yang sangat berharga. Harapan itu ada dalam setiap doa Islam mengajarkan bahwa di saat-saat sulit, doa adalah salah satu sarana yang sangat kuat untuk meminta pertolongan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (HR. Abu Ya’la no. 439, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, 7:374, Al-Hakim no. 1812. Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, hal. 179) Dalam riwayat lain, إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa (tanpa memberi apa-apa).” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ibnu Hibban no. 876. Dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11:147.) Doa adalah bentuk kepasrahan dan harapan kita kepada Allah. Tidak ada keadaan yang terlalu sulit bagi Allah. Dalam setiap doa, kita diberikan kesempatan untuk memohon ampunan, petunjuk, dan kekuatan dari-Nya. Jika Anda merasa putus asa, ingatlah bahwa Allah selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah dan doa kita. Dialah yang memberikan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Baca juga: Mati Bunuh Diri, Apakah Perlu Disalati? Setiap ujian adalah jalan menaikkan derajat seorang mukmin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, إذا أحَبَّ اللهُ قومًا ابْتلاهُمْ “Jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka akan diuji.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3: 302. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 285.) Ujian yang datang tidak mesti sebagai hukuman, melainkan proses untuk mendewasakan, menguatkan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika rasa sakit datang, ingatlah bahwa setiap ujian adalah ladang pahala yang akan menghapus dosa dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan, penyakit (yang terus menimpa), kehawatiran, kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari) Dari hadis tersebut, dapat kita ketahui bahwa ujian dan masalah bukan hanya cara Allah menguji kualitas keimanan dan kesabaran kita, tetapi juga sebagai cara untuk membersihkan diri kita dari dosa. Dengan sabar dalam menghadapi ujian, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Setiap masalah dan ujian yang kita hadapi juga berfungsi untuk memperkuat iman kita. Seiring waktu, kita akan belajar untuk lebih sabar, lebih tabah, dan lebih percaya bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak membiarkan hamba-Nya sendirian Salah satu hal yang paling menghibur hati adalah mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam setiap kesulitan yang kita alami. Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman dengan memberikan kemudahan dan jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman, فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5) Dalam ayat yang lain, إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Allah memberikan kita kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan, bahkan di saat kita merasa tak sanggup lagi melewatinya. Kehidupan di dunia tidak kekal, masalah pun sementara Ujian mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal. Hanya Allah yang Mahakekal. Kehidupan dunia ini bukanlah tujuan akhir karena dunia adalah tempat kita mengumpulkan amal ibadah untuk kehidupan yang abadi di akhirat. Setiap masalah yang datang adalah bagian dari ujian hidup yang sementara. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ “… Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al-Mu’min: 39) Masalah dan ujian yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari perjalanan menuju akhirat. Setiap kesulitan yang kita hadapi akan berlalu, dan sebagai muslim, kita meyakini bahwa ada kebahagiaan yang lebih besar di akhirat bagi mereka yang sabar dan bertakwa. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu memberi harapan di setiap langkah. Baca juga: Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Cara Hidup Berkah dan Bahagia – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ada yang bertanya, “Bagaimana cara seseorang dapat meraih keberkahan dalam hidupnya?” Keberkahan adalah anugerah yang luar biasa. Pengaruh keberkahan dapat dirasakan manusia pada semua aspek kehidupannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada kesehatannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada waktunya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada keharmonisan rumah tangganya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada hartanya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada anak keturunannya. Ia juga dapat merasakan pengaruh keberkahan pada ilmunya. Jadi, keberkahan mencakup segala aspek kehidupan. Di antara sebab terbesar turunnya keberkahan adalah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi…” (QS. al-Anfal: 96). Keimanan dan ketakwaan adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Jadi, ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah sebab turunnya keberkahan. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka…” (QS. at-Talaq: 2-3). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia memberi kemudahan pada urusannya.” (QS. at-Talaq: 4). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menghapus dosa-dosanya dan mengagungkan pahalanya.” (QS. at-Talaq: 5). Jadi, ketakwaan kepada Allah adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Selain itu, seorang Muslim harus berdoa memohon keberkahan kepada Allah. Perkara ini banyak dilalaikan orang. Mintalah kepada Allah agar melimpahkan berkah kepadamu. Memberimu berkah pada kesehatanmu. Memberimu berkah pada waktumu. Memberimu berkah pada pasanganmu. Memberimu berkah pada anak-anakmu. Memberimu berkah pada hartamu. Memberimu berkah pada ilmumu. Memberimu berkah pada segala hal. Berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mendapat limpahan berkah. Jika keberkahan terlimpah pada sesuatu, maka seorang insan akan mendapat banyak manfaat darinya. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta, maka pemiliknya akan mendapat manfaat besar darinya. Namun, ketika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis. Demikian juga pada waktu. Apabila Allah memberi keberkahan pada waktu seseorang, maka ia dapat menyelesaikan banyak urusan. Namun, ketika keberkahan dicabut dari waktu itu, maka waktu akan berlalu begitu saja tanpa ia bisa menyelesaikan urusan yang signifikan. Demikian juga pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berdoa meminta keberkahan kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak doanya itu supaya Allah memberkahinya. Sebagai contoh, apabila Allah memberi keberkahan pada kesehatan seseorang, maka kesehatannya terjaga, terbebas dari berbagai penyakit, dan sehat sepenuhnya. Apabila Allah memberikan keberkahan pada anak-anak seseorang, maka ia akan merasakan kebaikan dari mereka. Hatinya pun tenang saat menyaksikan kesalehan dan kasih sayang mereka. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta seseorang, maka ia akan mendapat banyak manfaat dari hartanya itu. Sedangkan jika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis, tanpa diketahui ke mana ia dibelanjakan. Apabila Allah Ta’ala memberi keberkahan pada ilmu seseorang, maka ilmunya akan luas pengaruh dan manfaatnya. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Muslim banyak berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapat keberkahan. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَحْصُلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الْبَرَكَةِ فِي حَيَاتِهِ؟ الْبَرَكَةُ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَجِدُ الْإِنْسَانُ آثَارَهَا عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فِي حَيَاتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى صِحَّتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى وَقْتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى اسْتِقْرَارِهِ الْأُسَرِيِّ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى مَالِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى عِلْمِهِ فَالْبَرَكَة تَشْمَلُ كُلَّ شَيْءٍ وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ الْإِيْمَانُ وَالتَّقْوَى مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الْبَرَكَةِ فَتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَبَبٌ لِلْبَرَكَةِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا فَتَقْوَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ كَذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَسْأَلَ الْمُسْلِمُ رَبَّهُ الْبَرَكَةَ وَهَذَا الْمَعْنَى يَغْفَلُ عَنْهُ بَعْضُ النَّاسِ تَسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي صِحَّتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي وَقْتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَهْلِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَوْلَادِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي مَالِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي عِلْمِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِالْبَرَكَةِ الْبَرَكَةُ إِذَا حَلَّتْ فِي شَيْءٍ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ كَثِيْرًا الْمَالُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ يَنْتَفِعُ بِهِ الْإِنْسَانُ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ مِنْهُ الْبَرَكَةُ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَهَكَذَا أَيْضًا الْوَقْتُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْوَقْتِ يُنْجِزُ الْإِنْسَانُ فِيهِ إِنْجَازَاتٍ كَثِيرَةً لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ الْبَرَكَةُ مِنَ الْوَقْتِ يَمْضِي الْوَقْتُ عَلَى الْإِنْسَانِ وَمَا أَنْجَزَ شَيْئًا يُذْكَرُ وَهَكَذَا فِي بَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْأَلَ اللَّهَ تَعَالَى الْبَرَكَةَ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُبَارِكُ لَهُمْ فَمَثَلًا إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي صِحَّتِهِ اسْتَقَرَّتْ صِحَّتُهُ وَسَلِمَ مِنْ أَمْرَاضٍ كَثِيرَةٍ وَعُوفِيَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي أَوْلَادِهِ انْتَفَعَ بِهِمْ وَقَرَّتْ عَيْنُهُ بِصَلَاحِهِمْ وَبِرِّهِمْ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي مَالِهِ فَإِنَّهُ يَنْتَفِعُ بِمَالِهِ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا بَيْنَمَا لَوْ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْهُ يَرَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَلَا يَدْرِي أَيْنَ ذَهَبَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ فَإِنَّ عِلْمَهُ يَعْظُمُ أَثَرُهُ وَنَفْعُهُ وَهَكَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ سُؤَالِ اللَّهِ تَعَالَى الْبَرَكَةَ

Cara Hidup Berkah dan Bahagia – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ada yang bertanya, “Bagaimana cara seseorang dapat meraih keberkahan dalam hidupnya?” Keberkahan adalah anugerah yang luar biasa. Pengaruh keberkahan dapat dirasakan manusia pada semua aspek kehidupannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada kesehatannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada waktunya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada keharmonisan rumah tangganya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada hartanya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada anak keturunannya. Ia juga dapat merasakan pengaruh keberkahan pada ilmunya. Jadi, keberkahan mencakup segala aspek kehidupan. Di antara sebab terbesar turunnya keberkahan adalah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi…” (QS. al-Anfal: 96). Keimanan dan ketakwaan adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Jadi, ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah sebab turunnya keberkahan. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka…” (QS. at-Talaq: 2-3). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia memberi kemudahan pada urusannya.” (QS. at-Talaq: 4). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menghapus dosa-dosanya dan mengagungkan pahalanya.” (QS. at-Talaq: 5). Jadi, ketakwaan kepada Allah adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Selain itu, seorang Muslim harus berdoa memohon keberkahan kepada Allah. Perkara ini banyak dilalaikan orang. Mintalah kepada Allah agar melimpahkan berkah kepadamu. Memberimu berkah pada kesehatanmu. Memberimu berkah pada waktumu. Memberimu berkah pada pasanganmu. Memberimu berkah pada anak-anakmu. Memberimu berkah pada hartamu. Memberimu berkah pada ilmumu. Memberimu berkah pada segala hal. Berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mendapat limpahan berkah. Jika keberkahan terlimpah pada sesuatu, maka seorang insan akan mendapat banyak manfaat darinya. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta, maka pemiliknya akan mendapat manfaat besar darinya. Namun, ketika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis. Demikian juga pada waktu. Apabila Allah memberi keberkahan pada waktu seseorang, maka ia dapat menyelesaikan banyak urusan. Namun, ketika keberkahan dicabut dari waktu itu, maka waktu akan berlalu begitu saja tanpa ia bisa menyelesaikan urusan yang signifikan. Demikian juga pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berdoa meminta keberkahan kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak doanya itu supaya Allah memberkahinya. Sebagai contoh, apabila Allah memberi keberkahan pada kesehatan seseorang, maka kesehatannya terjaga, terbebas dari berbagai penyakit, dan sehat sepenuhnya. Apabila Allah memberikan keberkahan pada anak-anak seseorang, maka ia akan merasakan kebaikan dari mereka. Hatinya pun tenang saat menyaksikan kesalehan dan kasih sayang mereka. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta seseorang, maka ia akan mendapat banyak manfaat dari hartanya itu. Sedangkan jika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis, tanpa diketahui ke mana ia dibelanjakan. Apabila Allah Ta’ala memberi keberkahan pada ilmu seseorang, maka ilmunya akan luas pengaruh dan manfaatnya. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Muslim banyak berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapat keberkahan. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَحْصُلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الْبَرَكَةِ فِي حَيَاتِهِ؟ الْبَرَكَةُ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَجِدُ الْإِنْسَانُ آثَارَهَا عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فِي حَيَاتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى صِحَّتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى وَقْتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى اسْتِقْرَارِهِ الْأُسَرِيِّ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى مَالِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى عِلْمِهِ فَالْبَرَكَة تَشْمَلُ كُلَّ شَيْءٍ وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ الْإِيْمَانُ وَالتَّقْوَى مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الْبَرَكَةِ فَتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَبَبٌ لِلْبَرَكَةِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا فَتَقْوَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ كَذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَسْأَلَ الْمُسْلِمُ رَبَّهُ الْبَرَكَةَ وَهَذَا الْمَعْنَى يَغْفَلُ عَنْهُ بَعْضُ النَّاسِ تَسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي صِحَّتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي وَقْتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَهْلِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَوْلَادِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي مَالِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي عِلْمِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِالْبَرَكَةِ الْبَرَكَةُ إِذَا حَلَّتْ فِي شَيْءٍ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ كَثِيْرًا الْمَالُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ يَنْتَفِعُ بِهِ الْإِنْسَانُ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ مِنْهُ الْبَرَكَةُ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَهَكَذَا أَيْضًا الْوَقْتُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْوَقْتِ يُنْجِزُ الْإِنْسَانُ فِيهِ إِنْجَازَاتٍ كَثِيرَةً لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ الْبَرَكَةُ مِنَ الْوَقْتِ يَمْضِي الْوَقْتُ عَلَى الْإِنْسَانِ وَمَا أَنْجَزَ شَيْئًا يُذْكَرُ وَهَكَذَا فِي بَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْأَلَ اللَّهَ تَعَالَى الْبَرَكَةَ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُبَارِكُ لَهُمْ فَمَثَلًا إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي صِحَّتِهِ اسْتَقَرَّتْ صِحَّتُهُ وَسَلِمَ مِنْ أَمْرَاضٍ كَثِيرَةٍ وَعُوفِيَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي أَوْلَادِهِ انْتَفَعَ بِهِمْ وَقَرَّتْ عَيْنُهُ بِصَلَاحِهِمْ وَبِرِّهِمْ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي مَالِهِ فَإِنَّهُ يَنْتَفِعُ بِمَالِهِ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا بَيْنَمَا لَوْ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْهُ يَرَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَلَا يَدْرِي أَيْنَ ذَهَبَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ فَإِنَّ عِلْمَهُ يَعْظُمُ أَثَرُهُ وَنَفْعُهُ وَهَكَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ سُؤَالِ اللَّهِ تَعَالَى الْبَرَكَةَ
Ada yang bertanya, “Bagaimana cara seseorang dapat meraih keberkahan dalam hidupnya?” Keberkahan adalah anugerah yang luar biasa. Pengaruh keberkahan dapat dirasakan manusia pada semua aspek kehidupannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada kesehatannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada waktunya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada keharmonisan rumah tangganya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada hartanya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada anak keturunannya. Ia juga dapat merasakan pengaruh keberkahan pada ilmunya. Jadi, keberkahan mencakup segala aspek kehidupan. Di antara sebab terbesar turunnya keberkahan adalah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi…” (QS. al-Anfal: 96). Keimanan dan ketakwaan adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Jadi, ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah sebab turunnya keberkahan. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka…” (QS. at-Talaq: 2-3). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia memberi kemudahan pada urusannya.” (QS. at-Talaq: 4). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menghapus dosa-dosanya dan mengagungkan pahalanya.” (QS. at-Talaq: 5). Jadi, ketakwaan kepada Allah adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Selain itu, seorang Muslim harus berdoa memohon keberkahan kepada Allah. Perkara ini banyak dilalaikan orang. Mintalah kepada Allah agar melimpahkan berkah kepadamu. Memberimu berkah pada kesehatanmu. Memberimu berkah pada waktumu. Memberimu berkah pada pasanganmu. Memberimu berkah pada anak-anakmu. Memberimu berkah pada hartamu. Memberimu berkah pada ilmumu. Memberimu berkah pada segala hal. Berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mendapat limpahan berkah. Jika keberkahan terlimpah pada sesuatu, maka seorang insan akan mendapat banyak manfaat darinya. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta, maka pemiliknya akan mendapat manfaat besar darinya. Namun, ketika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis. Demikian juga pada waktu. Apabila Allah memberi keberkahan pada waktu seseorang, maka ia dapat menyelesaikan banyak urusan. Namun, ketika keberkahan dicabut dari waktu itu, maka waktu akan berlalu begitu saja tanpa ia bisa menyelesaikan urusan yang signifikan. Demikian juga pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berdoa meminta keberkahan kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak doanya itu supaya Allah memberkahinya. Sebagai contoh, apabila Allah memberi keberkahan pada kesehatan seseorang, maka kesehatannya terjaga, terbebas dari berbagai penyakit, dan sehat sepenuhnya. Apabila Allah memberikan keberkahan pada anak-anak seseorang, maka ia akan merasakan kebaikan dari mereka. Hatinya pun tenang saat menyaksikan kesalehan dan kasih sayang mereka. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta seseorang, maka ia akan mendapat banyak manfaat dari hartanya itu. Sedangkan jika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis, tanpa diketahui ke mana ia dibelanjakan. Apabila Allah Ta’ala memberi keberkahan pada ilmu seseorang, maka ilmunya akan luas pengaruh dan manfaatnya. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Muslim banyak berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapat keberkahan. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَحْصُلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الْبَرَكَةِ فِي حَيَاتِهِ؟ الْبَرَكَةُ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَجِدُ الْإِنْسَانُ آثَارَهَا عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فِي حَيَاتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى صِحَّتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى وَقْتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى اسْتِقْرَارِهِ الْأُسَرِيِّ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى مَالِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى عِلْمِهِ فَالْبَرَكَة تَشْمَلُ كُلَّ شَيْءٍ وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ الْإِيْمَانُ وَالتَّقْوَى مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الْبَرَكَةِ فَتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَبَبٌ لِلْبَرَكَةِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا فَتَقْوَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ كَذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَسْأَلَ الْمُسْلِمُ رَبَّهُ الْبَرَكَةَ وَهَذَا الْمَعْنَى يَغْفَلُ عَنْهُ بَعْضُ النَّاسِ تَسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي صِحَّتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي وَقْتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَهْلِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَوْلَادِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي مَالِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي عِلْمِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِالْبَرَكَةِ الْبَرَكَةُ إِذَا حَلَّتْ فِي شَيْءٍ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ كَثِيْرًا الْمَالُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ يَنْتَفِعُ بِهِ الْإِنْسَانُ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ مِنْهُ الْبَرَكَةُ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَهَكَذَا أَيْضًا الْوَقْتُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْوَقْتِ يُنْجِزُ الْإِنْسَانُ فِيهِ إِنْجَازَاتٍ كَثِيرَةً لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ الْبَرَكَةُ مِنَ الْوَقْتِ يَمْضِي الْوَقْتُ عَلَى الْإِنْسَانِ وَمَا أَنْجَزَ شَيْئًا يُذْكَرُ وَهَكَذَا فِي بَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْأَلَ اللَّهَ تَعَالَى الْبَرَكَةَ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُبَارِكُ لَهُمْ فَمَثَلًا إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي صِحَّتِهِ اسْتَقَرَّتْ صِحَّتُهُ وَسَلِمَ مِنْ أَمْرَاضٍ كَثِيرَةٍ وَعُوفِيَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي أَوْلَادِهِ انْتَفَعَ بِهِمْ وَقَرَّتْ عَيْنُهُ بِصَلَاحِهِمْ وَبِرِّهِمْ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي مَالِهِ فَإِنَّهُ يَنْتَفِعُ بِمَالِهِ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا بَيْنَمَا لَوْ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْهُ يَرَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَلَا يَدْرِي أَيْنَ ذَهَبَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ فَإِنَّ عِلْمَهُ يَعْظُمُ أَثَرُهُ وَنَفْعُهُ وَهَكَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ سُؤَالِ اللَّهِ تَعَالَى الْبَرَكَةَ


Ada yang bertanya, “Bagaimana cara seseorang dapat meraih keberkahan dalam hidupnya?” Keberkahan adalah anugerah yang luar biasa. Pengaruh keberkahan dapat dirasakan manusia pada semua aspek kehidupannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada kesehatannya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada waktunya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada keharmonisan rumah tangganya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada hartanya. Ia dapat merasakan pengaruh keberkahan pada anak keturunannya. Ia juga dapat merasakan pengaruh keberkahan pada ilmunya. Jadi, keberkahan mencakup segala aspek kehidupan. Di antara sebab terbesar turunnya keberkahan adalah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi…” (QS. al-Anfal: 96). Keimanan dan ketakwaan adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Jadi, ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah sebab turunnya keberkahan. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka…” (QS. at-Talaq: 2-3). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia memberi kemudahan pada urusannya.” (QS. at-Talaq: 4). “…Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menghapus dosa-dosanya dan mengagungkan pahalanya.” (QS. at-Talaq: 5). Jadi, ketakwaan kepada Allah adalah salah satu sebab terbesar turunnya keberkahan. Selain itu, seorang Muslim harus berdoa memohon keberkahan kepada Allah. Perkara ini banyak dilalaikan orang. Mintalah kepada Allah agar melimpahkan berkah kepadamu. Memberimu berkah pada kesehatanmu. Memberimu berkah pada waktumu. Memberimu berkah pada pasanganmu. Memberimu berkah pada anak-anakmu. Memberimu berkah pada hartamu. Memberimu berkah pada ilmumu. Memberimu berkah pada segala hal. Berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar mendapat limpahan berkah. Jika keberkahan terlimpah pada sesuatu, maka seorang insan akan mendapat banyak manfaat darinya. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta, maka pemiliknya akan mendapat manfaat besar darinya. Namun, ketika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis. Demikian juga pada waktu. Apabila Allah memberi keberkahan pada waktu seseorang, maka ia dapat menyelesaikan banyak urusan. Namun, ketika keberkahan dicabut dari waktu itu, maka waktu akan berlalu begitu saja tanpa ia bisa menyelesaikan urusan yang signifikan. Demikian juga pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berdoa meminta keberkahan kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak doanya itu supaya Allah memberkahinya. Sebagai contoh, apabila Allah memberi keberkahan pada kesehatan seseorang, maka kesehatannya terjaga, terbebas dari berbagai penyakit, dan sehat sepenuhnya. Apabila Allah memberikan keberkahan pada anak-anak seseorang, maka ia akan merasakan kebaikan dari mereka. Hatinya pun tenang saat menyaksikan kesalehan dan kasih sayang mereka. Apabila Allah memberi keberkahan pada harta seseorang, maka ia akan mendapat banyak manfaat dari hartanya itu. Sedangkan jika keberkahan dicabut dari harta itu, ia akan cepat habis, tanpa diketahui ke mana ia dibelanjakan. Apabila Allah Ta’ala memberi keberkahan pada ilmu seseorang, maka ilmunya akan luas pengaruh dan manfaatnya. Begitulah seterusnya. Oleh sebab itu, hendaklah seorang Muslim banyak berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapat keberkahan. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَحْصُلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الْبَرَكَةِ فِي حَيَاتِهِ؟ الْبَرَكَةُ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَجِدُ الْإِنْسَانُ آثَارَهَا عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فِي حَيَاتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى صِحَّتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى وَقْتِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى اسْتِقْرَارِهِ الْأُسَرِيِّ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى مَالِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ يَجِدُ آثَارَ الْبَرَكَةِ عَلَى عِلْمِهِ فَالْبَرَكَة تَشْمَلُ كُلَّ شَيْءٍ وَمِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ مَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ الْإِيْمَانُ وَالتَّقْوَى مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الْبَرَكَةِ فَتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سَبَبٌ لِلْبَرَكَةِ وَلِذَلِكَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا فَتَقْوَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ حُلُولِ الْبَرَكَةِ كَذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَسْأَلَ الْمُسْلِمُ رَبَّهُ الْبَرَكَةَ وَهَذَا الْمَعْنَى يَغْفَلُ عَنْهُ بَعْضُ النَّاسِ تَسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي صِحَّتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي وَقْتِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَهْلِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي أَوْلَادِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي مَالِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي عِلْمِكَ يُبَارِكَ لَكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِالْبَرَكَةِ الْبَرَكَةُ إِذَا حَلَّتْ فِي شَيْءٍ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَنْتَفِعُ بِهِ كَثِيْرًا الْمَالُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ يَنْتَفِعُ بِهِ الْإِنْسَانُ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ مِنْهُ الْبَرَكَةُ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَهَكَذَا أَيْضًا الْوَقْتُ عِنْدَمَا يُبَارِكُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْوَقْتِ يُنْجِزُ الْإِنْسَانُ فِيهِ إِنْجَازَاتٍ كَثِيرَةً لَكِنْ عِنْدَمَا تُنْزَعُ الْبَرَكَةُ مِنَ الْوَقْتِ يَمْضِي الْوَقْتُ عَلَى الْإِنْسَانِ وَمَا أَنْجَزَ شَيْئًا يُذْكَرُ وَهَكَذَا فِي بَقِيَّةِ الْأُمُورِ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْأَلَ اللَّهَ تَعَالَى الْبَرَكَةَ وَأَنْ يُكْثِرَ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُبَارِكُ لَهُمْ فَمَثَلًا إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي صِحَّتِهِ اسْتَقَرَّتْ صِحَّتُهُ وَسَلِمَ مِنْ أَمْرَاضٍ كَثِيرَةٍ وَعُوفِيَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي أَوْلَادِهِ انْتَفَعَ بِهِمْ وَقَرَّتْ عَيْنُهُ بِصَلَاحِهِمْ وَبِرِّهِمْ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ لِلْإِنْسَانِ فِي مَالِهِ فَإِنَّهُ يَنْتَفِعُ بِمَالِهِ انْتِفَاعًا كَبِيْرًا بَيْنَمَا لَوْ نُزِعَتِ الْبَرَكَةُ مِنْهُ يَرَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يَذْهَبُ بِسُرْعَةٍ وَلَا يَدْرِي أَيْنَ ذَهَبَ إِذَا بَارَكَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْإِنْسَانِ فِي عِلْمِهِ فَإِنَّ عِلْمَهُ يَعْظُمُ أَثَرُهُ وَنَفْعُهُ وَهَكَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ سُؤَالِ اللَّهِ تَعَالَى الْبَرَكَةَ

Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, dan Hikmahnya

Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.

Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, dan Hikmahnya

Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.
Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.


Daftar Isi Toggle Definisi musaqahHukum musaqahDalil musaqahHikmah pensyariatan musaqahKemaslahatan dalam pengelolaan sumber dayaMeningkatkan kerja sama dan saling membantuMemberikan lapangan pekerjaan untuk kaum musliminMeningkatkan produktivitas dan ekonomiPada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya. Definisi musaqah Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada. Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1] Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya. Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut. Hukum musaqah Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3] Dalil musaqah Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari) Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari) Baca juga: Pendapat Syadz di Dalam Fikih Hikmah pensyariatan musaqah Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut. Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim) Meningkatkan produktivitas dan ekonomi Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.” Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.” Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat. Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut. Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak. Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Fikih Akad Ju’alah (Sayembara) *** Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq rahimahullah. Dan beberapa referensi lainnya   Catatan kaki: [1] Fiqih Sunnah, 3: 204 dan Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 175. [2] Fiqih Sunnah, 3: 204. [3] Shahih Fiqih Sunnah, 5: 423.

Kisah Lucu Orang yang Terakhir Masuk Surga – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Manusia terakhir yang masuk surga, sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Manusia terakhir yang masuk surga adalah seorang lelaki yang wajahnya menghadap neraka. Lalu ia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Duhai Tuhanku, jauhkan neraka Jahanam dari wajahku, karena hembusannya telah menyakitiku dan kobarannya telah membakarku.” Ia terus berdoa kepada Allah selama yang Allah kehendaki. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Jika Aku mengabulkannya, kamu tidak akan meminta yang lain?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku! Aku tidak akan meminta yang lain.” Lalu Allah mengambil perjanjian-perjanjian darinya atas pernyataan itu. Lalu Allah Ta’ala menjauhkan neraka dari wajahnya dan menghadapkannya ke arah surga. Lalu ia dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki. Kemudian ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku! Dekatkanlah aku kepada surga!” Allah berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Lalu Allah mengambil janji-janji darinya lagi bahwa ia tidak akan meminta yang lain. Kemudian Allah mendekatkannya ke surga. Lalu surga terpampang baginya sehingga ia melihat berbagai kenikmatan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Ia tetap dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki, hingga ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!” Allah lalu berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Allah ‘Azza wa Jalla lalu tertawa, dan berfirman, “Berangan-anganlah (mintalah apa yang engkau inginkan)!” Maka orang itu pun berangan-angan, terus berangan-angan, dan terus berangan-angan hingga semua keinginannya habis. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkannya tentang keinginan-keinginan yang dahulu pernah dia impikan. Hingga saat keinginan-keinginannya telah ia sebutkan semua, Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Kamu mendapatkan itu semua dan sepuluh kali lipatnya!” Itulah manusia terakhir yang masuk surga. (HR. Bukhari) Subhanallah! Ini orang yang derajatnya paling rendah di surga! Ia mendapatkan segala yang ia harapkan dan sepuluh kali lipatnya. Bayangkan bagaimana dengan para penghuni surga yang lain?! Kenikmatan penghuni surga adalah kenikmatan yang luar biasa. Ia berada jauh di atas jangkauan akal manusia. Akal manusia tidak mampu membayangkan nikmat-nikmat para penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari apa yang menyenangkan hati…” (QS. as-Sajdah: 17). Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kenikmatan surga: “Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR. Muslim) Perhatikanlah sabda beliau: “…dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” Maksudnya, kenikmatan para penghuni surga melebihi apa yang dibayangkan manusia. Artinya, bahkan imajinasi sekalipun tidak dapat membayangkan kenikmatan penghuni surga, karena kenikmatan itu lebih tinggi daripada itu. Di surga ada kebaikan, kenikmatan, kebahagiaan, dan suka cita yang amat besar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Tidak ada di surga sesuatu yang mirip dengan yang ada di dunia kecuali namanya saja.” Namanya memang sama, tapi hakikatnya berbeda. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan surga kepada kita semua. ==== آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرُهُمْ دُخُولًا الْجَنَّةَ رَجُلٌ مُقْبِلٌ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّارِ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا رَبِّ اصْرِفْ عَنْ وَجْهِي نَارَ جَهَنَّمَ فَإِنَّهُ قَدْ قَشَبَنِي رِيحُهَا وَأَحْرَقَنِي ذَكَاؤُهَا فَيَدْعُو اللَّهَ مَا شَاءَ اللَّهُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَإِذَا أَجَبْتُكَ لَا تَسْأَلُنِي غَيْرَهَا؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيقَ عَلَى ذَلِكَ فَيَصْرِفُ اللَّهُ تَعَالَى النَّارَ عَنْ وَجْهِهِ وَيُقْبِلُ عَلَى الْجَنَّةِ ثُمَّ يَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ قَرِّبْنِي مِنَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا يَسْأَلَهُ شَيْئًا غَيْرَهُ فَيُقَرِّبُهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْجَنَّةِ فَتَنْفَهِقُ لَهُ الْجَنَّةُ وَيَرَى مَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ وَالسُّرُورِ وَيَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَضْحَكُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَيَقُولُ تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى حَتَّى تَنْقَطِعَ أُمْنِيَّاتُهُ وَحَتَّى إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُذَكِّرَهُ بِأَمَانِيٍّ يَتَمَنَّاهَا حَتَّى إِذَا انْقَطَعَتِ الْأَمَانِي عِنْدَهُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ فَإِنَّ لَكَ ذَلِكَ وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهِ وَذَلِكَ آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً يَكُونُ لَهُ مَا يَتَمَنَّى وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ فَمَا بَالُكَ بِغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ فَوْقَ مُسْتَوَى خَيَالِ العَقْلِ البَشَرِيِّ العَقْلُ البَشَرِيُّ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَخَيَّلَ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ وَكَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَعِيْمِ الْجَنَّةِ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ أَيْ أَنَّ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَوْقَ مَا يَتَخَيَّلُهُ الْبَشَرُ يَعْنِي حَتَّى الْخَيَالِ لَا يَتَخَيَّلُوْنَ نَعِيمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَلْ هُوَ فَوْقَ ذَلِكَ فَفِي الْجَنَّةِ مِنَ الْخَيْرِ وَالنَّعِيْمِ وَالسُّرُورِ وَالْحُبُورِ شَيْءٌ عَظِيمٌ وَكَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَيْسَ فِي الْجَنَّةِ شَيْءٌ يُشْبِهُ مَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا الْأَسْمَاءَ فَالْأَسْمَاءُ هِيَ الْأَسْمَاءُ لَكِنَّ الْحَقِيقَةَ مُخْتَلِفَةٌ رَزَقَنَا اللَّهُ تَعَالَى وَإِيَّاكُمْ الْجَنَّةَ

Kisah Lucu Orang yang Terakhir Masuk Surga – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Manusia terakhir yang masuk surga, sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Manusia terakhir yang masuk surga adalah seorang lelaki yang wajahnya menghadap neraka. Lalu ia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Duhai Tuhanku, jauhkan neraka Jahanam dari wajahku, karena hembusannya telah menyakitiku dan kobarannya telah membakarku.” Ia terus berdoa kepada Allah selama yang Allah kehendaki. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Jika Aku mengabulkannya, kamu tidak akan meminta yang lain?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku! Aku tidak akan meminta yang lain.” Lalu Allah mengambil perjanjian-perjanjian darinya atas pernyataan itu. Lalu Allah Ta’ala menjauhkan neraka dari wajahnya dan menghadapkannya ke arah surga. Lalu ia dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki. Kemudian ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku! Dekatkanlah aku kepada surga!” Allah berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Lalu Allah mengambil janji-janji darinya lagi bahwa ia tidak akan meminta yang lain. Kemudian Allah mendekatkannya ke surga. Lalu surga terpampang baginya sehingga ia melihat berbagai kenikmatan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Ia tetap dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki, hingga ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!” Allah lalu berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Allah ‘Azza wa Jalla lalu tertawa, dan berfirman, “Berangan-anganlah (mintalah apa yang engkau inginkan)!” Maka orang itu pun berangan-angan, terus berangan-angan, dan terus berangan-angan hingga semua keinginannya habis. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkannya tentang keinginan-keinginan yang dahulu pernah dia impikan. Hingga saat keinginan-keinginannya telah ia sebutkan semua, Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Kamu mendapatkan itu semua dan sepuluh kali lipatnya!” Itulah manusia terakhir yang masuk surga. (HR. Bukhari) Subhanallah! Ini orang yang derajatnya paling rendah di surga! Ia mendapatkan segala yang ia harapkan dan sepuluh kali lipatnya. Bayangkan bagaimana dengan para penghuni surga yang lain?! Kenikmatan penghuni surga adalah kenikmatan yang luar biasa. Ia berada jauh di atas jangkauan akal manusia. Akal manusia tidak mampu membayangkan nikmat-nikmat para penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari apa yang menyenangkan hati…” (QS. as-Sajdah: 17). Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kenikmatan surga: “Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR. Muslim) Perhatikanlah sabda beliau: “…dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” Maksudnya, kenikmatan para penghuni surga melebihi apa yang dibayangkan manusia. Artinya, bahkan imajinasi sekalipun tidak dapat membayangkan kenikmatan penghuni surga, karena kenikmatan itu lebih tinggi daripada itu. Di surga ada kebaikan, kenikmatan, kebahagiaan, dan suka cita yang amat besar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Tidak ada di surga sesuatu yang mirip dengan yang ada di dunia kecuali namanya saja.” Namanya memang sama, tapi hakikatnya berbeda. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan surga kepada kita semua. ==== آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرُهُمْ دُخُولًا الْجَنَّةَ رَجُلٌ مُقْبِلٌ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّارِ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا رَبِّ اصْرِفْ عَنْ وَجْهِي نَارَ جَهَنَّمَ فَإِنَّهُ قَدْ قَشَبَنِي رِيحُهَا وَأَحْرَقَنِي ذَكَاؤُهَا فَيَدْعُو اللَّهَ مَا شَاءَ اللَّهُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَإِذَا أَجَبْتُكَ لَا تَسْأَلُنِي غَيْرَهَا؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيقَ عَلَى ذَلِكَ فَيَصْرِفُ اللَّهُ تَعَالَى النَّارَ عَنْ وَجْهِهِ وَيُقْبِلُ عَلَى الْجَنَّةِ ثُمَّ يَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ قَرِّبْنِي مِنَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا يَسْأَلَهُ شَيْئًا غَيْرَهُ فَيُقَرِّبُهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْجَنَّةِ فَتَنْفَهِقُ لَهُ الْجَنَّةُ وَيَرَى مَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ وَالسُّرُورِ وَيَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَضْحَكُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَيَقُولُ تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى حَتَّى تَنْقَطِعَ أُمْنِيَّاتُهُ وَحَتَّى إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُذَكِّرَهُ بِأَمَانِيٍّ يَتَمَنَّاهَا حَتَّى إِذَا انْقَطَعَتِ الْأَمَانِي عِنْدَهُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ فَإِنَّ لَكَ ذَلِكَ وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهِ وَذَلِكَ آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً يَكُونُ لَهُ مَا يَتَمَنَّى وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ فَمَا بَالُكَ بِغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ فَوْقَ مُسْتَوَى خَيَالِ العَقْلِ البَشَرِيِّ العَقْلُ البَشَرِيُّ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَخَيَّلَ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ وَكَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَعِيْمِ الْجَنَّةِ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ أَيْ أَنَّ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَوْقَ مَا يَتَخَيَّلُهُ الْبَشَرُ يَعْنِي حَتَّى الْخَيَالِ لَا يَتَخَيَّلُوْنَ نَعِيمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَلْ هُوَ فَوْقَ ذَلِكَ فَفِي الْجَنَّةِ مِنَ الْخَيْرِ وَالنَّعِيْمِ وَالسُّرُورِ وَالْحُبُورِ شَيْءٌ عَظِيمٌ وَكَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَيْسَ فِي الْجَنَّةِ شَيْءٌ يُشْبِهُ مَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا الْأَسْمَاءَ فَالْأَسْمَاءُ هِيَ الْأَسْمَاءُ لَكِنَّ الْحَقِيقَةَ مُخْتَلِفَةٌ رَزَقَنَا اللَّهُ تَعَالَى وَإِيَّاكُمْ الْجَنَّةَ
Manusia terakhir yang masuk surga, sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Manusia terakhir yang masuk surga adalah seorang lelaki yang wajahnya menghadap neraka. Lalu ia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Duhai Tuhanku, jauhkan neraka Jahanam dari wajahku, karena hembusannya telah menyakitiku dan kobarannya telah membakarku.” Ia terus berdoa kepada Allah selama yang Allah kehendaki. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Jika Aku mengabulkannya, kamu tidak akan meminta yang lain?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku! Aku tidak akan meminta yang lain.” Lalu Allah mengambil perjanjian-perjanjian darinya atas pernyataan itu. Lalu Allah Ta’ala menjauhkan neraka dari wajahnya dan menghadapkannya ke arah surga. Lalu ia dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki. Kemudian ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku! Dekatkanlah aku kepada surga!” Allah berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Lalu Allah mengambil janji-janji darinya lagi bahwa ia tidak akan meminta yang lain. Kemudian Allah mendekatkannya ke surga. Lalu surga terpampang baginya sehingga ia melihat berbagai kenikmatan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Ia tetap dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki, hingga ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!” Allah lalu berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Allah ‘Azza wa Jalla lalu tertawa, dan berfirman, “Berangan-anganlah (mintalah apa yang engkau inginkan)!” Maka orang itu pun berangan-angan, terus berangan-angan, dan terus berangan-angan hingga semua keinginannya habis. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkannya tentang keinginan-keinginan yang dahulu pernah dia impikan. Hingga saat keinginan-keinginannya telah ia sebutkan semua, Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Kamu mendapatkan itu semua dan sepuluh kali lipatnya!” Itulah manusia terakhir yang masuk surga. (HR. Bukhari) Subhanallah! Ini orang yang derajatnya paling rendah di surga! Ia mendapatkan segala yang ia harapkan dan sepuluh kali lipatnya. Bayangkan bagaimana dengan para penghuni surga yang lain?! Kenikmatan penghuni surga adalah kenikmatan yang luar biasa. Ia berada jauh di atas jangkauan akal manusia. Akal manusia tidak mampu membayangkan nikmat-nikmat para penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari apa yang menyenangkan hati…” (QS. as-Sajdah: 17). Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kenikmatan surga: “Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR. Muslim) Perhatikanlah sabda beliau: “…dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” Maksudnya, kenikmatan para penghuni surga melebihi apa yang dibayangkan manusia. Artinya, bahkan imajinasi sekalipun tidak dapat membayangkan kenikmatan penghuni surga, karena kenikmatan itu lebih tinggi daripada itu. Di surga ada kebaikan, kenikmatan, kebahagiaan, dan suka cita yang amat besar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Tidak ada di surga sesuatu yang mirip dengan yang ada di dunia kecuali namanya saja.” Namanya memang sama, tapi hakikatnya berbeda. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan surga kepada kita semua. ==== آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرُهُمْ دُخُولًا الْجَنَّةَ رَجُلٌ مُقْبِلٌ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّارِ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا رَبِّ اصْرِفْ عَنْ وَجْهِي نَارَ جَهَنَّمَ فَإِنَّهُ قَدْ قَشَبَنِي رِيحُهَا وَأَحْرَقَنِي ذَكَاؤُهَا فَيَدْعُو اللَّهَ مَا شَاءَ اللَّهُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَإِذَا أَجَبْتُكَ لَا تَسْأَلُنِي غَيْرَهَا؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيقَ عَلَى ذَلِكَ فَيَصْرِفُ اللَّهُ تَعَالَى النَّارَ عَنْ وَجْهِهِ وَيُقْبِلُ عَلَى الْجَنَّةِ ثُمَّ يَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ قَرِّبْنِي مِنَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا يَسْأَلَهُ شَيْئًا غَيْرَهُ فَيُقَرِّبُهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْجَنَّةِ فَتَنْفَهِقُ لَهُ الْجَنَّةُ وَيَرَى مَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ وَالسُّرُورِ وَيَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَضْحَكُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَيَقُولُ تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى حَتَّى تَنْقَطِعَ أُمْنِيَّاتُهُ وَحَتَّى إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُذَكِّرَهُ بِأَمَانِيٍّ يَتَمَنَّاهَا حَتَّى إِذَا انْقَطَعَتِ الْأَمَانِي عِنْدَهُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ فَإِنَّ لَكَ ذَلِكَ وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهِ وَذَلِكَ آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً يَكُونُ لَهُ مَا يَتَمَنَّى وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ فَمَا بَالُكَ بِغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ فَوْقَ مُسْتَوَى خَيَالِ العَقْلِ البَشَرِيِّ العَقْلُ البَشَرِيُّ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَخَيَّلَ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ وَكَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَعِيْمِ الْجَنَّةِ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ أَيْ أَنَّ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَوْقَ مَا يَتَخَيَّلُهُ الْبَشَرُ يَعْنِي حَتَّى الْخَيَالِ لَا يَتَخَيَّلُوْنَ نَعِيمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَلْ هُوَ فَوْقَ ذَلِكَ فَفِي الْجَنَّةِ مِنَ الْخَيْرِ وَالنَّعِيْمِ وَالسُّرُورِ وَالْحُبُورِ شَيْءٌ عَظِيمٌ وَكَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَيْسَ فِي الْجَنَّةِ شَيْءٌ يُشْبِهُ مَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا الْأَسْمَاءَ فَالْأَسْمَاءُ هِيَ الْأَسْمَاءُ لَكِنَّ الْحَقِيقَةَ مُخْتَلِفَةٌ رَزَقَنَا اللَّهُ تَعَالَى وَإِيَّاكُمْ الْجَنَّةَ


Manusia terakhir yang masuk surga, sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Manusia terakhir yang masuk surga adalah seorang lelaki yang wajahnya menghadap neraka. Lalu ia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, “Duhai Tuhanku, jauhkan neraka Jahanam dari wajahku, karena hembusannya telah menyakitiku dan kobarannya telah membakarku.” Ia terus berdoa kepada Allah selama yang Allah kehendaki. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Jika Aku mengabulkannya, kamu tidak akan meminta yang lain?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku! Aku tidak akan meminta yang lain.” Lalu Allah mengambil perjanjian-perjanjian darinya atas pernyataan itu. Lalu Allah Ta’ala menjauhkan neraka dari wajahnya dan menghadapkannya ke arah surga. Lalu ia dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki. Kemudian ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku! Dekatkanlah aku kepada surga!” Allah berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Lalu Allah mengambil janji-janji darinya lagi bahwa ia tidak akan meminta yang lain. Kemudian Allah mendekatkannya ke surga. Lalu surga terpampang baginya sehingga ia melihat berbagai kenikmatan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Ia tetap dalam keadaan itu selama yang Allah kehendaki, hingga ia berdoa lagi, “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!” Allah lalu berfirman kepadanya, “Wahai manusia! Betapa ingkarnya kamu terhadap janji! Bukankah aku telah mengambil janji-janji darimu bahwa kamu tidak akan meminta yang lain?!” Orang itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku orang yang paling sengsara karena (menjauh dari) Engkau!” Allah ‘Azza wa Jalla lalu tertawa, dan berfirman, “Berangan-anganlah (mintalah apa yang engkau inginkan)!” Maka orang itu pun berangan-angan, terus berangan-angan, dan terus berangan-angan hingga semua keinginannya habis. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkannya tentang keinginan-keinginan yang dahulu pernah dia impikan. Hingga saat keinginan-keinginannya telah ia sebutkan semua, Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Kamu mendapatkan itu semua dan sepuluh kali lipatnya!” Itulah manusia terakhir yang masuk surga. (HR. Bukhari) Subhanallah! Ini orang yang derajatnya paling rendah di surga! Ia mendapatkan segala yang ia harapkan dan sepuluh kali lipatnya. Bayangkan bagaimana dengan para penghuni surga yang lain?! Kenikmatan penghuni surga adalah kenikmatan yang luar biasa. Ia berada jauh di atas jangkauan akal manusia. Akal manusia tidak mampu membayangkan nikmat-nikmat para penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari apa yang menyenangkan hati…” (QS. as-Sajdah: 17). Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kenikmatan surga: “Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” (HR. Muslim) Perhatikanlah sabda beliau: “…dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.” Maksudnya, kenikmatan para penghuni surga melebihi apa yang dibayangkan manusia. Artinya, bahkan imajinasi sekalipun tidak dapat membayangkan kenikmatan penghuni surga, karena kenikmatan itu lebih tinggi daripada itu. Di surga ada kebaikan, kenikmatan, kebahagiaan, dan suka cita yang amat besar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Tidak ada di surga sesuatu yang mirip dengan yang ada di dunia kecuali namanya saja.” Namanya memang sama, tapi hakikatnya berbeda. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan surga kepada kita semua. ==== آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرُهُمْ دُخُولًا الْجَنَّةَ رَجُلٌ مُقْبِلٌ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّارِ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا رَبِّ اصْرِفْ عَنْ وَجْهِي نَارَ جَهَنَّمَ فَإِنَّهُ قَدْ قَشَبَنِي رِيحُهَا وَأَحْرَقَنِي ذَكَاؤُهَا فَيَدْعُو اللَّهَ مَا شَاءَ اللَّهُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَإِذَا أَجَبْتُكَ لَا تَسْأَلُنِي غَيْرَهَا؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيقَ عَلَى ذَلِكَ فَيَصْرِفُ اللَّهُ تَعَالَى النَّارَ عَنْ وَجْهِهِ وَيُقْبِلُ عَلَى الْجَنَّةِ ثُمَّ يَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ قَرِّبْنِي مِنَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَأْخُذُ اللَّهُ عَلَيْهِ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا يَسْأَلَهُ شَيْئًا غَيْرَهُ فَيُقَرِّبُهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الْجَنَّةِ فَتَنْفَهِقُ لَهُ الْجَنَّةُ وَيَرَى مَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ وَالسُّرُورِ وَيَبْقَى مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَبْقَى ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ أَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ وَيْحَكَ ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَمْ آخُذُ عَلَيْكَ الْعُهُودَ وَالْمَوَاثِيْقَ أَلَّا تَسْأَلَنِي غَيْرَهُ؟ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ بِكَ فَيَضْحَكُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَيَقُولُ تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى وَيَتَمَنَّى حَتَّى تَنْقَطِعَ أُمْنِيَّاتُهُ وَحَتَّى إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُذَكِّرَهُ بِأَمَانِيٍّ يَتَمَنَّاهَا حَتَّى إِذَا انْقَطَعَتِ الْأَمَانِي عِنْدَهُ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ فَإِنَّ لَكَ ذَلِكَ وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهِ وَذَلِكَ آخِرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً يَكُونُ لَهُ مَا يَتَمَنَّى وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ فَمَا بَالُكَ بِغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ نَعِيْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ فَوْقَ مُسْتَوَى خَيَالِ العَقْلِ البَشَرِيِّ العَقْلُ البَشَرِيُّ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَخَيَّلَ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ وَكَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَعِيْمِ الْجَنَّةِ فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ تَأَمَّلْ قَوْلَهُ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ أَيْ أَنَّ نَعِيْمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَوْقَ مَا يَتَخَيَّلُهُ الْبَشَرُ يَعْنِي حَتَّى الْخَيَالِ لَا يَتَخَيَّلُوْنَ نَعِيمَ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَلْ هُوَ فَوْقَ ذَلِكَ فَفِي الْجَنَّةِ مِنَ الْخَيْرِ وَالنَّعِيْمِ وَالسُّرُورِ وَالْحُبُورِ شَيْءٌ عَظِيمٌ وَكَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَيْسَ فِي الْجَنَّةِ شَيْءٌ يُشْبِهُ مَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا الْأَسْمَاءَ فَالْأَسْمَاءُ هِيَ الْأَسْمَاءُ لَكِنَّ الْحَقِيقَةَ مُخْتَلِفَةٌ رَزَقَنَا اللَّهُ تَعَالَى وَإِيَّاكُمْ الْجَنَّةَ

Kecemburuan Allah Terhadap Hati Seorang Mukmin yang Terpaut dengan Selain-Nya

غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 752 times, 3 visit(s) today Post Views: 456 QRIS donasi Yufid

Kecemburuan Allah Terhadap Hati Seorang Mukmin yang Terpaut dengan Selain-Nya

غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 752 times, 3 visit(s) today Post Views: 456 QRIS donasi Yufid
غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 752 times, 3 visit(s) today Post Views: 456 QRIS donasi Yufid


غيرة الله على قلب المؤمن أن يتعلق بغيره هل يجوز هذا القول: يقول الإمام الشافعي -رحمه الله-: كلما تعلقت بشخص تعلقاً؛ أذاقكْ الله مرّ التعلق؛ لتعلم أن الله يغار على قلب تعلق بغيره، فيصدٌك عن ذاك ليرٌدك إليه. وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام- وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه. ما قولكم في هذا الكلام؟ Pertanyaan: Apakah boleh mengucapkan seperti yang diucapkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semakin kamu terpaut dengan seseorang, maka Allah akan memberimu kepahitan dari keterpautan itu, agar kamu mengerti bahwa Allah cemburu terhadap hati yang terpaut dengan selain-Nya, sehingga Dia menghalangimu dari hal itu, agar mengembalikanmu kepada-Nya.” Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan ini? الإجابــة الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد: فلم نقف على هذا الكلام للإمام الشافعي .لكن ذكر نحوه بعض العلماء. قال ابن الجوزي: رأيت نفسي تأنس بخلطاء نسميهم أصدقاء، فبحثت بالتجارب عنهم؛ فإذا أكثرهم حساد على النعم، وأعداء، لا يسترون زلة، ولا يعرفون لجليس حقا، ولا يواسون من مالهم صديقا. فتأملت الأمر؛ فإذا الحق سبحانه يغار على قلب المؤمن أن يجعل له شيئا يأنس به، فهو يكدر عليه الدنيا وأهلها، ليكون أنسه به. اهـ. من صيد الخاطر. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du: Kami belum menemukan bahwa ucapan itu berasal dari Imam asy-Syafi’i. Namun, ada beberapa ulama yang menyebutkan ucapan yang mirip dengannya. Ibnu al-Jauzi berkata: “Aku mendapati diriku merasa nyaman berinteraksi dengan para rekan yang kita sebut dengan sahabat. Aku pun melakukan pencermatan terhadap mereka; ternyata mayoritas mereka adalah para pendengki atas kenikmatan orang lain, musuh, tidak menutupi aib, tidak menunaikan hak teman, dan enggan menghibur teman dengan harta mereka. Aku pun mencermati fenomena ini, dan ternyata itu karena Allah cemburu terhadap hati seorang Mukmin jika Dia menjadikan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Oleh sebab itu, Allah membuat dunia dan para penghuninya tidak baik bagi seorang Mukmin, agar ia hanya merasa nyaman dengan-Nya.” (Kitab Shaid al-Khathir). وقال ابن القيم: والله سبحانه وتعالى يغار على قلب عبده أن يكون معطلا من حبه وخوفه ورجائه، وأن يكون فيه غيره فالله سبحانه وتعالى خلقه لنفسه، واختاره من بين خلقه؛ كما في الأثر الإلهي: ابن آدم خلقتك لنفسي، وخلقت كل شيء لك، فبحقي عليك لا تشتغل بما خلقته لك، عما خلقتك له. وفي أثر آخر: خلقتك لنفسي، فلا تلعب، وتكفلت لك برزقك فلا تتعب. يا ابن آدم اطلبني تجدني؛ فإن وجدتني وجدت كل شيء، وإن فتك فاتك كل شيء، وأنا خير لك من كل شيء. ويغار على لسانه أن يتعطل من ذكره ويشتغل بذكر غيره، ويغار على جوارحه أن تتعطل من طاعته وتشتغل بمعصيته. فيقبح بالعبد أن يغار مولاه الحق على قلبه ولسانه وجوارحه وهو لا يغار عليها. وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره، أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه. وإذا اشتغلت جوارحه بغير طاعته، ابتلاها بأنواع البلاء، وهذا من غيرته سبحانه وتعالى على عبده .اهـ. روضة المحبين. Ibnu al-Qayyim berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala cemburu jika hati hamba-Nya kosong dari kecintaan, rasa takut, dan harapan kepada-Nya, atau jika hati itu dipenuhi oleh selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-Nya untuk-Nya dan memilihnya di antara makhluk-Nya, sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan: ‘Wahai manusia! Aku menciptakanmu untuk diri-Ku dan Aku menciptakan segalanya untukmu! Maka sudah menjadi hak-Ku yang harus kamu tunaikan untuk tidak sibuk dengan apa yang telah Aku ciptakan untukmu dari tujuan Aku menciptakanmu.’  Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku menciptakanmu untuk diri-Ku, maka janganlah kamu bermain-main! Aku telah menjamin rezekimu, maka janganlah kamu berlelah-lelah! Wahai manusia! Carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan-Ku! Jika kamu telah mendapatkan-Ku maka kamu akan mendapatkan segalanya. Namun, jika aku melewatkanmu, maka terlewat juga segalanya darimu. Aku lebih baik bagimu daripada segalanya.’ Allah juga cemburu terhadap lisan hamba-Nya apabila berhenti dari menyebut-Nya dan sibuk menyebut selain-Nya. Dia cemburu terhadap anggota badan hamba-Nya jika berhenti dari menaati-Nya dan sibuk dengan kemaksiatan terhadap-Nya. Maka sungguh buruk sekali bagi seorang hamba jika Tuhannya Yang Maha Benar cemburu terhadap hati, lisan, dan anggota badannya; sedangkan ia sendiri tidak cemburu terhadap hal-hal itu. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya. Apabila anggota badannya sibuk dengan perkara selain ketaatan kepada-Nya, maka Allah akan menimpakan berbagai bentuk cobaan padanya. Ini merupakan bentuk kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya.” (Kitab Raudhah al-Muhibbin). وفي مدارج السالكين: وقال بعضهم: احذره، فإنه غيور، لا يحب أن يرى في قلب عبده سواه. ومن غيرته: أن صفيه آدم لما ساكن بقلبه الجنة، وحرص على الخلود فيها أخرجه منها، ومن غيرته سبحانه: أن إبراهيم خليله لما أخذ إسماعيل شعبة من قلبه أمره بذبحه، حتى يخرج من قلبه ذلك المزاحم. اهـ. Adapun dalam kitab Madarij as-Salikin disebutkan, “Seorang ulama berkata, ‘Berhati-hatilah kepada Allah, karena Dia pencemburu; tidak suka melihat selain-Nya dalam hati hamba-Nya. Di antara bentuk kecemburuan-Nya; ketika dalam hati manusia pilihan-Nya, Adam terdapat kecintaan terhadap surga dan menginginkan kekekalan di dalamnya, Allah mengeluarkannya dari surga. Di antara kecemburuan-Nya juga, bahwa kekasih-Nya, Ibrahim, ketika sebagian hatinya terpaut dengan Ismail; Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, agar pendua itu dapat keluar dari hatinya.’” وأما قولك: (وما حكم قول إن الله تعالى أخذ يوسف -عليه السلام- من أبيه -عليه السلام-؛ لأن يعقوب -عليه السلام- كان متعلقا بيوسف -عليه السلام-). فلم نقف على ذكر مثل هذا عند أحد من العلماء، وينبغي الإمساك عنه؛ لما فيه من نوع رجم بالغيب، وخوض فيه دون بينة، ولما فيه من الجرأة على مقام الأنبياء. وقد جاء في تفسير الألوسي: وقد قضى الله تعالى على يعقوب ويوسف أن يوصل إليهما تلك الغموم الشديدة، والهموم العظيمة ليصبرا على مرارتها ويكثر رجوعهما إلى الله تعالى، وينقطع تعلق فكرهما عما سوى الله تعالى؛ فيصلا الى درجة عالية لا يمكن الوصول إليها الا بتحمل المحن العظيمة. اهـ. Adapun pertanyaan Anda: Juga apa hukum ucapan bahwa Allah Ta’ala mengambil Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari ayahnya, Ya’qub ‘alaihissalam, karena dulu Ya’qub ‘alaihissalam sangat cinta kepada Yusuf ‘alaihissalam? Kami belum menemukan satu pun ulama yang mengucapkan ucapan seperti ini, sehingga sebaiknya dihindari; sebab di dalamnya terdapat suatu bentuk menebak-nebak hal gaib dan membicarakan hal gaib tanpa bukti. Di dalamnya juga terdapat suatu bentuk kelancangan terhadap kedudukan para Nabi.  Dalam tafsir al-Alusi disebutkan, “Allah Ta’ala telah menetapkan bagi Ya’qub and Yusuf untuk memberikan mereka berdua ujian-ujian berat dan cobaan-cobaan besar agar mereka bersabar atas kepahitannya, semakin tekun berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan pikiran mereka terputus dari keterpautan dengan selain Allah Ta’ala; sehingga mereka dapat mencapai derajat tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh orang yang menanggung ujian-ujian besar.” وأما قولك:( وهناك من رد وقال: هل يعقل أن الله تعالى يكسر قلوب عباده على أحبتهم، لمجرد التعلق حاشاه.) فهذا اعتراض لا معنى له، فإن الله يبتلي عباده بما يشاء. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ {الأنبياء:23}. وتعلق القلب بغير الله قد يبلغ أن يكون معصية قلبية تستوجب العقوبة، وهذه العقوبة قد تكون خيرا للعبد من وجه آخر، فتُكفَّر بها من سيئاته، وقد تكون سببا في رجوع قلبه إلى الله. كما تقدم قول ابن القيم: وإذا أراد الله بعبده خيرا سلط على قلبه إذا أعرض عنه واشتغل بحب غيره أنواع العذاب حتى يرجع قلبه إليه .اهـ. Sedangkan pertanyaan Anda: Ada juga orang yang mengingkari ucapan seperti itu dengan berkata, “Apakah masuk akal jika Allah Ta’ala menghancurkan hati para hamba-Nya yang mencintai para kekasih mereka hanya karena keterpautan itu?! Sungguh tidak mungkin!” Ini merupakan bantahan yang tidak ada gunanya, karena Allah akan menguji para hamba-Nya dengan apa yang Dia kehendaki. “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya: 23). Keterpautan hati dengan selain Allah terkadang sampai menjadi kemaksiatan hati yang membuatnya harus mendapat balasan; dan balasan ini bisa jadi merupakan hal yang baik bagi seorang hamba jika dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga dengan balasan itu, dosa-dosanya dihapuskan. Dan terkadang juga menjadi sebab hatinya kembali kepada Allah. Sebagaimana yang telah disebutkan dari ucapan Ibnu al-Qayyim, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menimpakan berbagai bentuk siksaan jika ia berpaling dari-Nya dan sibuk dengan kecintaan kepada selain-Nya, agar hatinya kembali kepada-Nya.” وقد يكون الابتلاء زيادة في ثوابه ورفعة لدرجاته. قال ابن تيمية: ونظير ذلك المصائب المقدرة في النفس والأهل والمال؛ فإنها تارة تكون كفارة وطهورا، وتارة تكون زيادة في الثواب وعلوا في الدرجات، وتارة تكون عقابا وانتقاما. اهـ. من الصارم المسلول. والله أعلم. Terkadang ujian itu juga menjadi penambah pahalanya dan peningkat derajatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Yang serupa dengan hal itu, musibah-musibah yang ditakdirkan menimpa jiwa, keluarga, dan harta; itu semua terkadang menjadi penghapus dosa dan penyuci jiwa, terkadang menjadi penambah pahala dan peningkat derajat, dan terkadang pula menjadi siksaan dan balasan baginya.” Wallahu a’lam. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/422686/غيرة-الله-على-قلب-المؤمن-أن-يتعلق-بغيرهPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 752 times, 3 visit(s) today Post Views: 456 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung

Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 2): Nikmat Allah Tidak Bisa Terhitung

Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.
Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.


Nikmat yang Allah berikan kepada manusia sangatlah banyak dan tidak terhingga. Betapa banyak yang telah manusia terima, seperti: badan yang sehat, tempat tinggal yang nyaman, pakaian yang menutupi tubuh, makan dan minum yang senantiasa ada, dan ladang yang bisa dimanfaatkan. Itu semua nikmat yang nampak dan masih banyak nikmat yang lainnya. Nikmat yang tidak nampak juga banyak. Seperti: organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik dan normal, kesehatan badan, ketenangan hati, dan masih banyak yang lainnya. Nikmat Allah ‘Azza Wajalla sudah terlampau banyak dan sampai-sampai tidak bisa terhitung jumlahnya. Namun, dengan begitu banyaknya nikmat yang telah manusia terima, justru tidak menyadari akan besarnya nikmat yang Allah berikan. Manusia lalai dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah salah satu bukti kasih sayang Allah ‘Azza Wajalla kepada manusia. Allah berfirman, وَمَا بِكُم مِّن نّـِعمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ​ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيهِ تَجْئَرُونَ​ۚ‏ “Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [1] Syekh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini di kitabnya, “Dan apa saja nikmat yang ada padamu (nikmat lahiriah ataupun batiniah), maka dari Allahlah (datangnya), tiada seorang pun yang menyertai Allah di dalamnya.” [2] Semua nikmat yang manusia dapatkan, semuanya berasal dari Allah ‘Azza Wajalla. Sungguh, apabila manusia diminta untuk menghitung nikmat Allah ‘Azza Wajalla, niscaya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Allah menyampaikan di awal-awal surah An-Nahl tentang nikmat, di antaranya: hewan ternak, turunnya air hujan, tumbuhnya tanam-tanaman, bagaimana siang dan malam berganti, adanya laut yang di dalamnya terdapat banyak karunia Allah, adanya gunung-gunung yang Allah jadikan pasak agar bumi tidak bergoncang, dan adanya bintang yang Allah jadikan sebagai penunjuk arah ketika di malam hari. Setelah Allah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah berfirman, وَاِن تَعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُورٌ رَّحِيمٌ‏ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [3] Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut untuk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintahkan untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu saja bisa dan itu bukan tanda Allah itu berbuat zalim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.” [4] Syekh As-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan ayat ini di kitab tafsirnya, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah” menghitung jumlahnya tanpa disertai rasa syukur, “niscaya kamu akan tidak dapat menentukan jumlahnya” apalagi bila (tergerak) untuk mensyukurinya. Sungguh, nikmat-nikmat-Nya yang lahiriah dan batiniah bagi hamba-hamba-Nya adalah sebanyak jumlah tarikan nafas dan detik-detik waktu dari segala macam kenikmatan, yang diketahui oleh mereka dan yang tidak mereka ketahui. Dan keburukan-keburukan yang telah Allah singkirkan dari mereka, maka terlalu banyak bila akan diperhitungkan. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dia rida dengan rasa syukur kalian yang sedikit, meskipun curahan nikmat-Nya sangat banyak.” [5] Banyak di antara manusia yang ada di muka bumi ini lalai akan nikmat yang Allah berikan. Banyak yang tidak mensyukuri nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Kalaupun manusia bersyukur, niscaya rasa syukurnya pun kurang dan tidak akan sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan, ada di antara manusia yang menggunakan nikmat-nikmat tersebut di atas kemaksiatan yang mereka lakukan. Allah menjelaskan tentang tabiat manusia di dalam Al Qur’an dan berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَــُوسًا‏ “Dan apabila Kami berikan kesenangan pada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” [6] Allah ‘Azza Wajalla juga berfirman, وَاِذَاۤ اَنعَمنَا عَلَى الاِنسَانِ اَعرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِه​ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ‏ “Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong) tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka dia banyak berdoa.” [7] Dua ayat ini menggambarkan dua sikap manusia ketika mendapatkan nikmat Allah ‘Azza Wajalla. Ketika mendapatkan nikmat, manusia lupa dan lalai seakan-akan seperti ‘kacang lupa kulitnya’. Mereka bersenang-senang dan berhura-hura dengan nikmat tersebut. Manusia lupa kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah ‘Azza Wajalla. Namun, ketika Allah cabut nikmat tersebut, kemudian manusia ditimpa musibah, ditimpa kesulitan, ditimpa kekurangan, mereka mengeluh, mereka berputus asa, dan kemudian baru mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak doa dan meminta agar nikmat itu datang kembali. Inilah tabiat manusia yang sebenarnya. Ketika mendapatkan kesulitan dia berdoa dan meminta kepada Allah, namun ketika dikabulkan oleh Allah, mereka melupakan Allah. Bahkan, ada segolongan manusia yang ketika mendapatkan nikmat, mereka menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah atau menganggap nikmat tersebut didapat karena kepintaran atau usaha mereka sendiri. Allah berfirman tentang hal ini, فَإِذَا مَسَّ ٱلإِنسَٰنَ ضُرّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلنَٰهُ نِعمَة مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلمِ بَل هِيَ فِتنَة وَلَٰكِنَّ أَكثَرَهُم لَا يَعلَمُونَ “Maka, apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami berikan nikmat dari Kami kepadanya, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [8] Semoga kita semua terhindar dari sikap sombong sebagaimana yang digambarkan pada ayat terakhir di atas. Sesungguhnya semua nikmat yang selama ini kita peroleh datangnya hanya dari Allah ‘Azza Wajalla. Sikap yang paling utama dan seharusnya dilakukan oleh seorang hamba adalah memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menggunakan semua nikmat tersebut di atas kebaikan dan amal saleh. Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Kembali ke bagian 1 *** Diselesaikan di Jember, 17 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. An-Nahl: 53. [2] Taisiru Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, hal. 507 dengan diringkas. [3] QS. An-Nahl: 18. [4] Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, hal. 484. [5] Op.cit, hal. 500. [6] QS. Al-Isra: 83. [7] QS. Fussilat: 51. [8] QS. Az Zumar: 49.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.


Daftar Isi Toggle Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezalimanPengertian zalimKezaliman dalam muamalahDalil Al-Qur’anDalil As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman Pengertian zalim Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1] Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat yang khusus baginya, baik dengan mengurangi atau menambah, baik dengan melampaui waktu atau tempatnya.” Adapun definisi zalim menurut syariat adalah melakukan perkara yang dilarang atau meninggalkan kewajiban. Semua yang melampaui batasan syariat adalah kezaliman yang terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2] Kezaliman dalam muamalah Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya adil dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan bersama mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3] Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25) Untuk menguatkan wajibnya berbuat adil dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا “Waha hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577) Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak halal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8) Hal ini karena kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah kewajiban dan ketaatan yang paling wajib dan paling ditekankan. [7] Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan memakan harta orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan syariat yang paling penting dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu kaidah syariat yang paling dan paling penting agung dalam bab muamalah. [8] Dalil Al-Qur’an Terdapat banyak dalil dari syariat yang memerintahkan berbuat adil, melarang berbuat zalim, dan melarang memakan harta orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman, وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ “Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak, karena semua yang Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9] Dalil As-Sunah Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil yang menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679) Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak halal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan alasan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554) Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ “Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564) Dalil ijmak Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ulama tentang haramnya mengambil harta orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10] Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua bentuk yang dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, syariat mengharamkan riba dan maisir (perjudian), karena mengandung kezaliman dan memakan harta orang lain secara batil. Demikian pula, syariat banyak melarang bentuk jual beli tertentu, karena mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah menurut standar harga pasar), ghisy (penipuan), dan bentuk jual beli lainnya. [12] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur kezaliman, baik zalim terhadap individu tertentu atau masyarakat secara umum. [13] Contoh pertama, jual beli barang yang diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi atau yang mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok. Contoh kedua, jual beli barang secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual dan pembeli, harus saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 29 yang telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa bentuk jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Misalnya, seorang hakim (qadhi) yang memerintahkan orang yang jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya yang akan digunakan untuk proyek fasilitas umum, seperti jalan raya, rumah sakit, atau yang lainnya. Contoh ketiga, jual beli yang mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan atau takaran; penjual menyembunyikan cacat (aib) barang yang dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual barang tiruan atau melanggar hak cipta). Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari distributor (pemasok), kemudian ditimbun sampai barang tersebut menjadi langka pasaran. Ketika barang menjadi langka, tentu harga barang tersebut akan naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak karena menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ “Ihtikar tidaklah dilakukan kecuali seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605) Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi akan menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar karena anggaran yang dikorupsi. [Bersambung] Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3 *** @16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373. [2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333. [3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263. [4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240. [5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36. [6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293. [7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157. [10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67. [11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157. [12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196. [13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah

Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.

Perhatian Terhadap Ilmu Syar’i Merupakan Salah Satu Ciri Dakwah Ahli Sunah

Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.
Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.


Daftar Isi Toggle Perhatian terhadap ilmu syar’iIlmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Perhatian terhadap ilmu syar’i Sekarang ini perhatian orang-orang terhadap ilmu syar’i mulai menurun. Bahkan, sebagian dari kelompok Islam tidaklah mengisi kegiatan mereka dengan menuntut ilmu syar’i. Parahnya sebagian dari mereka dalam kegiatan pengajiannya dan semisalnya hanya berisi hiburan dan komedi semata. Hal tersebut berbeda jauh dengan ciri ahli sunah. Dakwah ahli sunah yang sejati senantiasa menjaga agar tetap terjaganya ilmu syar’i, perhatian terhadap ilmu syar’i dengan perhatian yang besar. Karena ilmu syar’i merupakan pondasi dan asas yang kokoh bagi kaum muslimin. Tidak mungkin bisa seorang muslim bisa baik keadaanya tanpa mengetahui ilmu syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu sebelum beramal, sebagaimana dalam firman Allah, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, baik laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Memahami ilmu syar’i juga merupakan hal yang penting dan merupakan pondasi kita untuk bisa berjalan di atas jalan yang benar. Karena banyaknya jalan yang simpang siur di dunia ini yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah, وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۚ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ “Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153) Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Dawud) Dari dalil di atas, bisa kita ketahui bahwa jalan-jalan yang ada di dunia ini banyak sekali. Akan tetapi, tidak ada jalan yang benar, kecuali jalan di atas sunah. Hal tersebut tentu tidak bisa kita ketahui, kecuali dengan berilmu. Ilmu yang benar bisa membantu kita untuk mengungkap hakikat jalan-jalan yang ada dan membimbing kita menuju jalan yang benar. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِۗ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْۗ وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bukti yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.’ ” (QS. Yusuf: 108) Maksud dari  (عَلٰى بَصِيْرَةٍ) pada ayat di atas adalah di atas petunjuk dan dalil yang keduanya merupakan ilmu syar’i. Memahami ilmu syar’i merupakan wasilah (sarana) agar kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Tidak mungkin tidak seseorang bisa mengetahui kebenaran tanpa adanya ilmu. Maka dari itu, menuntut ilmu merupakan perkara yang wajib yang harus diberikan perhatian yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan, dan emas ke leher babi.” (HR. Ibnu Majah) Selain itu, paham ilmu syar’i merupakan salah satu tanda bahwa kita merupakan orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik, maka Allah akan pahamkan agama kepadanya.” (HR. Bukhari) Saking pentingnya ilmu syar’i, Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa ilmu lebih penting dari makan dan minum. Beliau rahimahullahu berkata, الناس إلى تعلم العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب؛ لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه “Manusia lebih butuh terhadap mempelajari ilmu daripada makan dan minum. Dikarenakan seseorang butuh pada makan dan minum dalam satu hari hanya sekali atau dua kali saja. (Sedangkan) kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu pada setiap hembusan nafasnya.” Bahkan, Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu syar’i lebih dicintai dari ibadah sunah lainnya. Beliau rahimahullahu berkata, تَعَلُّم العلم وتعليمه أفضل من الجهاد وغيره مما يتطوع به “Belajar dan mengajarkan ilmu lebih utama dibandingkan jihad dan ibadah sunah lainnya.” Mengapa ilmu syar’i lebih penting dibandingkan dengan amalan sunah? Tentu karena hanya dengan ilmulah, kita bisa beramal dengan amalan yang benar di atas jalan yang benar. Selain itu, thalabul ilmi juga merupakan perkara yang wajib bagi seorang muslim sebagaimana hadis yang telah disebutkan. Maka dari itu, belajar dan mengajarkan ilmu syar’i lebih utama dibandingkan melakukan amalan yang sunah. Baca juga: Kelezatan Ilmu Syar’i (Ilmu Agama) Vs. Konser Musik Ilmu apa yang perlu diperhatikan agar kita pelajari? Setelah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaan menuntut ilmu, selanjutnya kita harus tahu ilmu apa yang seharusnya perlu menjadi perhatian kita agar dipelajari. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan dalam matan Ushul Tsalasah, اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ :المسألة الأُولَى: الْعِلْمُ: وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَعْرِفَةُ دِينِ الإِسْلامِ بالأَدِلَّةِ “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya wajib bagi kita untuk mengetahui empat perkara. Perkara yang pertama: Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalilnya….” Maka, ilmu yang paling awal harus kita pelajari tentu ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam. Bisa dikatakan juga ilmu yang membuat seseorang bisa berdiri di atas Islam. Ilmu yang paling utama agar seseorang bisa berdiri di atas agama Islam adalah tauhid sebagaimana perintah Allah ‘Azza Wajalla. Ia berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Setelah mempelajari tauhid dan dasar-dasar iman, ilmu apalagi yang penting jadi perhatian? Imam Ahmad rahimahullah berkata, يجب أن يطلب من العلم ما يقوم به دينه؛ قيل له مثل أي شيء؟ قال الذي لا يَسَعُه جهله؛ صلاته، وصيامه ونحو ذلك “Wajib untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya.” Ditanyakan padanya, “Semisal apa saja?” Ia menjawab, “Ilmu yang ketidaktahuannya tidak bisa membantunya, seperti salatnya, puasanya, dan semisalnya.” Maka, yang wajib menjadi perhatian bagi seorang muslim adalah ilmu yang membuatnya bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan juga yang menjaganya agar bisa menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sehingga, keadaan setiap orang berbeda-beda, seorang pedagang wajib mempelajari fikih jual beli, seorang petani dan peternak harus tahu seputar hukum zakat pertanian dan peternakan, dan semisalnya. Lalu bagaimanakah cara menuntut ilmu yang baik? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naml: 43) Maka, menuntut ilmu yang baik adalah bertanya kepada seorang ulama atau guru. Merupakan hal yang kurang baik ketika seseorang menuntut ilmu hanya mengandalkan buku semata tanpa guru yang membimbing. Pentingnya ilmu syar’i ini menyebabkan perlunya kita untuk perhatian terhadap ilmu. Jangan sampai kita terlena dengan dunia dan meninggalkan ilmu syar’i. Karena dengan ilmu, kita bisa berjalan di atas jalan yang benar, bukan di atas jalan-jalan orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Setelah kita mempelajari ilmu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan tentunya adalah mengamalkannya. Jangan sampai kita menjadi orang yang dimurkai Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf: 2-3) Baca juga: Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Kitab Ushulud Dakwatis Salafiyah, karya Syekh Abdullah bin Barjas.
Prev     Next