Kamu Posting Apa Hari Ini? Bisa Jadi Pahala Abadi atau Dosa Tak Berhenti?

Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى

Kamu Posting Apa Hari Ini? Bisa Jadi Pahala Abadi atau Dosa Tak Berhenti?

Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى
Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى


Demi Allah, wahai hamba Allah, demi Allah, seluruh dunia ini akan berlalu. Manisnya akan berlalu, pahitnya berlalu, kesenangannya berlalu, kesedihannya pun berlalu. Adakah kalian mengetahui sesuatu dari dunia ini yang akan tetap abadi? Demi Allah, tidak ada yang tersisa! Namun, yang tersisa hanyalah apa yang tercatat (di buku catatan amal). “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan…” (QS. Yasin: 12) Benar, apa yang engkau lakukan hari ini, akan engkau pertanggungjawabkan di hari esok. Apa yang engkau ucapkan hari ini, engkau pertanggungjawabkan di hari esok. “…dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12) — apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas mereka itu? Ada dua bentuk bekas-bekas peninggalan: Langkah-langkahmu menuju masjid — itu adalah bekas-bekas peninggalanmu yang dicatat sebagai pahala untukmu. Langkahmu menuju tempat yang di dalamnya ada maksiat kepada Allah — itu pun adalah bekas-bekas peninggalanmu, dan akan dicatat sebagai dosa atasmu. Langkah-langkah yang engkau ayunkan ini tidak akan lenyap begitu saja. Jika engkau melangkah menuju amalan wajib, engkau akan mendapat pahalanya. Jika engkau melangkah menuju amalan sunah, engkau akan mendapat pahalanya dan dicatat untukmu. Namun jika engkau melangkah menuju amalan haram, engkau akan mendapatkan dosanya, dan engkau bisa dihukum karenanya, jika Allah menghendaki untuk menghukummu. Itu akan dicatat sebagai dosa atasmu. Bekas-bekas peninggalan kedua adalah apa yang engkau tinggalkan untuk orang lain. Seperti buku-buku. Jika isinya kebaikan, maka itu menjadi pahala untukmu. Namun jika isinya keburukan, maka dosanya akan kembali kepadamu. Apa yang engkau tulis hari ini di perangkat-perangkat (gadget) ini dan engkau sebarkan kepada orang-orang, itu termasuk bagian dari bekas-bekas peninggalanmu. Ketika engkau meninggal dunia, bekas-bekas itu tetap ada. ==== وَاللَّهِ يَا عَبْدَ اللَّهِ وَاللَّهِ الدُّنْيَا كُلُّهَا تَمُرُّ حُلْوُهَا يَمُرُّ مُرُّهَا يَمُرُّ لَذَّتُهَا تَمُرُّ حُزْنُهَا يَمُرُّ هَلْ تَعْلَمُونَ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا يَبْقَى؟ لَا وَاللَّهِ لَا يَبْقَى وَلَكِنَّ الَّذِي يَبْقَى مَا كُتِبَ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا نَعَمْ الَّذِي تَعْمَلُهُ اليَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ الَّذِي تَقُولُهُ الْيَوْمَ تُقَدِّمُهُ لِلْغَدِ وَآثَارَهُمْ مَا هِيَ آثَارُهُمْ؟ أَمْرَانِ الْخُطْوَاتُ خُطْوَاتُكَ إِلَى الْمَسَاجِدِ آثَارُكَ تُكْتَبُ لَكَ خُطْوَاتُكَ إِلَى أَمَاكِنَ يُعْصَى فِيهَا اللَّهُ آثَارُكَ تُكْتَبُ عَلَيْكَ هَذِهِ الْخُطْوَاتُ الَّتِي تَمْشِيهَا لَا تَذْهَبُ عَبَثًا إِنْ مَشَيْتَ إِلَى وَاجِبٍ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى مُسْتَحَبٍّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا وَكُتِبَتْ لَكَ وَإِنْ مَشَيْتَ إِلَى حَرَامٍ تَأْثَمُ بِهَا وَتُعَاقَبُ بِهَا إِنْ شَاءَ رَبُّكَ أَنْ يُعَاقِبَكَ وَتُكْتَبُ عَلَيْكَ وَالْآثَارُ الْأَمْرُ الثَّانِي مِنَ الْآثَارِ مَا تُخَلِّفُهُ فِي النَّاسِ مِنْ كُتُبٍ إِنْ كَانَتْ خَيْرًا فَلَكَ وَإِنْ كَانَتْ شَرًّا فَعَلَيْكَ مَا تَكْتُبُهُ الْيَوْمَ فِي هَذِهِ الْأَجْهِزَةِ وَتَنْشُرُهُ عَلَى النَّاسِ مِنْ آثَارِكَ تَمُوتُ وَيَبْقَى

Jika Hewan Kurban Disembelih Sebelum Shahibul Qurban Salat Iduladha karena Perbedaan Zona Waktu

Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id

Jika Hewan Kurban Disembelih Sebelum Shahibul Qurban Salat Iduladha karena Perbedaan Zona Waktu

Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id
Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id


Terdapat satu permasalahan yang seringkali ditanyakan terkait waktu penyembelihan hewan kurban. Ada salah seorang shahibul qurban yang sedang tinggal di Eropa, dan ingin berkurban di Indonesia. Perbedaan waktu antara keduanya adalah 5 jam, jika di Eropa jam 6 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11 siang. Jika hewan kurban disembelih di Indonesia jam 8 pagi setelah salat Iduladha, itu masih jam 3 pagi di Eropa, sehingga shahibul qurban belum melaksanakan salat Iduladha. Apakah kurban tetap sah?Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Shalih Al-Munajjid,“Setiap orang yang mewakilkan kepada temannya untuk menyembelihkan hewan kurban atas namanya —misalnya seekor kambing— kemudian dia (yang diwakilkan atau shahibul qurban, disebut “al-muwakkil”, pent.) bepergian ke negeri yang waktu Iduladhanya berbeda dengan negeri orang yang mewakilkan. Apakah orang tersebut (disebut “wakiil”) boleh menyembelih hewan kurban dari orang yang mewakilkan (al-muwakkil) pada hari Iduladha (di daerah asalnya), jika Iduladha di negeri orang yang mewakilkan lebih lambat satu hari?”Jawaban beliau,يجوز للمسلم أن يوكل غيره من المسلمين بأن ينوب عنه في ذبح الأضحية. وقد ثبت أن الأضحية لها وقت محدود لذبحها لا يخرج عنه. وإذا اختلفت المواقيت بين بلد الوكيل والموكل، فالعبرة في ذلك ببلد الوكيل“Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakilkan orang lain dari kalangan muslim untuk menggantikan dirinya dalam menyembelih hewan kurban. Telah terbukti bahwa kurban memiliki waktu tertentu untuk disembelih dan tidak boleh keluar dari waktu tersebut. Jika terjadi perbedaan waktu antara negara wakiil dan negara orang yang mewakilkan (al-muwakkil), maka yang dijadikan acuan adalah waktu di negara wakiil.”Fatwa tersebut dapat disimak di tautan ini.Juga terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Syekh Dr. Nuh Ali Salman rahimahullah -mufti Yordania-, “Apa hukum menyembelih hewan kurban di luar dari negeri tempat tinggal orang yang berkurban?”Jawaban beliau rahimahullah,“Segala puji bagi Allah, serta selawat dan salam atas junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:Pertama: Kurban hukumnya sunah bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya pada hari raya Iduladha dan tiga hari tasyrik, sesuai dengan kondisi sosial, kesehatan, dan hal-hal lain yang diperhitungkan di kalangan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap mewakili seluruh keluarganya. Namun, pahala hanya diperoleh oleh orang yang berkurban, jika ia menyembelih satu ekor kambing. Berdasarkan hal ini, orang yang fakir tidak dibebani untuk berkurban.Kedua: Seorang muslim boleh mewakilkan orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya di negeri lain, selain tempat di mana dia tinggal. Akan tetapi, penyembelihan harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan secara syar’i, yaitu setelah salat Id sampai akhir hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). Patokan waktu yang digunakan adalah waktu di tempat penyembelihan, bukan di tempat tinggal orang yang mewakilkan.Ketiga: Wajib memberikan sebagian daging kurban kepada fakir miskin. Disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian darinya, dan boleh juga memberikan hadiah kepada siapa saja dari kalangan kaum muslimin. Semakin besar bagian yang diberikan kepada fakir miskin, semakin besar pula pahalanya. Umumnya, kaum muslimin membagi kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk dimakan sendiri. Tidak ada perbedaan dalam pembagian ini, baik dilakukan di negeri tempat tinggal orang yang berkurban maupun di negeri lain.Keempat: Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban. Semuanya harus dibagikan sebagaimana telah dijelaskan, dan tukang jagal pun tidak boleh diberi upah dari bagian kurban, melainkan dari harta lain.Kesimpulan, diperbolehkan menyembelih hewan kurban untuk seseorang di luar negeri tempat tinggalnya, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i yang telah disebutkan.”Fatwa beliau dapat disimak di tautan ini.Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi patokan waktu adalah tempat hewan kurban tersebut disembelih, bukan daerah tinggal shahibul qurban. Sehingga apabila hewan kurban telah disembelih di daerah lain setelah salat Iduladha di daerah tersebut dilaksanakan, maka sah sebagai hewan kurban. Meskipun shahibul qurban belum menunaikan salat Iduladha karena dia tinggal di negeri dengan zona waktu lebih lambat dibandingkan tempat hewan kurbannya disembelih. Wallahu Ta’ala a’lam.Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban***@Unayzah, KSA; 1 Zulhijah 1446/ 28 Mei 2025Penulis: M. Saifudin HakimArtikel Muslim.or.id

Penyemangat Terbesar untuk Beribadah

أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 440 times, 1 visit(s) today Post Views: 365 QRIS donasi Yufid

Penyemangat Terbesar untuk Beribadah

أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 440 times, 1 visit(s) today Post Views: 365 QRIS donasi Yufid
أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 440 times, 1 visit(s) today Post Views: 365 QRIS donasi Yufid


أعظم محفِّز على العبادة Oleh: Amir al-Khumaisi عامر الخميسي تأملتُ فإذا أكثر حافزٍ على العبادةِ وتذوُّق حلاوتها هو استشعار معنى الشكرِ أثناء تأديتها والقيام بها، وهذا المعنى كفيلٌ بأن يغيِّر نظرتك للعبادة، ويفتح لك فيها آفاقًا رحبة واسعة، وهو معنى عظيم القدر، واسع الدلالة، ويكفيك أن عائشة رضي الله عنها رَوَتْ: ((أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟)) Saya melakukan pencermatan, dan ternyata penyemangat terbesar untuk beribadah dan menikmati manisnya ibadah adalah dengan menghadirkan makna rasa syukur ketika melaksanakan ibadah. Makna rasa syukur telah cukup untuk mengubah pandanganmu terhadap ibadah dan membukakan untukmu ufuk-ufuk yang luas dalam ibadah. Makna syukur ini punya kedudukan yang agung dan kandungan yang luas. Cukuplah bagimu bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقوم من الليل حتى تتفطر قدماه، فقلتُ له: لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ قال: أفلا أحبُّ أن أكونَ عبدًا شكورًا؟ “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Shalat Malam hingga kedua kaki beliau bengkak, lalu aku pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?!’” نعم، إن وقوفه طويلٌ، ومداومته على الصلاة، وصبره على مقاساة الوقوف؛ ليكون شاكرًا لله تعالى، فما أعظمه وأجلَّه وأفضله وأكمله وأزكاه من معنى يحلق بالعابد كالطير غريدًا في سماء العبودية Benar! Lamanya beliau berdiri, konsistensi beliau dalam shalat, dan kesabaran beliau dalam menahan letihnya berdiri, itu semua agar beliau menjadi orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala! Sungguh betapa agung, besar, mulia, sempurna, dan suci makna syukur ini, yang membuat seorang hamba melayang seperti burung yang berkicau di langit penghambaan! قد يستحضر العبد الرغبة في الثواب أو النجاة من العقاب، لكن ما مثل استحضار معنى الشكر، فمن أسدى إليك نعمة ولو يسيرة، فكيف تشعر بالامتنان له؟ فما بالك بصاحب النعم كلها عليك قديمها وحديثها، كبيرها وصغيرها؟ فهو معنى عظيم يحفزك للطاعة، ويدفعك لها، فما أروعك وأنت تقف في محراب العبودية شاكرًا الله على آلائه الجسيمة، ونِعَمِهِ العظيمة، وعطاياه العميمة! فنِعَمه لا تعد ولا تحصى، فمن نعمة الصحة والعافية إلى نعمة المال والأهل والولد، إلى نعمة العقل، إلى أعظم نعمة وأجل كرامة؛ وهي نعمة الإسلام، ومن ثم نعمة الهداية إلى الإيمان، وفي كل نعمة تفاصيل مدهشة ومعانٍ منعشة Mungkin seorang hamba akan teringat tentang harapan untuk mendapat pahala atau keselamatan dari siksa ketika beribadah. Namun, pengaruh yang ditimbulkan tidak sebesar pengaruh dari kesadaran tentang makna syukur. Ketika ada orang yang memberi kenikmatan kepadamu, meskipun sedikit, bagaimana perasaanmu tentang jasanya kepadamu? Lalu bagaimana lagi dengan Dzat yang melimpahkan segala kenikmatan kepadamu, baik itu yang terdahulu maupun yang sekarang, dan yang kecil maupun yang besar?! Sungguh ini adalah makna agung yang dapat menyemangatimu untuk berbuat ketaatan dan mendorongmu kepadanya. Betapa indahnya ketika kamu berdiri beribadah di Mihrab Penghambaan sebagai bentuk rasa syukurmu kepada Allah atas segala kenikmatan-Nya yang begitu besar, karunia-karunia-Nya yang begitu agung, dan pemberian-pemberian-Nya yang begitu luas! Nikmat-nikmat dari-Nya tidak dapat dihitung dan tidak terbilang, mulai dari nikmat kesehatan dan keselamatan, nikmat harta, pasangan, dan keturunan, nikmat akal pikiran, hingga nikmat terbesar dan teragung, yaitu nikmat Islam, juga nikmat hidayah yang menuntun kepada keimanan. Lalu setiap nikmat juga punya rinciannya yang begitu detail dan kandungannya yang begitu mencengangkan. إن هذا الحديث له نكهةٌ خاصةٌ جديرة بالتأمل، والنبي صلى الله عليه وسلم كان أتقى الناس، وأعبدهم لله، وأدومهم على الطاعة، ومن هنا تَلمَح سرَّ الحافز له على تكليف نفسه في أدائها، والدافع له في الاستمرار عليها، رغم ما يحصل له أثناءها Hadits ini punya cita rasa tersendiri yang layak untuk dicermati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling bertakwa, paling ahli dalam ibadah kepada Allah, dan paling konsisten dalam ketaatan. Lalu dalam hadits ini tersirat rahasia semangat Beliau dalam menjalankan semua itu dan dorongan Beliau untuk tetap berkonsisten di atasnya, meskipun mengalami bengkak pada kakinya saat melakukannya. ولتعلم أن استشعار هذا المعنى في العبادة، والاستمرار على تذكره يقلبُ مشقتها إلى حلاوة، وعناءها إلى هناء، وتعبها إلى راحة، وقليل من يستشعر هذا المعنى؛ ألم تقرأ قوله تعالى: ﴿ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾ [سبأ: 13]، وخصَّ بالذكر عباده، ولم يقل: الناس أو الخلق، فالشاكرون خيار من خيار، وقليل من قليل، وهم خواص الخواص، وخُلص الخُلص Ketahuilah bahwa menghadirkan makna syukur dalam ibadah dan terus mengingatnya dapat mengubah kesulitan ibadah menjadi kenikmatan, kesukarannya menjadi kenyamanan, dan keletihannya menjadi kedamaian. Namun, sedikit orang yang merasakan makna syukur ini. bukankah kamu telah membaca firman Allah Ta’ala: وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  “…dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13). Dalam ayat ini, Allah secara khusus menyebutkan “hamba-hamba-Nya”, dan tidak berfirman menggunakan kalimat, “manusia” atau “makhluk”, karena mereka yang ahli bersyukur adalah orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan, orang-orang langka dari yang terlangka, orang-orang terkhusus dari yang khusus, dan orang-orang yang teristimewa dari yang istimewa. إذًا؛ ليس من غايات العبادة محو السيئات، وتحصيل الحسنات فقط، بل مَن عرَفَ نعم الله عليه، وكيف أنه مغمور بها، سينجذب قلبه، وتهفو روحه؛ لأن يعترف بهذا الإفضال، وينغمس في الشكر على هذا النوال، ولا يملك إلا أن ينقاد لله في عبادته معظمًا لجلاله، مكثرًا من كل عمل صالح يقربه منه شكرًا لربه، وإنَّ استشعار معنى الشكر أثناء تأدية العبادة مما يصفيها من الشوائب، وينقيها من الأكدار، وكما أن الله وصف به خواص خلقه، فقد جعله غاية خلقه، بل غايته من عبده؛ فقال: ﴿ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: 172]، ومن تأمله وجده مقابل الكفر؛ فقد قال سبحانه: ﴿ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152] Jadi, yang tidak termasuk tujuan ibadah adalah hanya sekadar untuk menghapus dosa-dosa dan meraih pahala, tapi orang yang mengerti nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya dan mengetahui bagaimana ia berenang di dalamnya, niscaya hatinya akan tergerak dan jiwanya akan bangkit untuk mengakui pemberian ini dan tenggelam dalam rasa syukur atas karunia tersebut. Ia tidak akan mampu untuk tidak taat kepada Allah dalam ibadah untuk mengagungkan keagungan-Nya dan memperbanyak amal saleh yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya demi menunaikan rasa syukur kepada-Nya. Menghadirkan makna syukur ketika menjalankan ibadah dapat membersihkan ibadah itu dari gangguan-gangguan yang dapat mengotorinya dan menyucikannya dari hal-hal yang membuatnya keruh.  Sebagaimana Allah telah menjadikan rasa syukur sebagai sifat dari makhluk-makhluk-Nya yang terkhusus, Allah juga menjadikan rasa syukur sebagai tujuan makhluk-Nya dan tujuan orang yang beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “…dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika memang hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Dan orang yang mencermati rasa syukur ini, ia akan mendapati bahwa rasa syukur merupakan kebalikan dari kekafiran. Allah Ta’ala berfirman: وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “…dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian ingkar (kafir) kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152). ومن تأمل ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم لعائشة رضي الله عنها عرف أن الشكر يكون أيضًا بالجوارح والأركان، لا باللسان فقط؛ ومن تأمل في قوله تَعَالَى: ﴿ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴾ [البقرة: 152]، عرف أن العبادة برمتها إما ذكرٌ أو شكرٌ، وأن الشكر مقرون بالإيمان؛ كما قال تعالى: ﴿ مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ﴾ [النساء: 147] Orang yang mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam hadits di atas), niscaya ia akan mengerti bahwa rasa syukur juga harus dituangkan dalam bentuk perbuatan anggota badan, bukan sekedar dengan lisan saja.  Orang yang mencermati firman Allah Ta’ala, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kalian ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152), niscaya akan mengetahui bahwa seluruh ibadah itu antara berupa zikir atau berupa syukur, dan syukur senantiasa bersanding dengan keimanan, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ “Allah tidak akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman…” (QS. An-Nisa: 147). وخذ لمحة عن نعم الله عليك التي لا بد أن تستحضر شكره عليها قبل صلاتك، وتخيَّل عدَّاد النعم التي تُعدُّ بالمليارات، بل لا يقدر الناس، ولو اجتمعوا على حصرها في جسد رجل واحدٍ منهم، ودنياك هذه مهما بَلغْت فيها، حتى وإن ملكتها لا تقدر أن تعطيك شَربة، أو تسهل لك خروجها، وتأمل معي موقفًا واحدًا فقط، فقد “دخلَ ابنُ السَّمَّاك عَلَى هَارُونَ الرَّشِيدِ، فَقَالَ لَهُ: عِظْنِي، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْمَاءُ سَاعَةً وَاحِدَةً كُنْتَ تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لَوْ مُنِعَ عَنْكَ الْبَوْلُ سَاعَةً وَاحِدَةً كنت تفتديها بِالدُّنْيَا وَمَا فِيهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! فَمَا تَصْنَعُ بِدُنْيَا لَا تَشْتَرِي بَوْلةً وَلَا شَرْبَةَ مَاءٍ؟” Lihatlah sejenak nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu yang harus kamu hadirkan rasa syukurnya sebelum shalatmu! Bayangkanlah jumlah kenikmatan yang mungkin bermiliar-miliar, dan bahkan tidak dapat dihitung oleh manusia, meskipun mereka berkumpul hanya untuk menghitung kenikmatan yang ada pada tubuh satu orang dari mereka. Juga kenikmatan dunia ini, meskipun kamu mempunyai kadar yang banyak darinya atau bahkan memiliki dunia sepenuhnya, niscaya tidak akan mampu memberimu seteguk air minum atau membantumu mengeluarkan air seni dari tubuhmu. Marilah kita merenungkan bersama satu kejadian berikut, suatu hari Ibnu as-Sammak masuk menemui Harun ar-Rasyid. Ia lalu berkata kepadanya, “Nasihatilah aku!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk minum beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak bertanya lagi, “Wahai Amirul Mukminin! Seandainya kamu dicegah untuk kencing beberapa waktu, apakah kamu rela menebusnya dengan dunia dan seisinya?” Harun ar-Rasyid menjawab, “Ya!” Ibnu as-Sammak lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang mau kamu perbuat terhadap dunia yang tidak dapat membeli air kencing dan seteguk air?!” هذا غير أعظم نعمةٍ على الإطلاق وهي نعمة الإسلام التي وفقك لها وأنعم بها عليك دون طلبٍ منك، فكيف لو استحضرت جلال هذه النعم أثناء كل عبادة تقربت بها إلى ربك؟ Ini belum berkaitan dengan nikmat terbesar secara mutlak, yaitu nikmat Islam yang Allah karuniakan kepadamu tanpa kamu memintanya. Lihatlah, bagaimana seandainya kamu menghadirkan agungnya nikmat-nikmat ini ketika kamu menjalankan setiap ibadah yang kamu persembahkan kepada Tuhanmu?  أعتقد أن تحفيز النفس بهذا عند الدخول في العبادة سيغير طريقة عبادتك، بل أكاد أجزم أن هذا الشعور سيغير حياتك بالكلية Saya yakin, menyemangati diri dengan hal ini ketika hendak memulai ibadah akan mengubah bentuk ibadahmu, dan hampir saya pastikan bahwa perasaan ini akan mengubah kehidupanmu sepenuhnya. Sumber: https://www.alukah.net/أعظم محفِّز على العبادة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 440 times, 1 visit(s) today Post Views: 365 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 9): Bagaimana Kita Membalas Kasih Sayang Allah?

Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari

Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 9): Bagaimana Kita Membalas Kasih Sayang Allah?

Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari
Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari


Daftar Isi ToggleBagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Meningkatkan keimanan dan ketakwaanBersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanMenjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaMencintai Allah lebih dari segalanyaMenyebarkan kebaikan kepada sesamaBersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahTidak akan pernah bisa membalasPernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan, seberapa besar kasih sayang Allah kepada kita? Sejak kita lahir, Allah telah melimpahkan nikmat-Nya tanpa kita minta. Dia memberi kita udara untuk bernafas, tubuh yang sehat, dan akal untuk berpikir. Dia menyediakan makanan untuk kita santap, air untuk kita minum, dan tempat tinggal untuk kita berlindung.Setiap hari, kita hidup dalam limpahan kasih sayang Allah. Sejak terbitnya matahari hingga kita kembali terlelap di malam hari, nikmat-Nya tak pernah berhenti mengalir. Allah menjaga kita, memberi rezeki, mengampuni dosa-dosa kita, bahkan saat kita lalai dan sering lupa kepada-Nya.Bahkan ketika kita melakukan kesalahan, Allah tidak serta-merta menghukum kita. Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat. Dia menutup aib kita, memberi kita waktu untuk memperbaiki diri, dan tetap mencurahkan rezeki-Nya. Allah berfirman,وَاِن تعُدُّوا نِعمَةَ اللّٰهِ لَا تُحصُوهَا اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [1]Kasih sayang Allah begitu luas, menyelimuti setiap langkah kita, bahkan ketika kita sering lupa kepada-Nya. Dia memberi kita kehidupan, menjaga kita dalam tidur, dan membukakan pintu tobat setiap kali kita tersandung dalam dosa. Begitu banyak nikmat yang Dia berikan, meski kita sering lalai untuk bersyukur.Bagaimana cara kita membalas kasih sayang Allah?Begitu besar kasih sayang Allah, tapi pertanyaannya: bagaimana cara kita membalasnya? Tentu kita tidak mungkin membalas semua kebaikan Allah secara setara, tetapi ada cara agar kita bisa menunjukkan rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.Meningkatkan keimanan dan ketakwaanCara terbaik membalas kasih sayang Allah adalah dengan beriman dan bertakwa. Allah tidak meminta kita membayar nikmat-Nya dengan harta atau sesuatu yang sulit, tetapi cukup dengan taat kepada-Nya. Allah berfirman,يٰۤـاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِه وَلَا تَمُوتُنَّ اِلَّا وَاَنـتُم مُّسلِمُونَ“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [2]Bersyukur dengan hati, lisan, dan perbuatanBersyukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”; tetapi juga menyadari dalam hati bahwa semua nikmat berasal dari Allah, lalu menggunakannya di jalan yang benar. Allah berfirman,وَاِذ تَاَذَّنَ رَبُّكُم لَئن شَكَرتُم لَاَزِيدَنَّـكُم​ وَلَئن كَفَرتُم اِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ‏“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [3]Syukur yang sejati adalah dengan memanfaatkan nikmat untuk mendekat kepada Allah. Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah. Jika diberi ilmu, sebarkan untuk kebaikan. Jika diberi harta, gunakan untuk membantu sesama.Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-NyaAllah tidak meminta banyak dari kita, hanya agar kita taat kepada-Nya. Salat, puasa, zakat, dan amal saleh lainnya adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih atas nikmat-Nya. Allah berfirman,إنَّ اللّٰهَ يَامُرُ بِالعَدلِ وَالاِحسَانِ وَاِيتَاىِ ذِى القُربٰى وَيَنهٰى عَنِ الفَحشَاءِ وَالمُنكَرِ وَالبَغىِ​ يَعِظُكُم لَعَلَّكُم تَذَكَّرُونَ‏“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” [4]Allah juga berfirman,وَمَاۤ اٰتٰاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهاكُم عَنهُ فَانْتَهُوا​  وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ​‏“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” [5]Mencintai Allah lebih dari segalanyaKasih sayang Allah kepada kita begitu besar, maka sudah seharusnya kita mencintai-Nya lebih dari apapun. Cinta kepada Allah berarti kita lebih mengutamakan-Nya dalam segala hal. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ  وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ  وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya.” [6]Bentuk cinta kepada Allah bisa kita tunjukkan dengan memperbanyak zikir, doa, membaca Al-Qur’an, serta mengutamakan perintah-Nya dalam hidup kita.Menyebarkan kebaikan kepada sesamaAllah menyayangi kita, maka kita pun harus menyebarkan kasih sayang itu kepada orang lain. Membantu sesama, menyantuni anak yatim, dan berbuat baik kepada keluarga serta tetangga adalah cara kita membalas kasih sayang Allah dengan menebarkannya kepada makhluk-Nya. Allah berfirman,وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوٰى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الاِثمِ وَالعُدوَانِ​ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ​ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيدُ العِقَابِ‏“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” [7]Rasulullah ﷺ bersabda,اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” [8]Semakin banyak kita berbuat baik kepada orang lain, semakin banyak pula kasih sayang Allah yang akan kita rasakan dalam hidup kita.Bersabar dalam ujian dan tidak berburuk sangka kepada AllahAllah menguji hamba-Nya bukan karena benci, tetapi karena kasih sayang-Nya. Terkadang, musibah adalah cara Allah menghapus dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita. Rasulullah ﷺ bersabda,مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan mengujinya.” [9]Ketika menghadapi ujian, janganlah berburuk sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa di balik setiap cobaan, ada hikmah yang belum kita pahami. Jika kita tetap bersabar dan bertawakal, Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan.Tidak akan pernah bisa membalasKita tidak akan pernah bisa membalas kasih sayang Allah dengan setimpal, tetapi kita bisa menunjukkan rasa terima kasih kita dengan beriman, bertakwa, menjalankan perintah-Nya, mencintai-Nya, dan menyebarkan kebaikan kepada sesama. Mari kita balas dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha menjadi hamba yang lebih baik setiap hari. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap dalam keimanan, membimbing langkah kita menuju kebaikan, dan mengizinkan kita merasakan indahnya kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat. Aamiin.[Bersambung]Kembali ke bagian 8 Lanjut ke bagian 10***Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/2 Maret 2025Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. An-Nahl: 18[2] QS. Ali Imran: 102[3] QS. Ibrahim: 7[4] QS. An-Nahl: 90[5] QS. Al-Hasyr: 7[6] QS. Al-Baqarah: 165[7] QS. Al-Ma’idah: 2[8] HR. Muslim[9] HR. Bukhari

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 2)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 190 times, 1 visit(s) today Post Views: 342 QRIS donasi Yufid

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 2)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 190 times, 1 visit(s) today Post Views: 342 QRIS donasi Yufid
أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 190 times, 1 visit(s) today Post Views: 342 QRIS donasi Yufid


أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي ب – ومِن ذلك أيضًا: ما جاء في ترك الإخلاص مع الرياء في العبادة والعمل فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ أول الناس يقضى يوم القيامة عليه: رجل استُشهد، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: قاتلتُ فيك حتى استشهدتُ، قال: كذبتَ، ولكنك قاتلتَ ليُقال: جريء، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل تعلَّم العلم وعلَّمه، وقرأ القرآن، فأُتي به، فعرَّفه نِعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: تعلمتُ العِلمَ وعلَّمتُه، وقرأتُ فيك القرآن، قال: كذبتَ، ولكنَّك تعلمت العلم ليقال: عالم، وقرأتَ القرآن ليُقالَ: هو قارئ، فقد قيل، ثم أُمر به فسُحب على وجهه حتى أُلقي في النار، ورجل وسَّع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كلِّه، فأُتي به، فعرَّفه نعمَه فعرَفها، قال: فما عملتَ فيها؟ قال: ما تركتُ مِن سبيلٍ تحبُّ أن يُنفق فيها إلا أنفقتُ فيها لك، قال: كذبتَ، ولكنَّك فعلتَ ليُقال: هو جواد، فقد قيل، ثم أمر به فسُحب على وجهِه، ثم أُلقي في النار)؛ رواه مسلم Dalil-dalil tentang abai terhadap keikhlasan, dan riya ketika beribadah dan beramalDiriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ“Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengakuinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berperang supaya dikatakan bahwa kamu orang yang pemberani dan demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah kamu lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Quran hanyalah karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan kamu membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai orang yang mahir membaca Al-Quran, dan begitulah yang  telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang kamu telah lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan kesempatan bersedekah pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta! Kamu berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan, dan begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.’” (HR. Muslim).فمَن تأمَّل حال هؤلاء الثلاثة، علم أن الله تعالى لم يَظلمْهم شيئًا مِن أعمالهم، وأنهم ما أخلَصوا عبادتهم لوجه الله سبحانه؛ إنما طلَبوا بها السُّمعة والمكانة والرفعة بين الناس، وقد قيل؛ ولهذا يقول الإمام النووي رحمه الله: “قوله صلى الله عليه وسلم في الغازي والعالم والجواد، وعقابهم على فعلهم ذلك لغير الله وإدخالهم النار – دليل على تغليظ تحريم الرياء وشدة عقوبته، وعلى الحث على وجوب الإخلاص في الأعمال كما قال تعالى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾ [البينة: 5]، وفيه أنَّ العمومات الواردة في فضْل الجهاد إنما هي لمَن أراد اللهَ تعالى بذلك مُخلِصًا، وكذلك الثَّناء على العلماء وعلى المُنفقين في وجوه الخيرات كله مَحمول على مَن فعَل ذلك مُخلِصًا” ا هـOrang yang mencermati keadaan tiga orang tersebut akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak menzalimi mereka sedikitpun terhadap amalan mereka, mereka tidak ikhlas dalam beribadah mencari keridhaan Allah Ta’ala; tapi justru dengan ibadah itu, mereka ingin mencari nama baik, kedudukan, dan derajat di antara manusia, dan mereka pun telah mendapatkan apa yang mereka cari itu.Oleh sebab itu, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang orang yang berperang, orang berilmu, dan orang dermawan, dan siksaan bagi mereka atas perbuatan mereka yang diniatkan untuk selain Allah, serta dimasukkannya mereka ke dalam neraka merupakan dalil betapa tegas pengharaman riya dan betapa keras siksaannya, juga dalil wajibnya keikhlasan dalam setiap amalan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ‘Dan tidaklah mereka diperintah melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya…’ (QS. Al-Bayyinah: 5). Sabda beliau ini juga mengandung dalil bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan berjihad hanyalah bagi orang yang ikhlas berjihad mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala. Demikian juga tentang pujian-pujian bagi para ulama dan orang-orang yang bersedekah dalam berbagai bidang kebaikan, semuanya diperuntukkan bagi orang yang melakukannya dengan ikhlas.”وكذلك روى ابنُ ماجه في سننه بسند حسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن تعلَّم العِلم ليُباهي به العلماء، ويُماريَ به السفهاء، ويَصرف به وجوهَ الناس، أدخَلَه الله جهنم)Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk menyombongkannya di hadapan para ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan menarik pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibnu Majah).ومثل هذا قوله عز وجل في وصف أهل الرياء وبيان حالهم: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ ﴾ [البقرة: 264]، وقوله تعالى عن صفات المنافِقين: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ [النساء: 142]، وقوله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ﴾ [الماعون: 4 – 6]Selaras dengan ini, firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang sifat orang-orang yang riya dan penjelasan keadaan mereka:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264).Juga firman Allah Ta’ala tentang sifat orang-orang munafik:إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk shalat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).Juga firman Allah Ta’ala:فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ * الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6).وجاء في الحديث عن جندب بن عبدالله رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مَن سمَّع سمَّع الله به، ومَن يُرائي يُرائي الله به)، وعن أبي هريرة رضي الله عنه – مرفوعًا -: (قال الله تعالى: أنا أغنى الشركاء عن الشِّرك، فمَن عمل عملاً أشرك فيه معي غيري، تركتُهDisebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ“Barang siapa yang sengaja memperdengarkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperdengarkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat), dan barang siapa yang memperlihatkan (kebaikannya kepada manusia dengan maksud untuk mendapat pujian), maka Allah akan memperlihatkan (kepada manusia niatnya yang sebenarnya pada Hari Kiamat).” Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu, bahwa Allah Ta’ala berfirman:أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” ج – ومن ذلك أيضًا: فعل السيِّئات والمحرَّمات والتي قد تكون سببًا في ضياع حسنات الأعمال يوم القيامة، كما جاء في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أتدرونَ مَن المُفلِس؟) قالوا: المُفلس فينا مَن لا درهم له ولا متاع، فقال: (إنَّ المفلس مِن أُمَّتي يأتي يوم القيامة بصلاة، وصيام، وزكاة، ويأتي وقد شتم هذا، وقذَف هذا، وأكَل مال هذا، وسفَك دم هذا، وضرَب هذا، فيُعطى هذا من حسناته، وهذا مِن حسناته، فإن فنيَتْ حسناته قبل أن يَقضي ما عليه، أخذ مِن خطاياهم، فطُرحت عليه، ثم طُرح في النار) Perbuatan-perbuatan buruk dan haramDi antara hal yang mungkin menjadi sebab lenyapnya pahala amal kebaikan pada hari kiamat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Apakah kalian tahu siapa itu orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya uang dan barang.” Beliau lalu menanggapi:إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga telah mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul si ini, lalu si ini (korban) diberi pahalanya (pelaku), dan si itu (korban lainnya) juga diberi pahalanya (pelaku). Lalu jika pahalanya telah habis sebelum semua tanggungannya terpenuhi, dosa-dosa mereka (para korban) akan diambil dan diberikan kepadanya (pelaku), lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).وعن أسامة رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “يؤتى بالرجل يوم القيامة فيُلقى في النار، فتَندلِق أقتاب بطنِه، فيَدور بها كما يدور الحمار في الرَّحى، فيَجتمِع إليه أهل النار، فيَقولون: يا فلان، ما لك؟ ألم تكن تأمرُ بالمعروف وتَنهى عن المُنكَر؟! فيَقول: بلى، كنتُ آمُرُ بالمَعروف ولا آتيه، وأنهى عن المُنكَر وآتيه)Diriwayatkan oleh Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ“Pada Hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dilempar ke neraka hingga isi perutnya keluar dan berkeliling bersamanya sebagaimana keledai yang mengelilingi batu penggilingan. Kemudian para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, ‘Wahai si Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu (di dunia) kamu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?!’ Ia lalu menjawab, ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan, tapi aku tidak mengerjakannya, dan aku melarang kemungkaran, tapi aku melakukannya.’”ومنه ما جاء في أن الوقوع في المعاصي والمحرمات قد يُذهب ثواب الصيام وأجره وبركته، كما جاء في الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مَن لم يدَعْ قول الزور والعمل به، فليسَ لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه)؛ رواهُ البُخَارِيُّ، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: (ليس الصيام من الطعام والشراب؛ وإنما الصيام من اللغو والرفث)Ada juga dalil lain yang menegaskan bahwa terjerumus ke dalam kemaksiatan dan perbuatan haram dapat melenyapkan pahala puasa dan keberkahannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابه“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bahwa beliau bersabda:لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ؛ وَإِنَّمَا الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ“Puasa tidaklah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa adalah menahan diri dari hal yang sia-sia dan ucapan kotor.” ولهذا أمر الصائم ألا يقع في مخالفة أو مَحذور أو عصيان؛ لئلا تفسد عليه عبادته، وتضيع الثمرة المرجوة من ورائها؛ كما في قوله صلى الله عليه وسلم: (فإذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يَرفث ولا يصخَب، فإن سابَّه أحد أو قاتَلَه، فليقل: إني صائم)؛ لأنَّ المجازَفة بالرد بالمثل يُفضي إلى نقْص في ميزان الخُلق وضبْط النفس، أما التذكير بقوله: “إني صائم”، فهو نوع مِن النصيحة للآخَر، والتوجيه والإرشاد للتي هي أحسن، في دفع السيئة وردِّها بالحسَنة والنصيحةOleh sebab itu, orang yang berpuasa diperintahkan untuk tidak terjerumus ke dalam pelanggaran, larangan, atau kemaksiatan, agar ibadahnya tidak rusak dan hasil yang diharapkan darinya tidak hilang, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ“Apabila pada hari puasa salah seorang dari kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan ribut, dan jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Aku sedang berpuasa.’” Sebab, membalas perbuatan buruk dengan balasan yang sama dapat mengurangi akhlaknya dan penguasaan dirinya. Adapun ucapan, “Aku sedang berpuasa”, ini adalah suatu nasihat bagi pihak lain dan arahan yang terbaik dalam mencegah keburukan dan membalas keburukan dengan kebaikan dan nasihat. وخلاصة القول أنَّ ضياع حسنات العبد من الأعمال والعبادات قد يكون سببُه الوقوع في أي صورة من هذه الصور السابقة؛ ولهذا فإن على العاقل المجتهدِ الحذرَ من الوقوع في شراكها؛ لأنَّ فعل الحسنات والطاعات من أكبر المنجيات في عرصات يوم القيامة، والعبد يوم القيامة أحوج ما يكون إلى حسَنة تُثقِّل الميزان، وترفع الدرجات Kesimpulan: Lenyapnya pahala amalan dan ibadah seorang hamba bisa jadi disebabkan karena terjerumus ke dalam salah satu dari hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang berakal harus berhati-hati agar tidak terjerumus di dalamnya; karena amal kebaikan dan ketaatan merupakan salah satu sebab keselamatan terbesar pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan pada hari itu, seorang hamba paling membutuhkan pahala yang dapat memberatkan timbangan amalannya dan meningkatkan derajatnya. Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 190 times, 1 visit(s) today Post Views: 342 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 7)

Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Tujuan-Tujuan Ibadah Haji (Bag. 7)

Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.


Daftar Isi ToggleTujuan kesebelas: Mengingat akhiratTujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyahTujuan kesebelas: Mengingat akhirat Di antara tujuan haji yang agung adalah untuk mengingat akhirat dan hari perjumpaan ketika menghadap Allah Ta’ala. Renungkanlah awal amalan ibadah ketika haji, yaitu saat melepas perhiasan dan pakaian serta kondisi seseorang ketika mengenakannya.Setiap jemaah haji telah memakai pakaian dari negerinyan masing-masing. Namun, ketika sampai di miqat, mereka harus melepas pakaian tersebut, kemudian mandi dan memakai wewangian. Selanjutnya, semuanya hanya memakai dua helai kain, yaitu izar dan rida’ yang putih bersih. Kain izar menjadi penutup bagian bawah tubuhnya, sementara rida’ digunakan untuk menutup pundaknya. Dengan kondisi seperti ini, mereka menjadi tawadhu’ karena semua memiliki kondisi yang sama, baik kaya maupun miskin, baik pimpinan (penguasa) maupun rakyat, baik atasan maupun bawahan, baik yang kecil maupun yang besar, semuanya sama dan tidak berbeda.Dalam kondisi seperti ini, semuanya berpakaian sama dan bersama-sama menuju ke Kakbah. Demikian pula, kondisi mereka sama pada saat meninggalkan kehidupan dunia ini. Tidakkah kalian melihat setiap yang mati, apa yang bersama dengannya dari dunia yang dimilikinya? Apa yang masuk bersama dirinya ke dalam kuburnya? Tidak ada apapun yang masuk ke kuburnya kecuali hanyalah potongan kain yang melilit tubuhnya. Kemudian mereka disalatkan setelah dimandikan, untuk selanjutnya dikebumikan di kubur. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُحْشَرُ الناسُ يوم القيامة عُراةً غُرْلًا بُهْمًا قال: قلنا: وما بُهْمًا؟ قال:  ليس معهم شيء“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan buhman?” Nabi menjawab, “Tidak memiliki apa-apa sama sekali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16042)Tidak ada harta, tidak ada kekuasaan, tidak ada popularitas, tidak ada apapun yang bersamanya. Maka pakaian ihram menjadi pengingat bagi kita tentang kain kafan yang akan kita pakai ketika mati nanti.Berdiri saat wukuf di tanah Arafah mengingatkan berdirinya seorang hamba di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Renungkanlah kondisi para manusia yang berkumpul dari berbagai penjuru dunia di sebidang tanah pada tempat dan waktu yang sama. Siapakah yang mampu mengumpulkan mereka? Dia adalah Rabb seluruh alam yang mengumpulkan manusia sejak masa dahulu hingga hari akhir nanti di atas padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Dikumpulkan seluruh makhluk dari makhluk pertama sampai terakhir, baik yang meninggal karena terbakar, atau mati dimakan binatang buas yang kemudian keluar menjadi kotoran, ataupun yang mati dikubur kemudian hancur di dalam tanah. Allah berfirman,وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُم بِلِقَاء رَبِّهِمْ كَافِرُونَ“Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.“  (QS. As-Sajdah: 10)Mereka semuanya Allah kumpulkan untuk wukuf di Arafah, mengingatkan tentang perkumpulan besar seluruh makhluk di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada manusia pada saat beliau wukuf di Arafah sebelum matahari terbenam,أيها الناس إنه لم يبق من دنياكم فيما مضى منها إلا كما بقي من يومكم فيما مضى منه“Wahai manusia, tiada sesuatu pun yang tersisa dari dunia kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya, kecuali apa yang tersisa dari hari kalian dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya.“ (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 6173)Para jemaah haji wukuf di Arafah dan setiap mereka berharap untuk dibebaskan dari neraka pada hari itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟“Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada saat hari Arafah. Dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no. 1348)Hari yang paling banyak Allah membebaskan dari neraka adalah hari Arafah. Oleh karena itu, selayaknya seorang muslim bersemangat pada hari itu dengan bersungguh-sungguh meminta agar dibebaskan dari api neraka, sehingga dia meninggalkan Arafah dan dibebaskan dari api neraka. Ya Allah, bebaskan kami dan nenek moyang kami serta seluruh keturunan kami dan istri-istri kami dari api neraka.Saat di Arafah, para jemaah haji berada di tempat persaksian dan tempat wukuf yang agung dan mulia. Hal ini menjadi pengingat bagi manusia tentang hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika berkumpul di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu, renungkanlah para jemaah haji tentang ayat haji di surah Al-Baqarah, dengan apa dia ditutup? Allah Ta’ala berfirman,وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.“ (QS. Al-Baqarah: 203)Ini merupakan perintah yang harus engkau lakukan jika menginginkan hajimu sempurna. Engkau pulang ke negerimu dan ia menyertaimu (وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ) (Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya), karena haji mengingatkan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan.Hendaklah bertakwa kepada Allah, wahai orang yang menunaikan haji ke baitullah. Hendaknya engkau ingat bahwa engkau akan dibangkitakan di hadapan Allah, dan bahwasanya Allah akan akan menghitung dan juga memberikan balasan atas apa yang engkau lakukan di dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini akan berlalu dan kehidupan akhirat telah menanti, dan masing-masing memiliki anak-anak yang mengikutinya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari beramal, bukan hari perhitungan; sedangkan esok di akhirat adalah hari perhitungan, bukan hari untuk betamal.“Apabila seorang hamba di atas ilmu, keimanan, dan keyakinan bahwasanya semuanya akan dibangkitkan kepada Allah, maka sesungguhnya ilmu dan keyakinannya tersebut akan membantunya dalam memperbaiki amal dan persiapan untuk hari tersebut. Allah Ta’ala di akhir ayat haji berfirman,وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.“ (QS. Al-Baqarah: 197)Jemaah haji hendaknya memiliki keimanan dan keyakinan tentang hari berbangkit, hari pembalasan, dan hari perhitungan sehingga keyakinan tersebut membantu dirinya untuk memperbaiki amalnya. Allah Ta’ala berfirman,قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thuur: 26)Maksudnya, mereka takut akan hari kebangkitan, hari pembalasan, dan hari perhitungan ketika mereka berdiri menghadap Allah. Rasa takut ini menjadikan kita melakukan amal ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thuur: 27)Orang-orang yang menerima kitab mereka dengan tangan kanan akan berkata pada hari kiamat,إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيهْ“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.“ (QS. Al-Haqah: 20)Maksudnya, bahwa aku dulu di dunia percaya bahwa di sana kelak akan ada kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan dengan penuh keyakinan. Maka aku pun mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut.Tujuan keduabelas: Mewujudkan ukhuwah diniyyah Di antara tujuan ibadah haji adalah mewujudkan ukhuwah diniyyah dan persatuan di atas iman. Ini akan terwujud dalam ibadah haji dan tampak di dalamnya dalam bentuk yang paling indah. Inilah mereka para jemaah haji yang tawaf di baitullah, berkumpul di Arafah,  dan berkumpul di Muzdalifah dengan pakaian yang sama, tujuan mereka sama, sesembahan mereka sama, amalan mereka sama, kiblat mereka sama, dan meneladani Rasul yang sama. Mereka berbagi harapan, kesedihan, dan kekhawatiran. Mereka berkumpul dalam perkumpulan Islami yang paling besar yang menampakkan ikatan iman dan persaudaraan di atas agama. Ada yang berkulit putih maupun hitam, ada yang orang Arab maupun non-Arab, semuanya dikumpulkan oleh agama Allah. Tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali ketakwaan kepada Allah.Allah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“ (QS. Al-Hujurat: 13)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haji wada’,يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأسود على أحمر، ولا لأحمر على أسود إلا بالتقوى. ألا هل بلغت؟ قالوا:  بلغ رسول الله “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas orang non-Arab, tidak ada keunggulan orang non-Arab atas orang Arab, tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas orang kulit merah, tidak ada keunggulan orang kulit merah atas orang kulit hitam, kecuali karena takwa. Apakah saya sudah menyampaikan pesannya?” Mereka (para sahabat) berkata, “Rasulullah telah menyampaikan pesan itu.”  (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 23849)Haji adalah ikatan yang kuat yang mengumpukan ahlul iman di atas kasih sayang dan kecintaan serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa. Dan juga dalam rangka menunaikan perintah Allah dan hiburan bagi kaum fakir. Lihatlah hal tersebut dalam prosesi  menyembelih hewan dan dan pembayaran fidyah bagi yang meninggalkan wajib haji atau melakukan pelanggaran-pelanggaran haji. Lihat bagaimana hal ini memberikan manfaat dan faidah yang sangat besar bagi kaum fakir. Maka, haji menampakkan sifat persaudaraan dan ikatan dalam kasih sayang, kecintaan, serta tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa.Dalam hari yang penuh berkah ini, yaitu di hari Arafah, jemaah haji memperbanyak ucapan Laa ilaah illallah  yang merupakan ucapan terbaik di hari itu, bahkan merupakan kalimat terbaik yang sekaligus paling dicintai oleh Allah. Disebutkan dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan, “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).”Di sini terdapat isyarat penting bahwasanya berkumpulnya kaum muslim tidaklah terjadi kecuali di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dengan sebab keduanya, hawa nafsu akan hilang, perselisihan dan kebencian akan sirna, hati akan menyatu, kalimat akan berkumpul, dan barisan akan rapat. Ketika mereka lemah dalam berpegang teguh dengan kalimat ini, maka kekuatan mereka pun akan ikut lemah.Perkumpulan pada momen ini terdiri dari warna kulit yang berbeda, berbedanya bahasa mereka, dan jauhnya negeri-negeri asal mereka. Sungguh mereka bisa bersatu di atas tujuan yang sama yang tampak jelas dari kalimat yang mereka ucapkan dan diulang-ulang. Yang menjadikan mereka berkumpul adalah tauhid dan keimanan kepada Allah. Yang menyatukan mereka adalah ketundukan kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya disertai rasa harap dan cemas, rasa takut, dan cinta.Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah merupakan pengikat hakiki yang berkumpul di atasnya seluruh pemeluk agama Islam. Di atas kalimat inilah dibangun rasa loyal (wala’) dan permusuhan (bara’). Dengan sebab inilah, mereka saling mencintai dan membenci. Dengan sebab inilah terwujud persatuan kaum muslimin seperti jasad yang satu dan bangunan yang kokoh dan saling menguatkan satu sama lain.Di antara tujuan agung ibadah haji adalah memperkuat ikatan ini dan mempererat hubungan ini. Rabb yang disembah sama, arah kiblatnya sama, rasul yang diikuti sama. Demikian pula pakain ihram, tempat ibadah haji dan amalan hajinya pun sama, tempat berkumpulnya kaum muslin dan waktunya juga sama. Begitu pula syiar seluruhnya adalah ucapan, “labbaika allahumma labbaik“ yang diucapkan dengan penuh ketundukan, ketenangan, dan keyakinan. Ikatan mana lagi yang lebih kuat daripada ini? Hubungan mana lagi yang lebih agung daripada hubungan seperti ini?Hendaknya kaum muslimin sadar dengan hal ini, dan memuji Rabb mereka atas ikatan yang berkah dan pertemuan yang mulia, kecintaan, dan persaudaraan. Setiap orang di antara mereka berusaha merealisasikan setiap hal yang bisa menguatkan dan menumbuhkan  hubungan ini dan menjauhkan dari setiap hal yang bisa membuat lemah dan merusaknya. Hendaknya semua orang mengesampingkan fanatisme rasial, sentimen nasionalistis, slogan-slogan jahiliyah, dan keberpihakan yang sempit. Mereka seharusnya hanya bersatu dan berkumpul di atas tauhid dan iman.[Bersambung]Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8***Penulis: Adika MianokiArtikel Muslim.or.id Referensi:Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 1)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 618 times, 1 visit(s) today Post Views: 405 QRIS donasi Yufid

Orang-Orang yang Ibadahnya Sia-Sia (Bagian 1)

أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 618 times, 1 visit(s) today Post Views: 405 QRIS donasi Yufid
أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 618 times, 1 visit(s) today Post Views: 405 QRIS donasi Yufid


أصحاب العبادة الضائعة Oleh: Syaikh Athif Abdul Mu’iz al-Fayumi الشيخ عاطف عبدالمعز الفيومي إنَّ أولياء الله تعالى وعباده الصالحين أحرص الناس على أداء العبادات التي أوجَبَها الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم على وجهها الصحيح كما يَنبغي؛ من السكينة والوقار، والتدبر والخشية والخشوع، والإخلاص والإنابة؛ لأنهم يعلمون قدر تلك العبادات وأثرها البالغ في إصلاح نفوسهم واستقامتهم، وتهذيب أخلاقِهم وسُلوكِهم، وسائر مُعامَلاتهم، كما يعلمون فضْلَها وأجْرَها العظيم عند الله عزَّ وجلَّ Para kekasih Allah Ta’ala dan hamba-hamba-Nya yang shalih adalah manusia yang paling tekun dalam menjalankan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar dan sebaik-baiknya, yaitu beribadah dengan tenang, damai, penuh penghayatan, tunduk, khusyuk, ikhlas, dan berserah diri, karena mereka mengetahui derajat ibadah-ibadah itu dan pengaruhnya yang besar terhadap kebaikan dan keistiqahan jiwa mereka, serta kelurusan akhlak, sikap, dan seluruh perbuatan mereka. Mereka juga mengetahui keutamaan dan pahala yang besar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dalam ibadah tersebut. وقد ذكَر الله تعالى في القرآن مِن أوصافهم كقوله تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا﴾ [الفرقان: 63 – 66] وقوله تعالى: ﴿ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ ﴾ [آل عمران: 191 – 194] Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat-sifat mereka dalam al-Quran, seperti dalam firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا * وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا * إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” Dan, orang-orang yang mengisi waktu malamnya untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri. Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, jauhkanlah azab jahanam dari kami (karena) sesungguhnya azabnya itu kekal.” Sesungguhnya ia (jahanam itu) adalah tempat menetap dan kediaman yang paling buruk. (QS. Al-Furqan: 63-66). Juga dalam firman-Nya Ta’ala: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ * رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” (QS. Ali Imran: 191-194). لكنْ على النقيض مِن هؤلاء قومٌ لم يَعرفوا للعبادة فضْلَها ولا قَدْرها، ولم يُعظِّموها حق تعظيمِها، وقد يحسن أن نُسمِّي هذا الفريق الغافل أو المتغافل عن العبادة وحقيقتها ومكانتها بأصحاب “الحسنات الضائعة” أو “العبادة الضائعة”؛ لأنهم لم يُقيموا تلك العبادة – من الصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة، وتلاوة القرآن والذِّكْر والتسبيح وغيرها – حقَّ إقامتها، ولم يَقدروها حق قدرها Namun, berseberangan dengan mereka, ada orang-orang yang tidak mengerti keutamaan dan derajat ibadah, dan tidak mengagungkannya dengan sebenar-benarnya. Mungkin pantas kita sebut golongan yang lalai dan abai terhadap ibadah, hakikatnya, dan kedudukannya sebagai orang-orang yang amal kebaikannya atau ibadahnya sia-sia, karena mereka tidak menegakkan ibadah itu —baik itu berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, membaca Al-Quran, zikir, tasbih, dan lain sebagainya— dengan sebaik-baiknya dan tidak mengagungkannya sebagaimana mestinya. والعبادة الضائعة هي تِلكُم العبادة التي لا تُثمِر لصاحبها الأجر والثواب على كماله وحقيقته، كما لا تثمر له الثمرة المرجوَّة من إقامتها من تحقيق الهداية والاستقامة والفلاح والسعادة في الدنيا والآخِرة، والعلَّة في ذلك أن تلك العبادة قد يكون شابَها شيءٌ مِن ترك الخشوع والتدبُّر والطُّمأنينة، أو الرياء والهوى، أو فعْل ما يُناقِضها من السيئات والمعاصي والمُحرَّمات، وقد جاءت النُّصوص الشرعية مبيِّنة لهذه الصور المتعدِّدة لتلك العبادة الضائعة في ثوابها وأَجرِها؛ فمِن ذلك Ibadah yang sia-sia adalah ibadah yang tidak menghasilkan pahala yang sempurna dan semestinya bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah itu juga tidak menghasilkan hasil yang diharapkan dari pelaksanaannya, seperti tercapainya hidayah, keistiqamahan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebabnya adalah karena bisa jadi ibadah-ibadah tersebut ternodai oleh suatu hal yang mengotorinya, seperti karena tidak dilaksanakan dengan khusyuk, penghayatan, dan ketenangan, dilakukan karena riya dan hawa nafsu, atau tercampur dengan hal-hal yang menyelisihinya, berupa dosa-dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang diharamkan.  Terdapat dalil-dalil Syariat yang menjelaskan bentuk-bentuk ibadah yang sia-sia pahalanya, di antaranya: أ – ما جاء في ترك الخشوع والسَّكينة والطمأنينة في الصلاة، مع سرقتِها ونَقرها كقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أسوأُ الناسِ سرقةً الذي يَسرق مِن صلاته)، قالوا: يا رسول الله، وكيف يَسرق مِن صلاته؟ قال: (لا يتمُّ ركوعها ولا سُجودها)؛ رواه الإمام أحمد، وقوله: (لا تُجزئ صلاة الرجل حتى يُقيم ظهرَه في الركوع والسجود)؛ رواه أبو داود Dalil-dalil tentang abai terhadap kekhusyukan dan ketenangan dalam shalat, mencuri shalat dan terburu-buru di dalamnyaSeperti yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا“Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana ia mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).Juga sabda beliau:لَا تُجْزِئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيمَ ظَهْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ“Tidak sah shalat seseorang hingga ia meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR. Abu Dawud).وكذلك ما جاء عن أبي عبدالله الأشعري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (مثَل الذي لا يتمُّ ركوعه ويَنقر في سجوده، مثل الجائع يأكُل التمرة والتمرتَين، لا يُغْنيان عنه شيئًا)؛ رواه الطبرانيDiriwayatkan juga dari Abu Abdillah al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَثَلُ الَّذِي لَا يَتِمُّ رُكُوعَهُ وَيَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَيْنِ، لَا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا“Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujud seperti orang lapar yang makan sebutir atau dua butir kurma, sama sekali tidak membuatnya kenyang sedikitpun.” (HR. ath-Thabrani).ومثل هذه الأحاديث حديث أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه – الصحيح -: أنَّ رجلاً دخل المسجد فصلَّى ورسولُ الله صلى الله عليه وسلم في ناحية المسجد، فجاءَ فسلَّم عليه، فقال: (وعليكَ، ارجع فصلِّ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فرجع فسلَّم عليه، فقال: (ارجعْ؛ فإنَّك لم تُصلِّ بعدُ)، فقال في الثالثة: فعَلِّمني يا رسولَ الله، فقال: (إذا قُمتَ إلى الصلاة، فأسْبِغ الوضوء، ثم استقبل القِبلة فكَبِّر، ثم اقرأ بما تيسَّر معك مِن القرآن، ثم اركعْ حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفعْ حتى تعتدلَ قائمًا، ثم اسجدْ حتى تطمئنَّ ساجدًا، ثم ارْفعْ حتى تستوي قائمًا – أو قال: قاعدًا – ثم افعلْ ذلك في صلاتك كلِّها)Selaras dengan hadits-hadits ini juga, hadits shahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang memasuki Masjid lalu mendirikan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sudut Masjid. (Setelah ia shalat) ia datang kepada Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Nabi membalas salamnya dan bersabda, “Dan semoga keselamatan bagimu. Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” (Setelah shalat) laki-laki itu kembali datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat!” Lalu pada kali ketiga, laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah! ajarilah aku (shalat yang benar).” Beliau lalu bersabda:إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تستوي قائما – أو قال قاعدا – ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا“Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, lalu menghadaplah kiblat dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat Al-Quran yang kamu mampu. Lalu rukuklah hingga kamu rukuk dengan sempurna. Lalu kembalilah bangkit hingga tegak berdiri lagi. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan sempurna. Kemudian bangkitlah hingga berdiri atau duduk dengan sempurna. Lalu lakukanlah ini dalam seluruh shalatmu.”والمتأمِّل اليوم في حال كثير من المسلمين، يجد مثل هذه الأحاديث النبوية بيِّنة في أحوالهم في صلاتهم وخشوعهم، وأعجب منه أن يتبادَر للبعض سؤالٌ يقرع القلوب دائمًا، حتى يقول القائل: ما بال كثير من المسلمين اليوم يُصلُّون، لكن صلاتهم لم تغيِّر فيهم شيئًا، ولم تصلح لهم خُلقًا، ولم تهذب لهم سلوكًا، بل وبعضهم يُقارف بعض الآثام والمحرَّمات والمنكرات، مع كونه من المُصلِّين؟Orang yang mencermati keadaan banyak kaum Muslimin saat ini, akan mendapati hadits-hadits Nabi ini begitu jelas terjadi dalam keadaan shalat dan kekhusyukan mereka. Dan yang lebih mengherankan lagi, ada sebagian orang yang melemparkan pertanyaan yang selalu tergaungkan, “Mengapa banyak kaum Muslimin saat ini melaksanakan shalat, tapi shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun, tidak dapat memperbaiki akhlak mereka, tidak meluruskan kepribadian mereka, dan bahkan sebagian mereka ada yang melakukan beberapa dosa, hal-hal haram, dan kemungkaran, padahal mereka melaksanakan shalat?!”وقد يُقال جوابًا عن هذا السؤال: إن هؤلاء المصلِّين لم تغير صلاتُهم في أخلاقهم ومعاملاتهم شيئًا؛ لأنهم ما أقاموا الصلاة على حقيقتِها مِن إتمام خشوعها وقراءتها وركوعها وسجودها، إنما أقاموا صورتها الظاهرة فحسب؛ ولهذا لم تُغيِّر فيهم شيئًا، ولو أنهم صلَّوا تلك الصلاة الخاشعة الخاضعة كما صلاها النبي صلى الله عليه وسلم لتغيَّرت قلوبهم وأنفسهم لما فيه صلاحُهم واستقامتُهم، ولعلَّ هذا هو المشار إليه في قوله تعالى عن أهل الإيمان الخاشعين: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾ [المؤمنون: 1، 2]Jawaban yang mungkin diberikan untuk pertanyaan ini adalah orang-orang yang melaksanakan shalat itu, mereka tidak mengubah akhlak dan sikap mereka sedikitpun karena mereka tidak melaksanakannya dengan sebenar-benarnya, seperti menyempurnakan kekhusyukan, bacaan, rukuk, dan sujudnya. Mereka hanya melaksanakannya dengan tampilan luarnya saja, sehingga shalat itu tidak mengubah diri mereka sedikitpun. Padahal, seandainya mereka mendirikan shalat itu dengan khusyuk dan tunduk sebagaimana yang didirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti hati dan jiwa mereka akan mengalami perubahan menuju hal yang mendatangkan keshalihan dan keistiqamahan bagi mereka. Mungkin inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang beriman yang khusyuk:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).يقول العلامة ابن سعدي رحمه الله: “والخُشوع في الصلاة هو: حضور القلب بين يدي الله تعالى، مُستحضِرًا لقُربه، فيسكن لذلك قلبُه، وتطمئنُّ نفسه، وتسكن حركاته، ويقلُّ التفاتُه، متأدبًا بين يدي ربه، مستحضرًا جميع ما يقوله ويفعله في صلاته، من أول صلاته إلى آخرها، فتَنتفي بذلك الوساوس والأفكار الردية، وهذا روح الصلاة، والمقصود منها، وهو الذي يُكتَب للعبد؛ فالصلاة التي لا خشوعَ فيها ولا حضور قلب، وإن كانت مُجزئة مثابًا عليها، فإنَّ الثواب على حسب ما يعقل القلب منها”Syaikh Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Khusyuk dalam shalat yakni menghadirkan hati ke hadapan Allah Ta’ala dengan menyadari kedekatan-Nya, sehingga hatinya menjadi damai dengan itu, jiwanya menjadi tenang, gerakannya badannya terhenti, dan berkurang keberpalingannya. Ia menjaga sikapnya di hadapan Tuhannya, meresapi seluruh apa yang diucapkan dan dilakukan dalam shalatnya dari awal hingga akhir, sehingga waswas dan pikiran-pikiran remeh dapat lenyap. Inilah ruh dan tujuan dari shalat, dan inilah shalat yang dicatat pahalanya bagi seorang hamba, karena shalat yang di dalamnya tidak ada kekhusyukan dan kehadiran hati —meskipun tetap sah dan berpahala— tapi pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyukan hati di dalamnya.” Sumber: https://www.alukah.net/أصحاب العبادة الضائعة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 618 times, 1 visit(s) today Post Views: 405 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

4 Bulan Haram: Waktu Emas Pahala Berlipat, Tapi Dosa Juga Lebih Berat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا

4 Bulan Haram: Waktu Emas Pahala Berlipat, Tapi Dosa Juga Lebih Berat – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا
Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا


Apakah pahala amal-amal kebaikan dilipatgandakan pada bulan-bulan haram? Bulan-bulan haram telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi di antaranya ada empat bulan haram Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah: 36). Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (dihormati dan disucikan). Empat bulan haram itu adalah: (1) Dzulqa’dah, (2) Dzulhijjah, (3) Muharram, dan (4) Rajab. Lalu Allah berfirman: “…maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” Ini menunjukkan bahwa melakukan maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dosanya dibandingkan bulan lainnya. Karena yang dimaksud dengan menzalimi diri adalah melakukan maksiat. Penyebutan bulan-bulan ini secara khusus menunjukkan bahwa maksiat di dalamnya lebih besar dosanya dibandingkan bulan lain. Adapun mengenai pelipatgandaan pahala amal kebaikan, maka bulan Dzulhijjah mengandung sepuluh hari pertama yang di dalamnya pahala kebaikan dilipatgandakan, dan juga terdapat hari-hari tasyriq. Adapun bulan Dzulqa’dah, aku tidak mengetahui adanya keutamaan khusus di dalamnya, kecuali bahwa seluruh umrah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Adapun bulan Muharram, keutamaan yang disebutkan adalah memperbanyak puasa di bulan Muharram ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” (HR. Muslim). Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya. Inilah keutamaan khusus yang disebutkan dalam hadis, terkait dengan bulan-bulan haram. Selain itu, saya tidak mengetahui adanya keutamaan khusus yang berkaitan dengan ini. ==== هَلْ تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ؟ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ ذَكَرَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ عِدَّةَ شُهُورِ الْعَامِ أَنَّهَا اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا وَأَنَّ مِنْهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ حُرُمٍ وَهَذِهِ الْأَشْهُرُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَمُحَرَّمٌ وَرَجَبٌ ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَهُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ارْتِكَابَ الْمَعَاصِي فِيهَا أَنَّهُ أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِظُلْمِ النَّفْسِ اِرْتِكَابُ الْمَعَاصِي فَتَخْصِيصُهَا بِالذِّكْرِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَعْظَمُ مِنْ غَيْرِهَا وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ فَشَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ فِيهِ عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ الَّتِي تُضَاعَفُ فِيهَا الْحَسَنَاتُ وَفِيهِ أَيْضًا أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَشَهْرُ ذُو الْقَعْدَةِ لَا أَعْلَمُ فِيهِ فَضْلًا سِوَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ الْعُمْرَةُ الَّتِي اعْتَمَرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ كَانَتْ كُلُّهَا فِي شَهْرِ ذِي الْقَعْدَةِ وَأَمَّا شَهْرُ مُحَرَّمٍ فَالَّذِي وَرَدَ فِيهِ فَضْلُ الْإِكْثَارِ مِنْ صِيَامِهِ كَمَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ الْفَضْلُ الْمَخْصُوصُ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا أَعْلَمُ فَضْلًا مَخْصُوصًا وَرَدَ فِي هَذَا

Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ

Ingin Menjadi Orang Paling Mulia di Sisi Allah? Ini Kuncinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ
Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ


Penanya berkata: “Bagaimana seorang mukmin bisa termasuk dalam golongan para Ash-Shiddiqin?” Derajat shiddiqiyyah adalah derajat tertinggi setelah kenabian. Allah berfirman, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69). Derajat paling utama adalah derajat kenabian, dan ini khusus untuk para nabi dan rasul. Setelahnya adalah derajat shiddiqiyyah. Derajat shiddiqiyyah lebih tinggi daripada derajat kesyahidan. Seorang shiddiq lebih utama daripada seorang syahid. Setelah derajat shiddiqiyyah adalah derajat kesyahidan. “…para nabi, para shiddiqin, para syuhada…”Lalu di bawahnya lagi adalah derajat orang-orang saleh. Jadi, ada empat derajat: (1) derajat para nabi, kemudian (2) derajat para shiddiqin, lalu (3) derajat para syuhada, dan terakhir (4) derajat orang-orang saleh. Maka, derajat shiddiqiyyah adalah derajat yang bisa dicapai oleh siapa saja. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) Bagaimana bisa mencapainya? Dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ketakwaan kepada Allah sangat agung dalam dirinya, dan kejujurannya sangat besar, maka diharapkan ia bisa mencapai derajat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (yang sangat jujur).” (HR. Bukhari). Siapa yang senantiasa berusaha jujur dalam perkataannya, jujur dalam perbuatannya, berusaha jujur dalam segala hal, berusaha agar selalu menjadi orang yang jujur dalam segala urusan, dan ketakwaannya semakin besar, serta ia taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka diharapkan ia dapat meraih derajat ini. Namun, secara umum, tidak ada yang mencapai derajat ini kecuali orang yang memiliki ilmu agama, karena orang yang memiliki ilmu agama lebih mengetahui dan lebih paham tentang hal-hal yang dicintai dan diridai Allah Ta‘ala. Karena itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, Beliau berkata, “Mereka itu adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya Jika para ulama yang mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka siapa lagi yang menjadi wali-Nya?” Ini adalah perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i. Maka, yang paling diharapkan dapat mencapai derajat shiddiqiyyah adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya. Namun, sebagian ahli ibadah yang saleh juga mungkin bisa mencapai derajat ini, yaitu orang-orang jujur yang sungguh-sungguh dalam menjaga kejujuran. Derajat ini adalah derajat yang tinggi dan agung. Sebagian ulama menyebutkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis: Allah Ta‘ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi, juga tidak akan memakan jasad para shiddiqin dan para syuhada, serta jasad siapa saja dari orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Ta‘ala. Namun, para shiddiqin dan para syuhada pun bumi tidak akan memakan jasad mereka. Sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka. Jadi, derajat shiddiqiyyah adalah salah satu derajat yang paling mulia dan paling tinggi. Derajat shiddiqiyyah itu di bawah derajat kenabian. ==== هَذَا سَائِلٌ يَقُولُ كَيْفَ يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مِنَ الصِّدِّيقِيْنَ؟ دَرَجَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ أَعْلَى دَرَجَةً بَعْدَ النُّبُوَّةِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا فَأَفْضَلُ الْمَرَاتِبِ مَرْتَبَةُ النُّبُوَّةِ هَذِهِ خَاصَّةٌ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ أَعْلَى مِنْ مَرْتَبَةِ الشَّهَادَةِ وَالصِّدِّيْقُ أَفْضَلُ مِنَ الشَّهِيدِ يَلِي مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ مَرْتَبَةُ الشَّهَادَةِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ يَلِيْهَا مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ يَعْنِي أَرْبَعُ مَرَاتِبَ مَرْتَبَةُ النَّبِيِّينَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيْنَ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الشُّهَدَاءِ ثُمَّ مَرْتَبَةُ الصَّالِحِيْنَ فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ يُمْكِنُ أَنْ يَصِلَ لَهَا أَيُّ أَحَدٍ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ كَيْفَ يَصِلُ لَهَا؟ يَصِلُ لَهَا بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا عَظُمَ تَقْوَى اللَّهِ عِنْدَهُ وَكَثُرَ الصِّدْقُ عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يُرْجَى أَنْ يَصِلَ إِلَى هَذِهِ الْمَرْتَبَةِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيْقًا فَمَنْ يَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَقْوَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي أَفْعَالِهِ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ فِي كُلِّ شَيْءٍ تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَتَعْظُمُ التَّقْوَى مِنْهُ وَيَكُونُ مُطِيْعًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُمْتَثِلًا لِأَوَامِرِهِ مُجْتَنِبًا لِنَوَاهِيْهِ فَيُرْجَى أَنْ يَنَالَ هَذِهِ الْمَرْتَبَةَ لَكِن الْغَالِبُ أَنَّهُ يَعْنِي لَا يَصِلُ لِهَذِهِ الْمَرْتَبَةِ إِلَّا مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ لِأَنَّ الْعَالِمَ الشَّرْعِيَّ أَعْلَمُ وَأَدْرَى بِمَحَالِّ مَحَابِّ اللَّهِ تَعَالَى وَمَرْضَاتِهِ وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ عَنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّهُمْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ فَمَا لِلَّهِ مِنْ وَلِيٍّ هَذِهِ مَقُولَةٌ مَشْهُورَةٌ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ فَأَقْرَبُ مَنْ يُرْجَى أَنْ يَنَالَ مَرْتَبَةَ الصِّدِّيْقِيَّةِ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ بِعِلْمِهِمْ لَكِنْ قَدْ يَصِلُ إِلَيْهَا بَعْضُ الْعُبَّادِ الصَّالِحِيْنَ الصَّادِقِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَحَرَّوْنَ الصِّدْقَ فَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ مَرْتَبَةٌ عَلِيَّةٌ وَمَرْتَبَةٌ عَظِيمَةٌ وَذَكَرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ كَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ لَكِنْ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَمَنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَكِنَّ الصِّدِّيقِيْنَ وَالشُّهَدَاءَ أَيْضًا لَا تَأْكُلُ الْأَرْضُ أَجْسَادَهُمْ وَإِكْرَامًا لَهُم فَمَرْتَبَةُ الصِّدِّيْقِيَّةِ هِيَ مِنْ أَجَلِّ وَأَعْلَى الْمَرَاتِبِ وَهِيَ الْمَرْتَبَةُ الَّتِي تَلِي مَرْتَبَةَ النُّبُوَّةِ

Kecerdasan dan Kebijaksanaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم الحكمة وكمال العقل من أبرز صفات الرسل الذاتية التي منحهم الله تعالى إياها، وهى من لوازم الرسالة الإلهية، والاصطفاء الربانى، كما أنها سبب من الأسباب الهامة لتبليغ دين الله إلى أقوامهم، ودعوتهم وقيادتهم بالحكمة، قال الله تعالى: { ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ }(النحل: من الآية125) Kebijaksanaan dan kesempurnaan akal adalah salah satu sifat personal paling menonjol yang Allah karuniakan kepada para rasul. Ini merupakan sifat yang pasti menyertai risalah Tuhan, sebagaimana ia juga merupakan peranti penting untuk menyampaikan agama Allah kepada kaum mereka, serta menyeru dan memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Allah Ta’ala berfirman: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). وقد اصطفى الله سبحانه نبيَّه محمداً ـ صلى الله عليه وسلم ـ، وفضَّله على العالمين، وفطره على صفات عظيمة، حتى أبهرت سيرته القريب والبعيد، ومن ذلك أنه ـ صلى الله عليه وسلم – كان أرجح الناس عقلا، وأعظمهم خلقا، ومعلوم لكل ذي لُبٍّ أنه لم يتوافر العقل في إنسان كما توافر فيه ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال ابن كثير: ” معلوم لكل ذي لُب (عقل سليم) أن محمدا ـ صلى الله تعالى عليه وسلم ـ من أعقل خلق الله تعالي، بل أعقلهم وأكملهم على الإطلاق في نفس الأمر “ وقال الماوردي في أعلام النبوة: ” وأما الوجه الثاني: في كمال أخلاقه فيكون بست خصال: إحداهن: رجاحة عقله، وصدق فراسته، وقد دل على وفور ذلك فيه: صحة رأيه، وصواب تدبيره، وحسن تألفه “ Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakannya di antara makhluk-makhluk yang lain serta menciptakannya dengan sifat-sifat yang agung, hingga sejarah hidupnya membuat takjub orang yang dekat atau jauh dengannya. Di antara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau orang yang paling cerdas akalnya dan paling agung akhlaknya. Telah dimaklumi oleh setiap orang berakal bahwa tidak ada manusia yang punya kecerdasan yang menandingi kecerdasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu makhluk Allah Ta’ala yang paling cerdas. Bahkan beliau adalah makhluk paling cerdas dan sempurna secara mutlak.”  Al-Mawardi dalam kitab A’lam an-Nubuwwah berkata, “… Adapun bentuk kedua berkaitan dengan kesempurnaan akhlak beliau, maka ada enam sifat. Pertama, kecerdasan akalnya dan kebenaran firasatnya. Bukti bahwa beliau memiliki ini semua adalah kebenaran pendapat, ketepatan pengaturan, dan kebaikan perencanaan beliau.” Wahb bin Munabbih berkata, “Saya telah membaca 71 buku, dan saya menemukan dalam semua buku itu menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akalnya dan paling baik pandangannya.” Dalam riwayat lain ia mengatakan, “…dan saya menemukan dalam semua buku itu bahwa Allah tidak memberi akal kepada seluruh manusia sejak permulaan dunia hingga akhir zaman yang setara dengan akal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali bagaikan sebutir pasir di antara semua pasir yang ada di seluruh dunia.” عُرِفَ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ مِنْ صِغره ومنذ نشأته بسمو عقله على أقرانه ومَنْ في سِنِّه، فمنذ كان غلاما، والعقل يزينه، ولقد بدا ذلك لجده عبد المطلب الذي أخذه صغيرا ليعوده أخلاق الرجال المكتملين وبعد وفاة جده ذهب إلى بيت عمه أبى طالب، فكان غلاما وسط أولاده، لا يسبق إلى الطعام، بل يتريث غير نهم ولا طامع، وقد يكتفي بالقليل أو ما دونه حتى يتنبه إليه عمه الشفيق فيقرب الطعام إليه، حتى إذا بلغ قدرا يستطيع فيه الاكتساب عمل برعى الأغنام ليأكل من عمل يده، ثم طلب من عمه أبى طالب أن يأخذه معه إلى الشام في قافلة تجارة قريش، وهو في الثانية عشرة من عمره Sebelum Diutus Menjadi Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dikenal sejak kecil dan masa pertumbuhan dengan keunggulan kecerdasan Beliau dibandingkan teman-teman sebayanya. Sejak belia, akal telah menghiasi pribadinya. Hal ini dapat terlihat jelas oleh kakeknya, Abdul Muthalib yang telah mengasuh Beliau sejak kecil untuk membiasakan pada Beliau akhlak para pria sejati. Setelah kakek Beliau wafat, Beliau lalu diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Beliau saat itu masih terhitung masih anak kecil di tengah anak-anak Abu Thalib. Beliau tidak terburu-buru mengambil makanan, tapi justru menunggu tanpa kerakusan dan ketamakan. Beliau seringkali mencukupkan diri dengan mengambil sedikit makanan atau bahkan lebih sedikit dari itu, hingga pamannya yang penuh kasih sayang itu sadar apa yang Beliau lakukan, sehingga pamannya sendiri yang mendekatkan makanan kepadanya. Hingga ketika telah mencapai usia yang mampu untuk mencari penghasilan, Beliau bekerja menggembala kambing, agar Beliau dapat makan dari hasil jerih payah Beliau sendiri. Kemudian Beliau meminta pamannya, Abu Thalib, untuk mengajak Beliau pergi ke Syam dalam kafilah dagang kaum Quraisy. Ketika itu Beliau berusia 12 tahun. ولكمال عقله كان يحضر مجتمعات قريش، فهو يحضر ندوتها فاحصا ما يقال فيها من حق يرضاه، وباطل يجفوه ولا يقره، ويحضر حلف الفضول، ويرى ـ لعقله الكامل المدرك ـ أنه لا يسره به حمر النعم، ولا يرى نصرة للحق أقوى منه، ويخبر ـ بعد ذلك ـ أنه لو دُعِي به في الإسلام لأجاب تكريما له وإعلاء لقدره ومن مظاهر وفور عقله منذ صغره وقبل بعثته نفوره من عادات الجاهلية التي كانت تحرم وتحلل من غير بينة ولا علم، فلم يُرَ ساجدا لصنم قط، لأن العقل السليم والفطرة النقية تأبى ذلك، فيستحلفه الراهب باللات والعزى فيقول وهو غلام: ( ما كرهت شيئا كما كرهتهما )، ويختلف مع تاجر، فيستحلفه التاجر باللات والعزى، فيمتنع، فيسلم له التاجر بحقه من غير حلف لأمانته ولكمال عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ لم يخض مع الخائضين في الجاهلية، وكان لا يحب الحرب، ولذلك لم يشارك في حرب الفجار، إلا بتجهيز السهام لأعمامه حماية لهم ورحمة بهم، بموجب الرحم الواصلة، لا بموجب الحرب التي أحلت فيها الحرمات والأشهر الحرم Karena kecerdasannya, dulu Beliau senantiasa ikut menghadiri perkumpulan kaum Quraisy. Beliau mendatangi tempat mereka bermusyawarah untuk memeriksa apa yang didiskusikan di sana, berupa kebenaran yang Beliau setujui atau kebatilan yang Beliau ingkari.  Beliau juga ikut serta dalam perjanjian al-Fudhul. Dengan akal sempurna Beliau yang cerdas, bahkan Beliau lebih senang dengan perjanjian itu daripada mendapatkan unta merah. Beliau berpandangan bahwa tidak ada pembelaan terhadap kebenaran yang lebih kuat daripada perjanjian tersebut. Beliau juga mengabarkan setelah menjadi Nabi bahwa seandainya Beliau diajak untuk membuat perjanjian semacam itu setelah adanya Islam, niscaya Beliau akan menyetujuinya, sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kedudukan perjanjian tersebut. Di antara tanda kecerdasan Beliau sejak kecil dan sebelum diangkat menjadi Nabi, Beliau menghindari adat-adat Jahiliyah yang secara serampangan mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dasar dan ilmu. Beliau tidak pernah sekalipun bersujud kepada berhala, karena akal yang sehat dan fitrah yang jernih pasti akan enggan melakukannya.  Pernah ada seorang rahib yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza (dua sesembahan orang Jahiliyah). Lalu Beliau – yang ketika itu masih kecil – menanggapinya dengan berkata, “Tidaklah aku membenci sesuatu melebihi kebencian terhadap dua hal itu!”  Beliau juga pernah berselisih dengan seorang pedagang, lalu pedagang itu meminta Beliau bersumpah atas nama Lata dan Uzza, tapi Beliau menolak dan lebih memilih untuk mengalah atas haknya untuk pedagang tersebut. Karena kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau tidak pernah berbincang-bincang tanpa manfaat dengan orang-orang pada masa Jahiliyah. Beliau juga tidak menyukai peperangan. Oleh sebab itu, pada perang Fijar Beliau hanya ikut menyiapkan anak panah untuk para pamannya, demi menjaga mereka dan kasih sayang terhadap mereka karena tuntutan silaturahim, bukan karena tuntutan perang yang telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan kehormatan bulan-bulan Haram. ومن مظاهر وفور عقله وكمال حكمته ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ طريقة حله للنزاع والخلاف، فحقن ـ بحكمته ـ دماء كثيرة، وأوقف حروباً طاحنة، وقصة الحجر الأسود شاهدة على ذلك، فقبل بعثته ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخمس سنوات ـ اجتمعت قريش لتجديد بناء الكعبة لِما أصابها من تصدع جدرانها، وكانت لا تزال كما بناها إبراهيم ـ عليه السلام ـ رضما (حجارة ) فوق القامة، وقد تم تقسيم العمل في بناء الكعبة بين القبائل، وتولت كل واحدة منها ناحية من نواحي الكعبة، فجعلوا يبنونها بحجارة الوادي، ولما بلغ البنيان موضع الحجر الأسود دبَ الشقاق بين قبائل قريش، فكل يريد أن ينال شرف رفع الحجر الأسود إلى موضعه، وكادوا أن يقتتلوا فيما بينهم، حتى جاء أبو أمية بن المغيرة المخزومي فاقترح عليهم أن يحكّموا فيما اختلفوا فيه أول من يدخل عليهم من باب المسجد الحرام، فوافقوا على اقتراحه وانتظروا أول قادم، فإذا هو رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وما إن رأوه حتى هتفوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد، وما إن انتهى إليهم حتى أخبروه الخبر، فقال : ( هلمّ إليَّ ثوبا )، فأتوه به فوضع الحجر في وسطه ثم قال : ( لتأخذ كل قبيلة بناحية من الثوب ثم ارفعوه جميعا ) ففعلوا، فلما بلغوا به موضعه أخذه بيده الشريفة ووضعه في مكانه لقد كانت قريش على علم بكمال عقله، وقوة إدراكه، فرضيت به حكما، ساعة أن احتدم الجدل، وكادت المعارك أن تشتعل بينهم، ومن ثم قالوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد Di antara bentuk tingginya kecerdasan dan sempurnanya kebijaksanaan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode Beliau dalam menyelesaikan perselisihan dan sengketa. Berkat kebijaksanaan Beliau, banyak pertumpahan darah yang berhasil dihindari dan terhentikan perang-perang sengit, dan kisah tentang peletakan Hajar Aswad menjadi bukti atas hal ini. Lima tahun sebelum Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Nabi, kaum Quraisy berkumpul untuk merenovasi bangunan Ka’bah karena dindingnya yang telah retak-retak. Dulu Ka’bah masih sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang berupa susunan batu yang lebih tinggi dari postur orang dewasa. Pembagian tugas renovasi Ka’bah telah dibagi di antara kabilah-kabilah Quraisy. Setiap kabilah bertanggung jawab membangun satu sisi Ka’bah. Merekapun mulai membangunnya dengan batu-batu dari lembah. Ketika pembangunan sampai di tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan di antara kabilah-kabilah Quraisy itu, setiap kabilah ingin mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga mereka hampir saling berperang. Hingga datanglah Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi yang mengusulkan untuk meminta ketetapan hukum yang mereka perselisihkan ini kepada orang yang pertama kali masuk dari pintu Masjidil Haram ketika itu. Mereka menyetujui usulan ini dan menunggu siapa orang pertama yang datang, dan ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka melihat beliau, mereka berseru, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela (dia yang mengambil keputusan)! Ini adalah Muhammad!” Ketika beliau sampai kepada mereka, mereka pun mengabarkan tentang apa yang terjadi. Beliau lalu berkata, “Berikanlah kepadaku sehelai kain!” Mereka lalu mendatangkan sehelai kain, kemudian beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah kain itu dan berkata, “Setiap kabilah silakan memegang satu tepi kain ini, lalu angkatlah ia bersama-sama.” Merekapun melakukannya. Ketika mereka sampai di tempat peletakan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah, beliau mengambil Hajar Aswad dengan tangan beliau yang mulia dan meletakkannya di tempatnya. Dulu kaum Quraisy telah mengetahui kesempurnaan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kekuatan pemahamannya, sehingga mereka puas dengan hukum yang Beliau berikan ketika mereka saling berdebat sengit dan hampir saja peperangan tersulut di antara mereka. Pada akhirnya mereka pun berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami rela! Ini adalah Muhammad!” بعد البعثة أما بعد بعثته فقد تجلت حكمته ـ صلى الله عليه وسلم ـ وكمال عقله في معاشرته وتربيته لأصحابه، وأهله وأولاده، وسياسته مع رعيته، وحسن ترتيبه وتدبيره في هجرته وغزواته، وموقفه في القضاء على الفتنة التي كادت تقع بين الأوس والخزرج – بسبب تأليب اليهود في المدينة- وبين المهاجرين والأنصار أثناء غزوة بني المصطلق، وفي عقد المعاهدات والصلح، وفي معاملة الأصدقاء والأعداء، إلى غير ذلك مما لا يحصيه العد في سيرته العطرة ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال القاضي عياض: ” ومن تأمل تدبيره ـ صلى الله عليه وسلم ـ أمْر بواطن الخلق وظواهرهم، وسياسة الخاصة والعامة، مع عجيب شمائله، وبديع سيره، فضلا عما أفاضه من العلم، وقرره من الشرع، دون تعلّم سبق، ولا ممارسة تقدمت، ولا مطالعة للكتب، لم يمتر في رجحان عقله، وثقوب فهمه لأول وهلة، ومما يتفرع عن العقل ثقوب الرّأي وجودة الفطنة والإصابة، وصدق الظن، والنظر للعواقب، ومصالح النفس، ومجاهدة الشهوة، وحسن السياسة والتدبير، واقتفاء الفضائل، واجتناب الرذائل، وقد بلغ ـ صلى الله عليه وسلم ـ من ذلك الغاية التي لم يبلغها بشر سواه ـ صلى الله عليه وسلّم ـ .. ومن تأمل حسن تدبيره للعرب الذين كالوحش الشارد، والطبع المتنافر المتباعد، كيف ساسهم، واحتمل جفاهم، وصبر على أذاهم، إلى أن انقادوا إليه، واجتمعوا عليه، وقاتلوا دونه أهليهم: آباءهم وأبناءهم، واختاروه على أنفسهم، وهجروا في رضاه أوطانهم وأحبابهم، من غير ممارسة سبقت له، ولا مطالعة كتب يتعلّم منها سنن الماضين، فتحقّق أنه ـ صلى الله عليه وسلم ـ أعقل الناس، ولما كان عقله ـ صلى الله عليه وسلّم ـ أوسع العقول لا جرم اتسعت أخلاق نفسه الكريمة اتساعا لا يضيق عن شيء “ لقد اختص الله ـ تبارك وتعالى ـ عبده ورسوله محمدا ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخصائص كثيرة، تشريفا وتكريما له، مما يدل على جليل قدره وشرف منزلته عند ربه، ومنها حكمته ووفور عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ Setelah diutus menjadi Nabi Adapun setelah menjadi Nabi, kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tampak pada interaksi dan pengajaran yang Beliau tujukan kepada para sahabat, istri, dan anak-anak Beliau. Juga pada siasat Beliau terhadap rakyatnya, kerapian rencana dan strategi yang Beliau susun ketika berhijrah dan berperang, pada sikap Beliau dalam menyelesaikan perselisihan yang hampir terjadi antara suku Aus dan Khazraj – akibat adu domba kaum Yahudi di Madinah – dan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar saat perang Bani Musthaliq, dan pada perjanjian-perjanjian yang Beliau buat, interaksi yang Beliau lakukan dengan teman maupun musuh, dan hal-hal lainnya yang tidak dapat terhitung jumlahnya dalam sejarah hidup Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harum semerbak. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Barang siapa yang mencermati siasat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap urusan lahir dan batin manusia, pengaturan terhadap perkara-perkara khusus dan umum, disertai dengan sikap-sikap Beliau yang menakjubkan dan sejarah hidup Beliau yang memukau, terlebih lagi ilmu yang memancar dari diri Beliau dan diakui oleh syariat tanpa proses belajar sebelumnya, pembiasaan yang mengawalinya, dan membaca buku-buku, niscaya ia tidak akan meragukan kecerdasan akal dan ketajaman pemahaman Beliau pada kesan pertamanya. Di antara ciri akal yang cerdas adalah kecemerlangan ide, keunggulan kecerdasan dan kecerdikan, ketepatan perkiraan dan prediksi terhadap akhir suatu perkara, kecenderungan untuk meraih kemaslahatan dan melawan syahwat, bagusnya siasat dan pengaturan, menerapkan sifat-sifat yang terpuji, dan menghindari hal-hal yang tercela, ini semua telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga puncaknya, yang tidak ada manusia lain yang dapat mencapainya. Orang yang mencermati kecakapan siasat Beliau terhadap orang-orang Arab yang seperti binatang liar, dengan tabiat yang sulit dikendalikan dan suka berselisih, bagaimana beliau menyikapi mereka, bersabar atas sikap dingin mereka, dan tabah atas gangguan mereka, hingga mereka akhirnya tunduk kepada Beliau, bersatu karena Beliau, siap berperang untuk Beliau meski dengan mengorbankan keluarga mereka, orang tua dan anak-anak mereka, lebih mengutamakan Beliau daripada diri mereka sendiri, siap meninggalkan tanah air dan orang terkasih mereka demi Beliau, padahal beliau belum pernah punya pengalaman dan tidak pernah membaca kitab-kitab untuk mempelajari sejarah orang-orang terdahulu, maka sudah menjadi jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia paling cerdas. Ketika akal Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan akal yang paling cerdas, tidak diragukan lagi akhlak Beliau yang mulia menjadi semakin luas cakupannya tanpa terbatas.” Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengistimewakan hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyak keistimewaan, sebagai pemuliaan dan pengagungan bagi Beliau, dan ini menjadi bukti keagungan derajat Beliau dan kemuliaan kedudukan Beliau di sisi Tuhannya, dan di antara keistimewaan ini adalah kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sumber: https://www.islamweb.net/وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 157 times, 1 visit(s) today Post Views: 241 QRIS donasi Yufid

Kecerdasan dan Kebijaksanaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم الحكمة وكمال العقل من أبرز صفات الرسل الذاتية التي منحهم الله تعالى إياها، وهى من لوازم الرسالة الإلهية، والاصطفاء الربانى، كما أنها سبب من الأسباب الهامة لتبليغ دين الله إلى أقوامهم، ودعوتهم وقيادتهم بالحكمة، قال الله تعالى: { ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ }(النحل: من الآية125) Kebijaksanaan dan kesempurnaan akal adalah salah satu sifat personal paling menonjol yang Allah karuniakan kepada para rasul. Ini merupakan sifat yang pasti menyertai risalah Tuhan, sebagaimana ia juga merupakan peranti penting untuk menyampaikan agama Allah kepada kaum mereka, serta menyeru dan memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Allah Ta’ala berfirman: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). وقد اصطفى الله سبحانه نبيَّه محمداً ـ صلى الله عليه وسلم ـ، وفضَّله على العالمين، وفطره على صفات عظيمة، حتى أبهرت سيرته القريب والبعيد، ومن ذلك أنه ـ صلى الله عليه وسلم – كان أرجح الناس عقلا، وأعظمهم خلقا، ومعلوم لكل ذي لُبٍّ أنه لم يتوافر العقل في إنسان كما توافر فيه ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال ابن كثير: ” معلوم لكل ذي لُب (عقل سليم) أن محمدا ـ صلى الله تعالى عليه وسلم ـ من أعقل خلق الله تعالي، بل أعقلهم وأكملهم على الإطلاق في نفس الأمر “ وقال الماوردي في أعلام النبوة: ” وأما الوجه الثاني: في كمال أخلاقه فيكون بست خصال: إحداهن: رجاحة عقله، وصدق فراسته، وقد دل على وفور ذلك فيه: صحة رأيه، وصواب تدبيره، وحسن تألفه “ Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakannya di antara makhluk-makhluk yang lain serta menciptakannya dengan sifat-sifat yang agung, hingga sejarah hidupnya membuat takjub orang yang dekat atau jauh dengannya. Di antara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau orang yang paling cerdas akalnya dan paling agung akhlaknya. Telah dimaklumi oleh setiap orang berakal bahwa tidak ada manusia yang punya kecerdasan yang menandingi kecerdasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu makhluk Allah Ta’ala yang paling cerdas. Bahkan beliau adalah makhluk paling cerdas dan sempurna secara mutlak.”  Al-Mawardi dalam kitab A’lam an-Nubuwwah berkata, “… Adapun bentuk kedua berkaitan dengan kesempurnaan akhlak beliau, maka ada enam sifat. Pertama, kecerdasan akalnya dan kebenaran firasatnya. Bukti bahwa beliau memiliki ini semua adalah kebenaran pendapat, ketepatan pengaturan, dan kebaikan perencanaan beliau.” Wahb bin Munabbih berkata, “Saya telah membaca 71 buku, dan saya menemukan dalam semua buku itu menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akalnya dan paling baik pandangannya.” Dalam riwayat lain ia mengatakan, “…dan saya menemukan dalam semua buku itu bahwa Allah tidak memberi akal kepada seluruh manusia sejak permulaan dunia hingga akhir zaman yang setara dengan akal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali bagaikan sebutir pasir di antara semua pasir yang ada di seluruh dunia.” عُرِفَ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ مِنْ صِغره ومنذ نشأته بسمو عقله على أقرانه ومَنْ في سِنِّه، فمنذ كان غلاما، والعقل يزينه، ولقد بدا ذلك لجده عبد المطلب الذي أخذه صغيرا ليعوده أخلاق الرجال المكتملين وبعد وفاة جده ذهب إلى بيت عمه أبى طالب، فكان غلاما وسط أولاده، لا يسبق إلى الطعام، بل يتريث غير نهم ولا طامع، وقد يكتفي بالقليل أو ما دونه حتى يتنبه إليه عمه الشفيق فيقرب الطعام إليه، حتى إذا بلغ قدرا يستطيع فيه الاكتساب عمل برعى الأغنام ليأكل من عمل يده، ثم طلب من عمه أبى طالب أن يأخذه معه إلى الشام في قافلة تجارة قريش، وهو في الثانية عشرة من عمره Sebelum Diutus Menjadi Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dikenal sejak kecil dan masa pertumbuhan dengan keunggulan kecerdasan Beliau dibandingkan teman-teman sebayanya. Sejak belia, akal telah menghiasi pribadinya. Hal ini dapat terlihat jelas oleh kakeknya, Abdul Muthalib yang telah mengasuh Beliau sejak kecil untuk membiasakan pada Beliau akhlak para pria sejati. Setelah kakek Beliau wafat, Beliau lalu diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Beliau saat itu masih terhitung masih anak kecil di tengah anak-anak Abu Thalib. Beliau tidak terburu-buru mengambil makanan, tapi justru menunggu tanpa kerakusan dan ketamakan. Beliau seringkali mencukupkan diri dengan mengambil sedikit makanan atau bahkan lebih sedikit dari itu, hingga pamannya yang penuh kasih sayang itu sadar apa yang Beliau lakukan, sehingga pamannya sendiri yang mendekatkan makanan kepadanya. Hingga ketika telah mencapai usia yang mampu untuk mencari penghasilan, Beliau bekerja menggembala kambing, agar Beliau dapat makan dari hasil jerih payah Beliau sendiri. Kemudian Beliau meminta pamannya, Abu Thalib, untuk mengajak Beliau pergi ke Syam dalam kafilah dagang kaum Quraisy. Ketika itu Beliau berusia 12 tahun. ولكمال عقله كان يحضر مجتمعات قريش، فهو يحضر ندوتها فاحصا ما يقال فيها من حق يرضاه، وباطل يجفوه ولا يقره، ويحضر حلف الفضول، ويرى ـ لعقله الكامل المدرك ـ أنه لا يسره به حمر النعم، ولا يرى نصرة للحق أقوى منه، ويخبر ـ بعد ذلك ـ أنه لو دُعِي به في الإسلام لأجاب تكريما له وإعلاء لقدره ومن مظاهر وفور عقله منذ صغره وقبل بعثته نفوره من عادات الجاهلية التي كانت تحرم وتحلل من غير بينة ولا علم، فلم يُرَ ساجدا لصنم قط، لأن العقل السليم والفطرة النقية تأبى ذلك، فيستحلفه الراهب باللات والعزى فيقول وهو غلام: ( ما كرهت شيئا كما كرهتهما )، ويختلف مع تاجر، فيستحلفه التاجر باللات والعزى، فيمتنع، فيسلم له التاجر بحقه من غير حلف لأمانته ولكمال عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ لم يخض مع الخائضين في الجاهلية، وكان لا يحب الحرب، ولذلك لم يشارك في حرب الفجار، إلا بتجهيز السهام لأعمامه حماية لهم ورحمة بهم، بموجب الرحم الواصلة، لا بموجب الحرب التي أحلت فيها الحرمات والأشهر الحرم Karena kecerdasannya, dulu Beliau senantiasa ikut menghadiri perkumpulan kaum Quraisy. Beliau mendatangi tempat mereka bermusyawarah untuk memeriksa apa yang didiskusikan di sana, berupa kebenaran yang Beliau setujui atau kebatilan yang Beliau ingkari.  Beliau juga ikut serta dalam perjanjian al-Fudhul. Dengan akal sempurna Beliau yang cerdas, bahkan Beliau lebih senang dengan perjanjian itu daripada mendapatkan unta merah. Beliau berpandangan bahwa tidak ada pembelaan terhadap kebenaran yang lebih kuat daripada perjanjian tersebut. Beliau juga mengabarkan setelah menjadi Nabi bahwa seandainya Beliau diajak untuk membuat perjanjian semacam itu setelah adanya Islam, niscaya Beliau akan menyetujuinya, sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kedudukan perjanjian tersebut. Di antara tanda kecerdasan Beliau sejak kecil dan sebelum diangkat menjadi Nabi, Beliau menghindari adat-adat Jahiliyah yang secara serampangan mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dasar dan ilmu. Beliau tidak pernah sekalipun bersujud kepada berhala, karena akal yang sehat dan fitrah yang jernih pasti akan enggan melakukannya.  Pernah ada seorang rahib yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza (dua sesembahan orang Jahiliyah). Lalu Beliau – yang ketika itu masih kecil – menanggapinya dengan berkata, “Tidaklah aku membenci sesuatu melebihi kebencian terhadap dua hal itu!”  Beliau juga pernah berselisih dengan seorang pedagang, lalu pedagang itu meminta Beliau bersumpah atas nama Lata dan Uzza, tapi Beliau menolak dan lebih memilih untuk mengalah atas haknya untuk pedagang tersebut. Karena kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau tidak pernah berbincang-bincang tanpa manfaat dengan orang-orang pada masa Jahiliyah. Beliau juga tidak menyukai peperangan. Oleh sebab itu, pada perang Fijar Beliau hanya ikut menyiapkan anak panah untuk para pamannya, demi menjaga mereka dan kasih sayang terhadap mereka karena tuntutan silaturahim, bukan karena tuntutan perang yang telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan kehormatan bulan-bulan Haram. ومن مظاهر وفور عقله وكمال حكمته ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ طريقة حله للنزاع والخلاف، فحقن ـ بحكمته ـ دماء كثيرة، وأوقف حروباً طاحنة، وقصة الحجر الأسود شاهدة على ذلك، فقبل بعثته ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخمس سنوات ـ اجتمعت قريش لتجديد بناء الكعبة لِما أصابها من تصدع جدرانها، وكانت لا تزال كما بناها إبراهيم ـ عليه السلام ـ رضما (حجارة ) فوق القامة، وقد تم تقسيم العمل في بناء الكعبة بين القبائل، وتولت كل واحدة منها ناحية من نواحي الكعبة، فجعلوا يبنونها بحجارة الوادي، ولما بلغ البنيان موضع الحجر الأسود دبَ الشقاق بين قبائل قريش، فكل يريد أن ينال شرف رفع الحجر الأسود إلى موضعه، وكادوا أن يقتتلوا فيما بينهم، حتى جاء أبو أمية بن المغيرة المخزومي فاقترح عليهم أن يحكّموا فيما اختلفوا فيه أول من يدخل عليهم من باب المسجد الحرام، فوافقوا على اقتراحه وانتظروا أول قادم، فإذا هو رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وما إن رأوه حتى هتفوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد، وما إن انتهى إليهم حتى أخبروه الخبر، فقال : ( هلمّ إليَّ ثوبا )، فأتوه به فوضع الحجر في وسطه ثم قال : ( لتأخذ كل قبيلة بناحية من الثوب ثم ارفعوه جميعا ) ففعلوا، فلما بلغوا به موضعه أخذه بيده الشريفة ووضعه في مكانه لقد كانت قريش على علم بكمال عقله، وقوة إدراكه، فرضيت به حكما، ساعة أن احتدم الجدل، وكادت المعارك أن تشتعل بينهم، ومن ثم قالوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد Di antara bentuk tingginya kecerdasan dan sempurnanya kebijaksanaan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode Beliau dalam menyelesaikan perselisihan dan sengketa. Berkat kebijaksanaan Beliau, banyak pertumpahan darah yang berhasil dihindari dan terhentikan perang-perang sengit, dan kisah tentang peletakan Hajar Aswad menjadi bukti atas hal ini. Lima tahun sebelum Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Nabi, kaum Quraisy berkumpul untuk merenovasi bangunan Ka’bah karena dindingnya yang telah retak-retak. Dulu Ka’bah masih sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang berupa susunan batu yang lebih tinggi dari postur orang dewasa. Pembagian tugas renovasi Ka’bah telah dibagi di antara kabilah-kabilah Quraisy. Setiap kabilah bertanggung jawab membangun satu sisi Ka’bah. Merekapun mulai membangunnya dengan batu-batu dari lembah. Ketika pembangunan sampai di tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan di antara kabilah-kabilah Quraisy itu, setiap kabilah ingin mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga mereka hampir saling berperang. Hingga datanglah Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi yang mengusulkan untuk meminta ketetapan hukum yang mereka perselisihkan ini kepada orang yang pertama kali masuk dari pintu Masjidil Haram ketika itu. Mereka menyetujui usulan ini dan menunggu siapa orang pertama yang datang, dan ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka melihat beliau, mereka berseru, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela (dia yang mengambil keputusan)! Ini adalah Muhammad!” Ketika beliau sampai kepada mereka, mereka pun mengabarkan tentang apa yang terjadi. Beliau lalu berkata, “Berikanlah kepadaku sehelai kain!” Mereka lalu mendatangkan sehelai kain, kemudian beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah kain itu dan berkata, “Setiap kabilah silakan memegang satu tepi kain ini, lalu angkatlah ia bersama-sama.” Merekapun melakukannya. Ketika mereka sampai di tempat peletakan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah, beliau mengambil Hajar Aswad dengan tangan beliau yang mulia dan meletakkannya di tempatnya. Dulu kaum Quraisy telah mengetahui kesempurnaan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kekuatan pemahamannya, sehingga mereka puas dengan hukum yang Beliau berikan ketika mereka saling berdebat sengit dan hampir saja peperangan tersulut di antara mereka. Pada akhirnya mereka pun berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami rela! Ini adalah Muhammad!” بعد البعثة أما بعد بعثته فقد تجلت حكمته ـ صلى الله عليه وسلم ـ وكمال عقله في معاشرته وتربيته لأصحابه، وأهله وأولاده، وسياسته مع رعيته، وحسن ترتيبه وتدبيره في هجرته وغزواته، وموقفه في القضاء على الفتنة التي كادت تقع بين الأوس والخزرج – بسبب تأليب اليهود في المدينة- وبين المهاجرين والأنصار أثناء غزوة بني المصطلق، وفي عقد المعاهدات والصلح، وفي معاملة الأصدقاء والأعداء، إلى غير ذلك مما لا يحصيه العد في سيرته العطرة ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال القاضي عياض: ” ومن تأمل تدبيره ـ صلى الله عليه وسلم ـ أمْر بواطن الخلق وظواهرهم، وسياسة الخاصة والعامة، مع عجيب شمائله، وبديع سيره، فضلا عما أفاضه من العلم، وقرره من الشرع، دون تعلّم سبق، ولا ممارسة تقدمت، ولا مطالعة للكتب، لم يمتر في رجحان عقله، وثقوب فهمه لأول وهلة، ومما يتفرع عن العقل ثقوب الرّأي وجودة الفطنة والإصابة، وصدق الظن، والنظر للعواقب، ومصالح النفس، ومجاهدة الشهوة، وحسن السياسة والتدبير، واقتفاء الفضائل، واجتناب الرذائل، وقد بلغ ـ صلى الله عليه وسلم ـ من ذلك الغاية التي لم يبلغها بشر سواه ـ صلى الله عليه وسلّم ـ .. ومن تأمل حسن تدبيره للعرب الذين كالوحش الشارد، والطبع المتنافر المتباعد، كيف ساسهم، واحتمل جفاهم، وصبر على أذاهم، إلى أن انقادوا إليه، واجتمعوا عليه، وقاتلوا دونه أهليهم: آباءهم وأبناءهم، واختاروه على أنفسهم، وهجروا في رضاه أوطانهم وأحبابهم، من غير ممارسة سبقت له، ولا مطالعة كتب يتعلّم منها سنن الماضين، فتحقّق أنه ـ صلى الله عليه وسلم ـ أعقل الناس، ولما كان عقله ـ صلى الله عليه وسلّم ـ أوسع العقول لا جرم اتسعت أخلاق نفسه الكريمة اتساعا لا يضيق عن شيء “ لقد اختص الله ـ تبارك وتعالى ـ عبده ورسوله محمدا ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخصائص كثيرة، تشريفا وتكريما له، مما يدل على جليل قدره وشرف منزلته عند ربه، ومنها حكمته ووفور عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ Setelah diutus menjadi Nabi Adapun setelah menjadi Nabi, kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tampak pada interaksi dan pengajaran yang Beliau tujukan kepada para sahabat, istri, dan anak-anak Beliau. Juga pada siasat Beliau terhadap rakyatnya, kerapian rencana dan strategi yang Beliau susun ketika berhijrah dan berperang, pada sikap Beliau dalam menyelesaikan perselisihan yang hampir terjadi antara suku Aus dan Khazraj – akibat adu domba kaum Yahudi di Madinah – dan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar saat perang Bani Musthaliq, dan pada perjanjian-perjanjian yang Beliau buat, interaksi yang Beliau lakukan dengan teman maupun musuh, dan hal-hal lainnya yang tidak dapat terhitung jumlahnya dalam sejarah hidup Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harum semerbak. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Barang siapa yang mencermati siasat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap urusan lahir dan batin manusia, pengaturan terhadap perkara-perkara khusus dan umum, disertai dengan sikap-sikap Beliau yang menakjubkan dan sejarah hidup Beliau yang memukau, terlebih lagi ilmu yang memancar dari diri Beliau dan diakui oleh syariat tanpa proses belajar sebelumnya, pembiasaan yang mengawalinya, dan membaca buku-buku, niscaya ia tidak akan meragukan kecerdasan akal dan ketajaman pemahaman Beliau pada kesan pertamanya. Di antara ciri akal yang cerdas adalah kecemerlangan ide, keunggulan kecerdasan dan kecerdikan, ketepatan perkiraan dan prediksi terhadap akhir suatu perkara, kecenderungan untuk meraih kemaslahatan dan melawan syahwat, bagusnya siasat dan pengaturan, menerapkan sifat-sifat yang terpuji, dan menghindari hal-hal yang tercela, ini semua telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga puncaknya, yang tidak ada manusia lain yang dapat mencapainya. Orang yang mencermati kecakapan siasat Beliau terhadap orang-orang Arab yang seperti binatang liar, dengan tabiat yang sulit dikendalikan dan suka berselisih, bagaimana beliau menyikapi mereka, bersabar atas sikap dingin mereka, dan tabah atas gangguan mereka, hingga mereka akhirnya tunduk kepada Beliau, bersatu karena Beliau, siap berperang untuk Beliau meski dengan mengorbankan keluarga mereka, orang tua dan anak-anak mereka, lebih mengutamakan Beliau daripada diri mereka sendiri, siap meninggalkan tanah air dan orang terkasih mereka demi Beliau, padahal beliau belum pernah punya pengalaman dan tidak pernah membaca kitab-kitab untuk mempelajari sejarah orang-orang terdahulu, maka sudah menjadi jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia paling cerdas. Ketika akal Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan akal yang paling cerdas, tidak diragukan lagi akhlak Beliau yang mulia menjadi semakin luas cakupannya tanpa terbatas.” Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengistimewakan hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyak keistimewaan, sebagai pemuliaan dan pengagungan bagi Beliau, dan ini menjadi bukti keagungan derajat Beliau dan kemuliaan kedudukan Beliau di sisi Tuhannya, dan di antara keistimewaan ini adalah kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sumber: https://www.islamweb.net/وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 157 times, 1 visit(s) today Post Views: 241 QRIS donasi Yufid
وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم الحكمة وكمال العقل من أبرز صفات الرسل الذاتية التي منحهم الله تعالى إياها، وهى من لوازم الرسالة الإلهية، والاصطفاء الربانى، كما أنها سبب من الأسباب الهامة لتبليغ دين الله إلى أقوامهم، ودعوتهم وقيادتهم بالحكمة، قال الله تعالى: { ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ }(النحل: من الآية125) Kebijaksanaan dan kesempurnaan akal adalah salah satu sifat personal paling menonjol yang Allah karuniakan kepada para rasul. Ini merupakan sifat yang pasti menyertai risalah Tuhan, sebagaimana ia juga merupakan peranti penting untuk menyampaikan agama Allah kepada kaum mereka, serta menyeru dan memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Allah Ta’ala berfirman: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). وقد اصطفى الله سبحانه نبيَّه محمداً ـ صلى الله عليه وسلم ـ، وفضَّله على العالمين، وفطره على صفات عظيمة، حتى أبهرت سيرته القريب والبعيد، ومن ذلك أنه ـ صلى الله عليه وسلم – كان أرجح الناس عقلا، وأعظمهم خلقا، ومعلوم لكل ذي لُبٍّ أنه لم يتوافر العقل في إنسان كما توافر فيه ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال ابن كثير: ” معلوم لكل ذي لُب (عقل سليم) أن محمدا ـ صلى الله تعالى عليه وسلم ـ من أعقل خلق الله تعالي، بل أعقلهم وأكملهم على الإطلاق في نفس الأمر “ وقال الماوردي في أعلام النبوة: ” وأما الوجه الثاني: في كمال أخلاقه فيكون بست خصال: إحداهن: رجاحة عقله، وصدق فراسته، وقد دل على وفور ذلك فيه: صحة رأيه، وصواب تدبيره، وحسن تألفه “ Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakannya di antara makhluk-makhluk yang lain serta menciptakannya dengan sifat-sifat yang agung, hingga sejarah hidupnya membuat takjub orang yang dekat atau jauh dengannya. Di antara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau orang yang paling cerdas akalnya dan paling agung akhlaknya. Telah dimaklumi oleh setiap orang berakal bahwa tidak ada manusia yang punya kecerdasan yang menandingi kecerdasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu makhluk Allah Ta’ala yang paling cerdas. Bahkan beliau adalah makhluk paling cerdas dan sempurna secara mutlak.”  Al-Mawardi dalam kitab A’lam an-Nubuwwah berkata, “… Adapun bentuk kedua berkaitan dengan kesempurnaan akhlak beliau, maka ada enam sifat. Pertama, kecerdasan akalnya dan kebenaran firasatnya. Bukti bahwa beliau memiliki ini semua adalah kebenaran pendapat, ketepatan pengaturan, dan kebaikan perencanaan beliau.” Wahb bin Munabbih berkata, “Saya telah membaca 71 buku, dan saya menemukan dalam semua buku itu menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akalnya dan paling baik pandangannya.” Dalam riwayat lain ia mengatakan, “…dan saya menemukan dalam semua buku itu bahwa Allah tidak memberi akal kepada seluruh manusia sejak permulaan dunia hingga akhir zaman yang setara dengan akal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali bagaikan sebutir pasir di antara semua pasir yang ada di seluruh dunia.” عُرِفَ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ مِنْ صِغره ومنذ نشأته بسمو عقله على أقرانه ومَنْ في سِنِّه، فمنذ كان غلاما، والعقل يزينه، ولقد بدا ذلك لجده عبد المطلب الذي أخذه صغيرا ليعوده أخلاق الرجال المكتملين وبعد وفاة جده ذهب إلى بيت عمه أبى طالب، فكان غلاما وسط أولاده، لا يسبق إلى الطعام، بل يتريث غير نهم ولا طامع، وقد يكتفي بالقليل أو ما دونه حتى يتنبه إليه عمه الشفيق فيقرب الطعام إليه، حتى إذا بلغ قدرا يستطيع فيه الاكتساب عمل برعى الأغنام ليأكل من عمل يده، ثم طلب من عمه أبى طالب أن يأخذه معه إلى الشام في قافلة تجارة قريش، وهو في الثانية عشرة من عمره Sebelum Diutus Menjadi Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dikenal sejak kecil dan masa pertumbuhan dengan keunggulan kecerdasan Beliau dibandingkan teman-teman sebayanya. Sejak belia, akal telah menghiasi pribadinya. Hal ini dapat terlihat jelas oleh kakeknya, Abdul Muthalib yang telah mengasuh Beliau sejak kecil untuk membiasakan pada Beliau akhlak para pria sejati. Setelah kakek Beliau wafat, Beliau lalu diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Beliau saat itu masih terhitung masih anak kecil di tengah anak-anak Abu Thalib. Beliau tidak terburu-buru mengambil makanan, tapi justru menunggu tanpa kerakusan dan ketamakan. Beliau seringkali mencukupkan diri dengan mengambil sedikit makanan atau bahkan lebih sedikit dari itu, hingga pamannya yang penuh kasih sayang itu sadar apa yang Beliau lakukan, sehingga pamannya sendiri yang mendekatkan makanan kepadanya. Hingga ketika telah mencapai usia yang mampu untuk mencari penghasilan, Beliau bekerja menggembala kambing, agar Beliau dapat makan dari hasil jerih payah Beliau sendiri. Kemudian Beliau meminta pamannya, Abu Thalib, untuk mengajak Beliau pergi ke Syam dalam kafilah dagang kaum Quraisy. Ketika itu Beliau berusia 12 tahun. ولكمال عقله كان يحضر مجتمعات قريش، فهو يحضر ندوتها فاحصا ما يقال فيها من حق يرضاه، وباطل يجفوه ولا يقره، ويحضر حلف الفضول، ويرى ـ لعقله الكامل المدرك ـ أنه لا يسره به حمر النعم، ولا يرى نصرة للحق أقوى منه، ويخبر ـ بعد ذلك ـ أنه لو دُعِي به في الإسلام لأجاب تكريما له وإعلاء لقدره ومن مظاهر وفور عقله منذ صغره وقبل بعثته نفوره من عادات الجاهلية التي كانت تحرم وتحلل من غير بينة ولا علم، فلم يُرَ ساجدا لصنم قط، لأن العقل السليم والفطرة النقية تأبى ذلك، فيستحلفه الراهب باللات والعزى فيقول وهو غلام: ( ما كرهت شيئا كما كرهتهما )، ويختلف مع تاجر، فيستحلفه التاجر باللات والعزى، فيمتنع، فيسلم له التاجر بحقه من غير حلف لأمانته ولكمال عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ لم يخض مع الخائضين في الجاهلية، وكان لا يحب الحرب، ولذلك لم يشارك في حرب الفجار، إلا بتجهيز السهام لأعمامه حماية لهم ورحمة بهم، بموجب الرحم الواصلة، لا بموجب الحرب التي أحلت فيها الحرمات والأشهر الحرم Karena kecerdasannya, dulu Beliau senantiasa ikut menghadiri perkumpulan kaum Quraisy. Beliau mendatangi tempat mereka bermusyawarah untuk memeriksa apa yang didiskusikan di sana, berupa kebenaran yang Beliau setujui atau kebatilan yang Beliau ingkari.  Beliau juga ikut serta dalam perjanjian al-Fudhul. Dengan akal sempurna Beliau yang cerdas, bahkan Beliau lebih senang dengan perjanjian itu daripada mendapatkan unta merah. Beliau berpandangan bahwa tidak ada pembelaan terhadap kebenaran yang lebih kuat daripada perjanjian tersebut. Beliau juga mengabarkan setelah menjadi Nabi bahwa seandainya Beliau diajak untuk membuat perjanjian semacam itu setelah adanya Islam, niscaya Beliau akan menyetujuinya, sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kedudukan perjanjian tersebut. Di antara tanda kecerdasan Beliau sejak kecil dan sebelum diangkat menjadi Nabi, Beliau menghindari adat-adat Jahiliyah yang secara serampangan mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dasar dan ilmu. Beliau tidak pernah sekalipun bersujud kepada berhala, karena akal yang sehat dan fitrah yang jernih pasti akan enggan melakukannya.  Pernah ada seorang rahib yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza (dua sesembahan orang Jahiliyah). Lalu Beliau – yang ketika itu masih kecil – menanggapinya dengan berkata, “Tidaklah aku membenci sesuatu melebihi kebencian terhadap dua hal itu!”  Beliau juga pernah berselisih dengan seorang pedagang, lalu pedagang itu meminta Beliau bersumpah atas nama Lata dan Uzza, tapi Beliau menolak dan lebih memilih untuk mengalah atas haknya untuk pedagang tersebut. Karena kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau tidak pernah berbincang-bincang tanpa manfaat dengan orang-orang pada masa Jahiliyah. Beliau juga tidak menyukai peperangan. Oleh sebab itu, pada perang Fijar Beliau hanya ikut menyiapkan anak panah untuk para pamannya, demi menjaga mereka dan kasih sayang terhadap mereka karena tuntutan silaturahim, bukan karena tuntutan perang yang telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan kehormatan bulan-bulan Haram. ومن مظاهر وفور عقله وكمال حكمته ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ طريقة حله للنزاع والخلاف، فحقن ـ بحكمته ـ دماء كثيرة، وأوقف حروباً طاحنة، وقصة الحجر الأسود شاهدة على ذلك، فقبل بعثته ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخمس سنوات ـ اجتمعت قريش لتجديد بناء الكعبة لِما أصابها من تصدع جدرانها، وكانت لا تزال كما بناها إبراهيم ـ عليه السلام ـ رضما (حجارة ) فوق القامة، وقد تم تقسيم العمل في بناء الكعبة بين القبائل، وتولت كل واحدة منها ناحية من نواحي الكعبة، فجعلوا يبنونها بحجارة الوادي، ولما بلغ البنيان موضع الحجر الأسود دبَ الشقاق بين قبائل قريش، فكل يريد أن ينال شرف رفع الحجر الأسود إلى موضعه، وكادوا أن يقتتلوا فيما بينهم، حتى جاء أبو أمية بن المغيرة المخزومي فاقترح عليهم أن يحكّموا فيما اختلفوا فيه أول من يدخل عليهم من باب المسجد الحرام، فوافقوا على اقتراحه وانتظروا أول قادم، فإذا هو رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وما إن رأوه حتى هتفوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد، وما إن انتهى إليهم حتى أخبروه الخبر، فقال : ( هلمّ إليَّ ثوبا )، فأتوه به فوضع الحجر في وسطه ثم قال : ( لتأخذ كل قبيلة بناحية من الثوب ثم ارفعوه جميعا ) ففعلوا، فلما بلغوا به موضعه أخذه بيده الشريفة ووضعه في مكانه لقد كانت قريش على علم بكمال عقله، وقوة إدراكه، فرضيت به حكما، ساعة أن احتدم الجدل، وكادت المعارك أن تشتعل بينهم، ومن ثم قالوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد Di antara bentuk tingginya kecerdasan dan sempurnanya kebijaksanaan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode Beliau dalam menyelesaikan perselisihan dan sengketa. Berkat kebijaksanaan Beliau, banyak pertumpahan darah yang berhasil dihindari dan terhentikan perang-perang sengit, dan kisah tentang peletakan Hajar Aswad menjadi bukti atas hal ini. Lima tahun sebelum Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Nabi, kaum Quraisy berkumpul untuk merenovasi bangunan Ka’bah karena dindingnya yang telah retak-retak. Dulu Ka’bah masih sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang berupa susunan batu yang lebih tinggi dari postur orang dewasa. Pembagian tugas renovasi Ka’bah telah dibagi di antara kabilah-kabilah Quraisy. Setiap kabilah bertanggung jawab membangun satu sisi Ka’bah. Merekapun mulai membangunnya dengan batu-batu dari lembah. Ketika pembangunan sampai di tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan di antara kabilah-kabilah Quraisy itu, setiap kabilah ingin mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga mereka hampir saling berperang. Hingga datanglah Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi yang mengusulkan untuk meminta ketetapan hukum yang mereka perselisihkan ini kepada orang yang pertama kali masuk dari pintu Masjidil Haram ketika itu. Mereka menyetujui usulan ini dan menunggu siapa orang pertama yang datang, dan ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka melihat beliau, mereka berseru, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela (dia yang mengambil keputusan)! Ini adalah Muhammad!” Ketika beliau sampai kepada mereka, mereka pun mengabarkan tentang apa yang terjadi. Beliau lalu berkata, “Berikanlah kepadaku sehelai kain!” Mereka lalu mendatangkan sehelai kain, kemudian beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah kain itu dan berkata, “Setiap kabilah silakan memegang satu tepi kain ini, lalu angkatlah ia bersama-sama.” Merekapun melakukannya. Ketika mereka sampai di tempat peletakan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah, beliau mengambil Hajar Aswad dengan tangan beliau yang mulia dan meletakkannya di tempatnya. Dulu kaum Quraisy telah mengetahui kesempurnaan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kekuatan pemahamannya, sehingga mereka puas dengan hukum yang Beliau berikan ketika mereka saling berdebat sengit dan hampir saja peperangan tersulut di antara mereka. Pada akhirnya mereka pun berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami rela! Ini adalah Muhammad!” بعد البعثة أما بعد بعثته فقد تجلت حكمته ـ صلى الله عليه وسلم ـ وكمال عقله في معاشرته وتربيته لأصحابه، وأهله وأولاده، وسياسته مع رعيته، وحسن ترتيبه وتدبيره في هجرته وغزواته، وموقفه في القضاء على الفتنة التي كادت تقع بين الأوس والخزرج – بسبب تأليب اليهود في المدينة- وبين المهاجرين والأنصار أثناء غزوة بني المصطلق، وفي عقد المعاهدات والصلح، وفي معاملة الأصدقاء والأعداء، إلى غير ذلك مما لا يحصيه العد في سيرته العطرة ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال القاضي عياض: ” ومن تأمل تدبيره ـ صلى الله عليه وسلم ـ أمْر بواطن الخلق وظواهرهم، وسياسة الخاصة والعامة، مع عجيب شمائله، وبديع سيره، فضلا عما أفاضه من العلم، وقرره من الشرع، دون تعلّم سبق، ولا ممارسة تقدمت، ولا مطالعة للكتب، لم يمتر في رجحان عقله، وثقوب فهمه لأول وهلة، ومما يتفرع عن العقل ثقوب الرّأي وجودة الفطنة والإصابة، وصدق الظن، والنظر للعواقب، ومصالح النفس، ومجاهدة الشهوة، وحسن السياسة والتدبير، واقتفاء الفضائل، واجتناب الرذائل، وقد بلغ ـ صلى الله عليه وسلم ـ من ذلك الغاية التي لم يبلغها بشر سواه ـ صلى الله عليه وسلّم ـ .. ومن تأمل حسن تدبيره للعرب الذين كالوحش الشارد، والطبع المتنافر المتباعد، كيف ساسهم، واحتمل جفاهم، وصبر على أذاهم، إلى أن انقادوا إليه، واجتمعوا عليه، وقاتلوا دونه أهليهم: آباءهم وأبناءهم، واختاروه على أنفسهم، وهجروا في رضاه أوطانهم وأحبابهم، من غير ممارسة سبقت له، ولا مطالعة كتب يتعلّم منها سنن الماضين، فتحقّق أنه ـ صلى الله عليه وسلم ـ أعقل الناس، ولما كان عقله ـ صلى الله عليه وسلّم ـ أوسع العقول لا جرم اتسعت أخلاق نفسه الكريمة اتساعا لا يضيق عن شيء “ لقد اختص الله ـ تبارك وتعالى ـ عبده ورسوله محمدا ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخصائص كثيرة، تشريفا وتكريما له، مما يدل على جليل قدره وشرف منزلته عند ربه، ومنها حكمته ووفور عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ Setelah diutus menjadi Nabi Adapun setelah menjadi Nabi, kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tampak pada interaksi dan pengajaran yang Beliau tujukan kepada para sahabat, istri, dan anak-anak Beliau. Juga pada siasat Beliau terhadap rakyatnya, kerapian rencana dan strategi yang Beliau susun ketika berhijrah dan berperang, pada sikap Beliau dalam menyelesaikan perselisihan yang hampir terjadi antara suku Aus dan Khazraj – akibat adu domba kaum Yahudi di Madinah – dan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar saat perang Bani Musthaliq, dan pada perjanjian-perjanjian yang Beliau buat, interaksi yang Beliau lakukan dengan teman maupun musuh, dan hal-hal lainnya yang tidak dapat terhitung jumlahnya dalam sejarah hidup Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harum semerbak. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Barang siapa yang mencermati siasat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap urusan lahir dan batin manusia, pengaturan terhadap perkara-perkara khusus dan umum, disertai dengan sikap-sikap Beliau yang menakjubkan dan sejarah hidup Beliau yang memukau, terlebih lagi ilmu yang memancar dari diri Beliau dan diakui oleh syariat tanpa proses belajar sebelumnya, pembiasaan yang mengawalinya, dan membaca buku-buku, niscaya ia tidak akan meragukan kecerdasan akal dan ketajaman pemahaman Beliau pada kesan pertamanya. Di antara ciri akal yang cerdas adalah kecemerlangan ide, keunggulan kecerdasan dan kecerdikan, ketepatan perkiraan dan prediksi terhadap akhir suatu perkara, kecenderungan untuk meraih kemaslahatan dan melawan syahwat, bagusnya siasat dan pengaturan, menerapkan sifat-sifat yang terpuji, dan menghindari hal-hal yang tercela, ini semua telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga puncaknya, yang tidak ada manusia lain yang dapat mencapainya. Orang yang mencermati kecakapan siasat Beliau terhadap orang-orang Arab yang seperti binatang liar, dengan tabiat yang sulit dikendalikan dan suka berselisih, bagaimana beliau menyikapi mereka, bersabar atas sikap dingin mereka, dan tabah atas gangguan mereka, hingga mereka akhirnya tunduk kepada Beliau, bersatu karena Beliau, siap berperang untuk Beliau meski dengan mengorbankan keluarga mereka, orang tua dan anak-anak mereka, lebih mengutamakan Beliau daripada diri mereka sendiri, siap meninggalkan tanah air dan orang terkasih mereka demi Beliau, padahal beliau belum pernah punya pengalaman dan tidak pernah membaca kitab-kitab untuk mempelajari sejarah orang-orang terdahulu, maka sudah menjadi jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia paling cerdas. Ketika akal Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan akal yang paling cerdas, tidak diragukan lagi akhlak Beliau yang mulia menjadi semakin luas cakupannya tanpa terbatas.” Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengistimewakan hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyak keistimewaan, sebagai pemuliaan dan pengagungan bagi Beliau, dan ini menjadi bukti keagungan derajat Beliau dan kemuliaan kedudukan Beliau di sisi Tuhannya, dan di antara keistimewaan ini adalah kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sumber: https://www.islamweb.net/وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 157 times, 1 visit(s) today Post Views: 241 QRIS donasi Yufid


وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم الحكمة وكمال العقل من أبرز صفات الرسل الذاتية التي منحهم الله تعالى إياها، وهى من لوازم الرسالة الإلهية، والاصطفاء الربانى، كما أنها سبب من الأسباب الهامة لتبليغ دين الله إلى أقوامهم، ودعوتهم وقيادتهم بالحكمة، قال الله تعالى: { ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ }(النحل: من الآية125) Kebijaksanaan dan kesempurnaan akal adalah salah satu sifat personal paling menonjol yang Allah karuniakan kepada para rasul. Ini merupakan sifat yang pasti menyertai risalah Tuhan, sebagaimana ia juga merupakan peranti penting untuk menyampaikan agama Allah kepada kaum mereka, serta menyeru dan memimpin mereka dengan kebijaksanaan. Allah Ta’ala berfirman: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). وقد اصطفى الله سبحانه نبيَّه محمداً ـ صلى الله عليه وسلم ـ، وفضَّله على العالمين، وفطره على صفات عظيمة، حتى أبهرت سيرته القريب والبعيد، ومن ذلك أنه ـ صلى الله عليه وسلم – كان أرجح الناس عقلا، وأعظمهم خلقا، ومعلوم لكل ذي لُبٍّ أنه لم يتوافر العقل في إنسان كما توافر فيه ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال ابن كثير: ” معلوم لكل ذي لُب (عقل سليم) أن محمدا ـ صلى الله تعالى عليه وسلم ـ من أعقل خلق الله تعالي، بل أعقلهم وأكملهم على الإطلاق في نفس الأمر “ وقال الماوردي في أعلام النبوة: ” وأما الوجه الثاني: في كمال أخلاقه فيكون بست خصال: إحداهن: رجاحة عقله، وصدق فراسته، وقد دل على وفور ذلك فيه: صحة رأيه، وصواب تدبيره، وحسن تألفه “ Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakannya di antara makhluk-makhluk yang lain serta menciptakannya dengan sifat-sifat yang agung, hingga sejarah hidupnya membuat takjub orang yang dekat atau jauh dengannya. Di antara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau orang yang paling cerdas akalnya dan paling agung akhlaknya. Telah dimaklumi oleh setiap orang berakal bahwa tidak ada manusia yang punya kecerdasan yang menandingi kecerdasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu makhluk Allah Ta’ala yang paling cerdas. Bahkan beliau adalah makhluk paling cerdas dan sempurna secara mutlak.”  Al-Mawardi dalam kitab A’lam an-Nubuwwah berkata, “… Adapun bentuk kedua berkaitan dengan kesempurnaan akhlak beliau, maka ada enam sifat. Pertama, kecerdasan akalnya dan kebenaran firasatnya. Bukti bahwa beliau memiliki ini semua adalah kebenaran pendapat, ketepatan pengaturan, dan kebaikan perencanaan beliau.” Wahb bin Munabbih berkata, “Saya telah membaca 71 buku, dan saya menemukan dalam semua buku itu menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akalnya dan paling baik pandangannya.” Dalam riwayat lain ia mengatakan, “…dan saya menemukan dalam semua buku itu bahwa Allah tidak memberi akal kepada seluruh manusia sejak permulaan dunia hingga akhir zaman yang setara dengan akal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali bagaikan sebutir pasir di antara semua pasir yang ada di seluruh dunia.” عُرِفَ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ مِنْ صِغره ومنذ نشأته بسمو عقله على أقرانه ومَنْ في سِنِّه، فمنذ كان غلاما، والعقل يزينه، ولقد بدا ذلك لجده عبد المطلب الذي أخذه صغيرا ليعوده أخلاق الرجال المكتملين وبعد وفاة جده ذهب إلى بيت عمه أبى طالب، فكان غلاما وسط أولاده، لا يسبق إلى الطعام، بل يتريث غير نهم ولا طامع، وقد يكتفي بالقليل أو ما دونه حتى يتنبه إليه عمه الشفيق فيقرب الطعام إليه، حتى إذا بلغ قدرا يستطيع فيه الاكتساب عمل برعى الأغنام ليأكل من عمل يده، ثم طلب من عمه أبى طالب أن يأخذه معه إلى الشام في قافلة تجارة قريش، وهو في الثانية عشرة من عمره Sebelum Diutus Menjadi Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dikenal sejak kecil dan masa pertumbuhan dengan keunggulan kecerdasan Beliau dibandingkan teman-teman sebayanya. Sejak belia, akal telah menghiasi pribadinya. Hal ini dapat terlihat jelas oleh kakeknya, Abdul Muthalib yang telah mengasuh Beliau sejak kecil untuk membiasakan pada Beliau akhlak para pria sejati. Setelah kakek Beliau wafat, Beliau lalu diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Beliau saat itu masih terhitung masih anak kecil di tengah anak-anak Abu Thalib. Beliau tidak terburu-buru mengambil makanan, tapi justru menunggu tanpa kerakusan dan ketamakan. Beliau seringkali mencukupkan diri dengan mengambil sedikit makanan atau bahkan lebih sedikit dari itu, hingga pamannya yang penuh kasih sayang itu sadar apa yang Beliau lakukan, sehingga pamannya sendiri yang mendekatkan makanan kepadanya. Hingga ketika telah mencapai usia yang mampu untuk mencari penghasilan, Beliau bekerja menggembala kambing, agar Beliau dapat makan dari hasil jerih payah Beliau sendiri. Kemudian Beliau meminta pamannya, Abu Thalib, untuk mengajak Beliau pergi ke Syam dalam kafilah dagang kaum Quraisy. Ketika itu Beliau berusia 12 tahun. ولكمال عقله كان يحضر مجتمعات قريش، فهو يحضر ندوتها فاحصا ما يقال فيها من حق يرضاه، وباطل يجفوه ولا يقره، ويحضر حلف الفضول، ويرى ـ لعقله الكامل المدرك ـ أنه لا يسره به حمر النعم، ولا يرى نصرة للحق أقوى منه، ويخبر ـ بعد ذلك ـ أنه لو دُعِي به في الإسلام لأجاب تكريما له وإعلاء لقدره ومن مظاهر وفور عقله منذ صغره وقبل بعثته نفوره من عادات الجاهلية التي كانت تحرم وتحلل من غير بينة ولا علم، فلم يُرَ ساجدا لصنم قط، لأن العقل السليم والفطرة النقية تأبى ذلك، فيستحلفه الراهب باللات والعزى فيقول وهو غلام: ( ما كرهت شيئا كما كرهتهما )، ويختلف مع تاجر، فيستحلفه التاجر باللات والعزى، فيمتنع، فيسلم له التاجر بحقه من غير حلف لأمانته ولكمال عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ لم يخض مع الخائضين في الجاهلية، وكان لا يحب الحرب، ولذلك لم يشارك في حرب الفجار، إلا بتجهيز السهام لأعمامه حماية لهم ورحمة بهم، بموجب الرحم الواصلة، لا بموجب الحرب التي أحلت فيها الحرمات والأشهر الحرم Karena kecerdasannya, dulu Beliau senantiasa ikut menghadiri perkumpulan kaum Quraisy. Beliau mendatangi tempat mereka bermusyawarah untuk memeriksa apa yang didiskusikan di sana, berupa kebenaran yang Beliau setujui atau kebatilan yang Beliau ingkari.  Beliau juga ikut serta dalam perjanjian al-Fudhul. Dengan akal sempurna Beliau yang cerdas, bahkan Beliau lebih senang dengan perjanjian itu daripada mendapatkan unta merah. Beliau berpandangan bahwa tidak ada pembelaan terhadap kebenaran yang lebih kuat daripada perjanjian tersebut. Beliau juga mengabarkan setelah menjadi Nabi bahwa seandainya Beliau diajak untuk membuat perjanjian semacam itu setelah adanya Islam, niscaya Beliau akan menyetujuinya, sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan kedudukan perjanjian tersebut. Di antara tanda kecerdasan Beliau sejak kecil dan sebelum diangkat menjadi Nabi, Beliau menghindari adat-adat Jahiliyah yang secara serampangan mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dasar dan ilmu. Beliau tidak pernah sekalipun bersujud kepada berhala, karena akal yang sehat dan fitrah yang jernih pasti akan enggan melakukannya.  Pernah ada seorang rahib yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza (dua sesembahan orang Jahiliyah). Lalu Beliau – yang ketika itu masih kecil – menanggapinya dengan berkata, “Tidaklah aku membenci sesuatu melebihi kebencian terhadap dua hal itu!”  Beliau juga pernah berselisih dengan seorang pedagang, lalu pedagang itu meminta Beliau bersumpah atas nama Lata dan Uzza, tapi Beliau menolak dan lebih memilih untuk mengalah atas haknya untuk pedagang tersebut. Karena kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau tidak pernah berbincang-bincang tanpa manfaat dengan orang-orang pada masa Jahiliyah. Beliau juga tidak menyukai peperangan. Oleh sebab itu, pada perang Fijar Beliau hanya ikut menyiapkan anak panah untuk para pamannya, demi menjaga mereka dan kasih sayang terhadap mereka karena tuntutan silaturahim, bukan karena tuntutan perang yang telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan kehormatan bulan-bulan Haram. ومن مظاهر وفور عقله وكمال حكمته ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ طريقة حله للنزاع والخلاف، فحقن ـ بحكمته ـ دماء كثيرة، وأوقف حروباً طاحنة، وقصة الحجر الأسود شاهدة على ذلك، فقبل بعثته ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخمس سنوات ـ اجتمعت قريش لتجديد بناء الكعبة لِما أصابها من تصدع جدرانها، وكانت لا تزال كما بناها إبراهيم ـ عليه السلام ـ رضما (حجارة ) فوق القامة، وقد تم تقسيم العمل في بناء الكعبة بين القبائل، وتولت كل واحدة منها ناحية من نواحي الكعبة، فجعلوا يبنونها بحجارة الوادي، ولما بلغ البنيان موضع الحجر الأسود دبَ الشقاق بين قبائل قريش، فكل يريد أن ينال شرف رفع الحجر الأسود إلى موضعه، وكادوا أن يقتتلوا فيما بينهم، حتى جاء أبو أمية بن المغيرة المخزومي فاقترح عليهم أن يحكّموا فيما اختلفوا فيه أول من يدخل عليهم من باب المسجد الحرام، فوافقوا على اقتراحه وانتظروا أول قادم، فإذا هو رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وما إن رأوه حتى هتفوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد، وما إن انتهى إليهم حتى أخبروه الخبر، فقال : ( هلمّ إليَّ ثوبا )، فأتوه به فوضع الحجر في وسطه ثم قال : ( لتأخذ كل قبيلة بناحية من الثوب ثم ارفعوه جميعا ) ففعلوا، فلما بلغوا به موضعه أخذه بيده الشريفة ووضعه في مكانه لقد كانت قريش على علم بكمال عقله، وقوة إدراكه، فرضيت به حكما، ساعة أن احتدم الجدل، وكادت المعارك أن تشتعل بينهم، ومن ثم قالوا: هذا الأمين، رضينا، هذا محمد Di antara bentuk tingginya kecerdasan dan sempurnanya kebijaksanaan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode Beliau dalam menyelesaikan perselisihan dan sengketa. Berkat kebijaksanaan Beliau, banyak pertumpahan darah yang berhasil dihindari dan terhentikan perang-perang sengit, dan kisah tentang peletakan Hajar Aswad menjadi bukti atas hal ini. Lima tahun sebelum Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Nabi, kaum Quraisy berkumpul untuk merenovasi bangunan Ka’bah karena dindingnya yang telah retak-retak. Dulu Ka’bah masih sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang berupa susunan batu yang lebih tinggi dari postur orang dewasa. Pembagian tugas renovasi Ka’bah telah dibagi di antara kabilah-kabilah Quraisy. Setiap kabilah bertanggung jawab membangun satu sisi Ka’bah. Merekapun mulai membangunnya dengan batu-batu dari lembah. Ketika pembangunan sampai di tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan di antara kabilah-kabilah Quraisy itu, setiap kabilah ingin mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga mereka hampir saling berperang. Hingga datanglah Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi yang mengusulkan untuk meminta ketetapan hukum yang mereka perselisihkan ini kepada orang yang pertama kali masuk dari pintu Masjidil Haram ketika itu. Mereka menyetujui usulan ini dan menunggu siapa orang pertama yang datang, dan ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka melihat beliau, mereka berseru, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela (dia yang mengambil keputusan)! Ini adalah Muhammad!” Ketika beliau sampai kepada mereka, mereka pun mengabarkan tentang apa yang terjadi. Beliau lalu berkata, “Berikanlah kepadaku sehelai kain!” Mereka lalu mendatangkan sehelai kain, kemudian beliau meletakkan Hajar Aswad di tengah kain itu dan berkata, “Setiap kabilah silakan memegang satu tepi kain ini, lalu angkatlah ia bersama-sama.” Merekapun melakukannya. Ketika mereka sampai di tempat peletakan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah, beliau mengambil Hajar Aswad dengan tangan beliau yang mulia dan meletakkannya di tempatnya. Dulu kaum Quraisy telah mengetahui kesempurnaan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kekuatan pemahamannya, sehingga mereka puas dengan hukum yang Beliau berikan ketika mereka saling berdebat sengit dan hampir saja peperangan tersulut di antara mereka. Pada akhirnya mereka pun berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami rela! Ini adalah Muhammad!” بعد البعثة أما بعد بعثته فقد تجلت حكمته ـ صلى الله عليه وسلم ـ وكمال عقله في معاشرته وتربيته لأصحابه، وأهله وأولاده، وسياسته مع رعيته، وحسن ترتيبه وتدبيره في هجرته وغزواته، وموقفه في القضاء على الفتنة التي كادت تقع بين الأوس والخزرج – بسبب تأليب اليهود في المدينة- وبين المهاجرين والأنصار أثناء غزوة بني المصطلق، وفي عقد المعاهدات والصلح، وفي معاملة الأصدقاء والأعداء، إلى غير ذلك مما لا يحصيه العد في سيرته العطرة ـ صلوات الله وسلامه عليه ـ قال القاضي عياض: ” ومن تأمل تدبيره ـ صلى الله عليه وسلم ـ أمْر بواطن الخلق وظواهرهم، وسياسة الخاصة والعامة، مع عجيب شمائله، وبديع سيره، فضلا عما أفاضه من العلم، وقرره من الشرع، دون تعلّم سبق، ولا ممارسة تقدمت، ولا مطالعة للكتب، لم يمتر في رجحان عقله، وثقوب فهمه لأول وهلة، ومما يتفرع عن العقل ثقوب الرّأي وجودة الفطنة والإصابة، وصدق الظن، والنظر للعواقب، ومصالح النفس، ومجاهدة الشهوة، وحسن السياسة والتدبير، واقتفاء الفضائل، واجتناب الرذائل، وقد بلغ ـ صلى الله عليه وسلم ـ من ذلك الغاية التي لم يبلغها بشر سواه ـ صلى الله عليه وسلّم ـ .. ومن تأمل حسن تدبيره للعرب الذين كالوحش الشارد، والطبع المتنافر المتباعد، كيف ساسهم، واحتمل جفاهم، وصبر على أذاهم، إلى أن انقادوا إليه، واجتمعوا عليه، وقاتلوا دونه أهليهم: آباءهم وأبناءهم، واختاروه على أنفسهم، وهجروا في رضاه أوطانهم وأحبابهم، من غير ممارسة سبقت له، ولا مطالعة كتب يتعلّم منها سنن الماضين، فتحقّق أنه ـ صلى الله عليه وسلم ـ أعقل الناس، ولما كان عقله ـ صلى الله عليه وسلّم ـ أوسع العقول لا جرم اتسعت أخلاق نفسه الكريمة اتساعا لا يضيق عن شيء “ لقد اختص الله ـ تبارك وتعالى ـ عبده ورسوله محمدا ـ صلى الله عليه وسلم ـ بخصائص كثيرة، تشريفا وتكريما له، مما يدل على جليل قدره وشرف منزلته عند ربه، ومنها حكمته ووفور عقله ـ صلى الله عليه وسلم ـ Setelah diutus menjadi Nabi Adapun setelah menjadi Nabi, kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin tampak pada interaksi dan pengajaran yang Beliau tujukan kepada para sahabat, istri, dan anak-anak Beliau. Juga pada siasat Beliau terhadap rakyatnya, kerapian rencana dan strategi yang Beliau susun ketika berhijrah dan berperang, pada sikap Beliau dalam menyelesaikan perselisihan yang hampir terjadi antara suku Aus dan Khazraj – akibat adu domba kaum Yahudi di Madinah – dan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar saat perang Bani Musthaliq, dan pada perjanjian-perjanjian yang Beliau buat, interaksi yang Beliau lakukan dengan teman maupun musuh, dan hal-hal lainnya yang tidak dapat terhitung jumlahnya dalam sejarah hidup Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harum semerbak. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Barang siapa yang mencermati siasat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap urusan lahir dan batin manusia, pengaturan terhadap perkara-perkara khusus dan umum, disertai dengan sikap-sikap Beliau yang menakjubkan dan sejarah hidup Beliau yang memukau, terlebih lagi ilmu yang memancar dari diri Beliau dan diakui oleh syariat tanpa proses belajar sebelumnya, pembiasaan yang mengawalinya, dan membaca buku-buku, niscaya ia tidak akan meragukan kecerdasan akal dan ketajaman pemahaman Beliau pada kesan pertamanya. Di antara ciri akal yang cerdas adalah kecemerlangan ide, keunggulan kecerdasan dan kecerdikan, ketepatan perkiraan dan prediksi terhadap akhir suatu perkara, kecenderungan untuk meraih kemaslahatan dan melawan syahwat, bagusnya siasat dan pengaturan, menerapkan sifat-sifat yang terpuji, dan menghindari hal-hal yang tercela, ini semua telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga puncaknya, yang tidak ada manusia lain yang dapat mencapainya. Orang yang mencermati kecakapan siasat Beliau terhadap orang-orang Arab yang seperti binatang liar, dengan tabiat yang sulit dikendalikan dan suka berselisih, bagaimana beliau menyikapi mereka, bersabar atas sikap dingin mereka, dan tabah atas gangguan mereka, hingga mereka akhirnya tunduk kepada Beliau, bersatu karena Beliau, siap berperang untuk Beliau meski dengan mengorbankan keluarga mereka, orang tua dan anak-anak mereka, lebih mengutamakan Beliau daripada diri mereka sendiri, siap meninggalkan tanah air dan orang terkasih mereka demi Beliau, padahal beliau belum pernah punya pengalaman dan tidak pernah membaca kitab-kitab untuk mempelajari sejarah orang-orang terdahulu, maka sudah menjadi jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia paling cerdas. Ketika akal Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan akal yang paling cerdas, tidak diragukan lagi akhlak Beliau yang mulia menjadi semakin luas cakupannya tanpa terbatas.” Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengistimewakan hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyak keistimewaan, sebagai pemuliaan dan pengagungan bagi Beliau, dan ini menjadi bukti keagungan derajat Beliau dan kemuliaan kedudukan Beliau di sisi Tuhannya, dan di antara keistimewaan ini adalah kebijaksanaan dan kecerdasan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sumber: https://www.islamweb.net/وفور عقله وحكمته صلى الله عليه وسلم Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 157 times, 1 visit(s) today Post Views: 241 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah: Hari-Hari Terbaik dalam Setahun

Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195

Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah: Hari-Hari Terbaik dalam Setahun

Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195
Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195


Daftar Isi ToggleApa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Amalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumKedua: Memperbanyak zikirKetiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Keempat: Menyembelih hewan kurbanJangan malu jika amal kita kecilJangan lewatkan sepuluh hari iniAllah menciptakan waktu, dan Allah Maha Bijaksana dalam membaginya. Di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan musim-musim kebaikan, agar siapa pun yang ingin mendekat bisa lebih cepat melangkah. Di antara waktu-waktu itu, ada yang dilipatgandakan keberkahannya, diperluas rahmatnya, dan dimuliakan amal di dalamnya. Sebagaimana Ramadan adalah puncak amal ibadah tahunan, maka sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunah.Allah bersumpah dalam Al-Qur’an,وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ“Demi fajar, dan demi sepuluh malam.” [1]Mayoritas mufassir (ahli tafsir), termasuk Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menyatakan bahwa “sepuluh malam” ini merujuk kepada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Syekh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,و هي على الصحيح ليالي عشر رمضان أو عشر ذي الحجة“Dan menurut pendapat yang paling kuat, itu adalah malam-malam sepuluh (terakhir) dari Ramadan atau sepuluh (awal) dari Zulhijah.” [2]Dan apabila Allah bersumpah atas suatu hal, itu adalah tanda keagungan dan kedudukannya di sisi-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام العشر“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah dibandingkan sepuluh hari ini (Zulhijah).” [3]Bahkan jihad yang paling mulia pun tidak dapat menandingi keutamaan amal di dalamnya, kecuali jihad yang mengorbankan seluruh harta dan jiwa tanpa sisa.Apa yang membuat hari-hari ini begitu mulia?Para ulama menyebutkan beberapa sebab kemuliaan hari-hari ini:Pertama: Berkumpulnya amal-amal utama: salat, puasa, sedekah, zikir, dan haji; semuanya dapat dilakukan dalam satu rentang waktu. Tidak ada di bulan lain dalam setahun yang memiliki kombinasi amal saleh seperti yang terdapat di bulan Zulhijah. Allah berfirman,الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ“Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan yang telah diketahui.” [4]Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,وَاجْتَمَعَ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ مَا لَا يَجْتَمِعُ فِي غَيْرِهِ“Pada hari Arafah terkumpul berbagai jenis ibadah yang tidak terkumpul pada hari lainnya.” [5]Kedua: Hari-hari tersebut mengandung hari Arafah (9 Zulhijah) yang penuh pengampunan dan pembebasan dari neraka.صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [6]Ketiga: Hari ke-10 adalah Iduladha, hari besar Islam dan hari penyembelihan kurban.قَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” [7]Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan ZulhijahAmalan yang dianjurkan di sepuluh hari iniPertama: Memperbanyak amal saleh secara umumSemua bentuk ibadah bernilai besar di hari-hari ini: membaca Al-Qur’an, membantu orang lain, memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan introspeksi diri. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا“Apa saja kebaikan yang kalian kerjakan untuk diri kalian, niscaya kalian akan mendapatkannya di sisi Allah sebagai balasan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” [8]Kemudian, Allah juga memerintahkan kita untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan. Allah berfirman,فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [9]Kedua: Memperbanyak zikirDari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ“Maka perbanyaklah pada hari-hari itu (10 hari Zulhijah) bacaan tahlil (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ), takbir (اللَّهُ أَكْبَرُ), dan tahmid (الْحَمْدُ لِلَّهُ).” [10]Disebutkan dalam riwayat dari Bukhari,وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَيُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا“Ibnu Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada 10 hari Zulhijah dan mengumandangkan takbir, maka orang-orang pun ikut bertakbir bersama mereka.” [11]Ketiga: Puasa, terutama pada hari Arafah (9 Zulhijah)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya.” [12]Keempat: Menyembelih hewan kurbanIbadah kurban adalah syiar keikhlasan dan ketaatan. Allah berfirman,لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ“Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” [13]Jangan malu jika amal kita kecilAllah tidak meminta kesempurnaan. Dia hanya meminta kesungguhan dan keikhlasan.إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ“Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya.” [14]إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” [15]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling kontinu meskipun sedikit.” [16]Mungkin kita tidak bisa sebaik orang lain, tapi jika Allah melihat kita ingin kembali, itu sudah cukup untuk membuka pintu-pintu-Nya.Jangan lewatkan sepuluh hari iniJika Ramadan adalah madrasah besar tahunan, maka sepuluh hari pertama Zulhijah adalah waktu emas yang singkat namun dalam. Jangan biarkan ia berlalu tanpa makna. Kita tidak tahu, mungkin satu doa yang khusyuk, satu sedekah kecil yang tulus, atau satu tangisan tobat yang jujur di hari-hari ini menjadi sebab Allah mengangkat derajat kita, mengampuni kita, dan mempertemukan kita kelak dengan surga-Nya.وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” [17]Baca juga: Ramadan dan Zulhijah, Bulan Bertabur Pahala***Penulis: Gazzeta Raka Putra SetyawanArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] QS. Al-Fajr: 1–2[2] Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, hal. 1089[3] HR. Bukhari no. 969[4] QS. Al-Baqarah: 197[5] Latha’if al-Ma‘arif, hal. 494[6] HR. Muslim no. 1162[7] QS. Al-Kautsar: 2[8] QS. Al-Muzzammil: 20[9] QS. Al-Baqarah: 148[10] HR. Ahmad no. 5446, sanadnya hasan[11] HR. Bukhari secara mu‘allaq[12] HR. Muslim no. 1162[13] QS. Al-Hajj: 37[14] QS. An-Najm: 32[15] QS. Al-Kahfi: 30[16] HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783[17] QS. Al-Baqarah: 195

Makmum Bingung: Sudah Bertasbih, tapi Imam Nggak Sadar! Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ

Makmum Bingung: Sudah Bertasbih, tapi Imam Nggak Sadar! Ini Solusinya! – Syaikh Sa’ad al-Khatslan

Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ
Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ


Terkadang imam diingatkan (oleh makmum), tapi peringatan ini tidak dipahami oleh imam. Maksudnya, imam tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh makmum secara spesifik. Imam tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan? Yang disyariatkan dalam kondisi ini adalah salah satu dari makmum membaca ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keadaan.Misalnya, jika makmum mengingatkan agar imam berdiri, maka dia membaca ayat: “Wa quumuu lillaahi qoonitiin.” (Dan berdirilah untuk Allah dalam keadaan khusyuk). (QS. Al-Baqarah: 238). Jika sujud: “Wasjud waqtarib” (Sujudlah dan dekatkanlah dirimu). (QS. Al-Alaq: 19). Jika rukuk: “Yaa ayyuhalladziina aamanuurka’uu.” (Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah). (QS. Al-Hajj: 77). Jadi, dibacakan ayat yang sesuai dengan konteksnya. Namun masalahnya adalah jika tidak ada satu pun makmum yang bisa membaca ayat, karena terkadang semua makmumnya orang awam, atau ada yang bisa membaca, tapi tidak teringat ayat yang sesuai. Terkadang, karena situasi yang sedang terjadi, tidak ada yang mampu mengingat ayat yang cocok dengan keadaan tersebut. Sementara imam sendiri tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Ini adalah sebuah dilema. Imam tidak menyadari kesalahan apa yang telah ia lakukan dalam salat. Para makmum pun tidak ada seorang pun yang mampu mengingat ayat yang cocok untuk dibacakan dalam situasi itu, sehingga ia dapat membacanya, agar imam menyadari kesalahannya. Pada situasi lain, terkadang ada makmum yang membaca ayat, tapi imam tetap tidak memahami maksudnya. Imam tidak paham maksudnya. Saya teringat, saya pernah hadir dalam majelis Syaikh kita, ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, rahimahullah, dan beliau pernah ditanya tentang hal ini. Beliau ditanya: “Apa yang harus dilakukan? Apa solusi dari permasalahan ini?” Maka Syaikh kita—rahimahullah—menjawab: Salah satu dari para makmum boleh berbicara sekadar seperlunya. Contohnya, dia mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!”—dan ini adalah ucapan yang dibolehkan karena adanya kebutuhan. Karena tidak ada solusi lain, kecuali membatalkan salat, dan ini bukan pilihan. Setiap permasalahan pasti ada solusinya. Jadi, salah satu makmum berbicara seperlunya saja. Ini dilakukan setelah semua solusi lain dicoba dan tidak ada seorang pun yang mampu membaca ayat. Maka ia boleh mengatakan: “Sujudlah!” atau “Rukuklah!” atau ucapan lain yang sesuai dengan keadaan. Dengan cara ini, permasalahan tersebut dapat diatasi, dan imam pun akan memahami kesalahan apa yang telah ia lakukan. ==== أَحْيَانًا الْإِمَامُ يُنَبَّهُ تَنْبِيْهًا وَهَذَا التَّنْبِيهُ الْإِمَامُ مَا يَدْرِي وَأَيْش يَعْنِي مَا الَّذِي يُرِيدُهُ الْمَأْمُوْمُ بِالضَّبْطِ يَعْنِي مَا يَدْرِي مَا الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَا الَّذِي يَفْعَلُ؟ الْمَشْرُوعُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنَّ أَحَدَ الْمَأْمُومِيْنَ يَقْرَأُ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ إِذَا كَانَ مَثَلًا يُرِيدُ مِنَ الْإِمَامِ الْقِيَامَ يَقُولُ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَانِتِيْنَ السُّجُودَ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ الرُّكُوعَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا فَيَأْتِي بِآيَةٍ تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لَكِن الْإِشْكَالُ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَأْتِي بِآيَةٍ أَحْيَانًا يَكُونُ كُلُّهُمْ عَوَامًّا أَوْ وُجِدَ لَكِنْ لَمْ يَسْتَحْضِرْ أَحْيَانًا يَعْنِي بِسَبَبِ الْمَوْقِفِ وَكَذَا لَمْ يَسْتَحْضِرْ آيَةً مُنَاسِبَةً لِلْمَقَامِ وَالْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ فَإِنَّ الْآنَ هَذِهِ يَعْنِي مُعْضِلَةٌ الْإِمَامُ لَا يَدْرِي مَا هُوَ الْخَطَأُ الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ فِي الصَّلَاةِ وَالْمَأْمُومُوْنَ مَا فِيهِمْ أَحَدٌ يَسْتَحْضِرُ آيَةً تُنَاسِبُ الْمَقَامَ لِكَي يَقْرَأَهَا حَتَّى يَنْتَبِهَ الْإِمَامُ أَوْ رُبَّمَا أَحْيَانًا بَعْضُ الْمَأْمُومِيْنَ قَدْ يَقْرَأُ آيَةً وَلَا يَفْهَمُ الْإِمَامُ الْإِمَامُ مَا يَفْهَمُ الْمَقْصُودَ وَأَذْكُرُ يَعْنِي أَنَا كُنْتُ حَاضِرًا لِدَرْسِ شَيْخِنَا عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ وَسُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ سُئِلَ هَذَا السُّؤَالُ يَعْنِي مَا العَمَلُ؟ يَعْنِي مَا حَلُّ هَذِهِ الْمُعْضِلَةِ؟ فَقَالَ شَيْخُنَا رَحِمَهُ اللهُ قَالَ إِنَّهُ يَتَكَلَّمُ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ أَحَدُ الْمُصَلِّيْنَ يَقُولَ مَثَلًا اُسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ وَهَذَا كَلَامٌ لِأَجْلِ الْحَاجَةِ لِأَنَّ مَا فِيهِ حَلٌّ آخَرُ إِلَّا أَنْ يَقْطَعُوا الصَّلَاةَ وَهَذَا غَيْرُ وَارِدٍ كُلُّ مُشْكِلَةٍ لَهَا حَلٌّ لاَ بُدَّ لَهَا حَلٌّ فَيَتَكَلَّمُ أَحَدُهُمْ بِكَلِمَةٍ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ هَذَا عِنْدَ اسْتَنْفَادِ جَمِيعِ الْحُلُولِ وَعَدَمِ وُجُودِ مَنْ يَقْرَأُ آيَةً فَيَقُولُ اسْجُدْ أَوِ ارْكَعْ أَوْ كَذَا بِكَلِمَةٍ مُنَاسِبَةٍ لِلْمَقَامِ تُعَالِجُ بِهَا هَذِهِ الْمُشْكِلَةَ وَيَفْهَمُ الْإِمَامُ مَا الَّذِي أَخْطَأَ فِيهِ

Kedamaianku Ada dalam Shalat

وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 176 times, 1 visit(s) today Post Views: 259 QRIS donasi Yufid

Kedamaianku Ada dalam Shalat

وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 176 times, 1 visit(s) today Post Views: 259 QRIS donasi Yufid
وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 176 times, 1 visit(s) today Post Views: 259 QRIS donasi Yufid


وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة السيرة النبوية زاخرة بالمواقف والأحاديث التي أوضحت أهمية الصلاة في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، ومدى حبه لها، وحرصه عليها، واجتهاده فيها، فهو لا يراها تكليفاً ربَّانيّاً فقط، بل إنه يقوم بها عن حُبٍّ ورغبة، كنوع من الشكر لله عز وجل، وهذا يُفَسِّر طول صلاته بالليل، واجتهاده فيها، فعن عائشة رضي الله عنها: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي إحدى عشرة ركعة، كانت تلك صلاته – تعني بالليل -، فيسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه، ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر، ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للصلاة) رواه البخاري. وعن حذيفة رضي الله عنه قال: (صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح “البقرة”، فقلت: يركع عند المائة، ثم مضى فقلت: يصلي بها في ركعة، فمضى، فقلت: يركع بها. ثم افتتح “النساء” فقرأها، ثم افتتح “آل عمران” فقرأها، يقرأ مترسلا، إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم، فكان ركوعه نحوا من قيامه، ثم قال: سمع الله لمن حمده، ثم قام قياما طويلا قريبا مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى، فكان سجوده قريبا من قيامه) رواه البخاري Shirah Nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) menghimpun banyak momen dan hadis yang menjelaskan urgensi shalat dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingkat kecintaan Beliau terhadapnya, kepedulian kepadanya, dan kesungguhan beliau di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang shalat sekedar sebagai tugas dari Tuhan semata, tapi Beliau menjalankannya justru dengan penuh kecintaan dan antusiasme sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi tafsiran atas panjangnya shalat malam yang Beliau kerjakan dan kesungguhan beliau di dalamnya.  Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendirikan shalat malam sebelas rakaat. Dalam shalat malam Beliau bersujud dengan durasi seperti salah seorang dari kalian membaca 50 ayat Al-Quran, sebelum Beliau kembali bangkit dari sujud. Lalu Beliau mendirikan dua rakaat sebelum (masuk waktu) shalat subuh. Kemudian beliau berbaring dengan bertumpu pada badan bagian kanan, hingga azan subuh dikumandangkan. (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Dulu aku pernah mendirikan shalat sebagai makmum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada suatu malam. Beliau lalu mulai membaca surat Al-Baqarah, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti akan rukuk pada ayat ke-100.’ Namun, ternyata beliau tetap melanjutkan bacaannya, dan akupun bergumam dalam hati, ‘Beliau pasti membaca surat al-Baqarah dalam satu rakaat ini.’ Namun, ternyata beliau terus melanjutkan bacaan. Aku lalu bergumam, ‘Beliau akan rukuk.’ Kemudian beliau justru berlanjut membaca surat An-Nisa hingga selesai. Kemudian berlanjut membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan tempo yang lambat, apabila Beliau membaca surat tentang tasbih, Beliau pun bertasbih, apabila membaca ayat berisi doa, Beliau pun berdoa, dan apabila membaca ayat berisi permohonan perlindungan, Beliau pun memohon perlindungan. Lalu Beliau baru rukuk, dan mulai membaca zikir, ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’. Dan lama durasi rukuk Beliau ini seperti ketika berdiri. Kemudian Beliau melakukan i’tidal dan membaca, ‘Sami Allahu liman hamidah’, dan Beliau berdiri i’tidal lama mendekati durasi rukuk. Kemudian Beliau bersujud dan membaca, ‘Subhaana Rabbiyal A’la’, dan durasi sujud Beliau panjang mendekati durasi ketika berdiri.” (HR. al-Bukhari) ومع حرص النبي صلى الله عليه وسلم على الصلاة واجتهاده فيها، فقد كان يخفف في صلاته بالناس رحمة ورأفة بهم، ويوصي ويأمر من يصلي بالناس بالتخفيف في الصلاة والقراءة، وينهى عن الإطالة في حال خشية وجود من يتأذى من ذلك التطويل، كالضعيف والمريض وذي الحاجة، فعن أبي قتادة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوِّل فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزْ (أخفف) في صلاتي، كراهية أن أشُقَّ على أمه) رواه البخاري. وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا صلى أحدكم للناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والسقيم والكبير، وإذا صلى أحدكم لنفسه فليطول ما شاء) رواه البخاري Kendati besarnya perhatian dan kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap shalat, Beliau dulu senantiasa meringankan shalat saat Beliau menjadi imam bagi orang-orang, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan bagi mereka. Beliau juga memerintahkan orang yang menjadi imam untuk meringankan shalat dan bacaannya, dan melarang untuk memperpanjangnya jika dikhawatirkan ada orang yang merasa terganggu dengan durasi panjang itu, seperti orang yang lemah, sakit, atau punya urusan penting. Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنِّي لأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ “Sungguh aku dalam shalat terkadang hendak memperpanjang bacaan di dalamnya, lalu aku mendengar tangisan bayi, sehingga aku memperpendeknya karena takut memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ “Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam bagi orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya, karena di antara mereka ada orang lemah, sakit, dan renta. Namun, apabila ia sedang shalat sendiri, maka panjangkanlah sesukanya.” (HR. al-Bukhari). الصلاة وتفريج والكربات، ومغفرة الذنوب: أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم عند اشتداد الكربات والابتلاءات، والهموم والأحزان، ووقوع بعض الآيات الكونية من خسوف للقمر أو كسوف للشمس، أن نفزع ونسارع إلى الصلاة، فعن حذيفة رضي الله عنه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا حزبه (أهمَّه) أمر صَلَّى) رواه أبو داود وحسنه الألباني. وعن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إنَّ الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا يَخسفانِ لموتِ أحدٍ ولا لحياته، فإذا رأيتُموها فافزَعوا للصلاة) رواه مسلم. وفي رواية: (فصلُّوا حتى يُفرِّج الله عنكم) Antara Shalat, Solusi Masalah, dan Ampunan Dosa-Dosa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan bagi kita ketika tertimpa masalah, musibah, kegalauan, dan kesedihan, serta saat terjadi beberapa fenomena alam seperti gerhana matahari atau bulan untuk bersegera menuju shalat. Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa dulu apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhimpit oleh suatu urusan, Beliau segera mendirikan shalat. (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh al-Albani). Diriwayatkan juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, maka bersegeralah mendirikan shalat.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain menggunakan redaksi: فَصَلُّوا حَتَّى يُفَرِّجَ اللَّهُ عَنْكُمْ “…Maka dirikanlah shalat, hingga Allah menghentikannya dari kalian.” وبين لنا النبي صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى يمحو بالصلاة الذنوب والخطايا، فقال: (أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء، قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا) رواه مسلم. وقال صلى الله عليه وسلم: (ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله؟ قال: إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، فذلكم الرباط، فذلكم الرباط) رواه مسلم Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah Ta’ala akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan dengan shalat. Beliau bersabda: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ.‏”‏ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَكَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا “Bagaimana menurut kalian, seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai dan ia mandi di sungai itu lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.” Beliau bersabda, “Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:  أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏”إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “(1) Menyempurnakan wudhu saat dalam keadaan yang berat untuk menyempurnakannya (seperti ketika sakit atau cuaca dingin), (2) banyaknya langkah kaki menuju masjid, (3) dan menunggu shalat yang lain setelah menunaikan shalat. Itulah ribath (berjaga di perbatasan)!” (HR. Muslim). الصلاة .. الصلاة الصلاة هي الركن الثاني من أركان الإسلام بعد الشهادتين، وعمود الدين وشعاره، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (بُنِيَ الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً) رواه البخاري ومن خلال معجزة ورحلة الإسراء والمعراج تأكدت أهمية الصلاة ومنزلتها في الإسلام، فقد فرضها الله عز وجل في السماء السابعة على نبيه صلى الله عليه وسلم مباشرة وبدون واسطة، وفي هذا اعتناء بها، وزيادة في تشريفها، ولذلك شدّد النبي صلى الله عليه وسلم في المحافظة عليها، وأمر بالقيام بها في السفر والحضر، والأمن والخوف، والصحة والمرض.. ولأهميتها مع ذلك كانت من آخر الوصايا التي وصى بها النبي صلى الله عليه وسلم أمته قبل موته، فعن أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كان من آخر وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم: الصلاة، الصلاة، وما ملكت أيمانكم، حتى جعل نبيُّ الله صلى الله عليه وسلَم يُلَجْلِجُها في صدره وما يفيضُ بها لسانُه) رواه أحمد وصححه الألباني، وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: (كانت عامة وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حين حضرته الوفاة وهو يغرغر بنفسه: الصلاة وما ملكت أيمانكم) رواه ابن ماجه وصححه الألباني. قال السندي: “(الصلاة): أي الزموها واهتموا بشأنها ولا تغفلوا عنها”. ومن ثم حافظ الصحابة رضوان الله عليهم على الصلاة محافظة شديدة حتى قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: “من سَرَّه أن يلقى الله تعالي غداً مسلماً فليحافظ علي هؤلاء الصلوات حيث يُنادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى فإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، ولقد رأيتنا، وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتي به يهادَى بين الرجلين حتى يقام في الصف) رواه مسلم Perhatikanlah Shalat! Shalat merupakan rukun kedua dari rukun Islam, rukun setelah dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang dan syiar agama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi orang yang mampu.” (HR. al-Bukhari). Melalui mukjizat perjalanan Isra Mikraj, terkonfirmasi urgensi dan kedudukan shalat dalam agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkannya dari langit ketujuh kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui perantara. Ini menunjukkan perhatian terhadapnya dan peningkatan terhadap kemuliaannya. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tekun dalam melaksanakannya dan memerintahkan agar senantiasa dilaksanakan, baik itu ketika sedang safar maupun mukim, dalam keadaan aman atau takut, saat sehat maupun sakit. Bahkan, karena urgensinya, shalat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya sebelum beliau wafat. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:  كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةَ، الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيْضُ بِهَا لِسَانُهُ “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ‘Perhatikanlah shalat! Perhatikanlah shalat, dan budak-budak kalian!’ Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya di dada beliau hingga lisan beliau tidak mampu lagi melafalkannya.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani). Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mayoritas wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang sakaratul maut dan ruhnya hampir keluar adalah: الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “(Perhatikanlah) shalat dan budak yang kalian miliki!” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). As-Sandi berkata, “Maksud dari sabda beliau (الصَّلَاةَ) yakni konsistenlah menegakkannnya dan perhatikanlah urusannya, dan jangan sampai melalaikannya.” Oleh sebab itulah, para sahabat radhiyallahu ‘anhum senantiasa menjaga shalat dengan sunguh-sunguh hingga Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah Ta’ala kelak sebagai seorang muslim, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat yang senantiasa dikumandangkan seruannya ini, karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan-jalan petunjuk, dan shalat-shalat itu adalah jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian mendirikan shalat di rumah kalian seperti orang yang biasa mendirikannya di rumah, niscaya kalian pasti meninggalkan sunnah Nabi kalian. Lalu jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian pasti tersesat. Saya telah melihat sendiri kami dulu (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaahnya kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dulu ada seorang lelaki dari kami yang harus dibopong dua orang hingga bisa diberdirikan di shaf.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). أولادنا والصلاة أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم أن نُعَوِّد أبناءنا عليها من صغرهم، ونتابعهم في الحرص عليها، فعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (مروا أولادكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع) رواه أبو داود وصححه الألباني، قال العيني: “يؤمر الصبي ابن سبع سنين بالصلاة تخلقا وتأدبا، يعني أنها غير واجبة عليه لا يأثم بتركها لقوله صلى الله عليه وسلم: رفع القلم عن ثلاثة، عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ، وعن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم”، وقال ابن تيمية: “يجب على كلِّ مطاعٍ أن يأمر مَن يطيعه بالصلاة، حتى الصغار الذين لم يبلغوا، ومَن كان عنده صغيرٌ، يتيمٌ أو ولد، فلم يأمره بالصلاة فإنه يعاقَبُ الكبير إذا لم يأمرِ الصغيرَ”. وقال ابن عثيمين: “وقوله:(واضربوهم عليها لعشر) المراد الضرب الذي يحصل به التأديب بلا ضرر، فلا يجوز للأب أن يضرب أولاده ضرباً مبرحاً، ولا يجوز أن يضربهم ضرباً مكرراً لا حاجة إليه، بل إذا احتاج إليه مثل ألا يقوم الولد للصلاة إلا بالضرب فإنه يضربه ضرباً غير مبرح، بل ضرباً معتاداً، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمر بضربهم لا لإيلامهم ولكن لتأديبهم وتقويمهم” Antara Anak Kita dan Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiasakan anak-anak kita untuk mendirikan shalat sedari kecil, dan mengontrol mereka dalam perhatian mereka terhadapnya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لسَبْعِ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani). Al-Aini berkata, “Anak kecil usia tujuh tahun diperintahkan untuk shalat sebagai pembiasaan baginya. Yakni shalat tidak wajib baginya, dan ia tidak berdosa jika tidak melakukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Pena diangkat (amalannya tidak dicatat di buku catatan amal) dari tiga golongan: orang gila yang kehilangan akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh’.” Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib bagi setiap orang yang ditaati untuk memerintahkan orang yang menaatinya untuk shalat, bahkan anak kecil yang belum balig. Barang siapa yang punya tanggungan anak kecil, baik itu anak yatim atau anaknya sendiri, lalu ia tidak memerintahkannya untuk shalat, maka orang dewasa itu layak mendapat siksa karena tidak memerintahkan anak kecil itu.” Ibnu Utsaimin berkata, “Maksud dari sabda beliau, ‘Dan pukullah mereka untuk mendirikan shalat saat berusia sepuluh tahun’ yakni pukulan untuk mendidik yang tidak membahayakan. Seorang ayah tidak boleh memukul anak-anaknya dengan keras, dan tidak boleh juga memukul berulang-ulang jika tidak diperlukan, tapi cukup memukulnya saat diperlukan, seperti ketika anak tidak mendirikan shalat kecuali harus dipukul dulu, maka ia boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tapi pukulan sedang saja, karena Nabi memerintahkan untuk memukul mereka tujuannya bukan untuk menyakiti mereka, tapi untuk mendidik dan mengarahkan mereka.” مع ما أكرم الله عز وجل به نبينا صلى الله عليه وسلم من الرسالة والنبوة، والخلّة والاصطفاء، وغفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر، كان المثل الأعلى وصاحب السَبْق في عبادته لربه، وكانت عبادته مستمرة ومتواصلة، من منطلق الشكر لا الفرض فقط، ومن منطلق التطوع لا أداء الواجب فحسب، وكان أعظم الناس حرصاً على الصلاة، وشوقاً إليها، واجتهاداً فيها، فأعظمُ ما تسعد به نفسُه، ويرتاح به قلبه، ذلك الوقت الذي يَقضيه في الصلاة، راكعاً ساجداً لله، يُسبِّح بحمده وشكره، فعن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة) رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني، وقال ابن حجر في “فتح الباري”: “ومن كانت قرة عينه في شيء فإنه يود أن لا يفارقه، ولا يخرج منه، لأن فيه نعيمه، وبه تطيب حياته، وإنما يحصل ذلك للعابد بالمصابرة على النَصَب (التعب)” فليكن لنا في عبادته وصَلاته وأخلاقه صلوات الله وسلامه عليه أسوة لنسعد في الدنيا والآخرة، قال الله تعالى: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}(الأحزاب:21) Selain kemuliaan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla karuniakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kerasulan dan kenabian, kecintaan dan pemilihan, serta penghapusan dosa Beliau yang telah lalu atau yang belum dikerjakan, Beliau juga teladan terbaik dan orang yang terdepan dalam beribadah kepada Tuhannya. Dulu ibadah Beliau senantiasa konsisten dan berkelanjutan, berlandaskan rasa syukur, bukan hanya karena menjalankan kewajiban saja dan berlandaskan ketulusan hati, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban semata. Beliau adalah sosok yang paling perhatian, paling mendambakan, dan paling tekun terhadap shalat. Hal paling membahagiakan jiwa Beliau dan menenangkan hati Beliau adalah waktu untuk mendirikan shalat, melakukan rukuk dan sujud kepada Allah, memuji-Nya dengan puji dan syukur. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَجُعِلتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dan dijadikan kedamaianku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i. dishahihkan oleh al-Albani). Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fath al-Bari, “Barang siapa yang kedamaiannya ada dalam sesuatu, maka ia akan berharap tidak terlepas dan keluar darinya, karena di dalamnyalah terdapat kenikmatannya dan ketenteraman hidupnya. Ini hanya akan terwujud bagi ahli ibadah yang senantiasa bersabar atas keletihan yang didapatkan.” Hendaklah ibadah, shalat, akhlak Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh bagi kita, agar kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Sumber: https://www.islamweb.net/وجُعِلَتْ قُرَّة عَينِي في الصلاة Sumber artikel PDF 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 176 times, 1 visit(s) today Post Views: 259 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

PENGUMUMAN PENTING & MENDESAK

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 121 times, 1 visit(s) today Post Views: 170 QRIS donasi Yufid

PENGUMUMAN PENTING & MENDESAK

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 121 times, 1 visit(s) today Post Views: 170 QRIS donasi Yufid
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 121 times, 1 visit(s) today Post Views: 170 QRIS donasi Yufid


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kepada para pengelola website dakwah yang selama ini domain dan hosting-nya difasilitasi oleh Yufid, kami mohon dengan sangat agar SEGERA menghubungi tim Yufid melalui email: [email protected]. Kami mendapati sejumlah domain dan website dakwah yang dulunya aktif, kini telah bertahun-tahun — bahkan ada yang lebih dari 7 tahun — tidak lagi diperbarui. Akibatnya, banyak dari website tersebut terkena malware karena tidak terurus. Hal ini berdampak serius: server dakwah Yufid beberapa kali mengalami suspend oleh penyedia layanan server, sehingga puluhan website dakwah lain dalam server yang sama ikut tidak bisa diakses. Selain itu, Yufid terus menanggung biaya operasional untuk memperpanjang domain setiap tahun dan membayar server setiap bulan, dengan jumlah yang cukup besar. Padahal, dana ini bisa lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk produksi video dakwah atau keperluan dakwah lainnya yang lebih aktif dan berdampak. Maka dari itu, kami mengimbau kepada para pemilik website yang masih ingin melanjutkan layanannya di Yufid agar segera menghubungi kami SEBELUM tanggal 14 Juni 2025. Jika sampai batas waktu tersebut kami tidak menerima konfirmasi, maka layanan domain dan hosting akan kami hentikan, insya Allah. Kami mohon pengertian dan kerja samanya. Sebagai informasi tambahan:Selama lebih kurang 16 tahun, dengan izin Allah, Yufid telah menyediakan layanan domain dan hosting gratis untuk berbagai website dakwah — termasuk radio dakwah online, website pondok pesantren, para ulama, hingga para ustadz. Layanan ini masih terus kami jalankan. Namun karena banyaknya website yang sudah tidak aktif bertahun-tahun, kebijakan ini kami ambil agar dana dakwah yang terbatas dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tim Yufid[email protected] 🔍 Pria Memakai Pakaian Wanita, Cara Mengobati Kerasukan, Mushaf Untuk Hafalan, Injil Yg Asli, Bacaan Atahiat Akhir Visited 121 times, 1 visit(s) today Post Views: 170 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next