Mengenal Nama Allah “Al-Majid”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.

Mengenal Nama Allah “Al-Majid”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Majid”Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“Makna bahasa dari “Al-Majid“Makna “Al-Majid” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hambaPertama: Beriman kepada luasnya karunia AllahKedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’anKetiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Allah memiliki nama-nama yang indah dan penuh makna yang dikenal dengan Al-Asmaul Husna. Salah satunya adalah Al-Majid, nama yang mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Nama ini mengingatkan kita pada keagungan sifat-sifat Allah yang mencakup segala kesempurnaan yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil, makna, dan implikasi nama Al-Majid bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini menginspirasi kita untuk lebih mengenal dan mengagungkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalil nama Allah “Al-Majid” Nama ini disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an: Pertama: Dalam firman Allah, رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ “Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu, wahai Ahlul Bait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji, Mahamulia.” (QS. Hud: 73) Kedua: Dalam firman-Nya, وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ  ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ “Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih. Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Buruj: 14-15) Pada ayat kedua ini, kata “Al-Majid” dibaca dengan dua cara: Pertama: Dengan rafa’ (Al-Majidu) sebagai sifat Allah. [1] Kedua: Dengan jar (Al-Majidi) sebagai sifat bagi ‘Arasy. [2] Kandungan makna nama Allah “Al-Majid“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Majid” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Majid“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-Majid adalah (الكريم) yang dermawan, dan al-majdu berarti kemurahan hati. Kata ini berasal dari ungkapan Arab, «أمجدت الدابة علفًا» ‘Aku memuliakan binatang dengan makanannya’; yang berarti (إذا أكثرته لها) memberinya makanan yang banyak.” [3] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, “(huruf mim, jim, dan dal) merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan pencapaian pada puncak. Makna ini hanya digunakan dalam konteks yang terpuji. Dari akar kata ini muncul istilah al-majdu, yang berarti (بُلُوغُ النِّهَايَةِ فِي الْكَرَمِ) pencapaian puncak dalam kemurahan hati.” [4] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, : (م ج د)  الْمَجْدُ الْعِزُّ وَالشَّرَفُ وَرَجُلٌ مَاجِدٌ كَرِيمٌ شَرِيف “(huruf mim, jim, dan dal) berarti kemuliaan dan kehormatan. Seorang yang disebut majid adalah orang yang dermawan, mulia, dan terhormat.” [5] Dapat disimpulkan bahwa makna al-majdu (secara bahasa) meliputi: Pertama: Kemuliaan yang sempurna dan lengkap. Kedua: Kelimpahan dan keluasan. [6] Makna “Al-Majid” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, وأما المجد فهو سعة الصفات وعظمتها، فالمجيد يرجع إلى عظمة أوصافه وكثرتها وسعتها، وإلى عظمة ملكه وسلطانه، وإلى تفرده بالكمال المطلق والجلال المطلق والجمال المطلق، الذي لا يمكن العباد أن يحيطوا بشيء من ذلك. “Adapun Al-Majd adalah keluasan sifat-sifat Allah dan keagungannya. Maka, Al-Majid merujuk pada keagungan sifat-sifat Allah, banyaknya, dan luasnya sifat-sifat tersebut. Ia juga merujuk pada keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta pada keunikan-Nya dalam kesempurnaan mutlak, keagungan mutlak, dan keindahan mutlak yang tidak mungkin dapat dilingkupi oleh hamba-hamba-Nya.” [7] Secara lebih rinci, Syekh Abdul Razzaq Al-Badr mengatakan, وهو من الأسماء الحسنى الدالة على أوصاف عديدة لا على معنى مفرد. ومعناه واسع الصفات عظيمها كثير النعوت كريمها “Al-Majid termasuk nama-nama Allah yang indah (Al-Asmaul Husna), yang menunjukkan banyak sifat, bukan hanya satu makna tunggal. Maknanya adalah luasnya sifat-sifat Allah, keagungannya, banyaknya sifat-sifat tersebut, dan kemuliaannya.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Allah adalah yang terbesar dari segala sesuatu, yang paling agung dari segala sesuatu, yang paling mulia, dan yang paling tinggi. Dialah yang memiliki penghormatan dan keagungan di hati para wali-Nya dan hamba-hamba pilihan-Nya. Hati mereka penuh dengan penghormatan, keagungan, ketundukan, dan kerendahan kepada kebesaran-Nya. Tidak ada kemuliaan, kecuali kemuliaan-Nya. Tidak ada keagungan, kecuali keagungan-Nya. Tidak ada keindahan, keagungan, atau kebesaran, kecuali milik-Nya. Nama-nama-Nya semua menunjukkan kemuliaan, sifat-sifat-Nya penuh dengan kemuliaan, dan perbuatan serta ucapan-Nya adalah kemuliaan. Allah adalah Yang Mahamulia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya.” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Majid” bagi hamba Penetapan nama “Al-Majid” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Beriman kepada luasnya karunia Allah Keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang luas dan anugerah-Nya yang melimpah, mencakup orang beriman dan kafir, yang baik maupun yang durhaka. Allah memuliakan diri-Nya dengan hal ini dalam firman-Nya, وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34) Kedua: Mengagungkan Allah melalui tilawah Al-Qur’an Salah satu cara terbesar untuk mengagungkan dan memuliakan Allah adalah dengan membaca kitab-Nya pada waktu malam dan siang. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pujian kepada Allah sebagaimana Dia memuji diri-Nya sendiri. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, قَسَمتُ الصلاةَ بيني وبين عبدي نِصْفَين؛ ولعبدي ما سَأل، فإذا قال العبد: (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين)، قال الله تعالى: حَمَدني عبدي، وإذا قال: (الرَّحْمَن الرَّحِيم)، قال الله تعالى: أثْنى عليَّ عبدي، وإذا قال: (مالك يوم الدين)، قال: مجَّدني عبدي… “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Ketika hamba itu berkata, (الحمدُ للهِ ربِّ العَالمين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika dia berkata, (الرَّحْمَن الرَّحِيم), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Ketika dia berkata, (مالك يوم الدين), Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku …’ ” (HR. Muslim no. 296) [9] Ketiga: Berzikir, bertasbih, dan memuji Allah Kemudian, di antara cara terbesar untuk mengagungkan Allah adalah dengan banyak mengingat-Nya, bertasbih, memuji-Nya, bertakbir, bertahlil, dan melakukan zikir-zikir lain, seperti: hauqalah (ucapan lahaula walaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbunallah wa ni’mal wakil), istigfar, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Keadaan ini adalah ciri orang-orang yang berzikir, yang keberadaannya membawa kebahagiaan bagi teman mereka, seperti para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), para syuhada, dan orang-orang saleh. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ لله ملائكة يَطُوفون في الطُّرق؛ يلتمسون أهلَ الذكر، فإذا وَجَدوا قوماً يَذْكرون الله؛ تنادوا: هلُمُّوا إلى حَاجتكم، قال: فيَحفُّونهم بأجْنحتهم إلى السَّماء الدنيا، قال: فيَسألهم ربُّهم عزّ وجل وهو أعلمُ منهم: ما يقولُ عِبَادي؟ قال تقول: يُسبّحونك ويكبرِّونك ويَحْمدونك ويُمجِدُونك، قال فيقول: كيفَ لو رأوني؟ قال: يقولون: لو رأوك كانوا أشدَّ لكَ عبادةً، وأشدّ لك تمجيداً، وأكثر لك تسبيحاً…، حتى قال تعالى: فأُشْهدكم أني قد غفرتُ لهم، قال يقول ملكٌ من الملائكة: فيهم فلانٌ ليس منهم، إنما جاء لحاجة، قال: هم الجُلَساء لا يشقى جليسهم. “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang yang berzikir. Ketika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah, mereka memanggil satu sama lain, ‘Mari menuju tujuan kita!’ Maka, mereka mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia. Kemudian Allah bertanya kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka memuji-Mu, membesarkan-Mu, memuliakan-Mu, dan mengagungkan-Mu.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’ Mereka berkata, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih beribadah kepada-Mu, lebih memuliakan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu’ … Hingga Allah berfirman, ‘Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’ Kemudian seorang malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada seorang yang bukan bagian dari mereka. Ia hanya datang untuk suatu keperluan.’ Allah berfirman, ‘Mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka orang yang duduk bersama mereka.’” (HR. Bukhari, 11: 208-209) [10] Ya Allah, kami memuji dan mengagungkan-Mu, dan memohon ampunan dari segala dosa dan kesalahan. Jadikan kami termasuk dalam golongan yang selalu menyebut nama-Mu, memuji, dan membaca kitab-Mu pada setiap waktu. Ampunilah dosa-dosa kami dan limpahkanlah karunia-Mu di dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Rajab 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H/2008 M. hal 984., jilid 1. Ibnu Abi Maryam, Nashruddin Ali bin Muhammad. Al-Mudhah fi Wujuh Al-Qira’at wa ‘Ilaliha. Tahqiq dan studi oleh Dr. Umar Hamdan Al-Kubaisi. Cetakan Pertama. Makkah: Al-Jama‘ah Al-Khairiyyah li Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, 1414 H/1993 M. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [2] Ini adalah qiraah Hamzah dan Al-Kisai, lihat Al-Mudhah, hal. 1356. Lihat juga An-Nahj Al-Asma, hal. 299. [3] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 152. [4] Maqayis Al-Lughah, hal. 852. [5] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 577. [6] An-Nahj Al-Asma, hal. 298. [7] Fathur Rahim Al-Malikul ‘Allam, hal. 43. [8] Fiqhul Asma Al-Husna, hal. 231. [9] An-Nahjul Asma, hal. 300. [10] ibid, hal. 301.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.


Daftar Isi Toggle Prinsip kedua: Melarang praktik ribaPengertian riba secara bahasa dan istilahHukum riba dalam transaksi muamalahDalil dari Al-QuranDalil dari As-SunahDalil ijmakContoh penerapan dalam transaksi muamalah Prinsip kedua: Melarang praktik riba Pengertian riba secara bahasa dan istilah Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan, رَبَا الشَّيْئُ jika sesuatu tersebut bertambah. [1] Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39) Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis: Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2] Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad. Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis: 1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3] 2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4] Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587) Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam: Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya). Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat. Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut. Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai. Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl. Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian. Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah. Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Hukum riba dalam transaksi muamalah Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak. Dalil dari Al-Quran Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279) Juga firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Dalil dari As-Sunah Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598) Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89) Dalil ijmak Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya. Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).” Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah, وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ ”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya”  (HR. Muslim no. 1218) Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8] Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang. Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak. Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan, وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11] Contoh penerapan dalam transaksi muamalah Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]: Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh). Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas. Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba. [Bersambung] Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4 *** @26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115. [2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26. [3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74. [4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170. [5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8. [6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, [7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74. [8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40. [9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42. [10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42. [11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327. [12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   Masih berlanjut Insya-Allah …   – @ Perjalanan DS – MPD, 16 Rajab 1446 H, 16-01-2025, sore hari menjelang Maghrib Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Makna Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 1-10: Tafsir dan Pelajaran

Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   Masih berlanjut Insya-Allah …   – @ Perjalanan DS – MPD, 16 Rajab 1446 H, 16-01-2025, sore hari menjelang Maghrib Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di
Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   Masih berlanjut Insya-Allah …   – @ Perjalanan DS – MPD, 16 Rajab 1446 H, 16-01-2025, sore hari menjelang Maghrib Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di


Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan besar, termasuk sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat awalnya mengajarkan tentang tauhid, keistimewaan Al-Qur’an, dan kabar gembira bagi orang beriman. Artikel ini akan membahas tafsir ayat-ayat tersebut berdasarkan penjelasan ulama untuk mengambil pelajaran berharga. Baca juga: Keutamaan Menghafal Sepuluh Ayat Pertama Surah Al-Kahfi QS. Al-Kahfi ayat pertama ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat pertama dari Syaikh As-Sa’di Segala puji bagi Allah, yaitu sanjungan kepada-Nya atas sifat-sifat-Nya yang seluruhnya adalah sifat kesempurnaan. Segala puji juga atas nikmat-nikmat-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang bersifat agama maupun duniawi. Di antara nikmat terbesar-Nya secara mutlak adalah diturunkannya kitab yang agung kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memuji diri-Nya sendiri, sekaligus memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya atas pengutusan Rasul dan penurunan kitab tersebut kepada mereka. Allah kemudian menjelaskan dua sifat utama dari kitab ini yang menunjukkan kesempurnaannya dalam segala aspek, yaitu: (1) Tidak ada penyimpangan di dalamnya, dan (2) kitab ini adalah petunjuk yang lurus. Ketiadaan penyimpangan menunjukkan bahwa di dalam kitab ini tidak ada kebohongan dalam berita-beritanya, dan tidak ada kezaliman maupun kesia-siaan dalam perintah serta larangannya. Sifat lurusnya kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini tidak memuat kecuali berita yang paling agung, yaitu berita-berita yang memenuhi hati dengan pengetahuan, keimanan, dan akal sehat. Contohnya adalah berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, serta berita tentang hal-hal gaib di masa lalu maupun masa depan. Selain itu, perintah dan larangannya bertujuan menyucikan jiwa, membersihkannya, menumbuhkannya, dan menyempurnakannya, karena mencakup keadilan yang sempurna, keikhlasan, serta penghambaan kepada Allah, Rabb semesta alam, yang tidak memiliki sekutu. Maka, kitab yang memiliki sifat-sifat mulia seperti ini layak untuk dipuji oleh Allah sendiri atas penurunannya, dan Allah memuliakan para hamba-Nya dengan kitab tersebut.   QS. Al-Kahfi ayat kedua قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا “Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2) Penjelasan surah Al-Kahfi ayat kedua dari Syaikh As-Sa’di Firman Allah, “Untuk memperingatkan (manusia) akan siksaan yang sangat keras dari sisi-Nya” (QS Al-Kahfi: 2), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an yang mulia ini diturunkan untuk memberikan peringatan tentang azab yang ada di sisi Allah, yaitu azab yang telah Dia tetapkan dan putuskan bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Hal ini mencakup azab di dunia maupun azab di akhirat. Ini juga termasuk bentuk kasih sayang Allah, karena Dia memperingatkan hamba-hamba-Nya dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang membahayakan dan dapat menghancurkan mereka. Sebagaimana firman Allah, ketika menyebutkan tentang neraka dalam Al-Qur’an: “Itulah (azab) yang Allah peringatkan dengannya hamba-hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, bertakwalah kepada-Ku” (QS Az-Zumar: 16). Maka dari itu, rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya terlihat dari bagaimana Dia menetapkan hukuman berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya, menjelaskan hukuman tersebut, serta menunjukkan sebab-sebab yang dapat menyebabkannya. Firman Allah selanjutnya, “Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS Al-Kahfi: 2). Maksudnya, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan sempurna yang mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Amal saleh ini mencakup segala bentuk amal yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, selama amal tersebut dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Firman-Nya, “bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut adalah balasan yang telah Allah tetapkan atas keimanan dan amal saleh. Pahala itu adalah keridhaan Allah dan masuk ke dalam surga-Nya, tempat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Penyebutan pahala dengan kata “baik” menunjukkan bahwa pahala tersebut bebas dari segala kekurangan atau hal yang dapat menguranginya. Jika terdapat sesuatu yang dapat mengurangi keindahannya, maka tidak akan disebut sebagai pahala yang sempurna.   QS. Al-Kahfi ayat ketiga مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا “Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 3) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan tafsir ayat kedua dan ketiga: Allah menjadikannya kitab yang lurus, tidak ada pertentangan dan kontradiksi di dalamnya; untuk memberikan peringatan kepada orang-orang kafir dari siksaan yang pedih yang berasal dari sisiNya, dan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya yang beramal saleh bahwa sesungguhnya bagi mereka pahala melimpah, yaitu surga. Mereka akan berdiam dalam kenikmatan tersebut, tidak akan pergi terpisah darinya selamanya. Mengenai ayat ketiga, dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: Namun demikian, pahala yang baik itu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya), tidak akan hilang dari mereka, dan mereka pun tidak akan keluar darinya. Bahkan, kenikmatan mereka terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam penyebutan kabar gembira tersebut, terdapat petunjuk untuk menyebutkan amalan-amalan yang menjadi sebab diraihnya kabar gembira itu. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencakup semua amal saleh yang dapat mengantarkan jiwa meraih apa yang diinginkan dan membuat ruh merasa bahagia.   QS. Al-Kahfi ayat keempat وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.” (QS. Al-Kahfi: 4) Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan: “Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, ‘Allah mempunyai anak'”—maksudnya adalah peringatan bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik yang mengucapkan pernyataan yang sangat buruk ini. Mereka menyatakan hal itu tanpa dasar ilmu maupun keyakinan yang benar.   QS. Al-Kahfi ayat kelima مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5) Syaikh As-Sa’di menerangankan: Mereka tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka yang mereka tiru dan ikuti. Mereka hanya mengikuti dugaan dan hawa nafsu mereka. Allah berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka)—artinya, betapa besar keburukan ucapan tersebut dan betapa berat konsekuensinya. Ucapan itu sangat tercela, karena menisbatkan kepada Allah sifat memiliki anak yang berarti menunjukkan kekurangan-Nya, adanya pihak lain yang menyamai-Nya dalam sifat rububiyah dan uluhiyah, serta menyatakan kebohongan atas-Nya. Allah juga berfirman, (Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?) Karena itulah, dalam ayat ini disebutkan, (Mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan), yakni kebohongan yang murni tanpa ada sedikit pun kebenaran di dalamnya. Perhatikan bagaimana Allah membantah pernyataan ini secara bertahap, dengan menjelaskan kelemahan dan kebatilannya: Pertama, Allah menyatakan bahwa mereka (tidak memiliki ilmu tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka). Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu jelas merupakan larangan dan kebatilan. Kedua, Allah menegaskan betapa buruk dan menjijikkan ucapan tersebut dengan berfirman, (Sungguh buruk kata-kata yang keluar dari mulut mereka). Ketiga, Allah menjelaskan tingkat keburukannya, yaitu bahwa ucapan tersebut merupakan kebohongan yang bertentangan dengan kebenaran.   Masih berlanjut Insya-Allah …   – @ Perjalanan DS – MPD, 16 Rajab 1446 H, 16-01-2025, sore hari menjelang Maghrib Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsayat tentang tauhid kabar gembira untuk orang beriman keistimewaan al-qur’an Keutamaan Surah Al-Kahfi manfaat membaca surah al-kahfi pelajaran dari al-kahfi pelajaran islam perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin fadhail surah al-kahfi tafsir al-kahfi tafsir al-qur’an tafsir ayat-ayat al-qur’an tafsir syaikh as-sa’di

Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.

Mengenal Nama Allah “Al-‘Azhim”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hambaPertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-NyaKedua: Memperbanyak zikir kepada AllahKetiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulamaKeempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Setiap nama Allah memiliki makna yang mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang beriman. Salah satu nama-Nya yang penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, yang berarti Mahaagung. Nama ini tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya yang tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba akan semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat keyakinan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“ Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Firman Allah Ta’ala, وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya, فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ “Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1] Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“ Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan, “Al-‘Azhim” adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) “yang memiliki kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya”. Hal ini sebagaimana yang diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa yang memiliki kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2] Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan, (عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ. “(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata yang satu yang sahih, yang menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3] Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan, وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ “‘Al-‘Azhamah’ berarti kebesaran dan keagungan.” [4] Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan, {‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم. “Al-‘Azhim adalah yang mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah yang dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang yang berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga sulit digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5] Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan, Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam: Pertama, berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Allah memiliki semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan yang sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67) Juga firman-Nya, إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41) Oleh karena itu, Allah memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak terukur, yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Kedua, tidak ada seorang pun yang berhak untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berhak untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berusaha mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan anggota tubuh untuk bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Lathif” Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Mengagungkan Allah dengan keimanan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya Seorang muslim harus mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun hal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keimanan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, sebagaimana yang Dia sebutkan dalam kitab-Nya atau melalui Rasul-Nya. Seorang muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk atau meniadakan maknanya. Siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluk, atau meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berarti ia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya. Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah Mengagungkan Allah juga melibatkan kegiatan memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji, dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda, ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم “Ketahuilah, aku dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk atau sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena besar kemungkinan doa kalian akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 479) Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama Mengagungkan Allah juga berarti mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman, لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ “Agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9) Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkan-Nya. [7] Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1) Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi. Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32) Selain itu, mengagungkan Allah berarti menjauhi segala larangan dan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman, ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30) Di antara larangan yang paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim harus melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8] Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah yang tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran akan keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya. Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba yang semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439. Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016. As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah. Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197. [2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111. [3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686. [4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420. [5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954. [6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52. [7] Tafsir Ibnu Katsir, 7: 329. [8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.

Perlengkapan Jihad Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr

Perlengkapan Jihad Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam

Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr
Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr


Daftar Isi Toggle Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamZirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallamTopi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimulai dengan lisan dan tulisan kepada para penguasa yang ada. Dakwah Islam ketika itu, dimulai dengan mengirimkan surat-surat kepada pimpinan dan raja-raja di sekitar daerah kaum muslimin. Ketika itu, selain berhadapan dengan kaum musyrikin Arab, kaum muslimin juga berhadapan dengan dua kerajaan adidaya yang sedang saling berperang, Persia dan Romawi Timur atau Bizantium. Ketika itu, kaum muslimin harus mempertahankan diri dari serangan kaum musyrikin. Setelah bisa mengalahkan mereka, kaum muslimin pun mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Sebagian menerima Islam dan sebagian lagi mengobarkan peperangan dengan Islam. Maka dari itu, jihad merupakan suatu hal yang mesti dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu. Ketika berjihad, tentunya ada perlengkapan-perlengkapan yang harus dipakai ketika berjihad. Tidak mungkin seseorang berjihad tanpa membawa alat apa pun. Lalu, bagaimanakah perlengkapan jihad yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam? Pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki 9 pedang. Kesembilan pedang tersebut memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Nama kesembilan pedang tersebut dikumpulkan oleh para ulama dalam dua bait syair, لهادينا من الأسياف تسع‌       رسوب و المخذم ذو الفقار قضيب حتف و البتار عضب‌     و قلعي و مأثور الفجار Kami memiliki sembilan pedang Rasub, Al-Mikhdzam, Dzulfiqar Qadhib, Hatf, Al-Battar, ‘Adhb, Qal’i, dan Ma’tsurul Fujar. Itulah nama sembilan pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, bagaimana ciri pedang-pedang tersebut? Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata, كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّة “Gagang pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari perak.” (HR. Tirmidzi) Pada hadis lain, disebutkan, حدثنا محمد بن بكر أخبرنا عثمان بن سعد الكاتب قال قال لي ابن سيرين صنعت سيفي على سيف سمرة وقال سمرة صنعت سيفي على سيف النبي صلى الله عليه وسلم وكان حنفيا “Muhammad bin Bakar telah menceritakan kepada kami, Utsman bin Sa’ad Al-Katib telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Sirin berkata kepadaku, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Samurah bin Jundub.’ Dan Samurah bin Jundub berkata, ‘Kubuat pedangku seperti pedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Sedangkan pedang beliau adalah seperti pedang bani Hanifah.” (HR. Ahmad) Lalu, seperti apa pedang Bani Hanifah? Syekh Abdurrazaq menjelaskan bahwa pedang Bani Hanifah dikenal dengan bagusnya kualitas pedang yang dibuat. Dari kedua hadis di atas, bisa disimpulkan bahwa pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pedang yang bagus. Beliau tidak pergi berjihad dengan pedang seadanya dengan kualitas yang biasa saja. Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad Zirah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Ketika berperang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengenakan zirah yang terbuat dari besi yang dibuat secara berantai-rantai. Rasulullah menggunakan zirah tentunya bukan karena takut terluka dan kurangnya tawakal. Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan, وقد أخذ أهل العلم من ذلك أنَّ بذل الأسباب للحماية والوقاية ونحو ذلك لا يتنافى مع التّوكُل، بل حقيقة التّوكُل على الله سبحانه قائمة على اعتماد القلب على الله ، وتفويض الأمر إليه سبحانه مع بذل السبب، فلا يتعلق قلبه بالسبب، وإِنَّما يكونُ متوكلا على الله مفوضًا أمره إليه “Para ahlul ilmi telah berpendapat bahwa mengambil sebab untuk perlindungan dan penjagaan dan semisalnya tidaklah menafikan tawakal. Bahkan, hakikat dari tawakal pada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdiri di atas bergantungnya hati kepada Allah dan memasrahkan perkara kepadanya bersamaan dengan mengupayakan sebab. Maka, tidaklah hatinya bergantung pada sebab, akan tetapi ia bergantung kepada Allah dan memasrahkan perkaranya pada-Nya.” Rasulullah bahkan mengenakan dua zirah sekaligus secara rangkap pada perang Uhud. Dari Zubair bin Awwam, ia berkata, كَانَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَانِ يَوْمَ أُحُدٍ فَنَهَضَ إِلَى الصَّخْرَةِ فَلَمْ يَسْتَطِعْ فَأَقْعَدَ طَلْحَةَ تَحْتَهُ فَصَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الصَّخْرَةِ فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْجَبَ طَلْحَةُ “Pada perang Uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan dua baju perang. Beliau lalu naik ke atas batu tetapi tidak bisa. Maka, Thalhah pun jongkok di bawahnya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dapat naik di atas batu tersebut.” Zubair berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Telah wajib bagi Thalhah (masuk surga).’ ” (HR. Ahmad) Pada hadis lain, juga disebutkan, أنَّ رسولَ اللهِ كان عليه يومَ أُحُدٍ دِرعان قد ظاهر بينهما ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, ketika perang Uhud, beliau memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap.“ (HR. Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika berjihad, tentunya selalu menggunakan baju zirah untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Bahkan, beliau memiliki lebih dari satu zirah hingga tujuh buah. Ketika perang Uhud, beliau shallallahu ’alaihi wasallam mengenakan zirah dua rangkap sehingga dengan izin Allah, beliau bisa selamat dari serangan mematikan yang dilakukan oleh Abdullah bin Qamiah. Topi besi Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam Selain menggunakan baju zirah, Rasulullah juga menggunakan topi besi untuk melindungi kepala. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَى رَأْسِهِ الْمِغْفَرُ فَلَمَّا نَزَعَهُ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَقَالَ اقْتُلْهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dengan memakai topi besi di atas kepalanya. Ketika beliau melepasnya, seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Itu, si Ibnu Khathal bersembunyi di balik tirai Ka’bah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, ‘Bunuhlah dia.’ ” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, kita juga bisa tahu bahwa beliau juga menggunakan topi besi ketika berjihad. Sebagaimana baju zirahnya Rasulullah yang tersusun dengan rantai-rantai, beberapa bagian dari topi besi beliau juga tersusun dengan berantai-rantai. Hal tersebut bisa kita ketahui dari kejadian diserangnya Rasulullah oleh Abdullah bin Qamiah sehingga bagian cincin rantai topi besi Rasulullah tertancap di pipi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, Rasulullah juga menggunakan imamah (serban) di atas topi besinya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makkah di hari Fathu Makkah dengan memakai surban hitam.” (HR. Muslim) Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr dalam kitab Syarah Syama’il Muhammadiyah menjelaskan tentang dua hadis masuknya Rasulullah ke kota Makkah hari Fathu Makkah. Di mana satu hadis menyebutkan menggunakan topi besi dan yang lainnya menyebutkan menggunakan imamah berwarna hitam. فلا تنافي؛ لأنه من الممكن أن يكون قد جمع بينهما، فالمغفر يمكن أن يُلبس وحده، ويمكن أن تلبس تحته القلنسوة، ويمكن أن تُلبس فوقه العمامة، أو أنه عقب دخوله نزع المغفر ، ثم لبس العمامة السوداء “Tidaklah saling bertentangan, dikarenakan mungkin untuk menggabungkan keduanya. Topi besi bisa digunakan bersendirian, bisa juga digunakan dan di bawahnya menggunakan topi dan di atasnya menggunakan imamah. Bisa juga setelah berhasil memasuki Makkah, beliau melepas topi besi lalu menggunakan imamah hitam.” Itulah beberapa perlengkapan perang yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berperang. Beliau ketika berjihad menggunakan pedang yang berkualitas dan juga melindungi dirinya dengan menggunakan baju zirah dan juga topi besi. Baca juga: Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Syarah Syama’il Muhammadiyah, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr

Hati-hati Tanda Aman dari Makar Allah Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

Hati-hati Tanda Aman dari Makar Allah Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ


Tanda seseorang merasa aman dari makar Allah adalah ia terus-menerus berbuat maksiat, sementara ia bergelimang kenikmatan. Sebagaimana yang sering dikatakan: “Nikmat terus bertambah, namun rasa syukur justru berkurang, sementara maksiat semakin banyak.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis riwayat Uqbah: “Jika kalian melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan.” Yakni seorang hamba mendapat kenikmatan dunia yang ia sukai, padahal ia terus bermaksiat. “Jika kamu melihat Allah memberi karunia kepada seorang hamba apa yang ia inginkan dari kenikmatan dunia, padahal ia terus bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj dari Allah.” Dan makna istidraj adalah? Allah menggiringnya kepada azab selangkah demi selangkah. Allah menangguhkan azab dan membiarkannya sejenak. “Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya tipu daya-Ku amat tangguh.” (QS. al-Qalam: 45). ==== عَلَامَةُ أَمْنِ الْإِنْسَانِ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ أَنْ يُقِيمَ عَلَى الْمَعَاصِي مَعَ تَوَفُّرِ النِّعَمِ كَمَا يُقَالُ النِّعَمُ تَزِيْدُ وَالشُّكْرُ مَاذَا يَا إِخْوَانُ يَنْقُصُ وَمَعَاصِي تَكْثُرُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ عُقْبَةَ إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ عَلَى مَعَاصِي مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَاعْلَمْ أَنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ يُدْنِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ دَرَجَةً دَرَجَةً يُمْلِي لَهُ وَيُمْهِلُهُ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

Sepuluh Kiat Melawan Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Sepuluh Kiat Melawan Godaan Setan

Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusiaPerlunya melakukan perlawanan terhadap setanUpaya yang bisa dilakukan untuk melawan setanPertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kitaKedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada AllahKetiga: IkhlasKeempat: Bertawakal kepada AllahKelima: Menjauhi langkah-langkah setanKeenam: Membekali diri dengan ilmuKetujuh: Menetapi kesabaranKedelapan: Memperbanyak zikir kepada AllahKesembilan: Membaca Al-Qur’anKesepuluh: Menetapi Jama’ah Dalam usaha menuju kebahagiaan hakiki dan menggapai rida Allah, manusia selalu mendapatkan berbagai rintangan. Di antara rintangan terbesar adalah setan yang selalu menggoda dan membujuk rayu manusia untuk menjadi pengikutnya dalam kesesatan. Dia berusaha menghiasi keburukan sehingga manusia tertarik kepadanya, dan menjelek-jelekkan kebaikan sehingga manusia menjauhinya. Ikrar iblis untuk terus menyesatkan manusia Upaya setan untuk terus menyesatkan manusia ini bermula dari rasa hasad Iblis kepada Nabi Adam yang lebih diutamakan oleh Allah daripada dirinya, sehingga dia pun sombong tidak mau sujud kepada Adam. Lalu, Iblis pun bersumpah janji di hadapan Allah akan berusaha menyesatkan Adam dan anak keturunannya. قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ  إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ  قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي ‌لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘(Kalau begitu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’” (QS. Al-Hijr: 36-39) Dalam ayat lain, Allah berfirman, لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ ‌فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا “Allah melaknat setan. Dan setan itu mengatakan, ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 118-119) Perlunya melakukan perlawanan terhadap setan Seorang mukmin yang memiliki ketulusan niat untuk menggapai rida Allah, tentu akan berusaha semaksimal mungkin menghadapi rintangan yang ada. Maka, dia akan berusaha melakukan perlawanan terhadap setan dan gangguannya. Apabila dia bersungguh-sungguh dalam usahanya ini, niscaya Allah akan memberi pertolongan dan kemudahan kepadanya. Allah berfirman, وَالَّذِينَ ‌جَاهَدُوا ‌فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) As-Suddi dan yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun sebelum diwajibkan berperang. Ibnu Athiyyah berkata, “Ayat ini sebelum adanya jihad yang makruf (yakni: perang -pen), sehingga dia adalah jihad yang bersifat umum untuk menegakkan agama Allah dan mencari rida-Nya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 390) Dan jihad dengan makna yang umum mencakup jihad melawan empat hal. Di antaranya adalah jihad melawan setan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad itu ada empat tingkatan. Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan orang-orang munafik.” (Zadul Ma’ad, 3: 9) Lalu, beliau menjelaskan tentang jihad melawan setan, “Adapun jihad melawan setan, maka ada dua tingkatan: Pertama adalah jihad melawannya dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan oleh setan kepada seorang hamba, berupa syubhat, dan keraguan yang bisa merusak keimanan. Kedua adalah jihad melawan setan dengan menolak berbagai hal yang dilemparkan setan kepada hamba yang berupa syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.” (Zadul Ma’ad, 3: 10) Baca juga: Benarkah Godaan Wanita Lebih Besar daripada Godaan Setan? Upaya yang bisa dilakukan untuk melawan setan Pertama: Mengetahui bahwa setan adalah musuh kita Seseorang yang tidak mengetahui siapa musuhnya, tidak akan mungkin melakukan perlawanan kepadanya. Maka, hal pertama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin dalam melawan setan adalah, meyakini bahwa setan adalah musuh yang sebenarnya baginya. Yang terus berusaha menjerumuskannya dalam kebinasaan. Allah berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ ‌لَكُمْ ‌عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6) Kedua: Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Manusia adalah makhluk yang lemah. Dia tidak bisa mengerjakan suatu kebaikan dan menghindari keburukan, kecuali dengan pertolongan Allah. Terlebih lagi ketika dia ingin menghadapi musuh yang tidak bisa dia lihat dan tidak bisa dia dengar. Maka, semakin besar kebutuhannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Allah berfirman, وَإِمَّا ‌يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36) Ketiga: Ikhlas Sebesar apa pun usaha yang dilakukan setan menyesatkan manusia, ternyata ada orang-orang yang setan sendiri mengakui tidak bisa menyesatkannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam hatinya. Allah berfirman, قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ‌الْمُخْلَصِينَ “Ia (Iblis) berkata, ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.’ ” (QS. Al-Hijr: 39-40) Syekh As-Sa’di menjelaskan tentang makna kata “المخلَصين” (hamba-hamba yang terpilih) di dalam ayat tersebut, “Yaitu, yang Engkau pilih mereka karena keikhlasan, keimanan, dan tawakal mereka.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 431) Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa ulama (qiraah) dari Madinah dan dari Kufah membaca kata tersebut dengan difathah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlasin”, yang artinya orang-orang yang dipilih. Sedangkan ulama ahli qiraah lainnya membaca kata tersebut dengan dikasrah huruf lamnya. Sehingga dibaca “mukhlisin”, yang artinya adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan membersihkannya dari kerusakan dan riya. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12 :212) Keempat: Bertawakal kepada Allah Tawakal kepada Allah maknanya adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah dalam mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan, disertai dengan melakukan usaha yang disyariatkan dan diizinkan oleh Allah. Tawakal merupakan ibadah yang sangat agung dan juga penting. Dia memiliki banyak keutamaan. Di antaranya adalah orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dikuasai dan dipengaruhi oleh setan. Allah berfirman, فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ  إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ ‌يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ  “Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`ān, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang menyekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 98-100) Kelima: Menjauhi langkah-langkah setan Perlu kita ketahui, ketika setan ingin menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan dan kebinasaan, dia tidak menggunakan satu cara saja. Bahkan, setan memiliki begitu banyak langkah dan cara untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, apabila kita ingin melawan setan, sangat perlu bagi kita untuk mengetahui apa saja langkah-langkah yang ditempuh oleh setan, untuk kemudian kita jauhi. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ ‌خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Qatadah berkata, “Semua kemaksiatan adalah termasuk langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nur: 21) Syekh As-Sa’di berkata, “Dan langkah-langkah setan mencakup semua kemaksiatan yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 563) Keenam: Membekali diri dengan ilmu Kebodohan manusia merupakan kondisi yang disukai setan. Dengan kebodohan, setan mendapatkan kesempatan besar untuk menjerumuskan manusia dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama, salah satu senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syubhat. Yaitu, kerancuan-kerancuan yang dilemparkan setan untuk menipu manusia sehingga dia menganggap yang batil sebagai kebenaran, dan menganggap yang benar sebagai kebatilan. Senjata ini tentu hanya akan berhasil pada orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang kebenaran dan kebatilan. Maka, untuk melawan setan dalam hal ini, kita harus membekali diri dengan ilmu yang benar. Ibnul Qayyim berkata, “Fitnah itu ada dua macam; fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dan yang paling besar (bahayanya) adalah fitnah syubhat. Kadang-kadang keduanya terkumpul pada diri seorang hamba dan terkadang hanya satu saja yang ada. Maka, fitnah syubhat adalah disebabkan karena lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Syekh Ali Hasan memberikan komentar atas ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu inilah, setan bisa masuk (menyesatkan) banyak orang-orang yang lalai. Setan menghias-hiasi dan memperindah (keburukan) sehingga mereka jatuh dalam jaring-jaring setan. Maka, ilmu yang bermanfaat adalah kunci semua kebaikan dan penolak semua keburukan.” (Catatan kaki no.1, Ighatsatul Lahfan, 2: 887) Ketujuh: Menetapi kesabaran Selain syubhat, senjata lain yang digunakan setan adalah syahwat. Yaitu, kecenderungan pada diri manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Dengan adanya syahwat pada diri manusia, setan bisa menggoda dan membujuk seseorang yang sebenarnya telah memiliki ilmu sehingga dia melakukan kemaksiatan yang cocok dengan hawa nafsunya. Maka, untuk menghadapi hal ini, di samping ilmu yang harus dimiliki, kita juga harus memiliki kesabaran untuk menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsu untuk melakukan kemaksiatan. وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ ‌وَنَهَى ‌النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Kedelapan: Memperbanyak zikir kepada Allah Disebutkan dalam hadis bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat agar diamalkan. Di antaranya disebutkan, وآمُركم أن تَذكُروا اللهَ؛ فإنَّ مَثلَ ذلك كمَثلِ رجلٍ خرَج العدوُّ في أثَرِه سِراعًا حتَّى إذا أتى على حِصنٍ حَصينٍ، فأحرَز نفسَه منهم، كذلك العبدُ لا يُحرِزُ نفسَه مِن الشَّيطانِ إلَّا بذِكْرِ اللهِ “Dan aku perintahkan kalian untuk berzikir kepada Allah. Karena perumpamaannya bagaikan seseorang yang dikejar oleh musuh di belakangnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah sampai pada benteng yang kokoh, maka dia pun melindungi diri dari mereka. Demikianlah perumpamaan seorang hamba, dia tidak bisa melindungi diri dari setan, kecuali dengan zikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2863) Kesembilan: Membaca Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu zikir terbaik. Di samping bahwa Al-Qur’an berisi petunjuk dan obat bagi penyakit di dalam dada. Allah berfirman, يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ‌وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57) Maka, apabila seorang hamba membaca Al-Qur’an, dia akan dijauhi oleh setan. Terlebih lagi apabila dia mau merenungi isi kandungannya, serta mengamalkannya, niscaya setan akan menjauh darinya. Renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut, لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ ‌الشَّيْطَانَ ‌يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Jangan kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, sesungguhnya setan akan kabur dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Kesepuluh: Menetapi Jama’ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ. فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ ‌القَاصِيَة “Tidaklah tiga orang berada pada suatu kampung atau suatu padang sahara yang tidak ditegakkan padanya salat, melainkan setan akan menguasai mereka. Maka, hendaknya kalian menetapi jama’ah. Karena serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri (dari jama’ah).” (HR. Abu Daud no. 547) Jama’ah yang dimaksud, tentunya adalah orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Bukan sembarang jama’ah atau kumpulan orang-orang, walaupun di atas kebatilan. Abdullah bin Mas’ud berkata kepada Amr bin Maimun, “Tahukah kamu, apa itu jama’ah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya mayoritas jama’ah (orang-orang) mereka menyelisihi jama’ah. Jama’ah (sesungguhnya) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun kamu sendirian.” (Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 12: 109) Wallahul Musta’an. Baca juga: Penjelasan Hadis Tanduk Setan dari Timur *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id

Lakukan 3 Sebab Ini agar Anda Takut Berbuat Dosa – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي

Lakukan 3 Sebab Ini agar Anda Takut Berbuat Dosa – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي
Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي


Di antara sebab yang dapat membantu agar takut berbuat dosa: [PERTAMA]Mengetahui betapa buruknya kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh seorang insan. Dan mengetahui bahwa tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali karena di dalamnya terdapat keburukan. Baik itu keburukan yang sudah pasti akan terjadi atau kemungkinan besar ada. [KEDUA]Meyakini adanya ancaman hukuman yang ditetapkan pada dosa itu jika seseorang melakukannya. Karena jika ia benar-benar meyakini ancaman itu, seharusnya ia menjauhi dosa tersebut. Kamu tahu bahwa itu adalah dosa, dan meyakini ancaman Allah bagi orang yang melakukan dosa itu. Lantas bagaimana mungkin seseorang masih melakukan dosa itu?! [KETIGA]Para ulama mengatakan: Rasa takut akan terhalang dari kesempatan bertobat. Karena bisa jadi ia akan terjerumus ke dalam dosa. Lalu–na’udzubillah–ia menikmati dosa itu. Sedangkan dosa akan melahirkan dosa lainnya, dan keburukan akan memanggil keburukan lainnya. Sehingga ia terus melakukan dosa-dosa, lalu ia terhalang dari tobat. Sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya…” (QS. al-Anfal: 24). Ia terhalang dari hatinya, hingga ketika ia ingin bertobat, tapi ia tidak bisa. Padahal dialah yang telah mencelakakan dirinya sendiri dengan keberaniannya melakukan dosa dan maksiat. ==== مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُعِينَةِ يَا إِخْوَانُ عَلَى الْخَوْفِ مَعْرِفَةُ قُبْحِ الْجِنَايَةِ وَالذَّنْبِ الَّذِي يَقْتَرِفُهُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّهُ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا وَفِيهِ مَفْسَدَةٌ إِمَّا مُحَقَّقَةٌ وَإِمَّا مَاذَا؟ وَإِمَّا رَاجِحَةٌ الشَّيْءُ الثَّانِي تَصْدِيقُ الْوَعِيدِ الْمُرَتَّبِ عَلَى هَذَا الذَّنْبِ إِذَا اقْتَرَفَهُ الْإِنْسَانُ فَإِنَّهُ إِذْ كَانَ مُصَدِّقًا كَانَ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ هَذَا الذَّنْبِ فَأَنْتَ تَعْرِفُ أَنَّهُ ذَنْبٌ وَمُصَدِّقٌ لِوَعِيدِ اللَّهِ عَلَى مَنْ اقْتَرَفَ هَذَا الذَّنْبَ فَكَيْفَ يُقْبِلُ الْإِنْسَانُ عَلَى الذَّنْبِ الثَّالِثُ يَقُولُ أَهْلُ الْعِلْمِ خَوْفُهُ مِنْ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقَعُ فِي الذَّنْبِ ثُمَّ عِيَاذًا بِاللَّهِ يَسْتَمْرِئُ الذَّنْبَ وَالذَّنْبُ يُنْتِجُ الذَّنْبَ وَالسَّيِّئَةُ تَقُولُ أُخْتِي فَيَسْتَمِرُّ فِي الذُّنُوبِ وَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ فَيُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقَلْبِ حَتَّى يَتَمَنَّى التَّوْبَةَ وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ وَهُوَ الَّذِي جَنَى عَلَى نَفْسِهِ بِإِقْدَامِهِ عَلَى الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي

Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.

Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.
Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.


Daftar Isi Toggle NamaJulukanKunyahKelahiran dan masa kecilGuru-guruMurid-murid AkidahMazhab Nama Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri. [1] Julukan Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.” Kunyah Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).” [2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair”, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?” [3] Kelahiran dan masa kecil Imam Ibnu Taimiyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran. [4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab. Imam Ibnu Taimiyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda. Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini. [5] Baca juga: Biografi Syu’aib Al-Arnauth Guru-guru Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru [6] pria dan empat guru wanita. Di antara guru-gurunya adalah: Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah. Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi Kesembilan: Syekh Al-Wasiti Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari: Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar. Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah. Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab. Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah. Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah. Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau. Murid-murid  Ibnu Taimiyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah: Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Kedua: Imam Al-Dzahabi Ketiga: Imam Ibn Katsir Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar Kelima: Imam Ibn Abdulhadi Keenam: Syekh Al-Wasiti Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq Kesepuluh: Imam Ibn Muflih Akidah Ibnu Taimiyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi, خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.“[7] Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan. Imam Ibnu Taimiyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan, أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة “Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.” [8] Mazhab Ibnu Taimiyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah. Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.” [9] Ibnu Taimiyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata, ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة “Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’” Ibnu Taimiyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.” [10] Meskipun begitu, Ibnu Taimiyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, (jilid 1, hal. أ), Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Madkhal ila Atsar Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 15. [2] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 6: 151, 186, dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1: 45), no. 132. [3] Muttafaqun ‘alaihi. [4] Op.Cit. [5] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 17, 19, dengan diringkas dan beberapa perubahan. [6] Disebutkan Imam Ibn ‘Abd Al-Hadi dalam kitabnya Al-‘Uqud Al-Durriyyah, hal. 6. [7] Muttafaqun ‘alaihi. [8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Muqaddimah Jami’ Al-Fatawa, 3: 161. [9] Al-Hafizh Al-Bazzar, Al-A’lam Al-‘Aliyyah, hal. 33, dengan beberapa perubahan. [10] Imam Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al-Fatawa, 30: 80.

Apa Hukum Beli Online Pakai Uang Kurir Terlebih Dahulu? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Apa Hukum Beli Online Pakai Uang Kurir Terlebih Dahulu? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ


Ini ada pertanyaan yang diajukan penanya: Apa hukum meminta kurir membelikan sesuatu untukku pakai uangnya terlebih dahulu, lalu nanti aku ganti uangnya sekalian dengan ongkos kirimnya? Masalah ini dilarang oleh beberapa penuntut ilmu dengan alasan: karena di dalamnya terdapat penggabungan antara akad utang dan jual beli, sedangkan ada larangan berutang dan jual beli sekaligus. Namun, pendapat yang lebih benar–wallahu a’lam–adalah transaksi ini dibolehkan. Hal ini karena tujuan utama dari transaksi ini adalah layanan pengantaran. Sedangkan utang yang terjadi itu hanya transaksi turunan saja. Selain itu, alasan dilarangnya transaksi yang mengandung utang dan jual beli, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallahu Ta’ala, bahwa alasan dari larangan itu adalah karena adanya muhabah, yakni ia memberi utang agar pihak lain merasa sungkan sehingga mau berjual beli atau melakukan salah satu akad tukar-menukar dengannya. Keadaan tersebut tidak terealisasi dalam transaksi ini, karena tujuan utamanya adalah transaksi layanan pengantaran.Oleh karena itulah, kurirnya tidak berselisih dulu dengan pemesan, ketika pemesan bilang: “Bayar dulu nanti aku ganti!” atau ketika kurir harus membayar dengan uangnya terlebih dahulu. Ongkos kirim juga tidak terpengaruh karena hal itu. Ini menunjukkan bahwa utang yang terjadi dalam hal ini bukan menjadi tujuan dalam transaksi. Namun, barangkali untuk menghemat waktu, maka kurir membayar terlebih dulu dengan uangnya. Lalu ia meminta ganti uangnya itu langsung setelah pengantaran. Di antara tanda lain bahwa utang yang terjadi tidak menjadi tujuan dari transaksi ini adalah utang itu tidak punya tempo tertentu, tapi langsung dilunasi setelah itu. Ketika kurir sampai di tempat orang yang memesan jasanya, pemesan langsung mengganti uang yang dipakai itu. Ini menunjukkan utang tersebut tidak menjadi tujuan dalam transaksi ini. Sedangkan tujuannya adalah transaksi layanan pengantaran. Dan substansi yang menjadi alasan Syariat melarang penggabungan transaksi utang piutang dan jual beli tidak terealisasi dalam transaksi ini. Dengan demikian, berdasarkan yang tampak dari analisisnya, transaksi ini boleh dilakukan, insya Allah. ==== هَذَا سُؤَالٌ يَقُولُ فِيهِ السَّائِلُ مَا حُكْمُ أَنْ أَطْلُبَ مِنْ مَنْدُوبِ التَّوْصِيلِ أَنْ يَشْتَرِيَ لِي شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ثُمَّ أُعْطِيْهِ حَقَّهُ مَعَ أُجْرَةِ التَّوْصِيْلِ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَنَعَ مِنْهَا بَعْضُ طُلَّابِ الْعِلْمِ وَعَلَّلُوا لِذَلِكَ بِأَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِيهَا سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَالَّذِي يَظْهَرُ اللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ أَنَّهَا جَائِزَةٌ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَسَاسَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَالْقَرْضُ أَتَى تَبْعًا ثُمَّ إِنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ كَمَا قَرَّرَ ذَلِكَ الْإِمَامَانِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ عِلَّةَ ذَلِكَ هِيَ الْمُحَابَاةُ أَيْ أَنَّهُ يُقْرِضُهُ قَرْضًا لِيُحَابِيَهُ فِي الْبَيْعِ أَوْ فِي عَقْدٍ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ إِذْ أَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيْلِ وَلِذَلِك فَمَنْدُوبُ التَّوْصِيْلِ لَا يَخْتَلِفُ مَعَهُ الْأَمْرَ أَنْ يَقُولَ اِدْفَعْ وَأُعْطِيكَ أَوْ أَنَّهُ يُدْفَعُ لَهُ الْمَبْلَغُ مُقَدَّمًا وَلَا تَتَأَثَّرُ أُجْرَةُ التَّوْصِيْلِ بِذَلِكَ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا أَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَلَكِنْ رُبَّمَا اخْتِصَارًا لِلْوَقْتِ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ يَدْفَعُ مِنْ جَيْبِهِ ثُمَّ يَسْتَرِدُّ مَا دَفَعَهُ مُبَاشَرَةً وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ أَنَّ الْقَرْضَ هُنَا لَيْسَ لَهُ أَجَلٌ وَإِنَّمَا مُبَاشَرَةً مِنْ حِينِ مَا يَصِلُ مَنْدُوبُ التَّوْصِيلِ إِلَى طَالِبِ هَذَا الطَّلَبِ يُعْطِيْهِ الْمَبْلَغَ مُبَاشَرَةً وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقَرْضَ غَيْرُ مَقْصُودٍ وَأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ خِدْمَةُ التَّوْصِيلِ وَأَنَّ الْمَعْنَى الَّذِي لِأَجْلِهِ نَهَى الشَّارِِعُ عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَ سَلَفٍ وَبَيْعٍ أَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقٍ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ وَعَلَى ذَلِكَ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ هَذَا التَّعَامُلَ لَا بَأْسَ بِهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariatAl-kafa’ah yang dipertimbangkanAl-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan melihat latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), akhlak (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, akan dibahas bagaimanakah petunjuk syariat dalam masalah ini. Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, yang diikuti fa, dan hamzah, yang bermakna “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berarti pasangan yang setara, sepadan, atau setara dalam status. Segala sesuatu yang setara dengan sesuatu yang lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4) Artinya, tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ “Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani) Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan hukum qishash dan diyat apabila ada yang dibunuh. Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, yang berarti seorang laki-laki harus setara dan sepadan dengan perempuan yang dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka atau budak), profesi (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya yang disebutkan oleh para ahli fikih dalam pembahasan ini. Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat yang dianggap untuk melihat al-kafa’ah dari sisi syar’i: Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang yang merupakan pelaku dosa besar atau gemar bermaksiat (orang fajir atau orang fasik) tidak setara dengan seseorang yang saleh atau menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18) Kedua: nasab atau keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1] Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau bekas budak) tidak setara dengan orang meredeka. Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, atau pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang yang memiliki pekerjaan tertentu, seperti pedagang. Kelima: kecukupan harta (kondisi keuangan atau ekonomi); sesuai dengan apa yang wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir atau miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya atau berkecukupan. [2] Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara mutlak oleh para ulama. Oleh karena itu, setiap ulama mazhab menyebutkan sifat-sifat al-kafa’ah berdasarkan hasil ijtihad mereka. Masalah ini akan dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, yang akan membahas manakah di antara kelima sifat di atas yang menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita. Tidak banyak definisi kafa’ah yang komprehensif, kecuali dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendefinisikannya sebagai berikut, الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا “Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan yang jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3] Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Al-kafa’ah yang dipertimbangkan Para ulama menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pasangan yang setara dengan beliau, namun beliau menikahi perempuan dari berbagai suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang perempuan Yahudi. Oleh karena itu, rasa gengsi tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki memiliki istri yang dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, atau nasab, itu tidak akan menjadi masalah yang besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh karena itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu. Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat yang berkaitan dengan) agama, nasab, merdeka atau budak, pekerjaan yang tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, karena seorang anak itu hanyalah menjadi mulia karena kemuliaan bapaknya, bukan karena ibunya. Oleh karena itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4] Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, وهو قول أكثر أهل العلم “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [6] Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, yang merupakan seorang bekas budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya dengan Salim, yang merupakan bekas budak dari seorang wanita dari kaum Anshar. Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya akad nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) akad nikah. Karena tentu mereka akan malu jika memiliki menantu yang dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan, وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ “Sekufu, yaitu kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka atau budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya yang salehah dengan laki-laki fajir, atau menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, atau walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7] Dalil dalam masalah ini hadis dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata, جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا “Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ. “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) atau orang yang meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan keyakinan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, lalu ternyata diketahui bahwa ia adalah Rafidhi yang tidak salat, atau dia kembali pada keyakinan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8] Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami akan membahas dalil-dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat yang dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah? [Bersambung] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم “Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah keyakinan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419) Beliau kemudian melanjutkan, وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا. “Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab yang paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy yang paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim yang paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk yang paling mulia dan juga memiliki nasab yang paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420) Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain, atau memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki bangsa lainnya, atau tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan yang lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) [2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69. [3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196. [4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313. [5] Kecuali dalam aspek agama, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan. [6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313. [7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384. [8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.

Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariatAl-kafa’ah yang dipertimbangkanAl-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan melihat latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), akhlak (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, akan dibahas bagaimanakah petunjuk syariat dalam masalah ini. Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, yang diikuti fa, dan hamzah, yang bermakna “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berarti pasangan yang setara, sepadan, atau setara dalam status. Segala sesuatu yang setara dengan sesuatu yang lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4) Artinya, tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ “Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani) Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan hukum qishash dan diyat apabila ada yang dibunuh. Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, yang berarti seorang laki-laki harus setara dan sepadan dengan perempuan yang dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka atau budak), profesi (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya yang disebutkan oleh para ahli fikih dalam pembahasan ini. Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat yang dianggap untuk melihat al-kafa’ah dari sisi syar’i: Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang yang merupakan pelaku dosa besar atau gemar bermaksiat (orang fajir atau orang fasik) tidak setara dengan seseorang yang saleh atau menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18) Kedua: nasab atau keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1] Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau bekas budak) tidak setara dengan orang meredeka. Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, atau pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang yang memiliki pekerjaan tertentu, seperti pedagang. Kelima: kecukupan harta (kondisi keuangan atau ekonomi); sesuai dengan apa yang wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir atau miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya atau berkecukupan. [2] Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara mutlak oleh para ulama. Oleh karena itu, setiap ulama mazhab menyebutkan sifat-sifat al-kafa’ah berdasarkan hasil ijtihad mereka. Masalah ini akan dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, yang akan membahas manakah di antara kelima sifat di atas yang menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita. Tidak banyak definisi kafa’ah yang komprehensif, kecuali dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendefinisikannya sebagai berikut, الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا “Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan yang jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3] Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Al-kafa’ah yang dipertimbangkan Para ulama menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pasangan yang setara dengan beliau, namun beliau menikahi perempuan dari berbagai suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang perempuan Yahudi. Oleh karena itu, rasa gengsi tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki memiliki istri yang dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, atau nasab, itu tidak akan menjadi masalah yang besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh karena itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu. Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat yang berkaitan dengan) agama, nasab, merdeka atau budak, pekerjaan yang tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, karena seorang anak itu hanyalah menjadi mulia karena kemuliaan bapaknya, bukan karena ibunya. Oleh karena itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4] Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, وهو قول أكثر أهل العلم “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [6] Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, yang merupakan seorang bekas budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya dengan Salim, yang merupakan bekas budak dari seorang wanita dari kaum Anshar. Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya akad nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) akad nikah. Karena tentu mereka akan malu jika memiliki menantu yang dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan, وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ “Sekufu, yaitu kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka atau budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya yang salehah dengan laki-laki fajir, atau menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, atau walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7] Dalil dalam masalah ini hadis dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata, جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا “Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ. “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) atau orang yang meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan keyakinan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, lalu ternyata diketahui bahwa ia adalah Rafidhi yang tidak salat, atau dia kembali pada keyakinan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8] Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami akan membahas dalil-dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat yang dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah? [Bersambung] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم “Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah keyakinan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419) Beliau kemudian melanjutkan, وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا. “Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab yang paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy yang paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim yang paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk yang paling mulia dan juga memiliki nasab yang paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420) Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain, atau memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki bangsa lainnya, atau tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan yang lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) [2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69. [3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196. [4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313. [5] Kecuali dalam aspek agama, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan. [6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313. [7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384. [8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.
Daftar Isi Toggle Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariatAl-kafa’ah yang dipertimbangkanAl-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan melihat latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), akhlak (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, akan dibahas bagaimanakah petunjuk syariat dalam masalah ini. Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, yang diikuti fa, dan hamzah, yang bermakna “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berarti pasangan yang setara, sepadan, atau setara dalam status. Segala sesuatu yang setara dengan sesuatu yang lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4) Artinya, tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ “Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani) Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan hukum qishash dan diyat apabila ada yang dibunuh. Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, yang berarti seorang laki-laki harus setara dan sepadan dengan perempuan yang dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka atau budak), profesi (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya yang disebutkan oleh para ahli fikih dalam pembahasan ini. Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat yang dianggap untuk melihat al-kafa’ah dari sisi syar’i: Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang yang merupakan pelaku dosa besar atau gemar bermaksiat (orang fajir atau orang fasik) tidak setara dengan seseorang yang saleh atau menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18) Kedua: nasab atau keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1] Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau bekas budak) tidak setara dengan orang meredeka. Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, atau pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang yang memiliki pekerjaan tertentu, seperti pedagang. Kelima: kecukupan harta (kondisi keuangan atau ekonomi); sesuai dengan apa yang wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir atau miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya atau berkecukupan. [2] Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara mutlak oleh para ulama. Oleh karena itu, setiap ulama mazhab menyebutkan sifat-sifat al-kafa’ah berdasarkan hasil ijtihad mereka. Masalah ini akan dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, yang akan membahas manakah di antara kelima sifat di atas yang menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita. Tidak banyak definisi kafa’ah yang komprehensif, kecuali dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendefinisikannya sebagai berikut, الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا “Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan yang jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3] Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Al-kafa’ah yang dipertimbangkan Para ulama menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pasangan yang setara dengan beliau, namun beliau menikahi perempuan dari berbagai suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang perempuan Yahudi. Oleh karena itu, rasa gengsi tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki memiliki istri yang dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, atau nasab, itu tidak akan menjadi masalah yang besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh karena itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu. Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat yang berkaitan dengan) agama, nasab, merdeka atau budak, pekerjaan yang tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, karena seorang anak itu hanyalah menjadi mulia karena kemuliaan bapaknya, bukan karena ibunya. Oleh karena itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4] Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, وهو قول أكثر أهل العلم “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [6] Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, yang merupakan seorang bekas budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya dengan Salim, yang merupakan bekas budak dari seorang wanita dari kaum Anshar. Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya akad nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) akad nikah. Karena tentu mereka akan malu jika memiliki menantu yang dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan, وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ “Sekufu, yaitu kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka atau budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya yang salehah dengan laki-laki fajir, atau menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, atau walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7] Dalil dalam masalah ini hadis dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata, جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا “Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ. “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) atau orang yang meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan keyakinan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, lalu ternyata diketahui bahwa ia adalah Rafidhi yang tidak salat, atau dia kembali pada keyakinan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8] Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami akan membahas dalil-dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat yang dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah? [Bersambung] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم “Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah keyakinan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419) Beliau kemudian melanjutkan, وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا. “Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab yang paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy yang paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim yang paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk yang paling mulia dan juga memiliki nasab yang paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420) Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain, atau memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki bangsa lainnya, atau tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan yang lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) [2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69. [3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196. [4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313. [5] Kecuali dalam aspek agama, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan. [6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313. [7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384. [8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.


Daftar Isi Toggle Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariatAl-kafa’ah yang dipertimbangkanAl-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan melihat latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), akhlak (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, akan dibahas bagaimanakah petunjuk syariat dalam masalah ini. Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, yang diikuti fa, dan hamzah, yang bermakna “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berarti pasangan yang setara, sepadan, atau setara dalam status. Segala sesuatu yang setara dengan sesuatu yang lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4) Artinya, tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ “Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani) Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan hukum qishash dan diyat apabila ada yang dibunuh. Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, yang berarti seorang laki-laki harus setara dan sepadan dengan perempuan yang dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka atau budak), profesi (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya yang disebutkan oleh para ahli fikih dalam pembahasan ini. Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat yang dianggap untuk melihat al-kafa’ah dari sisi syar’i: Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang yang merupakan pelaku dosa besar atau gemar bermaksiat (orang fajir atau orang fasik) tidak setara dengan seseorang yang saleh atau menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ “Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18) Kedua: nasab atau keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1] Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau bekas budak) tidak setara dengan orang meredeka. Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, atau pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang yang memiliki pekerjaan tertentu, seperti pedagang. Kelima: kecukupan harta (kondisi keuangan atau ekonomi); sesuai dengan apa yang wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir atau miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya atau berkecukupan. [2] Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara mutlak oleh para ulama. Oleh karena itu, setiap ulama mazhab menyebutkan sifat-sifat al-kafa’ah berdasarkan hasil ijtihad mereka. Masalah ini akan dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, yang akan membahas manakah di antara kelima sifat di atas yang menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita. Tidak banyak definisi kafa’ah yang komprehensif, kecuali dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendefinisikannya sebagai berikut, الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا “Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan yang jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3] Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina Al-kafa’ah yang dipertimbangkan Para ulama menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pasangan yang setara dengan beliau, namun beliau menikahi perempuan dari berbagai suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang perempuan Yahudi. Oleh karena itu, rasa gengsi tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki memiliki istri yang dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, atau nasab, itu tidak akan menjadi masalah yang besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh karena itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu. Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat yang berkaitan dengan) agama, nasab, merdeka atau budak, pekerjaan yang tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, karena seorang anak itu hanyalah menjadi mulia karena kemuliaan bapaknya, bukan karena ibunya. Oleh karena itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4] Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, وهو قول أكثر أهل العلم “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [6] Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, yang merupakan seorang bekas budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya dengan Salim, yang merupakan bekas budak dari seorang wanita dari kaum Anshar. Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya akad nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) akad nikah. Karena tentu mereka akan malu jika memiliki menantu yang dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan, وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ “Sekufu, yaitu kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka atau budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya yang salehah dengan laki-laki fajir, atau menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, atau walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7] Dalil dalam masalah ini hadis dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata, جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا “Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ. “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) atau orang yang meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan keyakinan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, lalu ternyata diketahui bahwa ia adalah Rafidhi yang tidak salat, atau dia kembali pada keyakinan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8] Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami akan membahas dalil-dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat yang dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah? [Bersambung] Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Sepupu *** @5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم “Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah keyakinan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419) Beliau kemudian melanjutkan, وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا. “Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab yang paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy yang paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim yang paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk yang paling mulia dan juga memiliki nasab yang paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420) Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain, atau memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki bangsa lainnya, atau tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan yang lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13) [2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69. [3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196. [4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313. [5] Kecuali dalam aspek agama, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan. [6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313. [7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384. [8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.

Ini Dia Amalan Super Mudah tapi Banyak Pahala – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian amalan terbaik kalian, paling suci di sisi Tuhan kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada bersedekah dengan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh, lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Memperbanyak berzikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi) Memperbanyak zikir kepada Allah adalah salah satu amal terbaik. Bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai amal terbaik secara mutlak. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang amalan terbaik. Lalu beliau menjawab, “Ini berbeda-beda, tergantung keadaan dan tiap-tiap orang. Namun di antara yang disepakati oleh para ulama, bahwa memperbanyak zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla termasuk amalan paling utama yang dilakukan oleh seorang hamba.” Ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah. Sungguh Syariat Islam sudah terlalu banyak bagiku. Maka, perintahkanlah aku pada suatu amalan andalan yang dapat aku pegang teguh!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda kepadanya: “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. at-Tirmidzi) Maka hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku! untuk senantiasa memperbanyak zikir kepada Allah. Berzikir tidak perlu banyak tenaga bagi seorang Muslim. Berzikir itu amalan yang mudah, tapi pahala yang disiapkan untuknya amat besar. Sebagai contoh, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan, SUBHAANALLAAH 100 kali maka dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapus darinya seribu keburukan.” (HR. Muslim). Hanya dengan mengucapkan SUBHAANALLAAH sebanyak 100 kali, dicatat bagimu seribu kebaikan! Ini amalan yang mudah, namun pahala yang disiapkan baginya amatlah besar. Orang yang melakukannya adalah yang mendapat taufik dari Allah. ==== عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ يَعْنِى فِضَّةً وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ فَالْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَلْ عَدَّهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ عَلَى الْإِطْلَاقِ سُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ قَالَ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَلَكِنْ مِمَّا هُوَ كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِ مَا شَغَلَ بِهِ الْعَبْدُ نَفْسَهُ وَقَدْ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَمُرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَذِكْرُ اللَّهِ لَا يُكَلِّفُ الْمُسْلِمَ كَثِيرًا فَهُوَ عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ فَعَلَى سَبِيلِ الْمِثَالِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مِئَةَ مَرَّةٍ كُتِبَ لَهُ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ حُطَّ عَنْهُ بِهَا أَلْفُ سَيِّئَةٍ رَوَاهُ مُسْلِمٌ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ تُكَرِّرُهَا مِئَةَ مَرَّةٍ يُكْتَبُ لَكَ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ هَذَا عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ

Ini Dia Amalan Super Mudah tapi Banyak Pahala – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian amalan terbaik kalian, paling suci di sisi Tuhan kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada bersedekah dengan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh, lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Memperbanyak berzikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi) Memperbanyak zikir kepada Allah adalah salah satu amal terbaik. Bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai amal terbaik secara mutlak. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang amalan terbaik. Lalu beliau menjawab, “Ini berbeda-beda, tergantung keadaan dan tiap-tiap orang. Namun di antara yang disepakati oleh para ulama, bahwa memperbanyak zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla termasuk amalan paling utama yang dilakukan oleh seorang hamba.” Ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah. Sungguh Syariat Islam sudah terlalu banyak bagiku. Maka, perintahkanlah aku pada suatu amalan andalan yang dapat aku pegang teguh!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda kepadanya: “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. at-Tirmidzi) Maka hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku! untuk senantiasa memperbanyak zikir kepada Allah. Berzikir tidak perlu banyak tenaga bagi seorang Muslim. Berzikir itu amalan yang mudah, tapi pahala yang disiapkan untuknya amat besar. Sebagai contoh, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan, SUBHAANALLAAH 100 kali maka dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapus darinya seribu keburukan.” (HR. Muslim). Hanya dengan mengucapkan SUBHAANALLAAH sebanyak 100 kali, dicatat bagimu seribu kebaikan! Ini amalan yang mudah, namun pahala yang disiapkan baginya amatlah besar. Orang yang melakukannya adalah yang mendapat taufik dari Allah. ==== عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ يَعْنِى فِضَّةً وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ فَالْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَلْ عَدَّهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ عَلَى الْإِطْلَاقِ سُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ قَالَ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَلَكِنْ مِمَّا هُوَ كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِ مَا شَغَلَ بِهِ الْعَبْدُ نَفْسَهُ وَقَدْ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَمُرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَذِكْرُ اللَّهِ لَا يُكَلِّفُ الْمُسْلِمَ كَثِيرًا فَهُوَ عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ فَعَلَى سَبِيلِ الْمِثَالِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مِئَةَ مَرَّةٍ كُتِبَ لَهُ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ حُطَّ عَنْهُ بِهَا أَلْفُ سَيِّئَةٍ رَوَاهُ مُسْلِمٌ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ تُكَرِّرُهَا مِئَةَ مَرَّةٍ يُكْتَبُ لَكَ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ هَذَا عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ
Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian amalan terbaik kalian, paling suci di sisi Tuhan kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada bersedekah dengan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh, lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Memperbanyak berzikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi) Memperbanyak zikir kepada Allah adalah salah satu amal terbaik. Bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai amal terbaik secara mutlak. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang amalan terbaik. Lalu beliau menjawab, “Ini berbeda-beda, tergantung keadaan dan tiap-tiap orang. Namun di antara yang disepakati oleh para ulama, bahwa memperbanyak zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla termasuk amalan paling utama yang dilakukan oleh seorang hamba.” Ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah. Sungguh Syariat Islam sudah terlalu banyak bagiku. Maka, perintahkanlah aku pada suatu amalan andalan yang dapat aku pegang teguh!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda kepadanya: “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. at-Tirmidzi) Maka hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku! untuk senantiasa memperbanyak zikir kepada Allah. Berzikir tidak perlu banyak tenaga bagi seorang Muslim. Berzikir itu amalan yang mudah, tapi pahala yang disiapkan untuknya amat besar. Sebagai contoh, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan, SUBHAANALLAAH 100 kali maka dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapus darinya seribu keburukan.” (HR. Muslim). Hanya dengan mengucapkan SUBHAANALLAAH sebanyak 100 kali, dicatat bagimu seribu kebaikan! Ini amalan yang mudah, namun pahala yang disiapkan baginya amatlah besar. Orang yang melakukannya adalah yang mendapat taufik dari Allah. ==== عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ يَعْنِى فِضَّةً وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ فَالْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَلْ عَدَّهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ عَلَى الْإِطْلَاقِ سُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ قَالَ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَلَكِنْ مِمَّا هُوَ كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِ مَا شَغَلَ بِهِ الْعَبْدُ نَفْسَهُ وَقَدْ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَمُرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَذِكْرُ اللَّهِ لَا يُكَلِّفُ الْمُسْلِمَ كَثِيرًا فَهُوَ عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ فَعَلَى سَبِيلِ الْمِثَالِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مِئَةَ مَرَّةٍ كُتِبَ لَهُ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ حُطَّ عَنْهُ بِهَا أَلْفُ سَيِّئَةٍ رَوَاهُ مُسْلِمٌ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ تُكَرِّرُهَا مِئَةَ مَرَّةٍ يُكْتَبُ لَكَ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ هَذَا عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ


Diriwayatkan dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian amalan terbaik kalian, paling suci di sisi Tuhan kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada bersedekah dengan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh, lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Memperbanyak berzikir kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi) Memperbanyak zikir kepada Allah adalah salah satu amal terbaik. Bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai amal terbaik secara mutlak. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang amalan terbaik. Lalu beliau menjawab, “Ini berbeda-beda, tergantung keadaan dan tiap-tiap orang. Namun di antara yang disepakati oleh para ulama, bahwa memperbanyak zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla termasuk amalan paling utama yang dilakukan oleh seorang hamba.” Ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah. Sungguh Syariat Islam sudah terlalu banyak bagiku. Maka, perintahkanlah aku pada suatu amalan andalan yang dapat aku pegang teguh!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda kepadanya: “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. at-Tirmidzi) Maka hendaklah kamu, wahai saudara Muslimku! untuk senantiasa memperbanyak zikir kepada Allah. Berzikir tidak perlu banyak tenaga bagi seorang Muslim. Berzikir itu amalan yang mudah, tapi pahala yang disiapkan untuknya amat besar. Sebagai contoh, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan, SUBHAANALLAAH 100 kali maka dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapus darinya seribu keburukan.” (HR. Muslim). Hanya dengan mengucapkan SUBHAANALLAAH sebanyak 100 kali, dicatat bagimu seribu kebaikan! Ini amalan yang mudah, namun pahala yang disiapkan baginya amatlah besar. Orang yang melakukannya adalah yang mendapat taufik dari Allah. ==== عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ يَعْنِى فِضَّةً وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَثْرَةُ ذِكْرِ اللَّهِ فَالْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ بَلْ عَدَّهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ عَلَى الْإِطْلَاقِ سُئِلَ الْإِمَامُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ قَالَ هَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ وَلَكِنْ مِمَّا هُوَ كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِ مَا شَغَلَ بِهِ الْعَبْدُ نَفْسَهُ وَقَدْ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَمُرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيَنْبَغِي لَكَ أَخِي الْمُسْلِمَ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى الْإِكْثَارِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَذِكْرُ اللَّهِ لَا يُكَلِّفُ الْمُسْلِمَ كَثِيرًا فَهُوَ عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ فَعَلَى سَبِيلِ الْمِثَالِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مِئَةَ مَرَّةٍ كُتِبَ لَهُ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ حُطَّ عَنْهُ بِهَا أَلْفُ سَيِّئَةٍ رَوَاهُ مُسْلِمٌ مُجَرَّدُ أَنَّكَ تَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ تُكَرِّرُهَا مِئَةَ مَرَّةٍ يُكْتَبُ لَكَ بِهَا أَلْفُ حَسَنَةٍ هَذَا عَمَلٌ يَسِيرٌ وَالْأَجْرُ الْمُرَتَّبُ عَلَيْهِ عَظِيمٌ وَالْمُوَفَّقُ مَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.748 video dengan total 6.662.700 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.953 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 876.196.056 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.051 video Total Subscribers: 4.109.175 subscribers Total Tayangan Video: 706.952.527 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 114 video Produksi Video Desember 2024: 245 video Tayangan Video Desember 2024: 3.594.428 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 378.890 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +11.054 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.726 video Total Subscribers: 318.398 Total Tayangan Video: 21.489.706 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Desember 2024: 36 video Tayangan Video Desember 2024: 135.754 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 8.131 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +1.453 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 496.166 Total Tayangan Video: 150.032.230 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 2.055.271 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 108.355 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +4.654 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.928 Total Tayangan Video: 468.369 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Desember 2024: 1.586 views Jam Tayang Video Desember 2024: 328 Jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +16 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 54.800 Total Tayangan Video: 3.158.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 27.067 views Penambahan Subscribers Desember 2024: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.135 Postingan Total Pengikut: 1.171.526 followers Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +10.792 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.044 Postingan Total Pengikut: 507.707 Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +4.575 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 14 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 6 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.067 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.108 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 539 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.284 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 30.000 file mp3 dengan total ukuran 406 Gb dan pada bulan Desember 2024 ini telah mempublikasikan 233 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2024 ini saja telah didengarkan 24.697 kali dan telah di download sebanyak 395 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.944.575 kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.594 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 60.658 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.590 artikel dengan total durasi audio 235 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 164 times, 2 visit(s) today Post Views: 455 QRIS donasi Yufid

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.748 video dengan total 6.662.700 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.953 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 876.196.056 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.051 video Total Subscribers: 4.109.175 subscribers Total Tayangan Video: 706.952.527 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 114 video Produksi Video Desember 2024: 245 video Tayangan Video Desember 2024: 3.594.428 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 378.890 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +11.054 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.726 video Total Subscribers: 318.398 Total Tayangan Video: 21.489.706 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Desember 2024: 36 video Tayangan Video Desember 2024: 135.754 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 8.131 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +1.453 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 496.166 Total Tayangan Video: 150.032.230 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 2.055.271 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 108.355 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +4.654 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.928 Total Tayangan Video: 468.369 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Desember 2024: 1.586 views Jam Tayang Video Desember 2024: 328 Jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +16 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 54.800 Total Tayangan Video: 3.158.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 27.067 views Penambahan Subscribers Desember 2024: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.135 Postingan Total Pengikut: 1.171.526 followers Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +10.792 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.044 Postingan Total Pengikut: 507.707 Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +4.575 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 14 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 6 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.067 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.108 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 539 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.284 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 30.000 file mp3 dengan total ukuran 406 Gb dan pada bulan Desember 2024 ini telah mempublikasikan 233 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2024 ini saja telah didengarkan 24.697 kali dan telah di download sebanyak 395 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.944.575 kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.594 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 60.658 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.590 artikel dengan total durasi audio 235 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 164 times, 2 visit(s) today Post Views: 455 QRIS donasi Yufid
Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.748 video dengan total 6.662.700 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.953 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 876.196.056 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 19.051 video Total Subscribers: 4.109.175 subscribers Total Tayangan Video: 706.952.527 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 114 video Produksi Video Desember 2024: 245 video Tayangan Video Desember 2024: 3.594.428 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 378.890 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +11.054 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.726 video Total Subscribers: 318.398 Total Tayangan Video: 21.489.706 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Desember 2024: 36 video Tayangan Video Desember 2024: 135.754 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 8.131 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +1.453 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 496.166 Total Tayangan Video: 150.032.230 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 2.055.271 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 108.355 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +4.654 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.928 Total Tayangan Video: 468.369 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Desember 2024: 1.586 views Jam Tayang Video Desember 2024: 328 Jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +16 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 54.800 Total Tayangan Video: 3.158.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 27.067 views Penambahan Subscribers Desember 2024: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.135 Postingan Total Pengikut: 1.171.526 followers Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +10.792 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.044 Postingan Total Pengikut: 507.707 Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +4.575 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 14 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 6 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.067 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.108 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 539 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.284 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 30.000 file mp3 dengan total ukuran 406 Gb dan pada bulan Desember 2024 ini telah mempublikasikan 233 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2024 ini saja telah didengarkan 24.697 kali dan telah di download sebanyak 395 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.944.575 kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.594 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 60.658 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.590 artikel dengan total durasi audio 235 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 164 times, 2 visit(s) today Post Views: 455 QRIS donasi Yufid


Laporan Produksi Yufid Bulan Desember 2024 Bismillahirrohmanirrohim… Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 22.748 video dengan total 6.662.700 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dan telah mempublikasikan 9.953 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas ini, Yufid berusaha memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan tim, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam. Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 876.196.056 views di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeBoNc1FiTUFcy8iTzkanD5SVPktbNX6Au8bvaGBXW1g-WsDma2z7A13kBZt5jwUQaS0tDb7pXutmlZyu0jIybBerLYEOI11zno8mLIUtTeMrNPuKNPIv6dmrhCv93NHHt2_qSc?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid.TV: 19.051 video Total Subscribers: 4.109.175 subscribers Total Tayangan Video: 706.952.527 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 114 video Produksi Video Desember 2024: 245 video Tayangan Video Desember 2024: 3.594.428 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 378.890 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +11.054 Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXffHZPd2-wKPB6PbfOirD69TYz0iWO_i9xLuxB9tBGfLojET7AKrTETI8WOsZf49buhFp0V89Ei_-KGXkSYGc-vyCXK3YgcGjyPq5iJM0urb02BYmcDgoG6xxYAidhs-yfo_q38hg?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid Edu: 2.726 video Total Subscribers: 318.398 Total Tayangan Video: 21.489.706 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 20 video Produksi Video Desember 2024: 36 video Tayangan Video Desember 2024: 135.754 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 8.131 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +1.453 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXdUhAxUswCr-vhzzhjqMlve3n8yh6eLKs3duVLH9t2fEokRmgA4x8rbtC4n_T5cJel6y23K3m54Tw4GDHXutenwUkwdA0XRiEQVuJXvSRNTDoAB96GlFJfTtGJcN4uC2OCfMRQ_CQ?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Total Video Yufid Kids: 87 video Total Subscribers: 496.166 Total Tayangan Video: 150.032.230 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 2.055.271 views Waktu Tayang Video Desember 2024: 108.355 jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +4.654 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.928 Total Tayangan Video: 468.369 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Desember 2024: 1.586 views Jam Tayang Video Desember 2024: 328 Jam Penambahan Subscribers Desember 2024: +16 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 612 Total Subscribers: 54.800 Total Tayangan Video: 3.158.233 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 8 video Produksi Video Desember 2024: 0 video Tayangan Video Desember 2024: 27.067 views Penambahan Subscribers Desember 2024: +300 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXcOlaK2MXysEKnkPM_tWEqOeJpmAPlaiI2J7wzCei9SX9vD-Hj9g-AEU2wUuyYECe2vdiDQTtKvF7E4DTS8EMVggXrsNhjFUypiR_jEyZpEAjEaplgBzNftEXWZt5_fIV0AY_Zv_Q?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/> Instagram Yufid.TV Total Konten: 4.135 Postingan Total Pengikut: 1.171.526 followers Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +10.792 Instagram Yufid Network Total Konten: 4.044 Postingan Total Pengikut: 507.707 Konten Bulan Desember 2024: 45 Rata-Rata Produksi: 45 konten/bulan Penambahan Followers Desember 2024: +4.575 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV.  Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXeV9H7AXvfbXz9o1N2KA0ip66SkHxyzIrI_C7Kr_lbbAtgoEERtQ9hI-QyXQYn952WE_RujopOG9CtnE4_KAG8esexFx5oF0uXgZjZkBTlbuaoEZeHjSTaSQkEZGpGaRJXPfAzRLA?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Nasehat Ulama di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 14 video. Nasehat Ulama juga membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://lh7-rt.googleusercontent.com/docsz/AD_4nXfJIcBfRGo62dPmA6zC-YrOU1cvp7bp4x6Q2qnk85CWfJpUOJenyt6Qz2Icbfs4-CQ6fW-HsPlK7yAMJ9XzLmeYKZmNVPnFFe57ocnyTRhKYogiT9kkl8bYsidPtulhOaB0zfiO?key=hyAjf5EZ7FIttlwGgV9iS15s" alt=""/>Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, konten Motion Graphics di channel YouTube Yufid.TV telah mempublikasikan 6 video. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.067 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 3 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.108 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk Audio Visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 539 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 4 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.284 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 5 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.495 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 30.000 file mp3 dengan total ukuran 406 Gb dan pada bulan Desember 2024 ini telah mempublikasikan 233 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Desember 2024 ini saja telah didengarkan 24.697 kali dan telah di download sebanyak 395 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.944.575 kata dengan rata-rata produksi per bulan 52.594 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, project terjemahan ini telah menerjemahkan 60.658 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.590 artikel dengan total durasi audio 235 jam dengan rata-rata perekaman 29 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu bertotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Desember 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 164 times, 2 visit(s) today Post Views: 455 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Manusia antara Kehidupan dan Kematian

الإنسان بين الحياة والموت Oleh: Dr. Khalid Sa’ad an-Najjar د. خالد سعد النجار نعمة الاستخلاف في الأرض والعيش في أرجائها والمشي في مناكبها فتنة وابتلاء، وليس أعظم من فتنة النعماء وامتحان السراء، لأن الرخاء ينسي، والمتاع يُلهي، والثراء يطغي، في دنيا مستطابة في ذوقها، معجبة في منظرها، مؤنقة في مظهرها، الفتنة بها حاصلة، وعدم السلامة منها غالبة، قال صلى الله عليه وسلم: «إن الدنيا حلوة خضرة، وإن الله مستخلفكم فيها، فينظر كيف تعملون، فاتقوا الدنيا، واتقوا النساء، فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء» [رواه مسلم]. قال تعالى: {الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ}[الملك:2] أي ليبلوكم أيكم له أطوع، وإلى مرضاته أسرع، وعن محارمه أورع. Nikmat pengelolaan bumi, hidup di setiap sudut belahannya, dan berjalan di atas permukaannya merupakan ujian dan cobaan. Bahkan, tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian berupa kenikmatan dan karunia kelapangan hidup; karena kehidupan yang makmur itu membuat lalai, kenikmatan itu dapat membuai, dan kekayaan itu mengundang keangkuhan; di dunia yang begitu nikmat rasanya, menakjubkan pemandangannya, dan elegan penampilannya; fitnah darinya begitu nyata dan keselamatan darinya begitu langka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (amat menarik). Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepada kalian. Kemudian Allah melihat apa yang kamu kerjakan (di dunia); maka dari itu takutlah terhadap dunia dan takutlah terhadap wanita, karena sesungguhnya sumber bencana pertama Bani Israil adalah wanita.” (HR. Muslim). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2). Yakni menguji kalian siapa di antara kalian yang paling taat kepada-Nya, paling bergegas dalam mencari keridhaan-Nya, dan paling menjauh dari larangan-larangan-Nya. يقول على الطنطاوي رحمه الله: ثلاثون سنة ما خرجت منها إلا بشيء واحد، هو أني رأيت الحياة كمائدة القمار، فمن الناس من يخسر ماله ويخرج ينفض كفه، ومنهم من يخرج مثقلا بأموال غيره التي ربحها، ومنهم من يقوم على الطريق يمسح الأحذية، ومن يمد إليه حذاءه ليمسحه له، ومن ينام على السرير، ومن يسهر في الشارع يحرس النائم، ومن يأخذ التسعة من غير عمل، ومن يكد ويدأب فلا يبلغ الواحد، وعالم يخضع لجاهل، وجاهل يترأس العلماء، ورأيت المال والعلم والخلق والشهادات قسما وهبات، فرب غني لا علم عنده، وعالم لا مال لديه، وصاحب شهادات ليس بصاحب علم، وذي علم ليس بذي شهادات، ورب مالك أخلاق لا يملك معها شيئا، ومالك لكل شيء ولكن لا أخلاق له، ورأيت في مدرسي المدارس من هو أعلم من رئيس الجامعة، وبين موظفي الوزارة من هو أفضل من الوزير .. ولكنه الحظ، أو هي حكمة الله لا يعلم سرها إلا هو، ابتلانا بخفائها لينظر: أنرضى أم نسخط. Ali Ath-Thanthawi rahimahullah berkata: “Selama 30 tahun, aku tidak melihat dari dunia kecuali satu hal; bahwa aku melihat kehidupan seperti meja perjudian; ada sebagian orang yang kehilangan hartanya dan keluar darinya dengan tangan kosong, dan ada sebagian orang lainnya yang keluar darinya dengan meraup harta orang lain yang ia menangkan. Ada orang yang berdiri di tepi jalan untuk menyemir sepatu dan ada orang lain yang menyodorkan sepatu kepadanya agar ia menyemirnya. Ada orang yang tidur di atas dipan mewah, ada orang yang begadang di jalan untuk menjaga orang yang sedang tidur itu. Ada orang yang dapat memperoleh sembilan bagian tanpa harus bekerja, dan ada orang lain yang bekerja keras banting tulang tapi mendapat satu bagian pun tidak. Ada orang berilmu yang tunduk patuh kepada orang bodoh, dan ada orang bodoh yang membawahi para ilmuwan.  Aku mendapati bahwa harta, ilmu, perilaku, dan ijazah-ijazah adalah rezeki dan karunia (yang Allah berikan sesuai kehendak-Nya). Terkadang ada orang kaya raya tapi tidak berilmu, dan ada orang berilmu tapi tidak punya harta. Ada orang yang punya banyak ijazah tapi tidak punya ilmu, dan ada orang yang berilmu tapi tidak punya ijazah. Terkadang ada orang yang berbudi pekerti luhur tapi tidak punya apa pun, dan ada orang yang punya segalanya tapi tidak punya budi pekerti. Aku mencermati para guru di sekolah-sekolah ada yang lebih luas ilmunya daripada rektor universitas; dan ada pegawai kementerian yang lebih mumpuni daripada menteri itu sendiri. Namun, itulah nasib; atau itulah hikmah kebijaksanaan Allah yang tidak ada yang mengetahui rahasianya kecuali Dia. Dia menguji kita dengan menyembunyikan rahasia itu, untuk melihat apakah kita menerimanya dengan lapang dada atau mencela.” من الذي أمننا في الدور؟ من الذي أرخى علينا الستور؟ من الذي صرف عنا البلايا والشرور، والفتنة حولنا تدور؟ أليس هو الرحيم الغفور؟ فما لنا قد كثرت منا العثار، وقل منا الاعتبار والادكار؟ ما لنا لبسنا ثوب العصيان والغفلة والنسيان؟ غرنا بالله الغرور، برجاء رحمته عن خوف نقمته، وبرجاء عفوه عن رهبة سطوته. عن ابن السماك يحدث قال: بينما صياد في الدهر الأول يصطاد السمك، إذ رمى بشبكة في البحر فخرج فيها جمجمة إنسان، فجعل الصياد ينظر إليها ويبكي، ويقول: عزيز فلم تترك لعزك، غني فلم تترك لغناك، فقير فلم تترك لفقرك، جواد فلم تترك لجودك، شديد فلم تترك لشدتك، عالم فلم تترك لعلمك .. يردد هذا الكلام ويبكي. Siapakah yang memberi kita rasa aman di dalam rumah? Siapakah yang menjulurkan tabir yang menutup aib keburukan kita? Siapakah yang menghindarkan musibah, keburukan, dan bencana yang bertebaran di sekeliling kita? Bukankah Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun? Lalu mengapa kita begitu banyak berbuat dosa dan kesalahan, dan sedikit sekali kita mengambil ibrah dan pelajaran? Lalu mengapa kita masih mengenakan baju kemaksiatan, kelalaian, dan kealpaan? Sungguh kita telah terperdaya dengan harapan kepada rahmat-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan terhadap azab-Nya; dan dengan asa terhadap ampunan-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan akan kuasa-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu as-Sammak bahwa ia menceritakan, “Suatu ketika pada zaman dahulu ada seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Ketika ia melempar jalanya di laut, ternyata jalanya menangkap tengkorak manusia. Lalu nelayan itu melihatnya lamat-lamat kemudian menangis dan berkata, ‘Jika kamu orang mulia, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemuliaanmu. Jika kamu orang kaya, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekayaanmu. Jika kamu orang miskin, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemiskinanmu. Jika kamu orang dermawan, kamu tidak dibiarkan hidup karena kedermawananmu. Jika kamu orang kuat, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekuatanmu. Jika kamu orang berilmu, kamu juga tidak dibiarkan hidup karena ilmumu!’ Ia terus mengulang-ulang perkataan ini sambil menangis.  ولدتك إذ ولدتك أمك باكيا … والقوم حولك يضحكون سرورا فاعمل ليوم تكون فيه إذا بكوا … في يوم موتك ضاحكا مسرورا Ia lalu melantunkan syair: Kamu terlahir dalam keadaan menangis ketika ibumu baru melahirkanmu Sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia Maka beramallah untuk satu hari – ketika mereka menangis karena kematianmu –  Sedangkan kamu ketika itu dapat tertawa bahagia كلكم يبكي لنفسه كان بالبصرة عابد حضرته الوفاة .. فجلس أهله يبكون حوله فقال لهم أجلسوني, فأجلسوه فأقبل عليهم وقال لأبيه: يا أبت ما الذي أبكاك؟ قال: يا بني ذكرت فقدك وانفرادي بعدك. فالتفت إلى أمه, وقال: يا أماه ما الذي أبكاك؟ قالت: لتجرعي مرارة ثكلك, فالتفت إلى الزوجة, وقال: ما الذي أبكاك؟ قالت: لفقد برك وحاجتي لغيرك, فالتفت إلى أولاده, وقال: ما الذي أبكاكم؟ قالوا: لذل اليتم والهوان من بعدك, فعند ذلك نظر إليهم وبكى. فقالوا له: ما يبكيك أنت؟ قال أبكي لأني رأيت كلا منكم يبكى لنفسه لا لي. أما فيكم من بكى لطول سفري؟ أما فيكم من بكى لقلة زادي؟ أما فيكم من بكى لمضجعي في التراب؟ أما فيكم من بكى لما ألقاه من سوء الحساب؟ أما فيكم من بكى لموقفي بين يدي رب الأرباب؟ ثم سقط على وجهه فحركوه, فإذا هو ميت. Setiap kalian menangisi dirinya sendiri Dulu di kota Basrah ada seorang ahli ibadah yang menghadapi ajalnya. Keluarganya duduk di sekitarnya sambil menangis. Lalu orang itu berkata kepada mereka, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Lalu ia menghadap mereka dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ayahnya menjawab, “Duhai anakku! Aku memikirkan kehilangan dirimu dan kesendirianku setelah kematianmu.” Lalu ia mengarahkan pandangannya kepada ibunya dan bertanya, “Wahai ibuku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ibunya menjawab, “Karena aku merasakan pahitnya kehilanganmu!” Lalu ia menoleh kepada istrinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Karena aku kehilangan kesempatan berbakti kepadamu dan karena aku menjadi butuh terhadap orang selain dirimu.” Lalu ia menghadap kepada anak-anaknya dan bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis?” Mereka menjawab, “Karena kami teringat rendah dan lemahnya menjadi yatim setelah kepergianmu.”  Ketika itulah ia melihat mereka dan menangis. Mereka pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena aku melihat setiap kalian menangisi dirinya sendiri, bukan karena diriku. Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu panjang perjalananku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu sedikitnya bekalku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena tempat pembaringanku di atas tanah? Tidakkah dari kalian yang menangis karena beratnya hisab yang akan aku temui? Tidakkah dari kalian yang menangis karena posisiku di hadapan Tuhan semesta alam?” Lalu ia jatuh tertelungkup. Ketika mereka menggerak-gerakkan tubuhnya, ternyata ia telah wafat. ملوك الدنيا قال معاوية -رضي الله عنه- عند موته لمن حوله: أجلسوني .. فأجلسوه .. فجلس يذكر الله, ثم بكى، وقال: الآن يا معاوية، جئت تذكر ربك بعد الانحطام والانهدام, أما كان هذا وغض الشباب نضير ريان؟! ثم بكى وقال: يا رب, يا رب, ارحم الشيخ العاصي ذا القلب القاسي .. اللهم أقل العثرة، واغفر الزلة، وجد بحلمك على من لم يرج غيرك، ولا وثق بأحد سواك .. ثم فاضت روحه رضي الله عنه. Para raja dunia Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu menghadapi ajalnya, ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Kemudian ia berzikir kepada Allah, lalu menangis. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Baru sekarang, hai Muawiyah! Kamu baru menyebut Tuhanmu setelah datang masa tumbang. Mengapa ini tidak kamu lakukan saat masih muda dan masih segar bugar?!” Kemudian Muawiyah kembali menangis, dan berseru, “Duhai Tuhanku! Duhai Tuhanku! Kasihilah orang tua pelaku maksiat dan punya hati keras ini! Ya Allah, maafkanlah atas kekeliruan, ampunilah segala kesalahan! Limpahkanlah kelembutan-Mu kepada hamba yang tidak mengharap kepada selain-Mu dan tidak percaya kepada siapa pun kecuali Engkau ini!” Kemudian beliau pun meninggal dunia, radhiyallahu ‘anhu. ويروى أن الخليفة عبد الملك بن مروان لما أحس بالموت قال: ارفعوني على شرف, ففعل ذلك, فتنسم الروح, ثم قال: يا دنيا ما أطيبك! إن طويلك لقصير، وإن كثيرك لحقير، وإن كنا منك لفي غرور! Diriwayatkan juga bahwa ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan merasa bahwa ajalnya akan segera tiba, ia berkata, “Bawalah aku naik ke balkon!” Ia pun dibawa ke sana, lalu menghirup udara segar dan berkata, “Duhai dunia, betapa indahnya dirimu! Sungguh panjangmu itu pendek dan banyakmu itu sedikit, dan sungguh kami dulu telah terbuai olehmu!” ولما أحتضر أمير المؤمنين هشام بن عبد الملك, نظر إلى أهله يبكون حوله فقال: جاء هشام إليكم بالدنيا وجئتم له بالبكاء, ترك لكم ما جمع وتركتم له ما حمل, ما أعظم مصيبة هشام إن لم يرحمه الله. ولما مرض هارون الرشيد ويئس الأطباء من شفائه، وأحس بدنو أجله، قال: أحضروا لي أكفانا فأحضروا له، فاختار منها واحدا .. ثم قال: احفروا لي قبرا .. فحفروا له .. فنظر إلى القبر وقال: ما أغنى عني مالية … هلك عني سلطانيه! Ketika Amirul Mu’minin, Hisyam bin Abdul Malik menghadapi ajalnya, ia menatap keluarganya yang menangis di sekitarnya. Ia pun berkata kepada mereka, “Hisyam datang kepada kalian dengan dunia, sedangkan kalian datang kepadanya dengan tangisan. Ia juga meninggalkan bagi kalian (harta) yang ia kumpulkan, sedangkan kalian meninggalkan baginya apa yang ia bawa (ke kuburan). Sungguh betapa besar musibah Hisyam andai Allah tidak merahmatinya!” Ketika Harun ar-Rasyid sakit, dan para dokter sudah menyerah untuk mengobatinya, serta ia merasa ajalnya telah dekat, ia berkata, “Hadirkanlah kepadaku kain-kain kafan!” Mereka pun menghadirkannya, lalu ia memilih salah satunya. Kemudian ia berkata, “Galilah kuburan untukku!” Mereka pun menggalikannya. Lalu ia melihat kuburan itu dan berkata, “Tidak berguna lagi hartaku untukku, dan hancur sudah kekuasaanku!” وحينما حضر الخليفة المأمون الموت قال: أنزلوني من على السرير. فأنزلوه على الأرض، فوضع خده على التراب، وقال: يا من لا يزول ملكه .. ارحم من قد زال ملكه. وقال المعتصم عند موته :لو علمت أن عمري قصير هكذا ما فعلت … ! Ketika Khalifah Makmun menghadapi sakaratul maut, ia berkata, “Turunkanlah aku dari ranjang!” Mereka pun menurunkannya ke atas tanah. Lalu ia meletakkan pipinya di atas tanah dan berkata, “Wahai Zat Yang tidak akan lenyap kerajaan-Nya, kasihilah orang yang telah lenyap kerajaannya ini!” Mu’tashim berkata ketika ajal menjemputnya, “Seandainya aku mengetahui bahwa umurku pendek, niscaya tidak akan seperti ini perbuatanku!” إنه الموت قال مطرف: إن هذا الموت أفسد على أهل النعيم نعيمهم، فاطلبوا نعيما لا موت فيه. وقال الحسن: فضح الموت الدنيا فلم يترك فيها لذي لب فرحا. وقال سفيان: لو أن البهائم تعقل من الموت ما تعقلون ما أكلتم منها سمينا. وقال الأوزاعي: جئت إلى بيروت أرابط فيها، فلقيت سوداء عند المقابر، فقلت لها: يا سوداء، أين العمارة؟ قالت: أنت في العمارة، وإن أردت الخراب فبين يديك. Itulah kematian Mutharrif berkata, “Sesungguhnya kematian ini akan merusak kenikmatan orang-orang yang mendapat kenikmatan. Oleh sebab itu, carilah kenikmatan yang tidak pernah ada matinya.” Al-Hasan berkata, “Maut telah menyingkap aib dunia, sehingga ia tidak menyisakan kebahagiaan di dalamnya bagi orang yang berakal.” Sufyan berkata, “Seandainya hewan ternak memahami kematian seperti pemahaman kalian, niscaya kalian tidak akan bisa makan hewan ternak yang gemuk.” Al-Auza’i berkata, “Aku pernah datang ke Beirut untuk menjaga perbatasan di sana. Lalu aku berjumpa dengan wanita hitam di kuburan, aku pun bertanya kepadanya, “Hai wanita hitam, di manakah kemakmuran?” Ia menjawab, “Kamu sekarang ada dalam kemakmuran; tapi jika kamu ingin mengetahui di mana kehancuran, maka ia ada di hadapanmu (kuburan).” همة ترقيك يقول على الطنطاوي: وجدت على نضد إبريقا من البلور الصافي طويل العنق واسع البطن، فيه نحلة قد دخلت ولم تستطع الخروج، فهي تتحفز وتتجمع وتثب متقدمة بقوة وبأس، فيضرب الزجاج رأسها ويردها، فتعاود الكرة وهي لا تبصر الجدار وإنما تبصر ما وراءه، فتحسب أنه ليس بينها وبين الفضاء حجاب. فجعلت أنظر إليها وهي تعمل دائبة، كلما ضربت مرة عادت تحاول أخرى لا تقف ولا تستريح، حتى عددت عليها أكثر من أربعين مرة، تجد الصدمة كل مرة فلا تعتبر ولا تدرك الحقيقة، ولا ترفع رأسها لتبصر الطريق وتعلم أن سبيل الفضاء وباب الحرية هو من «فوق» لا عن يمين ولا عن شمال. Tekad yang meninggikanmu Ali ath-Thanthawi berkata, “Aku pernah melihat cerek dari kaca bening dengan leher panjang dan perut luas di atas ranjang. Di dalamnya terdapat lebah yang masuk tapi tidak bisa keluar, ia bersiap-siap meloncat lau meloncat dengan sekuat tenaga, sehingga kepalanya membentur kaca dan mementalkannya. Ia pun mengulangi usahanya, padahal ia tidak dapat melihat dinding yang membatasinya, dan hanya melihat apa yang ada di baliknya. Ia mengira tidak ada pembatas antara dirinya dengan udara bebas. Aku melihatnya terus menerus mengulangi usahanya; setiap kali ia membentur, ia mencobanya lagi tanpa henti dan istirahat; hingga aku menghitung usahanya itu lebih dari 40 kali. Ia terbentur setiap kali, tanpa mengambil pelajaran darinya, tidak mencoba memahami hakikat, dan tidak menengokkan kepala ke atas agar dapat melihat jalan keluar, sehingga ia dapat mengetahui bahwa jalan menuju udara bebas dan kebebasan ada di ‘atas’, bukan di kanan dan kiri.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/194383/الإنسان-بين-الحياة-والموتPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 850 times, 2 visit(s) today Post Views: 427 QRIS donasi Yufid

Manusia antara Kehidupan dan Kematian

الإنسان بين الحياة والموت Oleh: Dr. Khalid Sa’ad an-Najjar د. خالد سعد النجار نعمة الاستخلاف في الأرض والعيش في أرجائها والمشي في مناكبها فتنة وابتلاء، وليس أعظم من فتنة النعماء وامتحان السراء، لأن الرخاء ينسي، والمتاع يُلهي، والثراء يطغي، في دنيا مستطابة في ذوقها، معجبة في منظرها، مؤنقة في مظهرها، الفتنة بها حاصلة، وعدم السلامة منها غالبة، قال صلى الله عليه وسلم: «إن الدنيا حلوة خضرة، وإن الله مستخلفكم فيها، فينظر كيف تعملون، فاتقوا الدنيا، واتقوا النساء، فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء» [رواه مسلم]. قال تعالى: {الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ}[الملك:2] أي ليبلوكم أيكم له أطوع، وإلى مرضاته أسرع، وعن محارمه أورع. Nikmat pengelolaan bumi, hidup di setiap sudut belahannya, dan berjalan di atas permukaannya merupakan ujian dan cobaan. Bahkan, tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian berupa kenikmatan dan karunia kelapangan hidup; karena kehidupan yang makmur itu membuat lalai, kenikmatan itu dapat membuai, dan kekayaan itu mengundang keangkuhan; di dunia yang begitu nikmat rasanya, menakjubkan pemandangannya, dan elegan penampilannya; fitnah darinya begitu nyata dan keselamatan darinya begitu langka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (amat menarik). Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepada kalian. Kemudian Allah melihat apa yang kamu kerjakan (di dunia); maka dari itu takutlah terhadap dunia dan takutlah terhadap wanita, karena sesungguhnya sumber bencana pertama Bani Israil adalah wanita.” (HR. Muslim). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2). Yakni menguji kalian siapa di antara kalian yang paling taat kepada-Nya, paling bergegas dalam mencari keridhaan-Nya, dan paling menjauh dari larangan-larangan-Nya. يقول على الطنطاوي رحمه الله: ثلاثون سنة ما خرجت منها إلا بشيء واحد، هو أني رأيت الحياة كمائدة القمار، فمن الناس من يخسر ماله ويخرج ينفض كفه، ومنهم من يخرج مثقلا بأموال غيره التي ربحها، ومنهم من يقوم على الطريق يمسح الأحذية، ومن يمد إليه حذاءه ليمسحه له، ومن ينام على السرير، ومن يسهر في الشارع يحرس النائم، ومن يأخذ التسعة من غير عمل، ومن يكد ويدأب فلا يبلغ الواحد، وعالم يخضع لجاهل، وجاهل يترأس العلماء، ورأيت المال والعلم والخلق والشهادات قسما وهبات، فرب غني لا علم عنده، وعالم لا مال لديه، وصاحب شهادات ليس بصاحب علم، وذي علم ليس بذي شهادات، ورب مالك أخلاق لا يملك معها شيئا، ومالك لكل شيء ولكن لا أخلاق له، ورأيت في مدرسي المدارس من هو أعلم من رئيس الجامعة، وبين موظفي الوزارة من هو أفضل من الوزير .. ولكنه الحظ، أو هي حكمة الله لا يعلم سرها إلا هو، ابتلانا بخفائها لينظر: أنرضى أم نسخط. Ali Ath-Thanthawi rahimahullah berkata: “Selama 30 tahun, aku tidak melihat dari dunia kecuali satu hal; bahwa aku melihat kehidupan seperti meja perjudian; ada sebagian orang yang kehilangan hartanya dan keluar darinya dengan tangan kosong, dan ada sebagian orang lainnya yang keluar darinya dengan meraup harta orang lain yang ia menangkan. Ada orang yang berdiri di tepi jalan untuk menyemir sepatu dan ada orang lain yang menyodorkan sepatu kepadanya agar ia menyemirnya. Ada orang yang tidur di atas dipan mewah, ada orang yang begadang di jalan untuk menjaga orang yang sedang tidur itu. Ada orang yang dapat memperoleh sembilan bagian tanpa harus bekerja, dan ada orang lain yang bekerja keras banting tulang tapi mendapat satu bagian pun tidak. Ada orang berilmu yang tunduk patuh kepada orang bodoh, dan ada orang bodoh yang membawahi para ilmuwan.  Aku mendapati bahwa harta, ilmu, perilaku, dan ijazah-ijazah adalah rezeki dan karunia (yang Allah berikan sesuai kehendak-Nya). Terkadang ada orang kaya raya tapi tidak berilmu, dan ada orang berilmu tapi tidak punya harta. Ada orang yang punya banyak ijazah tapi tidak punya ilmu, dan ada orang yang berilmu tapi tidak punya ijazah. Terkadang ada orang yang berbudi pekerti luhur tapi tidak punya apa pun, dan ada orang yang punya segalanya tapi tidak punya budi pekerti. Aku mencermati para guru di sekolah-sekolah ada yang lebih luas ilmunya daripada rektor universitas; dan ada pegawai kementerian yang lebih mumpuni daripada menteri itu sendiri. Namun, itulah nasib; atau itulah hikmah kebijaksanaan Allah yang tidak ada yang mengetahui rahasianya kecuali Dia. Dia menguji kita dengan menyembunyikan rahasia itu, untuk melihat apakah kita menerimanya dengan lapang dada atau mencela.” من الذي أمننا في الدور؟ من الذي أرخى علينا الستور؟ من الذي صرف عنا البلايا والشرور، والفتنة حولنا تدور؟ أليس هو الرحيم الغفور؟ فما لنا قد كثرت منا العثار، وقل منا الاعتبار والادكار؟ ما لنا لبسنا ثوب العصيان والغفلة والنسيان؟ غرنا بالله الغرور، برجاء رحمته عن خوف نقمته، وبرجاء عفوه عن رهبة سطوته. عن ابن السماك يحدث قال: بينما صياد في الدهر الأول يصطاد السمك، إذ رمى بشبكة في البحر فخرج فيها جمجمة إنسان، فجعل الصياد ينظر إليها ويبكي، ويقول: عزيز فلم تترك لعزك، غني فلم تترك لغناك، فقير فلم تترك لفقرك، جواد فلم تترك لجودك، شديد فلم تترك لشدتك، عالم فلم تترك لعلمك .. يردد هذا الكلام ويبكي. Siapakah yang memberi kita rasa aman di dalam rumah? Siapakah yang menjulurkan tabir yang menutup aib keburukan kita? Siapakah yang menghindarkan musibah, keburukan, dan bencana yang bertebaran di sekeliling kita? Bukankah Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun? Lalu mengapa kita begitu banyak berbuat dosa dan kesalahan, dan sedikit sekali kita mengambil ibrah dan pelajaran? Lalu mengapa kita masih mengenakan baju kemaksiatan, kelalaian, dan kealpaan? Sungguh kita telah terperdaya dengan harapan kepada rahmat-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan terhadap azab-Nya; dan dengan asa terhadap ampunan-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan akan kuasa-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu as-Sammak bahwa ia menceritakan, “Suatu ketika pada zaman dahulu ada seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Ketika ia melempar jalanya di laut, ternyata jalanya menangkap tengkorak manusia. Lalu nelayan itu melihatnya lamat-lamat kemudian menangis dan berkata, ‘Jika kamu orang mulia, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemuliaanmu. Jika kamu orang kaya, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekayaanmu. Jika kamu orang miskin, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemiskinanmu. Jika kamu orang dermawan, kamu tidak dibiarkan hidup karena kedermawananmu. Jika kamu orang kuat, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekuatanmu. Jika kamu orang berilmu, kamu juga tidak dibiarkan hidup karena ilmumu!’ Ia terus mengulang-ulang perkataan ini sambil menangis.  ولدتك إذ ولدتك أمك باكيا … والقوم حولك يضحكون سرورا فاعمل ليوم تكون فيه إذا بكوا … في يوم موتك ضاحكا مسرورا Ia lalu melantunkan syair: Kamu terlahir dalam keadaan menangis ketika ibumu baru melahirkanmu Sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia Maka beramallah untuk satu hari – ketika mereka menangis karena kematianmu –  Sedangkan kamu ketika itu dapat tertawa bahagia كلكم يبكي لنفسه كان بالبصرة عابد حضرته الوفاة .. فجلس أهله يبكون حوله فقال لهم أجلسوني, فأجلسوه فأقبل عليهم وقال لأبيه: يا أبت ما الذي أبكاك؟ قال: يا بني ذكرت فقدك وانفرادي بعدك. فالتفت إلى أمه, وقال: يا أماه ما الذي أبكاك؟ قالت: لتجرعي مرارة ثكلك, فالتفت إلى الزوجة, وقال: ما الذي أبكاك؟ قالت: لفقد برك وحاجتي لغيرك, فالتفت إلى أولاده, وقال: ما الذي أبكاكم؟ قالوا: لذل اليتم والهوان من بعدك, فعند ذلك نظر إليهم وبكى. فقالوا له: ما يبكيك أنت؟ قال أبكي لأني رأيت كلا منكم يبكى لنفسه لا لي. أما فيكم من بكى لطول سفري؟ أما فيكم من بكى لقلة زادي؟ أما فيكم من بكى لمضجعي في التراب؟ أما فيكم من بكى لما ألقاه من سوء الحساب؟ أما فيكم من بكى لموقفي بين يدي رب الأرباب؟ ثم سقط على وجهه فحركوه, فإذا هو ميت. Setiap kalian menangisi dirinya sendiri Dulu di kota Basrah ada seorang ahli ibadah yang menghadapi ajalnya. Keluarganya duduk di sekitarnya sambil menangis. Lalu orang itu berkata kepada mereka, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Lalu ia menghadap mereka dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ayahnya menjawab, “Duhai anakku! Aku memikirkan kehilangan dirimu dan kesendirianku setelah kematianmu.” Lalu ia mengarahkan pandangannya kepada ibunya dan bertanya, “Wahai ibuku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ibunya menjawab, “Karena aku merasakan pahitnya kehilanganmu!” Lalu ia menoleh kepada istrinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Karena aku kehilangan kesempatan berbakti kepadamu dan karena aku menjadi butuh terhadap orang selain dirimu.” Lalu ia menghadap kepada anak-anaknya dan bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis?” Mereka menjawab, “Karena kami teringat rendah dan lemahnya menjadi yatim setelah kepergianmu.”  Ketika itulah ia melihat mereka dan menangis. Mereka pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena aku melihat setiap kalian menangisi dirinya sendiri, bukan karena diriku. Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu panjang perjalananku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu sedikitnya bekalku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena tempat pembaringanku di atas tanah? Tidakkah dari kalian yang menangis karena beratnya hisab yang akan aku temui? Tidakkah dari kalian yang menangis karena posisiku di hadapan Tuhan semesta alam?” Lalu ia jatuh tertelungkup. Ketika mereka menggerak-gerakkan tubuhnya, ternyata ia telah wafat. ملوك الدنيا قال معاوية -رضي الله عنه- عند موته لمن حوله: أجلسوني .. فأجلسوه .. فجلس يذكر الله, ثم بكى، وقال: الآن يا معاوية، جئت تذكر ربك بعد الانحطام والانهدام, أما كان هذا وغض الشباب نضير ريان؟! ثم بكى وقال: يا رب, يا رب, ارحم الشيخ العاصي ذا القلب القاسي .. اللهم أقل العثرة، واغفر الزلة، وجد بحلمك على من لم يرج غيرك، ولا وثق بأحد سواك .. ثم فاضت روحه رضي الله عنه. Para raja dunia Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu menghadapi ajalnya, ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Kemudian ia berzikir kepada Allah, lalu menangis. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Baru sekarang, hai Muawiyah! Kamu baru menyebut Tuhanmu setelah datang masa tumbang. Mengapa ini tidak kamu lakukan saat masih muda dan masih segar bugar?!” Kemudian Muawiyah kembali menangis, dan berseru, “Duhai Tuhanku! Duhai Tuhanku! Kasihilah orang tua pelaku maksiat dan punya hati keras ini! Ya Allah, maafkanlah atas kekeliruan, ampunilah segala kesalahan! Limpahkanlah kelembutan-Mu kepada hamba yang tidak mengharap kepada selain-Mu dan tidak percaya kepada siapa pun kecuali Engkau ini!” Kemudian beliau pun meninggal dunia, radhiyallahu ‘anhu. ويروى أن الخليفة عبد الملك بن مروان لما أحس بالموت قال: ارفعوني على شرف, ففعل ذلك, فتنسم الروح, ثم قال: يا دنيا ما أطيبك! إن طويلك لقصير، وإن كثيرك لحقير، وإن كنا منك لفي غرور! Diriwayatkan juga bahwa ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan merasa bahwa ajalnya akan segera tiba, ia berkata, “Bawalah aku naik ke balkon!” Ia pun dibawa ke sana, lalu menghirup udara segar dan berkata, “Duhai dunia, betapa indahnya dirimu! Sungguh panjangmu itu pendek dan banyakmu itu sedikit, dan sungguh kami dulu telah terbuai olehmu!” ولما أحتضر أمير المؤمنين هشام بن عبد الملك, نظر إلى أهله يبكون حوله فقال: جاء هشام إليكم بالدنيا وجئتم له بالبكاء, ترك لكم ما جمع وتركتم له ما حمل, ما أعظم مصيبة هشام إن لم يرحمه الله. ولما مرض هارون الرشيد ويئس الأطباء من شفائه، وأحس بدنو أجله، قال: أحضروا لي أكفانا فأحضروا له، فاختار منها واحدا .. ثم قال: احفروا لي قبرا .. فحفروا له .. فنظر إلى القبر وقال: ما أغنى عني مالية … هلك عني سلطانيه! Ketika Amirul Mu’minin, Hisyam bin Abdul Malik menghadapi ajalnya, ia menatap keluarganya yang menangis di sekitarnya. Ia pun berkata kepada mereka, “Hisyam datang kepada kalian dengan dunia, sedangkan kalian datang kepadanya dengan tangisan. Ia juga meninggalkan bagi kalian (harta) yang ia kumpulkan, sedangkan kalian meninggalkan baginya apa yang ia bawa (ke kuburan). Sungguh betapa besar musibah Hisyam andai Allah tidak merahmatinya!” Ketika Harun ar-Rasyid sakit, dan para dokter sudah menyerah untuk mengobatinya, serta ia merasa ajalnya telah dekat, ia berkata, “Hadirkanlah kepadaku kain-kain kafan!” Mereka pun menghadirkannya, lalu ia memilih salah satunya. Kemudian ia berkata, “Galilah kuburan untukku!” Mereka pun menggalikannya. Lalu ia melihat kuburan itu dan berkata, “Tidak berguna lagi hartaku untukku, dan hancur sudah kekuasaanku!” وحينما حضر الخليفة المأمون الموت قال: أنزلوني من على السرير. فأنزلوه على الأرض، فوضع خده على التراب، وقال: يا من لا يزول ملكه .. ارحم من قد زال ملكه. وقال المعتصم عند موته :لو علمت أن عمري قصير هكذا ما فعلت … ! Ketika Khalifah Makmun menghadapi sakaratul maut, ia berkata, “Turunkanlah aku dari ranjang!” Mereka pun menurunkannya ke atas tanah. Lalu ia meletakkan pipinya di atas tanah dan berkata, “Wahai Zat Yang tidak akan lenyap kerajaan-Nya, kasihilah orang yang telah lenyap kerajaannya ini!” Mu’tashim berkata ketika ajal menjemputnya, “Seandainya aku mengetahui bahwa umurku pendek, niscaya tidak akan seperti ini perbuatanku!” إنه الموت قال مطرف: إن هذا الموت أفسد على أهل النعيم نعيمهم، فاطلبوا نعيما لا موت فيه. وقال الحسن: فضح الموت الدنيا فلم يترك فيها لذي لب فرحا. وقال سفيان: لو أن البهائم تعقل من الموت ما تعقلون ما أكلتم منها سمينا. وقال الأوزاعي: جئت إلى بيروت أرابط فيها، فلقيت سوداء عند المقابر، فقلت لها: يا سوداء، أين العمارة؟ قالت: أنت في العمارة، وإن أردت الخراب فبين يديك. Itulah kematian Mutharrif berkata, “Sesungguhnya kematian ini akan merusak kenikmatan orang-orang yang mendapat kenikmatan. Oleh sebab itu, carilah kenikmatan yang tidak pernah ada matinya.” Al-Hasan berkata, “Maut telah menyingkap aib dunia, sehingga ia tidak menyisakan kebahagiaan di dalamnya bagi orang yang berakal.” Sufyan berkata, “Seandainya hewan ternak memahami kematian seperti pemahaman kalian, niscaya kalian tidak akan bisa makan hewan ternak yang gemuk.” Al-Auza’i berkata, “Aku pernah datang ke Beirut untuk menjaga perbatasan di sana. Lalu aku berjumpa dengan wanita hitam di kuburan, aku pun bertanya kepadanya, “Hai wanita hitam, di manakah kemakmuran?” Ia menjawab, “Kamu sekarang ada dalam kemakmuran; tapi jika kamu ingin mengetahui di mana kehancuran, maka ia ada di hadapanmu (kuburan).” همة ترقيك يقول على الطنطاوي: وجدت على نضد إبريقا من البلور الصافي طويل العنق واسع البطن، فيه نحلة قد دخلت ولم تستطع الخروج، فهي تتحفز وتتجمع وتثب متقدمة بقوة وبأس، فيضرب الزجاج رأسها ويردها، فتعاود الكرة وهي لا تبصر الجدار وإنما تبصر ما وراءه، فتحسب أنه ليس بينها وبين الفضاء حجاب. فجعلت أنظر إليها وهي تعمل دائبة، كلما ضربت مرة عادت تحاول أخرى لا تقف ولا تستريح، حتى عددت عليها أكثر من أربعين مرة، تجد الصدمة كل مرة فلا تعتبر ولا تدرك الحقيقة، ولا ترفع رأسها لتبصر الطريق وتعلم أن سبيل الفضاء وباب الحرية هو من «فوق» لا عن يمين ولا عن شمال. Tekad yang meninggikanmu Ali ath-Thanthawi berkata, “Aku pernah melihat cerek dari kaca bening dengan leher panjang dan perut luas di atas ranjang. Di dalamnya terdapat lebah yang masuk tapi tidak bisa keluar, ia bersiap-siap meloncat lau meloncat dengan sekuat tenaga, sehingga kepalanya membentur kaca dan mementalkannya. Ia pun mengulangi usahanya, padahal ia tidak dapat melihat dinding yang membatasinya, dan hanya melihat apa yang ada di baliknya. Ia mengira tidak ada pembatas antara dirinya dengan udara bebas. Aku melihatnya terus menerus mengulangi usahanya; setiap kali ia membentur, ia mencobanya lagi tanpa henti dan istirahat; hingga aku menghitung usahanya itu lebih dari 40 kali. Ia terbentur setiap kali, tanpa mengambil pelajaran darinya, tidak mencoba memahami hakikat, dan tidak menengokkan kepala ke atas agar dapat melihat jalan keluar, sehingga ia dapat mengetahui bahwa jalan menuju udara bebas dan kebebasan ada di ‘atas’, bukan di kanan dan kiri.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/194383/الإنسان-بين-الحياة-والموتPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 850 times, 2 visit(s) today Post Views: 427 QRIS donasi Yufid
الإنسان بين الحياة والموت Oleh: Dr. Khalid Sa’ad an-Najjar د. خالد سعد النجار نعمة الاستخلاف في الأرض والعيش في أرجائها والمشي في مناكبها فتنة وابتلاء، وليس أعظم من فتنة النعماء وامتحان السراء، لأن الرخاء ينسي، والمتاع يُلهي، والثراء يطغي، في دنيا مستطابة في ذوقها، معجبة في منظرها، مؤنقة في مظهرها، الفتنة بها حاصلة، وعدم السلامة منها غالبة، قال صلى الله عليه وسلم: «إن الدنيا حلوة خضرة، وإن الله مستخلفكم فيها، فينظر كيف تعملون، فاتقوا الدنيا، واتقوا النساء، فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء» [رواه مسلم]. قال تعالى: {الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ}[الملك:2] أي ليبلوكم أيكم له أطوع، وإلى مرضاته أسرع، وعن محارمه أورع. Nikmat pengelolaan bumi, hidup di setiap sudut belahannya, dan berjalan di atas permukaannya merupakan ujian dan cobaan. Bahkan, tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian berupa kenikmatan dan karunia kelapangan hidup; karena kehidupan yang makmur itu membuat lalai, kenikmatan itu dapat membuai, dan kekayaan itu mengundang keangkuhan; di dunia yang begitu nikmat rasanya, menakjubkan pemandangannya, dan elegan penampilannya; fitnah darinya begitu nyata dan keselamatan darinya begitu langka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (amat menarik). Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepada kalian. Kemudian Allah melihat apa yang kamu kerjakan (di dunia); maka dari itu takutlah terhadap dunia dan takutlah terhadap wanita, karena sesungguhnya sumber bencana pertama Bani Israil adalah wanita.” (HR. Muslim). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2). Yakni menguji kalian siapa di antara kalian yang paling taat kepada-Nya, paling bergegas dalam mencari keridhaan-Nya, dan paling menjauh dari larangan-larangan-Nya. يقول على الطنطاوي رحمه الله: ثلاثون سنة ما خرجت منها إلا بشيء واحد، هو أني رأيت الحياة كمائدة القمار، فمن الناس من يخسر ماله ويخرج ينفض كفه، ومنهم من يخرج مثقلا بأموال غيره التي ربحها، ومنهم من يقوم على الطريق يمسح الأحذية، ومن يمد إليه حذاءه ليمسحه له، ومن ينام على السرير، ومن يسهر في الشارع يحرس النائم، ومن يأخذ التسعة من غير عمل، ومن يكد ويدأب فلا يبلغ الواحد، وعالم يخضع لجاهل، وجاهل يترأس العلماء، ورأيت المال والعلم والخلق والشهادات قسما وهبات، فرب غني لا علم عنده، وعالم لا مال لديه، وصاحب شهادات ليس بصاحب علم، وذي علم ليس بذي شهادات، ورب مالك أخلاق لا يملك معها شيئا، ومالك لكل شيء ولكن لا أخلاق له، ورأيت في مدرسي المدارس من هو أعلم من رئيس الجامعة، وبين موظفي الوزارة من هو أفضل من الوزير .. ولكنه الحظ، أو هي حكمة الله لا يعلم سرها إلا هو، ابتلانا بخفائها لينظر: أنرضى أم نسخط. Ali Ath-Thanthawi rahimahullah berkata: “Selama 30 tahun, aku tidak melihat dari dunia kecuali satu hal; bahwa aku melihat kehidupan seperti meja perjudian; ada sebagian orang yang kehilangan hartanya dan keluar darinya dengan tangan kosong, dan ada sebagian orang lainnya yang keluar darinya dengan meraup harta orang lain yang ia menangkan. Ada orang yang berdiri di tepi jalan untuk menyemir sepatu dan ada orang lain yang menyodorkan sepatu kepadanya agar ia menyemirnya. Ada orang yang tidur di atas dipan mewah, ada orang yang begadang di jalan untuk menjaga orang yang sedang tidur itu. Ada orang yang dapat memperoleh sembilan bagian tanpa harus bekerja, dan ada orang lain yang bekerja keras banting tulang tapi mendapat satu bagian pun tidak. Ada orang berilmu yang tunduk patuh kepada orang bodoh, dan ada orang bodoh yang membawahi para ilmuwan.  Aku mendapati bahwa harta, ilmu, perilaku, dan ijazah-ijazah adalah rezeki dan karunia (yang Allah berikan sesuai kehendak-Nya). Terkadang ada orang kaya raya tapi tidak berilmu, dan ada orang berilmu tapi tidak punya harta. Ada orang yang punya banyak ijazah tapi tidak punya ilmu, dan ada orang yang berilmu tapi tidak punya ijazah. Terkadang ada orang yang berbudi pekerti luhur tapi tidak punya apa pun, dan ada orang yang punya segalanya tapi tidak punya budi pekerti. Aku mencermati para guru di sekolah-sekolah ada yang lebih luas ilmunya daripada rektor universitas; dan ada pegawai kementerian yang lebih mumpuni daripada menteri itu sendiri. Namun, itulah nasib; atau itulah hikmah kebijaksanaan Allah yang tidak ada yang mengetahui rahasianya kecuali Dia. Dia menguji kita dengan menyembunyikan rahasia itu, untuk melihat apakah kita menerimanya dengan lapang dada atau mencela.” من الذي أمننا في الدور؟ من الذي أرخى علينا الستور؟ من الذي صرف عنا البلايا والشرور، والفتنة حولنا تدور؟ أليس هو الرحيم الغفور؟ فما لنا قد كثرت منا العثار، وقل منا الاعتبار والادكار؟ ما لنا لبسنا ثوب العصيان والغفلة والنسيان؟ غرنا بالله الغرور، برجاء رحمته عن خوف نقمته، وبرجاء عفوه عن رهبة سطوته. عن ابن السماك يحدث قال: بينما صياد في الدهر الأول يصطاد السمك، إذ رمى بشبكة في البحر فخرج فيها جمجمة إنسان، فجعل الصياد ينظر إليها ويبكي، ويقول: عزيز فلم تترك لعزك، غني فلم تترك لغناك، فقير فلم تترك لفقرك، جواد فلم تترك لجودك، شديد فلم تترك لشدتك، عالم فلم تترك لعلمك .. يردد هذا الكلام ويبكي. Siapakah yang memberi kita rasa aman di dalam rumah? Siapakah yang menjulurkan tabir yang menutup aib keburukan kita? Siapakah yang menghindarkan musibah, keburukan, dan bencana yang bertebaran di sekeliling kita? Bukankah Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun? Lalu mengapa kita begitu banyak berbuat dosa dan kesalahan, dan sedikit sekali kita mengambil ibrah dan pelajaran? Lalu mengapa kita masih mengenakan baju kemaksiatan, kelalaian, dan kealpaan? Sungguh kita telah terperdaya dengan harapan kepada rahmat-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan terhadap azab-Nya; dan dengan asa terhadap ampunan-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan akan kuasa-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu as-Sammak bahwa ia menceritakan, “Suatu ketika pada zaman dahulu ada seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Ketika ia melempar jalanya di laut, ternyata jalanya menangkap tengkorak manusia. Lalu nelayan itu melihatnya lamat-lamat kemudian menangis dan berkata, ‘Jika kamu orang mulia, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemuliaanmu. Jika kamu orang kaya, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekayaanmu. Jika kamu orang miskin, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemiskinanmu. Jika kamu orang dermawan, kamu tidak dibiarkan hidup karena kedermawananmu. Jika kamu orang kuat, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekuatanmu. Jika kamu orang berilmu, kamu juga tidak dibiarkan hidup karena ilmumu!’ Ia terus mengulang-ulang perkataan ini sambil menangis.  ولدتك إذ ولدتك أمك باكيا … والقوم حولك يضحكون سرورا فاعمل ليوم تكون فيه إذا بكوا … في يوم موتك ضاحكا مسرورا Ia lalu melantunkan syair: Kamu terlahir dalam keadaan menangis ketika ibumu baru melahirkanmu Sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia Maka beramallah untuk satu hari – ketika mereka menangis karena kematianmu –  Sedangkan kamu ketika itu dapat tertawa bahagia كلكم يبكي لنفسه كان بالبصرة عابد حضرته الوفاة .. فجلس أهله يبكون حوله فقال لهم أجلسوني, فأجلسوه فأقبل عليهم وقال لأبيه: يا أبت ما الذي أبكاك؟ قال: يا بني ذكرت فقدك وانفرادي بعدك. فالتفت إلى أمه, وقال: يا أماه ما الذي أبكاك؟ قالت: لتجرعي مرارة ثكلك, فالتفت إلى الزوجة, وقال: ما الذي أبكاك؟ قالت: لفقد برك وحاجتي لغيرك, فالتفت إلى أولاده, وقال: ما الذي أبكاكم؟ قالوا: لذل اليتم والهوان من بعدك, فعند ذلك نظر إليهم وبكى. فقالوا له: ما يبكيك أنت؟ قال أبكي لأني رأيت كلا منكم يبكى لنفسه لا لي. أما فيكم من بكى لطول سفري؟ أما فيكم من بكى لقلة زادي؟ أما فيكم من بكى لمضجعي في التراب؟ أما فيكم من بكى لما ألقاه من سوء الحساب؟ أما فيكم من بكى لموقفي بين يدي رب الأرباب؟ ثم سقط على وجهه فحركوه, فإذا هو ميت. Setiap kalian menangisi dirinya sendiri Dulu di kota Basrah ada seorang ahli ibadah yang menghadapi ajalnya. Keluarganya duduk di sekitarnya sambil menangis. Lalu orang itu berkata kepada mereka, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Lalu ia menghadap mereka dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ayahnya menjawab, “Duhai anakku! Aku memikirkan kehilangan dirimu dan kesendirianku setelah kematianmu.” Lalu ia mengarahkan pandangannya kepada ibunya dan bertanya, “Wahai ibuku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ibunya menjawab, “Karena aku merasakan pahitnya kehilanganmu!” Lalu ia menoleh kepada istrinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Karena aku kehilangan kesempatan berbakti kepadamu dan karena aku menjadi butuh terhadap orang selain dirimu.” Lalu ia menghadap kepada anak-anaknya dan bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis?” Mereka menjawab, “Karena kami teringat rendah dan lemahnya menjadi yatim setelah kepergianmu.”  Ketika itulah ia melihat mereka dan menangis. Mereka pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena aku melihat setiap kalian menangisi dirinya sendiri, bukan karena diriku. Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu panjang perjalananku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu sedikitnya bekalku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena tempat pembaringanku di atas tanah? Tidakkah dari kalian yang menangis karena beratnya hisab yang akan aku temui? Tidakkah dari kalian yang menangis karena posisiku di hadapan Tuhan semesta alam?” Lalu ia jatuh tertelungkup. Ketika mereka menggerak-gerakkan tubuhnya, ternyata ia telah wafat. ملوك الدنيا قال معاوية -رضي الله عنه- عند موته لمن حوله: أجلسوني .. فأجلسوه .. فجلس يذكر الله, ثم بكى، وقال: الآن يا معاوية، جئت تذكر ربك بعد الانحطام والانهدام, أما كان هذا وغض الشباب نضير ريان؟! ثم بكى وقال: يا رب, يا رب, ارحم الشيخ العاصي ذا القلب القاسي .. اللهم أقل العثرة، واغفر الزلة، وجد بحلمك على من لم يرج غيرك، ولا وثق بأحد سواك .. ثم فاضت روحه رضي الله عنه. Para raja dunia Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu menghadapi ajalnya, ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Kemudian ia berzikir kepada Allah, lalu menangis. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Baru sekarang, hai Muawiyah! Kamu baru menyebut Tuhanmu setelah datang masa tumbang. Mengapa ini tidak kamu lakukan saat masih muda dan masih segar bugar?!” Kemudian Muawiyah kembali menangis, dan berseru, “Duhai Tuhanku! Duhai Tuhanku! Kasihilah orang tua pelaku maksiat dan punya hati keras ini! Ya Allah, maafkanlah atas kekeliruan, ampunilah segala kesalahan! Limpahkanlah kelembutan-Mu kepada hamba yang tidak mengharap kepada selain-Mu dan tidak percaya kepada siapa pun kecuali Engkau ini!” Kemudian beliau pun meninggal dunia, radhiyallahu ‘anhu. ويروى أن الخليفة عبد الملك بن مروان لما أحس بالموت قال: ارفعوني على شرف, ففعل ذلك, فتنسم الروح, ثم قال: يا دنيا ما أطيبك! إن طويلك لقصير، وإن كثيرك لحقير، وإن كنا منك لفي غرور! Diriwayatkan juga bahwa ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan merasa bahwa ajalnya akan segera tiba, ia berkata, “Bawalah aku naik ke balkon!” Ia pun dibawa ke sana, lalu menghirup udara segar dan berkata, “Duhai dunia, betapa indahnya dirimu! Sungguh panjangmu itu pendek dan banyakmu itu sedikit, dan sungguh kami dulu telah terbuai olehmu!” ولما أحتضر أمير المؤمنين هشام بن عبد الملك, نظر إلى أهله يبكون حوله فقال: جاء هشام إليكم بالدنيا وجئتم له بالبكاء, ترك لكم ما جمع وتركتم له ما حمل, ما أعظم مصيبة هشام إن لم يرحمه الله. ولما مرض هارون الرشيد ويئس الأطباء من شفائه، وأحس بدنو أجله، قال: أحضروا لي أكفانا فأحضروا له، فاختار منها واحدا .. ثم قال: احفروا لي قبرا .. فحفروا له .. فنظر إلى القبر وقال: ما أغنى عني مالية … هلك عني سلطانيه! Ketika Amirul Mu’minin, Hisyam bin Abdul Malik menghadapi ajalnya, ia menatap keluarganya yang menangis di sekitarnya. Ia pun berkata kepada mereka, “Hisyam datang kepada kalian dengan dunia, sedangkan kalian datang kepadanya dengan tangisan. Ia juga meninggalkan bagi kalian (harta) yang ia kumpulkan, sedangkan kalian meninggalkan baginya apa yang ia bawa (ke kuburan). Sungguh betapa besar musibah Hisyam andai Allah tidak merahmatinya!” Ketika Harun ar-Rasyid sakit, dan para dokter sudah menyerah untuk mengobatinya, serta ia merasa ajalnya telah dekat, ia berkata, “Hadirkanlah kepadaku kain-kain kafan!” Mereka pun menghadirkannya, lalu ia memilih salah satunya. Kemudian ia berkata, “Galilah kuburan untukku!” Mereka pun menggalikannya. Lalu ia melihat kuburan itu dan berkata, “Tidak berguna lagi hartaku untukku, dan hancur sudah kekuasaanku!” وحينما حضر الخليفة المأمون الموت قال: أنزلوني من على السرير. فأنزلوه على الأرض، فوضع خده على التراب، وقال: يا من لا يزول ملكه .. ارحم من قد زال ملكه. وقال المعتصم عند موته :لو علمت أن عمري قصير هكذا ما فعلت … ! Ketika Khalifah Makmun menghadapi sakaratul maut, ia berkata, “Turunkanlah aku dari ranjang!” Mereka pun menurunkannya ke atas tanah. Lalu ia meletakkan pipinya di atas tanah dan berkata, “Wahai Zat Yang tidak akan lenyap kerajaan-Nya, kasihilah orang yang telah lenyap kerajaannya ini!” Mu’tashim berkata ketika ajal menjemputnya, “Seandainya aku mengetahui bahwa umurku pendek, niscaya tidak akan seperti ini perbuatanku!” إنه الموت قال مطرف: إن هذا الموت أفسد على أهل النعيم نعيمهم، فاطلبوا نعيما لا موت فيه. وقال الحسن: فضح الموت الدنيا فلم يترك فيها لذي لب فرحا. وقال سفيان: لو أن البهائم تعقل من الموت ما تعقلون ما أكلتم منها سمينا. وقال الأوزاعي: جئت إلى بيروت أرابط فيها، فلقيت سوداء عند المقابر، فقلت لها: يا سوداء، أين العمارة؟ قالت: أنت في العمارة، وإن أردت الخراب فبين يديك. Itulah kematian Mutharrif berkata, “Sesungguhnya kematian ini akan merusak kenikmatan orang-orang yang mendapat kenikmatan. Oleh sebab itu, carilah kenikmatan yang tidak pernah ada matinya.” Al-Hasan berkata, “Maut telah menyingkap aib dunia, sehingga ia tidak menyisakan kebahagiaan di dalamnya bagi orang yang berakal.” Sufyan berkata, “Seandainya hewan ternak memahami kematian seperti pemahaman kalian, niscaya kalian tidak akan bisa makan hewan ternak yang gemuk.” Al-Auza’i berkata, “Aku pernah datang ke Beirut untuk menjaga perbatasan di sana. Lalu aku berjumpa dengan wanita hitam di kuburan, aku pun bertanya kepadanya, “Hai wanita hitam, di manakah kemakmuran?” Ia menjawab, “Kamu sekarang ada dalam kemakmuran; tapi jika kamu ingin mengetahui di mana kehancuran, maka ia ada di hadapanmu (kuburan).” همة ترقيك يقول على الطنطاوي: وجدت على نضد إبريقا من البلور الصافي طويل العنق واسع البطن، فيه نحلة قد دخلت ولم تستطع الخروج، فهي تتحفز وتتجمع وتثب متقدمة بقوة وبأس، فيضرب الزجاج رأسها ويردها، فتعاود الكرة وهي لا تبصر الجدار وإنما تبصر ما وراءه، فتحسب أنه ليس بينها وبين الفضاء حجاب. فجعلت أنظر إليها وهي تعمل دائبة، كلما ضربت مرة عادت تحاول أخرى لا تقف ولا تستريح، حتى عددت عليها أكثر من أربعين مرة، تجد الصدمة كل مرة فلا تعتبر ولا تدرك الحقيقة، ولا ترفع رأسها لتبصر الطريق وتعلم أن سبيل الفضاء وباب الحرية هو من «فوق» لا عن يمين ولا عن شمال. Tekad yang meninggikanmu Ali ath-Thanthawi berkata, “Aku pernah melihat cerek dari kaca bening dengan leher panjang dan perut luas di atas ranjang. Di dalamnya terdapat lebah yang masuk tapi tidak bisa keluar, ia bersiap-siap meloncat lau meloncat dengan sekuat tenaga, sehingga kepalanya membentur kaca dan mementalkannya. Ia pun mengulangi usahanya, padahal ia tidak dapat melihat dinding yang membatasinya, dan hanya melihat apa yang ada di baliknya. Ia mengira tidak ada pembatas antara dirinya dengan udara bebas. Aku melihatnya terus menerus mengulangi usahanya; setiap kali ia membentur, ia mencobanya lagi tanpa henti dan istirahat; hingga aku menghitung usahanya itu lebih dari 40 kali. Ia terbentur setiap kali, tanpa mengambil pelajaran darinya, tidak mencoba memahami hakikat, dan tidak menengokkan kepala ke atas agar dapat melihat jalan keluar, sehingga ia dapat mengetahui bahwa jalan menuju udara bebas dan kebebasan ada di ‘atas’, bukan di kanan dan kiri.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/194383/الإنسان-بين-الحياة-والموتPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 850 times, 2 visit(s) today Post Views: 427 QRIS donasi Yufid


الإنسان بين الحياة والموت Oleh: Dr. Khalid Sa’ad an-Najjar د. خالد سعد النجار نعمة الاستخلاف في الأرض والعيش في أرجائها والمشي في مناكبها فتنة وابتلاء، وليس أعظم من فتنة النعماء وامتحان السراء، لأن الرخاء ينسي، والمتاع يُلهي، والثراء يطغي، في دنيا مستطابة في ذوقها، معجبة في منظرها، مؤنقة في مظهرها، الفتنة بها حاصلة، وعدم السلامة منها غالبة، قال صلى الله عليه وسلم: «إن الدنيا حلوة خضرة، وإن الله مستخلفكم فيها، فينظر كيف تعملون، فاتقوا الدنيا، واتقوا النساء، فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء» [رواه مسلم]. قال تعالى: {الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ}[الملك:2] أي ليبلوكم أيكم له أطوع، وإلى مرضاته أسرع، وعن محارمه أورع. Nikmat pengelolaan bumi, hidup di setiap sudut belahannya, dan berjalan di atas permukaannya merupakan ujian dan cobaan. Bahkan, tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian berupa kenikmatan dan karunia kelapangan hidup; karena kehidupan yang makmur itu membuat lalai, kenikmatan itu dapat membuai, dan kekayaan itu mengundang keangkuhan; di dunia yang begitu nikmat rasanya, menakjubkan pemandangannya, dan elegan penampilannya; fitnah darinya begitu nyata dan keselamatan darinya begitu langka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (amat menarik). Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepada kalian. Kemudian Allah melihat apa yang kamu kerjakan (di dunia); maka dari itu takutlah terhadap dunia dan takutlah terhadap wanita, karena sesungguhnya sumber bencana pertama Bani Israil adalah wanita.” (HR. Muslim). Allah Ta’ala berfirman: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2). Yakni menguji kalian siapa di antara kalian yang paling taat kepada-Nya, paling bergegas dalam mencari keridhaan-Nya, dan paling menjauh dari larangan-larangan-Nya. يقول على الطنطاوي رحمه الله: ثلاثون سنة ما خرجت منها إلا بشيء واحد، هو أني رأيت الحياة كمائدة القمار، فمن الناس من يخسر ماله ويخرج ينفض كفه، ومنهم من يخرج مثقلا بأموال غيره التي ربحها، ومنهم من يقوم على الطريق يمسح الأحذية، ومن يمد إليه حذاءه ليمسحه له، ومن ينام على السرير، ومن يسهر في الشارع يحرس النائم، ومن يأخذ التسعة من غير عمل، ومن يكد ويدأب فلا يبلغ الواحد، وعالم يخضع لجاهل، وجاهل يترأس العلماء، ورأيت المال والعلم والخلق والشهادات قسما وهبات، فرب غني لا علم عنده، وعالم لا مال لديه، وصاحب شهادات ليس بصاحب علم، وذي علم ليس بذي شهادات، ورب مالك أخلاق لا يملك معها شيئا، ومالك لكل شيء ولكن لا أخلاق له، ورأيت في مدرسي المدارس من هو أعلم من رئيس الجامعة، وبين موظفي الوزارة من هو أفضل من الوزير .. ولكنه الحظ، أو هي حكمة الله لا يعلم سرها إلا هو، ابتلانا بخفائها لينظر: أنرضى أم نسخط. Ali Ath-Thanthawi rahimahullah berkata: “Selama 30 tahun, aku tidak melihat dari dunia kecuali satu hal; bahwa aku melihat kehidupan seperti meja perjudian; ada sebagian orang yang kehilangan hartanya dan keluar darinya dengan tangan kosong, dan ada sebagian orang lainnya yang keluar darinya dengan meraup harta orang lain yang ia menangkan. Ada orang yang berdiri di tepi jalan untuk menyemir sepatu dan ada orang lain yang menyodorkan sepatu kepadanya agar ia menyemirnya. Ada orang yang tidur di atas dipan mewah, ada orang yang begadang di jalan untuk menjaga orang yang sedang tidur itu. Ada orang yang dapat memperoleh sembilan bagian tanpa harus bekerja, dan ada orang lain yang bekerja keras banting tulang tapi mendapat satu bagian pun tidak. Ada orang berilmu yang tunduk patuh kepada orang bodoh, dan ada orang bodoh yang membawahi para ilmuwan.  Aku mendapati bahwa harta, ilmu, perilaku, dan ijazah-ijazah adalah rezeki dan karunia (yang Allah berikan sesuai kehendak-Nya). Terkadang ada orang kaya raya tapi tidak berilmu, dan ada orang berilmu tapi tidak punya harta. Ada orang yang punya banyak ijazah tapi tidak punya ilmu, dan ada orang yang berilmu tapi tidak punya ijazah. Terkadang ada orang yang berbudi pekerti luhur tapi tidak punya apa pun, dan ada orang yang punya segalanya tapi tidak punya budi pekerti. Aku mencermati para guru di sekolah-sekolah ada yang lebih luas ilmunya daripada rektor universitas; dan ada pegawai kementerian yang lebih mumpuni daripada menteri itu sendiri. Namun, itulah nasib; atau itulah hikmah kebijaksanaan Allah yang tidak ada yang mengetahui rahasianya kecuali Dia. Dia menguji kita dengan menyembunyikan rahasia itu, untuk melihat apakah kita menerimanya dengan lapang dada atau mencela.” من الذي أمننا في الدور؟ من الذي أرخى علينا الستور؟ من الذي صرف عنا البلايا والشرور، والفتنة حولنا تدور؟ أليس هو الرحيم الغفور؟ فما لنا قد كثرت منا العثار، وقل منا الاعتبار والادكار؟ ما لنا لبسنا ثوب العصيان والغفلة والنسيان؟ غرنا بالله الغرور، برجاء رحمته عن خوف نقمته، وبرجاء عفوه عن رهبة سطوته. عن ابن السماك يحدث قال: بينما صياد في الدهر الأول يصطاد السمك، إذ رمى بشبكة في البحر فخرج فيها جمجمة إنسان، فجعل الصياد ينظر إليها ويبكي، ويقول: عزيز فلم تترك لعزك، غني فلم تترك لغناك، فقير فلم تترك لفقرك، جواد فلم تترك لجودك، شديد فلم تترك لشدتك، عالم فلم تترك لعلمك .. يردد هذا الكلام ويبكي. Siapakah yang memberi kita rasa aman di dalam rumah? Siapakah yang menjulurkan tabir yang menutup aib keburukan kita? Siapakah yang menghindarkan musibah, keburukan, dan bencana yang bertebaran di sekeliling kita? Bukankah Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun? Lalu mengapa kita begitu banyak berbuat dosa dan kesalahan, dan sedikit sekali kita mengambil ibrah dan pelajaran? Lalu mengapa kita masih mengenakan baju kemaksiatan, kelalaian, dan kealpaan? Sungguh kita telah terperdaya dengan harapan kepada rahmat-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan terhadap azab-Nya; dan dengan asa terhadap ampunan-Nya, sehingga kita lalai dari ketakutan akan kuasa-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu as-Sammak bahwa ia menceritakan, “Suatu ketika pada zaman dahulu ada seorang nelayan yang sedang mencari ikan. Ketika ia melempar jalanya di laut, ternyata jalanya menangkap tengkorak manusia. Lalu nelayan itu melihatnya lamat-lamat kemudian menangis dan berkata, ‘Jika kamu orang mulia, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemuliaanmu. Jika kamu orang kaya, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekayaanmu. Jika kamu orang miskin, kamu tidak dibiarkan hidup karena kemiskinanmu. Jika kamu orang dermawan, kamu tidak dibiarkan hidup karena kedermawananmu. Jika kamu orang kuat, kamu tidak dibiarkan hidup karena kekuatanmu. Jika kamu orang berilmu, kamu juga tidak dibiarkan hidup karena ilmumu!’ Ia terus mengulang-ulang perkataan ini sambil menangis.  ولدتك إذ ولدتك أمك باكيا … والقوم حولك يضحكون سرورا فاعمل ليوم تكون فيه إذا بكوا … في يوم موتك ضاحكا مسرورا Ia lalu melantunkan syair: Kamu terlahir dalam keadaan menangis ketika ibumu baru melahirkanmu Sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa bahagia Maka beramallah untuk satu hari – ketika mereka menangis karena kematianmu –  Sedangkan kamu ketika itu dapat tertawa bahagia كلكم يبكي لنفسه كان بالبصرة عابد حضرته الوفاة .. فجلس أهله يبكون حوله فقال لهم أجلسوني, فأجلسوه فأقبل عليهم وقال لأبيه: يا أبت ما الذي أبكاك؟ قال: يا بني ذكرت فقدك وانفرادي بعدك. فالتفت إلى أمه, وقال: يا أماه ما الذي أبكاك؟ قالت: لتجرعي مرارة ثكلك, فالتفت إلى الزوجة, وقال: ما الذي أبكاك؟ قالت: لفقد برك وحاجتي لغيرك, فالتفت إلى أولاده, وقال: ما الذي أبكاكم؟ قالوا: لذل اليتم والهوان من بعدك, فعند ذلك نظر إليهم وبكى. فقالوا له: ما يبكيك أنت؟ قال أبكي لأني رأيت كلا منكم يبكى لنفسه لا لي. أما فيكم من بكى لطول سفري؟ أما فيكم من بكى لقلة زادي؟ أما فيكم من بكى لمضجعي في التراب؟ أما فيكم من بكى لما ألقاه من سوء الحساب؟ أما فيكم من بكى لموقفي بين يدي رب الأرباب؟ ثم سقط على وجهه فحركوه, فإذا هو ميت. Setiap kalian menangisi dirinya sendiri Dulu di kota Basrah ada seorang ahli ibadah yang menghadapi ajalnya. Keluarganya duduk di sekitarnya sambil menangis. Lalu orang itu berkata kepada mereka, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Lalu ia menghadap mereka dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ayahnya menjawab, “Duhai anakku! Aku memikirkan kehilangan dirimu dan kesendirianku setelah kematianmu.” Lalu ia mengarahkan pandangannya kepada ibunya dan bertanya, “Wahai ibuku! Apa yang membuat engkau menangis?” Ibunya menjawab, “Karena aku merasakan pahitnya kehilanganmu!” Lalu ia menoleh kepada istrinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Karena aku kehilangan kesempatan berbakti kepadamu dan karena aku menjadi butuh terhadap orang selain dirimu.” Lalu ia menghadap kepada anak-anaknya dan bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis?” Mereka menjawab, “Karena kami teringat rendah dan lemahnya menjadi yatim setelah kepergianmu.”  Ketika itulah ia melihat mereka dan menangis. Mereka pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena aku melihat setiap kalian menangisi dirinya sendiri, bukan karena diriku. Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu panjang perjalananku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena begitu sedikitnya bekalku? Tidakkah dari kalian yang menangis karena tempat pembaringanku di atas tanah? Tidakkah dari kalian yang menangis karena beratnya hisab yang akan aku temui? Tidakkah dari kalian yang menangis karena posisiku di hadapan Tuhan semesta alam?” Lalu ia jatuh tertelungkup. Ketika mereka menggerak-gerakkan tubuhnya, ternyata ia telah wafat. ملوك الدنيا قال معاوية -رضي الله عنه- عند موته لمن حوله: أجلسوني .. فأجلسوه .. فجلس يذكر الله, ثم بكى، وقال: الآن يا معاوية، جئت تذكر ربك بعد الانحطام والانهدام, أما كان هذا وغض الشباب نضير ريان؟! ثم بكى وقال: يا رب, يا رب, ارحم الشيخ العاصي ذا القلب القاسي .. اللهم أقل العثرة، واغفر الزلة، وجد بحلمك على من لم يرج غيرك، ولا وثق بأحد سواك .. ثم فاضت روحه رضي الله عنه. Para raja dunia Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu menghadapi ajalnya, ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Dudukkanlah aku!” Mereka pun mendudukkannya. Kemudian ia berzikir kepada Allah, lalu menangis. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Baru sekarang, hai Muawiyah! Kamu baru menyebut Tuhanmu setelah datang masa tumbang. Mengapa ini tidak kamu lakukan saat masih muda dan masih segar bugar?!” Kemudian Muawiyah kembali menangis, dan berseru, “Duhai Tuhanku! Duhai Tuhanku! Kasihilah orang tua pelaku maksiat dan punya hati keras ini! Ya Allah, maafkanlah atas kekeliruan, ampunilah segala kesalahan! Limpahkanlah kelembutan-Mu kepada hamba yang tidak mengharap kepada selain-Mu dan tidak percaya kepada siapa pun kecuali Engkau ini!” Kemudian beliau pun meninggal dunia, radhiyallahu ‘anhu. ويروى أن الخليفة عبد الملك بن مروان لما أحس بالموت قال: ارفعوني على شرف, ففعل ذلك, فتنسم الروح, ثم قال: يا دنيا ما أطيبك! إن طويلك لقصير، وإن كثيرك لحقير، وإن كنا منك لفي غرور! Diriwayatkan juga bahwa ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan merasa bahwa ajalnya akan segera tiba, ia berkata, “Bawalah aku naik ke balkon!” Ia pun dibawa ke sana, lalu menghirup udara segar dan berkata, “Duhai dunia, betapa indahnya dirimu! Sungguh panjangmu itu pendek dan banyakmu itu sedikit, dan sungguh kami dulu telah terbuai olehmu!” ولما أحتضر أمير المؤمنين هشام بن عبد الملك, نظر إلى أهله يبكون حوله فقال: جاء هشام إليكم بالدنيا وجئتم له بالبكاء, ترك لكم ما جمع وتركتم له ما حمل, ما أعظم مصيبة هشام إن لم يرحمه الله. ولما مرض هارون الرشيد ويئس الأطباء من شفائه، وأحس بدنو أجله، قال: أحضروا لي أكفانا فأحضروا له، فاختار منها واحدا .. ثم قال: احفروا لي قبرا .. فحفروا له .. فنظر إلى القبر وقال: ما أغنى عني مالية … هلك عني سلطانيه! Ketika Amirul Mu’minin, Hisyam bin Abdul Malik menghadapi ajalnya, ia menatap keluarganya yang menangis di sekitarnya. Ia pun berkata kepada mereka, “Hisyam datang kepada kalian dengan dunia, sedangkan kalian datang kepadanya dengan tangisan. Ia juga meninggalkan bagi kalian (harta) yang ia kumpulkan, sedangkan kalian meninggalkan baginya apa yang ia bawa (ke kuburan). Sungguh betapa besar musibah Hisyam andai Allah tidak merahmatinya!” Ketika Harun ar-Rasyid sakit, dan para dokter sudah menyerah untuk mengobatinya, serta ia merasa ajalnya telah dekat, ia berkata, “Hadirkanlah kepadaku kain-kain kafan!” Mereka pun menghadirkannya, lalu ia memilih salah satunya. Kemudian ia berkata, “Galilah kuburan untukku!” Mereka pun menggalikannya. Lalu ia melihat kuburan itu dan berkata, “Tidak berguna lagi hartaku untukku, dan hancur sudah kekuasaanku!” وحينما حضر الخليفة المأمون الموت قال: أنزلوني من على السرير. فأنزلوه على الأرض، فوضع خده على التراب، وقال: يا من لا يزول ملكه .. ارحم من قد زال ملكه. وقال المعتصم عند موته :لو علمت أن عمري قصير هكذا ما فعلت … ! Ketika Khalifah Makmun menghadapi sakaratul maut, ia berkata, “Turunkanlah aku dari ranjang!” Mereka pun menurunkannya ke atas tanah. Lalu ia meletakkan pipinya di atas tanah dan berkata, “Wahai Zat Yang tidak akan lenyap kerajaan-Nya, kasihilah orang yang telah lenyap kerajaannya ini!” Mu’tashim berkata ketika ajal menjemputnya, “Seandainya aku mengetahui bahwa umurku pendek, niscaya tidak akan seperti ini perbuatanku!” إنه الموت قال مطرف: إن هذا الموت أفسد على أهل النعيم نعيمهم، فاطلبوا نعيما لا موت فيه. وقال الحسن: فضح الموت الدنيا فلم يترك فيها لذي لب فرحا. وقال سفيان: لو أن البهائم تعقل من الموت ما تعقلون ما أكلتم منها سمينا. وقال الأوزاعي: جئت إلى بيروت أرابط فيها، فلقيت سوداء عند المقابر، فقلت لها: يا سوداء، أين العمارة؟ قالت: أنت في العمارة، وإن أردت الخراب فبين يديك. Itulah kematian Mutharrif berkata, “Sesungguhnya kematian ini akan merusak kenikmatan orang-orang yang mendapat kenikmatan. Oleh sebab itu, carilah kenikmatan yang tidak pernah ada matinya.” Al-Hasan berkata, “Maut telah menyingkap aib dunia, sehingga ia tidak menyisakan kebahagiaan di dalamnya bagi orang yang berakal.” Sufyan berkata, “Seandainya hewan ternak memahami kematian seperti pemahaman kalian, niscaya kalian tidak akan bisa makan hewan ternak yang gemuk.” Al-Auza’i berkata, “Aku pernah datang ke Beirut untuk menjaga perbatasan di sana. Lalu aku berjumpa dengan wanita hitam di kuburan, aku pun bertanya kepadanya, “Hai wanita hitam, di manakah kemakmuran?” Ia menjawab, “Kamu sekarang ada dalam kemakmuran; tapi jika kamu ingin mengetahui di mana kehancuran, maka ia ada di hadapanmu (kuburan).” همة ترقيك يقول على الطنطاوي: وجدت على نضد إبريقا من البلور الصافي طويل العنق واسع البطن، فيه نحلة قد دخلت ولم تستطع الخروج، فهي تتحفز وتتجمع وتثب متقدمة بقوة وبأس، فيضرب الزجاج رأسها ويردها، فتعاود الكرة وهي لا تبصر الجدار وإنما تبصر ما وراءه، فتحسب أنه ليس بينها وبين الفضاء حجاب. فجعلت أنظر إليها وهي تعمل دائبة، كلما ضربت مرة عادت تحاول أخرى لا تقف ولا تستريح، حتى عددت عليها أكثر من أربعين مرة، تجد الصدمة كل مرة فلا تعتبر ولا تدرك الحقيقة، ولا ترفع رأسها لتبصر الطريق وتعلم أن سبيل الفضاء وباب الحرية هو من «فوق» لا عن يمين ولا عن شمال. Tekad yang meninggikanmu Ali ath-Thanthawi berkata, “Aku pernah melihat cerek dari kaca bening dengan leher panjang dan perut luas di atas ranjang. Di dalamnya terdapat lebah yang masuk tapi tidak bisa keluar, ia bersiap-siap meloncat lau meloncat dengan sekuat tenaga, sehingga kepalanya membentur kaca dan mementalkannya. Ia pun mengulangi usahanya, padahal ia tidak dapat melihat dinding yang membatasinya, dan hanya melihat apa yang ada di baliknya. Ia mengira tidak ada pembatas antara dirinya dengan udara bebas. Aku melihatnya terus menerus mengulangi usahanya; setiap kali ia membentur, ia mencobanya lagi tanpa henti dan istirahat; hingga aku menghitung usahanya itu lebih dari 40 kali. Ia terbentur setiap kali, tanpa mengambil pelajaran darinya, tidak mencoba memahami hakikat, dan tidak menengokkan kepala ke atas agar dapat melihat jalan keluar, sehingga ia dapat mengetahui bahwa jalan menuju udara bebas dan kebebasan ada di ‘atas’, bukan di kanan dan kiri.” Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/194383/الإنسان-بين-الحياة-والموتPDF Sumber Artikel. 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 850 times, 2 visit(s) today Post Views: 427 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next